Warga Gaza Impikan Ka’bah Meski Hidup Terkurung

Setiap 10 hari terakhir di buan Ramadhan selama dua dekade terakhir, Mouin Mushtaha selalu pergi umrah ke Makkah. Namun, kali ini –pada 2012- ada pengecualian. Meski Ramadhan telah tiba, dia hanya duduk murung sembari menonton tayangan televisi yang diputar di kantornya yang berada di Gazza City Palestna.

Perasaan dia bercampur aduk. Bagi Musthaha pengalaman spiritual pergi ke tanah suci kini lenyap. Tak hanya itu, peluang melakukan bisnis memberangkatkan jamaah melakukan ziarah Ramadhan ke Arab Saudi kini ikut terlepas dari genggaman. Kepergian ke Makkah kini tak mungkin bisa dilakukan karena kini pintu gerbang Raffah yang menuju Mesir tertutup rapat sebagai imbas adanya peristiwa serangan yang menewaskan 16 tentara Mesir.

“Saya, istri saya, dan 500 klien kami seharusnya berada di Makkah sekarang,” kata Mushtaha (64 tahun), sembari menunjuk televisi di kantor ber-AC dari agensinya, Perusahaan Mushtaha Pariwisata dan Travel, kepada The New York Times (17/8/2012).

“Apalagi istri saya mengucurkan air mata ketika ia melihat Ka’bah,” tambah dengan suara sedih karena mengingat kembali pada bangunan berbentuk kubus yang berada di tengah Masjidil Haram, Makkah.

Saat itu, sepekan setelah terjadinya serangan kepada para penjaga gerbang Rafah, para pejabat Mesir memutuskan menutup jalur itu secara penuh. Mereka melakukan hal itu karena menduga bila para pelaku penyerangan yang ditengarai dari warga yang datang dari Gurun Sinai, memiiki hubungan khusus dengan warga yang tinggal di Jalur Gaza.

Memang pintu perbatasan Rafah sempat dibuka kembali dalam beberapa hari sebelum pekan terakhir di bulan Ramadhan tiba. Namun, warga yang kemudian mendapat izin pergi ke luar negeri adalah bukan warga yang akan ke Saudi Arabia, melainkan hanya diberikan secara terbatas kepada mereka yang akan pergi ke berbagai negara Arab yang lain atau negara Eropa untuk kepentingan bantuan kemanusiaan. Alhasil Musthaha pun hanya bisa gigit jari.

Hamas sebenarnya selaku pengatur keamanan di Gaza sebenarnya telah membantanh tudingan Mesir bahwa ada warganya yang terlibat dalam serangan fatal kepada para tentara Mesir itu. Mereka saat itu juga telah menutup terowongan penyelundupan ke Mesir sebagai tanda bahwa Hamas bersedia melakukan kerja sama.

Bagi warga Gazza yang akan ke Makkah untuk umrah, pintu gerbang Rafah mempunya posisi yang sangat penting karena mereka tidak bisa melintas di pintu gerbang yang lain, misalnya melakukan perjalanan melalui Israel. Maka dengan ditutupnya pintu gerbang Rafah itu jelas menjadi pertanda buruk bahwa kepergian ke Makkah pada akhir Ramadhan ini tak bisa dilakukan. Ziarah umrah yang dianggap sebagai ‘haji kecil’ pun hanya menjadi impian. Padahal, bagi mereka banyak yang percaya bahwa melakukan umrah di akhir Ramadhan pahalanya setara dengan naik haji di bulan Dzulhijah.

Bagi Mushtaha dan juga bagi kebanyakan para agen perjalanan di Gaza yang menangani  binis ‘wisata religi’. Travel haji dan umrah, merupakan bisnis yang menggiurkan. Ini mengingat minat warga Gaza untuk melakun umrah ternyata begitu membeludak.

Seorang pemilik agen perjalanan haji dan umrah di Gazza, Awad Abu Mazkour, mengatakan setidaknya saat itu telah ada sekitar 3.000 warga Palestina yang akan melakukan perjalanan umrah pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan. Dan sebagai akibat penutupan gerang Rafah ini, maka bila ditaksir besaran angka kerugian yang harus ditanggung oleh perusahaan travel yang ada di Gaza bila ditotal jumlanya memang fantastis, mencapai lebih dari dua juta dolar AS.

Mushtaha mengakui bila setiap kliennya  yang akan pergi umrah ke Makkah dipungut biaya sekitar 1.000 dolar AS. Dana sebesar itu dipergunakan sebagai biaya sewa bus, tiket pesawat, dan sewa kamar hotel. Celakanya uang itu pun sudah lebih dahulu dibayarkan sebelum ke luar larangan melintas di gerbang Rafah. Nah, adanya kasus gagal berangkat ke Makkah ini tentu saja para calon jamaah umrah pun meminta pengembalian uang yang telah dibayarkan. Namun, untungnya pemerintah Hamas, kata Mushtaha, ikut merasa tak tega atas kejadian itu sehingga mereka ikut turun tangan menyelesaikannya.

“Bagian dari biaya tiket mungkin dikembalikan. Tapi pengembalian uang untuk pemesanan hotel susah dikembalikan karena waku pemesanan yang sudah mepet sehingga pihak hotel tak mau mengembalikan pesanan kamar yang mendadak dibatalkan,’’ katanya.

Dia mengatakan, apa yang terjadi pada saat ini adalah krisis terburuk yang dihadapi oleh perusahaan yang didirkan sejak ayahnya masih muda, yakni sekitar 46 tahun yang lalu. “Tidak pernah ada penutupan seperti ini selama acara-acara keagamaan,” kata Mushtaha. Ia pun berharap agar kerugian dapat ditanggung bersama di antara para pelanggan perusahaan. Bahkan dia meminta bila sebagian kerugian bisa ditutup oleh pemerintah Hamas.

Namun, meski sudah ada keputusan bila umrah di akhir Ramadhan kali ini tidak dapat dilakukan, panggilan telepon kepada Musthaha terus berlangsung. Para pelanggan travel-nya masih tetap mencari jaminan bahwa mereka masih bisa ke Makkah. Setiap kali ada panggilan telepon seperti itu, Musthaha selalu dengan tegas mengatakan: “Sudah tak ada lagi!”

Dalam pembicaraan melalui telepon, seorang pelanggan travel-nya, Subhia al-Masri, mengeluh seperti ini: “Saya telah menghabiskan tiga tahun menabung dan memimpikan saat ini bisa ke Makkah,” katanya.

Menurut dia kehilangan kesempatan ke Makkah adalah sangat menyedihkan, dan tak sebanding artinya dengan kehilangan uang.

“Kehilangan uang saya tidak seberapa dibandingkan dengan kehilangan kesempatan untuk mengunjungi Ka’bah,” lanjut Subhia lagi.

Alhasil, pergi umrah dan berhaji ke Makkah ternyata memang impian semua Muslim, termasuk warga Palestina yang kini masih hidup terkurung oleh tentara Israel di Jalur Gaza.

 

sumber:Ihram.Co.id