Teladan Peradaban Islam dalam Menerima Musafir (1)

Prof Raghib as-Sirjani menguraikan di dalam buku Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (2011), sistem perhotelan yang dibina dinasti-dinasti Muslim amat memerhatikan aspek sosial.

kota Islam menyediakan makanan dan minuman cuma-cuma kepada para fakir miskin dan ibnu sabil.

Maka dari itu, funduq dinamakan pula sebagai rumah perjamuan (dar adh-dhiyafah). Malahan, ada cukup banyak hotel yang berfungsi khusus menampung para pengelana yang miskin atau kehabisan bekal. Hal itu seperti kelanjutan dari mekanisme Suffah di sekitar Masjid Nabawi pada zaman Nabi SAW.

Ada banyak contoh funduq. Sebut saja, yang dibangun Khalifah al-Mustansir Billah dan Amir Nuruddin Mahmud. Demikian pula bangunan-bangunan penginapan di Damaskus (Suriah) yang diinisiasi istri pahlawan Perang Salib Shalahuddin al-Ayyubi, Ismat ad-Din Khatun.

Ada lagi funduq yang dikelola Abu Ya’qub, pemimpin Dinasti al-Muriniyyin di Maghrib (Maroko) sebagai hasil renovasi hotel asy-Syamain di Fez yang lantas diwakafkannya demi menjamu musafir.

Keberadaan segala fasilitas publik itu amat bermanfaat untuk menjamin rasa aman. Para pengelana, utamanya yang ibn sabil, dapat terlindungi dari teriknya matahari dan malam yang dingin.

Tidak pula dibeda-bedakan antara pengelana Muslim dan non-Muslim. Seluruhnya menerima perlakuan yang sama sebagai musafir, selama tidak berperangai layaknya mata-mata asing.

Raghib mengutip data wakaf hotel Qarah Thay pada masa Dinasti Saljuq abad ke-10. Orang-orang yang menginap di sana—baik itu Muslim maupun non-Muslim, pria maupun perempuan, merdeka maupun budak—akan diberi jatah per hari dengan roti kualitas bagus senilai tiga uqiyah, daging yang siap saji senilai beberapa uqiyah, dan satu mangkok hidangan lainnya yang variatif. Sumber menyebutkan, satu uqiyah setara dengan 40 dirham.

 

KHAZANAH REPUBLIKA