Burung (Kota) Suci

Madinah (PHU)—Ahad (9/9/2018) siang itu sudah setengah hari saya ‘terkapar’ lemas di kamar 208 Wisma Daker Madinah. Ketidakberdayaanku itu hari merupakan seri lanjutan dari hari sebelumnya saat masih berada di Jeddah sejak Jum’at (7/9) lalu. Memang di hari terakhir tugas di Jeddah banyak petugas Daker Airport sakit, termasuk saya, mungkin sebagai bentuk solidaritas sesama petugas atau efek dari akumulasi kelelahan dan kangen keluarga yang lama tertahan. Ah sudahlah semoga semua teman yang masih bertugas selalu diberikan kesehatan dan istiqamah sampai akhir tugas.

Saat tengah sendirian di dalam kamar tidak banyak yang bisa saya kerjakan, hanya sesekali membuka hand phone untuk membaca Whats App (WA) siapa tahu ada kiriman foto anak dari keluarga. Ketika sedang membaca WA tiba-tiba terdengar suara ‘kemriyik’ dari luar jendela kamar. Suara merpati-merpati yang mungkin sedang bercumbu dengan pasangannya saya pikir.

Sungguh sesaat tiba-tiba saya terbawa pada suasana kecil, saat di mana saya pernah begitu dekat dengan banyak merpati. Seumuran SD sekitar kelas III kala itu, selain di rumah memiliki banyak merpati di rumah Simbah saya juga memelihara banyak merpati. Bahkan saat saya belajar di Madrasah Diniyyah soredi kampung juga sering mendapatkan tugas tambahan mengecek ‘piyikan’ merpati oleh Mbah Kaji, pemilik rumah yang dipakai belajar diniyyah saat itu.

Lalu bagaimana di tanah suci (Makkah dan Madina) ada begitu banyak merpati? Bahkan di kota-kota lain merpati juga tidak terbilang hitungannya, termasuk di Jeddah. Dari mana mereka berasal?

Tentu banyak pertanyaan seperti itu muncul dari orang yang pernah berkunjung ke Makkah dan Madinah. Merpati ada di berbagai sudut kota. Bersarang di gedung-gedung menjulang, di hotel mewah sekalipun mereka tidak diusir. Di susut-sudut tinggi bangunan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi juga mudah ditemukan kawanan burung lambing kesetiaan ini. Menurut Guru Biologi saya sewaktu masih belajar di Madrasah Aliyah Negeri Semarang, merpati konon burung yang hanya memiliki satu pasangan dalam hidupnya. Bahkan Bu Kris guru saya itu, menganggap kesetiaan merpati seperti Mimi Mintuno, binatang laut yang banyak dijumpai berpasangan di pantai-pantai utara Jawa.

Kembali ke asal-usul merpati di tanah suci. Burung yang jumlahnya ribuan dan hidup bebas itu banyak dipercaya merupakan keturunan merpati peliharaan Siti Aisyah, istri Nabi Muhammad SAW. Dari sisi fisik, merpati Aisyah tidak berbeda dengan burung pada umumnya. Warnanya biru laut cenderung gelap. Penggemar burung menyebutnya warna megan.

Merpati Aisyah biasa beterbangan di tanah lapang beraspal arah pintu 21 atau Pintu Raja Fahd Masjid Nabawi. Juga ada di pemakaman Baqi yang berada di sebelah timur masjid. Bisa jadi merpati di kedua tempat ini burung yang sama. Mereka muncul hampir bersamaan dengan aktivitas ibadah jemaah.

Saat jemaah keluar dari masjid dari Pintu King Fahd, merpati Aisyah satu komando beterbangan dari atap hotel-hotel mewah dan turun ke trotoar lapang. Mereka seolah paham bahwa jemaah akan melemparkan makanan. Benar saja, beberapa jemaah membeli biji-bijian dari beberapa anak kecil penjual pakan burung, kemudian menaburkan ke trotoar.

Karena sudah biasa dengan manusia, merpati Aisyah tak terlalu khawatir bakal ditangkap atau disakiti oleh jemaah. Kalau sekadar di-gusah atau diusir, tidak masalah. Cukup beringsut sedikit, maka jemaah tak bakal mengejar. Bahkan ada keyakinan lain yang berkembang di masyarakat Arab, pantangan besar menyakiti merpati-merpati ini. Bagi pelanggarnya bisa terkena bala yang luar biasa seperti kematian atau sakit jiwa.

Selain diyakini sebagai keturunan merpati Aisyah, merpati tanah suci juga diyakini sebagai keturunan merpati yang pernah menolong Rasul saat bersembunyi di Gua Tsur dalam perjalanan hijrah. Di gua itulah Rasulullah dan sahabatnya, Abu Bakar Ashiddiq, pernah bersembunyi setelah lolos dari kepungan orang-orang kafir. Waktu itu para kafir pengejar itu sudah menemukan gua. Tetapi mereka tak percaya nabi bersembunyi di gua itu, sebab di pintu gua ada sarang laba-laba dan merpati yang bertelur. Tiga hari, Rasul dan sahabatnya itu beristirahat di sini. Setelah kafir Quraisy itu pergi, nabi dan Abu Bakar menuju Madinah.

Cuplikan cerita tentang Jabal Tsur ini adalah penggalan kisah hijrah nabi. Cerita tentang Nabi Muhammad di Jabal Tsur ini terdapat dalam kita suci ummat Islam, Al-Quran. Misalnya dalam Surat Al Anfal (8) ayat 30; “dan (ingatlah) ketika orang-orang kafir (Quraisy) memiliki daya upaya terhadapmu (Nabi SAW) untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.”

Dalam Islam, ada keyakinan tidak boleh menyakiti hewan. Apalagi di Tanah Suci dan hewan tersebut dipercaya berkaitan dengan Nabi Muhammad seperti merpati Aisyah atau merpati Gua Tsur. Bahkan kalau bisa harus menyayangi. Karena itulah, merpati-merpati tanah suci berkembang biak dengan baik. Lalu sebenarnya merpati ini darimana tidak ada kepastiannya, wa Allah a’lam. (ab/ab).

KEMENAG RI

Menikmati Ramadhan yang Istimewa di Kota Tua Jeddah

Kota Tua Jeddah atau dikenal Al-Balad bisa menjadi destinasi ideal merayakan bulan suci Ramadhan di Arab Saudi. Tempat ini menjadi salah satu landmark atau tempat bersejarah yang paling populer di kota Jeddah.

Penduduk lokal dan non-lokal bisa menikmati jalanan dengan menyusuri gang-gang tua dan menyaksikan sisa-sisa Hijaz tua. Al-Balad merupakan tempat wisata favorit di kota Jeddah.

Menurut sumber dari Komisi Saudi untuk Pariwisata dan Warisan Nasional (SCTH), keberadaan Al-Balad diperkirakan berasal dari zaman sebelum Islam. Beberapa bangunan di sana berusia 400 tahun. Karena itulah, Kota Tua Jeddah terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO.

Titik balik dalam sejarah di Jeddah terjadi selama masa pemerintahan Khalifah Ustman bin Affan pada 26 Hijriyah/647 Masehi. Kala itu, sahabat Nabi tersebut memerintahkan Jeddah menjadi pelabuhan laut dari kota suci Makkah. Hal itu untuk memfasilitasi perdagangan regional serta menerima jamaah haji dan umrah.

Di Kota Tua Jeddah, ada sejumlah monumen dan bangunan peninggalan bersejarah, seperti tembok Jeddah Tua dan alun-alun terbuka bersejarah, yaitu Al-Mazloom, Al-Sham, Al-Yaman, dan Al-Bahr Haras. Kawasan ini juga merupakan rumah bagi sejumlah masjid bersejarah, di antaranya Masjid Ustman bin Affan, Masjid Al-Syafe’i, Masjid Al-Basha, Masjid Akkash, Masjid Al-Mi’maar dan Masjid Al-Hanafi.

“Ramadhan dan bangunan bersejarah sama-sama menciptakan atmosfer yag cukup,” kata Mohammed Basha, dilansir di Arab News, Jumat (25/5).

Warga bisa berjalan menyusuri jalan kenangan di Al-Balad. Area bersejarah itu merupakan tempat abadi yang bisa dinikmati orang-orang dari semua usia. Seorang Jeddawi (warga Jeddah) bernama Waleed Shalabi mengatakan, Ramadhan di Al-Balad mengingatkannya pada masa kecilnya.

“Adalah suatu keharusan bagi saya mengunjungi Al-Balad di bulan Ramadhan agar saya dapat menghidupkan kembali kenangan itu,” kata Shalabi.

Jeddawi lainnya, Nawal Aburehla, mengatakan baginya Ramadhan di Kota Tua Jeddah telah menjadi sebagian dari hidup mereka dan yang lainnya sebelum mereka telah menjalaninya. “Itu adalah sesuatu yang akan kami berikan kepada generasi mendatang, suasana indah Ramadhan di Jeddah Bersejarah,” kata Aburehla.

Pemilik kafe budaya dan warisan di Kota Tua Jeddah bernama ‘Cafe Magad’, Mazen Al-Saqaf, memuji aktifnya area bersejarah tersebut. Ia mengatakan, umumnya Kota Tua Jeddah sangat istimewa saat Ramadhan. Di samping, dengan festival yang menghidupkan kembali area bersejarah itu, orang-orang di kota itu secara alami menikmati mengunjungi Kota Tua Jeddah pada bulan Ramadhan.

“Penduduk setempat, non-lokal, turis, semua orang mengunjungi ‘Old Jeddah’ di Ramadhan karena keaktifannya,” ujar Al-Saqaf.

Banyak penduduk setempat yang menyimpan kenangan mereka di Kota Tua Jeddah ini. Menurut Fouad Hakeem, tempat itu mengingatkannya tentang masa lalu seperti yang diceritakan oleh kakek mereka. Di Al-Balad, mereka bisa langsung melihat kisah-kisah tersebut.

“Suasana di sini di Al-Balad berbeda dari suasana di utara kota di Jeddah, anda mengalami masa lalu. Di sini, kami masih merasa sangat muda, ketika saya berkumpul dengan teman-teman saya di sini, saya tidak merasa lebih tua. Saya menikmati waktu saya bersama teman-teman saya seperti masa lalu yang baik. Membawa saya kembali ke masa lalu,” kata Hassnaa Abdulwasi.

Warga bernama Zakia Al-Qurashi mengatakan di Kota Tua Jeddah mereka bisa benar-benar menikmati pengalaman Ramadhan. Menurutnya, komunikasi di antara orang-orang, baik itu di pasar tumpah (jalanan), saat berjalan melalui gang-gang, sangat terasa manusiawi. Mereka saling menyapa dan mendoakan satu sama lain akan Ramadhan yang bahagia.

“Tidak seperti jenis komunikasi di luar area bersejarah, di mana komunikasi lebih digital. Di sini, orang-orang masih berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain,” kata Al-Qurashi.

 

REPUBLIKA