Tiga Warisan ‘Islam’ Melawan Covid-19

Sejumlah prosedur pencegahan Covid-19 ternyata diprakarsai para ilmuwan Islam.

Di langit-langit ruang baca utama Perpustakaan Kongres AS di Washington DC, salah satu perpustakaan terbesar di dunia saat ini, ada lukisan yang dikerjakan Edwin Blashfield. Lukisan itu menggambarkan orang-orang dalam posisi duduk secara melingkar. Mereka masing-masing melambangkan sumbangan sejumlah peradaban kepada dunia.

Di antaranya, Mesir menyumbangkan penulisan sejarah, Yahudi menyumbangkan agama, Yunani mnenyumbangkan filsafat, Romawi menyumbangkan birokrasi. Selanjutnya, peradaban Islam menyumbangkan “Physics” alias “Fisika” atau ilmu alam.

Mengapa ilmu alam? Bukan rahasia, para ilmuwan pada masa keemasan Islam menyumbangkan banyak inovasi saintifik, termasuk di bidang kedokteran. Yang tak banyak diketahui, bahkan hingga saat ini sejumlah prosedur yang dijalani sepanjang merebaknya wabah Covid-19 ini, ternyata juga merupakan warisan keilmuan Islam. Berikut di antaranya.

Ruang Isolasi 

Sejak awal peradaban Islam pada abad ke-9 rumah sakit-rumah sakit yang dibangun, dinamai “bimaristan”, punya perbedaan mencolok dengan rumah penyembuhan terdahulu. Salah satunya, bimaristan memperkenalkan bangsal terpisah. Kamar-kamar pasien dipisahkan dengan kamar para dokter dan perawat.

Tak hanya itu, menurut Husain Nagamia dalam “Islamic Medicine History and Current Practice” (2003), bangsal-bangsal itu juga memisahkan pengidap penyakit menular dengan pengidap penyakit lainnya. Praktik pemisahan pengidap penyakit menular dari yang lainnya itu jadi salah satu protokol utama pencegahan Covid-19 di rumah sakit-rumah sakit saat ini.

Karantina

Dalam buku “the Story of Medicine” karya Anne Rooney dan “The Bloomsbury Reader on Islam in the West” karya Edward Curtis dituliskan bahwa konsep penyakit menular sedianya tak dikenal dalam ilmu kedokteran kuno. Setelah datang Rasulullah SAW yang mensabdakan sejumlah hadits tentang menghindari pengidap penyakit tertentu baru para ilmuwan mulai menimbang hal itu.

Kemudian pada abad ke-11, tepatnya 1020, Ibn Sina sang dokter agung menjalankan konsep bernama “al-Arba’iniya” yang terjemahan langsungnya “empat puluhan”. Konsep itu diterapkan dengan memisahkan pengidap penyakit menular seperti kolera, campak, kusta, dan lainnya untuk mencegah penyebaran.

Saat wabah pes melanda Eropa pada abad ke-14, konsep serupa dimulai di Venecia, Italia, kota pelabuhan yang akrab dengan kebudayaan Islam. Istilah yang digunakan saat itu adalah terjemahan langsung konsep 40 hari Ibn Sina, “quarantena (40 hari)” yang kemudian jadi “quarantine” dalam bahasa Inggris dan “karantina” setelah disadur bahasa Indonesia.

Disinfektan

Penelitian sejumlah ilmuwan mengindikasikan bahwa virus SARS-CoV2 yang membawa Covid-19 tak mampu bertahan jika terpapar cairan yang mengandung sedikitnya 60-70 persen alkohol. Sebab itu, cairan beralkohol disebut jadi disinfektan yang ampuh dan belakangan disemprotkan ke banyak tempat.

Ada dua jalur warisan ilmuan Islam dalam praktik ini. Pertama, kamus lengkap Bahasa Inggris Merriam-Webster menjelaskan bahwa kata “alkohol” berasal dari bahasa Arab “al-kuhl” terkait senyawa-senyawa yang berhasil disarikan dari proses distilasi. Pemisahan senyawa ini kerap dilakukan pelopor alkimia, Jabir ibn Hayyan.

Secara substansi, alkohol sudah ada di minuman memabukkan dari fermentasi gandum dan anggur seribuan tahun sebelum Islam datang. Kendati demikian, ilmuan Persia Muhammad ibn Zakariya al-Razi melalui karyanya “Al-Hawi” adalah salah satu yang pertama kali menyatakan bahwa alkohol bisa digunakan sebagai antiseptik dalam pembedahan. Prosedur disinfektasi tersebut kemudian dijalankan rumah sakit-rumah sakit di Baghdad pada abag ke-9 dan akhirnya menyebar ke mana-mana. n

Oleh: Fitriyan Zamzami

KHAZANAH REPUBLIKA