Malaikat Mendoakan Orang yang Menjaga Wudhu

SIAPA yang tidak senang didoakan dalam kebaikan? Setiap orang pasti senang didoakan dalam kebaikan. Apalagi jika yang mendoakan adalah para malaikat. Siapakah orang yang mendapat doa dari para malaikat?

Orang yang senantiasa dalam keadaan suci dengan menjaga wudhu akan didoakan oleh para malaikat. Para malaikat yang langsung akan memonohonkan ampunan kepada Allah bagi orang-orang yang senantiasa menjaga wudhu.

Simaklah Hadis Rasulullah ﷺ berikut ini.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Buraidah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

دخلت الجنة فرأيت بلالاً فيها فقلت لبلال بم سبقتني إلى الجنة فقال لا أعرف شيئاً إلاّ أني لا أحدث وضوأً إلاّ أصلي عقيبه ركعتين

“Aku memasuki surga, tiba-tiba aku melihat Bilal sudah berada di sana. Akupun bertanya kepada Bilal : Amalan apa yang menjadikanmu mendahuluiku masuk surga?” Dia menjawab : “Aku tidak tahu apapun, hanya saja aku tidak pernah berhadats kecuali aku langsung berwudlu dan shalat dua rakaat setelahnya.” (HR: Ahmad no 22487)

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَهُ ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ، فَيُقْبِلُ عَلَيْهِمَا بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ إِلا وَجَبَ لَهُ الْجَنَّةُ

“Tidaklah seorang muslim berwudhū’ lalu dia membaguskan wudhū’ nya dan shalat 2 raka’at dalam keadaan hati dan wajahnya khusyū’ pada 2 raka’at (shalat) tersebut kecuali wajib baginya untuk mendapatkan surga.” (HR Muslim)

Kita mengetahui bahwa jumlah malaikat itu sangat banyak. Lebih banyak dari jumlah manusia di bumi ini. Bisa dibayangkan jika seluruh malaikat memohonkan ampunan kepada Allah untuk kita, betapa beruntungnya kita. Mudah-mudahan dosa-dosa kita diampuni oleh Allah Swt. Karena itu, berusahalah menjadi orang yang senantiasa menjaga wudhu.

Dari Abdullah bin Umar radliyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ بَاتَ طَاهِرًا، بَاتَ فِي شِعَارِهِ مَلَكٌ، فَلَمْ يَسْتَيْقِظْ إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِكَ فُلَانٍ، فَإِنَّهُ بَاتَ طَاهِرًا

“Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa ‘Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci.’” (HR. Ibn Hibban 3/329. Syuaib Al-Arnauth mengatakan, Perawi hadis ini termasuk perawi kitab shahih).

Menjaga wudhu adalah bagian dari karakter seorang mukmin sejati. Karena dengan menjaga wudhu, kita akan lebih mampu menjaga perilaku kita. Mulut kita akan terkontrol untuk tidak membicarakan hal-hal yang buruk.

Mata kita juga akan terjaga untuk tidak melihat hal-hal yang diharamkan Kita akan lebih mampu menjaga telinga kita dari mendengarkan pembicaraan yang negatif. Tangan kita juga lebih teraga untuk tidak melakukan perbuatan tercela.

Demikian juga kita akan jaga kaki kita untuk tidak melangkah ke tempat tempat maksiat itu semua kita lakukan karena kita merasa dalam keadaan suci berwudhu. Kita merasa tidak nyaman untuk mengotori kesucian diri dan jiwa kita dengan perkataan dan perbuatan tercela.

Dengan demikian, pantaslah para malaikat memohonkan ampunan bagi orang orang mukmin yang menjaga wudhu. Inilah doa para malaikat bagi orang-orang mukmin sejati.

ٱلَّذِينَ يَحۡمِلُونَ ٱلۡعَرۡشَ وَمَنۡ حَوۡلَهُۥ يُسَبِّحُونَ بِحَمۡدِ رَبِّهِمۡ وَيُؤۡمِنُونَ بِهِۦ وَيَسۡتَغۡفِرُونَ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَا وَسِعۡتَ كُلَّ شَىۡءٍ رَّحۡمَةً وَعِلۡمًا فَٱغۡفِرۡ لِلَّذِينَ تَابُواْ وَٱتَّبَعُواْ سَبِيلَكَ وَقِهِمۡ عَذَابَ ٱلۡجَحِيمِ

رَبَّنَا وَأَدۡخِلۡهُمۡ جَنَّٰتِ عَدۡنٍ ٱلَّتِى وَعَدتَّهُمۡ وَمَن صَلَحَ مِنۡ ءَابَآئِهِمۡ وَأَزۡوَٰجِهِمۡ وَذُرِّيَّٰتِهِمۡ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ

وَقِهِمُ ٱلسَّيِّـَٔاتِ وَمَن تَقِ ٱلسَّيِّـَٔاتِ يَوۡمَئِذٍ فَقَدۡ رَحِمۡتَهُۥ وَذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ

“(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala.”

“Ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan isteri-isteri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”

“dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan) kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS: Al Mukmin: 7-9)

Setiap perbuatan yang kita lakukan mesti mengandung konsekuensi. Perbuatan baik menimbulkan kebaikan dan maslahat, sedangkan perbuatan buruk menimbulkan keburukan dan mudharat.

Sebagai orang yang berakal dan beriman, semestinya kita selalu berusaha melakukan perbuatan baik, sehingga menimbulkan konsekuensi kebaikan pula.

Salah satu perbuatan baik dan perlu untuk diamalkan adalah menjaga wudhu. Wudhu akan menimbulkan kebaikan yang banyak.

Setiap tetes air yang kita gunakan untuk berwudhu, insya Allah akan dicatat sebagai kebaikan bagi diri kita. Bahkan, jika setelah berwudhu kita pergi ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah, maka setiap langkah kita juga dicatat sebagai kebaikan.

Rasulullah ﷺ  bersabda;

عن أبي هريرة -رضي الله عنه- مرفوعاً: «إذا توضَّأ العبدُ المسلم، أو المؤمن فغسل وَجهَهُ خرج مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ نظر إليها بِعَينَيهِ مع الماء، أو مع آخر قَطْرِ الماء، فإذا غسل يديه خرج من يديه كل خطيئة كان بَطَشَتْهَا يداه مع الماء، أو مع آخِرِ قطر الماء، فإذا غسل رجليه خرجت كل خطيئة مَشَتْهَا رِجْلَاه مع الماء أو مع آخر قطر الماء حتى يخرج نَقِيًا من الذنوب».
[صحيح.] – [رواه مسلم.]

Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu ‘anhu- secara marfū’, “Apabila seorang muslim atau mukmin berwudhu, lalu ia membasuh wajahnya, akan keluarlah dari wajahnya setiap dosa akibat pandangan kedua matanya bersamaan dengan air, atau bersama dengan tetesan air terakhir. Lalu jika ia membasuh kedua tangannya, akan keluarlah setiap dosa akibat kekerasan yang dilakukan kedua tangannya bersamaan dengan air, atau bersama dengan tetesan air yang terakhir. Lalu jika ia membasuh kedua kaki, akan keluarlah setiap dosa akibat langkah kedua kakinya bersamaan dengan air, atau bersama tetesan air terakhir, hingga ia keluar (dari wudu) bersih dari dosa.”  (HR: Muslim]

“Barangsiapa yang berwudhu dalam keadaan masih suci Allah akan menulis sepuluh kali pahala kebaikan baginya dengan wudhu itu.” (HR Abu Daud ).

Ulama menjaga wudhu

Apabila kita baca dan cermati biografi para ulama, maka kita dapati mereka amat bersung-sungguh menjaga wudhunya dalam setiap keadaan. Sebagai contoh, Al-Imam asy-Syathibi, Beliau adalah seorang yang buta, akan tetapi tidaklah beliau duduk di suatu majelis ilmu, kecuali beliau selalu dalam keadaan suci.

Bahkan di antara ulama ada yang tidak mau membaca hadis-hadis Rasulullah ﷺ kecuali mereka berwudhu terlebih dahulu. Bukan karena mereka berpendapat wajibnya berwudhu ketika hendak membaca hadis, akan tetapi yang mendasari hal itu adalah kesungguhan mereka untuk memuliakan ilmu dan untuk mendapatkan keutamaan yang besar dalam wudhu.

Wudhu bukanlah amalan yang remeh dan sepele, melainkan merupakan amalan yang besar di sisi Allah Swt. Sehingga mendorong kita untuk selalu dalam kondisi suci dan berupaya bagaimana berwudhu dengan sempuna, yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad  ﷺ.

Kapan orang harus berwudhu?

Sangat dianjurkan bagi seseorang untuk selalu berada dalam keadaan bersih dan suci lahir batin. Karena hal ini akan berdampak kepada perilaku dan perbuatan orang tersebut.

Orang yang selalu punya wudhu, akan berusaha untuk menjaga perilaku maupun perbuatannva tetap bersih dan sangat berhati-hati. La akan selalu mengikat dan menjaga setiap kegiatannya, ucapan, kata-kata, maupun perilaku dan perbuatan-nya agar selalu di dalam koridor kesucian jiwa dan kebersihan hati.

Berikut beberapa waktu yang disunnahkan (dianjurkan) untuk berwudhu, kecuali bagi orang-orang yang selalu menjaga dirinya dalam keadaan wudhu.

Pertama,  hendak ke Masjid

Langkah menuju masjid adalah langkah menuju kebaikan, maka sudah tentu langkah itu mempunyai nilai ibadah. Setiap perbuatan akan mempunyai nilai ibadah kalau diniatkan dengan benar dan dibarengi dengan kebersihan kesucian hati serta semata-mata dikeakan nanya untuk mengharap ridha Allah Swt

Berwudhu sebelum berangkat shalat berjamaah ke masjid merupakan salah satu sunnah Nabi Muhammad Saw. Allah Swt. Menjanjikan berkah pada setiap langkah kaki kanan maupun berkah pada setiap langkah kaki kanan maupun kiri berupa penghapusan dosa dan penambahan pahala.

Langkah kita bernilai ibadah. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ. Dari bnu Umar Rasululiah ﷺ bersabda

Hadis dari Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من توضأ للصلاة فأسبغ الوضوء ثم مشى إلى الصلاة المكتوبة فصلاها مع الناس، أو مع الجماعة، أو في المسجد غفر الله له ذنوبه

Siapa yang berwudhu untuk shalat dan dia sempurnakan wudhunya, kemudian dia menuju masjid untuk shalat fardhu. Lalu dia ikut shalat berjamaah atau shalat di masjid maka Allah mengampuni dosa-dosanya.” (HR. Muslim).

Kedua, Menyentuh Mushaf AI-Qur an

Al-Qur’an adalah kalanullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai kitab suci umat Islam. Dalam rangka memuliakan Al-Qur’an sebagai firman Allah, maka disunnahkan untuk berwudhu sebelum memegang kitab Suci ini.

Al Imam Ath Thabrani dan Al Imam Ad Daraquthni meriwayatkan hadis Rasulullah ﷺ

أن لا يمس القرآن إلا طاهر

“Tidak boleh menyentuh Al-Quran kecuali orang yang sudah bersuci.” (HR. Malik dalam Al-Muwatha’ no. 419 dan Ad-Darimi no. 1266).

Berwudhu sebelum membaca Al-Qur’an adalah wujud kita memuliakan Allah Swt, sebab membaca Al-Qur’an adalah semulia-mulia zikir kepada Allah Swt

Ketiga, hendak Tidur

Termasuk sunnah Rasulullah adalah berwudhu sebelum tidur. Hal ini bertujuan agar setiap muslim dalam kondisi suci pada setiap keadaannya, walaupun ia dalam keadaan tidur.

Hingga bila memang ajalnya datang menjemput, maka dia pun kembali ke hadapan Rabbnya dalam keadaan suci. Sunnah ini juga akan mengarahkan umat Muslim pada mimpi yang baik dan terjauhkan diri dari permainan setan yang selalu mengincarnya (lihat Fathul Bari 11/125 dan Syarah Shahih Muslim 17/27).

Tentang sunnah ini, Rasulullah telah menjelaskan dalam sabda beliau

Dari Abdullah bin Umar radliyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ بَاتَ طَاهِرًا، بَاتَ فِي شِعَارِهِ مَلَكٌ، فَلَمْ يَسْتَيْقِظْ إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِكَ فُلَانٍ، فَإِنَّهُ بَاتَ طَاهِرًا

“Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa ‘Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci.’” (HR: Ibn Hibban 3/329. Syuaib Al-Arnauth mengatakan, Perawi hadis ini termasuk perawi kitab shahih).

Lebih jelas lagi, dari riwayat sahabat Mu’adz bin Jabal, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah seorang muslim tidur di malam hari dalam keadaan dengan berzikir dan bersuci, ke mudian ketika telah terbangun dari tidurnya lalu meminta kepada Allah kebaikan dunia dan akhirat, melainkan pasti Allah akan mengabulkannya.” (dalam Fathul Bari juz 11/124)

Demikianlah sunnah yang selalu dijaga oleh Rasulullah ﷺ ketika hendak tidur, yang semestinya kita sebagai muslim meneladaninya. Bahkan ketika beliau terbangun dari tidurnya untuk buang hajat, maka setelah itu beliau berwudhu lagi sebelum kembali ke tempat tidurnya.

Sebagaimana yang diceritakan Abdullah bin Abbas ra: “Bahwasanya pada suatu malam Rasulullah pernah terbangun dari tidurnya untuk menunaikan hajat. Kemudian beliau membasul wajalı dan tangannya (berwudhu) lalu kembali tidur.” (HR Bukhari dan Abu Dawud).

Keempat, hendak berhubungan intim

Rasulullah ﷺ juga memberikan bimbingan bagi para pasutri (pasangan suami istri ketika hendak berhubungan badan. Hendaknya bagi pasutri berwudhu dahulu kemudian berdoa sebelum melakukannya, dengan doa yang telah diajarkan oleh Rasulullah ﷺ.

Rasulullah  sallam bersabda,

إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Jika seseorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah ia berwudhu’ terlebih dahulu.” (HR. Muslim)

Wudhu yang dilakukan sebelum berhubungan antara suami dengan istrinya bertujuan agar setan tidak ikut campur dalam acara yang sakral ini. Kelak ketika mereka kemudian dikaruniai anak, maka setan tidak mampu memudharatkannya. Hal ini sesungguhnya merupakan ‘pembelajaran awal terhadap sang calon anak yang insya Allah akan dikaruniakan kepada pasangan suami-istri tersebut, apabila Allah Swt. Mengizinkan.*

HIDAYATULLAH

Mengganti Popok Bayi, Apakah Membatalkan Wudhu?

Di antara perkara yang sering menjadi pertanyaan di kalangan masyarakat, terutama di kalangan kaum ibu, adalah mengenai batalnya wudhu ketika mengganti popok bayinya. Apakah mengganti popok bayi bisa membatalkan wudhu?

Mengganti popok tidak termasuk bagian dari perkara yang membatalkan wudhu. Karena itu, jika seorang ibu, atau lainnya, hanya mengganti popok bayinya tanpa ada persentuhan langsung antara telapak tangannya dengan kemaluan bayinya, baik kubul maupun dubur, maka wudhunya tidak batal.

Namun jika pada saat mengganti popok bayinya ada persentuhan langsung antara telapak tangannya dan kemaluan bayinya, maka wudhunya menjadi batal. Hal ini karena menyentuh kemaluan orang lain, baik kubul maupun dubur, dengan telapak tangan tanpa ada penghalang, meskipun kemaluan bayi dan anak sendiri, menyebabkan wudhu menjadi batal.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Darul Ifta’ Al-Mishriyah berikut;

السؤال : هل غيار حفاظات الطفل لغاية عمر سنتين ينقض الوضوء؟

الجواب :إذا وقع أثناء تغيير حفاظة الطفل لمس مباشر لفرجه – القبل أو الدبر – بباطن الكف: انتقض وضوء اللامس، لحديث بسرة بنت صفوان رضي الله عنها أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (إِذَا أَفْضَى أَحَدُكُمْ بِيَدِهِ إِلَى فَرْجِهِ فَلْيَتَوَضَّأْ) رواه النسائي. يقول الخطيب الشربيني رحمه الله: الإفضاء لغة: المس ببطن الكف. فثبت النقض في فرج نفسه بالنص، فيكون في فرج غيره أولى; لأنه أفحش؛ لهتك حرمة غيره

Pertanyaan; Apakah mengganti popok bayi yang sudah berumur dua tahun dapat membatalkan wudhu?

Jawaban; Jika terjadi persentuhan langsung saat mengganti popok dengan kemaluan bayi, baik kubul maupun dubur, melalui telapak tangan, maka wudhu orang yang menyentuh menjadi batal. Ini berdasarkan hadis Busrah binti Shafwan, bahwa Nabi Saw bersabda; Jika kalian menyentuh kemaluannya dengan tangannya, maka hendaklah berwudhu. Hadis riwayat Imam Al-Nasa-i. Al-Khathib Al-Syarbini berkata; Al-Ifdha secara bahasa adalah menyentuh dengan telapak tangan. Karena itu, wudhu menjadi batal dengan menyentuh kemaluan sendiri secara nash, dan menyentuh kemaluan orang lain lebih utama karena telah merusak kehormatan orang lain. 

BINCANG SYARIAH

Keutamaan Melanggengkan Wudhu dalam Islam

Wudhu adalah salah satu bagian ibadah wajib dari rangkaian sebelumn ibadah lainnya, salah satunya adalah shalat. Wudhu berfungsi untuk menghilangkan hadas kecil. Adapun seseorang yang tidak batal wudhunya lalu hendak melaksanakan shalat wajib atau sunnah lainnya, tetap disunnahkan untuk memperbarui wudhu atau melanggengkan wudhu. Dalam Islam, ada keutamaan tersendiri bagi seseorang yang melanggengkan wudhunya.

Seseorang yang senantiasa dalam keadaan suci dari hadas, di mata Allah memiliki ganjaran dan keutamaan tersendiri. Bahkan saat ia masih dalam keadaan suci, namun telah menggunakan wudhunya untuk shalat fardu, ia mendapat sepuluh kebaikan jika memperbarui wudhunya. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis,

وَقَدْ رُوِيَ فِي حَدِيثٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ تَوَضَّأَ عَلَى طُهْرٍ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِهِ عَشْرَ حَسَنَاتٍ

Artinya: Telah diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda: ” Barangsiapa berwudlu dalam keadaan suci maka Allah akan mencatat baginya sepuluh kebaikan.” (HR. Tirmizi)

Kualitas ini dicatat sebagai hadis yang lemah. Akan tetapi, terdapat hadis lain sebagai penguat, yaitu tentang kebiasaan Rasulullah yang senantiasa memperbarui wudhunya saat hendak shalat,

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ لِكُلِّ صَلَاةٍ فَلَمَّا كَانَ عَامُ الْفَتْحِ صَلَّى الصَّلَوَاتِ كُلَّهَا بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ فَقَالَ عُمَرُ إِنَّكَ فَعَلْتَ شَيْئًا لَمْ تَكُنْ فَعَلْتَهُ قَالَ عَمْدًا فَعَلْتُهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Artinya: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi  dari Sufyan dari Alqamah bin Martsad dari Sulaiman bin Buraidah dari Bapaknya ia berkata; “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berwudlu ketika akan shalat. Dan pada hari penaklukan kota Makkah, beliau mengerjakan semua shalat dengan satu wudlu dan mengusap khufnya. Lalu Umar berkata; “Sungguh, engkau melakukan sesuatu yang tidak biasa engkau lakukan, ” beliau menjawab: “Aku sengaja melakukannya.” Abu Isa berkata; “Hadis ini derajatnya hasan shahih.” (HR. Tirmizi)

Juga terdapat hadis Nabi bahwasanya wudhu dan shalat adalah amalan yang paling utama,

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمْ الصَّلَاةَ وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Ali bin Muhammad] berkata, telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Sufyan dari Manshur dari Salim bin Abu Al Ja’d dari Tsauban, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Beristiqamahlah kalian, dan sekali-kali kalian tidak akan dapat menghitungnya. Dan beramallah, sesungguhnya amalan kalian yang paling utama adalah shalat, dan tidak ada yang menjaga wudlu kecuali orang mukmin.” (HR. Ibnu Majah)

Syekh Wahbah Zuhaili, dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuhu juga menyebutkan bahwa wudhu adalah cahaya bagi pelakunya. Dan melanggengkan wudhu, saat air mencukupi bukanlah suatu tindakan yang berlebihan. Wallahu a’lam.

BINCANG MUSLIMAH

Berwuduk Pakai Air Panas dari Water Heater Hotel, Sahkah?

Sebelum melaksanakan shalat, menurut fikih seseorang harus berwuduk terlebih dahulu. Pun sebelum membaca Al-Qur’an, diwajibkan suci dari hadas kecil dan besar. Pun ketika masuk masjid harus dalam keadaan suci. Begitu juga ketika sedang tawaf, harus dalam keadaan suci.

Bersuci itu menggunakan air yang suci lagi mensucikan—bila tak didapati air,maka boleh tayamum dengan debu. Dalam konteks ini kita akan membicarakan air sebagai alat bersuci. Kemudian, muncul pertanyaan, bagaimana hukumnya  berwuduk pakai air panas dari water heater hotel, sahkah wuduknya tersebut?

Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarah al Muhadzab mengatakan boleh hukumnya bersuci dengan air panas. Hukumnya pun tidak makruh. Pasalnya, tidak ada larangan untuk bersuci menggunakan air yang dipanaskan. Imam Nawawi berkata;

وأما  المسخن فالجمهور أنه لا كراهة فيه وحكى أصحابنا عن مجاهد كراهته: وعن أحمد  كراهة المسخن بنجاسة وليس لهم دليل فيه روح: ودليلنا النصوص المطلقة ولم  يثبت نهي

 Artinya; adapun masalah air panas, maka jumhur ulama mengatakan tidak makruh bersuci dengannya, dan ada yang meriwayatkan dari kalangan sahabat kita, dari Mujahid yang menyebut makruh. Imam Ahmad pun mengatakan makruh hukumnya, jika api yang digunakan bercampur najis, akan tetapi tidak ada bagimereka dalil yang kuat.

Dan dalil kami dari nash yang mutlak, dan tidak ada ketetapan larangan menggunakan air yang dipanaskan.

Imam Syafi’i dalam kitab Al Umm menjelaskan semua air pada dasarnya adalah suci, kecuali air tersebut terkena najis. Adapun berwuduk atau bersuci dengan menggunakan air yang dipanaskan hukumnya boleh, sekalipun air tersebut dipanaskan menggunakan api yang bercampur dengan najis.

Lebih lanjut, Imam Syafi’i juga menjelaskan kebolehan berwuduk pakai air panas, sebab api tidak membuat air tersebut menjadi najis. Api itu tidak mengubah dan menggangu kesucian air. Untuk itu, sahabat Nabi Umar bin Khattab pernah memakai air panas sebagai wadah untuk bersuci.

قال  الشّافعي: فكلُّ الماء طهور ما لم تخالطْه نجاسة، ولا طهور إلا فيه، أو في  الصَّعيد، وسواء كل ماء من بردٍ أو ثلجٍ أذيب، وماءٍ مسخَّن وغيرِ مسخَّن؛  لأن الماء له طهارة، والنار لا تُنَجِّس الماء. قال الشّافعي ـ رحمه الله  ـ: أخبرنا إبراهيم بن محمد، عن زيد بن أسلم، عن أبيه؛ أن عمر بن الخطاب ـ  رضي الله عنه ـ كان يسخَّن له الماء، فيغتسل به، ويتوضأ به. قال الشّافعي:  ولا أكره الماء المشمَّس إلاَّ من جهة الطِّبِّ

Artinya; Al-Syafi’i berkata: Semua air adalah suci selama tidak bercampur dengannya najis, dan tidak ada bersuci kecuali dengan menggunakan air, atau menggunakan debu (bila air tak ada). Sama ada air itu berasal dari air dingin, atau air es yang mencair, dan air panas dan tidak dipanaskan, karena air berfungsi untuk mensucikan, dan api tidak membuat najis air.

Imam Syafi’i-semoga Allah merahmatinya-, berkata: Ibrahim bin Muhammad mengatakan kepada kami, atas otoritas Zaid bin Aslam, atas otoritas ayahnya; bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, biasa memanaskan air untuknya, dan dia akan mandi dengannya dan berwudhu dengan air yang dipanaska itu.

Al-Syafi’i berkata: Tidak ada kemakruhan air musyammas (panaskan matahari), kecuali dari sudut pandang medis.

Terakhir, mengutip pendapat Imam Mawardi al-Hawi al-Kabir  yang menjelaskan terkait pentingnya membedakan antara air yang dipanaskan menggunakan api atau listrik dengan air yang dipanaskan langsung cahaya matahari (air musyammas). Keduanya sangat berbeda. Adapun yang dipanaskan cahaya matahari, itu yang dihukumi makruh. Sedangkan yang dipanaskan api boleh hukumnya, tidak makruh.

Simak penjelasan Imam al-Mawardi sebagaimana berikut ini;

فصل : وأما قوله مسخن وغير مسخن فسواء، والتطهر به جائز,  فإنما قصد بالمسخن أمرين, أحدهما: الفرق بين المسخن بالنار وبين الحامي بالشمس في أن المسخن غير مكروه والمشمس مكروه

Artinya; pasal; adapun perkataanya “air yang dipanaskan dan tidak dipanaskan, maka itu sama saja, dan bersuci menggunakan air itu boleh, maka yang dimaksud dengan air “dipanaskan” ada dua pengertian, pertama; berbeda antara dipanaskan dengan api, dan dipanaskan dengan panas cahaya matahari, nah yang dipanaskan (dengan api dan sejenis) itu hukumnya tidak makruh, sedangkan yang menggunakan cahaya matahari (musyamas) itu hukumnya yang makruh.

Sebagai kesimpulan, berwuduk pakai air panas  yang hukumnya boleh. Dengan demikian, seseorang yang berwuduk pakai air panas dari water heater hotel,hukumnya adalah sah dan boleh. Tidak ada kemakruhan di dalamnya. Pasalnya itu berbeda dengan air musyammas.

BINCANG SYARIAH

Tiga Alasan Pentingnya Bersuci

Kunci sholat itu adalah bersuci.

Bersuci sangat penting bagi seorang Muslim agar amal ibadahnya sah. Seseorang yang hendak melaksanakan sholat terlebih dulu harus bersuci.

Bila seseorang mempunyai hadas besar, maka ia harus bersuci dengan mandi junub. Sedang bila mempunyai hadas kecil maka ia harus berwudhu atau bertayamum.

Berikut tiga alasan dalam kitab at Targib wat Tarhib tentang pentingnya bersuci dalam Islam.

1. Tanda seseorang mempunyai iman

Sebagaimana dalam kitab at Targib wat Tarhib menuliskan sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Imam Tirmidzi.

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : اَلطُّهُوْرُنِصْفُ الْاِيْمَانِ.

Nabi Muhammad SAW, “Bersuci itu sebagian dari iman,”

Orang yang beriman pasti akan bersuci. Sebab Allah SWT memerintahkan bersuci kepada hambanya sebelum rukuk dan sujud menyembahnya. Sebagaimana dapat ditemukan keterangannya dalam surat Al Maidah ayat 6. 

2. Agama didirikan dengan prinsip bersuci

Sebagaimana dalam kitab at Targib wat Tarhib menuliskan sebuah hadits Nabi Muhammad SAW,

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : بُنِىَ الدِّيْنُ عَلَى النَّظَافَةِ.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Didirikan agama itu di atas dasar prinsip kesucian,”

Islam mengajarkan pemeluknya untuk menyucikan diri lahir dan batin. Menyucikan batin maksudnya agar suci dari setiap penyakit-penyakit hati. Menyucikan lahir maksudnya agar suci dari hadas kecil dan besar. 

3. Kunci sah sholat

Sebagaimana dalam kitab at Targib wat Tarhib menuliskan sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmidzi

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مِفْتَاحُ الصَّلَا ةِ الطُّهُوْرُ.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kunci sholat itu adalah bersuci.” 

KHAZANAH REPUBLIKA

Berwudhu Sucikan Batin dan Rontokan Dosa

Berwudhu tak sekadar membersihkan diri dari hadas kecil namun dapat menyucikan batin dan merontokan dosa-dosa.

Semisal seseorang yang punya penyakit iri hati, dengki, dendam, membuatnya selalu menggunjing bahkan memfitnah orang lain. Sehingga dari mulutnya keluar kata-kata fitnah, celaan, cacian, hinaan, merendahkan orang lain dan lain sebagainya. 

Maka orang yang berkumur dalam berwudhu berharap kesehatan lahir bagi mulut dan apa yang ada didalamnya, serta memohon dibukakan pintu ampunan dan dihapuskan semua dosa yang berawal dari mulut, dan memohon dijauhkan dari setiap perkara dosa mulut. Begitupun pada anggota tubuh lainnya. 

Sebagaimana dalam kitab at Targib wat Tarhib menuliskan sebuah hadits Nabi Muhammad ﷺ :

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : مَنْ تَوَضَّأَفَاَحْسَنَ الْوُضُوْءَوَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ فِيْهِمَا بِشَيْءٍ مِنَ الدًّنْيَاخَرَجَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ.

Nabi Muhammad ﷺ bersabda: Barangsiapa berwudhu, lalu ia berwudhu dengan sebaik-baiknya, dan kemudian ia sholat dua rakaat (sholat syukrul wudhu), lalu dia tidak berbisik di hatinya ketika dalam sholatnya tentang sesuatu urusan dunia (tidak memikirkan dunia) maka dia terbebas dari dosa-dosanya seperti hati ia dilahirkan oleh ibunya. 

Selain itu dalam hadits lainnya dijelaskan:

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : اِذَاتَوَضَّأَالْعَبْدُ الْمُسْلِمُ فَتَمَضْمَضَ خَرَجَتِ الْخَطَايَامِنْ فِيْهِ, فَاِذَااسْتَنْثَرَخَرَجَتِ الْخَطَايَامِنْ أَنْفِهِ, فَاِذَاغَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَتِ الْخَطَايَامِنْ وَجْهِهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَشْفَارِعَيْنَيْهِ , فَاِذَاغَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَتِ الْخَطَايَامِنْ يَدَيْهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ, فَاِذَامَسَحَ بِرَأْسِهِ خَرَجَتِ الْخَطَايَامِنْ رَأْسِهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ أُذُنَيْهِ ,وَاِذَاغَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتِ الْخَطَايَامِنْ رِجْلَيْهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِرِجْلَيْهِ ثُمَّ كَانَ مَشْيُهُ اِلَى الْمَسْجِدِ وَصَلَاتُهُ نَافِلَةً لَهُ.

Nabi Muhammad ﷺ bersabda: Ketika berwudhu seorang hamba Muslim kemudian dia berkumur maka keluarlah dosa-dosanya dari mulutnya. Ketika memasukan dan menyemprotkan air ke hidung maka keluar dosa-dosanya dari hidungnya. Ketika ia basuh wajahnya maka keluarlah  dosa-dosanya dari wajahnya hingga keluar juga dari bawah kelopak kedua matanya. Ketika ia membasuh kedua tangannya maka keluar dosa-dosanya dari kedua tangannya hingga keluar juga dari bawah kuku-kukunya. Ketika ia membasuh kepalanya maka keluarlah dosa-dosanya dari kepalanya hingga keluarlah dari bawah telinganya. Ketika dia membasuh kedua kakinya keluarlah dosa-dosanya dari kedua kakinya hingga keluar di bawah kuku kedua kakinya. Kemudian jalannya hamba Muslim itu ke masjid dan sholatnya hamba Muslim itu menjadi tambahan pahala baginya. 

IHRAM

Orang Sakit Yang Tidak Bisa Ke Tempat Wudhu, Bagaimana Wudhunya?

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Soal

Ada orang yang sakit dan ia tidak mampu untuk pergi ke tempat wudhu. Maka cara wudhunya? Apakah ia boleh tayamum padahal masih mungkin ia meminta seseorang untuk membawakan air untuknya?

Syaikh menjawab

من لا يستطيع الوصول إلى دورة المياه فإنه يحضر له الماء ويتوضأ في مكانه؛ لقول الله تعالى: ﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾ [التغابن:16] وهو إذا لم يستطع الوصول إلى الحمام يستطيع أن يحضر له الماء ويتوضأ منه، ولا يجوز التهاون في هذا.

Orang yang tidak mampu untuk pergi ke tempat wudhu, maka hendaknya dibawakan air kepadanya untuk berwudhu di tempatnya. Berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya) : “bertakwalah kepada Allah semaksimal kemampuan kalian” (QS. At Taghabun: 16). Sehingga jika ia tidak mampu untuk pergi ke kamar mandi, maka dibawakan kepadanya air untuk berwudhu. Dan tidak boleh bermudah-mudah (untuk tayammum) dalam keadaan ini.

فأما إذا كان يشق عليه نفس الوضوء سواء ذهب إلى الحمام أو توضأ في مكانه فحينئذٍ يتيمم.

Adapun jika ia sangat sulit untuk pergi ke kamar mandi dan sulit untuk wudhu di tempatnya, maka ketika itu baru boleh tayammum.

Sumber: Fatawa Liqa asy Syahri no. 30

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/66464-orang-sakit-yang-tidak-bisa-ke-tempat-wudhu-bagaimana-wudhunya.html

Wudhu Dapat Hilangkan Berbagai Macam Penyakit

Wudhu bisa menghilangkan penyakit asal dilakukan dengan cara yang baik dan benar.

Berwudhu tidak hanya menjadi syarat sahnya shalat, tapi juga bisa menghindarkan umat Islam dari penyakit dan bahkan menyembuhkan dari berbagai macam penyakit. Asalkan, wudhunya dilakukan dengan cara yang baik dan benar.

Dalam bukunya yang berjudul “Sehat dengan Wudhu”, Syahruddin El-Fikri menjelaskan bahwa berwudhu itu menyehatkan dan dapat menghilangkan berbagai macam penyakit, seperti penyakit kanker, flu, pilek, asam urat, rematik, sakit kepala, telinga, pegal linu, sakit mata, sakit gigi, dan lain sebagainya.

“Mungkin hal ini, tak pernah kita sadari. Wudhu yang dilakukan dengan baik dan benar serta sempurna maka hal itu dapat menyehatkan dan mencegah seseorang dari berbagai macam penyakit,” kata Syahruddin dikutip dari bukunya, Senin (28/9).

Seperti yang diungkapkan Muhammad Husein Haykal dalam bukunya yang berjudul “Hayatu Muhammad”, sepanjang hidupnya Rasulullah juga tak pernah menderita penyakit, kecuali saat sakaratul maut hingga wafatnya. Menurut Syahruddin, hal ini menunjukkan bahwa wudhu dengan cara yang benar, niscaya dapat mencegah berbagai penyakit.

Dalam penelitian yang dilakukan Muhammad Salim tentang manfaat wudhu untuk kesehatan, menurut Syahruddin, juga diungkapkan bahwa berwudhu dengan cara yang baik dan benar, akan mengakibatkan tubuh seseorang terhindar dari segala penyakit.

Sedangkan cara berwudhu yang baik adalah dimulai dengan membasuh tangan lalu berkumur-kumur, lalu mengambil air dan menghirupnya ke dalam hidung kemudian mengeluarkannya. Langkah ini hendaknya dilakukan sebanyak tiga kali secara bergantian.

Dalam penelitian Muhammad Salim itu, menurut Syahruddin, juga menganalisis masalah kesehatan ratusan hidung orang-orang sehat yang tidak berwudhu dan membandingkannya dengan ratusan orang yang teratur dalam berwudhu selama lima kali dalam sehari dan melaksanakan shalat.

Berdasarkan hasil penelitian itu, Syahruddin menyimpulkan bahwa sesungguhnya berwudhu itu menyehatkan, baik secara lahir maupun batin. Dari hal yang tampaknya kecil dan sepele, ternyata wudhu mengandung hikmah dan manfaat yang sangat besar bagi kesehatan seseorang.

Jauh sebelum penelitian itu, Rasulullah Saw pernah bersabda:  “Sempurnakan wudhu, lakukan istinsyaq (memasukkan air ke hidung) kecuali jika kamu berpuasa.”

KHAZANAH REPUBLIKA

11 Kesalahan dalam Berwudhu

Sebagaimana ibadah yang lain, wudhu pun wajib untuk mengikuti tuntunan dari Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam mengerjakannya. Karena Al Qur’an dan hadits adalah sumber landasan hukum dalam Islam, serta acuan dalam mengerjakan ibadah. Maka tidak boleh kita melakukan ibadah hanya dengan dasar pendapat seseorang, opini seseorang atau logika semata. Lebih lagi jika tidak memiliki dasar sama sekali alias asal-asalan.

Oleh karena itu, pembahasan kali ini akan memaparkan secara ringkas beberapa amalan dan keyakinan yang salah seputar wudhu, karena amalan dan keyakinan tersebut tidak dilandasi oleh Al Qur’an dan hadits yang shahih. Beberapa amalan dan keyakinan tersebut adalah:

1. Melafalkan niat wudhu

Sebagian orang melafalkan niat wudhu semisal dengan mengucapkan: “nawaitul wudhu’a liraf’il hadatsil asghari lillahi ta’ala” (saya berniat wudhu untuk mengangkat hadats kecil karena Allah Ta’ala) atau semacamnya. Padahal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah mencontohkan melafalkan niat sebelum wudhu, dan niat itu adalah amalan hati. Mengeraskan bacaan niat tidaklah wajib dan tidak pula sunnah dengan kesepakatan seluruh ulama. Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafi mengatakan, “Tidak ada seorang imam pun, baik itu Asy Syafi’i atau selain beliau, yang mensyaratkan pelafalan niat. Niat itu tempatnya di hati berdasarkan kesepakatan mereka (para imam)” (Al Ittiba’ hal. 62, dinukil dari Al Qaulul Mubin Fii Akhta-il Mushallin, hal. 91).

Sekali lagi niat itu amalan hati dan itu mudah, tidak perlu dipersulit. Dengan adanya itikad dan kemauan dalam hati untuk melakukan wudhu untuk melakukan shalat atau yang lainnya, maka itu sudah niat yang sah.

2. Tidak mengucapkan basmalah

Para ulama berbeda pendapat apakah basmalah atau mengucapkan “bismillah” hukumnya wajib ataukah sunnah. ٍSebagian ulama mewajibkan dengan dalil hadits: “tidak ada shalat bagi yang tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi yang tidak menyebut nama Allah Ta’ala” (HR. Ahmad dan Abu Daud, dihasankan oleh Al Albani dalam Irwaul Ghalil). Namun jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah karena beberapa hal:

a. Membaca basmalah tidak disebutkan bersamaan dengan hal-hal wajib lainnya dalam surat Al Maidah ayat 6

b. Keumuman hadits-hadits yang menjelaskan mengenai cara wudhu Nabi, tidak menyebutkan mengucapkan basmalah (lihat Asy Syarhul Mumthi’, 1/159).

c. Makna “tidak ada wudhu bagi yang tidak menyebut nama Allah Ta’ala” adalah penafian kesempurnaan wudhu (lihat Asy Syarhul Mumthi’, 1/158 – 159).

Namun demikian, baik beranggapan hukumnya sunnah ataupun wajib, meninggalkannya dengan sengaja adalah sebuah kesalahan.

3. Melafalkan doa untuk setiap gerakan

Sebagian orang menganggap ada doa khusus yang dibaca pada setiap gerakan wudhu. Yang benar, doa-doa tersebut tidak pernah diajarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dan hanya berasal dari hadits-hadits yang palsu. Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’ad (1/195) mengatakan: “semua hadits tentang dzikir-dzikir yang dibaca pada setiap gerakan wudhu adalah kedustaan yang dibuat-buat, tidak pernah dikatakan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sedikit pun dan tidak pernah beliau ajarkan kepada umatnya”.

4. Memisahkan cidukan air untuk berkumur dan istinsyaq-istintsar

Jika dalam berwudhu anda berkumur-kumur tiga kali, kemudian setelah itu baru beristinsyaq (memasukan air ke hidung) dan istintsar (mengeluarkan air dari hidung) dengan cidukan air yang berbeda, maka ini tidak sesuai dengan praktek Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Yang beliau contohkan adalah berkumur-kumur, istinsyaq, dan istintsar itu dengan satu cidukan kemudian ulang sebanyak 3x. Sehingga untuk berkumur-kumur, istinsyaq, dan istintsar hanya melakukan 3 cidukanDari Abdullah bin Zaid radhiallahu’anhu beliau menceritakan cara wudhu Nabi, “Rasulullah menciduk air dengan kedua telapak tangannya dari bejana kemudian mencuci keduanya, kemudian mencuci (yaitu berkumur-kumur dan beristinsyaq) dari satu cidukan telapak tangan, beliau melakukannya 3x …” (HR. Bukhari 191).

5. Tidak mencuci lengan hingga siku

Padahal Allah Ta’ala berfirman mengenai rukun wudhu (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan basuhlah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS. Al Maidah: 6).

6. Tidak membasuh seluruh kepada

Membasuh sebagian kepala semisal hanya membasuh bagian depannya saja, adalah sebuah kesalahan. Padahal dalam surat Al Maidah ayat 6 di atas disebutkan “.. dan basuhlah kepalamu..”. “kepala” di sini maknanya tentu seluruh kepala, bukan sebagiannya saja. Diperkuat lagi oleh hadits lain dari Abdullah bin Zaid radhiallahu’anhu mengenai tata cara membasuh kepala dalam wudhu, “… kemudian Rasulullah membasuh kepalanya dengan kedua tangannya. Beliau menggerakan kedua tangannya ke belakang dan ke depan. Di mulai dari bagian depan kepalanya hingga ke tengkuknya, lalu beliau gerakkan kembali ke tempat ia mulai…” (HR. Bukhari 185, Muslim 235).

7. Membasuh leher setelah membasuh kepala

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “tidak shahih hadits yang menyatakan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membasuh leher dalam wudhu, bahkan tidak diriwayatkan dalam hadits shahih satu pun. Bahkan hadits-hadits shahih mengenai tata cara wudhu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak menyebutkan mengenai membasuh leher” (Majmu’ Fatawa 21/127-128, dinukil dari Mausu’ah Fiqhiyyah Muyassarah, 1/142).

8. Mengulang mencuci kaki, sehingga lebih dari sekali

Sebagian orang mencuci kaki kanan, lalu kaki kiri, lalu kembali ke kanan lagi, sampai 3 x. Hal ini tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Syaikh Husain Al ‘Awaisyah dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Muyassarah (1/143) mengatakan: “(Yang sesuai sunnah adalah) mencuci kedua kaki tanpa berulang, berdasarkan hadits Yazid bin Abi Malik yang di dalamnya disebutkan, “Rasulullah berwudhu tiga kali – tiga kali, sedangkan beliau ketika mencuci kakinya tanpa berulang (cukup sekali)” (HR. Abu Daud 116, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud). Maka yang tepat adalah mencuci kaki kanan sekali, lalu kaki kiri sekali.

9. Kurang sempurna mencuci kaki, dan juga anggota wudhu yang lain

Terkadang karena kurang serius dalam berwudhu atau karena terburu-buru, seseorang tidak sempurna dalam mencuci kedua kakinya. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah melihat sebagian sahabat yang ketika berwudhu tidak menyempurnakan mencuci kakinya, beliau memperingatkan mereka dengan keras dengan bersabda: “celaka tumit-tumit (yang tidak tersentuh air wudhu) di neraka” (HR. Bukhari 60, 165, Muslim 240). Tidak hanya kaki, pada anggota wudhu yang lain juga wajib isbagh (serius dan sempurna) dalam membasuh dan mencuci sehingga air mengenai anggota wudhu dengan sempurna.

10. Membiarkan ada penghalang di kulit

Dalam wudhu, ulama 4 madzhab mensyaratkan tidak adanya benda yang dapat menghalangi air mengenai kulit (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 43/330). Membiarkan adanya benda yang dapat menghalangi sampainya air ke kulit adalah sebuah kesalahan dan bisa menyebabkan wudhunya tidak sah. Dikecualikan jika volumenya sangat kecil dan sedikit seperti kotoran yang ada di kuku, maka ini tidak mengapa. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Jika kulit terhalang air oleh sesuatu yang yasiir (sedikit) seperti kotoran di kuku atau semisalnya, thaharah tetap sah” (Fatawa Al Kubra, 5/303). Juga jika benda tersebut tidak memiliki volume atau sulit dihilangkan, maka tidak mengapa. Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts wal Ifta‘ menyatakan: “jiak benda yang menghalangi tersebut tidak bervolume, maka tidak mengapa. Henna dan semacamnya, atau minyak yang dioleskan atau semacamnya, ini tidak mengapa. Adapun jika ia memiliki volume, dalam artian ia tebal dan bisa dihilangkan, maka wajib dihilangkan. Seperti cat kuku, ia memiliki volume, maka wajib dihilangkan. Adapun sekedar polesan tipis, maka itu tidak menghalangi air” (Fatwa Nuurun ‘alad Darbi, no. 161, juz 5 hal. 246).

11. Boros dalam menggunakan air

Berlebih-lebih dan boros adalah hal yang tercela dalam Islam. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan” (QS. Al A’raf: 31). Demikian juga dalam berwudhu, tidak boleh berlebih-lebihan dalam menggunakan air. Air adalah nikmat dari Allah yang wajib kita syukuri, dan salah satu cara mensyukuri nikmat air adalah dengan tidak menyia-nyiakannya. Dan banyak diantara saudara kita di tempat yang lain yang tidak bisa menikmat air yang melimpah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri mencontohkan hal ini. Beliau biasa berwudhu hanya dengan 1 mud saja. Anas bin Malik radhiallahu’anhu menyatakan, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya berwudhu dengan 1 mud air dan mandi dengan 1 sha’ sampai 5 mud air” (HR. Bukhari 201, Muslim 326). Sedangkan konversi 1 mud para ulama berbeda pendapat antara 0,6 sampai 1 liter. Sungguh hemat sekali bukan? Boleh saja berwudhu dengan air keran dan lebih dari 1 mud selama tidak berlebih-lebihan dan tetap berusaha untuk menghemat.

Wallahu ta’ala a’lam.

Referensi

  • Asy Syarhul Mumthi ‘ala Zaadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
  • Al Qaulul Mubin fii Akhta’il Mushallin, Syaikh Musthafa Al ‘Adawi
  • Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Muyassarah, Syaikh Husain Al ‘Awaisyah
  • Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Departemen Agama Kuwait
  • Fatawa Nuurun ‘alad Darbi

***

Penyusun: Yulian Purnama

Artikel Muslim.or.id

Makan dan Minum Bukanlah Pembatal Wudhu

Banyak masyarakat awam yang mengira bahwa ketika orang sudah berwudhu, lalu makan atau minum, maka batal wudhunya. Ini pemahaman yang keliru. 

Dua alasan bahwa makan dan minum bukan pembatal wudhu

Alasan yang pertama, karena tidak ada dalil yang menunjukkan makan atau minum itu adalah pembatal wudhu. Padahal kaidah fiqhiyyah yang disebutkan para ulama:

الأصل بقاء ماكان على ماكان

“Pada asalnya, hukum yang sudah ditetapkan itu tetap berlaku”.

Maka jika seseorang sudah berwudhu, ia dihukumi suci dan tidak batal wudhu. Kecuali terdapat dalil yang menunjukkan batalnya wudhu. Sedangkan tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa makan dan minum adalah pembatal wudhu.

Alasan kedua, terdapat hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak berwudhu lagi setelah makan atau minum. Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ عَرْقًا مِنْ شَاةٍ ثُمَّ صَلَّى وَلَمْ يُمَضْمِضْ وَلَمْ يَمَسَّ مَاءً

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memakan sepotong daging kambing. Kemudian beliau shalat, tanpa berkumur-kumur dan tanpa menyentuh air sama sekali” (HR. Ahmad no. 2541, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 3028).

Juga terdapat hadits dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:

أن رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَرِبَ لَبَنًا فَلَمْ يُمَضْمِضْ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ وَصَلَّى

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam minum susu, kemudian beliau tidak berkumur-kumur juga tidak berwudhu lagi, lalu beliau shalat” (HR. Abu Daud no. 197, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa makan dan minum bukan pembatal wudhu.

Ada pengecualian untuk daging unta

Namun seseorang memang bisa batal wudhunya jika ia makan daging unta. Dan ini hanya khusus berlaku pada daging unta. Dari Jabir bin Samurah radhiallahu’anhu, ia berkata:

أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ؟ قَالَ: «إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ، وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَوَضَّأْ»، قَالَ: أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ؟ قَالَ: «نَعَمْ، فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ

“Ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam: apakah saya wajib wudhu jika makan daging kambing? Nabi menjawab: “jika engkau mau, silakan berwudhu, jika tidak juga tidak mengapa”. Orang tadi bertanya lagi: apakah saya wajib wudhu jika makan daging unta? Nabi menjawab: iya, berwudhulah jika makan daging unta” (HR. Muslim no.360).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan:

الأكل والشرب لا ينقض الوضوء بعد الوضوء الأكل والشرب إلا إذا كان فيه لحم إبل، إذا كان فيه لحم إبل فلحم الإبل ينقض الوضوء، لحم الجمل الإبل، وأما لحم الغنم ولحم البقر، لحم الصيد لا ينقض الضوء، لكن لحم الإبل خاصة

“Makan dan minum bukanlah pembatal wudhu. Kecuali jika makan daging unta. Jika yang dimakan adalah daging unta, maka memang daging unta itu membatalkan wudhu. Adapun daging kambing, daging sapi, daging hewan buruan, ini semua tidak membatalkan wudhu. Khusus daging unta” (Website binbaz.org.sa, url: https://bit.ly/3iMbIf2).

Namun di sisi lain, terdapat juga hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: 

تَوَضَّؤوا مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ

“Berwudhulah jika memakan makanan yang dibakar dengan api” (HR. Muslim no.352).

Namun ulama ijma’ hadits ini mansukh dengan hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu:

أنَّهُ سَأَلَهُ عَنِ الوُضُوءِ ممَّا مَسَّتِ النَّارُ؟ فَقالَ: لَا، قدْ كُنَّا زَمَانَ النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ لا نَجِدُ مِثْلَ ذلكَ مِنَ الطَّعَامِ إلَّا قَلِيلًا، فَإِذَا نَحْنُ وجَدْنَاهُ لَمْ يَكُنْ لَنَا مَنَادِيلُ إلَّا أكُفَّنَا وسَوَاعِدَنَا وأَقْدَامَنَا، ثُمَّ نُصَلِّي ولَا نَتَوَضَّأُ

“Ia bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam tentang kewajiban wudhu setelah makan makanan yang dibakar api. Nabi menjawab: tidak wajib. Jabir berkata: dahulu kami ketika di zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mendapati makanan seperti itu kecuali sedikit saja. Dan jika kami makan makanan tersebut, lalu tidak ada kain lap kecuali hanya tangan, lengan dan kaki kami, kami pun shalat tanpa berwudhu lagi” (HR. Bukhari no. 5457). 

Maka tidak wajib berwudhu jika makan makanan yang tersentuh api. An Nawawi menukil ijma’ akan hal ini. Kesimpulannya, makan dan minum tidak membatalkan wudhu kecuali jika makan daging unta.

Dianjurkan berkumur-kumur setelah makan atau minum

Walaupun makan dan minum bukan pembatal wudhu, namun dianjurkan berkumur-kumur setelah makan atau minum yang memiliki rasa. Sehingga tidak menimbulkan gangguan ketika shalat. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan:

المضمضة مستحبة من آثار الطعام ، ولا يضر بقاء شيء من ذلك في أسنانك بحكم الصلاة ، لكن إذا كان المأكول من لحم الإبل فلا بد من الوضوء قبل الصلاة ؛ لأن لحم الإبل ينقض الوضوء

“Berkumur-kumur itu dianjurkan untuk membersihkan sisa-sisa makanan. Jika ada sisa makanan di mulut di sela-sela gigi, ini tidak membahayakan keabsahan shalatnya. Namun jika yang dimakan adalah daging unta, maka wajib berwudhu sebelum shalat. Karena makan daging unta itu membatalkan wudhu” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Baz, 29/52).

Wallahu a’lam. Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

***

Penulis: Yulian Purnama

ARtikel: Muslim.or.id