Anak Jadi Yatim Piatu Sebelum Wafatnya Ayah dan Ibu

Banyak anak jadi yatim piatu karena ayah dan ibunya sibuk dan tak memberi perhatian.

Hari ini bertepatan dengan 10 Muharram. Selain dikenal sebagai Hari Asyura, 10 Muharram disebut sebagai hari Lebaran Anak Yatim. Mengapa? Alasannya banyak majelis taklim dan masjid di Indonesia memberikan santunan kepada anak yatim pada 10 Muharram berbarengan dengan perayaan tahun baru Islam, sehingga kegiatan santunan itu menjadi tradisi. Namun, sebenarnya ada yang lebih menderita dari anak-anak yatim dan piatu yang mendapatkan bantuan itu, yakni anak-anak yang sudah menjadi yatim piatu sebelum ayah dan ibunya meninggal dunia.

Kita mengenal anak yatim adalah anak yang sudah ditinggal meninggal dunia bapaknya. Sementara anak piatu adalah anak yang ditinggal wafat ibunya. Kehilangan ayah, ibu, apalagi kehilangan keduanya, tentu memberikan dampak serius dalam kehidupan seorang anak.

Dalam Surah al-Kahfi ayat 82, disebutkan kata ‘yatiimaini’ yang bermakna dua orang anak yatim. Dalam ayat tersebut, dikisahkan Nabi Khaidir alaihi salam membangun tembok yang hampir roboh agar harta yang terpendam di bawahnya yang menjadi milik anak yatim itu tetap terlindungi.

Pakar tafsir Alquran dari Pusat Studi Alquran (PSQ) Jakarta, KH Muchlis M Hanafi mengatakan, kata yatim disebut dalam konteks anak-anak yang harus dilindungi dan diperlakukan secara baik. Penggunaan kata yatim umumnya banyak terdapat pada ayat-ayat Makkiyah (yang turun di Makkah). Anak yatim, kata KH Muchlis, sangat diperhatikan dalam Alquran sebab ayah merupakan tulang punggung keluarga, terutama dalam bidang ekonomi. Karenanya, ketika sang ayah meninggal itu diumpamakan seakan-akan rumah yang hampir roboh.

Anak yatim disebut sebagai anak yang kehilangan sandaran dalam kehidupannya. Karena itu anak yang dalam situasi tersebut tidak boleh diberi kesusahan lagi, salah satunya dengan cara tidak berkata kasar terhadapnya.

Baca juga : Jubir JK Luruskan Kabar Bohong yang Dibuat Warganet

Kehilangan ayah yang sebagai penjemput rezeki, di banyak keluarga menjadi persoalan utama. Apalagi jika sang ibu tidak memiliki pekerjaan di luar statusnya sebagai ibu rumah tangga. Sedangkan jika ditinggal meninggal ibu, seorang anak akan kehilangan sandaran hidup, lenyapnya kehangatan, dan kasih sayang.

Karena itu, seorang anak yatim, anak piatu, atau anak yatim piatu, tidak hanya membutuhkan bantuan finansial atau biaya pendidikan serta kehidupan sehari-hari. Bukan sekadar uang, mereka butuh perhatian, kasih sayang, seseorang yang memuji, membela, hingga tempat berbagi cerita.

Seorang anak yang ditinggal wafat ayahnya akan kehilangan sosok panutan. Ia tidak memiliki panutan dalam pembinaan dirinya sebagai pemangku tanggung jawab. Sifat kelaki-lakiannya pun bisa terganggu jika tidak ada sosok panutan dalam keluarga yang mengambil tanggung jawab itu.

Kita bisa belajar dari kisah hidup baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Ketika ditinggal wafat sang ayah saat masih di dalam kandungan, sedari lahir Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak kehilangan panutan sebagai seorang laki-laki. Kakek dan paman Rasulullah menjadi penjaga sekaligus roles model Rasulullah menjadi seorang pemimpin. Ketika kehilangan ibunda Aminah, kasih sayang seorang ibu tetap didapatkan Rasulullah dari bibi-bibinya.

Psikolog anak Endang Widyorini menilai, anak yatim telah kehilangan sosok panutan mereka. Dalam konteks ini adalah figur ayah atau ibu atau bahkan keduanya, harus ada menggantikan peran mereka.

“Mereka harus dididik dengan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya. Usahakan ada figur ibu yang penuh kasih dan figur ayah yang mengajarkan tentang cara berjuang untuk hidup,” ujarnya saat diwawancara Republika beberapa waktu lalu.

Lantas bagaimana bisa seorang anak menjadi yatim piatu walau bapak dan ibunya masih hidup?

KHAZANAH REPUBLIKA

Yatim Piatu karena Orang Tuanya Sangat Sibuk, Tidak Peduli Anaknya

Selama ini kita mengetahui bahwa anak yatim-piatu adalah anak yang tidak memiliki ayah dan ibu lagi karena kedua orang tuanya sudah meninggal. Akan tetapi, ada juga anak yang menjadi yatim-piatu karena orang tuanya benar-benar tidak memperhatikan anak-anak mereka. Orang tua tidak terlalu peduli dan sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan dalam sebuah syair disebutkan bahwa anak yatim bukanlah anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya. Akan tetapi, anak yatim adalah anak yang kedua orang tuanya sibuk dan tidak mengurusi anak-anaknnya.

Dalam sebuah syair Arab,

لَيْسَ الْيَتِيْمَ مَنِ انْتَهَى أَبَوَاهُ

مِنْ هَمِّ الْحَيَاةِ وَخَلَّفَاهُ ذَلِيلْاً

إِنّٓ الْيٓتِيْمٓ هُوٓ الَّذِي تَلْقٓى لٓهُ

أُمًّا تَخَلَّتْ أَوْ أَباً مَشْغُوْلاً

“Bukanlah anak yatim yang kedua orang tuanya telah tiada;

(Telah tiada) dari kehidupan dunia, lalu meninggalkan anak tersebut dalam keadaan hina;

Akan tetapi, anak yatim adalah anak yang kau dapati;

Ibunya tidak mempedulikannya atau ayahnya sibuk tidak mau mengurusnya” (Sya’ir Ahmad Syauqi).

Hendaknya orang tua tidak lalai mendidik dan memberikan perhatian kepada anak-anak mereka. Di zaman ini, kewajiban ini cukup banyak dilalaikan oleh orang tua. Karena di zaman ini, godaan sosial media, internet, dan gadget dapat melalaikan pendidikan orang tua terhadap anaknya. Misalnya, para ayah sibuk bermain gim, sedangkan para ibu sibuk nonton drama Korea, dan sibuk swafoto, serta belanja online. Semoga kita para orang tua dijauhkan dari hal semacam ini.

Anak adalah kewajiban dan amanah bagi orang tua. Orang tua, terutama ayah, memiliki tugas penting agar menjaga anak mereka dari api neraka; yaitu, dengan mengajarkan kebaikan, mendidik, dan memberikan perhatian kepada anak-anaknya.

Allah Ta’ala berfirman,

ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻗُﻮﺍ ﺃَﻧْﻔُﺴَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻫْﻠِﻴﻜُﻢْ ﻧَﺎﺭًﺍ

“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS. At-Taahrim: 6).

Muqatil Rahimahullah menjelaskan bahwa maksud ayat ini adalah agar mendidik keluarga. Beliau Rahimahullah berkata,

ﻭَﻗَﺎﻝَ ﻣُﻘَﺎﺗِﻞٌ : ﺃَﻥْ ﻳُﺆَﺩِّﺏَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢُ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻭَﺃَﻫْﻠَﻪُ، ﻓَﻴَﺄْﻣُﺮَﻫُﻢْ ﺑِﺎﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻭَﻳَﻨْﻬَﺎﻫُﻢْ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺸَّﺮِّ

“Seorang muslim mendidik dirinya dan keluarganya, memerintahkan mereka kebaikan dan melarang dari keburukan” (Mafaatihul Ghaib Tafsir Ar-Raziy, 30: 527).

Jangan sampai anak kita menjadi seperti anak yatim, bahkan lebih parah dari anak yatim yang sesungguhnya. Hal ini karena mereka tidak mendapat perhatian dan pendidikan. Akibatnya, anak-anak menjadi rusak dan nakal. Kerusakan anak-anak disebabkan oleh kelalaian orang tuanya, yaitu tidak mengajarkan agama dan tidak memperhatikan dengan siapa anak-anak mereka bergaul. Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah menjelaskan,

ﺍﻛﺜﺮ ﺍﻷﻭﻻﺩ ﺇﻧﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻓﺴﺎﺩﻫﻢ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ ﺍﻵﺑﺎﺀ، ﻭﺇﻫﻤﺎﻟﻬﻢ، ﻭ ﺗﺮﻙ ﺗﻌﻠﻴﻤﻬﻢ ﻓﺮﺍﺋﺾ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﺳﻨﻨﻪ، ﻓﻀﺎﻋﻮﻫﻢ ﺻﻐﺎﺭﺍ

“Kebanyakan kerusakan anak disebabkan karena orangtua mereka. Mereka menelantarkannya dan tidak mengajarkan anak ilmu dasar-dasar wajib agama dan sunnah-sunnahnya. Mereka menyia-nyiakan anak-anak di masa kecil mereka” (Tuhfatul Maulud, hal. 387).

Jangan sampai kita menyesal kelak. Ketika anak-anak sudah dewasa, mereka tidak pernah merasakan kasih sayang dan memiliki kenangan indah dengan orang tuanya ketika kecil. Ketika-anak-anak sudah dewasa dan orang tua sudah mulai pikun serta tua renta, maka anak-anak tidak mau berbakti kepada orang tua mereka di masa tua.

Perhatikanlah syair berikut ini,

ﻳﺎﺃﺑﺖ، ﺇﻧﻚ ﻋﻘﻘﺘﻨﻲ ﺻﻐﻴﺮﺍ، ﻓﻌﻘﻘﺘﻚ ﻛﺒﻴﺮﺍ، ﻭﺃﺿﻌﺘﻨﻲ ﻭﻟﺪﺍ ﻓﺄﺿﻌﺘﻚ ﺷﻴﺨﺎ

“Wahai ayahku, sungguh engkau mendurhakaiku di waktu kecil. Maka aku pun mendurhakaimu di kala aku besar. Engkau menelantarkanku di waktu kecil, maka aku telantarkan Engkau di kala tua nanti” (Tuhfatul Maulud, hal. 387).

Semoga kita bisa menjadi orang tua saleh yang diberi taufik oleh Allah Ta’ala untuk mendidik anak-anak kita agar sukses di dunia dan di akhirat. Aamiin.

Penyusun: Raehanul Bahraen

MUSLIMorid

Pahala dan Keutamaan Menyantuni Anak Yatim Piatu

Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Artinya : “Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya [1].

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan dan pahala orang yang menyantuni anak yatim, sehingga imam Bukhari mencantumkan hadits ini dalam bab: keutamaan orang yang mengasuh anak yatim.

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

  • Makna hadits ini: orang yang menyantuni anak yatim di dunia akan menempati kedudukan yang tinggi di surga dekat dengan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [2].
  •  Arti “menanggung anak yatim” adalah mengurusi dan memperhatikan semua keperluan hidupnya, seperti nafkah (makan dan minum), pakaian, mengasuh dan mendidiknya dengan pendidikan Islam yang benar
  • Yang dimaksud dengan anak yatim adalah seorang anak yang ditinggal oleh ayahnya sebelum anak itu mencapai usia dewasa.
  • Keutamaan dalam hadits ini belaku bagi orang yang menyantuni anak yatim dari harta orang itu sendiri atau harta anak yatim tersebut jika orang itu benar-benar yang mendapat kepercayaan untuk itu
  • Demikian pula, keutamaan ini berlaku bagi orang yang menyantuni anak yatim yang punya hubungan keluarga dengannya atau anak yatim yang sama sekali tidak punya hubungan keluarga dengannya.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan mengasuh anak yatim, yang ini sering terjadi dalam kasus “anak angkat”, karena ketidakpahaman sebagian dari kaum muslimin terhadap hukum-hukum dalam syariat Islam, di antaranya:

  1. Larangan menisbatkan anak angkat/anak asuh kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu” (QS al-Ahzaab: 5).

  1. Anak angkat/anak asuh tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua yang mengasuhnya, berbeda dengan kebiasaan di zaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat seperti anak kandung yang berhak mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia.
  2. Anak angkat/anak asuh bukanlah mahram , sehingga wajib bagi orang tua yang mengasuhnya maupun anak-anak kandung mereka untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak tersebut, sebagaimana ketika mereka di depan orang lain yang bukan mahram, berbeda dengan kebiasaan di masa Jahiliyah.

Pahala Mengasuh Anak Yatim Piatu

Berbahagialah orang-orang yang di rumahnya terdapat anak yatim karena Rasulullah memberikan jaminan pertama, memiliki pahala yang setaraf dengan jihad. Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Barang siapa yang mengasuh tiga anak yatim, maka bagaikan bangun pada malam hari dan puasa pada siang harinya, dan bagaikan orang yang keluar setiap pagi dan sore menghunus pedangnya untuk berjihad di jalan Allah. Dan kelak di surga bersamaku bagaikan saudara, sebagaimana kedua jari ini, yaitu jari telunjuk dan jari tengah.” (H.R. Ibnu Majah)

Kedua, mendapat perlindungan di hari kiamat. Rasulullah Saw. bersabda, “Demi Allah yang mengutusku dengan kebenaran, di hari kiamat Allah Swt. tidak akan mengazab orang yang mengasihi anak yatim, dan bersikap ramah kepadanya, serta bertutur kata yang manis. Dia benar-benar menyayangi anak yatim dan memaklumi kelemahannya, dan tidak menyombongkan diri pada tetangganya atas kekayaan yang diberikan Allah kepadanya.” (H.R. Thabrani)

Ketiga, masuk surga dengan mudah. Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa yang memelihara anak yatim di tengah kaum muslimin untuk memberi makan dan minum, maka pasti Allah memasukkannya ke dalam surga, kecuali jika ia telah berbuat dosa yang tidak dapat diampuni.” (H.R. Tirmidzi)

 

sumber: Dunia Islam

Anak Yatim Palestina Ini Tidur Dalam Pelukan Lukisan Kapur Uminya

Gambar yang menyayat hati ini diambil dari salah sebuah rumah anak yatim piatu di Palestina, yang menunjukkan seorang anak yatim melukis gambar ibunya di atas lantai dan tidur dipangkuannya, dalam usaha untuk mendapatkan kasih sayang dan belas kasihan seorang ibu.

Tak bisa terbayangkan, berapa banyak tetesan air mata anak ini tumpah untuk sekedar melukis gambar ibunya ini di lantai sebelum ia tidur. Hanya gambaran ibunya dalam benaknya saja, sebab foto pun tak sempat ia simpan dan miliki, entah kemana tersebab perang. Tergambar wajah ibunya yang sedang tersenyum, sambil tertulis di samping gambarnya tulisan yang berbunyi, mama.

Kisah seorang anak kecil yang melukis Ibunya pada sebuah lantai ini menggambarkan kepedihan seorang anak yang begitu merindukan kasih sayang seorang Ibu, Ibu anak ini meninggal dalam sebuah peperangan dinegeri para Nabi palestin.

Sang anak tinggal disebuah rumah yatim piatu di Palestina yang mungkin di rumah yatim ini banyak anak-anak yang menjadi korban ditinggal orangtuanya akibat perang yang dikobarkan Zionis Israel.

Mereka adalah anak-anak korban kebiadaban Zionis-Israel, mereka anak-anak yang tiada tahu menahu apa yang membuat mereka jadi korban perang yang begitu kejam itu, mereka hanya ingin hidup damai layaknya anak-anak yang lain.

Bagi anak-anak yang masih memiliki kedua orang tua syukurilah dengan sebenar-benarnya, jangan sia-siakan pengorbanan dan kasih sayang mereka, berbaktilah dengan sepenuh jiwa raga kita, baik dengan doa untuk kebaikan kedua orang tua maupun dengan pembuktian pemelihaaraan kita sebagai anak dihari tua kedua orang tua, Ibu Bapak kita, jangan sia-siakan.

Berbaktilah pada orang tua kita, datangilah mereka untuk mintakan keridhaan dan pintu maafnya selama nafas mereka masih ada, ukirlah senyum di wajah mereka, kemudian berlaku lemah lembutlah kepada anak-anak yatim dan dhu’afà, santunilah mereka, karena hampir-hampir saja syurga berada di sekitar mereka sebagaimana sabda Nabi kita tercinta.

Ingatlah bantu mereka anak-anak korban perang Palestina, Suriah dan lainnya dengan cara sisihkan sebagaian harta kita buat mereka, mereka perlu hidup layaknya anak anak yang memiliki Ibu Bapak. Mereka juga mempunyai perasaan yang sama seperti kita, hanya saja mereka tak punya tempat untuk berlindung dan berteduh dalam sebuah kasih sayang, dan jika kita diberi kemampuan oleh Allàh Ta’àlà mari menjadi Ibu dan Bapak bagi mereka, kalau bukan kita siapa lagi.

.. Rabbighfirli wa liwàlidayya warhumà kamà rabbayànà shaghìrà, allàhumma a’izzal Islàm wal muslimìn wanshuril ikhwànanàl mustadh’afìna wal mujàhidìna fì kulli makàn Yà ‘Azìz Yà Qahhàr Yà Rabbal ‘àlamìn .…(rz)

 

 

 

sumber: Era Muslim

Inilah Balasan Bagi Orang yang Sewenang-wenang kepada Anak Yatim

“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.” (QS ad-Dhuha [93] :9)

Salah satu tuntunan yang ditekankan dalam upaya memuliakan yatim ialah menghindari perlakuan sewenang-wenang, baik berupa fisik maupun nonfisik. Larangan tersebut tertera jelas dalam surah ad-Dhuha di atas.

Ketua Yayasan Dinamika Umat Ustaz Hasan Basri Tanjung mengatakan, menghardik dapat diartikan sebagai sebuah kata verbal dan nonverbal. Hardikan dengan verbal artinya seseorang menghardik anak yatim dengan kata-kata kasar, mengejek, dan menghina mereka.

Sedangkan, hardikan dengan nonverbal artinya menghardik anak yatim dengan menzalimi secara tindakan atau perbuatan. Sekalipun bertutur kata lembut, tak pernah memberikan makan dan pakaian yang layak bagi anak yatim.

Menghardik dengan perbuatan pun dilakukan bagi mereka yang bertanggung jawab memelihara anak yatim, tetapi memakan hartanya. Mereka seharusnya mampu bertanggung jawab dengan pendidikan dan pertumbuhannya hingga dewasa.

Hasan pun menegaskan rujukan larangan tindakan lalim terhadap yatim pada surah ad-Dhuha di atas. Dalam surah tersebut dikisahkan juga Nabi Muhammad SAW yang menjadi anak yatim. Dia menjelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan untuk tidak berbuat sewenang-wenang terhadap anak yatim. Lantaran, yatim berada dalam lindungan-Nya.

Perbuatan sewenang-wenang itu, ungkap Hasan, di antaranya, ucapan kasar, mencaci maki, mengabaikan keberadaan, hingga tidak peduli dengan kesusahan mereka. Dia mengutip pernyataan sosok pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, yang menyatakan percuma saja shalat, tetapi tidak dapat memuliakan anak yatim. Begitu juga dengan menelantarkan anak yatim sama saja dengan mendustakan agama.

Hasan menukilkan surah al-Ma’un. Surah tersebut memosisikan mereka yang menghardik yatim dengan pendusta agama. Celaka bagi mereka yang shalat, tetapi tidak peduli dengan anak yatim piatu. Dengan memelihara anak yatim piatu maka seorang Muslim, kesalehan individu, dan sosial bisa teraih.

Para pelaku kesewenang-wenangan terhadap yatim, ujar Hasan, akan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Ini, antara lain, ditegaskan di surah an-Nisaa’ ayat 10. Allah mengganjar mereka yang memakan harta yatim secara lalim, sebenarnya menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala neraka.

Kedua, menghina anak yatim sama saja dengan menempuh jalan ke neraka. Karena, dengan menyakiti hati anak yatim, apa pun doa anak yatim akan dikabulkan oleh Allah SWT. “Doa baik dan buruk yatim akan dikabulkan,” katanya.

Dosen Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ustaz Ahmad Ilyas Ismail mengatakan, memuliakan anak yatim merupakan kewajiban setiap Muslim. Kewajiban tersebut bersifat sosial dan berlaku bagi sesama manusia.

Sehingga, bagi mereka yang bertindak kasar, baik dengan menghardik maupun perbuatan buruk lainnya, akan mendapatkan balasan yang sangat berat. Seperti penegasan surah al-Ma’un di atas, celaka bagi mereka yang shalat, tetapi menelantarkan anak yatim. “Ini bukan lantas berarti tidak shalat sama sekali,” katanya.

Menghardik tidak hanya kata-kata kasar, tetapi juga mengganggu mereka secara psikologis. Artinya, mereka bisa saja memberikan makan, tetapi dengan cara tidak santun dengan melemparnya. Begitu juga bagi keluarga yang bersedia memelihara mereka, tetapi justru menggunakan harta anak yatim untuk kepentingan pribadi.

Seharusnya, papar Ahmad, sebagai keluarga dan orang yang telah bersedia bertanggung jawab menjaga dan mendidik anak yatim, harus bisa menjaga harta yang dibawa anak tersebut. Setelah dewasa, mereka berkewajiban menyerahkan kembali harta milik anak tersebut.

Tetapi, jika mereka tetap bersikeras memakan harta tersebut, mereka termasuk dalam golongan yang melakukan dosa besar. Simak ayat kedua surah an-Nisaa’ berikut.

“Dan, berikanlah kepada anak-anak yatim yang sudah dewasa harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh tindakan menukar dan memakan itu adalah dosa yang besar,”.

Ahmad melanjutkan, Islam mendorong umatnya agar dapat mencintai anak yatim piatu. Sehingga, mereka mendapatkan balasan yang baik berupa kasih sayang dan kebaikan dari Allah SWT.

Menurutnya, sebaik-baik rumah adalah yang di dalamnya terdapat anak yatim piatu. Mereka tidak hanya memberikan rumah yang layak, tetapi juga pendidikan dan kesehatan layaknya seorang anak kandung.