Yaser Abu Al-Naja, ‘Bukan Bocah Palestina Terakhir yang Dibunuh Serdadu Zionis’

JALUR GAZA, Ahad (Al Jazeera): Pada Jumat (29/6) sore, ketika para serdadu Zionis dari sisi lain pagar perbatasan menembakkan gas airmata, peluru berlapis karet dan amunisi tajam, Yaser Abu Al-Naja dan beberapa temannya berlindung di balik tempat sampah jauh dari garis depan demonstrasi di Jalur Gaza.

Ketika Yaser mengintip sebentar dari balik tempat sampah, peluru ledak menghantamnya di kepala. Tempurung kepalanya hancur, ungkap para saksi mata.

Yaser masih berusia 11 tahun. Pembunuhannya pada Jumat lalu menjadikan ia anak Palestina ke-16 yang ditembak mati serdadu Zionis sejak diluncurkannya demonstrasi “Great March of Return” pada 30 Maret.

Beberapa jam kemudian, saat matahari terbenam, ibunda Yaser Samah Abu Al-Naja sedang menjelajah Facebook di telepon genggamnya ketika ia tiba-tiba melihat sebuah foto “anak laki-laki tidak dikenal” dengan kepala diburamkan dan pakaian berlumuran darah.

“Wajahnya tidak terlihat, tapi saya mengenalinya sebagai anak saya dari pakaian yang ia kenakan,” ungkap wanita berusia 30 tahun itu kepada Al Jazeera di rumahnya di timur Khan Younis, selatan Jalur Gaza.

“Tetangga dan salah seorang putri saya duduk bersama saya,” tambahnya. “Saya menoleh ke mereka dengan telepon di tangan saya dan mengatakan: ‘ini putra saya.’”

Hal mengerikan yang ia lihat itu tentu saja membuatnya syok. Ketika menuju Rumah Sakit Eropa, tempat jenazah Yaser berada, Samah berusaha keras untuk menyadarkan pikirannya tentang fakta bahwa anak pertamanya telah ditembak mati.

“Saya tidak pernah menduga anak saya dibunuh,” ujarnya, menangis. “Saya tahu dia pergi setiap Jumat untuk mengikuti demonstrasi, tapi itu didorong oleh rasa ingin tahu dan ia pergi untuk menyaksikan pengunjuk rasa lainnya bersama teman-temannya.”

‘Sinar matahari’

Yaser lahir pada 2006. Ia tumbuh dengan mengalami tiga serangan ‘Israel’ yang menghancurkan daerah kantong yang dikuasai Hamas itu. Rumah keluarganya dihancurkan dua kali selama masa hidupnya yang singkat – sekali tahun 2011 dan pada 2014 – yang membuat ia dan kerabatnya mencari tempat penampungan sementara dengan keluarga-keluarga lainnya.

Mereka yang mengenal Yaser –yang pemakamannya diselenggarakan pada Sabtu (30/6)– menggambarkannya sebagai anak yang sopan, penurut, pintar dan sangat menyukai olahraga, seperti berenang, menunggang kuda dan sepakbola. Pada malam sebelum ia gugur, ia menyaksikan sepakbola Piala Dunia dengan teman-temannya.

“Dia membantu merawat adik-adiknya,” kata sang ibu. “Ia sangat supel dan suka bermain di luar bersama teman-temannya.”

Ia adalah anak laki-laki pertama dalam keluarga. Kelahiran Yaser merupakan sumber utama kebahagiaan bagi orangtua dan istri pertama ayahnya, Naeema. Naeema memiliki sembilan anak perempuan. Kemudian ia menyarankan suaminya, Amjad Abu Al-Najar, lebih dari satu dekade lalu untuk menikahi wanita muda dengan harapan mengandung seorang pewaris laki-laki yang didambakan. Ketika Yaser lahir, wanita 48 tahun itu memperlakukannya seperti anaknya sendiri.

“Dia selalu ada di rumah saya seperti sinar matahari,” kata Naeema. “Kakak-kakak perempuannya, putri-putri saya, sangat dekat dengannya dan sangat mencintainya.”

Naeema mengatakan, pembunuhan Yaser dimaksudkan untuk membalas ayahnya, yang merupakan pemimpin sayap militer Hamas: Brigade Al-Qassam. “Penjajah Zionis hanya mengerti satu bahasa,” katanya. “Entah itu perlawanan bersenjata atau demonstrasi tanpa senjata, respon mereka selalu dengan membunuh.”

Samah sependapat. “Peluru (ditembakkan) ke kepala? Itu disengaja,” ucapnya.

Syok masih tampak jelas di wajah sang ayah, Amjad. Terlepas dari itu ia mengatakan pada Al Jazeera bahwa putranya tidak ada bedanya dengan anak-anak Palestina yang ditargetkan oleh serdadu Zionis.

“Cara dia ditembak … Saya tidak pernah bisa melupakan tempurung kepalanya yang hancur,” katanya. “Penargetan warga sipil oleh serdadu Zionis adalah pelanggaran berat, namun di setiap demonstrasi pada hari Jumat mereka justru semakin berani.”

Juru bicara Kementerian Kesehatan Palestina Ashraf Al-Qidra mengatakan pada Al Jazeera bahwa usia 16 anak yang tewas pada demonstrasi Jumat antara 10-17 tahun. “Jumlah anak-anak yang terluka sekitar 2.250, termasuk dua kasus yang kaki mereka harus diamputasi,” katanya.

Pada demonstrasi Jumat lalu, Muhammad Al-Hamaydeh (24) asal Rafah juga tewas. Sekitar 415 orang terluka, termasuk tiga petugas medis dan 11 anak-anak. “Keseluruhan, 134 warga Palestina gugur sejak 30 Maret dan 15.200 terluka,” kata Al-Qidra.

Bukan bocah terakhir yang dibunuh

Bagi Samah, demonstrasi memungkinkan orang untuk menuntut hak-hak dasar mereka. “Akan tetapi, respon penjajah Zionis mengarah pada kematian, amputasi dan luka parah,” katanya. “Kami telah mengalami kehilangan besar, seperti kehilangan orangtua, atau kehilangan anak. Sangat sulit bagi saya untuk menanggung kehilangan ini sekarang setelah saya mengalaminya.”

“Yaser tidak akan menjadi anak terakhir yang dibunuh,” tambah Naeema. “Setiap Jumat ada kisah baru dari anak-anak, wanita muda atau pemuda yang terbunuh.”

“Semua itu dilakukan karena tidak ada penghalang bagi penjajah Zionis,” tegasnya.*

 

(Al Jazeera | Sahabat Al-Aqsha)