Keunikan Wisata Halal di Jepang

Peningkatan jumlah wisatawan Muslim di Jepang menjadi pemicu tumbuhnya bisnis wisata halal di Jepang. Peningkatan tersebut dilatarbelakangi oleh perkembangan wisata halal atau halal tourism yang memang sedang menjadi tren di industri pariwisata internasional.

Jepang adalah salah satu negara di benua Asia yang menjadi tujuan pilihan bagi wisatawan global. Jepang memiliki keunikan budaya dan pemandangan yang memukau. Terlebih, lanskap metropolitan yang dimiliki Jepang juga sangat menakjubkan.

Peningkatan Wisatawan Muslim

Pada tahun 2013, terjadi peningkatan jumlah wisatawan asing yang menembus angka diatas 10 juta dan diperkirakan 30% nya atau sebanyak 300 ribu adalah wisatawan Muslim. Peningkatan jumlah ini diprediksi akan terus terjadi.

Warga negara Jepang yang beragama Islam sangat sedikit. Menurut Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology Jepang (MEXT), mayoritas agama yang dianut di Jepang adalah Shinto (51.2%), Buddha (43%), dan Kristen (1.0%).

Jika diamati dari letak geografisnya, Jepang adalah negara yang letaknya jauh dari negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam. Meskipun Islam termasuk agama minoritas di Jepang, tapi tidak mengurangi antusias wisatawan muslim untuk berwisata kesana.

Melihat adanya potensi tersebut, pemerintah Jepang berupaya untuk memfasilitasi para wisatawan Muslim dengan menerapkan konsep wisata halal di Jepang sehingga merasa aman dan nyaman pada saat berwisata ke Jepang.

Keberhasilan pemerintah Jepang dalam mengembangkan wisata halal di Jepang bisa dilihat dengan diraihnya penghargaan pada World Halal Tourism Award sebagai World Best Non Organization of Islamic Conference (OIC) Emerging Halal Destination yang didapatkan pada tahun 2016.

Peningkatan wisatawan Muslim di Jepang yang berubah tersebut turut menggerakkan permintaan produk dan fasilitas halal yang juga meningkat di negara Jepang yang nerupakan negara kesatuan berbentuk monarki parlementer.

Maka, terbentuklah Japan Halal Association (JHA) yang memiliki tugas untuk mengawasi dan memberikan sertifikasi halal serta mengkampanyekan penyediaan tempat untuk shalat di tempat-tempat wisata di Jepang.

Pemerintah Jepang juga turut mendorong beberapa perusahaan tur jepang untuk meluncurkan paket tur halal untuk wisatawan Muslim dari berbagai belahan dunia yang berbasis di Tokyo dan Osaka.

Selain itu, Japan National Tourism (JNTO) juga melakukan usaha untuk memberikan kenyamanan bagi wisatawan Muslim dengan menerbitkan buku panduan wisata khusus untuk wisatawan Muslim.

Dalam buku tersebut, tercatat bahwa terdapat 52 restoran yang menawarkan makanan halal. Namun restoran ini masih tersedia di kota-kota besar seperti seperti Tokyo (46%), Osaka (6.6%), Hokkaido (5.7%), dan Kyoto (5%) (Asazuma, 2015).

Fasilitas tempat shalat di Jepang pun turut mengalami peningkatan, meski belum terpenuhi secara maksimal. Ada sekitar 241 tempat shalat yang tersebar di Jepang, termasuk di tempat-tempat strategis.

Tempat-tempat yang dimaksud adalah bandara internasional Kansai dan Narita, stasiun Osaka dan Tokyo, tempat wisata istana Nijo, dan beberapa tempat lainnya seperti kafe dan restoran.

Sayangnya, beberapa tempat shalat belum dilengkapi dengan tempat berwudhu. Dari total 98 masjid di Jepang, hanya 38 persen yang belum memiliki fasilitas wudhu.

Selain makanan, tempat ibadah, dan penginapan, Jepang juga mulai merambah ke halal fashion untuk menarik wisatawan Muslim. Pada Juli 2017, Uniqlo, sebuah perusahaan fashion besar, bekerja sama dengan desainer Jepang bernama Hana Tajima untuk memproduksi pakaian Muslim, jilbab, dan kardigan dengan motif Jepang yang mulai diproduksi.

Pada tahun yang sama, badan sertifikasi halal Jepang mulai mengeluarkan sertifikat halal untuk beberapa merek kosmetik. Produk makanan seperti bumbu masakan, miso, dan saus sukiyaki, juga telah tersertifikasi ke-halal-annya. Tak cukup sampai di situ, Oleh-oleh dari Jepang juga memiliki sertifikasi halal.

Konsep Omotenashi

Salah satu keunikan dari wisata halal di Jepang adalah konsep Omotenashi. Konsep tersebut bisa diartikan sebagai aktivitas menerima pelanggan atau tamu dengan keramahtamahan dan membantu para tamu dengan berbagai cara yang bisa dilakukan.

Konsep Omotenashi adalah sebuah keunikan tersendiri dalam perkembangan wisata halal di Jepang di mana konsep tersebut berhasil membuat kualitas pelayanan terhadap wisatawan meningkat dari waktu ke waktu.

The Japan Productivity Center mendefinisikan Omotenashi sebagai work to provide special service from the heart while valuing the prespective of customers and/or residents.

Omotenashi adalah bentuk pelayanan khas Jepang yang memberikan arti penting tentang touchpoint atau interaksi dengan pelanggan. Konsep tersebut adalah metode asli Jepang dalam memberikan pelayanan berkualitas tinggi dari hati yang berdasarkan komunikasi antara penyedia jasa dan pelanggan yang mana sangat berguna dalam pelaksanaan wisata halal di Jepang.

Omontenashi sering diidentikkan dengan istilah hospitality, tapi akhir-akhir ini kata omotenashi secara internasional dikenal sebagai a form of welcoming yang berakar pada tradisi dan budaya Jepang.

Yoshinobu Sato dan Abdulelah Al-alsheikh dalam Comparative Analysis of the Western Hospitality and the Japanese Omotenashi (2014) menuliskan bahwa omotenashi dan hospitality Barat adalah dua konsep yang berbeda.

Persamaan kedua konsep tersebut hanya ada di level permukaan saja. Setelah meneliti dan membandingkan hospitality yang diterapkan di hotel Ritz-Carlton Hotel & Company dengan pelayanan berbasis omotenashi di Hoshino Resort, Sato dan Al-alsheikh melihat terdapat tiga persamaan pada pelayanan keduanya.

Pertama, menganggap staf hotel dan tamu hotel adalah sederajat, melebihi pelayanan yang berkaitan dengan bisnis. Kedua, memiliki staf yang dapat membaca kebutuhan tamu tepat sebelum tamu mengatakannya. Ketiga, melakukan inspeksi dan

pemeliharaan instalasi secara detail.

Ketiga persamaan dalam dua konsep tersebut hanya ada di level permukaan saja. Sisi dalam konsep Omotenashi memiliki ciri khas yang tidak ditemukan pada konsep hospitality di Barat.

Perbedaan antara keduanya tercermin pada motivasi para stafnya saat melayani tamu hotel. Staf di hotel Ritz-Carlton tak jarang mendapatkan tip besar dari para tamu yang puas dengan pelayanan mereka.

Terlebih lagi, pendidikan yang diterapkan pada staf hotel ini menekankan bahwa kepuasan pelanggan akan menguntungkan baik pihak perusahaan maupun pihak staf.

Perusahaan juga menerapkan berbagai sistem penghargaan yang menjadi mekanisme pendidikan dan motivasi untuk membuat para stafnya menampilkan pelayanan superior.

Ritz-Carlton menerapkan konsep rasionalitas ekonomi dalam membangun pelayanan yang prima kepada tamunya. Sementara itu, budaya memberikan tip kepada staf hotel tidak ada di Jepang.

Meski begitu, pelanggan tetap bisa menikmati pelayanan terbaik dari para stafnya. Sebab, Omotenashi terjadi antara staf  dan pelanggan yang saling terkesan satu sama lain. Motivasi pelayanan prima para staf tidak berdasarkan pada konsep rasionalitas ekonomi.

Pelaksanaan Omotenashi

Omotenashi bermula pada tata cara upacara minum teh yaitu Cha No Yu. Semua orang yang telah menguasai cara membuat dan menyajikan teh pada upacara tersebut sudah mempelajari tata caranya dalam waktu yang cukup panjang dengan arahan seorang guru.

Seseorang mesti mengikuti apa yang diajarkan oleh gurunya dalam kurun waktu tertentu sampai berhasil menguasai bentuk atau kata yakni ketentuan-ketentuan tentang cara melakukan sesuatu.

Setelah berhasil melakukan hal tersebut, tahap berikutnya adalah mengalahkan bentuk tersebut untuk mengekspresikan diri sendiri. Tahap ketiga adalah berpisah dari gurunya untuk menjadi guru dan mengajarkan ilmunya ke orang lain.

Tiga tahap dalam Omotenashi disebut dengan istilah shu/ha/ri. Istilah tersebut juga digunakan untuk menyebut aturan dasar latihan di Jepang, misalnya dalam berbagai cabang seni, seperti seni merangkai bunga yang disebut Ikebana dan seni kaligrafi yang dalam bahasa Jepang disebut Shodo.

Konsep Omotenashi adalah bentuk yang telah mendarah daging pada diri seseorang sebagai hasil bertapa dalam latihan jangka panjang. Hal inilah yang diterapkan oleh para pelaku bisnis pariwisata, termasuk dalam pelaksanaan wisata halal di Jepang.

Pelayanan yang diberikan oleh seseorang adalah bentuk yang telah dipelajari dan diasah selama bertahun-tahun sampai menjadi karakter orang tersebut. Konsep Omotenashi seperti ruh dari industri jasa di Jepang yang menempatkan pelanggan sebagai poin penting.

Dalam konsep Omotenashi, hubungan antara motenasu gawa (tuan rumah/host) dan motenasareru gawa (tamu) lebih dari sekedar hubungan antara tuan rumah dengan tamu.

Tuan rumah memperlakukan seorang tamu sebagai manusia dan menginginkan agar tuan rumah dan tamu sama-sama merasa bahagia dengan berbagi keramahan, kegembiraan, kesenangan, bahkan terkadang kesedihan bersama.

Tuan rumah menganggap tamu seperti keluarga atau teman dan diharapkan hubungan kedua belah pihak dapat terjalin dengan baik dan berlangsung lama. Pihak tuan rumah berusaha untuk memberikan pelayanan yang lebih baik dari pada yang diharapkan oleh tamu.

Dalam industri pariwisata, termasuk wisata halal di Jepang, konsep inilah yang dipercaya menjadi dasar bagi Jepang untuk terus meningkatkan pelayanan terhadap wisatawan, termasuk pelayanan bagi wisatawan Muslim.

Kenaikan jumlah wisatawan Muslim di Jepang mendorong pelaku bisnis pariwisata untuk memberikan pelayanan berbasis omotenashi yang sesuai agar wisatawan Muslim sebagai tamu dapat merasakan kebahagiaan, kegembiraan, dan kesenangan selama berada di Jepang.

Saat ini, jumlah wisatawan di Jepang semakin mengalami peningkatan sejak Jepang melakukan promosi wisata Visit Japan ke berbagai negara pada tahun 2003. Selain itu, Adanya peluncuran penerbangan berbiaya rendah ke Jepang, telah mendorong sektor pariwisata di negara tersebut.

Hal tersebut membuat banyak wisatawan Muslim, khususnya wisatwan dari Malaysia menganggap Jepang sebagai tujuan wisata mereka. Jepang juga memiliki beberapa strategi dalam meningkatkan pelayanan terhadap wisatawan, salah satunya melalui konsep omotenashi.

Bertambahnya jumlah wisatawan Muslim dari tahun ke tahun yang mengunjungi Jepang menjadikan konsep halal tourism menjadi perhatian utama bagi pelaku pariwisata di Jepang.

Keterbatasan dan Kendala

Masalah yang hingga saat ini dihadapi para wisatawan Muslim saat berkunjung ke Jepang adalah sulitnya mencari makanan atau minuman yang sudah memiliki sertifikat halal.

Hal ini disebabkan karena tidak semua tempat makan di Jepang memahami tentang konsep halal. Selain itu, tak banyak ditemui tempat shalat di hotel, restoran, dan tempat umum lain. Tempat penginapan yang ramah Muslim juga masih minim.

Masalah besar lain yang juga dihadapi para wisatawan Muslim di Jepang adalah kendala bahasa. Saat memilih makanan, para wisawatan kesulitan mengetahui komposisi yang tertera pada kemasan karena umumnya ditulis menggunakan bahasa Jepang.

Kendala utama juga terjadi pada saat Bulan Ramadhan di mana para wisatawan Muslim masih kesulitan untuk mencari makanan waktu sahur tiba. Kesulitan yang terjadi tersebut disebabkan oleh kebiasaan di Jepang di mana makanan hanya tersedia saat pagi hari.[]

BINCANG SYARIAH