MUI: Umat Islam Indonesia Wajib Vaksinasi Covid-19

Ketua Bidang fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam mengatakan umat Islam Indonesia wajib menjalani vaksinasi Covid-19 untuk mewujudkan kekebalan kelompok atau herd immunity.

“Umat Islam Indonesia tentunya wajib berpartisipasi dalam program vaksinasi Covid-19 yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk mewujudkan kekebalan kelompok dan terbebas dari pandemi Covid-19,” kata Asrorun dalam Konferensi Pers di YouTube FMB9ID_IKP, Jumat (19/3).

Asrorun berharap pemerintah dapat menyediakan vaksin Covid-19 yang halal dan suci agar masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam mau mengikuti program vaksinasi Covid-19.

“Pemerintah harus memastikan vaksin Covid-19 agar bersertifikasi halal guna mewujudkan komitmen pemerintah untuk vaksinasi aman dan halal,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Asrorun menyatakan bahwa vaksin AstraZeneca haram karena mengandung unsur babi. Namun, vaksin AstraZeneca bisa digunakan karena saat ini masih dalam kedaruratan pandemi Covid-19.

Namun jika vaksin Covid-19 yang halal dan suci sudah tersedia dalam jumlah yang aman untuk memenuhi target kekebalan kelompok, vaksin AstraZeneca tidak dianjurkan untuk digunakan karena haram.

Sejauh ini, pemerintah sudah memiliki dua jenis vaksin Covid-19, yakni vaksin Sinovac dan AstraZeneca. Saat ini baru vaksin Sinovac yang telah digunakan ke masyarakat, sementara AstraZeneca baru akan didistribusikan ke sejumlah daerah.

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan program penyuntikan vaksin AstraZeneca akan dimulai pekan depan menyusul keputusan BPOM yang telah mencabut penangguhan vaksin AstraZeneca.

“Insyaallah rencananya minggu depan akan kita mulai distribusi dan vaksinasi dengan vaksin AstraZeneca,” kata Budi dalam konferensi pers perpanjangan PPKM Mikro yang disiarkan melalui kanal YouTube Perekonomian, Jumat (19/3).

CNNINDONESIA

Hukum Suntik Vaksin COVID-19 Ketika Puasa

Fatwa Syekh Dr. Sa’ad Al-Khatslan hafizhahullahu

Saat ini, ada masalah kontemporer dan juga masalah nazilah yaitu terkait suntikan vaksin corona. Seseorang yang mendapatkan vaksin corona di siang hari, apakah puasanya menjadi batal?

Jawabannya, ini tidak membatalkan puasanya. Karena suntikan vaksin corona ini termasuk suntikan pengobatan. Dan suntikan pengobatan tidak membatalkan puasa menurut pendapat yang rajih. Karena suntikan pengobatan tidak termasuk makan, tidak termasuk minum, dan tidak semakna dengan makan atau minum.

Maka hukum asalnya, puasa seseorang tersebut sah. Dan kita tidak berpaling dari hukum asal tersebut kecuali apabila ada perkara yang jelas memalingkan dari hukum asal tersebut. Oleh karena itu, menurut pendapat yang rajih, suntikan pengobatan tidak membatalkan puasa.

Sehingga kesimpulannya, suntikan vaksin Corona tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa dan tidak merusak puasanya.

Wallahu a’lam.

Penerjemah: Dimas Setiaji

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=FMqGVpX6-EY

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/63347-hukum-suntik-vaksin-covid-19-ketika-puasa.html

Apakah Vaksinasi Covid 19 Membatalkan Puasa?

Dalam hitungan hari, bulan suci Ramadhan akan kembali hadir. Sebagai seorang yang muslim, puasa merupakan suatu kewajiban bagi individu. Di sisi lain, di Bulan Rajab dan Sakban jamak kaum muslimin di Indonesia yang menunaikan puasa sunat, atau sekadar membayar hutang puasa Ramadah lalu. Sementara itu pemerintah Indonesia, lagi menggulirkan program vaksinasi nasional. Nah, ada kekhawatiran kaum muslimin bahwa vaksinasi Covid 19 membatalkan puasa.

Nah bagaimana hukum fiqih memandang persoalan ini.  Apakah vaksinasi Covid 19 membatalkan puasa?

Menurut Mufti Agung dan Kepala Departemen Urusan Islam dan Kegiatan Amal Dubai, Uni Emirat Arab, vaksinasi Covid 19 tidak membatalkan puasa. Pasalnya, kata Syaikh Dr. Ahmed bin Abdul Aziz Al-Haddad, ketika seseorang di vaksinasi, jarum suntik tersebut masuk melalui organ tertutup manusia. Hal itu tak membatalkan puasa.

Pun efek samping  yang timbul setelah setelah vaksinasi, tak juga membatalkan puasa. Pelbagai efek samping vaksinasi  antara lain; pusing,  mual, muntah yang tak disengaja, juga tak membatalakan puasa.  Namun, bila efek samping tersebut memberatkan si pasien, maka ia dibolehkan syariat untuk berbuka. Sebagai keringan hukum bagi yang divaksinasi.

Mufti Agung Kerajaan Arab Saudi, Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, mengatakan boleh hukumnya seorang divaksinasi Covid 19 pada saat ia berpuasa. Vaksinasi Covid 19 tak membatalkan puasa. Pasalnya pemberian vaksin melalui cara Intramuskuler yaitu injeksi ke dalam otot tubuh.

Mufti Kerajaan Arab Saudi itu mengatakan:

لأنه ليس مفطر لكونه لا يعد طعامًا ولا شرابًا، كما أنه يعطى عن طريق العضل

Artinya: Vaksin tidak membatalkan puasa, karena keadaannya  bukan tergolong kepada makanan dan minuman, dan vaksin itu diberikan secara intramuskuler (suntik ke otot).

Lembaga Fatwa Al Azhar pun mengeluarkan fatwa yang sama—vaksinanasi Cpvi 19 tak membatalkan puasa—, pasalnya metode vaksinasi dilakukan dengan menyuntikkan jarum ke otot atau pembuluh darah atau bagian lainnya yang bukan merupakan bagian luar anggota tubuh manusia.

Lembaga Fatwa Al-Azhar menulis:

اللقاحات والتطعيمات بهذا الشكل ليست أكلا ولا شربا ولا هي في معناهما, لأنه دخل بدنه عن طريق الجلد، والجلد ليس منفذا للجوف

Artinya: vaksin dan vaksinasi dengan cara demikian bukan tergolon makan dan minum, dan tak juga dengan perngertian keduanya, karena vaksinasi adalah memasukkan jarum ke tubuh melalui kulit , dan kulit tak masuk ke dalam rongga (baca: anggota luar) tubuh.

Ulama kontemporer, Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah, Jilid I, halaman 463-464, mengatakan bahwa suntik tak membatalkan puasa. Pasalnya, ia bukanlah perkara yang memberikan zat makanan terhadap tubuh manusia. Justru, suntik itu membuang zat-zat kotor yang ada dalam tubuh manusia.

Ada pun obat  dari cairan suntik, seandainya sampai masuk dan menjalar ke lambung untuk mengobati luka atau membunuh virus yang mematikan  atau cairan itu sampai ke otak, itu tidak sama dengan makanan. Itu semua berbeda dengan makanan yang sampai ke lambung atau otak manusia. Demikian itu bukan tergolong makanan yang dapat membatalkan puasa.

Sayyid sabiq menjelaskan terkait suntik:

كذلك الحقنة , لاتغذي، بل تستفرغ ما في البدن, والدواء الذي يصل إلى المعدة، في مداواة الجائفة, والمأمومة لا يشبه ما يصل إليها من غذائه

Artinya: suntikan juga demikian. Ia bukanlah perkara yang memberikan zat makanan kepada tubuh, bahkan sebaliknya, ia membuang pelbagai zat yang tak bermanfaat dalam tubuh. Obat yang sampai masuk ke dalam lambung untuk mengobati luka yang sampai ke perut dalam atau ke selaput otak, itu semua tak sama dengan makanan.

Pada sisi lain, Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim Al Kaff, dalam kitab  at- Taqriratu as sadidatu fil masaili al mufidah, halaman 452 mengatakan boleh menggunakan jarum suntik pada saat melaksanakan puasa. Demikian itu apabila jarum suntik tersebut dilaksanakan pada lubang anggota tubuh yang tertutup. Oleh karena itu, vaksinasi Covid 19 tak membatalkan puasa.

Syekh Hasan Al- Kaff menulis:

حكم الابرة تجوز للضرورة, انها لا تبطل مطلقا لانها وصلت الى الجوف من غير منفذ مفتوح. واذا كان في العضل -وهي العروق غير المجوفة -: فلا تبطل

Artinya: Hukum menggunakan jarum (baca: suntik) pada saat puasa boleh disebabkan darurat. Sesungguhnya suntik itu tak membetalkan puasa secara mutlak. Pasalnya suntik itu dilakukan kepada rongga tubuh (saluran) yang tidak terbuka. Dan apabila suntik itu dilakukan pada otot (maskuler) artinya; pada pembuluh darah, yang bukan bagian anggota rongga terbuka tubuh, maka tidak membatalkan puasa.

Demikianlah penjelasan hukum terkait apakah vaksinasi Covid 19 membatalkan puasa?

BINCANGSYARIAH.COM

Melihat Vaksinasi dari Sisi Medis, Fiqih dan HAM

Vaksinasi jadi langkah yang kini banyak dilakukan negara-negara dunia dalam penanganan covid-19. Karenanya, penting melihat lebih dari satu sudut pandang demi mendapat gambaran lebih luas terkait vaksinasi tersebut.

Spesialis penyakit dalam RS UII, dr. Ana Fauziyati mengatakan, hingga kini pasien yang terdampak wabah virus corona sudah mencapai 989.262 jiwa. Pada Oktober, grafiknya sempat terjadi penurunan, tapi kembali naik akhir 2020.

Ana menekankan, covid-19 menyerang tubuh manusia secara sistemik mulai dari pencernaan, otak, hati, terutama pernafasan. Ia berpendapat, vaksin seperti Sinovac yang didatangkan dari Cina menjadi harapan baru menurunkan pandemi.

“Sepanjang sejarah, vaksin telah banyak terbukti mampu menurunkan pandemi yang melanda,” kata Ana dalam webinar yang digelar Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia, Selasa (26/1).

Vaksin Sinovac, di Indonesia telah melalui uji klinis tahap 1-3, belum berikan efek samping berat. Karenanya, ia menegaskan, vaksin ini memiliki efikasi cukup mencegah infeksi Covid-19, namun tetap harus menjalankan protokol kesehatan.

Kepala Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pusham) UII, Eko Riyadi menekankan, UU harus dipahami komprehensif agar tidak ditafsirkan secara setengah-setengah. Pemerintah, memiliki kewajiban memenuhi hak kesehatan masyarakatnya.

Indikator kewajiban mulai ketersediaan, aksesibilitas, keberterimaan sampai kualitas. Di beberapa negara kesehatan bukan sebagai industri yang masih ada privatisasi untuk beberapa kalangan, tapi harus dirasa semua level masyarakat.

Terkait penolakan vaksinasi, dari sisi HAM terdapat kebebasan kita terhadap hak kesehatan boleh dibatasi oleh negara. Sepanjang itu semua tidak bertentangan dengan hak asasi manusia, hukum, kesejahteraan umum dan nilai demokrasi.

Sepanjang negara tidak bertentangan dengan empat nilai ini, pemaksaan vaksin boleh dilakukan. Namun, ia melihat, adanya sanksi pidana bagi orang-orang yang menolak vaksin tidak tepat karena itu memang bukan merupakan tindak pidana.

“Jika memang mengharuskan adanya pemaksaan, maka sebaiknya pemerintah memberikan sanksi-sanksi administrasi seperti dibatasi atau ditangguhkan akses BPJS di rumah sakit bagi calon pasien yang belum divaksin,” ujar Eko.

Dosen Fakultas Ilmu Agama Islam UII, Dr Asmuni menuturkan, virus corona datang dari suatu sebab dan akibat. Dari sisi fiqih, konteks kehalalan dan kesucian vaksin jika dilihat dari sisi kebutuhan dan darurat tidak membutuhkan fatwa.

Sebab, dalam fiqih ada istilah al istihalah atau transformasi. Ia menilai, itu sudah berdasarkan al iqtidha attabai, menetapkan hukum terhadap realitas yang sudah bersinggungan dengan faktor-faktor eksternal sesuai kondisi yang ada.

Untuk itu, vaksin sebagai obat secara fikih tidak masalah, bahkan bila vaksin terbuat dari bahan yang haram seperti babi, maka vaksin tidak masalah. Tentu, dalam kaidah adh dharurat tubihu atau situasi darurat dan keadaan mendesak.

“Mengenai pro-kontra, pemerintah harus mengkaji komprehensif secara ilmiah dari berbagai aspek dalam pengambilan keputusan. Sebagai pemegang kekuasaan harus hati-hati menghadapi permasalah yang bersinggungan antara agama dengan dunia,” kata Asmuni.

KHAZANAH REPUBLIKA

Tetap Bersandar kepada Allah setelah Divaksinasi

Indonesia mulai melakukan vaksinasi Covid-19 pada tanggal 13 Januari 2021 kemarin. Vaksinasi akan dilakukan secara bertahap dan beberapa daerah sudah mulai melakukan vaksinasi sebagai usaha dalam menghadapi pandemi. Vaksinasi ini sebagai salah satu bentuk usaha seseorang dalam menghadapi penyakit Covid-19. Seseorang yang divaksinasi berarti dia mengambil sebab untuk membentengi dan menjaga tubuh dari penyakit. Oleh karena itu, membahas tentang hal ini tidak lepas dari pembahasan terkait hukum pengambilan sebab.

Sebuah bukti kesempurnaan Islam adalah adanya aturan bagaimana seharusnya seorang muslim melakukan pengambilan sebab dalam berbagai kasus. Mengetahui hukum pengambilan sebab menjadi sangat penting karena seseorang yang tidak mengenal tentang hukum pengambilan sebab bisa terjatuh ke dalam maksiat, bid’ah, dan bahkan kesyirikan.

Prinsip mendasar dalam pengambilan sebab

Ada tiga prinsip mendasar dalam pengambilan sebab, yaitu:

Pertama, tidak menjadikan sesuatu yang tidak terbukti secara syar’i atau qodari sebagai sebab. Syarat tambahan yang harus dipenuhi adalah sebab tersebut tidak boleh berupa sesuatu yang dilarang syariat.

Kedua, tidak menyandarkan hati kepada sebab, akan tetapi kepada Allah Ta’ala diiringi dengan usaha yang disyariatkan seoptimal mungkin.

Ketiga, sekuat apapun sebab tersebut, tetap saja semua terkait dengan takdir Allah Ta’ala.

(Lihat Al-Qaulus Sadiid, hal. 105, karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullah)

Baca Juga: Fatwa Dewan Fatwa Internasional Mengenai Vaksin

Prinsip pertama

Tidak menjadikan sesauatu yang tidak terbukti secara syari atau qodari sebagai sebab. Syarat dibolehkannya sesuatu dijadikan sebab adalah sesuatu tersebut telah terbukti secara syar’i atau qodari. Terbukti secara syar’i adalah adanya dalil dari Al-Qur’an atau hadits yang menunjukkan bahwa sesuatu tersebut bisa dijadikan sebagai suatu sebab. Contohnya adalah ruqyah, madu, dan habbatus saudaa’. (Syarhu Muyassar li Kitaabit Tauhid, hal. 57, Abdul Malik Al-Qosim)

Di antara dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ

“Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.” (QS. An-Nahl: 69)

Sedangkan terbukti secara qodari maksudnya adalah terbukti secara ilmiah dan/atau berdasarkan pengalaman yang jelas bahwa sebab tersebut menyebabkan suatu akibat terjadi. Contoh, berbagai macam pengobatan dalam bidang kedokteran yang telah terbukti secara ilmiah menimbulkan kesembuhan. (At-Tamhiid, hal. 94, Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh)

Melakukan sebab yang terbukti secara qodari bisa dihukumi halal atau haram. Apabila sebab yang dilakukan adalah perbuatan yang tidak dilarang dalam syariat, maka mengambil sebab itu dihukumi halal. Misalnya, berdagang dengan cara yang diperbolehkan untuk mendapatkan penghasilan. Namun apabila sebab yang dilakukan tersebut adalah perbuatan yang dilarang syariat, maka hukumnya haram. Misalnya, mencuri untuk mendapatkan uang.

Dapat disimpulkan bahwa hukum seseorang yang tidak memenuhi prinsip pertama dari tiga prinsip mendasar dalam permasalahan pengambilan sebab ini dibagi menjadi 2, yaitu:

Pertama, syirik asghar (syirik kecil)

Apabila sebab yang diambil seseorang adalah sesuatu yang tidak terbukti secara syar’i maupun qodari. Namun, orang tersebut masih meyakini bahwa sesuatu yang dijadikan sebab tersebut tidak akan berpengaruh kecuali dengan izin dari Allah Ta’ala. (At-Tamhiid, hal. 94, Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh)

Kedua, maksiat dan tidak sampai tingkat kesyirikan

Apabila sebab yang diambil seseorang adalah sesuatu yang terbukti secara qodari, akan tetapi haram dilakukan, dan orang tersebut meyakini bahwa sesuatu yang dijadikan sebab tersebut tidak akan berpengaruh kecuali dengan izin dari Allah Ta’ala.

Dalam kasus vaksinasi, apabila vaksin tersebut sudah terbukti secara ilmiah, maka termasuk ke dalam sebab qodari. Terkait hukum vaksinasi bisa dibaca selengkapnya di artikel berikutnya.

Prinsip kedua

Tidak menyandarkan hati kepada sebab, akan tetapi kepada Allah Ta’ala diiringi dengan usaha yang disyariatkan seoptimal mungkin. Sebab yang ada hanyalah perantara karena pada hakikatnya Allah Ta’ala yang menjadikan sebab itu berpengaruh. Oleh karena itu, seseorang harus menyandarkan hati kepada Allah Ta’ala dan tidak boleh menyandarkan kepada sebab. Di samping penyandaran hati kepada Allah Ta’ala semata, seseorang wajib untuk melakukan usaha yang disyariatkan seoptimal mungkin. Dalam hadits riwayat Imam Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

احرص على ما ينفعك واستعن بالله ولا تعجز

“Bersemangatlah dalam hal-hal yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah bersikap lemah.” (HR. Muslim no. 2664)

Seseorang yang tidak memenuhi prinsip kedua ini, dia bisa terjatuh ke dalam syirik akbar apabila menyandarkan hati kepada sebab, bukan kepada Allah Ta’ala dan meyakini bahwa sebab tersebut yang berkehendak. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh bertawakkal atau menyandarkan hatinya kepada vaksinasi dan tidak boleh meyakini bahwa vaksin tersebut menyembuhkan atau mencegah penyakit dengan sendirinya, dan bukan atas kehendak dari Allah Ta’ala. Karena pada dasarnya, vaksin tersebut hanyalah sebab yang kita usahakan. Adapun yang menjaga kita adalah Allah Ta’ala. Kita tidak boleh bertawakkal kepada makhluk.

Prinsip ketiga

Sekuat apapun sebab tersebut, tetap saja semua terkait dengan takdir Allah Ta’ala. Allah Ta’ala mampu untuk menjadikan suatu sebab yang terbukti secara syar’i maupun qadari berpengaruh agar seseorang mengetahui dengan baik kesempurnaan hikmah-Nya. Allah Ta’ala juga mampu untuk menjadikan sebab tersebut tidak berpengaruh agar hati seseorang tidak bergantung kepada sebab dan agar seseorang tersebut mengetahui kesempurnaan kekuasaan dan kehendak-Nya. (Lihat Al-Qaulus Sadiid, hal. 105-106, Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di)

Salah satu dalil yang menunjukkan bahwa sebab qodari tidak selamanya menyebabkan pengaruh adalah kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam. Beliau ‘alaihis salaam tidak terbakar oleh api walaupun secara qodari, api itu terbukti bisa membakar dan menghanguskan. Allah Ta’ala berfirman,

قَالَ اَتَعْبُدُوْنَ مَا تَنْحِتُوْنَۙ .وَاللّٰهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ .قَالُوا ابْنُوْا لَه بُنْيَانًا فَاَلْقُوْهُ فِى الْجَحِيْمِ .فَاَرَادُوْا بِه كَيْدًا فَجَعَلْنٰهُمُ الْاَسْفَلِيْنَ.

“Ibrahim berkata, “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” Mereka berkata, “Dirikanlah suatu bangunan untuk (membakar) Ibrahim, lalu lemparkanlah dia ke dalam api yang menyala-nyala itu.” Mereka hendak melakukan tipu muslihat kepadanya, maka Kami jadikan mereka orang-orang yang hina.” (QS. Ash-Shaffat: 95-98)

قُلْنَا يَا نَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَّسَلٰمًا عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ .وَاَرَادُوْا بِه كَيْدًا فَجَعَلْنٰهُمُ الْاَخْسَرِيْنَ ۚ

“Kami berfirman, “Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!” Dan mereka hendak berbuat jahat terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling rugi.” (QS. Al-Anbiya’: 69-70)

Oleh karena itu, sehebat apapun sebab yang kita usahakan, kita harus tetap meyakini bahwa berhasil atau tidaknya sebab tersebut Allah Ta’ala  yang menentukan. Tugas kita adalah berusaha (mengambil sebab), adapun hasil diserahkan kepada Allah Ta’ala. Begitu pula dalam kasus vaksinasi ini, keberhasilan vaksinasi tetap berada di bawah kehendak Allah Ta’ala.

Begitu indahnya Islam. Dalam Islam diajarkan, kita harus semangat berusaha seoptimal mungkin untuk mendapatkan kebaikan untuk tubuh dan hati kita. Termasuk dengan mengikuti program vaksinasi Covid-19 yang sudah terbukti secara ilmiah. Namun setelah melakukan berbagai usaha sebagai sebab tersebut, kita wajib tetap menyerahkan semua kepada Allah Ta’ala.

Wallahu a’lam bish shawab.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Penulis: apt. Pridiyanto

Artikel: Muslim.or.id

MUI: Vaksin Covid-19 Sivonac Suci dan Halal

 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengumumkan tentang hasil rapat tim auditor vaksin Covid-19 Sivonac untuk Virus Corona. Hasilnya menyatakan bahwa hukum vaksin Covid-19 buatan Sinovac China adalah suci dan halal.

Keputusan tersebut adalah hasil dari sidang pleno Komisi Fatwa MUI pada Jumat (8/1). Sidang tersebut membahas tentang aspek syar’i vaksin Sinovac. Sidang diawali dengan pemaparan Tim Auditor MUI dan dilanjutkan dengan diskusi untuk menentukan kehalalan vaksin tersebut.

Komisi Fatwa MUI kemudian menyatakan bahwa hukum vaksin Covid-19 yang diproduksi produsen asal China, Sinovac. Penyampaian disampaikan oleh Ketua MUI Bidang Fatwa yakni Asrorun Niam Sholeh.

Ia menjelaskan, “komisi Fatwa sepakat vaksin Covid-19 yang diproduksi Sinovac China hukumnya suci dan halal. Ini yang terkait aspek kehalalan.”

Untuk ketentuan penggunaan, Asrorun menyatakan bahwa MUI masih menunggu aspek keamanan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Maka, laporan yang dipaparkan MUI tentang produk vaksin Sinovac belum final sebab menunggu hasil final BPOM.

Fatwa utuhnya akan disampaikan setelah BPOM menyampaikan mengenai aspek keamanan untuk digunakan, apakah itu aman atau tidak, maka fatwa akan melihat aspek yang telah diuji oleh BPOM.

MUI menyatakan bahwa aspek halal dan thoyib adalah sebuah kesatuan yang tak terpisahkan. Keamanan produk vaksin pun menentukan hukum boleh tidaknya untuk menggunakan.

Setelah dilakukan diskusi panjang, rapat Komisi Fatwa pun menyepakati bahwa vaksin Covid-19 produksi Sinovac hukumnya suci dan halal. (Baca: Dalil Kebolehan Menggunakan Vaksin Covid-19 Menurut Dewan Fatwa Uni Emirat Arab)

Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan terhadap suatu penyakit. Pemberian vaksin (imunisasi) dilakukan untuk mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi penyebab penyakit-penyakit tertentu.

Pemberian vaksin disebut vaksinasi. Vaksinasi merupakan metode paling efektif untuk mencegah penyakit menular. Kekebalan karena vaksinasi terjadi menyeluruh di dunia sebagian besar bertanggung jawab atas pemberantasan cacar dan pembatasan penyakit seperti polio, campak, dan tetanus.

Efektivitas vaksinasi telah dipelajari dan diverifikasi secara luas, misalnya vaksin terbukti efektif termasuk vaksin influenza, vaksin HPV, dan vaksin cacar air. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa vaksin berizin saat ini tersedia untuk dua puluh lima infeksi yang dapat dicegah.[]

BINCANG SYARIAH

Menyikapi Vaksin Covid, Apakah Dianggap Mendahului Takdir?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang menyikapi vaksin covid.
selamat membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla selalu menjaga ustadz dan keluarga. Saya mau bertanya ustadz.

Bagaimana menyikapi jika pemerintah mewajibkan masyarakat untuk melakukan vaksinasi untuk mengendalikan keamanan dari wabah covid ini. Dan seperti wabah-wabah sebelumnya dengan vaksin yang berbeda.
Kemudian, apakah kita dianggap mendahului takdir jika melakukan vaksinasi sebagai ikhtiar mencegah terkena suatu penyakit?
Mohon penjelasannya secara detail ustadz. Jazakillahu khair.(Disampaikan oleh Fulan, Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)


وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.

Imunisasi hukumnya boleh dan tidak terlarang, karena imunisasi termasuk penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتِ عَجْوَةٍ لَمْ يَضُرَّهُ فِيْ ذَ لِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلاَ سِحْرٌ

“Barang siapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia terhindar sehari itu dari racun dan sihir.”
[HR. al-Bukhari: 5768 dan Muslim:4702]

Dari dalil di atas, menunjukkan bahwa ikhtiar yang di lakukan seseorang untuk mengantisipasi suatu penyakit atau hal yang dikhawatirkan atau ditakutkan supaya tidak terjadi adalah amalan yang dibolehkan oleh syariat dan tidak mendahului takdir. Terlebih bila vaksin tersebut di wajibkan oleh pemerintah karena ada pertimbangan yang di khawatirkan. Maka seyogyanya seseorang hendaknya mentaati pemimpinnya, selama tidak memerintakan kepada kemaksiatan.

Lalu bagaimana bila ada dzat yang diyakini berbahaya yang akan mencederai tubuh seseorang atau dianggap dalam vaksin tersebut ada bahan yang dilarang dikonsumsi oleh seorang muslim?

Selama meyakini adanya kedua hal tersebut, dari sumber dan dipercaya maka seseorang hendaknya tidak melakukannya, kecuali bila ada kedaruratan untuk melakukan vaksin, maka diperbolehkan menggunakan hal yang di haramkan. Sebagaimana sabda nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam,

 إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ، فَتَدَاوَوْا، وَلاَ تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan benda haram”
[ash-Shahihah 4/174]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارِ

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain.”

Silahkan lebih detailnya dapat dipelajari lebih lanjut pada link link berikut :

Referensi:
https://almanhaj.or.id/2536-kontroversi-hukum-imunisasi-polio.html
https://bimbinganislam.com/hukum-vaksin-mr-measles-and-rubela/
https://bimbinganislam.com/jika-wabah-telah-sampai-di-daerahmu-tentang-corona/

Wallahu ta’ala a’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh :
Ustadz Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله
Rabu, 01 Jumadal Ula 1442 H/ 16 Desember 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Hoaks Tentang Vaksin Bisa Hambat Imunisasi Umat Muslim

Banyak Muslim yang percaya vaksin Covid-19 mengandung gelatin babi yang diharamkan.

Ketidakpercayaan terhadap vaksin adalah masalah yang berkembang di komunitas Muslim. Hal ini karena banyak Muslim yang percaya vaksin Covid-19 mengandung gelatin babi yang diharamkan.

Menanggapi masalah ini, saat peluncuran vaksin Pfizer / BioNTeck Covid-19, seorang dokter Muslim mengaku prihatin atas klaim bahwa vaksin baru biasanya akan mencakup bahan-bahan hewani.

“Kami membayar harga untuk itu sekarang karena orang mengatakan ‘Oh, vaksin memiliki gelatin’. Sebenarnya mereka hanya tidak tertarik untuk mendengarkan kami,” kata British Islamic Medical Association (BIMA), Salman Waqar dilansir dari About Islam, Selasa (15/12).

Dr. Waqar yang bekerja sebagai dokter umum di Berkshire dan peneliti akademis di Universitas Oxford, menegaskan bahwa vaksin baru tidak mengandung produk hewani. Kekhawatiran tentang vaksin tidak terbatas pada komunitas Muslim.  Beberapa hari terakhir ini ia melihat peningkatan kesalahan informasi yang dibagikan secara online termasuk seputar penggunaan sel janin yang diaborsi.

“Ada hal-hal biasa yang ada dalam semangat anti-vaksin, tetapi juga menyasar bagian-bagian tertentu yang secara khusus memicu komunitas Muslim,” kata Dr. Waqar.

Dia menambahkan bahwa orang-orang terpercaya di kalangan Muslim termasuk imam dan profesional medis Muslim, harus berbagi pesan yang mendorong agar umat muslim mau divaksin. BIMA telah mengeluarkan pernyataan yang mendorong individu yang berisiko tertular Covid-19 untuk mengambil vaksin.  Pernyataan posisi BIMA mengikuti konsultasi dengan profesional perawatan kesehatan Muslim, ulama Islam, dan badan perwakilan dari seluruh Inggris.

Dewan Muslim Inggris (MCB) juga telah bekerja untuk memerangi disinformasi Covid-19. “Potensi media sosial dalam konteks penyebaran informasi yang salah dan mitos merupakan faktor yang mempengaruhi Muslim dan komunitas lain secara nasional,” kata juru bicara MCB.

“Ada ayat yang sangat berguna dari Alquran yang telah kami gunakan dalam brosur tentang berita palsu, yang mendesak umat Islam untuk menyelidiki informasi yang diterima. Agar Anda tidak menyakiti orang karena ketidaktahuan dan menjadi, atas apa yang telah Anda lakukan, menyesal. Kami mengaitkan keyakinan dan ajaran kami sebagai Muslim dengan tantangan umum yang kami hadapi saat ini, seperti menjadi korban berita palsu dan menyebarkannya,” jelasnya.

Di tingkat lain, para sarjana dari beberapa seminari Islam paling berpengaruh di Inggris telah mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa vaksin Pfizer BioNTech Covid-19 yang baru adalah halal.

KHAZANAH REPUBLIKA