Serial Fiqh Zakat (Bag. 11): Zakat Gaji Bulanan

Definisi Gaji Bulanan

Gaji bulanan adalah upah yang diperoleh pekerja tertentu di setiap bulan sebagai kompensasi atas pekerjaannya. [Nawazil az-Zakat Dirasah Fiqhiyah Ta-shiliyah li Mustajaddat az-Zakathlm. 287]

Inilah yang umumnya terjadi pada para pegawai saat ini, karena mereka menerima gaji secara bulanan, bukan tahunan.

Agar kita mengetahui hakikat zakat dari gaji bulanan, terlebih dahulu kita harus menjelaskan perihal maal mustafad yang diperoleh di pertengahan haul harta zakat (obyek zakat) yang lain. Apakah ia mempunyai haul tersendiri, ataukah haul maal mustafad mengikuti harta zakat yang sudah ada?

Zakat Maal Mustafad dan Pembagiannya

Apa itu maal mustafad? Dr. al-Qardhawi menyatakan bahwa maal mustafad adalah,

هو المالُ الذي يدخُلُ في مِلكيَّة الشَّخصِ بعد أنْ لم يكنْ، سواءٌ كان من النَّقْدَين، أو من العَقارِ، أو من النَّعَمِ، أو غير ذلك، وهو يشمَلُ الدَّخلَ المنتظِمَ للإنسانِ مِن راتبٍ أو أجْرٍ، كما يشمَلُ المكافآتِ والأرباحَ العارضةَ، والهباتِ والإرثَ، ونحوَ ذلك

“Harta yang menjadi milik seseorang setelah sebelumnya tidak ada, baik harta itu berupa emas dan perak; properti; hewan ternak; atau harta yang lain. Tercakup dalam maal mustafad adalah pendapatan rutin yang diperoleh seseorang seperti gaji atau upah, demikian pula mencakup pesangon, hasil keuntungan, hibah, warisan, dan yang sejenis.” [Fiqh az-Zakah, 1: 164]

Jadi, maal mustafad ini mencakup segala macam tambahan pendapatan selain harta zakat yang telah dimiliki seseorang. [Nawazil az-Zakat Dirasah Fiqhiyah Ta-shiliyah li Mustajaddat az-Zakathlm. 287]

Berkaitan dengan zakat maal mustafad, secara sederhana kita bisa mengategorikan sebagai berikut:

Pertama: maal mustafad merupakan keuntungan perdagangan atau hasil ternak

Jika maal mustafad adalah keuntungan dari aktivitas perdagangan atau hasil ternak, maka haulnya mengikuti haul harta pokok.

Sebagai contoh: A memiliki lima unta yang digembalakan (saa-imah) sejak bulan Muharram. Kemudian di akhir tahun, yaitu di bulan Dzulhijjah, kelima unta itu melahirkan sehingga diperoleh lima anak unta. Lima unta yang terakhir ini apakah memiliki haul sendiri atau mengikuti haul induknya?

Dalam kasus ini, haul lima unta terakhir mengikuti haul induknya. Sehingga ketika bulan Muharram berikutnya tiba, A harus menunaikan zakat dari kepemilikan sepuluh unta tersebut, meskipun kelima anak unta itu baru dimiliki selama sebulan.

Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan,

أجمع أهل العِلم أنَّ الرَّجلَ إذا كان عنده نِصابٌ، ويكون المستفادُ مِن نَمائِه كربحِ مالِ التِّجارة ونتائِجِ السائمة، يجب ضمُّه إلى ما عنده مِن أصلِه، فيَعتَبِر حولًا بحَوْلِه

“Ulama bersepakat bahwa seorang dengan harta yang telah mencapai nishab, kemudian memperoleh tambahan dari perkembangan harta tersebut, baik berupa keuntungan harta perdagangan dan hasil ternak, maka wajib menggabungkannya dengan harta pokok. Sehingga haulnya mengikuti haul harta pokok.” [al-Isyraf, 3: 53]

Ibnu Qudamah rahimahullah menyampaikan adanya ijmak dalam hal ini. Beliau rahimahullah menyatakan,

أن يكون المستفادُ مِن نَمائِه كربحِ مال التِّجارة ونِتاجِ السائمة، فهذا يجب ضمُّه إلى ما عندَه من أصله، فيعتبر حَوله بِحَوْلِه. لا نعلمُ فيه خلافًا

Maal mustafad yang diperoleh karena berkembangnya harta pokok, seperti keuntungan dari komoditas perdagangan dan hasil ternak, maka maal mustafad seperti ini wajib digabungkan dengan hart pokok. Sehingga haulnya mengikuti haul harta pokok. Kami tidak mengetahui ada pendapat lain yang menyelisihi.” [al-Mughni, 2: 468]

Demikian pula dengan keuntungan komoditas perdagangan yang dijadikan obyek jual-beli. Sebagai contoh, B adalah pemilik toko sembako yang mulai membuka tokonya di awal bulan Muharram dengan modal sembako senilai Rp85.000.000,-. Ketika tiba bulan Muharram berikutnya, dia telah memiliki komoditas perdagangan berupa sembako senilai Rp125.000.000,-. Dalam kasus ini, haul untuk penambahan komoditas perdagangan tersebut mengikuti haul harta pokoknya. Jadi ketika tiba bulan Muharram berikutnya, tidak boleh mengatakan bahwa ini adalah barang-barang baru dan merupakan keuntungan yang baru diperoleh. Akan tetapi, haul penambahan komoditas perdagangan itu mengikuti haul harta pokoknya. Dengan demikian, B wajib menunaikan zakat seluruh komoditas perdagangan yang dimilikinya.

Kedua: maal mustafad bukan berupa keuntungan perdagangan atau hasil ternak; serta jenisnya berbeda dengan jenis harta yang telah ada

Diasumsikan bahwa A mempunyai unta yang sudah mencapai nishab dan memperoleh sejumlah harta yang lain berupa warisan atau hibah. Misalnya, dia mendapat hibah uang sebesar Rp50.000.000,-; atau dia menerima gaji bulanan sebesar Rp10.000.000,- ; atau dia mewarisi harta ayahnya sebesar Rp100.000.000,-. Dalam kasus ini, mayoritas ulama menyatakan bahwa setiap harta tersebut tidak digabungkan dengan unta yang telah dimiliki. Dengan demikian, unta yang telah dimiliki memiliki haul tersendiri. Sementara berbagai tambahan harta di atas masing-masing memiliki haul tersendiri yang berlaku saat diperoleh jika telah mencapai nishab.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

أن يكون المستفادُ مِن غيرِ جِنس ما عنده، فهذا له حُكمُ نفْسِه، لا يُضمُّ إلى ما عنده في حَولٍ ولا نِصاب، بل إنْ كان نِصابًا استقبَلَ به حولًا وزكَّاه، وإلَّا فلا شيءَ فيه. وهذا قولُ جمهور العلماء. ورُوي عن ابن مسعودٍ وابن عباس ومعاوية أنَّ الزَّكاةَ تجب فيه حين استفادَه. قال أحمد عن غيرِ واحدٍ: يزكِّيه حين يستفيدُه. وروى بإسنادِه عن ابن مسعود، قال: كان عبدُ الله يُعطينا ويزكِّيه. وعن الأوزاعي فيمَن باع عبدَه أو دارَه، أنَّه يزكِّي الثَّمَن حين يقع في يدِه إلَّا أن يكونَ له شَهْرٌ يُعلَمُ، فيؤخِّره حتى يزكِّيَه مع ماله. وجمهورُ العلماء على خلافِ هذا القول؛ منهم أبو بكر وعمرُ وعثمانُ وعليٌ رَضِيَ اللهُ عنهم

“Apabila maal mustafad merupakan harta yang tidak sejenis dengan harta yang telah dimiliki, maka maal mustafad ini memiliki hukum tersendiri. Sehingga haul dan nishabnya tidak digabungkan dengan harta yang telah dimiliki. Bahkan apabila maal mustafad itu telah mencapai nishab, maka silakan dimiliki hingga haul terpenuhi kemudian ditunaikan zakatnya.” [al-Mughni, 2: 468]

Ketika menjelaskan jenis maal maustafad yang diperoleh di antara rentang waktu haul harta yang telah dimiliki seseorang, al-Kasani rahimahullah menyatakan,

فإن كان من خلافِ جنْسِه كالإبل مع البقر، والبقر مع الغنم، فإنَّه لا يُضمُّ إلى نِصاب الأصل، بل يستأنِفُ له الحَوْلَ بلا خلافٍ

“Apabila maal mustafad itu berbeda jenis dengan harta yang telah dimiliki, seperti unta dan sapi, atau sapi dan kambing, maka tidak perlu menggabungkan maal mustafad dengan harta pokok (harta awal). Namun, maal mustafad memiliki haul tersendiri. Tak ada pendapat lain yang menyelisihi hal ini.” [Badaai’ ash-Shanaai’, 2: 13]

Ketiga: maal mustafad bukan berupa keuntungan perdagangan atau hasil ternak; tapi sejenis dengan harta yang telah ada

Misalnya, A mempunyai uang sebanyak Rp85.000.000,- kemudian ia menerima honor sebesar Rp10.000.000,. Apakah haul honor ini mengikuti haul uang yang telah dimilikinya atau ia memiliki haul tersendiri?

Dalam kasus ini ulama berbeda pendapat.

Pendapat pertama

Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa selama maal mustafad itu sejenis dengan harta yang telah dimiliki, maka keduanya digabungkan sehingga memiliki haul yang sama dengan haul harta pokok.

Pendapat kedua

Mayoritas ulama menyatakan masing-masing memiliki haul tersendiri. [asy-Syarh al-Kabir, 1: 432; al-Majmu’, 5: 367; al-Mughni, 2: 468]

Pendapat yang dikemukakan oleh mayoritas ulama tersebut adalah pendapat yang lebih tepat, karena penggabungan haul maal mustafad pada harta pokok terjadi setidaknya karena dua alasan: (a) maal mustafad terlahir dari harta pokok seperti domba yang terlahir dari induknya dan (b) maal mustafad merupakan cabang dari harta pokok seperti keuntungan yang diperoleh dari komoditas perdagangan. Adapun maal mustafad dengan kepemilikan yang baru tidaklah dimiliki dengan mengembangkan harta yang telah dimilikinya, sehingga tidak perlu digabungkan dengan haul harta pokok. [al-Majmu’, 5: 367]

Zakat Gaji Bulanan

Ketika kita memahami uraian di atas dan perbedaan pendapat yang ada, sekarang kita bisa mengemukakan permasalahan yang berkaitan dengan zakat gaji bulanan. Misalnya, seorang pegawai menerima gaji pada bulan Muharram sebesar Rp10.000.000,-. Demikian juga di bulan Shafar, Rabi’ al-Awwal, dan seterusnya.

Menurut ulama Hanafiyah, haul gaji tersebut dimulai pada awal penerimaan gaji, yaitu bulan Muharram. Hal ini karena mereka berpandangan maal mustafad harus digabungkan karena sejenis dengan harta pokok.

Namun, berdasarkan pendapat mayoritas ulama, setiap gaji memiliki haul tersendiri. Dengan demikian, gaji yang diterima bulan Muharram wajib ditunaikan zakatnya di bulan Muharram berikutnya apabila jumlahnya masih mencapai nishab. Demikian pula dengan gaji yang diterima bulan Shafar wajib ditunaikan zakatnya di bulan Shafar berikutnya; dan demikian seterusnya.

Akan tetapi, mempraktikkan hal ini sangat sulit karena membutuhkan ketelitian dan kesabaran. Oleh karena itu, al-Lajnah ad-Daaimah Kerajaan Arab Saudi memfatwakan bahwa sebaiknya seseorang menentukan suatu waktu dan melihat berapa banyak gaji yang terkumpul di waktu itu. Untuk gaji yang telah memenuhi haul, dia menunaikan zakatnya tepat waktu. Adapun gaji yang belum memenuhi haul, maka dia bisa menunaikannya lebih awal. Hal ini mengingat menunaikan zakat lebih awal diperbolehkan menurut mayoritas ulama. [Fatwa no. 282, Majmu’ Fataawa al-Lajnah ad-Daaimah 9/280]

Dengan demikian, apabila seseorang benar-benar mengutamakan pendapat mayoritas ulama, maka dia harus membuat jadwal penghitungan yang berisi kapan setiap gaji itu diterima dan kapan haul setiap gaji tersebut terpenuhi. Namun apabila hal ini sulit dipraktikkan, maka dia disarankan melakukan apa yang difatwakan al-Lajnah ad-Daaimah di atas.

Demikian yang dapat disampaikan. Wallahu ta’ala a’lam.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: Muslim.or.id

Serial Fiqh Zakat (Bag. 10): Penggunaan Kalender Masehi dalam Penetapan Haul Zakat

Baca pembahasan sebelumnya Serial Fiqh Zakat (Bag. 9): Zakat Uang Kartal

Mayoritas ulama berpendapat bahwa tercapainya haul merupakan syarat yang wajib terpenuhi bagi obyek zakat yang berupa emas dan perak, hewan ternak, dan barang perdagangan.

Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan,

السَّائمةُ من بهيمةِ الأنعامِ، والأثمانُ؛ وهي الذهب والفضَّة، وقِيَمُ عُروضِ التِّجارة، وهذه الثلاثة الحَوْلُ شرطٌ في وجوبِ زكاتِها. لا نعلم فيه خلافًا). ((المغني)) (2/467).

“(Untuk) hewan ternak yang berkategori saa-imah; emas dan perak; dan nilai barang perdagangan, haul merupakan syarat wajib zakat bagi ketiganya. Kami tidak mengetahui ada pendapat yang berbeda dalam hal ini.” (al-Mughni, 2: 467)

Dalam Bidayatul Mujtahid (1: 270), Ibnu Rusyd Rahimahullah menginformasikan bahwa syarat haul tersebut merupakan kesepakatan al-Khulafa ar-Rasyidin dan telah luas dipraktikkan di masa sahabat Radhiallahu ‘anhum. Keterangan Ibnu Rusyd tersebut didukung oleh riwayat Malik dari Abu Bakr ash-Shiddiq dan Utsman bin ‘Affan dalam al-Muwaththa’ no. 638, yang menetapkan pensyaratan haul.

Di masa ini, timbul persoalan baru terkait pensyaratan haul untuk kewajiban zakat, yaitu penggunaan kalender solar (kalender surya) dalam penentuan haul zakat. Hal ini karena dalam berbagai interaksi, mayoritas masyarakat telah bergantung pada penanggalan Masehi yang berpatokan pada kalender solar.

Apakah penentuan haul zakat diperbolehkan berpatokan pada kalender solar ataukah tetap wajib berpatokan pada kalender lunar yang terwujud dalam penanggalan Hijriyah?

Sekilas tentang kalender olar dan kalender lunar

Kalender solar adalah sistem penanggalan yang didasarkan atas revolusi bumi mengelilingi matahari [Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_surya].

Hal ini mengakibatkan tahun dalam kalender solar terbagi ke dalam empat musim, yaitu musim panas, musim dingin, musin semi, dan musim gugur, dimana dalam setahun terdiri dari sekitar 365,2422 hari. Adapun pembagian tahun dalam kalender solar menjadi beberapa bulan, hal itu merupakan kreasi sebagian bangsa yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Dari kalender solar inilah kemudian tercipta penanggalan Masehi. (at-Tarikh al-Hijriy, hlm. 22)

Adapun kalender lunar (as-sanah al-qamariyah) yang juga dikenal dengan al-haul al-qamariy merupakan sistem penanggalan yang didasarkan pada revolusi bulan yang mengelilingi bumi dan itulah yang menjadi sebab penetapan bulan-bulan dalam setahun. Waktu total revolusi bulan mengelilingi bumi merepresentasikan satu bulan dalam kalender lunar yang membutuhkan waktu sekitar 29,52 hari. Jumlah bulan dalam kalender lunar ini sebanyak 12 bulan, yang dalam penanggalan Hijriyah dikenal dengan 12 bulan Arab yang terkenal, dimulai dari bulan Muharram dan diakhiri dengan bulan Dzulhijjah. Berdasarkan hal itu, dalam kalender lunar, khususnya dalam penanggalan Hijriyah, terdapat 354,36 hari dalam setahun, yang jika dibandingkan dengan kalender solar terdapat selisih 10,88 hari. (at-Tarikh al-Hijriy, hlm. 23)

Dapat diperhatikan dari uraian di atas bahwa kalender lunar berpatokan pada pergerakan dan perputaran bulan di sekitar bumi dan tidak berkaitan dengan pergerakan bumi di sekitar matahari.

Kalender lunar adalah patokan dasar dalam penentuan waktu

Penentuan waktu dalam Islam berpatokan pada kalender lunar atau penanggalan Hijriyah, bukan berpatokan pada kalender solar atau penanggalan Masehi. Ibnu Taimiyah Rahimahullah menuturkan,

فجعل اللهُ الأهلَّةَ مواقيتَ للناس في الأحكام الثابتة بالشرع ابتداءً، أو سببًا من العبادة، وللأحكامِ التي تثبُتُ بشروط العَبدِ. فما ثبت من المؤقتاتِ بشرع أو شرط فالهلالُ ميقاتٌ له، وهذا يدخُلُ فيه الصيام والحجُّ، ومدةُ الإيلاءِ والعدَّة، وصومُ الكفَّارة… وكذلك صوم النذر وغيره. وكذلك الشروط من الأعمال المتعلِّقة بالثَّمن ودَين السَّلَم، والزَّكاة، والجِزية، والعقل، والخيار، والأيمان، وأجَل الصَّداق، ونجومُ الكتابة، والصُّلح عن القِصاص، وسائر ما يُؤجَّلُ منِ دَين وعَقدٍ وغيرهما

“Maka Allah menjadikan hilal (bulan sabit) sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia dalam hukum-hukum yang ditetapkan oleh syariat, baik sebagai permulaan suatu ibadah atau sebagai sebab suatu ibadah. Juga sebagai tanda-tanda waktu bagi hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan persyaratan manusia. Dengan demikian, setiap ketentuan waktu yang ditetapkan oleh syariat atau syarat, maka yang menjadi patokan adalah hilal. Hal ini mencakup ibadah puasa; haji; jangka waktu ilaa dan ‘iddah; dan puasa kaffarah … termasuk puasa nadzar dan selainnya. Demikian pula syarat-syarat dari aktifitas yang berkaitan dengan uang, utang salam, zakat, jizyah, pembatalan, khiyar, sumpah, utang mahar, pembebasan status budak dengan tebusan, perdamaian dalam qishash, dan seluruh perkara lain yang ditunda, baik berupa utang, akad, dan selainnya” (Majmu’ al-Fatawa, 25: 133, 134).

Dalil yang mendasari penggunaan kalender lunar

Hal ini didasarkan pada sejumlah dalil berikut:

Dalil pertama

Dalil-dalil agama menunjukkan kewajiban menggunakan penentuan waktu yang berdasarkan kalender lunar yang direpresentasikan dalam penanggalan Hijriyah dan bukan menggunakan kalender solar yang direpresentasikan dalam penanggalan Masehi.

Allah Ta’ala berfirman,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji” (QS. al-Baqarah: 189).

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menjadikan hilal sebagai tanda awal dan akhir bulan, sehingga hal ini berarti hilal merupakan tanda waktu, sebagaimana hitungan bulan itu tepat bila berpatokan pada kalender lunar karena terkait dengan hilal yang merupakan salah satu fase bulan.

Asy-Syafi’i Rahimahullah mengatakan,

فـأعلم الله تعالى بالأهلة جمل المواقيت… ولم يـجعل علماً لأهل الإسلام إلا بها، فمن أعلم بغيرها، فبغير مـا أعلم الله أعلم

“Maka Allah Ta’ala menjadikan hilal sebagai tanda bagi berbagai ketentuan waktu … Dia tidak menjadikan hal lain sebagai tanda-tanda waktu bagi kaum muslimin. Maka setiap orang yang menjadikan hal selain hilal sebagai tanda waktu, maka ia telah menjadikan hal lain yang tidak digunakan Allah sebagai tanda waktu.” (al-Umm, 3: 118)

Allah Ta’ala juga berfirman,

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)” (QS. Yunus: 5).

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menjadikan bilangan tahun dan perhitungan waktu berpatokan pada fase-fase bulan, dimana hal itu hanya bisa terwujud jika menggunakan bulan-bulan Hijriyah yang awal dan akhir bulannya diketahui berdasarkan pada rukyah hilal. (at-Tafsir al-Kabir, 16: 50)

Dalil kedua

Menghitung dan menggunakan kalender lunar sebagai patokan selaras dengan kelapangan, kemudahan, dan keuniversalan agama Islam. Karena penghitungan dan pengenalan terhadap hari dan bulan dalam kalender lunar (kalender Hijriyah) dapat dilakukan oleh setiap orang sehingga tidak membutuhkan bantuan seorang pakar.

Ibnu al-Qayyim Rahimahullah menuturkan,

ولذلك كان الحساب القمري أشهر وأعرف عند الأمم، وأبعد عن الغلط، وأصح للضبط من الحساب الشمسي، ويشترك فيه الناس دون الحساب الشمسي

“Oleh karena itu, penghitungan yang berpatokan pada kalender lunar lebih populer dan lebih terkenal di kalangan umat manusia; minim alat dan akurat daripada penghitungan yang berpatokan pada kalender solar. Setiap orang dapat menguasainya, berbeda dengan penghitungan kalender solar” (Miftaah Daar as-Sa’adah, 2: 272).

Dengan demikian, kalender lunar (kalender Hijriyah) sesuai untuk setiap orang, baik yang terpelajar maupun bodoh, penduduk kota maupun penduduk desa, di masa silam maupun masa modern, yang menegaskan berpatokan pada kalender lunar adalah sebuah keharusan, bukan berpatokan pada kalender solar. Hal ini dikarenakan kalender lunar memiliki karakteristik yang sesuai dengan karakteristik agama Islam, terlebih lagi kebutuhan masyarakat untuk berpatokan pada penghitungan yang bisa digunakan dalam kehidupan mereka dengan beragam tempat dan waktu hanya terwujud dengan menggunakan penanggalan Hijriyah yang berdasarkan kalender lunar. (at-Tarikh al-Hijriy, hlm. 52)

Menggunakan penanggalan masehi dalam menunaikan zakat

Al-Lajnah ad-Daimah Kerajaan Arab Saudi memfatwakan bahwa penanggalan yang menjadi patokan dalam menunaikan zakat adalah penanggalan Hijriyah dan bulan-bulan Qamariyah, bukan menggunakan penanggalan Masehi (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta, 9: 200, Fatwa no. 9410).

Agak berbeda dengan al-Lajnah ad-Damimah, Bait az-Zakat di Kuwait memang berpandangan bahwa dalam menunaikan zakat hendaknya berpatokan pada penanggalan Hijriyah (kalender lunar). Namun, jika hal itu sulit dilakukan, semisal karena keterkaitan anggaran perusahaan atau yayasan dengan penanggalan Masehi (kalender solar), maka dalam kondisi tersebut boleh menggunakan penanggalan Masehi (kalender solar) dalam menunaikan zakat. Dengan catatan besaran zakat bertambah menjadi 2,575% akibat adanya selisih hari antara penanggalan Masehi dan penanggalan Hijriyah. (Ahkam wa Fatawa az-Zakah wa ash-Shadaqat wa an-Nudzur wa al-Kaffarat tahun 1423 H)

Empat alasan tidak menggunakan penanggalan masehi Sebagai patokan

Jika diteliti, perbedaan di atas hanyalah perbedaan dalam redaksi kata, karena keduanya sama-sama sepakat tetap menggunakan penanggalan Hijriyah (kalender lunar) dalam menunaikan zakat. Bait az-Zakat Kuwait memang membolehkan penghitungan haul zakat berdasarkan penanggalan Masehi, tetapi dengan tetap menyetarakannya dengan penanggalan Hijriyah. Yaitu adanya tambahan pada besaran zakat sebagai kompensasi atas selisih hari yang terjadi ketika menggunakan penanggalan Masehi.

Bait az-Zakat Kuwait juga membatasi penggunaan penanggalan Masehi dalam menunaikan zakat jika memang sulit menggunakan penanggalan Hijriyah. Dengan demikian, pada dasarnya yang disepakati adalah menghitung haul zakat sesuai dengan penanggalan Hijriyah dan bukan berpatokan pada penanggalan Masehi. Hal itu dikarenakan sejumlah alasan berikut:

Alasan pertama

Dalil-dalil agama dan kutipan ulama yang menunjukkan kewajiban menggunakan penanggalan Hijriyah sebagai patokan dalam menunaikan zakat. Apalagi penanggalan Masehi merupakan kreasi umat sebelum datangnya Islam, yang bisa ditambah ataupun dikurangi, sehingga penanggalan ini tidak berpijak pada standar yang baku.

Alasan kedua

Telah ditetapkan bahwa tidak boleh menggunakan kalender solar yang direpresentasikan dalam penanggalan Masehi. Demikian pula, tidak boleh menghitung tanda-tanda waktu berdasarkan penanggalan tersebut, sehingga tidak boleh berpatokan pada penanggalan Masehi dalam menghitung haul zakat.

Alasan ketiga

Menggunakan kalender solar yang direpresentasikan dalam penanggalan Masehi sebagai patokan justru akan menyebabkan penunaian zakat tertunda selama kurang lebih 11 hari. Sehingga dalam rentang waktu sekitar 30 tahun, hal ini bisa mengakibatkan seorang muslim tidak menunaikan kewajiban zakatnya selama satu tahun penuh. Artinya semasa hidup mereka, jutaan kaum muslimin bisa melewatkan kewajiban menunaikan zakat sebanyak satu atau dua kali. Tentu saja hal ini merugikan kepentingan umat secara umum dan merugikan delapan pihak yang berhak menerima zakat secara khusus.

Alasan keempat

Berpatokan pada kalender solar mengakibatkan hilangnya tanggung jawab wajib zakat (muzakki) ketika harta belum mencapai nisab atau ketika wajib zakat wafat setelah haul penanggalan Hijriyah terpenuhi, sementara haul penanggalan Masehi belum terpenuhi. Artinya, jika menggunakan penanggalan Masehi, tanggung jawab wajib zakat untuk menunaikan zakat menjadi tidak ada dalam rentang waktu sekitar 11 hari yang merupakan selisih antara penanggalan Masehi dan penanggalan Hijriyah. Hal ini menimbulkan kerugian yang nyata dan menyia-nyiakan hak Allah dan hak hamba-Nya.

Apabila dalam menghitung haul zakat berdasarkan penanggalan Hijriyah terdapat kesulitan karena alasan yang logis, maka boleh menghitung haul zakat berdasarkan penanggalan Masehi berdasarkan pendapat yang membolehkan penundaan zakat karena adanya kebutuhan. Misalnya, kondisi yang dialami sebagian perusahaan yang membangun anggaran keuangan berdasarkan penanggalan Masehi. Perusahaan tersebut berpatokan pada penanggalan Masehi karena memiliki cabang-cabang perusahaan di luar negeri yang menggunakan penanggalan Masehi, dimana penanggalan itulah yang menjadi standar internasional. Patut diperhatikan bahwa hal ini dibolehkan dengan tetap memperhatikan sejumlah batasan berikut:

Pertama, keterkaitan zakat dengan tanggung jawab wajib zakat (muzakki) tetap mengacu pada kesempurnaan haul yang berdasarkan penanggalan Hijriyah. Artinya, apabila wajib zakat wafat setelah haul penanggalan Hijriyah tercapai, ia tetap wajib menunaikan zakat meskipun haul berdasarkan penanggalan Masehi belum tercapai. Dengan demikian, besaran zakat itu menjadi utang yang wajib ditunaikan dan dibayar dari harta peninggalannya sebelum dibagikan kepada ahli waris.

Kedua, wajib memperhitungkan selisih yang timbul dari penundaan penunaian zakat akibat menggunakan penanggalan Masehi. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam fatwa Bait az-Zakat Kuwait sebelumnya.

Demikian yang dapat disampaikan. Semoga bermanfaat.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: www.muslim.or.id

Catatan kaki:

Artikel ini disadur dari Nawazil az-Zakat Dirasah Fiqhiyah Ta-shiliyah li Mustajaddat az-Zakat, karya Dr. ‘Abdullah ibn Manshur al-Ghufailiy hlm. 81-88.

Serial Fiqh Zakat (Bag. 9): Zakat Uang Kartal

Definisi Uang Kartal

Dalam Fiqh az-Zakah (1: 269), menurut Dr. Qardhawi uang kartal (al-waraq an-naqdiyah) didefinisikan sebagai kertas khusus yang dihias dengan relief tertentu dan memuat nomor yang valid. Kertas ini umumnya setara dengan cadangan mineral dalam persentase tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang. Kertas ini dikeluarkan oleh pemerintah atau badan yang diizinkan oleh pemerintah agar masyarakat mempertukarkannya sebagai mata uang. Di masing-masing negara kertas ini diberi dengan nama khusus seperti Rupiah, Riyal, Junaih, Dinar, Dirham, Yen, Dolar, Euro, dll.

Lebih umum dari definisi Dr. Qardhawi, uang kartal tidak hanya mencakup uang berbahan kertas, tapi juga berbahan logam. Wikipedia mengemukakan bahwa uang kartal adalah uang kertas dan uang logam yang beredar di masyarakat yang dikeluarkan dan diedarkan otoritas moneter, dalam hal ini adalah bank sentral (https://id.wikipedia.org/wiki/Jenis-jenis_uang).

Di negara kita, Indonesia, uang kartal berarti uang kertas dan uang logam yang dikeluarkan dan diedarkan oleh Bank Indonesia dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia. (https://www.bi.go.id/id/Kamus.aspx?id=U).

Status Uang Kartal

Ulama berbeda pandangan dalam memahami dan mengkategorikan uang kartal. Apakah dia komoditi perdagangan atau pengganti emas dan perak? Atau apakah dia adalah surat utang pihak pembuat kepada pembawanya? Ulama kontemporer memiliki sejumlah pandangan berikut dalam menyikapi uang kartal.

Pandangan Pertama

Uang kartal adalah surat utang yang harus dibayar oleh pihak pembuatnya kepada orang yang membawa uang tersebut. Ilustrasinya, uang kartal sebesar Rp100.000,- yang dikeluarkan oleh Bank Sentral atau lembaga keuangan, maka orang yang membawa uang ini berhak atas piutang sejumlah angka yang tertulis di atas uang tersebut dari pihak yang mengeluarkannya [Bahjah al-Musytaq fii Bayaan Hukm Zakaat Amwaal al-Awraaq hlm. 22; Adhwaa’ al-Bayaan 1: 225].

Pandangan Kedua

Uang kartal adalah komoditi perdagangan dan tidak memiliki ciri-ciri sebagai alat pembayaran. Dia hanya berfungsi sebagai barang atau perkakas [al-Fataawaa as-Sa’diyah hlm. 315; al-Awraaq an-Naqdiyah fii al-Iqtishaad al-Islamiy Qiimatuha wa Ahkaamuha hlm. 173; al-Waraq an-Naqdiy hlm. 55].

Pandangan Ketiga

Uang kartal seperti fulus yaitu bahan tambang selain emas dan perak yang dicetak untuk digunakan sebagai mata uang dan alat pembayaran [al-Waraq an-Naqdiy hlm. 65; Syarh al-Qawaa’id al-Fiqihiyah hlm.173; Zakaat an-Nuquud al-Waraqiyah al-Mu’aashirah hlm. 90].

Pandangan Keempat

Uang kartal merupakan pengganti emas dan perak, karena itu statusnya sama dengan emas dan perak [al-Awraaq an-Naqdiyah fii al-Iqtishaad al-Islamiy Qiimatuha wa Ahkaamuha hlm. 204]

Pandangan Kelima

Uang kartal adalah mata uang tersendiri yang berdiri secara independen dan memiliki implikasi hukum yang sama dengan emas dan perak [Majallah al-Buhuuts al-Islaamiy no. 31 hlm. 376, ketetapan no. 10; Majallah Mujamma’ al-Fiqh al-Islaamiy no. 3 jilid ketiga].

Pandangan terakhir ini merupakan pandangan mayoritas ulama. Hal ini difatwakan oleh Hai-ah Kibar Ulama di Arab Saudi dan Mujamma’ al-Fiqhiy al-Islaamiy di Mekkah. Pandangan inilah yang paling tepat dalam mengategorikan status uang kartal.

Implikasi dari pandangan terakhir ini adalah uang kartal wajib dizakati sebagaimana emas dan perak meskipun tidak digunakan dalam jual-beli. Seperti seseorang yang memiliki uang Rp85.000.000,- atau seribu batang emas, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Berbeda dengan pandangan yang menyatakan uang kartal adalah komoditi perdagangan semisal buku dan pakaian yang tidak wajib dizakati dan baru jadi obyek zakat ketika diperjual-belikan [Fiqh an-Nawaazil fii al-Ibaadaat, al-Qism ats-Tsaaniy, hlm. 11].

Hukum Zakat Uang Kartal

Uang kartal wajib dizakati. Demikianlah yang difatwakan oleh Majma’ al-Fiqhiy yang berada di bawah ar-Rabithah al-Aalam al-Islaamiy dan al-Lajnah ad-Daaimah [Majallah Majma’ al-Fiqhiy al-Islaamiy no. 3, jilid 3 hlm. 952; Fataawaa al-Lajnah ad-Daaimah, vol. 1, 13/444]. Itu pula yang menjadi pendapat dari Syaikh Abdul Aziz ibn Baaz dan Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin rahimahumullah [Majmu’ Fataawaa Ibn Baaz 14: 333; asy-Syarh al-Mumti’ 6: 95].

Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,

القولُ الرَّاجِحُ في هذه العملاتِ: أنَّ الزَّكاةَ فيها واجبةٌ مطلقًا، سواءٌ قُصِدَ بها التِّجارة أو لا

“Pendapat terpilih terkait mata uang (kartal) ini adalah wajib dizakati secara mutlak, baik uang itu diniatkan untuk diperdagangkan atau tidak.” [asy-Syarh al-Mumti’ 6: 95]

Kewajiban zakat atas uang kartal ditunjukkan oleh sejumlah alasan berikut:

Pertama, firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” [QS. at-Taubah: 34]

Frasa “tidak menafkahkannya …” pada ayat di atas merupakan isyarat bahwa ciri utama dari emas dan perak adalah fungsinya sebagai nuqud, yaitu alat yang digunakan masyarakat untuk bertransaksi, yang keduanya memang dipergunakan untuk memenuhi nafkah [Fiqh az-Zakaah 1: 241].

Kedua, firman Allah Ta’ala,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka …” [QS. at-Taubah: 103]

Ayat di atas secara umum menunjukkan kewajiban zakat pada setiap harta dan salah satu harta yang menjadi patokan saat ini adalah uang kartal [asy-Syarh al-Mumti’ 6: 93]

Ketiga, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ مِنْ الْوَرِقِ صَدَقَةٌ

“Tidak ada zakat pada al-wariq (uang perak dirham) yang kurang dari lima uqiyah.” [HR. al-Bukhari no. 1405 dan Muslim no. 979]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan zakat pada uang perak di antara jenis perak dan tidak menyebutkan jenis selain itu (misal perhiasan perak -pen). Beliau tidak mengatakan apabila perak mencapai berat sekian, maka besaran zakatnya adalah sekian. Akan tetapi, beliau mempersyaratkan statusnya sebagai uang perak (ar-riqqah). Istilah ini dipahami oleh bangsa Arab sebagai uang perak dengan nilai dan relief tertentu yang beredar di masyarakat. Karena alasan itu, uang kartal saat ini memiliki hukum yang sama [al-Amwaal, hlm. 542-543].

Keempat, Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau menginformasikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Mu’adz radhiallahu ‘anhu ketika mengutusnya ke negeri Yaman,

وأعْلِمْهم أنَّ اللهَ افترَضَ عليهم صدقةً في أموالِهم

“ … beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (Zakat) dari harta mereka … ” [HR. al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19]

Pada saat ini, uang kartal tercakup dalam keumuman harta [asy-Syarh al-Mumti’ 6: 93].

Kelima, uang kartal telah beredar secara luas dan diterima masyarakat. Ia memiliki karakteristik harga karena statusnya sebagai standar nilai dan penyimpan kekayaan [Abhaats Haiah Kibaar al-Ulamaa, 1: 91].

Keenam, pada saat ini nilai uang kartal sebagai harga sudah sangat mengakar. Bahkan uang kartal itu justru menjadi harga/nilai bagi emas dan perak itu sendiri. Dengan demikian, uang kartal harus dianggap sebagai mata uang yang berdiri sendiri sebagaimana status emas dan perak karena adanya kesamaan [Majallah al-Buhuuts al-Islaamiyah 39: 314, 320; Abhaats Haiah Kibaar al-Ulamaa 1: 92]

Ketujuh, apabila uang kartal tidak dikategorikan sebagai mata uang, maka hal itu melazimkan tidak ada riba lagi yang terjadi di masyarakat karena mayoritas transaksi yang dilakukan saat ini menggunakan uang kartal. Demikian pula akibat dari pandangan tersebut adalah tidak ada kewajiban zakat yang harus ditunaikan oleh orang yang memiliki uang kartal selama tidak diperjual-belikan. Konsekuensi tersebut tentu saja tidak tepat [asy-Syarh al-Mumti’ 6: 93]

Nishab Uang Kartal

Ahli fikih kontemporer berbeda pandangan dalam menilai kewajiban zakat pada uang kartal di awal kemunculannya. Hal itu dikarenakan perbedaan pandangan dalam memahami status uang kartal. Namun perbedaan itu berangsur-angsur mereda seiring dengan berkembangnya transaksi yang menggunakan uang kartal dan fungsinya yang bisa berperan sebagai mata uang, hingga hampir-hampir tidak ada seorang ahli fikih yang menyatakan bahwa uang kartal tidak wajib dizakati [Fiqh az-Zakaah 1: 2294, Majma’ al-Fiqhiy al-Islaamiy 3/3/1965; al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah 23: 267]

Atas hal itu, menjadi penting untuk mengenali nishab uang kartal, terlebih tidak ada dalil khusus yang menyatakan besaran nishab untuk uang kartal karena ia muncul setelah masa pensyariatan usai. Akan tetapi, ketika tujuan adanya uang kartal ini adalah statusnya sebagai harta dan nilai pertukarannya, maka yang menjadi tolok ukur dalam nishab uang kartal adalah nilainya yang diketahui dengan taksiran terhadap emas dan perak.

Pendapat terpilih dalam hal ini adalah nishab uang kartal terpenuhi ketika mencapai nishab terendah antara emas dan perak. Dalil-dalil yang shahih telah menetapkan nishab bagi emas dan perak dan ketika terjadi perbedaan wajib memilih nishab terendah dari keduanya karena lebih bermanfaat bagi fakir miskin dan lebih utama dalam membebaskan tanggung jawab wajib zakat (muzakkiy).

Berdasarkan hal di atas, untuk mengetahui nishab uang kartal kita bisa menghitung nilai/harga nishab emas dan nishab perak, kemudian memilih nishab terendah dan mengeluarkan zakat dalam bentuk uang kartal yang setara dengan nilai nishab tersebut [Nawaazil az-Zakaah hlm. 160]

Ilustrasinya sebagai berikut:

Jika diasumsikan harga emas murni saat ini adalah Rp800.000,- per gram, maka nishab emas adalah sebesar 85 gram x Rp800.000,- = Rp68.000.000,-.

Adapun jika diasumsikan harga perak murni saat ini adalah Rp14.000,- per gram, maka nishab perak adalah 595 gram xRp14.000,- = Rp8.330.000,-

Maka dalam hal ini, nishab bagi uang kartal adalah nishab terendah, yaitu nishab perak. Sehingga seorang yang memiliki uang kartal sebesar Rp8.330.000,- telah mencapai nishab. Dan apabila telah memenuhi haul, wajib menunaikan zakat sebesar 2,5%.

Menyatukan Uang Kartal dengan Emas atau Perak untuk Menyempurnakan Nishab

Telah disampaikan pada artikel sebelumnya bahwa berat emas dan perak tidak dapat disatukan untuk menyempurnakan nisab.

Berdasarkan hal itu, untuk menyempurnakan nishab, uang kartal hanya dapat digabungkan dengan emas atau perak saja. Apabila seseorang memiliki uang kartal, namun nilainya belum mencapai nishab, tapi dia memiliki emas atau perak yang jika dikonversikan nilainya bisa mencapai nishab, maka wajib menyatukan uang kartal ini dengan nilai emas atau perak yang dimiliki sehingga bisa menyempurnakan nishab uang kartal (https://islamqa.info/amp/ar/answers/201807).

Menyatukan Uang Kartal yang Berbeda  dengan Nilai Komoditi Perdagangan untuk Menyempurnakan Nishab

Sebagaimana nilai komoditi perdagangan dapat disatukan pada nishab emas atau nishab perak, demikian pula dengan uang kartal, ia dapat disatukan dengan nilai komoditi perdagangan untuk menyempurnakan nishab. Demikian pula uang kartal yang satu bisa disatukan dengan uang kartal yang lain untuk menyempurnakan nishab sehingga mata uang rupiah bisa disatukan dengan mata uang dollar, riyal, atau mata uang lain agar nishab tercapai [Zakaat al-Awraaq an-Naqdiyah wa Hukm Dham an-Nuquud Ba’dhuha ilaa Ba’dh hlm. 42-43]

Majma’ al-Fiqhiy al-Islaamiy menyatakan,

وجوبُ زكاةِ الأوراق النقديَّة إذا بلغت قيمَتُها أدنى النِّصَابينِ من ذهب أو فضَّة، أو كانت تُكَمِّلُ النِّصَاب مع غيرها من الأثمانِ والعروض المعدَّة للتِّجارة

“Uang kartal wajib dizakati apabila: (a) nilainya mencapai nishab terendah antara emas dan perak; atau (b) nilainya menyempurnakan nishab apabila disatukan dengan mata uang yang lain dan komoditi perdagangan.” [Majallah Majma’ al-Fiqhiy al-Islaamiy no. 3, jilid 3 hlm, 952]

Demikian yang dapat disampaikan. Semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: www.muslim.or.id

Serial Fiqh Zakat (Bag. 8): Nishab Zakat Emas dan Perak

Nisab zakat emas

Pada dasarnya, emas tidaklah wajib dizakati kecuali setelah mencapai nisab sebesar 20 mitsqal yang setara dengan 20 dinar.

Dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا، وَحَالَ عَلَيْهَا اَلْحَوْلُ، فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ، فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ

“Tidak wajib atasmu zakat emas kecuali engkau memiliki 20 dinar dan telah melewati setahun. (Jika telah memenuhi hal itu), maka zakatnya sebesar 0,5 dinar. Apa yang lebih dari itu, maka zakatnya juga menyesuaikan dengan perhitungan tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 1573, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 1573)

Meski sejumlah kalangan menyatakan bahwa tidak ada satu pun hadis sahih yang memberikan informasi perihal ketentuan nisab zakat emas, termasuk hadis di atas, namun alim ulama bersepakat bahwa nisab zakat emas adalah 20 mitsqal dan tidak ada kewajiban zakat pada emas yang beratnya di bawah itu. (Lihat Al-Umm 2: 43, Al-Amwal hlm. 501, Al-Ijma’ hlm. 48, At-Tamhid  20: 145, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim 7: 48, 49, 53)

Asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan,

لا أعلم اختلافًا في أنْ ليس في الذَّهَب صدقة، حتى تبلُغَ عشرينَ، فإذا بلغَتْ عِشرينَ مثقالًا، ففيها الزَّكاةُ

“Tidak ada perbedaan sepanjang pengetahuanku bahwa tidak ada zakat pada emas kecuali telah mencapai 20 mitsqal. Apabila emas itu mencapai 20 mitsqal, maka ada kewajiban zakat padanya.”

Ketentuan nisab zakat emas sebesar 20 mitsqal ini disepakati, kecuali Al-Hasan Al-Bashri yang berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat terhadap emas yang beratnya kurang dari 40 mitsqal. Pendapat beliau tersebut disampaikan oleh Ibnu Al-Mundzir dalam kitabnya Al-Ijma’.

Konversi nisab zakat emas dengan satuan berat kontemporer

Alim ulama menakar dan memperkirakan satuan mitsqal dengan biji gandum barley (حَبَّةً شَعِير). Mereka menyatakan bahwa satu mitsqal setara dengan 72 biji gandum barley yang berukuran sedang, belum dikupas, dan dipotong kedua ujungnya yang kecil dan memanjang.

Asy-Syarbini al-Khathib menyatakan,

والمثقال لم يتغير جاهلية ولا إسلاما، وهو اثنان وسبعون حبة، وهي الشعيرة معتدلة لم تقشر وقطع من طرفيها ما دق وطال

“Ukuran mitsqal tidak berubah sejak zaman jahiliyah hingga munculnya agama Islam, yaitu setara dengan berat 72 biji gandum barley yang berukuran sedang, belum dikupas, dan dipotong kedua ujungnya yang kecil dan memanjang.” (Mughni al-Muhtaj)

Namun mereka berbeda pendapat dalam mengonversi berat 72 biji gandum barley ke dalam satuan kontemporer seperti satuan gram.

Ada yang menyatakan satu mitsqal setara dengan 3,5 gram sehingga nisab zakat emas adalah sebesar 20 mitsqal x 3,5 gram = 70 gram emas.

Ada yang berpendapat satu mitsqal setara dengan 3,60 gram sehingga nisab zakat emas adalah sebesar 20 mitsqal x 3,60 gram = 72 gram emas.

Ada yang berpendapat satu mitsqal setara dengan 4,25 gram sehingga nisab zakat emas adalah sebesar 20 mitsqal x 4,25 gram = 85 gram emas.

Pendapat terakhir inilah yang diamini oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam asy-Syarh al-Mumti’ (6: 97). Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyatakan,

وقد حررتُ نصاب الذهب فبلغ خمسة وثمانين جرامًا من الذهب الخالص

“Saya telah meneliti nisab zakat emas dan tercapail berat 85 gram emas murni.” (Asy-Syarh Al-Mumti’ 6: 97)

Dengan demikian, setiap orang yang memiliki 85 gram emas murni maka emas yang dimilikinya mencapai nisab zakat emas sehingga wajib dizakati. Ketentuan ini berlaku pada emas murni yang pada saat ini dinyatakan dalam kadar 24 karat.

Nisab zakat perak

Nisab zakat perak adalah sebesar 200 dirham. Ketentuan ini terdapat dalam hadis Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, tatkala Abu Bakar radhiallahu ‘anhu menuliskan aturan zakat yang telah ditetapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutusnya ke negeri Bahrain, dinyatakan dalam aturan tersebut,

وفي الرِّقَةِ رُبُعُ العُشرِ، فإذا لم يكُنِ المالُ إلَّا تِسعينَ ومئةَ درهمٍ؛ فليس فيها شيءٌ إلَّا أن يشاءَ ربُّها

“Dan untuk zakat uang perak (dirham), maka ketentuannya seperempat puluh (2,5%) bila (telah mencapai dua ratus dirham). Dan apabila tidak mencapai jumlah itu, namun hanya seratus sembilan puluh dirham, maka tidak ada kewajiban zakat kecuali bila pemiliknya mau mengeluarkannya.” (HR. al-Bukhari no. 1454)

Nisab zakat perak ditetapkan sebesar 200 dirham yang setara dengan berat 5 uqiyah berdasarkan hadis Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ مِنْ الْوَرِقِ صَدَقَةٌ

“Tidak ada zakat pada al-wariq (uang perak dirham) yang kurang dari lima uqiyah.” (HR. Bukhari no. 1405 dan Muslim no. 979)

Konversi nisab zakat perak dengan satuan berat kontemporer

Terdapat ijmak bahwa nisab zakat perak sebesar 200 dirham yang setara dengan 140 mitsqal. Hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama karena mereka menganggap nisab zakat perak ditentukan dengan timbangan berdasarkan hadis Abu Sa’id di atas dimana uqiyah merupakan satuan berat.

Jika dikonversikan dalam satuan berat kontemporer, berapakah nisab zakat perak?

Berdasarkan pendapat yang menyatakan satu mitsqal setara dengan 4,25 gram, maka nisab zakat perak adalah sebesar 4,25×140 = 595 gram (Asy-Syarh Al-Mumti’ 6: 9, Fiqh Az-Zakat 1: 260).

Dengan demikian, apabila seorang memiliki perak seberat 595 gram, maka perak itu telah mencapai nisab dan wajib dizakati.

Kadar dalam nisab zakat emas dan perak

Ketika alim ulama membicarakan nisab zakat emas dan zakat perak, maka ketentuan nisab tersebut berlaku untuk emas dan perak yang murni tanpa tercampur dengan logam lain, sehingga yang menjadi tolok ukur dalam penentuan nisab adalah kadar emas dan perak murni. An-Nawawi rahimahullah mengatakan,

إذا كان له ذهبٌ أو فضة مغشوشة، فلا زكاةَ فيها حتى يبلغ خالصُها نصابًا

“Apabila emas dan perak bercampur dengan logam lain, maka tidak ada zakat pada emas/perak itu hingga kandungan emas/perak murni mencapai nisab.” (Al-Majmu’ 5: 467)

Apabila kadar emas itu kurang dari 24 karat, maka emas itu bukanlah emas yang murni karena bercampur dengan tembaga, perak, dan logam lain. Semakin kecil karat suatu emas, semakin kecil kemurniannya karena kandungan logam semakin besar. Kandungan logam lain pada emas ini tidak dapat dijadikan pelengkap untuk menyempurnakan nisab zakat emas. Berdasarkan hal itu, nisab zakat emas berdasarkan kemurniannya/karatnya, bisa ditentukan dengan rumus :

(karat emas murni/karat emas yang dimiliki) x nisab zakat emas murni

Misal kita meggunakan nisab zakat emas murni sebesar 85 gram, maka,

Emas 21 karat memiliki nisab sebesar 24/21 x 85 gram = 97,14 gram,

Emas 18 karat memiliki nisab sebesar 24/18 x 85 gram = 113,33 gram,

Emas 16 karat memiliki nisab sebesar 24/16 x 85 gram = 127,5 gram,

dan seterusnya.

Besaran wajib zakat emas dan perak

Setiap orang yang memiliki emas yang mencapai berat 85 gram atau perak yang mencapai berat 595 gram, maka ia berkewajiban mengeluarkan besaran zakat sebesar seperempat puluh, yaitu 2,5% dari berat tersebut. Hal ini merupakan kesepakatan ulama. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

إذا تمَّت الفضَّةُ مئتين، والدنانيرُ عِشرين، فالواجِبُ فيها رُبُع عُشْرِها، ولا نعلَمُ خلافًا بين أهل العِلم في أنَّ زكاة الذهب والفضَّة رُبُعُ عُشرِها

“Apabila perak genap mencapai 200 dirham dan emas genap mencapai 20 dinar, maka besaran zakat yang wajib dikeluarkan adalah seperempat puluhnya. Kami tidak mengetahui ada perselisihan pendapat di antara ahli ilmu akan hal ini.” (Al-Mughni 3: 38)

Besaran zakat ini ditetapkan berdasarkan hadis Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا، وَحَالَ عَلَيْهَا اَلْحَوْلُ، فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ، فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ

“Tidak wajib atasmu zakat emas kecuali engkau memiliki 20 dinar dan telah melewati setahun. (Jika telah memenuhi hal itu), maka zakatnya sebesar 0,5 dinar. Apa yang lebih dari itu, maka zakatnya juga menyesuaikan dengan perhitungan tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 1573, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 1573)

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menyatakan bahwa Abu Bakar radhiallahu ‘anhu menuliskan aturan zakat yang telah ditetapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutusnya ke negeri Bahrain, dinyatakan dalam aturan tersebut,

وفي الرِّقَةِ رُبُعُ العُشرِ، فإذا لم يكُنِ المالُ إلَّا تِسعينَ ومئةَ درهمٍ؛ فليس فيها شيءٌ إلَّا أن يشاءَ ربُّها

“Dan untuk zakat uang perak (dirham) maka ketentuannya seperempat puluh (2,5%) apabila (telah mencapai dua ratus dirham). Dan apabila tidak mencapai jumlah itu, namun hanya seratus sembilan puluh dirham, maka tidak ada kewajiban zakat kecuali bila pemiliknya mau mengeluarkannya.” (HR. al-Bukhari no. 1454)

Menyatukan nisab emas dan perak untuk menyempurnakan nisab

Apakah berat emas dapat disatukan dengan berat perak untuk menyempurnakan nisab dan sebaliknya?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa keduanya dapat disatukan untuk menyempurnakan nisab karena ‘illat/maksud keduanya sama, yaitu keduanya merupakan alat tukar dalam transaksi jual-beli dan merupakan tolok ukur nilai bagi suatu barang. Dengan alasan inilah berat keduanya dapat melengkapi nisab yang satu dengan yang lain.

Sebagai contoh, jika Anda memiliki setengah nisab emas, yaitu 10 mitsqal dan setengah nisab perak, yaitu 100 dirham. Apabila 10 mitsqal emas tadi diasumsikan setara dengan 100 dirham, maka berdasarkan pendapat ini Anda wajib mengeluarkan zakat karena setidaknya nisab zakat perak telah tercapai yaitu sebesar 200 dirham.

Pendapat lain menyatakan bahwa berat emas dan perak tidak dapat disatukan untuk menyempurnakan nisab. Dan inilah pendapat yang tepat karena sejumlah alasan berikut:

1. Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Nabi shalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ مِنْ الْوَرِقِ صَدَقَةٌ

“Tidak ada zakat pada al-wariq (uang perak dirham) yang kurang dari lima uqiyah.” (HR. Al-Bukhari no. 1405 dan Muslim no. 979)

Redaksi hadis di atas tegas menyatakan bahwa tidak ada zakat pada perak yang kurang dari 5 uqiyah, meski ia memiliki emas dalam jumlah yang banyak. Apabila kita menyatukan berat emas dan perak untuk menyempurnakan nisab zakat, maka ini berarti kita mewajibkan zakat pada perak yang jumlahnya kurang dari lima uqiyah. Hal ini tentu tidak sejalan dengan hadis di atas. (Lihat al-Muhalla 6: 83, Adhwal al-Bayan 2:125-126)

Demikian pula halnya jika emas yang Anda miliki kurang dari nisab, maka perak milik Anda tidak bisa menyempurnakan nisabnya (Asy-Syarh al-Mumti’ 6: 101).

2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa emas dan perak merupakan dua hal yang berbeda jenis sehingga dalam pertukaran keduanya diperbolehkan tafaadhul (berbeda kuantitas/berat). Tidaklah tepat jika menganggap keduanya sejenis sehingga bisa saling melengkapi nisab, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan keduanya berbeda jenis (Al-Amwal hlm. 513).

3. Alasan bahwa ‘illat/maksud dari emas dan perak itu serupa, yaitu sebagai alat tukar, tidak lantas menjadikan keduanya sebagai harta yang satu sehingga bisa saling melengkapi nisab. Emas dan perak merupakan jenis harta zakat yang berbeda sehingga tidak bisa disatukan untuk saling menyempurnakan nisab. Sebagaimana juga gandum burr tidak bisa disatukan dengan gandum sya’ir untuk menyempurnakan nisab padahal keduanya memiliki maksud yang sama, yaitu sebagai makanan pokok. Demikian pula dengan kambing yang tidak bisa digunakan untuk menyempurnakan nisab sapi, dimana keduanya memiliki maksud yang sama yaitu binatang ternak yang dikembangkan (Bidayah Al-Mujtahid 1: 257, asy-Syarh al-Mumti’ 6: 102).

4. Emas dan perak masing-masing memiliki nisab tersendiri, sehingga tidak bisa disatukan untuk saling menyempurnakan nisab. Konsekuensi pendapat yang menyatakan bahwa nisab keduanya bisa saling melengkapi adalah munculnya hukum baru dalam agama karena menyatakan adanya suatu nisab yang bukan nisab emas dan perak. Tentu mustahil dalam perkara yang ambigu ini terdapat hukum khusus sementara ketentuan agama mendiamkannya, mengingat karakter agama ini adalah senantiasa memberikan penjelasan (Bidayah Al-Mujtahid 1: 259-259, Al-Mughni 3: 36).

5. Seandainya Anda memiliki emas 20 dinar dan harga 1 dinar saat ini setara dengan 9 dirham atau kurang dari itu, maka zakat tetap wajib ditunaikan dari emas Anda tersebut meski nilainya tidak mencapai 200 dirham (nisab perak). Sebaliknya, jika Anda memiliki emas sebanyak 10 dinar dan harga 1 dinar saat itu setara dengan 20 dirham atau lebih, maka emas yang Anda miliki itu tidak wajib dizakati meski nilainya setara dengan 200 dirham atau lebih. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya merupakan obyek zakat yang berbeda dengan nisab yang berbeda pula sehingga tidak bisa digunakan untuk saling menyempurnakan nisab (Al-Amwal hlm. 513-515).

Menyatukan nilai komoditi perdagangan pada nisab emas atau perak

Nilai barang dagangan dapat disatukan pada berat emas atau perak sehingga mencapai nisab. Sebagai contoh, Anda memiliki setengah nisab perak, yaitu 100 dirham dan memiliki barang dagangan yang nilainya setara dengan 100 dirham. Maka dalam kasus ini, Anda dapat menyatukan nilai barang dagangan tersebut untuk menyempurnakan nisab zakat perak menjadi 200 dirham, kemudian zakatnya dikeluarkan dari jumlah nisab perak tersebut.

Contoh lain, jika Anda memiliki 50 gram emas dan barang dagangan yang nilainya setara dengan 35 gram emas, maka Anda bisa menyatukan nilai barang dagangan itu untuk melengkapi nisab emas (yaitu 85 gram) kemudian ditunaikan zakatnya.

Hal ini bisa dilakukan karena zakat barang dagangan berkaitan dengan qiimah (nilai nominal uang) sehingga sejenis dengan emas dan perak. Oleh karena itu, nilai barang dagangan bisa disatukan dengan emas atau perak untuk saling melengkapi nisab (Al-Mughni 3: 36, Al-Furu’ 4: 138).

Ketentuan ini telah menjadi kesepakatan ulama sebagaimana yang dinyatakan al-Khaththabi,

لا أعلَمُ عامَّتَهم اختلفوا في أنَّ من كانت عنده مئةُ درهمٍ، وعنده عَرْضٌ للتِّجارة يساوي مئةَ درهمٍ وحال الحَوْلُ عليهما أنَّ أحدَهما يُضمُّ إلى الآخَرِ وتجِبُ الزَّكاة فيهما

“Saya tidak mengetahui ada perselisihan pendapat perihal seorang yang memiliki perak sebanyak 100 dirham dan barang dagangan yang setara dengan 100 dirham, yang telah dimiliki selama setahun, bahwa keduanya digabungkan sehingga keduanya wajib dizakati” (Ma’alim As-Sunan 2: 16).

Ibnu Qudamah menyatakan,

فإنَّ عروضَ التِّجارة تُضمُّ إلى كلِّ واحدٍ مِنَ الذَّهَبِ والفضة، ويُكَمَّل به نِصابه، لا نعلمُ فيه اختلافًا

“Nilai barang dagangan dapat disatukan pada salah satu nilai emas dan perak, sehingga nisabnya sempurna. Kami tidak mengetahui ada pendapat yang berbeda dalam hal ini.” (Al-Mughni 3: 36)

Wallahu ta’ala a’lam.

Demikian pembahasan ini. Semoga bermanfaat.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: Muslim.or.id

Serial Fiqh Zakat (Bag. 7): Zakat Perhiasan Emas dan Perak

Definisi Perhiasan Emas dan Perak

Perhiasan emas dan perak dalam bahasa Arab disebut dengan “al-hulliy” yang didefinisikan dengan,

اسمٌ لكلِّ ما يُتزيَّنُ به مِن مصاغِ الذَّهَبِ والفِضَّة

“Istilah bagi setiap benda yang digunakan sebagai perhiasan yang terbuat dari emas dan perak.” [an-Nihayah 1/435]

Latar Belakang Silang Pendapat Alim Ulama Perihal Zakat Perhiasan Emas dan Perak

Alim ulama bersepakat bahwa zakat emas dan perak wajib ditunaikan zakatnya apabila berbentuk uang atau batangan. Lihat artikel tentang Zakat Emas dan Perak sebelumnya.

Namun, mereka berselisih pendapat mengenai hukum zakat emas dan perak yang dijadikan sebagai perhiasan.

Silang pendapat ini dilatarbelakangi oleh ketiadaan dalil yang secara tegas menetapkan atau meniadakan kewajiban zakat pada perhiasan emas dan perak. Hadits-hadits yang dijadikan dalil tersebut diperselisihkan oleh alim ulama, baik dari sisi keabsahan maupun penunjukannya.

Selain itu, alim ulama yang mewajibkan zakat pada perhiasan emas dan perak berpandangan bahwa bahan baku pembuatan perhiasan tersebut adalah bahan tambang yang sejenis dan dipergunakan sebagai mata uang yang berlaku dalam praktik perdagangan antar manusia. Sedangkan bahan tambang berupa emas dan perak berikut mata uang terbuat dari keduanya dan wajib ditunaikan zakatnya.

Di sisi lain, terdapat alim ulama yang berpandangan bahwa perhiasan emas dan perak ini tidak lagi dipandang sebagai mata uang karena telah mengalami fabrikasi sehingga serupa dengan barang-barang yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pribadi seperti perabotan, barang, baju, dan benda lain yang tidak wajib dizakati berdasarkan ijmak. Alasan inilah yang dijadikan dasar bahwa tidak ada zakat pada perhiasan emas dan perak. 

3 Batasan dalam Topik Zakat Perhiasan Emas dan Perak

Perselisihan pendapat alim ulama mengenai hukum zakat perhiasan emas dan perak di atas memiliki batasan, yaitu terbatas pada perhiasan emas dan perak; yang mubah; dan dipergunakan sebagai perhiasan. Dengan demikian ada 3 batasan dalam silang pendapat ini, yaitu:

  • Terbuat dari emas dan perak. Apabila terbuat dari bahan selain emas dan perak, maka tidak ada zakat atas perhiasan itu berdasarkan ijmak.

Ibnu Abdil Barr mengatakan,

وَأَجْمَعُوا أَنْ لَا زَكَاةَ فِي الْحَلْيِ إِذَا كَانَ جَوْهَرًا أَوْ يَاقُوتًا ، لَا ذَهَبَ فِيهِ وَلَا فِضَّةَ

“Mereka sepakat bahwa tidak ada zakat untuk perhiasan apabila berupa intan dan yakut yang tidak mengandung emas dan perak.” [al-Istidzkar 3/153]

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz mengatakan,

المجوهرات من غير الذهب والفضة : كالماس ، ليس فيها زكاة ، إلا أن يراد بها التجارة

“Tidak ada zakat atas perhiasan yang terbuat dari bahan selain emas dan perak seperti berlian, kecuali perhiasan itu diniatkan untuk diperjualbelikan.” [Fatawa Ibn Baaz 14/124]

  • Bersifat mubah. Apabila perhiasan yang terbuat dari emas dan perak itu berstatus haram, misalnya karena dipakai oleh pria, maka alim ulama bersepakat bahwa wajib mengeluarkan zakat dari perhiasan tersebut. Menggunakannya sebagai perhiasan tidak lantas membuatnya menjadi obyek non-zakat alias tetap sebagaimana kondisi asal karena statusnya haram dimana syari’at tidak mengizinkan penggunaan tersebut.

Ibnu Qudamah mengatakan,

ومن ملك مصوغاً من الذهب أو الفضة محرماً ، كالأواني وما يتخذه الرجل لنفسه من الطوق ونحوه ، وخاتم الذهب ، وحلية المصحف ، والدواة ، والمحبرة والمقلمة ، والسرج : ففيه الزكاة ؛ لأن هذا فعل محرم فلم يخرج به عن أصله

“Setiap orang yang memiliki barang haram yang terbuat dari emas dan perak seperti bejana; benda yang digunakan pria seperti ikat pinggang dan semisalnya;  cincin, ornamen mushaf, tempat tinta, pena, kotak pena, pelana, maka ada zakat pada benda-benda tersebut karena kepemilikannya haram sehingga tidak mengeluarkannya dari hukum asal.” [al-Kaafi 1/405]

Disebutkan dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah 18/113,

اتفق الفقهاء على وجوب الزكاة في الحلي المستعمل استعمالاً محرماً , كأن يتخذ الرجل حلي الذهب للاستعمال

“Ahli fikih bersepakat bahwa zakat wajib ditunaikan dari perhiasan yang digunakan secara haram seperti perhiasan emas yang digunakan oleh pria.”

  • Digunakan sebagai perhiasan. Apabila perhiasan emas dan perak itu digunakan untuk tujuan lain seperti diperjual-belikan (komoditi perdagangan); disewakan; atau untuk disimpan dan ditimbun untuk menjaga harta, maka wajib ditunaikan zakatnya.

Ibnu Qudamah mengatakan,

فَأَمَّا الْمُعَدُّ لِلْكِرَى (الإجارة) أَوْ النَّفَقَةِ إذَا اُحْتِيجَ إلَيْهِ ، فَفِيهِ الزَّكَاةُ ؛ لِأَنَّهَا إنَّمَا تَسْقُطُ عَمَّا أُعِدَّ لِلِاسْتِعْمَالِ ، لِصَرْفِهِ عَنْ جِهَةِ النَّمَاءِ ، فَفِيمَا عَدَاهُ يَبْقَى عَلَى الْأَصْلِ ، وَكَذَلِكَ مَا اُتُّخِذَ حِلْيَةً فِرَارًا مِنْ الزَّكَاةِ لَا يَسْقُطُ عَنْهُ

“Adapun perhiasan emas dan perak yang dipergunakan sebagai obyek sewa dan biaya hidup (nafkah) jika dibutuhkan, maka ada kewajiban zakat padanya. Zakat hanyalah gugur dari emas dan perak yang digunakan sebagai perhiasan sebab telah dialihkan dari upaya pengembangan, sehingga untuk tujuan selain itu statusnya tetap seperti semula. Hal yang sama juga berlaku untuk emas dan perak yang digunakan sebagai perhiasan oleh pemiliknya tapi dengan niat agar terbebas dari zakat, maka kewajiban zakat tidaklah gugur (karena adanya niat tersebut).” [al-Mughni 4/221]

Pendapat terpilih

Silang pendapat antar alim ulama dalam topik ini sangat panjang, dan wallahu a’lam, pendapat terpilih adalah pendapat yang menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban zakat pada perhiasan emas dan perhiasan perak. Dalil-dalil yang mendukung pendapat ini adalah sebagai berikut:

Firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.” [at-Taubah : 34-35]

Penyebutan al-kanz dan al-infaq pada ayat di atas menunjukkan bahwa emas dan perak yang dimaksudkan adalah uang emas dan uang perak (an-nuqud), karena an-nuqud saja yang bisa ditimbun dan diinfakkan (digunakan untuk memenuhi biaya hidup). Adapun perhiasan emas atau perhiasan perak yang dipakai tidak dapat dianggap sebagai kanz, sebagaimana pada dasarnya ia juga tidak dipergunakan untuk infak. [Fiqh az-Zakah hlm. 1/295; Zakat al-Hulliy fi al-Fiqh al-Islami hlm. 33]  

Dari Zainab bintu Mu’awiyah, istri Abdullah ibn Mas’ud radhiallahu ‘anha, beliau menyampaikan,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَصَدَّقْنَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bersedekahlah wahai kaum wanita! Bersedekahlah sekalipun dengan perhiasanmu.” [HR. al-Bukhari : 1466 dan Muslim : 1000. Redaksi di atas adalah redaksi Muslim]

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas merupakan dalil bahwa tidak ada kewajiban zakat pada perhiasan, karena seandainya wajib beliau tidak akan menjadikan perhiasan sebagai contoh untuk sedekah sunnah.” [asy-Syarh al-Mumti’ 6/284]

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ مِنْ الْوَرِقِ صَدَقَةٌ

“Tidak ada kewajiban sedekah (zakat) pada “al-wariq” yang kurang dari lima uqiyah.” [HR. al-Bukhari : 1405 dan Muslim : 979]

al-Wariq adalah uang dirham yang dicetak [an-Nihayah 2/245].

Pada hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan kewajiban zakat hanya pada ar-riqqah di antara jenis perak. Beliau tidak mengucapkan, “Apabila perak mencapai kuantitas sekian, maka ada kewajiban zakat padanya dengan jumlah sekian”. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan ar-riqqah di antara jenis perak. Sedangkan penamaan ar-riqqah di kalangan orang Arab hanya dipergunakan untuk al-wariq yang diukir, memiliki cetakan, yang beredar di tengah-tengah manusia, sehingga hal itu menjadi batasan yang mengecualikan perhiasan dan semisalnya dari kewajiban zakat [al-Amwal hlm. 542-543].

Atsar dari Aisyah radhiallahu ‘anha, 

كَانَتْ تَلِي بَنَاتَ أَخِيهَا يَتَامَى فِي حَجْرِهَا لَهُنَّ الْحَلْيُ فَلَا تُخْرِجُ مِنْ حُلِيِّهِنَّ الزَّكَاةَ

“Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengasuh anak-anak perempuan saudara laki-lakinya yang sudah yatim, dan mereka mempunyai perhiasan. Namun Aisyah tidak mengeluarkan zakat dari perhiasan mereka.” [HR. Malik dalam al-Muwatha 2/351; Ibnu Zanjawaih dalam al-Amwal hlm. 1782; al-Baihaqi 4/138. Dinilai shahih oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ 6/33 dan al-Albani dalam Adab az-Zafaf hlm. 192]

Pada dasarnya zakat hanya dikenakan pada harta yang dikembangkan (المال النامي) atau harta yang diniatkan untuk dikembangkan (المُعَدِّ للنماء). Perhiasan emas/perhiasan perak bukan harta yang seperti itu karena ia adalah harta tak bergerak, tak memiliki fungsi untuk dikembangkan, selain digunakan untuk berhias sehingga tidak ada kewajiban zakat padanya [al-Mughni 4/221, 222; al-Istidzkar 3/151]

Al-Qurthubi mengatakan,

قصد النماء يوجب الزكاة في العروض ، وهي ليست بمحل الإيجاب الزكاة ، وكذلك قصد قطع النماء في الذهب والفضة باتخاذهما حلياً يسقط الزكاة

“Niat mengembangkan melazimkan kewajiban zakat dikenakan pada barang perniagaan yang pada asalnya bukan obyek zakat. Demikian pula niat untuk tidak mengembangkan emas dan perak dengan menjadikannya perhiasan untuk dipakai secara pribadi menggugurkan kewajiban zakatnya.” [al-Kami’ li Ahkam al-Quran 8/126]

Perhiasan emas/perhiasan perak dengan penggunaan yang mubah menjadi sejenis dengan pakaian dan perkakas, sehingga tidaklah sejenis dengan uang (al-atsman). Karenanya ia tidak dikenakan kewajiban zakat [al-Hawi al-Kabir 3/272; al-Mughni 3/42; Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 9/263] 

Ibnu Qudamah mengatakan,

لا تجب الزكاة في الحالي ، لأنه مرصد لاستعمال مباح يا فلم تجب فيه الزكاة كالعوامل وثياب القنية

“Tidak ada zakat pada perhiasan emas/perak wanita karena diperuntukkan untuk pemakaian yang mubah, sehingga tidak wajib dizakati sebagaimana hewan ternak yang digunakan untuk bekerja dan pakaian pribadi.” [al-Mughni 3/12]

Tanggapan terhadap sebagian dalil yang digunakan oleh ulama yang mewajibkan zakat perhiasan emas/perhiasan perak 

Dalam hadits ‘Amru ibn Syu’aib disebutkan,

أَنَّ امْرَأَةً أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهَا ابْنَةٌ لَهَا وَفِي يَدِ ابْنَتِهَا مَسَكَتَانِ غَلِيظَتَانِ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ لَهَا أَتُعْطِينَ زَكَاةَ هَذَا قَالَتْ لَا قَالَ أَيَسُرُّكِ أَنْ يُسَوِّرَكِ اللَّهُ بِهِمَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سِوَارَيْنِ مِنْ نَارٍ قَالَ فَخَلَعَتْهُمَا فَأَلْقَتْهُمَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَتْ هُمَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ

“Seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa anak wanitanya, dan di tangan anak wanita tersebut terdapat dua gelang tebal yang terbuat dari emas, kemudian beliau berkata kepadanya, “Apakah engkau telah menunaikan zakat untuk perhiasan ini?” Wanita tersebut berkata, “Tidak”. Beliau bersabda, “Apakah engkau senang karena kedua gelang tersebut Allah memberimu gelang dari api pada Hari Kiamat?” Khalid (perawi hadits) berkata, “Kemudian wanita tersebut melepas kedua gelang tersebut dan melemparkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Kedua gelang itu untuk Allah ‘azza wa jalla dan rasul-Nya.” [HR. Abu Dawud : 1563; at-Tirmidzi : 637; an-Nasaa-i 5/38]

Dengan asumsi hadits tersebut shahih, Abu ‘Ubaid menerangkan,

فأما الحديث المرفوع الذي ذكرناه أول هذا الباب حين قال لليمانية ذات المسكتين من ذهب (أتعطين زكاته) فإن هذا الحديث لا نعلمه يروى من وجه واحد بإسناد قد تكلم الناس فيه قديماً وحديثاً، فإن يكن الأمر على ما روى وكان عن رسول الله محفوظاً فقد يحتمل معناه أن يكون أراد بالزكاة العارية، كما فسرته العلماء الذين ذكرناهم سعيد بن المسيب والشعبي والحسن وقتادة في قولهم زكاته عاريته 

“Adapun hadits marfu’ yang kami sampaikan di awal bab ini, dimana beliau bertanya kepada wanita Yaman yang memiliki dua gelang tebal dari emas, ‘Apakah engkau telah menunaikan zakatnya?’, maka hadits ini kami ketahui diriwayatkan dari sejumlah jalan dengan sanad yang telah diperbincangkan derajatnya oleh para pakar hadits sejak dulu hingga saat ini. Jika memang ternyata hadits itu mahfuzh (valid) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka terdapat kemungkinan bahwa makna yang diinginkan oleh beliau dengan kata zakat adalah meminjamkannya (al-‘ariyah) seperti tafsiran yang disampaikan oleh alim ulama sebelumnya seperti Sa’id ibn al-Musayyib, asy-Sya’bi, al-Hasan, dan Qatadah yang menyatakan bahwa zakat perhiasan emas wanita adalah dengan meminjamkannya.” [al-Amwal 1/607]

Hadits-hadits seperti hadits ‘Amru ibn Syu’aib dan semisalnya yang dijadikan dalil oleh alim ulama yang mewajibkan zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak wanita tidak secara tegas menunjukkan adanya kewajiban zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak wanita karena mengandung berbagai kemungkinan. Di antara hal yang menguatkan adalah praktik sebagian sahabat yang menyelisihi zhahir hadits-hadits tersebut, seperti praktik ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang menyelisihi riwayat beliau sendiri yang secara zhahir menetapkan adanya kewajiban zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak wanita. 

Oleh karena itu, alim ulama menyatakan bahwa hadits-hadits tersebut mengandung sejumlah kemungkinan, di antaranya: (a) kewajiban zakat yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut ditetapkan pada masa tertentu, yaitu ketika emas diharamkan bagi wanita; (b) kewajiban zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak hanya khusus berlaku pada kondisi israf dan melampaui batas; (c) kewajiban zakat hanya khusus ditetapkan pada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Berbagai kemungkinan ini membatalkan penggunaan hadits-hadits tersebut sebagai dalil untuk menyatakan wajibnya zakat pada perhiasan emas/perak wanita sebagaimana kaidah “الدليل إذا تطرق إليه الاحتمال بطل به الاستدلال”. (Jika suatu dalil itu mengandung kemungkinan-kemungkinan, maka tidak bisa dipergunakan dalam beristidlal)

Dengan demikian hendaknya merujuk pada prinsip umum dalam pensyari’atan zakat, yang di antara prinsip tersebut adalah zakat hanya diwajibkan pada harta yang dikembangkan dan tidak diwajibkan pada harta yang tidak dikembangkan. Itulah mengapa zakat diwajibkan pada komoditi perniagaan, hewan ternak saaimah, dan uang karena statusnya yang berkembang. Sementara kewajiban itu digugurkan pada barang atau komoditi yang tidak diniatkan untuk diperdagangkan seperti pakaian dan bejana yang tidak berkembang, dan hanya dipergunakan untuk penggunaan dan pemakaian pribadi, sebagaimana kewajiban zakat digugurkan pada perhiasan, permata yang terbuat dari mutiara, marjan, dan yaqut karena statusnya yang diperuntukkan untuk berhias. 

Perhiasan emas dan perak yang dipakai oleh wanita dengan penggunaan yang mubah termasuk dalam harta tak berkembang sehingga tidak wajib dizakati. Hal ini karena ia dipergunakan untuk berhias sebagaimana perhiasan yang terbuat dari mutiara dan marjan. [Zakat Hulliy adz-Dzahab wa al-Fidhdhah wa al-Jauharat hlm. 65-66].

Kesimpulan

  1. Perhiasan emas dan perak dikenal alim ulama dengan istilah al-hulliy.
  2. Alim ulama berselisih pendapat terkait hukum zakat perhiasan emas dan perak. Hal ini dilatarbelakangi ketiadaan dalil yang secara tegas menetapkan atau meniadakan kewajiban zakat pada perhiasan emas dan perak. Hadits-hadits tersebut diperselisihkan oleh alim ulama, baik dari sisi keabsahan maupun dalalah-nya.
  3. Emas dan perak yang menjadi obyek pembahasan memiliki 3 batasan, yaitu terbuat dari emas dan/atau perak; dipergunakan secara mubah; dan dipergunakan sebagai perhiasan.
  4. Pendapat terpilih adalah pendapat yang menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban zakat pada perhiasan emas dan perak.
  5. Hadits-hadits seperti hadits ‘Amru ibn Syu’aib dan semisalnya yang dijadikan dalil oleh alim ulama yang mewajibkan zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak wanita tidak secara tegas menunjukkan adanya kewajiban zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak wanita karena mengandung berbagai kemungkinan. Berbagai kemungkinan ini membatalkan penggunaan hadits-hadits tersebut sebagai dalil untuk menyatakan wajibnya zakat pada perhiasan emas/perak wanita. Dengan demikian hendaknya merujuk pada prinsip umum dalam pensyari’atan zakat, yang di antara prinsip tersebut adalah zakat hanya diwajibkan pada harta yang dikembangkan dan tidak diwajibkan pada harta yang tidak dikembangkan.

Demikian pembahasan ini. Semoga bermanfaat.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: Muslim.or.id

Serial Fiqh Zakat (Bag. 6)

Baca pembahasan sebelumnya Serial Fiqh Zakat (Bag. 5): Syarat Wajib Zakat (2)D

Zakat Emas dan Perak

Hukum Zakat Emas dan Perak

Emas dan perak yang telah mencapai nishab dan memenuhi haul wajib ditunaikan zakatnya. Dalilnya terdapat dalam al-Qur’an, as-Sunnah (hadits), dan ijmak.

Dalil al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman,

وَٱلَّذِينَ يَكْنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِى نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا۟ مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” [QS. at-Taubah: 34-35]

Allah Ta’ala juga berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. at-Taubah: 103]

Ayat di atas secara umum menerangkan kewajiban menunaikan zakat yang terdapat dalam harta, dimana emas dan perak tercakup di dalamnya [asy-Syarh al-Mumti’, 6: 93] 

Dalil as-Sunnah

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ

“Siapa yang memiliki emas dan perak, tetapi dia tidak membayar zakatnya, niscaya di hari kiamat akan dibuatkan setrika api untuknya yang dinyalakan di dalam neraka, lalu disetrikakan ke perut, dahi dan punggungnya. Setiap setrika itu dingin, maka akan dipanaskan kembali lalu disetrikakan kembali kepadanya setiap hari –di mana sehari setara lima puluh tahun di dunia – hingga perkaranya diputuskan. Setelah itu, barulah ia melihat jalannya keluar, adakalanya ke surga dan adakalanya ke neraka.” [HR. Muslim: 987]

Demikian pula dalam hadits Anas perihal surat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu terkait sejumlah zakat yang diwajibkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas kaum muslimin sebagaimana yang diperintahkan Allah. Dalam surat tersebut tercantum,

وفي الرِّقَةِ رُبُعُ العُشرِ، فإن لم تكُن إلَّا تِسعينَ ومئةً، فليس فيها شيءٌ إلَّا أن يشاءَ رَبُّها

“Dan untuk zakat uang perak (riqqah), maka ketentuannya seperempat puluh (2,5%) bila telah mencapai 200 dirham. Apabila tidak mencapai jumlah itu namun hanya mencapai 190 dirham, maka tidak ada kewajiban zakat kecuali pemilik ingin mengeluarkannya.” [HR. al-Bukhari: 1454]

Dalil Ijmak

Sejumlah ulama mengutip adanya ijmak bahwa emas dan perak wajib ditunaikan zakatnya.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, 

زكاة الذهب والفضَّة، وهي واجبةٌ بالكتاب، والسنَّة، والإجماع

“Zakat emas dan perak adalah wajib ditunaikan berdasarkan al-Quran, as-Sunnah, dan ijmak” [al-Mughni, 3: 35]

An-Nawawi rahimahullah mengatakan,

تجب الزَّكاة في الذهب والفضَّة بالإجماع، ودليلُ المسألة النُّصوصُ والإجماع، وسواء فيهما المسكوكُ والتِّبرُ والحجارة منهما والسبائك وغيرها من جنسها، إلَّا الحُلِيَّ المباحَ على أصحِّ القولين

“Zakat atas emas dan perak adalah wajib berdasarkan ijmak. Dalil hal ini adalah nash (al-Quran dan as-Sunnah) dan ijmak’, baik yang berupa mata uang resmi, bijih, bongkahan, koin, atau bentuk lain yang sejenis, kecuali berbentuk perhiasan yang mubah menurut pendapat yang terpilih dari dua pendapat yang ada” [al-Majmu’, 6: 6]  

Hikmah Ketetapan Zakat Emas dan Perak

Uang seyogyanya bergerak dan beredar, sehingga pasti ada manfaat yang dipetik dari setiap orang yang mengedarkannya. Jika uang ditimbun dan ditahan, maka hal itu akan menyebabkan bisnis merosot, pengangguran merebak, pasar mengalami stagnasi, dan pergerakan ekonomi mengalami resesi secara merata. Berangkat dari hal inilah kita bisa melihat peran penting diwajibkannya zakat terhadap emas dan perak (termasuk di dalamnya mata uang) yang telah mencapai nishab dan setiap kali memenuhi satu haul, baik emas dan perak itu diinvestasikan ataupun tidak.

Al-Qardhawi mengatakan,

وهو أمثلُ خطَّةٍ عمليَّةٍ للقضاء على حبْسِ النقود واكتنازِها؛ ذلك الداءُ الوَبيلُ الذي حار علماء الاقتصاد في علاجِه، حتى اقترح بعضهم أن تكون النقودُ غيرَ قابلةٍ للاكتناز بأن يحدَّدَ لها تاريخُ إصدارٍ، ومن ثَمَّ تفقِدُ قيمَتَها بعد مُضيِّ مدَّة معيَّنة من الزمن، فتبطُلُ صلاحيتها للادِّخار والكَنْز

“Oleh karena itu, penetapan zakat atas uang (termasuk di dalamnya emas dan perak) merupakan rencana aksi yang terbaik untuk mengeliminasi aktifitas menahan dan menimbun uang. Itulah penyakit kronis yang selalu diupayakan penyembuhannya oleh para pakar ekonomi. Agar tidak lagi dapat ditimbun, sejumlah pakar bahkan merekomendasikan agar uang memiliki tanggal rilis, dimana nilai uang tersebut tidak lagi ada ketika telah melewati masa tertentu. Dengan begitu uang tersebut tidak berguna lagi untuk disimpan dan ditimbun.” [Fiqh az-Zakat, hlm. 242]

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: Muslim.or.id

Tidak Boleh Melakukan Tipu Daya untuk Menghindari Pembayaran Zakat

Jika kita memiliki harta yang sudah melebihi nishab tetapi belum tercapai haul-nya, maka tidak boleh bagi kita untuk dengan sengaja mengurangi harta kita tersebut agar kita bisa menghindari pembayaran zakatnya.

Misalnya, jika seseorang memiliki harta yang wajib dizakati seperti uang tunai dan tabungan yang sudah melebihi nishab-nya, maka tidak boleh baginya untuk dengan sengaja menggunakan sebagian uangnya tersebut sehingga jumlahnya sekarang menjadi kurang dari nishab, dalam rangka agar dia tidak perlu membayar zakat atasnya.

Dia bisa saja menggunakan sebagian uangnya itu untuk membeli harta jenis lainnya yang juga wajib dizakati, seperti binatang ternak (kambing, sapi, dan unta), atau harta yang tidak dizakati, seperti kendaraan atau telepon seluler yang digunakan untuk keperluan pribadi (bukan untuk dijual lagi sebagai barang dagangan). Tidak peduli bagaimana dia menggunakan uangnya tersebut, selama ada niat untuk menghindari pembayaran zakat, maka ini adalah perbuatan yang terlarang secara syari’at.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ * وَلَا يَسْتَثْنُونَ * فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِّن رَّبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ * فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ

“Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari. Dan mereka tidak menyisihkan (hak faqir miskin). Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur. Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita.”

Dari serangkaian ayat ini, kita mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum para pemilik kebun tersebut karena mereka tidak mau menunaikan hak kaum faqir miskin dari sebagian hasil panen mereka. Demikian pula, jika kita dengan sengaja mengurangi harta kita hingga di bawah nishab karena tidak mau untuk membayar zakatnya, maka ini adalah perbuatan yang tercela dan haram secara syari’at.

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu menulis kepada beliau apa yang diwajibkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai zakat,

ولا يُجمَع بين متفرِّق، ولا يُفرَّق بين مجتمِع، خشيةَ الصدقة.

“Hendaknya harta yang terpisah itu tidak digabungkan, atau harta yang tergabung itu tidak dipisahkan, karena ingin menghindari zakat.”

Dari hadits ini bisa kita simpulkan bahwa tidak boleh untuk melakukan hilah (tipu daya) agar kita terhindar dari kewajiban membayar zakat. Barangsiapa yang melakukannya, maka dia tetap wajib untuk membayar zakat tersebut, karena di antara kaidah syari’at mengenai masalah tipu daya adalah bahwa pelaku tipu daya itu dihukum dengan ditetapkan baginya suatu ketetapan yang bertentangan dengan maksud dan tujuannya yang buruk tersebut.

Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah dalam kitab fenomenal beliau I’lamul-Muwaqqi’in ‘an Rabbil-’Alamin berkata,

وكذلك إذا كان في يده نصاب فباعه أو وهبه قبل الحول، ثم استردَّه، قال أرباب الحيل: تسقط عنه الزكاة، بل لو ادَّعى ذلك لم يأخذ العامل زكاته، وهذه حيلة محرَّمة باطلة، ولا يُسقِط ذلك عنه فرضَ الله الذي فرضه وأوعد بالعقوبة الشديدة مَنْ ضيَّعه وأهمله، فلو جاز إبطاله بالحيلة التي هي مكر وخداع لم يكن في إيجابه والوعيد على تركه فائدة.

وقد استقرت سنة الله في خلقه شرعا وقدرا على معاقبة العبد بنقيض قصده، كما حرم القاتلُ الميراثَ، وورَّث المطلَّقةَ في مرض الموت، وكذلك الفارُّ من الزكاة لا يُسقِطها عنه فراره ولا يُعَان على قصده الباطل فيتم مقصوده ويسقط مقصود الرب تعالى، وكذلك عامة الحيل إنما يساعد فيها المتحيِّل على بلوغ غرضه ويُبطِل غرض الشارع.

“Demikian pula jika dia memiliki harta yang sudah mencapai nishab kemudian dia menjualnya atau menghadiahkannya kepada orang lain sebelum haulnya, kemudian memintanya kembali dari orang tersebut, maka orang yang melakukan tipu daya ini akan berkata bahwa zakat tidak wajib atasnya, dan jika dia mengucapkan klaim ini maka ‘amil zakat tidak akan mengambil zakatnya, maka ini adalah hilah (tipu daya) yang haram dan bathil. Perbuatannya ini tidak menggugurkan kewajiban yang telah Allah tetapkan dan telah Allah ancam orang yang melalaikannya dan meremehkannya dengan hukuman yang berat. Jika menggugurkan kewajiban zakat dengan cara melakukan tipu daya itu dibolehkan, yang ini merupakan perbuatan makar dan kecurangan, maka tidak ada faidah ketika syari’at mewajibkannya dan memberikan ancaman hukuman bagi orang yang meninggalkannya.

Telah tetap Sunnatullah pada makhluk-Nya baik secara syar’iy maupun qadariy tentang menghukum seseorang dengan menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan maksud dan tujuan orang tersebut. Sebagaimana diharamkan harta warisan bagi orang yang membunuh, dan perempuan yang ditalak oleh suaminya ketika suaminya tersebut sedang sakit parah dan sudah mendekati ajalnya itu tetap mendapatkan harta warisannya, maka demikian pula orang yang hendak lari dari kewajiban membayar zakat, perbuatannya ini tidaklah menggugurkan kewajibannya tersebut. Maksud dan tujuannya yang bathil itu tidak akan didukung oleh syari’at sehingga membuat maksudnya itu bisa tercapai dan gugurlah maksud Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula, seluruh tipu daya itu dilakukan dalam rangka untuk mewujudkan maksud si pelaku dan menggugurkan maksud syari’at.”

Syaikh Mushthafa ar-Ruhaibaniy rahimahullah dalam kitab beliau Mathalibu Ulin-Nuha fiy Syarhi Ghayatil-Muntaha berkata,

ولم تسقط الزكاة بإخراج عن ملكه ببيع أو إبدال بأنقص من النصاب، لقوله تعالى: {إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ} الآيات، فعاقبهم تعالى بذلك لفرارهم من الزكاة، ولأنه قصد به إسقاط حق غيره، فلم يسقط، كالمطلق في مرض موته.

“Kewajiban zakat itu tidak gugur ketika seseorang mengeluarkan sebagian hartanya dengan cara menjualnya atau menukarnya dengan harta yang lebih sedikit dari nishab, berdasarkan firman Allah Ta’ala“Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, …” maka Allah Ta’ala menghukum mereka karena mereka ingin menghindari pembayaran zakat, dan karena dia bertujuan untuk menggugurkan hak orang lain, sehingga hak orang lain tersebut tetap tidak gugur, sebagaimana seorang suami yang mentalak istrinya ketika si suami sedang sakit parah dan sudah mendekati ajalnya.”

Dari penjelasan para ulama’ di atas, kita simpulkan beberapa faidah penting berikut:

Pertama: Haram bagi kita untuk melakukan perbuatan hilah (tipu daya) untuk menghindari kewajiban yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan dalam syari’at-Nya.

Kedua: Jika perbuatan tipu daya untuk menghindari kewajiban seperti ini dibolehkan, maka apa gunanya ada kewajiban tersebut dalam syari’at? Apa gunanya ada ancaman dari syari’at untuk orang-orang yang melalaikan dan meremehkan kewajiban tersebut?

Ketiga: Konsekuensi bagi orang yang melakukan tipu daya itu ada dua:

  1. Dia berdosa karena perbuatan tipu dayanya itu adalah perbuatan yang haram.
  2. Kewajiban yang ingin dia hindari tersebut tetap wajib dan tetap tidak gugur untuknya. Ini yang disebutkan dalam nukilan penjelasan para ulama’ di atas dengan redaksi: Allah menghukum seseorang dengan menetapkan sesuatu yang yang bertentangan dengan maksud dan tujuannya yang bathil tersebut.

Keempat: Bahwa syari’at Islam memiliki maqashid (maksud-maksud) di balik setiap ketetapannya. Melakukan tipu daya untuk menghindari ketetapan syari’at itu sama saja dengan menggugurkan maksud dari syari’at dalam ketetapannya tersebut. Padahal, maksud dari syari’at dalam setiap hukum dan ketetapannya adalah untuk mewujudkan mashlahat dan menghilangkan madharat bagi setiap individu muslim, bagi kaum muslimin secara umum, dan bahkan bagi seluruh manusia dan seluruh ciptaan Allah di alam semesta ini!

Kelima: Contoh tipu daya yang disebutkan dalam nukilan penjelasan para ulama’ di atas adalah:

  1. Orang yang membunuh kerabatnya karena ingin cepat mendapatkan harta warisan dari kerabatnya tersebut. Ini adalah perbuatan tipu daya, sehingga pelakunya berdosa, dan dia dihukum dengan hukuman yaitu tidak akan mendapatkan harta warisan dari kerabatnya yang telah dibunuh olehnya tersebut.
  2. Seorang suami yang mentalak istrinya ketika si suami tersebut sedang sakit parah dan sudah mendekati ajalnya, dengan tujuan agar istrinya tidak mendapatkan harta warisan darinya. Ini adalah perbuatan tipu daya, sehingga suami tersebut berdosa, dan dia dihukum dengan hukuman yaitu sang istri tetap berhak atas harta warisan darinya.

Kita simpulkan bahwa orang yang melakukan perbuatan tipu daya untuk menghindari pembayaran zakat atas hartanya, maka dia telah berdosa, dan dia dihukum dengan hukuman yaitu tetap wajib membayar zakatnya tersebut walaupun sekarang hartanya sudah kurang dari nishab. Jika dia melakukan perbuatan tipu daya ini pada setiap tahunnya, maka pada setiap tahun itu pulalah dia tetap wajib untuk membayar zakat atas hartanya.

Terakhir, kami hendak menekankan di sini bahwa apakah suatu perbuatan merupakan tipu daya atau tidak itu tergantung pada niatnya, sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى.

“Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang itu akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.”

Oleh karena itu, jika kita melakukan sebuah transaksi yang efeknya bisa membuat kita tidak wajib lagi membayar zakat ketika haulnya sudah tiba, karena ada suatu keperluan atau hajat tertentu, tanpa ada niatan untuk menghindari pembayaran zakat tersebut, maka ini tidak mengapa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَا يُكَلِّفُ اللَّـهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan keberkahan kepada harta kita, dan semoga kita senantiasa diberikan taufiq oleh-Nya untuk menjalankan syari’at dengan ridha’ dan penuh keikhlasan, hanya mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Artikel: Muslim.or.id

Zakat 2,5 Persen dari Modal atau Pendapatan?

Bisa disimpulkan bahwa zakat 2,5 persen dibebankan pada modal dan pendapatan.

DIASUH OLEH DR ONI SAHRONI, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamualaikum Wr Wb. Saya masing bingung terkait cara perhitungan zakat perdagangan. Apakah dikeluarkan dari modal atau pendapatan tahunan? Mohon penjelasan Ustaz! — Sulaiman, Bogor

Waalaikumussalam Wr Wb.

Pertama, di antara kekhasan zakat perdagangan yang membedakannya dari ragam zakat yang lainnya adalah 2,5 persen yang menjadi tarif zakat itu dibebankan kepada modal dan hasil (ra’sul mal wa nama’uhu) seperti halnya zakat hewan. Seperti yang ditegaskan dalam hadis Rasulullah Muhammad SAW dari Samurah bin Jundub, ia berkata: “Adapun sesudahnya, sesungguhnya Rasulullah Muhammad SAW memerintah kami untuk mengeluarkan zakat dari yang kami persiapkan untuk jual beli (berniaga).” (HR Abu Daud dan Imam Malik dalam al-Muwatho’).

Berdasarkan hadis ini, kewajiban zakat itu ditunaikan, salah satunya dari komoditas yang diperjualbelikan. Maksudnya, tidak hanya hasil, tetapi juga modal. Hal ini berbeda dengan zakat pertanian yang 5 sampai 10 persennya diambil dari hasil (omzet dari produksi).

Kedua, para ahli fikih, khususnya para ulama tabiin menjelaskan secara lebih tegas tentang sumber tarif zakat 2,5 persen dalam tarif perdagangan tersebut sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Ubaid dalam kitab al-Amwal sebagai berikut.

Maimun bin Mihran berkata: “Apabila telah sampai haul waktu zakatmu, lihatlah aset yang kau miliki seperti uang tunai atau barang dagangan, kemudian valuasi. Begitu pula dengan piutang yang bisa ditagih, kemudian hitunglah semuanya dan kurangi dengan utang yang menjadi kewajibanmu, kemudian tunaikan zakat dari sisanya.”

Imam Hasan Al-Bashri berkata: “Apabila telah datang waktu wajib zakat, wajib mengeluarkan zakatnya atas setiap dana tunai yang dimiliki dan barang dagangannya beserta piutangnya, kecuali piutang yang tidak mungkin ditagih.”

Ibrahim an-Nakha’i berkata: “Pelaku usaha itu memvaluasi objek dagangannya. Apabila dimaksudkan untuk perniagaan dan sudah jatuh tempo zakat, ia menunaikan zakatnya beserta harta yang dimilikinya.” (Dikutip al-Qardhawi, Fikih Zakat, Muasasah ar-Risalah, Beirut, Jilid 1).

Berdasarkan pandangan tersebut, rumusan menghitung zakat perdagangan adalah menggabung seluruh modal yang diputar (inventori) ditambah pendapatan, dana tunai atau simpanan, piutang lancar, kemudian diperinci daftar komoditasnya dan divaluasi. Setelah itu dikeluarkan 2,5 persen sebagai tarif zakat.

Ketiga, hal yang sama ditegaskan dalam peraturan menteri agama: Penghitungan dilakukan dengan cara sebagai berikut. (a) Menghitung aktiva lancar yang dimiliki badan usaha pada saat haul. (b) Menghitung kewajiban jangka pendek yang harus dibayar oleh badan usaha pada saat haul. (c) Menghitung selisih aktiva lancar dengan kewajiban jangka pendek.

Jika mencapai nisab, jatuh kewajiban menunaikan zakat perniagaan (Peraturan Menteri Agama No 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif).

Keempat, hal yang sama juga dipraktikkan oleh beberapa lembaga zakat dengan model perhitungan sebagai berikut. (a) Aset lancar utang jangka pendek x 2,5 persen. (b) (Modal +keuntungan + piutang) (utang +kerugian) x 2,5 persen. (c) (Modal yang diputar + keuntungan + piutang yang dapat dicairkan)(utang kerugian) x 2,5 persen. (d) (Modal diputar +keuntungan + piutang) (utang +kerugian) x 2,5 persen.

Setahu penulis hingga saat ini belum ada standar akuntansi syariah yang mengatur rumus penghitungan zakat perdagangan. Karena itu, dengan beragamnya rumus perhitungan yang terjadi, diharapkan otoritas Dewan Standar Akuntansi Syariah menerbitkan standar yang berisi rumusan perhitungan zakat perdagangan.

Berdasarkan penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa zakat dibebankan pada modal dan pendapatan (ra’sul mal wa an-nama’) sebagaimana hadis dari Samurah bin Jundub dan penafsiran Maimun bin Mihran, Hasan al-Basri, dan an-Nakha’i. Karena beragam model perhitungan pada tataran praktik, kehadiran standar akuntansi yang mengatur model perhitungan menjadi kebutuhan yang mendesak.

Wallahu a’lam.

REPUBLIKA.id


Membebaskan Utang dengan Niat Menjadi Zakat

Ada orang yang punya piutang pada orang lain. Setiap kali menagih, si pengutang begitu sulit dihubungi maupun ditemui. Karena kesulitan tersebut, pemberi pinjaman (kreditur) memutuskan untuk membebaskan pihak debitur (yang memiliki pinjaman). Si pemberi pinjaman (utang) meniatkan hal itu sebagai pembayaran zakat.

Apakah dibolehkan seperti ini?

Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ (6:210) berkata, “Jika seseorang memiliki piutang pada seseorang yang susah dalam melunasi utang, lantas ia ingin jadikan piutang tersebut lunas dari zakat yang harus ia keluarkan, ada dua pendapat dalam hal ini:

  • Tidak sah, demikian menjadi pendapat madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Karena zakat masih ada dalam genggaman si pemberi pinjaman. Zakat tersebut barulah dianggap dikeluarkan jika ada qabdh (mengambil dan menyerahkan kembali).
  • Sah, ini adalah pendapat dari Al-Hasan Al-Bashri dan ‘Atha’.”

Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily mengatakan dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii (2:115), “Jika seseorang memiiki piutang pada orang yang susah melunasinya, ia ingin jadikan zakatnya untuk membebaskannya, ia mengatakan, utangmu sudah bebas dengan zakatku, seperti itu tidaklah sah. Karena orang yang punya kewajiban mengeluarkan zakat masih memegang zakat tersebut. Zakat itu dianggap ditunaikan jika ada qabdh (pengambilan dan penyerahan). Akan tetapi, boleh saja pihak yang berutang (debitur) mengatakan pada pemberi pinjaman (kreditur), “Serahkan zakatmu, biar saya bisa melunasi utang padamu.” Jika seperti itu, penunaian zakatnya sah karena sudah ada qabdh. Dalam hal ini, orang yang berutang (debitur) tidak bisa memaksa penyerahan zakat tadi padanya agar ia bisa melunasi utang (pada kreditur). Jika pihak kreditur akhirnya menyerahkan zakatnya, dianggap sah. Seandainya pemilik harta mengatakan kepada yang berutang, “Lunasi utangmu, biar aku bisa membayar zakatku padamu.” Lantas pihak debitur melunasi utangnya, utang itu dianggap lunas. Namun, hal ini bukan jadi paksaan.”

Dalil dari ulama yang menyatakan tidak sah “membebaskan utang dengan niat menjadi zakat” adalah ayat berikut,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya.” (QS. Al-Baqarah: 267).

Tentang ayat di atas, Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Menganggap lunas piutang yang ada pada orang yang susah sebagai zakat berarti mengeluarkan sesuatu yang rendah dari yang dimiliki, itu sama dengan mengeluarkan sesuatu yang khabits (buruk), sehingga hukumnya tidaklah boleh.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 25:84)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau menasihatinya di antaranya,

فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِى أَمْوَالِهِمْ ، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

Jika mereka telah menaati dalam hal itu, beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat dari harta mereka, yakni diambil dari harta orang kaya di antara mereka dan disalurkan pada orang fakir di antara mereka.” (HR. Bukhari, no. 7372; Muslim, no. 19). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa zakat itu diambil dan diserahkan. Kita simpulkan berarti tidak boleh membebaskan utang yang ia wajib bayarkan dengan niat menjadi zakat. Karena membebaskan utang tidak ada di situ mengambil dan menyerahkan. Demikian Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menerangkan hadits ini dalam Islamqa dalam Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 13901. (https://islamqa.info/ar/answers/13901/لا-يجوز-اسقاط-الدين-واعتباره-من-الزكاة)

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid memberikan kalimat penutup dengan mengatakan, “Jika engkau memberikan zakatmu pada orang yang membutuhkan dan engkau penuhi hajatnya, insya Allah utang yang ada padanya akan segera selesai setelah itu.” (Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 13901)

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.


Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24375-membebaskan-utang-dengan-niat-menjadi-zakat.html

Betapa Agungnya Syahadat, Salat dan Zakat (3)

DARI Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berkah untuk diibadahi kecuali Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan hal itu, akan terjagalah darah-darah dan harta-harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam, sedangkan perhitungan mereka diserahkan kepada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 25 dan Muslim, no. 21]

Faedah Hadits:

Kesepuluh: Jihad dihukumi fardhu kifayah, kadang dihukumi juga fardhu ain. Namun tidak semua jihad itu dihukumi fardhu ain mengingat firman Allah Taala,

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)

Kesebelas: Wajib bersyahadat dengan hati dan lisan. Jika ia menampakkan dengan lisannya, dan kita tidak mengetahui isi hatinya, maka cukup dihukumi secara lahiriyah. Adapun rahasia hatinya diserahkan kepada Allah. Wajib kita menahan diri sampai ia menyelisihi apa yang nampak.

Keduabelas: Tidak cukup seseorang beribadah kepada Allah semata sampai ia menafikan pula segala sesembahan selain Allah. Karena dalam kalimat laa ilaha illallah terdapat nafi (penafian) dan itsbat (penetapan), yaitu menafikan segala sesembahan selain Allah dan hanya menetapkan Allah sebagai satu-satunya yang disembah.

Ketigabelas: Syahadat Muhammad adalah utusan Allah punya konsekuensi seperti yang dinyatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam kitabnya Tsalatsatul Ushul,

(1) mentaati perintahnya, (2) membenarkan setiap berita dari beliau, (3) menjauhi segala yang dilarang, (4) menyembah Allah hanya boleh dengan syariat beliau.

Keempatbelas: Hisab makhluk diserahkan kepada Allah. Tugas Rasul shallallahu alaihi wa sallam hanya menyampaikan.

Wallahu waliyyut taufiq. Hanya Allah yang memberi hidayah. [Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK