Kapan Waktu Paling Afdal Tunaikan Zakat Fitrah?

WAKTU paling afdol mengeluarkan zakat fitrah adalah di pagi hari raya, sebelum orang-orang menuju tempat shalat ied. Boleh juga sejak awal mewakilkan penunaian zakat kepada sebuah lembaga atau panitia zakat dengan syarat panitia atau lembaga tersebut akan menyalurkannya kepada yang berhak sehari atau dua hari sebelum ied. Dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar disebutkan bahwa:

“Mereka (para sahabat) menyerahkan zakat fitrah sehari atau dua hari sebelum ied.” [al-Bukhri: 1511]. Dalam riwayat Imam Mlik (1/55/285): “atau 3 hari sebelum ied”.

Sebagian ulama bahkan mengatakan bahwa zakat fitrah yang dikeluarkan (langsung kepada fakir miskin) seminggu sebelum ied, maka zakat tersebut tidak sah dan harus dikeluarkan ulang. [Islm Su-l wa Jawb no. 81164]

Bagaimana Jika Tidak Dikeluarkan pada Waktunya?

Zakat fitrah wajib ditunaikan sebelum shalat ied. Namun jika seseorangkarena adanya uzurterlewatkan menunaikannya, maka kewajiban tersebut tidak otomatis gugur. Dia tetap wajib menunaikan zakat tersebut setelah ied. Karena sebuah kewajiban yang terhalang akibat adanya uzur, maka wajib ditunaikan setelah uzur itu hilang. Demikian fatwa Imam Ibnul Utsaimn rahimahullh [Majm Fatwa Ibn. Utsaimn: 20/271]

Diberikan Untuk Siapa?

Berdasarkan hadits Ibnu Abbs yang menyebutkan bahwa zakat fitrah adalah “Thumatan lil-maskn” (makanan bagi orang-orang miskin), maka banyak ulama, di antaranya Ibnul Qoyyim, Ibnu Taimiyyah dan as-Syaukani menegaskan bahwa zakat fitrah hanya boleh disalurkan kepada orang miskin. [lih. Tammul Minnah hal. 387, Majm al-Fatwa: 25/73, as-Sail al-Jarrr: 2/86-87).

Dan inilah pendapat yang benar karena lebih dekat kepada dalil. Atas dasar ini pula, maka zakat fitrah tidak boleh diuangkan untuk keperluan yang lain, termasuk untuk membangun masjid. Karena Allah peruntukkan zakat fitrah hanya untuk orang-orang miskin. Adapun untuk pembangunan masjid, masih banyak potensi lain yang bisa diupayakan untuk menopangnya, seperti; wakaf tunai.

[Ustadz Abu Ziyan Halim/Al-Hujjah]

 

INILAH MOZAIK

Apa Itu Zakat Fitrah?

IBNU Umar radhiallahuanhuma mengatakan:

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah berupa 1 sha kurma atau 1 sha gandum baik atas hamba sahaya maupun orang merdeka, baik laki-laki maupun wanita, baik anak kecil atau dewasa dari kalangan muslimin. Beliau memerintahkannya ditunaikan sebelum orang-orang keluar untuk shalat (ied).” [al-Bukhri: 1503, Muslim: 984]

Dalam riwayat Abu Sad al-Khudri radhiallhuanhu [al-Bukhari: 1506], zakat fitrah tersebut bisa berupa thoam (makanan), Aqith (susu yang dikeringkan), atau zabib (kismis). Semuanya masing-masing seukuran 1 sha.

Satu (1) sha sama dengan 4 mud. Satu mud setakar dengan cidukan kedua telapak tangan orang dewasa. Para ulama menegaskan bahwa jenis-jenis makanan yang disebutkan dalam hadits-hadits tentang zakat fitrah, sebenarnya mengacu pada makanan pokok di suatu wilayah.

Sehingga untuk daerah lain (seperti Indonesia), penunaiannya bisa diganti dengan beras. Adapun takaran 1 sha dalam hadits di atas kurang lebih sama dengan 3 kg. [Majallah al-Buhts al-Islmiyyah: 17/79-80]

 

INILAH MOZAIK

Memberi Zakat Fitrah kepada Keluarga Lebih Afdal

MEMBAYAR zakat fitrah adalah salah satu kewajiban umat Islam di penghujung Ramadan–memasuki hari raya Idul Fitri. Saat ini masjid-masjid dan musala, misalnya, membentuk panita zakat fitrah. Melalui panitia inilah zakat fitrah nantinya disalurkan kepada yang berhak yaitu fakir miskin.

ADA pertanyaan bolehkah memberikan zakat fitrah ke saudara atau paman, atau bibi, atau keluarga lainnya?

Menurut Ustaz Ammi Nur Baits, golongan yang berhak menerima zakat fitri adalah fakir miskin. Selain itu, tidak berhak menerima zakat fitrah. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskan fungsi disyariatkannya kewajiban zakat fitrah, sebagaimana disebutkan dalam riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma,

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri sebagai makanan bagi orang miskin.” (HR. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani)

Asy-Syaukani mengatakan, “Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa zakat fitri hanya (boleh) diberikan kepada fakir miskin, bukan enam golongan penerima zakat lainnya.” (Nailul Authar, 2:7)

Hadis di atas secara tegas menunjukkan bahwa fungsi zakat fitri adalah untuk mencukupi kebutuhan orang miskin ketika hari raya. Sebagian ulama mengatakan bahwa salah satu kemungkinan tujuan perintah untuk mencukupi kebutuhan orang miskin di hari raya adalah agar mereka tidak disibukkan dengan memikirkan kebutuhan makanan di hari tersebut, sehingga mereka bisa bergembira bersama kaum muslimin yang lainnya.

Kemudian, ketika ada salah satu anggota keluarga kita yang kurang mampu, baik itu saudara atau paman atau bibi atau kerabat lainnya, bolehkah zakat fitrah kita berikan kepada mereka?

Jawabannya boleh dan bahkan lebih afdal. Seseorang akan mendapatkan pahala lebih ketika dia salurkan zakatnya kepada kerabatnya daripada dia salurkan kepada orang lain. Karena menyalurkan zakat ke keluarga nilainya ganda: zakat dan mempererat silaturahim. Hanya saja ada syaratnya.

Syaratnya adalah kerabat tersebut bukan termasuk orang yang wajib kita nafkahi. Jika kerabat tersebut termasuk orang yang wajib kita nafkahi, maka tidak boleh menerima zakat dari kita.

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang zakat kepada kerabat, beliau menjawab:

Boleh memberikan zakat fitrah atau zakat mal kepada kerabat yang miskin. Bahkan memberikan zakat kepada kerabat, lebih diutamakan daripada memberikannya kepada orang lain. Karena memberikan zakat kepada kerabat statusnya sebagai zakat dan mempererat silaturahim.

Namun dengan syarat, dalam penyerahan zakat ini tidak menyebabkan terlindungi kewajiban hartanya. Semacam orang miskin tersebut termasuk orang yang wajib dia nafkahi. Dalam kondisi ini, dia tidak boleh memenuhi kebutuhan orang miskin tersebut yang diambilkan dari zakatnya. Jika dia lakukan hal ini, berarti dia telah memperkaya hartanya dengan harta zakatnya. Tentu ini tidak boleh dan tidak halal. Namun jika dia bukan orang yang wajib dia nafkahi, maka dia boleh menyerahkan zakatnya kepada orang miskin itu. Bahkan menyerahkan zakat ke orang miskin yang masih kerabat, lebih afdal daripada diberikan kepada orang lain, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

“Sesungguhnya zakat kepada orang miskin nilainya zakat (saja). Sedangkan zakat kepada kerabat, nilainya dua: zakat dan silaturahim.” (HR. Nasai, Dariri, turmudzi, Ibnu Majah dan dishahihkan al-Albani). (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin 18. no. 301)

 

MOZAIK

Apakah Janin dalam Kandungan Wajib Zakat Fitri?

PARA ulama berbeda pendapat tentang janin, apakah orang tuanya juga wajib mengeluarkan zakat fitri baginya?

Syaikh Salim bin Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari mengatakan:

“Sebagian ulama berpendapat wajibnya zakat fithri atas janin, tetapi kami tidak mengetahui dalil padanya. Adapun janin, menurut bahasa dan kebiasaan (istilah), tidak dinamakan anak kecil”. (Sifat Shaum Nabi shallallhu ‘alayhi wa sallam f Ramadhan, halaman 102)

Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlan -Dosen Universitas Imam Muhammad bin Suud- berkata:

“Zakat fitri wajib atas setiap muslim, baik orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak kecil atau orang tua, dari kelebihan makanan pokoknya sehari dan semalam. Dan disukai mengeluarkan zakat fitri bagi janin yang berada di dalam perut ibunya”. (Taisirul Fiqh, 74, karya beliau)

Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah berkata : “Yang nampak bagiku, jika kita mengatakan disukai mengeluarkan zakat fitri bagi janin, maka zakat itu hanyalah dikeluarkan bagi janin yang telah ditiupkan ruh padanya. Sedangkan ruh, belum ditiupkan kecuali setelah empat bulan”.

Beliau juga berkata: “Dalil disukainya mengeluarkan zakat fitri bagi janin, diriwayatkan dari Utsman Radhiyallahu anhu, bahwa beliau mengeluarkan zakat fitri bagi janin.

(Riwayat Ibnu Abi Syaibah, 3/419; dan Abdullah bin Ahmad dalam al Masail, no 644. Bahkan hal ini nampaknya merupakan kebiasaan Salafush-Shalih, sebagaimana dikatakan oleh Abu Qilabah rahimahullah : “Mereka biasa memberikan shadaqah fitri, termasuk memberikan dari bayi di dalam kandungan”. (Riwayat Abdurrazaq, no. 5788))

Jika tidak, maka tentang hal ini tidak ada Sunnah dari Raslullh shallallhu ‘alayhi wa sallam. Tetapi wajib kita ketahui, Utsman adalah salah satu dari Khulafaur-Rasyidin, yang kita diperintahkan untuk mengikuti Sunnah mereka”. (Syarhul Mumti, 6/162-163)

Dari penjelasan ini kita mengetahui, disunahkan bagi orang tua untuk membayar zakat fitri bagi janin yang sudah berumur empat bulan dalam kandungan.

Wallahu alam. [Ustadz Abu Ismail Muslim al Atsari]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2306535/apakah-janin-dalam-kandungan-wajib-zakat-fitri#sthash.PuqMlypU.dpuf

Zakat Fitrah Satukan Umat

Selain melaksanakan puasa satu bulan penuh, seorang Muslim mempunyai kewajiban lainnya dalam bulan Ramadhan, yaitu mengeluarkan zakat fitrah.

Setiap orang yang hidup di bulan Ramadhan serta mencapai bulan yawal, wajib baginya untuk mengeluarkan zakat fitrah. Makna Zakat fitrah pun luar biasa karena bisa menumbukan persatuan umat muslim.

Seperti dikatakan Presiden Direktur Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), Agung Notowiguno, sebenarnya fungsi zakat fitrah merupakan pemenuhan kebutuhan pokok para golongan penerima zakat.

“Itu pemenuhan kebutuhan lebaran para mustahik terkait kebutuhan pokok seperti makanan. Jadi mereka wajib dapat itu sebelum Hari Raya,” ujarnya kepada Republika.

Terkait tujuan diwajibkannya zakat fitrah bagi umat Muslim yang tergolong mampu ternyata mengandung makna kebersamaan.

“Secara real disampaikan dalam alquran maknanya itu menumbuhkan rasa sayang antar umat, mensucikan diri pribadi dan harta,” katanya. Bahkan Agung mengatakan jika zakat fitrah bisa menjadi kekuatan sosial umat Muslim.

Selain itu, zakat fitrah tidak bisa hanya dilihat dari nilainya yang sekitar dua setengah kilogram bahan makanan pokok. Menurutnya, umat Muslim tidak boleh mengatakan itu terlalu sedikit, khususnya bagi yang memiliki kelebihan harta.

Ia meyakini jumlah pemberian yang diwajibkan pada zakat fitrah disesuaikan dengan kebutuhannya. “Memang karena hanya kebutuhan makan menjelang Hari Raya, jadi jumlahnya cuma 2,5 kg beras,” jelasnya.

zakat fitrah pada hakikatnya adalah lambang untuk menggambarkan setiap yang hidup harus bersedia dan bahkan berkewajiban untuk memberi hidup bagi orang lain. Pemberian dalam zakat fitrah berupa bahan makanan pokok masing-masing.

Sebagai contoh, kebanyakan orang Indonesia makan nasi, maka zakat fitrahnya berupa beras. Hal ini menjadi lambang semua orang harus bisa memperoleh pokok kehidupannya, baik melalui usahanya sendiri atau berkat bantuan sesama saudaranya, demi kelangsungan hidupnya.

Namun patut disadari, kadang ada umat Muslim yang lebih memilih membayar zakat fitrah secara tunai bukan dengan memberikan bahan makanan pokok. Menurut Agus, ia tidak melarang hal tersebut karena perlu mempertimbangkan wilayah.

“Kalau memang tidak ada bahan makanan, ya lebih baik di datangkan. Kalau bahan makanan sudah ada, kasih uang saja biar mereka membeli kebutuhannya sendiri,” terangnya.

 

sumber: Republika Online

Zakat Fitrah Bersihkan Keburukan pada Bulan Ramadhan

Menjelang berakhirnya bulan Ramadhan, ada satu kewajiban yang harus ditunaikan umat Muslim, yakni berzakat fitrah. Inilah salah satu kewajiban di Ramadhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi agar membersihkan segala keburukan di bulan Ramadhan.

Menurut ustaz Erick Yusuf, zakat fitrah dipercaya mampu melenyapkan hal-hal negatif yang dilakukan selama berpuasa. “Zakat fitrah gunanya membersihkan hal-hal tidak bermanfaat yang dilakukan selama bulan ramadhan,” katanya kepada Republika. Sehingga berbeda dengan zakat lainnya, zakat fitrah hanya diwajibkan di bulan Ramadhan.

Meski fungsinya terbilang luar biasa sebagai pembersih keburukan tapi jumlah zakat fitrah tergolong tidak banyak yaitu sebesar dua setengah kilogram bahan makanan pokok.

Menurut ustaz Erick hal itu terjadi karena zakat fitrah bersifat spesial untuk menggugurkan keburukan umat Muslim. “Jumlahnya dikit supaya semua orang mampu membayarnya. Kalau banyak, ya cuma sedikit yang bisa membayar,” ujarnya.

Ia menegaskan Allah SWT memiliki sistem yang luar biasa dengan kewajiban zakat fitrah yang sedikit supaya semua orang mampu membayarnya, kecuali golongan mustahik zakat.

Terkai dengan pola pembayaran kepada pihak amil zakat, dirinya menyarankan lebih baik bersifat tunai saja. “Sebaiknya sih tunai dan bayar di awal biar gampang diatur sama amil zakat,” imbaunya.

Sedangkan jika ada orang yang memberikan zakat fitrah berupa uang kontak kepada mustahik zakat, ia tidak melarangnya. Ia hanya menyarankan lebih baik diberikan bahan makanan saja agar bisa langsung digunakan.

“Kalau kasih bahan makanan itu supaya mereka (penerima zakat) ikut rayakan hari raya. Jangan  sampai ada kaum duafa yang tidak  makan di hari raya,” ucapnya.

 

sumber: Republika Online

Bagaimana cara membayar zakat fitrah orang yang telah meninggal?

Imam Hanbali menegaskan bahwa kewajiban membayar zakat fitrah tidak akan gugur meski orang itu sudah meninggal saat Ramadan atau sebelum 1 Syawal. Harta tersebut biasa diambil dari harta yang dia tinggalkan

“Diambil dari harta peninggalannya,” kutip buku buku Rahasia Puasa menurut 4 Mahzab karya Thariq Muhammad Suwaidan, Selasa (7/7).

Selain itu keempat Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali juga mengatakan boleh menzakati orang yang belum berhak berzakat jika dilakukan dengan sukarela tanpa paksaan.

Zakat juga boleh diberikan kepada sanak keluarga, “Jika mereka bukan dalam tanggungan nafkah kita dan mereka berhak mendapatkan zakat, zakat lebih baik diberikan kepada mereka daripada diberikan kepada orang lain (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali).

Zakat fitrah, menurut Rahasia Puasa Menurut 4 Mahzab, adalah zakat yang dikeluarkan pada akhir bulan Ramadan. Zakat ini diwajibkan sebagai penutup kesalahan yang dilakukan saat menjalankan puasa.

Abu Dawud pernah meriwayatkan dari Ibnu Abbas,”Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebagai penyucian diri bagi orang yang berpuasa dari hal yang melalaikan dan perbuatan buruk. Sekaligus rezeki bagi orang-orang miskin,”

sumber: Merdeka.com

Jangan Sampai Salah, Ini Takaran Bayar Fidyah Menurut Al-Quran dan Sunnah

Ada satu hal pelik yang dirasakan Muslim yang berhalangan untuk berpuasa pada setiap bulan Ramadan, yakni bagaimana takaran dalam membayar fidyah.

Ada yang mengatakan boleh dibayar sesuai harga nominal makan kita untuk satu porsi dikalikan jumlah puasa yang harus diganti, ada pula yang menyarankan dengan memberi makan orang miskin sebanyak 1 mud (1,25 kilogram cerealia, seperti gandum, beras dan lainnya, red.).

Lantas bagaimana kaidah fiqih mengatur pembayaran fidyah yang sesuai dengan perintah Allah dan seperti yang diteladankan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Seperti yang dikutip dari arrahmah.com lewat penjelasan Ustadz Ahmad Sarwat Lc., dalam Rumah Fiqih Indonesia, belum lama ini.

Membayar fidyah memang ditetapkan berdasarkan jumlah hari yang ditinggalkan untuk berpuasa. Setiap satu hari seseorang meninggalkan puasa, maka dia wajib membayar fidyah kepada satu orang fakir miskin.

Sedangkan teknis pelaksanaannya, apakah mau perhari atau mau sekaligus sebulan, kembali kepada keluasan masing-masing orang. Kalau seseorang nyaman memberi fidyah tiap hari, silahkan dilakukan.

Sebaliknya, bila lebih nyaman untuk diberikan sekaligus untukpuasa satu bulan, silahkan saja. Yang penting jumlah takarannya tidak kurang dari yang telah ditetapkan.

Berapakah besar fidyah?
Sebagian ulama seperti Imam As-Syafi’i dan Imam Malik menetapkan bahwa ukuran fidyah yang harus dibayarkan kepada setiap satu orang fakir miskin adalah satu mud gandum sesuai dengan ukuran mud Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.

Yang dimaksud dengan mud adalah telapak tangan yang ditengadahkan ke atas untuk menampung makanan, kira-kira mirip orang berdoa.

Sebagian lagi seperti Abu Hanifah mengatakan dua mud gandum dengan ukuran mud Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam atau setara dengan setengah sha‘ kurma atau tepung.

Atau juga bisa disetarakan dengan memberi makan siang dan makan malam hingga kenyang kepada satu orang miskin.

Dalam kitab Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili jilid 1 halaman 143 disebutkan bahwa bila diukur dengan ukuran zaman sekarang ini, satu mud itu setara dengan 675 gram atau 0,688 liter.

Sedangkan 1 sha‘ setara dengan 4 mud . Bila ditimbang, 1 sha‘ itu beratnya kira-kira 2.176 gram. Bila diukur volumenya, 1 sha‘ setara dengan 2,75 liter.

Lalu, Siapa Saja yang Harus Membayar Fidyah?

– Orang yang sakit dan secara umum ditetapkan sulit untuk sembuh lagi.

– Orang tua atau lemah yang sudah tidak kuat lagi berpuasa.

– Wanita yang hamil dan menyusui apabila ketika tidak puasamengakhawatirkan anak yang dikandung atau disusuinya itu. Mereka itu wajib membayar fidyah saja menurut sebagian ulama, namun menurut Imam Syafi’i selain wajib membayar fidyah juga wajib mengqadha’ puasanya. Sedangkan menurut pendapat lain, tidak membayar fidyah tetapi cukup mengqadha’.

– Orang yang menunda kewajiban mengqadha’ puasa Ramadhan tanpa uzur syar’i hingga Ramadhan tahun berikutnya telah menjelang. Mereka wajib mengqadha’nya sekaligus membayar fidyah, menurut sebagian ulama. Wallahu a’lam bish shawab. (*)

 

sumber: Tribun Jabar

Hukum membayar zakat fitrah dengan uang

Apakah pembayaran zakat fitrah dapat diganti dengan uang?

JAWABAN DR MUHAMMAD ARIF:

Pada dasarnya zakat, termasuk zakat fitrah, merupakan rukun Islam yang wajib dilaksanakan bagi umat Islam. Berbeda dengan zakat mal, zakat fitrah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap umat Islam, mulai dari bayi yang baru lahir hingga orang yang sudah tua renta, yang pelaksanaannya dilakukan menjelang Iedul Fitri di bulan Ramadan. 

Pertanyaannya, apakah pembayaran zakat fitrah harus berupa bahan makanan pokok atau boleh diganti dengan uang? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. 

Pertama, pendapat yang tidak membolehkan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang, alias mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok. Pendapat seperti ini didukung oleh jumhur ulama Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah.

Dalil yang dipergunakan antara lain hadis Ibnu Umar radliallahu ‘anhu bahwa, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri berupa satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menunaikan zakat ini sebelum orang-orang berangkat menunaikan salat ‘ied.” (HR Bukhari).

Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Dahulu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kami menunaikan zakat fithri berupa 1 sho’ bahan makanan, 1 sho’ kurma, 1 sho’ gandum atau 1 sho’ kismis.” (HR Bukhari). 

Dalil lain yang dipakai adalah bahwa pada zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, sistem mata uang (berupa dinar dan dirham) telah tersebar dan dipakai, namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah memerintahkan mengeluarkan zakat berupa uang dan tetap menyebutkan beberapa makanan pokok seperti tertera dalam hadis di atas. Dengan demikian, para ulama pada kelompok ini berketetapan bahwa zakat fitrah harus dibayarkan dalam bentuk bahan makanan pokok, bukan dalam bentuk uang (dinar atau dirham).

Kedua, pendapat yang membolehkan pembayaran zakat diganti dengan uang. Pendapat seperti ini didukung oleh beberapa ulama, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam Ibnu Taimiyah. Adapun dalilnya antara lain firman Allah SWT: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS At Taubah: 103). Ayat ini digunakan sebagai dalil bahwa asal dari kewajiban zakat yang diambil adalah harta (mal), yaitu apa-apa yang dimiliki oleh seseorang, baik itu berupa bahan makanan pokok, emas, perak, dan termasuk uang. Adapun penjelasan Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam tentang zakat fithrah dengan gandum dan kurma adalah sekedar untuk memudahkan dalam memenuhi kebutuhan, dan bukan membatasi jenisnya.

Dalil berikutnya adalah sabda Nabi SAW: “Cukupilah mereka (kaum fakir dan miskin) dari meminta-minta pada hari seperti ini (Idul Fitri).” (HR Daruquthni dan Baihaqi). Para ulama dalam kelompok ini menafsirkan bahwa memberi kecukupan (ighna`) kepada fakir dan miskin dalam zakat fitrah, selain dilakukan dengan bahan makanan pokok, juga dapat dilakukan dengan memberikan uang.

Abdullah bin Umar berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mengeluarkan zakat fitrah satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum.” Ibnu Umar berkata : “Orang-orang menyamakannya dengan dua mudd hinthah (sejenis gandum).” (HR Muslim).

Bahwa para sahabat telah mengkonversikan satu sho’ kurma dan gandum dengan setengah sho’ burr (gandum berkualitas bagus) atau dua mudd hinthah (sejenis gandum). Fakta seperti ini digunakan sebagai dalil bolehnya membayarkan zakat fitrah berdasarkan kesetaraan nilai. 

Pembedaan pengkonversian antara beberapa jenis gandum dalam zakat fitrah tersebut mengandung penjelasan bahwa pengkonversian tersebut didasarkan atas nilainya. Adapun disebutkannya burr atau hinthah, maka itu bukan pembatas dalam standar pengkonversian zakat fitrah.

Faktanya, saat ini kemaslahatan membayar zakat dalam bentuk uang merupakan sesuatu yang tidak bisa dipungkiri. Kebutuhan mustahik pada saat ini sangat beragam. Tidak hanya sebatas bahan makanan pokok, melainkan juga membutuhkan uang agar bisa mengolah bahan makanan pokok misalnya.

Dalam hal ini, menarik untuk menyimak penjelasan Syaikh Yusuf Al-Qardhawi bahwa Rasulullah Saw, pada waktu itu, memerintahkan zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok karena memang tidak semua orang memiliki dinar atau dirham. 

Pada saat itu, akses masyarakat terhadap bahan pokok lebih mudah jika dibandingkan dengan akses mereka terhadap uang. Oleh karenanya, jika Rasulullah SAW memerintahkan zakat dalam bentuk uang tentu akan sangat membebani umat. 
Berbeda halnya dengan kondisi saat ini, bahwa kebanyakan orang lebih mudah mendapatkan uang daripada bahan makanan pokok. Dengan demikian, memberikan zakat dalam bentuk uang terbukti telah memberikan maslahat bagi umat.

Wallahu alam bis-shawab.

 

sumber: Merdeka.com