Puasa Syiah VS Puasa Rasulullah

Perbedaan Waktu Berbuka Puasa bagi Syiah

SEGALA amal seseorang dikendalikan oleh ideologinya. Beda ideologi akan merambah pada perbedaan praktek ibadah, akhlak, dan bahkan muamalah. Ketika kita membandingkan antara praktek ibadah syiah dan praktek ibadah yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, kita akan mendapatkan sekian banyak perbedaan. Demikian pula akhlak dan muamalah antara syiah dengan yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Pada bagian ini, kita akan menyoroti perbedaan praktek puasa syiah dengan puasa yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Keempat, berbuka setelah awan merah menghilang. Salah satu kebiasaan Syiah adalah berbuka setelah betul-betul masuk waktu malam. Di saat awan merah di ufuk telah menghilang dan bintang mulai terbit. Dalam kitab Wasail As-Syiah karya Muhammad bin Al-Hasan Al-Hur Al-Amili, dinyatakan, Bab: waktu berbuka adalah sampai hilangnya mega merah di ufuk timur, dan tidak boleh sebelumnya.

Di bawah judul bab ini, selanjutnya dia membawakan beberapa riwayat dusta atas nama Ahlul Bait, diantaranya: “Dari Zurarah, saya pernah bertanya kepada Abu Jafar alaihis salam tentang waktu berbuka bagi orang yang puasa? Beliau menjawab: Ketika telah terbit 3 bintang.”
Abu Jafar : cucu Husain bin Ali bin Abi Thalib. Beliau bergelar Al-Baqir. Salah satu ulama ahlus sunah yang dikultuskan Syiah. Dan satu kedustaan, beliau memfatwakan demikian. Al-Hur Al-Amili memberi komentar,
“Ini dipahami bahwa orang yang tidak mengetahui arah timur, sehingga dia tidak tahu hilangnya awan merah kecuali setelah terbit bintang, sebagaimana penjelasan dalam waktu-waktu shalat atau dianjurkan untuk mendahulukan shalat (maghrib) dari pada berbuka. Sehingga setelah itu terbit 3 bintang. Demikian yang dijelaskan ulama mutaakhirin (Syiah).” [Wasail As-Syiah, hlm. 124 125]

Keterangan ini yang selanjutnya dipraktekkan masyarakat penganut agama Syiah di masa ini. Termasuk komunitas Syiah di indonesia. Sebagaimana pengakuan beberapa orang yang pernah mengikuti kegiatan buka bersama yang diadakan kelompok Syiah indonesia. Jika kita perhatikan, apa yang dipraktekkan oleh Syiah dalam kebiasaan berbuka ini, sama persis sebagaimana kebiasaan orang yahudi dan nasrani. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Agama Islam akan senantiasa menang, selama masyarakat (Islam) menyegerakan berbuka. Karena orang yahudi dan nasrani mengakhirkan waktu berbuka.” (HR. Ahmad 9810, Abu Daud 2353, Ibn Hibban 3509 dan statusnya hadia hasan).

Dalam riwayat lain, itu disebabkan orang yahudi suka mengakhirkan waktu maghrib sampai terbit bintang. Karena itulah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang sengaja menunda shalat maghrib hingga terbit bintang, “Umatku akan senantiasa berada di atas fitrah, selama tidak menunda waktu maghrib sampai bintang-bintang mulai terbit.” (HR. Ahmad 15717, Ibn Majah 689, dan statusnya Hasan). Kebiasaan berbuka puasa orang Syiah ini berbeda dengan apa yang diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau menganjurkan kepada umat Islam untuk menyegerahkan berbuka. Segera berbuka sejak bulatan matahari sudah tenggelam, meskipun awan merah masih merekah di ufuk barat.

Dari Sahl bin Sad radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Umatku akan senantiasa berada di atas sunahku, selama mereka tidak menunggu waktu berbuka dengan terbitnya bintang.” Sahabat Sahl mengatakan, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika puasa, beliau pernah menyuruh seseorang. Ketika orang ini mengatakan, Matahari telah tenggelam maka beliaupun langsung berbuka.” (HR. Ibn Khuzaimah dalam Shahihnya 3/275, dan sanadnya shahih).

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah berbuka pada saat awan merah di langit masih sangat cerah, hingga sebagian sahabat menyebutnya masih siang. Dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu anhu, beliau mengatakan, “Kami pernah melakukan perjalanan bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di bulan Ramadhan, dan saat itu beliau puasa. Ketika matahari sudah terbenam, beliau memanggil sahabat yang di atas kendaraan, Wahai Fulan, turun, kita buat minuman. Sahabat ini menjawab, Wahai Rasulullah, sekarang masih siang. Nabi shallallahu alaihi wa sallam tetap menyuruhnya, Turun, kita siapkan minuman. Orang inipun turun, kemudian menyiapkan minuman dari sawiq dan dihidangkan untuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliaupun meminumnya.” (HR. Bukhari 1956 & Muslim 1101).

Dari keterangan sahabat yang disuruh turun: Wahai Rasulullah, sekarang masih siang karena dia melihat suasana langit yang masih terang merah setelah bulatan matahari terbenam. Sehingga dia menyangka belum boleh berbuka. Ketika menjelaskan hadis di atas, Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan, “Hadis ini menunjukkan dianjurkannya menyegerahkan berbuka, dan tidak wajib melanjutkan puasa hingga betul-betul malam. Akan tetapi, jika sudah yakin matahari telah terbenam, halal untuk berbuka.” (Fathul Bari, 4/197).

Dalam karyanya, Syarh Shahih Muslim, Imam An-Nawawi mengatakan, “Waktu maghrib segera setelah terbenamnya bulatan matahari. Inilah yang disepakati umat Islam. Dikisahkan dari orang Syiah yang berbeda dengan ini, tidak perlu digubris dan itu tidak berdasar.” (Syarh Shahih Muslim, 5/136).

 

MOZAIK