Di Masa Lalu, Yaman Negeri Arabia yang Sejahtera

Situasi di Yaman belakangan ini kian memanas lantaran krisis politik yang melanda negeri itu sejak 2011. Negara republik yang terletak di selatan Jazirah Arab itu kini terlibat perang saudara, menyusul kudeta politik yang dilakukan kelompok pemberontak Houthi yang beraliran Syiah terhadap pemerintahan yang sah dalam beberapa bulan terakhir.

Perebutan kekuasaan yang disertai pertumpahan darah tersebut layak membuat kita prihatin, mengingat Yaman sendiri memiliki sejumlah catatan penting dalam sejarah peradaban, termasuk Islam. Beberapa kalangan akademisi menganggap sejarah Yaman kuno termasuk topik yang sangat menarik untuk dipelajari.

Bukan saja karena negeri itu pernah menjadi salah satu pusat peradaban tertua di Timur Dekat, melainkan juga karena kemakmuran yang dinikmati oleh masyarakatnya terbilang membanggakan untuk pada masa itu.

Yaman pada masa lalu juga dikenal sebagai negeri paling subur di Semenanjung Arabia, dengan curah hujan yang cukup setiap tahunnya. Karena suburnya tanah Yaman, ahli geografi Yunani yang hidup pada abad kedua, Ptolemy, bahkan menyebut negeri itu sebagai Eudaimon Arabia (yang dalam terjemahan versi latin disebut Arabia Felix) yang berarti ‘Arabia yang Sejahtera’.

Berdasarkan catatan sejarah, Yaman sudah lama menjadi perlintasan budaya di Semenanjung Arabia. Lokasinya yang strategis membuat negeri itu dikenal sebagai jalur perdagangan penting di kawasan Teluk. Jauh berabad-abad sebelum kedatangan Islam, Yaman diketahui telah dihuni oleh peradaban manusia.

 

sumber:Republika

Awal Masuknya Islam ke Yaman

Awal masuknya Islam ke Yaman bermula pada 630 M. Kala itu, Nabi Muhammad SAW mengutus saudara sepupu yang juga menantunya, Ali bin Abi Thalib RA, ke Sana’a dan sekitarnya untuk menyampaikan syiar Islam. Pada waktu itu, Yaman merupakan wilayah yang paling maju di Semenanjung Arabia. Bani Hamdan tercatat sebagai kabilah yang pertama menerima Islam.

Di samping itu, Rasulullah SAW juga pernah mengutus Mu’adz bin Jabal RA ke al-Janad—yang hari ini dikenal sebagai daerah Taiz—untuk menyampaikan surat dakwah kepada para pemimpin suku di sana. Selama periode risalah Nabi SAW, negeri Yaman tidak mempunyai kekuasaan yang terpusat, tetapi diperintah oleh sejumlah suku yang memegang kendali otonomi di daerah mereka masing-masing.

Beberapa suku terkemuka di Yaman, termasuk Bani Himyar, mengirim delegasi ke Madinah antara 630-631 M untuk menyatakan kesediaan mereka menerima Islam. Kendati demikian, sejumlah orang Yaman sudah ada yang lebih dulu menjadi Muslim sebelum kedatangan delegasi tersebut. Beberapa di antaranya Ammar bin Yasir RA, al-Ala’a al-Hadrami RA, Miqdad bin Aswad RA, Abu Musa al-Asy’ari RA, dan Syurahbil bin Hasanah RA.

Para delegasi Yaman itu lantas meminta Rasulullah SAW supaya mengirimkan sejumlah guru untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat Arabia Selatan. Untuk memenuhi permintaan tersebut, Nabi menugaskan sekelompok sahabat yang berkompeten dan menunjuk Mu’adz bin Jabal sebagai amir (pemimpin) mereka.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan, sebelum Mu’adz berangkat ke Yaman, Rasulullah bersabda “Wahai Mu’adz, mungkin engkau tidak akan menjumpaiku lagi setelah ini. Mungkin ketika engkau kembali (ke Madinah), engkau hanya akan mendapati masjid dan makamku.”

Mendengar penuturan Nabi tersebut, Muadz pun menangis. Para sahabat yang ikut diutus ke Yaman bersamanya juga menangis. “Perasaan sedih mengharu biru di hati Mu’adz saat harus berpisah dari kekasihnya, Nabi Muhammad SAW,” tulis Abdul Wahid Hamid dalam bukunya, Companions of The Prophet, Volume 1.

Firasat Nabi ternyata benar. Rasulullah SAW wafat sebelum Mu’adz kembali dari Yaman. Untuk kesekian kalinya, Mu’adz kembali menangis ketika sampai di Madinah dan mendapati bahwa Nabi sudah meninggalkan dunia yang fana ini.

 

sumber:Republika ONline