Takdir Allah Selalu Lebih Indah dan Terbaik

“KITA tetap bisa melanjutkan hubungan ini ke tahap yang lebih serius Ris, tapi kalau kamu mau memeluk keyakinan yang aku anut. Dan kamu tahu alasan aku gak bisa memeluk muslim.”

“Dan harusnya kamu tahu alasan ku, sorry Do, gua memang menyayangi mu, tapi maaf, gua lebih mencintai jalan yang selama ini gua yakini. Gua juga gak bisa.”

“Ya sudah. Kita akhiri saja hubungan ini. Tidak ada jalan lain”

“Ok”

Percakapan terakhirku bersama Ido. Lelaki yang selama empat tahun ini mengisi hatiku, menjalani hari demi hari bersama selama kuliah. Aku dan Ido satu universitas, namun beda jurusan. Ido jurusan teknik sipil, dan aku mengambil jurusan ekonomi, akutansi tepatnya.

Ido adalah pemuda Hindu Bali yang merantau ke Semarang, tempat tinggalku. Kami bertemu, hingga akhirnya menjalin hubungan. Tapi sayang, aku dan Ido akhirnya berpisah, empat tahun bersama bukan berarti kami akan berlabuh dalam jenjang hubungan yang lebih serius. Ditambah ada perbedaan keyakinan di dalamnya, Hindu-Islam, inilah jurang besar yang tak bisa kaim lewati bersama.

Jujur, itu masa tersulit yang ku alami, selain menyusun skripsi. Tak ada lagi kebersamaan, tak ada makan malam bersama, ngerjai tugas, nonton bioskop, dan tak ada lagi touring bersama ke tempat-tempat yang tidak aku tahu, tapi Ido tahu. Dia selalu bisa membuatku terdiam menikmati keindahan tempat-tempat yang kami kunjungi.

Sudahlah, itu hanya masa lalu terindah bersama cinta pertama ku, Ido. Kini aku punya jalan hidup baru yang harus kulalui, begitu juga Ido. Perpisahanku dengan Ido, membuatku lebih betah sendiri, tidak terasa dua tahun sudah aku menyendiri. Tapi tidak dengan keluargaku, mereka menuntutku untuk segera mencari pendamping hidup.

Usiaku 24 tahun, saat pamanku mengenalkanku pada Mas Fajar. Lelaki 12 tahun lebih tua dariku, seorang kepala HRD di sebuah perusahaan garmen di Solo dan belum menikah. Perkenalan itu berlanjut menjadi pertemuan-pertemuan santai antara aku dan Mas Fajar. Dia pria dewasa yang menyenangkan, dan aku nyaman bersamanya. Mungkin aku mulai jatuh hati dengan sosok dewasa ini.

Selain Ido, Mas Fajar memberiku kenyamanan yang tidak kutemukan saat bersama Ido, ya kenyamanan spiritual. Mas Fajar memang pria dewasa dengan kepribadian yang luar biasa, selama enam bulan perkenalan kami, dia selalu berusaha mengajakku untuk semakin mendekati diri dengan Allah swt, selalu mengingatkan untuk melengkapi lima waktuku, puasa sunah Senin-Kamis, sedekah, dan tidak pernah absen membangunkanku via sms atau telepon untuk mendirikan dua rakaat malamku.

Semua hal sederhana ini yang membuat rasa sayang itu kian hari kian tumbuh. Hingga akhirnya aku menerima lamaran Mas Fajar, dan kami menikah. Setelah menikah, aku hidup bersama Mas Fajar, suamiku di kota Solo. Saat itu aku belum mengetahui satu rahasia yang Mas Fajar simpan rapi dariku.

Alhamdulillah, Allah menitipkan calon malaikat kecil di rahimku, usianya sudah tiga bulan dan Mas Fajar belum tahu tentang calon anaknya ini. Dan kehadiran calon anakku ini juga yang telah membuka rahasia suamiku selama ini. Siang itu, aku memeriksakan kandunganku ke rumah sakit. Tanpa ditemani Mas Fajar, karena ia sedang tugas ke luar kota, katanya.

Selama memeriksakan kandungan itu, tidak ada kabar dari Mas Fajar. Aku berharap dia menghubungiku, dan aku takut mengganggu kesibukannya kalau aku menghubunginya. Tapi siang itu, saat aku keluar dari ruangan dokter Yessi, dokter kandunganku, aku melihat sosok seperti Mas Fajar. Bukan hanya seperti, tapi itu memang Mas Fajar, suamiku.

Dari kejauhan ku lihat tubuh Mas Fajar terbaring di tempat tidur dorong ditemani beberapa perawat dan seorang dokter. Mereka semua masuk ke ruangan yang tak ku tahu jelas namanya, tapi dari perawat yang sedang lewat dihadapan ku, ku tahu itu ruangan cuci darah. Aku bingung. Yaa Allah, ada apa dengan suamiku? Mengapa masuk ruang itu? Adakah yang ia sembunyikan dari ku, istrinya.

Aku putuskan untuk tidak pulang, aku menunggu Mas Fajar tepat di ruangan cuci darah itu. Cukup lama ku menunggu sampai Mas Fajar didorong kembali keluar ruangan, kali ini Mas Fajar didorong dengan kursi roda. Kami terdiam saat kedua bola mata kami saling bertemu di depan ruangan. Aku belum berani bertanya, aku ikut mendorong kursi roda Mas Fajar. Sampai semua urusan di rumah sakit selesai, dan dari itu aku tahu yang selama ini Mas Fajar sembunyikan dari aku, suamiku menderita gagal ginjal kronis dan harus cuci darah.

Ya Allah, kehamilanku ini merupakan berita bahagia yang kupersiapkan untuk suamiku, tapi selama ini ternyata ada kabar buruk yang Mas Fajar sembunyikan dariku. Seakan dunia ini berhenti saat ku dengar langsung penjelasan Mas Fajar tentang penyakit ginjal kronis yang selama ini ia rahasiakan, Mas Fajar tidak ingin membuat ku sedih dan khawatir, alasannya.

Saat aku menerima Mas Fajar sebagai imamku, saat itu juga aku telah berjanji untuk menerimanya, semua tentangnya termasuk kekurangannya, bahkan penyakitnya ini. Walaupun mulai hari itu, aku selalu mengurus Mas Fajar dan menemaninya setiap kali cuci darah, dalam pikiranku beliau tidak sakit, beliau hanya mengunjungi dokter sebagai bentuk silahturahmi. Suamiku sehat, dan kami bakal hidup bahagia bersama anak-anak kami kelak, benakku.

Kandunganku memasuki usia empat bulan ini, dan pagi itu untuk pertama kalinya Mas Fajar menemaniku memeriksa calon anak kami. Alhamdulillah, sang malaikat kecil masih dalam keadaan sehat dengan bentuk yang hampir sempurna, terima kasih Rabb-ku.

Dan ternyata itulah kali pertama dan terakhir Mas Fajar menemaniku memeriksa kandungan. Dua hari setelahnya, kondisi suamiku drop dan harus dilarikan ke rumah sakit. Dalam kondisi setengah sadar, pucat dan lemas kugenggam tangannya. Ia sempat mendapat perawatan dokter selama 15 menit, hingga akhirnya Malaikat Izrail menjemput suamiku. Ia pergi meninggalkanku dan calon anak kami.

Untuk kedua kalinya, Allah memisahkanku dari orang yang kukasihi. Marah, kesal dan tidak ikhlas itulah yang kurasa saat Allah memanggil Mas Fajar. Mengapa Allah memisahkanku dari sosok imam terbaik ku, tak ada yang kurang dari sosok Mas Fajar, beliau berhasil membimbingku lebih dekat dengan-Mu, tapi mengapa Engkau pisahkan dia dari hamba Rabb?

Aku putus asa atas kepergian suamiku, hanya setahun Allah menitipkan lelaki terbaik dalam hidupku, lebih baik dari cinta pertamaku Ido. Dan aku lebih mencintai Mas Fajar dibanding Ido. Aku hampir terpuruk dalam kesedihan, hampir ku lupakan calon anak ini. Tapi semua itu tidak berlangsung lama. Semua hal tentang Mas Fajar menguatkan ku.

Gibran lahir tanpa kehadiran ayahnya, tanpa diazani sosok ayah. Gibran lahir dengan kondisi keuanganku yang pas-pasan peninggalan almarhum Mas Fajar. Tidak menunggu lama, saat Gibran berusia lima bulan, aku memutuskan bangkit dari semua kehampaan hidup. Kehadiran Gibran menyadarkanku, bahwa hidupku tidak selalu berjumpa dengan perpisahan, Allah kembali mempertemukanku dengan Mas Fajar melalui sosok anakku, Gibran. Alhamdulillah, dia begitu mirip dengan almarhum Mas Fajar.

Aku harus berusaha mendapatkan rezeki demi kehidupan yang lebih baik bersama Gibran. Bermodal ijazah S-1 akutansi, aku mencari pekerjaan. Tidak mudah memang mencari pekerjaan untuk wanita yang telah berkeluarga. Berawal dari penjaga toko furniture, naik kelas menjadi bagian keuangan di perusahaan mebel namun tidak bertahan lama, hanya tujuh bulan sebelum akhirnya aku mencoba karierku di bank swasta sebagai customer service.

Dan Allah tidak pernah menutup mata dari hamba-Nya yang selalu berusaha dan bekerja keras, setelah bekerja keras dan berjuang untuk selalu lebih baik, akhirnya aku diangkat menjadi manager di bank swasta tempatku bekerja selama ini. Alhamdulillah, takdir Allah selalu lebih indah dan terbaik. Hidup berdua dengan Gibran membuatku jauh lebih baik, dan kutemukan sosok almarhum Mas Fajar pada anakku Gibran yang selalu mengingatkanku untuk terus mengingat-Mu melalui ocehan-ocehan polosnya.

Ujian itu kembali datang, ya, Allah mempertemukan ku kembali dengan Ido, lelaki cinta pertamaku, tapi itu dulu. Ido menawarkan perasaan yang sama seperti dulu. Bismillah, aku menolak lamaran Ido, walaupun ia mengatakan akan memeluk Islam sebagai agamanya. Aku percaya, semua hal yang tidak didasari niat karena Allah swt, tidak akan bertahan lama. Dan aku tidak mau dijadikan alasan Ido memeluk Islam. Kudoakan agar Allah swt memberikan Ido hidayah, dan bukan menjadikan aku sebagai alasannya.

Perpisahan mengajarkanku menjadi kuat dan menjadi pribadi yang lebih bersabar, sekalipun aku sangat mencintai Mas Fajar, sesungguhnya beliau, Gibran, seluruh hal di dunia ini, bahkan roh dalam ragaku adalah titipan. Aku percaya selalu ada hikmah di balik semua kehendak-Nya. Dan kini aku akan selalu berusaha menjaga Gibran sesuai ajaran-Nya, sebagai titipan dan tabungan ku sebelum bertemu dengan-Nya.

Rasulullah SAW bersabda , “Kita milik Allah semata dan sesungguhnya hanya kepada-Nya semata kita kembali. Ya Allah berilah aku pahala dalam musibah yang menimpaku dan berilah aku ganti yang lebih baik daripada musibah yang telah menimpa.” (HR.Muslim) [Chairunnisa Dhiee]