Spiritual dan Zuhud Imam Abu Hanifah

Spiritual dan zuhud Imam Abu Hanifah. Ada rahasia tersendiri kenapa para Imam madzhab – khususnya al-mazahib al-arba’ah – sangat masyhur kemuliaannya di mata kita semua.

Kemuliaan Imam Empat Mazhab

Fatwa-fatwa dan gagasan-gagasan mereka selalu jadi pedoman hidup. Hal itu terbukti, ketika pemikiran mereka menjadi rujukan oleh banyak orang.

Rahasia di balik kemuliaan mereka adalah karena beliau merupakan orang-orang yang tinggi derajatnya di sisi Allah Swt. Para Imam mazhab ini merupakan ulama dunia akhirat yang segala amalan ibadahnya berlandaskan ilmu yang mempuni yang mereka miliki. 

Merekalah sang zahid yang menganggap harta dunia bagaikan air di lautan sementara ia berdiri di tepi pantai, air tetap bisa terjangkau tanpa terhanyut dan tenggelam di dalamnya. Merekalah sosok figur yang patut kita teladani. Sosok yang benar-benar mengamalkan sunnah nabi dan atsar sahabat. 

Untuk tulisan kali ini, penulis mengajak pembaca bersama-sama mengintip tentang zuhud dan spiritual ibadah para Imam al-Mazahib al-Arba’ah dalam mendekatkan dan menghambakan diri terhadap Sang Khaliq. Agar kita bisa mengintropeksi diri dan menuju tahap untuk bisa meneladaninya. 

رَأَيْتُ رَجُلًا لَوْ كَلَّمْتُهُ فِى السَّارِيَةِ أَنْ يَجْعَلَهَا ذَهَبًا لَقَامَ بِحُجَّتِهِ

“Aku menjumpai seseorang yang andaikan saja aku memintanya untuk menjadikan sebuah tiang menjadi emas maka ia akan membuktikannya.” (Imam Malik bin Anas ra.)

Kutipan tersebut merupakan sebuah metafor terhadap kecerdasan Imam Abu Hanifah. Gelar imam a’dzham merupakan gelar kehormatan mereka, lantaran keluasan ilmunya dalam kajian Islam.

Betapa tidak? Kesohoran Imam Abu Hanifah telah membahana di berbagai penjuru dunia. Terutama Timur Tengah.Masyhur sebagai sosok pakar ilmu fikih (faqih), hadis, zuhud, warak, dan pendiri  mazhab Hanafiyah.

Sekilas Biografi Imam Abu Hanifah

An-Nu’man bin Tsabit bin Zūthy at-Taymi al-Kufi (80-150 H./699-767 M.) adalah nama lengkap Abu Hanifah. Ia akrab dengan sapaan Hanifah. Pasalnya, ia adalah seorang ahli ibadah, warak dan zuhud dan benar-benar bepegang teguh terhadap ajaran agama. Nama tersebut berasal dari kata hanif, sebagaimana dalam Al-Qur’an. 

Beliau lahir di Kufah, Irak pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Oleh karenanya, nama sang Imam dinisbahkan kepada negeri di mana ia lahir (al-Kufi).

Dulunya ayah Abu Hanifah merupakan budak seorang lelaki dari Bani Taimiyyah dan kemudian mendapatkan hak kemerdekaan. Karena itulah nisbah namanya  kepada Bani Taimiyyah sebagai bentuk ungkapan rasa terima kasih karena ayahnya terbebas dari status budak.                                                                                                    

Pendiri madzhab Hanafiyyah ini hidup di antara dua masa, yaitu penghujung Dinasti Umayyah (661-750) dan periode awal Dinasti Abbasiyah (750-1258). Abu Hanifah merupakan seorang tabi’in. Dia pernah semasa dengan pembesar sahabat Nabi. 

Di antaranya, Anas bin Malik, Abdullah bin Ubay, Sahl bin Sa’d as-Sā’idiy,Abu Thufail ‘Amir bin Wailah. Dikisahkan, saat Anas bin Malik bepergian ke Iraq, di sanalah Abu Hanifah kecil melihatnya. Tidak hanya pernah berjumpa, melainkan ia juga meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik. 

Antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hanifah dari Anas bin Malik adalah thalab al-‘ilmi faridlatun ‘ala kulli muslim (mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang muslim).

Ada pula pendapat sebagian ulama yang mengatakan kalau Imam Abu Hanifah merupakan seorang tabi’i at-tabi’in. Meskipun ia pernah semasa dengan para pembesar sahabat Nabi Muhammad, namun ia tidak pernah bertemu dengan salah seorang dari mereka. 

Imam Abu Hanifah Seorang Pedagang

Sejak kecil beliau sudah ikut berdagang bersama ayahnya menjual kain. Beliau hidup dari keluarga yang berprofesi sebagai pedagang. Ayahnya seorang pedagang, kakeknya pun demikian. Sehingga beliau hidup dengan pendidikan profesi ini. 

Ada yang mengenalnya dengan sebutan Khazzaz, lantaran ia seorang pedagang sutera. Tidak hanya sutera, pakaian dengan model kain yang berbeda pun menjadi usaha dagangannya. Berdagang dengan jujur dan amanah merupakan prinsip dalam bisnisnya. 

Beliau sangat menjauhkan diri dari segala hal-hal yang belum jelas status halal haramnya. Tidak boleh ada praktik yang mengandung unsur penipuan maupun hal-hal yang dapat merugikan orang lain. Tidaklah heran jika ia dikatakan sebagai orang yang warak dan zuhud. 

Kisah Zuhud Imam Abu Hanifah

Dalam kitab Wa Ma adraka ma an-Nu’man,  terdapat keterangan bahwa Abu Hanifah selalu mengumpulkan laba usahanya dari tahun ke tahun. Di samping untuk memenuhi kebutuhan hidup ala kadarnya. Ia juga meng-infaq-kan kepada para syaikh dan ahli hadis. Ia sedekahkan pula kepada fakir miskin.

Memberikan beasiswa kepada para penuntut ilmu. Semua kebutuhan mereka dipenuhinya. “Semua kebutuhan-kebutuhanmu aku penuhi, Semua yang aku berikan ini bukanlah dari hartaku, melainkan ini semua adalah karunia Allah Swt,” kata Abu Hanifah.

Sejak kecil beliau sudah mulai bergelut dengan ilmu. Menuntut ilmu menjadi aktifitas dan rutinitasnya meski ia juga ikut berprofesi sebagai pedagang bersama ayahnya. Pertama kali ia belajar kepada Syaikh Hammad bin Abi Sulaiman (murid dari syaikh Ibrahim an-Nakha’i) selama 18 tahun. 

Kisah Kealiman Abu Hanifah

Cukup lama kiranya dia menuntut ilmu dan berkhidmat kepada Syaikh Hammad, hingga gurunya wafat. Pernah suatu ketika sang guru berkata kepada Abu Hanifah, “Wahai Abu Hanifah, kau telah mengurasku.” 

Ucapan tesebut merupakan sebuah pujian terhadap abu hanifah terhadap apa yang telah ia raup dari sang guru. Betapa banyak ilmunya, terutama tentang fiqih  yang telah ia peroleh dari sang guru. Hingga seakan-akan ia menguras semua ilmu yang ada pada gurunya. Dan itu terbukti dengan kecerdasan Imam Abu Hanifah.

Ibnu Mubarak pernah berkata tentang Abu Hanifah, “Abu Hanifah orang yang banyak membaca al-Qur’an dan mendirikan salat sunah” ujar Ibnu Mubarak. Kata Hamad Ibn Abi Sulaiman: “Abu Hanifah adalah orang yang selalu menghidupkan seluruh malamnya, paling tidak beliau menghidupkan setengahnya”.

Suatu ketika, Abu Hanifah pernah mendapat pujian dari seseorang, namun beliau jadikan pujian sebagai sebuah beban yang harus dipertanggung jawabkan kelak di akhirat. Berawal ketika Imam Abu Hanifah berjalan melintasi sekumpulan orang, tanpa sengaja beliau mendengar orang mengatakan;

 “Inilah orang yang selalu menghidupkan seluruh malamnya dengan beribadah” terdengar lirih oleh Abu Hanifah. Setelah kejadian itu, beliau tidak pernah lagi meninggalkan satu malam pun kecuali untuk beribadah. 

Abu Hanifah berkata, “Aku malu terhadap Allah Swt, karena aku telah orang sangka sebagai orang yang selalu menghidupkan malamnya, padahal aku sendiri tidak.”

Tentang sifat zuhud Imam Abu Hanifah, Ibnu Mubarak berkata, “Tahukah kamu orang yang mendapatkan kekayaan berlimpah akan tetapi dia malah menolak dan lari dari harta itu? ”

Yang dimaksudkan Ibnu Mubarak tiada lain ialah Imam Abu Hanifah. Kejadian itu terjadi ketika Yazid Ibn Umar menyuruh Imam Abu Hanifah mendatangi baitul mal, akan tetapi beliau menolaknya. 

Hingga mendapatkan mendapatkan pukulan sebanyak empat puluh kali. Betapa zuhudnya beliau, sehingga lari dari kekuasaan dengan menerima resiko yang berat.

Kebiasaan Abu Hanifah sehabis mendapatkan laba dari hasil dagangnya, beliau hanya mengambil sekedar cukup untuk kebutuhannya, sementara sisanya beliau sedekahkan kepada masyayikh, para santri yang menuntut ilmu dan fakir miskin, yang ia rasa lebih membutuhkan.

Seraya berkata, “Semua yang aku berikan ini bukanlah dari hartaku, melainkan ini semua adalah karunia Allah Swt.” 

Abu Hanifah Menolak Menjadi Pejabat

Satu cerita lagi, sebagai bukti bahwa beliau benar-banar sang zahid, bahwa Abu Hanifah telah diangkat sebagai pemimpin oleh Abu Ja’far –amirul mukminin pada waktu itu, dengan mendapatkan hadiah imbalan sepuluh ribu dirham, seketika Abu Hanifah menolaknya. 

Seketika beliau langsung shalat dan berselimut dengan jubah shalatnya. Dan beliau tidak mengeluarkan sepatah kata pun ketika datang utusan yang bernama Hasan Ibn Qathbah.

Demikian penjelasan terkait spiritual dan zuhud Imam Abu Hanifah. Semoga kisah beliau ini bisa menjadi teladan kita bersama. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Tambah Miskin, Tambah Zuhud?

“Tambah miskin, tambah zuhud.” Apakah tagline ini benar?

Kalau Anda katakan, “iya”, berarti  apakah Anda juga mengatakan sekaliber Nabi Sulaiman dan Dawud Alaihimus salaam yang memiliki kerajaan yang begitu luasnya, merupakan orang yang tidak zuhud?

Lalu apa juga yang akan Anda katakan untuk sahabat sekelas ‘Abdurahman bin ‘Auf, yang jika hartanya dikumpulkan dapat menyentuh angka ribuan triliun? Belum lagi bagaimana dengan Abu Bakar yang dikenal pebisnis tersukses sejak dari era jahiliah? Atau ‘Utsman bin ‘Affan yang banyak “ngebayarin” kebutuhan perkembangan Islam di waktu itu yang mirip dengan Abu Bakar? ‘Abdullah bin Mubarak seorang tabiin yang terkenal, bukankah ia juga banyak hartanya, dan mampu menghajikan satu kampung dengan uangnya?

Lagi pula, tidak terdapat hadis yang mengatakan hal itu; kalau mau jadi zuhud harus miskin dulu.

Karena zuhud itu memang amalan hati, bukan penilaian atas dasar fisik saja.

Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya mengenai seseorang yang memiliki uang 1000 dinar. Apakah ia bisa disebut sebagai orang yang zuhud? Jawab beliau, “Iya, bisa saja. Asalkan ia tidaklah terlalu berbangga dengan bertambahnya harta dan tidaklah terlalu bersedih dengan harta yang berkurang” (Madarij As-Salikin, 2: 11, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 3: 138).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

الزُّهْدُ تَرْكُ مَالاَ يَنْفَعُ فِي الآخِرَةِ وَالوَرَعُ : تَرْكُ مَا تَخَافُ ضَرَرَهُ فِي الآخِرَةِ

“Zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk akhirat [1]. Sedangkan wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang membawa mudarat di akhirat.”

Ibnul Qayyim rahimahullah lantas berkata, “Itulah pengertian zuhud dan wara’ yang paling bagus dan paling lengkap” (Madarij As-Salikin, 2: 10, dinukil dari Minhah Al-‘Allam, 3: 138).

Jika sampai ada yang masih bersikeras mengatakan orang zuhud harus miskin, maka ia dapat masuk kategori zuhud yang kelewat batas, karena telah berani mengharamkan apa yang Allah Ta’ala halalkan. Menjadi kaya dalam Islam tidak dilarang. Halal-halal saja. Jadi, mengapa mengharamkannya karena alasan zuhud?

Hasan Al Basri rahimahullah mengatakan,

ليس الزهد في الدنيا بتحريم الحلال ولا إضاعة المال

“Bukanlah zuhud itu dengan mengharamkan apa yang telah Allah halalkan” (Madarijus Salikin, 2: 15).

Selama kekayaan yang dimiliki bermanfaat dan tidak menjadikannya terlena dengan dunia, seperti para orang zuhud di atas, maka tentu hal ini terpuji dan termasuk zuhud.

Begitu juga yang miskin. Bukan berarti mereka zuhud. Karena zuhud juga keadaan pilihan. Bukan keadaan yang memang tidak memiliki pilihan. Apalagi orang miskin banyak yang berharap kepada manusia dan meminta-minta, yang mana hal tersebut sama sekali bukan zuhud. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersbada,

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِى عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِىَ اللَّهُ وَأَحَبَّنِىَ النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ازْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِى أَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوكَ ».

“Dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idiy, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lantas berkata, ‘Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu pula manusia.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Zuhudlah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu’” (HR. Ibnu Majah no. 4102. Syekh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih).

Maka kemiskinan bukan tanda pasti zuhud. Sebagaimana kekayaan juga bukan berarti tidak zuhud.

Jakarta, 16 Agustus 2021

***

Penulis: Muhammad Halid Syarie, Lc.

Catatan Kaki:

[1] Penjelasan “meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat” dapat dilihat pada artikel Rumaysho Meninggalkan Hal yang Tidak Bermanfaat.

Sumber: https://muslim.or.id/70355-tambah-miskin-tambah-zuhud.html

Inilah Cara Mencapai Zuhud

Zuhud adalah sikap hati. Letaknya berada dalam qalbu manusia. Zuhud itu mengosongkan hati selain terhadap Allah. Tak tergantung pada materil duniawi—bukan berarti tak membutuhkan dunia.

Tak sedikit manusia yang lalai memaknai zuhud. Keliru dan tersesat dalam kejahilan. Banyak manusia salah jalan dalam menggapai zuhud. Atas nama zuhud, orang yang tersesat ini memakai pakaian yang ditambal. Makan makanan yang murah dan tak layak. Meninggalkan pekerjaan. Dan sinis, sekaligus dengki terhadap manusia yang berharta.

Padahal dalam hati mereka ingin juga berharta. Lisan menafikan harta, tapi hati sibuk ingin harta. Orang model begini, kata Syekh Abdul Qadir Isa, bak panggang jauh dari api; menyangka diri seorang zahid, padahal mereka nyatanya orang yang salah jalan.

Terkait orang yang menyangka zuhud adalah menjauhi dunia dan hidup dengan kemiskinan, Al Manawi dalam kitab Faidh Qadir Syarah al Jami ash Shagir memberikan ultimatum yang tegas;” Zuhud itu kosong hati dari dunia, bukan kosong tangan dari dunia,”.

Tak terkira orang yang salah kaparah memaknai zuhud. Golongan ini pergi mengasingkan diri. Menjauhi pergaulan dengan manusia. Memutuskan  tali silaturahmi. Tak mau bekerja. Meninggalkan pekerjaan yang halal. Lebih parah lagi, memandang sinis bagi orang kaya. Padahal bila diberikan harta, niscaya mereka akan rakus dan tamak terhadapnya.

Di sisi lain juga kata Al Manawi, ada juga manusia yang mengklaim diri zuhud. Pergi bekerja. Siang-malam mencari harta. Hatinya terpaut pada dunia. Sibuk mengumpulkan puing-puing harta benda. Sialnya, orang begini juga mengklaim diri zuhud.

Padahal kedua golongan ini bukanlah orang yang zuhud. Bila seumpamanya mereka dibawa pada dokter hati, niscaya sang dokter akan menjelaskan bahwa hati mereka sedang bermasalah. Sedang tertimpa penyakit hati kronis.

Selanjutnya, Syekh Abdul Qadir Isa dalam kitab Haqaiq ath Tashawuf,  menjelaskan ada tiga cara untuk menggapai maqam zuhud. Usaha ini akan membantu seorang zahid untuk menggapai makna zuhud sejati. Usaha ini bila berhasil akan mampu menjauhkan manusia dari tamak, rakus, korupsi, nepotisme, dan mengeksploitasi manusia lain.

Pertama, mengetahui dan menyadari bahwa dunia sejatinya hanya bayangan yang akan hilang dan pergi. Dunia ibarat bayangan yang palsu. Penuh tipu dan daya. Sekaya apapun manusia, kelak ketika ia mati, hanya akan membawa tiga lapis kain kafan. Ia akan pergi meninggalkan pelbagai kemewahan hidup.

Seorang yang berpangkat, bila mati hanya akan memperoleh titel “almarhum”. Seorang pria yang memiliki istri cantik jelita, kelak ketika mati, istri akan tinggal meyandang status janda. Anaknya menjadi yatim. Tak ia bawa menghadap ilahi.

Dalam salah satu hadis Nabi bersabda;

يقول ابن آدم مالي مالي قال وهل لك يا ابن آدم من مالك الا ما اكلت فافنيت او لبست فابليت او تصدقت فامضيت

Artinya: Anak Adam berkata; “harta ku harta ku”.  Engkau tidak memiliki sesuatau dari harta mu, wahai anak Adam, kecuali apa yang telah engkau makan lalu dia hilang, apa yang engkau pakai, lalu ia usang, dan apa yang engkau sedekahkan lalu dia berlalu,

Kedua, mengetahui kelak akan ada kehidupan akhirat. Dunia adalah ladang investasi bagi akhirat. Akhirat adalah kehidupan agung bagi manusia kelak. Dan kehidupan agung itu hanya akan diagapai dengan kebajikan. Allah berfirman dalam Q.S an Nisa ayat 77;

قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيْلٌۚ وَالْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقٰىۗ

Artinya: Katakanlah kesenangan dunia hanyalah sebentar, dan akhirat lebih baik bagi orang orang yang bertakwa.

Untuk itu, para sufi senantiasa mengarah para pengikut untuk menggapai keridhaan Allah. Mencintai harta sekadarnya. Yang terpenting, mereka menjauhi hawa nafsu. Pasalnya, nafsu adalah pangkal kecintaan pada dunia. Bila manusia dikuasai nafsu, maka yang timbul adalah kebinasaan dan musibah.

Ketiga, seorang muslim yang baik tak boleh tamak terhadap dunia. Ia harus meyakini bahwa bagiannya di dunia telah ditetapkan ilahi. Tak dapat ditambah sedetik pun, dan tak bisa dikurangi sedikitpun. Semua sudah ada dalam ilmu Allah swt.

Syekh Abdul Qadir Isa mengutip syair sufi;

Janganlah sekali-kali engkau memandang istina yang indah

Dan ingatlah, di waktu tua, tulang mu akan menjadi rapuh

Jika engkau ingat akan perhiasan dunia, maka katankanlah

“aku menyambut panggilan Mu, bahwa kehidupan adalah kehidupan akhirat

Demikian penjelasan tentang tiga cara menggapai zuhud. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Keutamaan Cinta Akhirat Dan Zuhud Dalam Kehidupan Dunia

Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Kami mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

(( مَنْ كانت الدنيا هَمَّهُ فَرَّق الله عليه أمرَهُ وجَعَلَ فَقْرَهُ بين عينيه ولم يَأْتِه من الدنيا إلا ما كُتِبَ له، ومن كانت الآخرةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللهُ له أَمْرَهُ وجَعَلَ غِناه في قَلْبِه وأَتَتْهُ الدنيا وهِيَ راغِمَةٌ

“Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)[1].

Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan cinta kepada akhirat dan zuhud dalam kehidupan dunia, serta celaan dan ancaman besar bagi orang yang terlalu berambisi mengejar harta benda duniawi[2].

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

– Orang yang cinta kepada akhirat akan memperoleh rezki yang telah Allah tetapkan baginya di dunia tanpa bersusah payah, berbeda dengan orang yang terlalu berambisi mengejar dunia, dia akan memperolehnya dengan susah payah lahir dan batin[3]. Salah seorang ulama salaf berkata, “Barangsiapa yang mencintai dunia (secara berlebihan) maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam musibah (penderitaan)[4].

– Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata[5], “Orang yang mencintai dunia (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (macam penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang selalu menyertainya, kepayahan yang tiada henti, dan penyesalan yang tiada berakhir. Hal ini dikarenakan orang yang mencintai dunia (secara berlebihan) jika telah mendapatkan sebagian dari (harta benda) duniawi maka nafsunya (tidak pernah puas dan) terus berambisi mengejar yang lebih daripada itu, sebagaimana dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang berisi) harta (emas) maka dia pasti (berambisi) mencari lembah harta yang ketiga[6].

– Kekayaan yang hakiki adalah kekakayaan dalam hati/jiwa. Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (dalam) jiwa[7].

– Kebahagiaan hidup dan keberuntungan di dunia dan akhirat hanyalah bagi orang yang cinta kepada Allah dan hari akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Ta’ala berikan kepadanya[8].

– Sifat yang mulia ini dimiliki dengan sempurna oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan inilah yang menjadikan mereka lebih utama dan mulia di sisi Allah Ta’ala dibandingkan generasi yang  datang setelah mereka. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kalian lebih banyak berpuasa, (mengerjakan) shalat, dan lebih bersungguh-sungguh (dalam beribadah) dibandingkan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi mereka lebih baik (lebih utama di sisi Allah Ta’ala) daripada kalian”. Ada yang bertanya: Kenapa (bisa demikian), wahai Abu Abdirrahman? Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Karena mereka lebih zuhud dalam (kehidupan) dunia dan lebih cinta kepada akhirat”[9].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthon, MA

Artikel www.muslim.or.id

Belajar Hidup Zuhud

Zuhud merupakan sebab kecintaan Allah kepada seorang hamba. Para ulama salaf merupakan teladan terdepan dalam hal zuhud. Salah satu pembeda terbesar yang melebihkan mereka di atas generasi sesudahnya adalah karena mereka lebih zuhud kepada dunia dan lebih berhasrat kepada akhirat.

Pengertian Zuhud

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Zuhud yang disyari’atkan itu adalah; dengan meninggalkan perkara-perkara yang tidak mendatangkan manfaat kelak di negeri akhirat dan kepercayaan yang kuat tertanam di dalam hati mengenai balasan dan keutamaan yang ada di sisi Allah… Adapun secara lahiriyah, segala hal yang digunakan oleh seorang hamba untuk menjalankan ketaatan kepada Allah, maka meninggalkan itu semua bukanlah termasuk zuhud yang disyari’atkan. Akan tetapi yang dimaksud zuhud adalah meninggalkan sikap berlebihan dalam perkara-perkara yang menyibukkan diri sehingga melalaikan dari ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, baik itu berupa makanan, pakaian, harta, dan lain sebagainya…” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimyah karya Syaikh Shalih Ahmad asy-Syami, hal. 69-70)

Berikut ini, sebagian riwayat mengenai zuhud yang dibawakan oleh Imam Ibnu Abi ‘Ashim rahimahullah (wafat 287 H) dalam kitabnya az-Zuhd. Semoga bermanfaat…

[1] Menjaga Lisan dan Perbuatan

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diam -pandai menjaga lisan- niscaya dia akan selamat.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 15)

Dari Jabir radhiyallahu’anhu, dia menceritakan bahwa ada seorang lelaki menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah! Kaum muslimin seperti apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Yaitu seorang muslim yang bisa menjaga kaum muslimin yang lain dari gangguan lisan dan tangannya.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 21)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menjaga apa yang ada diantara kedua jenggotnya dan apa yang ada diantara kedua kakinya niscaya dia akan masuk Surga.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 22)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia mengucapkan kata-kata yang baik atau diam.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 23)

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Demi Allah yang tiada sesembahan yang benar selain-Nya. Tidak ada di muka bumi ini sesuatu yang lebih butuh dipenjara dalam waktu yang lama selain daripada lisan.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 26)

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Sesuatu yang paling layak untuk terus dibersihkan oleh seorang hamba adalah lisannya.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 27)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berpesan, “Jauhilah oleh kalian kebiasaan terlalu banyak berbicara.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 28)

Pada suatu ketika Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berwasiat kepada putranya Abdurrahman. Beliau berkata, “Wahai putraku, aku wasiatkan kepadamu untuk selalu bertakwa kepada Allah. Kendalikanlah lisanmu. Tangisilah dosa-dosamu. Hendaknya rumahmu cukup terasa luas bagimu.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 30)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ucapan yang baik itu pun termasuk sedekah.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 30)

Dari Ibnu Abi Zakaria rahimahullah, beliau mengatakan, “Aku belajar untuk diam setahun lamanya.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 39)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cukuplah dianggap berdosa jika seseorang senantiasa menceritakan segala sesuatu yang didengarnya.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 45)

[2] Pandai Memilih Teman

Dari Muharib rahimahullah, beliau menuturkan, “Dahulu kami berteman dengan al-Qasim bin Abdurrahman, ternyata beliau mengungguli kami dengan tiga perkara; dengan banyak sholat, banyak diam, dan jiwa yang dermawan.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 46)

Dari Malik bin Dinar rahimahullah, beliau mengatakan, “Setiap teman yang kamu tidak bisa memetik kebaikan darinya maka jauhilah dia.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 49)

[3] Memandang Dunia Sebagaimana Mestinya

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dunia ini adalah penjara bagi seorang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 69)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sudah menjadi ketetapan Allah tabaraka wa ta’ala bahwasanya tidaklah Allah mengangkat suatu perkara dunia melainkan Allah juga pasti akan merendahkannya.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 115)

Dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah Allah membukakan dunia kepada seseorang melainkan Allah pasti akan munculkan permusuhan dan kebencian di antara mereka hingga hari kiamat.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 138)

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berhati-hatilah kalian terhadap dunia. Berhati-hatilah kalian terhadap kaum perempuan.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 139)

Dari ‘Amr bin ‘Anbasah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat, dunia akan didatangkan. Kemudian dipilih darinya apa-apa yang digunakan untuk taat kepada Allah dan ikhlas karena-Nya. Adapun apa-apa yang dipakai tidak untuk taat kepada Allah dan tidak ikhlas karena-Nya maka dilemparkan ke dalam Neraka Jahannam.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 142)

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id

Arti Simple dari Kata Zuhud Menurut Imam Ali

Kali ini kita akan membahas tafsir Al-Qur’an dari lisan mulia Imam Ali bin Abi tholib.

Beliau pernah ditanya tentang makna dan arti Zuhud. Imam Ali menjawab :

Keseluruhan arti zuhud berada dalam dua kalimat dalam Al-Qur’an. Allah Swt berfirman :

لِّكَيۡلَا تَأۡسَوۡاْ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمۡ وَلَا تَفۡرَحُواْ بِمَآ ءَاتَاكُمۡۗ

“Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS.Al-Hadid:23)

Barangsiapa yang tidak menyesali apa yang telah berlalu dan tidak terlampau senang dengan apa yang ia dapatkan maka itulah orang yang zuhud.

Itulah arti simple dari kata Zuhud sesuai dengan tafsiran ayat yang disampaikan oleh Imam Ali bin Abi tholib.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Memahami Makna dan Tanda Zuhud Menurut Imam Al-Ghazali

Sebagian dari kita mungkin saja masih memiliki anggapan bahwa orang zuhud ialah orang yang meninggalkan harta dunianya. Kalau cara pandang begitu masih saja dipertahankan, mungkin kemudian hari bisa tercetus sebuah syarat bagi orang zuhud itu harus miskin. Kemudian, muncul anggapan bahwa semakin miskin seorang hamba, maka semakin zuhudlah dia. Sebenarnya bagaimana makna dan tanda zuhud sebenarnya?

Apabila melihat sejarah, tak sedikit bisa dijumpai tokoh-tokoh muslim yang terkenal kezuhudannya, tetapi ia sangat kaya dan memiliki harta yang banyak. Sebut saja seperti Abdullah bin Mubarak yang rela menyedekahkan sebagian besar laba bisnisnya untuk kecukupan para ulama semasanya, serta selalu memberi bekal kepada orang yang menemuinya, dengan kata kunci “hendak haji”. Juga seperti Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan Syekh Hasan asy-Syadzili, gurunya para sufi dan ahli tarekat, yang keduanya terkenal berkecukupan harta.

Dengan meninggalkan harta benda saja, sejatinya memang belum tentu dapat dijadikan barometer kezuhudan seorang hamba. Karena apabila zuhud hanya dimaknai dengan meninggalkan harta saja, itu tentu sangat ringan bagi mereka yang memang merasa bahagia atau merasa bangga akan label zuhud, sebagai bentuk pujian orang lain kepadanya. Oleh karenanya, dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, Imam Abu Hamid al-Ghazali menjelaskan bahwa zuhud itu lebih mengarah pada definisi tidak bergantung pada harta dunia, bukan pada definisi meninggalkan harta secara penuh.

Misalnya, Nurul terkenal sebagai zahid (orang yang zuhud), lantaran ia selalu menyedikitkan makan untuk dirinya. Apa yang dilakukannya itu memang dengan sengaja dan ditampakkan di depan orang lain. Tetapi, secara diam-diam, ternyata Nurul lebih menikmati tatkala ia mendapat julukan sebagai orang yang zuhud, ketimbang disebut sebagai orang yang berkecukupan. Dalam kondisi demikian, masihkan Nurul disebut orang yang zuhud?

Tatkala meninggalkan harta benda atau tidak, belum tentu dapat dijadikan sebagai barometer akan kezuhudan seseorang, lantas apa sebenarnya tanda seseorang dapat disebut zuhud? Imam al-Ghazali menegaskan bahwa zuhud merupakan perilaku yang susah untuk diidentifikasi. Tetapi meski demikian, beliau mampu menyebutkan setidaknya tiga tanda zuhud.

Pertama, tidak merasa gembira dengan memiliki sesuatu yang wujud, baik harta, tahta, dan lain sebagainya. Serta tidak merasa larut dalam kesedihan tatkala kehilangan harta yang sebelumnya sempat dimiliki. Tetapi orang zuhud itu umumnya menanamkan yang sebaliknya, yaitu merasa sedih dengan memiliki harta banyak. Kemudian ketika kehilangan harta benda justru ia merasa gembira, karena tidak terbebani oleh dunia.

Tanda terebut beliau rumuskan berdasar pada Al-Qur’an surah Al-Hadid [57] ayat 23.

لِّكَیۡلَا تَأۡسَوۡا۟ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمۡ وَلَا تَفۡرَحُوا۟ بِمَاۤ ءَاتَىٰكُمۡۗ وَٱللَّهُ لَا یُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالࣲ فَخُورٍ

Agar kalian tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kalian, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri. [Q.S. Al-Hadid (57): 23]

Kedua, tidak merasa resah tatkala dicaci, begitu juga tak merasa berbangga diri ketika dipuji. Seseorang yang benar-benar terdapat zuhud dalam dirinya, maka ia akan memalingkan dirinya dari segala sesuatu yang bisa membuatnya terlena dan menjauhkannya dari sisi Allah Swt., termasuk di dalamnya ialah hinaan dan pujian. Tatkala ia tak terpengaruh lagi dengan hinaan dan pujian manusia, maka ia pun akan biasa saja ketika mendapat cacian maupun pujian. Dalam istilah yang kita kenal, “dipuji tidak terbang, dicaci tidak tumbang.”

Ketiga, hatinya tenteram karena selalu dekat dengan Allah Swt., juga telah terpenuhi dengan manisnya buah ketaatan dan kecintaan kepada Allah Swt. Karena sebenarnya hati manusia itu akan selalu dipenuhi dengan manisnya cinta. Tetapi sayang sekali apabila yang bersemayam dalam hati ialah manisnya cinta kepada dunia, bukan manisnya cinta kepada Allah Swt.

Terkait hati manusia yang bisa merasakan cinta kepada Allah dan cinta kepada dunia, Imam al-Ghazali mengibaratkan keduanya layaknya air dan angin dalam suatu gelas. Yang mana ketika air dituangkan ke dalam gelas dan memenuhinya, maka udara akan keluar dari gelas itu. Tatkala air dalam gelas hanya sedikit, maka anginlah yang akan memenuhi gelas itu. Keduanya memang tak bisa berkumpul dalam ruang dan waktu yang sama.

Begitu juga dengan hati manusia. Apabila manisnya cinta kepada Allah telah memenuhi hati orang yang zuhud, maka rasa cinta kepada dunia itu pun akan menjauh. Tetapi jika kecintaan kepada Allah hanya sedikit, maka rasa cinta kepada dunia pun akan masuk bebas dan memenuhi ruang hati. Selanjutnya, sang pemilik gelas diperkenankan untuk menentukan, gelasnya akan diisi air atau angin.

BINCANG SYARIAH

Hikmah Pagi: Pelajaran tentang Zuhud dan Wara’

Ibnu Taimiyah (W. 728 H) mengatakan, “zuhud adalah menghindari sesuatu yang tidak bermanfaat kelak di akhirat. Sementara wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang dapat membahayakan nasib seseorang di akhirat kelak.”

Ibrahim bin Adham (W. 781 H) berkata, “zuhud itu ada tiga macam: 
(1). zuhud fard ialah meninggalkan hal – hal yang haram, (2). zuhud fadl ialah meninggalkan hal – hal yang halal (walaupun itu halal untuknya karena kehati-hatian ia meninggalkannya) dan (3). zuhud As-salamah meninggalkan hal – hal yang syubhat (tidak jelas kehalalan atau keharamannya).”

Umar bin Abdul Aziz (W. 101 H), kalau beliau bergadang untuk keperluan umum maka beliau akan menghidupkan lampu yang dari fasilitas negara. Akan tetapi kalau untuk kepentingan pribadi atau keluarga beliau tidak mau menggunakan fasilitas Negara beliau mengambil dari uang pribadi beliau.

Ketika suatu malam lampu agak redup, beliau berdiri untuk memperbaikinya, lalu ada yang bertanya, “wahai Amirul Mukminin, Cukuplah kami saja yang membenarkanya!” Umar menjawab “Saya adalah Umar ketika berdiri, dan Saya juga Umar ketika duduk.” (Lihat: Sirah dan Manaqib Umar Ibn Abdul ‘Aziz, Hal. 43).

Saudara perempuan Bisyr Al-Haafi (W. 227 H), bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal (W. 241), “apabila kami melihat di atas rumah kami, lalu ada penjaga malam membawa lampu kemudian lampu itu sinarnya menerangi kami, bolehkah kami memintal benang di bawah cahaya lampu itu?” Imam Ahmad bertanya, “Siapa kamu? semoga Allah memaafkanmu?” Jawab perempuan itu, “saya adalah saudaranya Bisyr Al-Haafi.” Mendengar itu Imam Ahmad sontak menangis dan berkata, “di rumahmu ada orang yang sangat wara’, maka jangan memintal benang di bawah sinar lampu itu.” (Lihat: Thabaqat as-Shufiyyah, Hal. 46)

Bisyr Al-Haafi seorang tokoh besar yang terkenal dari Baghdad banyak kisah inspiratif dari beliau, di mana beliau dulu merupakan pemuda berandal yang kemudian bertaubat kepada Allah. Kemudian menjadi orang yang sangat alim yang dikenal di saentero Baghdad. Insya Allah nanti kami akan tulis kisahnya.

Semoga Allah senantiasa menjaga dan menaungi kita semuanya dengan ridho-Nya. Aamien Allahumma Aamien.

BINCANG SYARIAH

Berguru kepada Orang Bijak dan Zuhud

ADA seorang santri yang tak tega melihat sang guru kelihatan kurus kering kurang gizi karena kelaparan. Sang guru adalah seorang tokoh yang terkenal zuhud, tidak kemaruk dan hidup apa adanya. Nama sang guru ini adalah al-Harits al-Muhasibi.

Singkat cerita, sang murid berkata kepada sang gutu: “Andai engkau berkenan datang ke rumahku, sungguh aku akan jamu engkau dengan makanan lezat.” Guru itu menjawab: “Sungguh?” Si murid menjawab: “Sungguh, perkenanmu ada membahagiakanku dan merupakan kebaikan darimu untukku.”

Singkat cerita, keduanya berjalan menuju rumah. Dihidangkanlah hidangan istimewa pada sangguru. Sang guru mengambil sesuap untuk dimasukkan ke dalam mulutnya, namun terhenti lama tak masuk mulut, hanya di depan hidung. Lalu dibuanglah dan sang guru keluar, pergi. Sang murid kaget. Esok harinya diberanikannya dia bertanya kepada sang guru perihal peristiwa semalam. Sang guru menjawab: “Anakku, lapang memang tak enak. Ku berusaha mengambil dan memasukkan makanan yang engkau suguhkan. Namun mulutku tak mungkin bisa dimasuki sesuatu yang di dalamnya ada unsur syubhat (tak jelas hukumnya).”

Luar biasa Syekh al-Muhasibi ini. Saya baca kisah ini dalam bukunya “Risalat al-Mustarsyidin.” Terlepas dari beberapa penilaian kontroversial tentang beliau, al-Muhasibi terkenal sebagai orang alim yang zuhud, sederhana, wara’ dan memiliki banyak keahlian. Kalimat-kalimatnya banyak menjadi rujukan mereka yang benar-benar ingin membersihkan hati. Beliau sangat jago dalam mengajari keikhlasan dan keistiqamahan. Tak ada waktu yang terbuang dalam hidupnya yang senantiasa diperuntukkan pada akyifitas ibadah, berdzikir dan menulis kitab. Ada sekitar 200 karya yang ditulisnya. Luar biasa.

Salah satu dawuh beliau yang selalu saya baca dan saya ingat adalah: “Orang dzalim itu pasti celaka (bernasib sial) walau dipuja banyak orang. Orang yang didzalimi pasti selamat, walau dihina banyak orang. Orang yang qana’ah (mau menerima apa adanya) pasti merasa kaya walau tak punya apa-apa. Orang yang tamak pastilah merasa fakir (miskin) walau telah memiliki banyak hal.”

Kalimatnya tak cukup panjang namun maknanya sungguh begitu mendalam. Ingin selalu selamat dan bahagia, janganlah menganiaya orang lain, jangan sakiti orang lain, jangan ambil hak orang lain. Ingin terus merasa kaya, janganlah tamak dan rakus. Syukuri apa yang ada. Jika isi kepala kita hanyalah rencana dan upaya mendapatkan uang sebanyak-banyaknya walau dengan cara tak pantas dan tak wajar, jangan salahkan kalau kehidupan hatinya senantiasa mengeluh dan menderita. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Zuhud Yang Banyak Disalah Pahami

Dalam pengertian banyak orang, zuhud adalah menghindari hal-hal yang bersifat keduniaan. Mereka tidak mengerti, mana perkara-perkara duniawi yang tercela, yang harus ditinggalkan, dan mana yang boleh didekati. Sehingga iblis berkesempatan mempermainkan mereka. Lahirlah anggapan bahwa seseorang tidak akan selamat akhiratnya, kecuali jika meninggalkan dunia seisinya. Kalau perlu menyendiri di suatu tempat terpencil, khusus untuk melakukan peribadatan kepada Allah. Meskipun dengan meninggalkan keluarga, orang tua dan bahkan shalat berjama’ah serta shalat Jum’at. Sebagian orang menganggap, inilah zuhud yang hakiki. Persepsi semacam ini muncul lantaran kedangkalan terhadap ilmu agama.[1]

Orang awam yang jenuh dengan gemerlap dunia, atau muak melihat kepalsuan serta tipu muslihat dunia dan ingin mendapatkan ketenteraman rohani, mungkin akan mudah terperangkap dalam pengertian zuhud di atas. Ia akan lahap untuk mendengarkan secara salah ayat-ayat, hadits-hadits serta ceramah-cermah yang berisi celaan terhadap dunia. Asal berbau dunia, semuanya buruk dan negatif. Akhirnya akan berasumsi bahwa keselamatan akhirat hanya dapat diraih dengan meninggalkan dunia, meningalkan pekerjaan dan bermalas-malasan dengan dalih ibadah.

MAKNA ZUHUD[2]
Sebenarnya Apa Dan Bagaimana Zuhud Itu?
Zuhud secara bahasa adalah lawan kata gemar. Gemar merupakan suatu bentuk keinginan. Sedangkan zuhud adalah hilangnya keinginan terhadap sesuatu, baik disertai kebencian ataupun hanya sekedar hilang keinginan. [3]

Zuhud Menurut Pengertian Syari’at.
Dr. Yahya bin Muhammad bin Abdullah Al Hunaidi mengatakan, bahwa pengertian zuhud yang paling sempurna dan paling tepat adalah pengertian yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, zuhud yang disyari’atkan ialah meninggalkan rasa gemar terhadap apa yang tidak bermanfaat bagi kehidupan akhirat. Yaitu terhadap perkara mubah yang berlebih dan tidak dapat digunakan untuk membantu berbuat ketaatan kepada Allah, disertai sikap percaya sepenuhnya terhadap apa yang ada di sisi Allah.[4]

TINGKATAN ZUHUD
Zuhud itu sendiri, menurut Ibnu Al Qoyyim[5] serta ulama lain ada empat tingkatan.

Pertama : Zuhud wajib bagi setiap muslim. Yaitu zuhud terhadap perkara haram. Yakni dengan cara meninggalkannya.

Kedua : Zuhud yang bersifat sunnah (mustahabbah). Yaitu zuhud terhadap perkara-perkara makruh dan perkara-perkara mubah yang berlebihan. Maksudnya, perkara mubah yang melebihi kebutuhan, baik makan, minum, pakaian dan semisalnya.

Ketiga : Zuhud orang-orang yang berpacu ketika berjalan menuju Allah. Zuhud ini ada dua macam.
1. Zuhud terhadap dunia secara umum. Maksudnya bukan mengosongkan tangan menjadi hampa dari dunia, dan bukan pula membuang dunia. Tetapi maksudnya, menjadikan hati kosong secara total dari hal-hal yang serba bersifat duniawi. Sehingga hati tidak tergoda oleh dunia. Dunia tidak dibiarkan menempati hatinya, meskipun kekayaan dunia berada di tangannya. Hal ini, seperti keadaan para khulafa’ur rasyidun dan Umar bin Abdul Aziz. Orang-orang yang zuhudnya menjadi panutan, meskipun kekayaan harta benda ada di tangannya. Begitu pula keadaan manusia terbaik, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika dunia ditaklukkan oleh Allah untuk Beliau, malah menjadikan Beliau semakin zuhud terhadap dunia.
2. Zuhud terhadap diri sendiri. Ini merupakan zuhud yang terberat.

Keempat : Zuhud terhadap perkara syubhat. Yaitu dengan cara meninggalkan perkara yang belum jelas bagi seseorang, apakah halal atau haram. Inilah zuhudnya orang-orang yang wara’ (menjaga kehormatan).[6]

Berkaitan dengan zuhud terhadap persoalan duniawi, maka perlu diterangkan secara lebih rinci. Sebab orang-orang sufi dapat memaksudkan zuhud tersebut dengan melupakan makhluk, tidak mau memandang makhluk atau mengingkari keberadaan makhluk. Semua ini adalah salah.

Jadi zuhud terhadap dunia, seperti dikatakan oleh Imam Ibnu Al Qoyim di atas, tidak berarti mengosongkan tangan menjadi hampa dari harta. Tetapi zuhud itu terletak di dalam hati. Yakni, agar hati tidak tergantung pada cinta dunia. Namun ketergantungannya hanya kepada Allah saja dengan cara taat kepadaNya, baik ia memiliki kesenangan duniawi ataupun tidak. Kadang, zuhud itu bisa terjadi bersama dengan kekayaan atau bersama dengan kemiskinan.

Para nabi terdahului juga zuhud meskipun kaya raya. Misalnya Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman Alaihissallam. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga terkenal sebagai orang yang jauh lebih baik dari lembutnya angin sepoi yang berhembus. Sebagaimana tersebut dalam hadits shahih Muslim, Kitab al Fadha’il, Bab Kaana an Nabiyyu Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajwadan Naasi bil Khair min ar Riihi al Mursalati. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salalm terkenal tidak pernah menolak orang yang meminta-minta. Begitu pula Abu Bakar, Utsman dan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhum. Mereka adalah orang-orang zuhud, padahal mereka dikenal sebagai sahabat yang kaya raya.

HAL-HAL YANG DAPAT MELURUSKAN ZUHUD
Dalam masalah zuhud terhadap dunia, Imam Ibnu Al Qoyim rahimahullah menjelaskan, zuhud ini bisa diluruskan dengan tiga hal.

Pertama : Hendaknya seorang muslim memahami bahwa dunia hanyalah bayang-bayang dan khayalan yang akan lenyap. Dunia hanyalah sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبُُ وَلَهْوُُ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرُُ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرُُ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي اْلأَخِرَةِ عَذَابُُ شَدِيدُُ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانُُ وَمَاالْحَيَاةُ الدُّنْيَآ إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan, sesuatu yang melalaikan, perhiasan, ajang berbangga-banggaan di antara kamu dan ajang berbanyak-banyakan dalam harta dan anak. Laksana hujan yang tanam-tanamannya membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering, dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada azab yang keras dan ada ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. [Al Hadid : 20].

Juga sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat. Allah menyebut kehidupan dunia sebagai kesenangan yang menipu, dan Allah melarang, agar hambaNya tidak tertipu dengan dunia serta menceritakan akibat buruk bagi orang-orang yang tertipu dengan dunia.

Kedua : Hendaknya seorang muslim memahami bahwa di belakang dunia ada negeri (kehidupan) yang lebih besar dan lebih agung kedudukannya. Itulah negeri abadi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan perbandingan antara dunia dan akhirat dengan sabdanya:

وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ

“Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan akhirat kecuali laksana seseorang di antara kamu mencelupkan jarinya ini (Perawi yang bernama Yahya bin Sa’id mengisyaratkan dengan jari telujuknya) ke dalam sungai. Maka lihatlah apa yang bisa dibawa oleh jarinya itu”.[8]

Ketiga : Hendaknya ia memahami bahwa zuhud terhadap dunia tidak akan menghalangi seseorang untuk memperoleh dunia yang telah ditakdirkan untuknya. Sebaliknya, semangatnya untuk memperoleh dunia tidak akan menyebabkan ia dapat memperolehnya jika ia tidak ditakdirkan memperolehnya. Hal ini akan memudahkan dirinya untuk zuhud terhadap dunia.

PERKATAAN SEBAGIAN SAHABAT NABI TENTANG ZUHUD
Umar bin Khaththab pernah menulis kepada Abu Musa Al Asy’ari: “Sesungguhnya engkau tidak akan memperoleh amal akhirat yang lebih baik daripada zuhud terhadap dunia. Hati-hatilah engkau dari akhlak buruk dan rendah”.[9]

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Dunia pasti akan pergi membelakangi, dan akhirat pasti akan datang menjelang. Masing-masing dari dunia maupun akhirat memiliki anak-anak generasi. Maka jadilah engkau anak generasi akhirat, dan jangan menjadi anak generasi dunia. Hari ini adalah hari beramal, tidak ada hisab (penghitungan amal). Sedangkan esok adalah hari hisab, tidak ada amal.[10]

ZUHUD YANG BENAR
Zuhud yang paling utama adalah zuhud yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan zuhud yang paling buruk adalah zuhud yang tidak sesuai dengan petunjuk Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Amma ba’du: Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik bimbingan adalah bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan secara baru dalam agama, dan setiap bid’ah adalah sesat.[11]

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingkari keinginan zuhud para sahabat yang menyimpang. Yaitu ketika ada orang yang tak hendak menikah, sementara yang lain tak hendak tidur dan yang lain lagi tak hendak makan daging. Sebagaimana dalam hadits:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَمَلِهِ فِي السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا آكُلُ اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya ada beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada isteri-isteri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amal perbuatan Beliau manakala tidak terlihat orang lain.Akhirnya sebagian mereka berkata: “Saya tidak akan menikahi perempuan”. Sebagian lain berkata: “Saya tidak akan makan daging”. Sedangkan sebagian lain berkata: “Saya tidak akan tidur membaringkan diri di tempat tidur”.
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca hamdalah dan memuji Allah. Beliau bersabda: “Mengapa orang-orang itu berkata demikian dan demikian? Padahal aku shalat dan aku tidur. Aku berpuasa dan aku makan. Dan aku menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, berarti ia bukan termasuk golonganku”.[12]

Begitu pula, tidak termasuk zuhud yang dibenarkan dalam syari’at, apabila seseorang ingin hidup memutuskan diri sama sekali dari kesenangan dunia dan memisahkan diri dari keramaian untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah (tabattul). Sebagaimana dalam shahih Muslim

عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ قَالَ رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لَاخْتَصَيْنَا

“Dari Sa’id bin Al Musayyib, sesungguhnya ia mendengar Sa’d bin Abi Waqqash berkata: “Utsman bin Mazh’un ingin hidup bertabattul, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Kalaulah Beliau membolehkannya, tentu kami sudah melakukan kebiri.[13]

Jadi zuhud yang dibenarkan dalam syari’at, ialah meninggalkan perkara mubah yang berlebihan, yang tidak dapat membantu ketaatan kepada Allah, baik berupa makan, minum, pakaian, harta dan lain sebagainya. Sebagaimana perkataan Imam Ahmad “Zuhud ialah makan tetapi di bawah ukuran makan seperti umumnya, berpakaian, tetapi lebih sederhana dari umumnya, dan bahwa dunia hanyalah hari-hari yang hanya sebentar.[14]

KESIMPULAN
Sebagai kata penutup, sesungguhnya hakikat zuhud tidaklah sama dengan tasawuf. Dan tasawuf bukan zuhud. Sebab tasawuf telah terasuki keyakinan, pemikiran, filsafat dan perkara-perkara bid’ah.

Zuhud tidak dicela oleh siapapun, sedangkan tasawuf dicela oleh para ulama Sunnah.[15]

Karena itu, marilah belajar berzuhud secara benar dan sungguh-sungguh. Wallahu Waliyyu at Taufiq.

Oleh Ustadz Abu Ashim bin Musthofa

Read more https://almanhaj.or.id/2781-zuhud-yang-banyak-disalah-pahami.html