6 Hal yang Merusak Amal Kebaikan

Bulan Ramadhan adalah bulan yang paling dinantikan kedatangannya oleh seluruh umat muslim di dunia. Sedikitnya, ada 4 keistimewaan bulan Ramadhan, di antaranya: Adanya malam Lailatul Qodar, bulan diturunkannya AlQuran, dibukanya pintu-pintu surga dan ditutupnya pintu-pintu neraka, dan yang paling penting adalah dilipatgandakannya setiap ibadah yang kita lakukan.

Namun, janganlah sampai semua pahala puasa yang kita capai itu harus leyap dengan perbuatan-perbuatan buruk sekecil apa pun. Karena hakikatnya Puasa Ramadhan yang kita lakukan selama satu bulan itu harus berdampak pada kehidupan kita sebelas bulan kemudian.

Coba kita simak tausiah Ustadz Bulkis, S.Th.I, MHI ini,…

Nabi Muhammad SAW bersabda,

“Sittatu asy-yaa tukhbitul a’mala.”

“Enam perkara yang bisa merusak amal kebaikan: sibuk mencari keburukan/aib orang lain, keras hati, terlalu cinta dunia, sedikit rasa malu, panjang angan-angan, dan kedhaliman yang tidak pernah berhenti.”

(Hadis Riwayat Ad-Dailami dari Adi bin Hatim)
1. Istighalu Bi ‘uyubil Khalqi. Sibuk mengurus kesalahan orang lain.
Rasullullah SAW melarang kepada kita mencari-cari keburukan orang lain, karena hal itu secara tidak langsung telah membuka sesuatu yang seharusnya ditutupi, kecuali kalau memang tujuannya untuk menegakkan keadilan .

Nabi bersabda: “Siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat.”
Dalam hadis lain Nabi bersabda : “Betapa bahagianya orang yang tersibukkan mencari aib dan kekurangan dirinya jauh dari mencari aib dan kekurangan orang lain.”
Semua kesalahan orang lain, sekecil apa pun, diketahui. Tapi kesalahan sendiri, sebesar apa pun, dilupakan. Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak, kata peribahasa. Akibatnya, seseorang atau setiap orang sibuk mencari, mencatat, menggugat dan mempermasalahkan kesalahan orang lain. Sehingga persoalan tak beres-beres. Apalagi jika orang yang bersalah itu tidak mau menerima koreksi dari orang lain yang dianggapnya sama-sama punya kesalahan.
2. Qaswatul Qolbi, keras hati.
Keras hati biasanya akibat dihinggapi anasir-anasir riya, ujub, takabbur, dan hasud. Pemilik hati yang berpenyakit itu, sangat menganggu keharmonisan hidup bersama. Sebab selalu ingin menonjolkan diri ingin mendapat pujian (riya), menganggap remeh orang lain (takabbur), merasa hebat sendiri tanpa memerlukan orang lain (ujub), tak suka melihat orang lain punya kelebihan (hasud).
3. Hubbud Dunya, cinta dunia.
Cinta dunia boleh, tapi jangan berlebihan. Karena kita tahu bahwa dunia bukanlah segala-galanya. Islam tidak melarang orang untuk menjadi kaya, bahkan Islam menghendaki umatnya menjadi makmur. Malah dikatakan bahwa: “Beramallah engkau untuk duniamu seolah engkau akan hidup selamanya, dan beramallah engkau untuk akhiratmu seolah engkau akan mati besok .”

Sangat mementingkan materi, tanpa memedulikan urusan halal dan haram. Yang penting banyak uang, banyak kekayaan. Tanggung jawab di akhirat, bagaimana nanti. Yang penting, ambisi-ambisi duniawi terpenuhi. Sudah kaya raya, ingin mempunyai jabatan pula. Sudah meraih jabatan, ingin berkuasa pula. Begitu terus tak ada ujungnya.

4. Qillatul Haya, tak punya rasa malu.
Rasullullah SAW merupakan satu sosok suri tauladan yang sangat besar rasa malunya. Dan malu di sini bukan malu berbuat kebaikan atau amar ma’ruf nahi munkar, tapi malu untuk berbuat dosa/kesalahan .

Sabda Nabi :
“Malu itu sebagian dari Iman.” Dalam sabda lainya berkata, Nabi berkata: “Malu dan Iman adalah bersatu, maka apabila dicabut salah satunya, maka akan tercabut yang lainnya.” ( HR Abu Nuaim )
Berbuat apa saja, termasuk melanggar hukum dan norma, acuh tak acuh saja. Korupsi, kolusi, nepotisme, dilakukan terang-terangan. Berbohong, manipulasi, menyembunyikan kebenaran, sudah menjadi kebiasaan. Berbuat mesum dan merusak etika tata krama, tanpa tedeng aling-aling. Berbagai alasan disediakan untuk melegitimasi hal-hal itu. Tapi semuanya tetap mengacu kepada ketiadaan rasa malu.
5. Thulul amal, panjang angan-angan.
Allah SWT menganjurkan kepada kita supaya banyak berpikir, tapi berpikir dan berharap tentang sesuatu yang logis disertai dengan usaha. Bukan berpikir dan berharap tapi tidak mau berusaha. Karena betapa hebatnya suatu ide/gagasan kalau tanpa direalisasikan maka hanya akan menjadi sebuah lamunan.”

Mengumbar ambisi dan rencana tanpa ditunjang kesiapan perangkat yang memadai. Hanya mengandalkan fantasi dan untung-untungan. Siapa tahu ada keajaiban  yang tiba-tiba datang mengulurkan bantuan untuk mewujudkan semua khayalan. Di tengah situasi dan kondisi hukum yang rancu, keadilan tidak merata, dan kejujuran hanya sebatas omong kosong, mungkin saja perilaku judi dapat mendatangkan hasil di luar dugaan.
6. Dzalimu laa Yantahi, berbuat zalim tanpa henti.
Dzalimu li nafsi (zalim kepada diri sendiri), yaitu merusak hak dan kewajiban diri sendiri sebagai hamba Allah SWT yang harus taat menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dzalimu lil insan, zalim kepada sesama manusia, selalu berbuat hal-hal yang merugikan orang lain.

Dzalimu lillahi ta’ala, zalim kepada Allah SWT, membangkang kepada segala perintah-Nya untuk berbuat baik dan benar, serta melanggar larangan-Nya untuk menjauhi segala yang diharamkan. Sikap zalim terus-menerus ini, akan menjadi sumber bencana kehancuran tatanan hidup manusia dan kemanusiaan yang menyeluruh. QS Yunus:13 menyatakan, kehancuran umat terdahulu disebabkan mereka terbiasa berbuat zalim.
Pembaca yang budiman demikanlah enam perkara yang apabila salah-satu atau semuanya terdapat pada diri kita, maka rusaklah amalan.

Beramal tapi tidak mendapat pahala dari Allah SWT. Menipu diri sendiri, merasa amalan sudah banyak, tapi tiada nilai di sisi Allah SWT. Na’udzubillahi min dzalik!

 

 

sumber: Alfalahku.com