Kaidah “bisnis tidak mengenal batas agama dan bangsa” secara nyata dipraktikkan.
Menurut Constable, amat mudah menemukan gambaran tentang betapa kota Islam yang dikunjungi “punya banyak funduq, pasar, dan pemandian umum” dalam catatan para pengelana. Mereka baik Muslim maupun non-Muslim pada abad pertengahan.
Setiap funduq biasanya terdapat di sekitar area masjid, pasar, atau gerbang kota. Alasannya, untuk memudahkan akses para tamu yang baru saja tiba di kota transit, khususnya yang ingin segera beristirahat atau menuntaskan agenda bisnisnya.
Kota-kota sekitar Laut Tengah semisal Kairo, Iskandariah, Tunis, Maghrib, Mahdia, dan Damaskus merupakan beberapa contoh lokasi yang kaya akan funduq-funduq demikian. “Funduq berperan penting dalam mendukung perkembangan perdagangan lintas-budaya di kota-kota pelabuhan pesisir Laut Tengah pada abad pertengahan,” demikian Constable menyimpulkan.
Memudahkan Para Pencari Ilmu
Salah satu ciri peradaban Islam adalah maraknya perjalanan (rihlah) dalam rangka menuntut ilmu-ilmu agama. Misalnya, rihlah yang dilakukan para sarjana ilmu hadits dari satu kota ke kota lainnya.
Mereka dengan penuh semangat melintasi batas banyak negeri, semata-mata untuk mengunjungi dan belajar pada sejumlah perawi. Untuk memfasilitasi para pelaku rihlah demikian, banyak penguasa Muslim menyediakan funduq sebagai tempat diskusi dan tentu saja penginapan yang memadai di kota-kota wilayahnya.
Raghib dalam Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (2011) mengutip beberapa fungsi funduq sebagai situs interaksi antara para ilmuwan. Misalnya, kesaksian Ibnu Asakir dalam kitabnya, Tarikh Madinah Dimasyq.
Sejarawan dari abad ke-12 itu menuturkan adanya satu funduq di Damaskus (Suriah) yang menjadi tempat pertemuan orang-orang yang hendak belajar hadits dari Abu Ali al-Hafizh lantaran perawi tersebut kebetulan menginap di sana.