Viral Menantu Selingkuh dengan Ibu Mertua

Viral Menantu Selingkuh dengan Ibu Mertua, Bagaimana Islam Memandangnya?

SAHABAT Islampos, saat ini media sosial dihebohkan oleh sebuah kasus menantu selingkuh dengan ibu mertua. Kasus ini mendapat banyak sorotan warganet. Dikabarkan bahwa ada perzinaan dalam perselingkuhan menantu dan ibu mertua tersebut yang berakhir dengan penggerebegan oleh warga.

Hubungan seksual yang dilakukan laki-laki dan perempuan di luar ikatan pernikahan, merupakan bentuk zina. Perbuatan zina sendiri jelas terlarang dalam Islam. Perzinaan yang dilakukan baik oleh laki-laki atau perempuan yang sudah menikah merupakan penghianatan terhadap pasangan masing-masing dan termasuk kezaliman yang merusak pernikahan.

Kasus ini mengingatkan kembali muslim agar senantiasa berpegang kepada syariat yang diatur dalam Islam tentang hubungan mahram dan nonmahram. Ini terkait dengan siapa saja yang boleh dan tidak boleh dinikahi. Muslim perlu memahami dan mengetahui hal ini agar tidak terjaga dari hubungan sedarah atau hubungan terlarang yang menjerumuskannya kepada dosa.

Lantas, bagaimana Islam memandang hubungan atau ikatan antara mertua dan menantu dalam lingkup mahram/nonmahram. Bagaimana pula jika terjadi pernikahan antara mantan mertua dengan mantan menantunya?

Hubungan keluarga terhait dengan hukum mahram/nonmahram dalam Islam. Hukum tersebut bisa terjadi karena adanya ikatan darah dan adanya hubungan pernikahan.

Mahram adalah lelaki atau perempuan yang terlarang untuk dinikahi karena adanya alasan sebagaimana disebutkan di atas. Sedangkan, yang boleh dinikahi adalah nonmahram.

Seorang lelaki bisa menikahi perempuan manapun selama bukan golongan perempuan yang dilarang untuk dinikahi.Hanya, ada beberapa kondisi yang menjadikan larangan itu menjadi sebuah kebolehan.

Misalnya:  seorang lelaki menikah dengan seorang perempuan, tetapi baru beberapa bulan mereka lantas bercerai. Pasangan ini bahkan tak pernah melakukan hubungan seksual. Lantas, lelaki itu berhasrat untuk menikahi bekas mertua mantan istrinya tersebut. Pertanyaan pun muncul, apakah mantan menantu ini boleh menikahi bekas mertuanya?

Ikatan pernikahan merupakan hubungan suci yang diatur dalam Alquran. Terkait kasus tersebut, disebutkan dalam Alquran surah an-Nisa ayat 23, Allah SWT memasukkan ibu mertua sebagai perempuan yang tidak boleh dinikahi. Dalam hal ini, Imam Ibnu Katsir menukil sebuah riwayat pada masa Pemerintahan Khalifah Muawiyyah. Ketika itu, Bakr ibnu Kinanah pernah menceritakan kepadanya bahwa ayahnya menikah kan dirinya dengan seorang wanita di Taif.

Bakr ibnu Kinanah melanjutkan kisahnya, “Wanita tersebut tidak kugauli sehingga pamanku meninggal dunia, meninggalkan Utrima yang juga adalah ibu si wanita itu, sedangkan ibunya adalah wanita yang memiliki harta yang banyak.” Ayahku berkata (kepadaku), “Maukah engkau mengawini ibunya?” Bakr ibnu Kinanah mengatakan, ‘Lalu aku bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai masalah tersebut.’ Ternyata ia berkata, ‘Kawinilah ibunya!’. “Bakr ibnu Kinanah melanjutkan kisahnya bahwa setelah itu ia bertanya kepada Ibnu Umar. Maka ia menjawab, “Jangan kamu kawini dia.”

Setelah itu aku ceritakan apa yang di katakan oleh keduanya (Ibnu Abbas dan Ibnu Umar). Lalu ayahku menulis surat kepada Mu’awiyah yang isinya memberitakan apa yang dikatakan oleh keduanya. Mu’awiyah menjawab, “Sesungguhnya aku tidak berani menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, tidak pula mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Kamu tinggalkan saja masalah tersebut karena wanita selainnya cukup banyak.” Dalam jawabannya itu Mu’awi yah tidak melarang—tidak pula mengizinkan— aku melakukan hal tersebut. Lalu ayahku berpaling meninggalkan ibu si wanita itu dan tidak jadi menikahkannya (denganku).

Syekh Yusuf Qaradhawi dalam Fiqih Kontemporer menjelaskan, tidak boleh menikah dengan bekas ibu mertua. Baik anaknya (bekas istrinya) sudah pernah di gauli maupun belum, baik yang dicerai kan sebelum digauli maupun yang me ninggal sebelum digauli. Syekh Qara dha wi menjelaskan, Allah SWT sudah mengatur ini dalam Alquran.

“Diharamkan atas kalian (menga wini) ibu-ibu kalian; anak-anak kalian yang perempuan; saudara-saudara ka lian yang perempuan, saudara-saudara ba pak kalian yang perempuan; saudarasaudara ibu kalian yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudarasaudara lelaki kalian: anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan kalian: ibu-ibu kalian yang menyusui kalian, saudara sepersusuan kalian; ibuibu istri kalian (mertua) anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istri kamu itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagi kalian) istriistri anak kandung kalian (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nisa:23).

Menurut Syekh Qaradhawi, dalam ayat ini, Allah SWT tidak membedakan antara mertua yang anaknya sudah pernah digauli (berhubungan seks) dan yang belum. Dengan demikian, akad nikah yang dilakukan seorang pria dengan seorang wanita telah menjadikan kemungkinan adanya pernikahan dengan ibu mertua itu haram.

Syekh Qaradhawi melanjutkan, berbeda apabila seorang pria menikah dengan wanita yang belum pernah digaulinya. Kemudian, terjadi perceraian di antara mereka atau istrinya meninggal dunia. Pria itu pun boleh menikah dengan putri wanita tersebut (anak tiri pria tersebut). Hal ini termasuk salah satu kategori perempuan yang boleh dinikahi dalam ayat tadi.

“… anak-anak istri mu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri. Tetapi, jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya..” (QS an- Nisa:25). []

SUMBER: REPUBLIKA / ISLAMPOS