Serial Fikih Zakat (Bag. 12): Zakat Pesangon

Definisi  dan Karakteristik Pesangon

Pesangon dapat didefinsikan sebagai:

حق مالي أوجبه ولي الأمر بشروط محددة، على رب العمل لصالح العامل عند انتهاء خدمته، وذلك بأن يدفع رب العمل للعامل مبلغاً نقدياً دفعة واحدة، ويكون مقدارها بحسب مدة الخدمة وسبب انتهائها والراتب الشهري الأخير للعامل

“Hak finansial yang diwajibkan oleh pemerintah (ulil amri) dengan syarat-syarat tertentu kepada pemberi kerja demi kepentingan pekerja ketika masa kerja berakhir; dimana pemberi kerja menyerahkan sejumlah uang kepada pekerja sekaligus dengan besaran yang disesuaikan dengan masa kerja, alasan berakhirnya masa kerja, gaji bulanan terakhir dari pekerja.” [Nawazil az-Zakat Dirasah Fiqhiyah Ta’shiliyah li Mustajaddat az-Zakathlm. 269]

Berdasarkan definisi di atas, dapat diketahui bahwa terdapat sejumlah aturan yang ditetapkan oleh setiap pemerintah di masing-masing negara untuk ketentuan pesangon yang menjadikannya memiliki sejumlah karakteristik, yaitu:

  1. Pesangon merupakan kewajiban yang diwajibkan pemerintah kepada pemberi kerja demi kepentingan pekerja (karyawan/pegawai). Di mana keharusan dan karakter pesangon tidaklah tunduk terhadap kehendak kedua belah pihak dalam kontrak. [Qadha al-‘Ummal 782]
  2. Besaran pesangon ditentukan berdasarkan alasan berakhirnya masa kerja, lama masa kerja, dan besar gaji bulanan terakhir yang diterima oleh pekerja sebelum berakhirnya masa kerja. [Tasyri’ al-‘Amal wa at-Taminat al-Ijtima’iyah 246; Qawa’id Inha Khidmah al-Muwazhzhaf al-‘Am fi al-Qanun al-Kuwaitiy hlm. 190]
  3. Waktu penerimaan pesangon adalah di saat masa kerja karyawan berakhir, sehingga karyawan tidak boleh menuntut pesangon sebelum masa kerja berakhir, demikian juga ia tidak boleh menolaknya. [Tasyri’ al-‘Amal wa at-Taminat al-Ijtima’iyah 245]. Karakteristik ini sangat penting karena berpengaruh dalam menentukan apakah uang pesangon wajib dizakati atau tidak [Nawazil Zakat hlm. 11].
  4. Tidak disyaratkan melakukan pemotongan gaji karyawan ketika masih aktif bekerja untuk alokasi dana pesangon sebagaimana halnya dengan program pensiun. [Qawa’id Inha Khidmah al-Muwazhzhaf al-‘Am fi al-Qanun al-Kuwaitiy 188].
  5. Karyawan adalah pihak yang berhak memperoleh pesangon ketika masa kerjanya berakhir semasa ia hidup. Namun, jika masa kerjanya berakhir disebabkan kematian, maka yang berhak memperoleh pesangon adalah orang yang berhak dinafkahi oleh karyawan tersebut seperti istri dan anaknya, tanpa terikat dengan kaidah-kaidah pewarisan yang diatur dalam agama. [at-Tasyri’at al-Ijtima’iyah 381; Tasyri’ al-‘Amal wa at-Taminat al-Ijtima’iyah hlm. 247].
  6. Pemberi kerja berhak menahan pesangon dalam beberapa kondisi yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan seperti karyawan melakukan pelanggaran yang menyebabkan kerugian material yang cukup besar bagi pemberi kerja. [at-Tasyri’at al-Ijtima’iyah 384]

Perspektif Fikih terhadap Pesangon

Hukum zakat pesangon bergantung pada perspektif fikih terhadap pesangon itu sendiri. Terkait hal tersebut, para peneliti memiliki ragam pendapat dalam menentukan status pesangon.

Pendapat pertama

Pesangon merupakan upah non-tunai. Alasannya adalah pemberi kerja, baik lembaga pemerintahan atau pun perusahaan, mencatat besaran pesangon berikut besaran gaji, ketika mengadakan kontrak dengan karyawan. Hal itu menunjukkan bahwa pesangon adalah upah non-tunai.

Pendapat kedua

Pesangon merupakan pertanggungan terhadap hal-hal yang dikhawatirkan ketika berakhirnya kontrak. Hal ini berarti karyawan ini membutuhkan sejumlah uang ketika berakhirnya masa kerja. Ulama yang mendukung pendapat ini beralasan bahwa pesangon memiliki karakteristik pertanggungan, dimana terdapat pihak penanggung, pihak yang ditanggung, besaran pertanggungan, dan hasil.

Pendapat ketiga

Pesangon adalah donasi atau komiten untuk berdonasi.

Pendapat keempat

Pesangon merupakan hak finansial yang secara khusus ditetapkan untuk pekerja. Ulama yang mendukung pendapat ini beralasan bahwa salah satu hak pemerintah pusat adalah menciptakan sejumlah hak dan kewajiban bagi masyarakat jika terdapat maslahat. Di antara contohnya adalah penetapan kewajiban untuk membayar pesangon bagi pekerja, mengingat pihak pekerja umumnya menjadi pihak yang memiliki posisi tawar lebih rendah dalam suatu kontrak. Pemberi kerja boleh jadi menyodorkan berbagai persyaratan yang hanya dapat disetujui tanpa ditolak oleh pekerja karena ia sangat membutuhkan pekerjaan. Maka, penetapan kewajiban pembayaran pesangon atas pemberi kerja merupakan bentuk perlindungan terhadap hak pekerja. Juga, pemenuhan terhadap kepentingan pekerja dan kepentingan pemberi kerja sekaligus, karena bisa meningkatkan kenyamanan dan kesungguhan dalam bekerja. [Nawazil az-Zakah Dirasah Fiqhiyah Ta’shiliyah li Mustajaddat az-Zakah hlm. 274].

Pendapat terakhir inilah yang lebih tepat dalam menggambarkan hakikat pesangon, yaitu pesangon adalah hak finansial yang diwajibkan oleh penguasa, baik kepada Bait al-Maal al-Muslimin, jika pekerja berstatus sebagai pegawai pemerintahan. Atau hak finansial itu diwajibkan kepada pemberi kerja seperti pemilik perusahaan atau yayasan, jika pekerja berstatus non-pegawai pemerintahan. Pendapat ini dikuatkan oleh alasan bahwa salah satu tujuan syari’at adalah mempertahankan hak pihak yang lemah dan melindungi mereka dari kezaliman pihak yang kuat. Di antara cara untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan menetapkan hak finansial bagi pekerja untuk dibayarkan oleh pemberi kerja. Kewajiban ini merupakan kewenangan pemerintah karena dalam ketetapan tersebut terdapat upaya mewujudkan keadilan. Semangat inilah yang ditekankan oleh Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam terkait riwayat dengan sanadnya berupa risalah yang ditulis oleh ‘Umar bin Abdil Aziz kepada para pegawainya di Bashrah. Umar bin Abdil Aziz menyampaikan,

وانظر من قبلك من أهل الذمة، قد كبرت سنه وضعفت قوته، وولت عنه المكاسب، فأجر عليه من بيت المال المسلمين ما يصلحه، فلو أن رجلاً من المسلمين كان له مملوك كبرت سنه، وضعفت قوته، وولت عنه المكاسب، كان من الحق عليه أن يقوته حتى يفرق بينهما موت أو عتق، وذلك أنه بلغني أن أمير المؤمنين عمر مر بشيخ من أهل الذمة يسأل على أبواب الناس، فقال: ما أنصفناك إن كنا أخذنا منك الجزية في شبيبتك ثم ضيعناك في كبرك، ثم أجرى عليه في بيت المال ما يصلحه

“Perhatikan ahli dzimmah di wilayahmu, yang telah berusia lanjut, berfisik lemah, dan sulit bekerja mencari nafkah. Berikanlah nafkah secara cuma-cuma kepada mereka dari Bait al-Maal al-Muslimin untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Dengan demikian, apabila salah seorang kaum muslimin memiliki budak yang telah berusia lanjut, berfisik lemah, dan sulit bekerja mencari nafkah, maka ia berkewajiban menanggung kebutuhannya sehari-hari hingga kematian atau status merdeka memisahkan ikatan keduanya. Aku mengetahui riwayat dari Amir al-Mukminin, Umar bin al-Khathab bahwa beliau pernah melewati seorang pria tua renta dari kalangan ahli dzimmah yang mengemis dari satu pintu ke pintu yang lain. Umar berkata kepada pria itu, ‘Kami telah berbuat tidak adil kepada engkau jika kami menarik upeti (jizyah) darimu semasa muda, kemudian menelantarkanmu di masa tua’. Kemudian Umar memberikan nafkah secara cuma-cuma untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pria itu.” [al-Amwal 1/57].

Bagaimana Zakat Pesangon?

Ketika masa kerja berakhir, baik karena pekerja mengundurkan diri, pensiun, atau kematian dan pesangon telah diterima oleh pihak keluarga, lantas bagaimana zakatnya?

Dari karakteristik dan perspektif fikih yang diuraikan di atas, nampak bahwa pekerja memiliki pesangon setelah masa kerja berakhir dan telah menerima pesangon. Maka, ketika masa kerja telah berakhir dan pekerja atau keluarganya telah menerima pesangon itu, di saat itulah haul zakat pesangon dimulai. Zakat tidak ditunaikan/dikeluarkan saat pesangon itu diterima, kecuali jika kita memilih pendapat pertama yang menyatakan bahwa pesangon adalah upah non-tunai yang diserahkan belakangan, sehingga saat menerima pesangon, pekerja berkewajiban langsung menunaikan zakatnya.

Namun, jika kita memilih pendapat keempat, dan pendapat inilah yang terpilih, bahwa pesangon adalah hak finansial yang diwajibkan pemerintah untuk dibayarkan kepada pekerja, atau pesangon adalah komitmen untuk memberikan donasi, maka berdasarkan kedua pendapat tersebut apabila pekerja menerima pesangon setelah masa kerja berakhir, di saat itulah pekerja memulai haul tersendiri untuk pesangon tersebut. Dengan demikian, jika pesangon itu habis terpakai sebelum haul tercapai sempurna, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat dari pesangon tersebut. Namun, jika haul telah tercapai sempurna dan pesangon itu masih dimiliki, maka ada kewajiban zakat pada pesangon itu yang harus ditunaikan.

Hal ini didukung oleh sejumlah alasan berikut:

  1. Pihak yang mengeluarkan pesangon menjelaskan kapan pesangon diterima oleh pekerja, yaitu pekerja tidak berhak menerima pesangon kecuali setelah masa kerjanya berakhir. Jika masa kerja belum berakhir, tentu pekerja belum berhak menerima pesangon. Jika kondisinya demikian, tentu zakat terhadap pesangon hanya dapat ditunaikan setelah haul tercapai sempurna.
  2. Pekerja belum memiliki hak kepemilikan sehingga bisa mengelola dan/atau membelanjakan pesangon itu sebelum masa kerja berakhir. Sebagai contoh, diasumsikan seorang pekerja berhak atas pesangon sebesar Rp50.000.000,- ketika masa kerja berakhir. Dia belum diperkenankan menggunakan pesangon itu untuk membeli sesuatu atau menolaknya. Ini adalah suatu hal yang menunjukkan bahwa pekerja belum memiliki pesangon itu kecuali masa kerja telah berakhir. Di saat itu tiba, maka pesangon pun menjadi milik pekerja dan selanjutnya membutuhkan haul tercapai sempurna agar zakat dikeluarkan dari pesangon tersebut.
  3. Pesangon ini bersifat tidak pasti. Terkadang pekerja tidak memperolehnya mengingat syarat dan aturan yang ditetapkan untuk pesangon. Pekerja boleh jadi melakukan pelanggaran yang mengakibatkan dirinya tidak bisa menerima pesangon.

Pesangon termasuk Maal Mustafad

Berdasarkan hal di atas, apakah pesangon perlu digabungkan dengan harta sejenis yang dimiliki oleh pekerja atau memiliki haul tersendiri? Menurut pendapat terpilih, zakat pesangon memiliki haul tersendiri, sehingga zakat pesangon ditunaikan setelah diterima dan haulnya tercapai sempurna (dimiliki selama setahun). Hal ini mengingat pesangon termasuk ke dalam kategori maal mustafad yang bukan berupa keuntungan perdagangan atau hasil ternak, namun sejenis dengan harta yang telah ada, di mana maal mustafad dengan kepemilikan yang baru tidaklah dimiliki dengan mengembangkan harta yang telah dimilikinya, sehingga tidak perlu digabungkan dengan haul harta pokok (lihat https://muslim.or.id/60688-serial-fiqh-zakat-bag-11-zakat-gaji-bulanan.html).

Demikian yang dapat disampaikan. Wallahu ta’ala a’lam.

Sumber:

  1. Nawaazil az-Zakat, Prof. Dr. Khalid ibn Aliy al-Musyaiqih.
  2. Nawazil az-Zakat Dirasah Fiqhiyah Ta-shiliyah li Mustajaddat az-Zakat, Dr. Abdullah ibn Manshur al-Ghufailiy.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/66428-serial-fiqh-zakat-bag-12-zakat-pesangon.html