Teladan Peradaban Islam dalam Menerima Musafir (5-Habis)

Para sufi juga memanfaatkan ‘funduq’ untuk menginap dan tempat saling diskusi

Masih terkait fungsi funduq–istilah penginapan pada era keemasan Islam. Ada pula kisah ulama Damaskus dari abad ke-13, Imam adz-Dzahabi.

Dia menuturkan, seorang ulama besar dari Andalusia (Spanyol), Baqi bin Mukhlad, mengunjungi Baghdad dalam rangka thalab al-‘ilm. Tujuannya hendak belajar hadits kepada Imam Ahmad bin Hambal, yang kebetulan sedang berstatus tahanan rumah.

Ulama besar itu ditahan hanya karena berbeda pendapat dengan penguasa. Ibnu Muhklad pun menyewa kamar di sebuah funduq terdekat. Setiap hari, dia mengunjungi rumah Imam Ahmad dengan berpakaian layaknya musafir miskin untuk mempelajari banyak hadits.

 

Tempat Singgah Para Salik

Funduq yang dipakai kaum sufi disebut juga ribat. Istilah itu awalnya merujuk pada bangunan benteng-benteng kecil di kota taklukan. Belakangan, ribat terus dioperasikan, kendati sudah memasuki masa damai.

Maka jadilah itu tempat persinggahan para pengelana yang berbekal pas-pasan, termasuk orang-orang yang menempuh jalan salik.

Tren pendirian funduq di atas bekas-bekas bangunan ribat terus mengemuka menjelang abad ke-12. Pada 1180, seorang pengelana asal Andalusia, Ibnu Jubayr, bermalam di sebuah funduq bekas ribat di Mosul (Irak).

Dalam catatan perjalanannya, disebutkan bahwa huniannya itu tidak jauh berbeda dengan funduq untuk kebanyakan musafir/ibn sabil. Ada banyak ruangan, kamar, dapur, dan tempat cuci muka di dalamnya. Semuanya berfungsi dengan baik, sebagai tanda rutinnya pemeliharaan negara.

Funduq non-profit juga relatif mudah ditemui di tiga Tanah Suci, yakni Makkah, Madinah, dan Yerusalem untuk memfasilitasi para peziarah yang tidak punya bekal memadai.

Pada 1135, misalnya, yayasan wakaf Kota Makkah membangun sebuah funduq untuk musafir. Sementara itu, pada 1267 dan 1282, bangunan yang sama mulai didirikan di Yerusalem atas instruksi Sultan al-Malik al-Mansur.

Keberadaan funduq-funduq gratis itu tentunya bermanfaat bagi para pengelana sederhana, entah itu kaum sufi atau perantau thalab al-‘ilm, dalam mendiskusikan ilmu dan hikmah di luar masjid.

Ada pula funduq yang dioperasikan orang-orang tertentu, tetapi keuntungannya dialokasikan untuk kepentingan pendidikan. Constable mencontohkan Madrasah al-Sihrij dan Madrasah al-Attarin di Fez (Maroko).

Keduanya ditaja sebagian pendapatan funduq milik pengusaha setempat pada 1323 dan 1325. Ada lagi Madrasah Misbahiyyah yang operasionalnya ditunjang dari profit funduq lokal pada 1346.