Sudahkah Kita Muhasabah?

Salah satu amalan yang hendaknya kita lakukan dalam setiap hari-hari kita adalah memperbanyak muhasabah diri. Muhasabah artinya memperhatikan amalan diri, kemudian meninggalkannya apabila itu berupa kejelekan dan tetap terus mempertahankan amal kebaikan yang telah dilakukan. (A’maalul Quluub, hal. 362)

Perintah agar setiap hamba selalu muhasabah

Allah Ta’ala memerintahkan setiap hamba untuk muhasabah terhadap dirinya. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَوَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ أُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. Al-Hasyr: 18-19).

Ayat ini merupakan ayat yang merupakan landasan pokok bagi hamba untuk senantiasa muhasabah terhadap amal perbuatannya.

Terdapat pula hadis yang menunjukkan disyariatkannya muhasabah. Dari sahabat Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ

“Orang cerdas adalah orang yang menundukkan jiwanya dan beramal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian” (HR Tirmidzi, hasan).

Al ‘Izz bin Abdis Sallaam rahimahullah mengatakan, “Para ulama telah sepakat mengenai wajibnya muhasabah diri terhadap amal yang telah lalu dan amal apa yang akan dilakukan nantinya” (Lihat A’maalul Quluub, hal. 363-364).

Bentuk-Bentuk Muhasabah

Pertama. Muhasabah terhadap amal-amal yang wajib. Melakukan kewajiban syariat lebih tinggi kedudukannya daripada meninggalkan keharaman, karena melaksanakan kewajiban adalah tujuan pokok. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba memulai muhasabah dengan memperhatikan amal-amal wajib. Jika melihat ada kekurangan, maka dia segera memperbaiknya. Bisa dengan mengulanginya jika memang diperlukan atau menambah dengan amal-amal sunnah penyertanya. Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan, “Muhasabah jiwa yang pertama kali dilakukan adalah tentang amal kewajiban. Jika ada yang kurang dalam penunaiannya, maka hendaknya dia mengulanginya atau memperbaikinya.”

Kedua. Muhasabah terhadap perkara keharaman yang dilarang syariat. Apakah kita masih melakukannya? Jika masih terjerumus riba, maka harus membersihkan dan meninggalkannya. Jika masih mengambil hak orang lain, segera kembalikan. Jika pernah menggunjing orang lain, merendahkan, atau menghinanya, maka segera minta maaf dan mendoakan kebaikan untuknya. Jika berbuat kemaksiatan lain semisal minum khamr atau melihat aurat wanita, maka wajib bertaubat dengan menyesalinya. Juga bertekad untuk tidak mengulanginya, disertai dengan memperbanyak amal dengan harapan menghapus dosanya. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّـيِّئَاتِ

Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk” (QS. Hud: 114).

Ketiga. Muhasabah dari perbuatan yang melalaikan. Hendaknya kita introspeksi diri, apakah masih sibuk dengan banyak hal melalaikan seperti berbagai tontonan dan permainan (meskipun itu bukan keharaman)? Hendaknya kita banyak mengisi waktu kita dengan berzikir dan beribadah, serta amal ketaatan lainnya.

Keempat. Muhasabah terhadap perbuatan anggota badan. Apa yang kita lakukan dengan kedua kaki kita, tangan kita, telinga kita, mata kita, dan juga lisan kita? Hendaknya kita memperbaikinya dengan menggunakan semua anggota badan kita dalam ketaatan kepada Allah dan meninggalkan berbagai kemaksiatan.

Kelima. Muhasabah terhadap niat. Apa yang kita inginkan dengan amal kita? Apa yang ada dalam niat kita? Sudah seharusnya kita secara khusus muhasabah terhadap niat yang ada dalam hati, karena betapa berat dan susahnya muhasabah tentang niat ini. Hati ini sangat mudah berbolak-balik, sehingga perlu kesungguhan dan butuh diulang-ulang terus untuk memperbaikinya (Lihat A’maalul Quluub, hal. 383-384).

Semoga tulisan ringkas ini bermanfaat dan menjadi renungan bagi kita semua. Sudahkah kita muhasabah?? Marilah memperbanyak muhasabah dalam kehidupan hari-hari kita. Wallahu muwaffiq ilaa aqwamit thariq.

***

Penyusun : Adika Mianoki

Artikel: Muslim.or.id

Kerap Dijadikan Dalil Pengharaman Rayakan Tahun Baru, Ini Penjelasan Hadis Man Tasyabbaha bi Qaumin

Seperti judulnya, penulis acapkali bertanya untuk apa sebenarnya kita, Anda dan mereka semua merayakan pergantian tahun? Pernahkah kita melihat, ada orang yang rela menunggu tepat pukul 00.00 malam sejak matahari tenggelam untuk meniupkan terompet, tanda bahwa mereka telah memasuki tahun baru, periode baru, dan katanya momen untuk memompa semangat dan jadi pribadi baru.

Kegiatan yang kalau dicermati terlihat “aneh”, tapi banyak orang yang melakukannya di berbagai tempat, dalam berbagai bentuk, dari yang dilakukan dengan tetap beretika sampai melupakannya, bahkan melanggar ajaran agama. Ada yang memilih melaksanakannya di gunung, pantai, objek wisata, alun-alun, stadion, sampai atas genteng. Ada yang melaksanakannya sambil bersama keluarga, pasangan, pacar, teman-teman, dan masih banyak lagi. Kesemuanya pada intinya sedang merayakan suka cita karena mereka telah berhasil memasuki tahun baru, pada kali ini nanti adalah tahun 2018.

Perayaan tahun baru sebenarnya dirayakan dengan serius loh oleh lembaga yang sangat bergantung kepada penanggalan Masehi. Terutama lembaga yang berelasi internasional. Seperti lembaga ekonomi bisnis dengan mengevaluasi perkembangan bisnis tahun ini, naik atau turun, untuk atau rugi, lalu dijadikan “resolusi” untuk menghadapi tahun 2018. Saya pernah melihat berita penutupan saham Bursa Efek Indonesia (Indonesian Stock Exchange) di Jakarta, mereka merayakannya dengan acara tiup terompet sebagai simbol dan doa agar mendapatkan keuntungan yang lebih di tahun mendatang.

Pernah ada yang bertanya, apa hukumnya merayakan tahun baru? Sebagian netizen memilih berkata tidak untuk tahun baru. Pasalnya ada hadis Nabi yang mengatakan, “man tasyabbaha bi qowmin, fahuwa minhum” yang artinya ‘Barang siapa yang meniru suatu kelompok, maka ia termasuk bagian kelompok itu secara tidak langsung’.

Perayaan tahun baru dianggap tradisi umat Kristiani, maka jika ada umat Islam yang ikut-ikutan merayakannya, secara tidak langsung dia sudah mengikhlaskan dirinya untuk menjadi bagian dari kelompok tersebut. Akan tetapi, bagaimana sebenarnya maksud hadis Nabi yang dikutip oleh netizen anti perayaan tahun baru. Apakah benar maksudnya seperti itu jika ditelisik dari ilmu hadis?

Hadis ini terdapat dalam Sunan Abu Dawud, Musnad Ahmad, Mushannaf Abi Syaibah, dan lain-lain. Ulama berbeda pendapat mengenai kualitas hadis ini, ada yang mensahihkannya dan ada pula yang melemahkannya. Hadis ini dinilai lemah karena di dalam silsilah sanadnya ada rawi (informan) yang bernama Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban.

Ia dikenal sebagai orang saleh, zuhud, dan terpercaya (tsiqah), namun di penghujung usianya kualitas ingatan dan hafalannya mulai berubah, taghayyaran fi akhirihi. Al-Bani (ulama Wahabi) mengatakan, al-Bukhari pernah mengumpulkan hadis-hadis riwayat Abdurrahman bin Tsauban yang diriwayatkan ketika ingatannya masih kuat. Sedangkan hadis yang kita bicarakan ini tidak ada dalam kumpulan hadis al-Bukhari tersebut.

Dengan demikian, ada kemungkinan bila hadis ini diriwayatkan ketika ingatan Abdurrahman mulai melemah. Maka dari itu, sebagian ulama mendaifkan hadis ini, sementara al-Bani tetap menguatkan hadis ini karena ada riwayat lain yang mendukung maknanya. Sehingga status hadisnya berubah menjadi hasan li ghairihi, yatiu hadis daif yang kualitasnya meningkat lantaran ada hadis sahih lain yang mendukungnya.

Adhim Abadi, penulis kitab ‘Aunul Ma’bud, menjelaskan bahwa hadis ini bermakna umum dan tidak hanya dibatasi dengan meniru perilaku non-muslim. Jadi siapa saja yang meniru gaya, perilaku, dan model suatu kelompok, maka secara tidak langsung dia sudah menjadi bagian dari kelompok yang mereka tiru, termasuk dalam hal ini gaya berpakaian. Akan tetapi, hal ini bukan berarti sama sekali kita tidak boleh meniru gaya dan model kelompok lain, sebab jika dipahami seperti ini alangkah sempitnya dunia ini.

Bagaimana tidak, dengan keterbukaan informasi dan pergaulan, saling meniru antarsatu kelompok dengan kelompok lain itu sangat sulit dihindari. Kalau kita boleh jujur, ada banyak hal yang kita tiru dari orang non-muslim, terutama dalam masalah ilmu pengetahuan.

Lantas apakah serta merta peniruan itu langsung diklaim sebagai kefasikan? Tentu tidak. Sebab dalam beberapa hadis juga disebutkan bahwa Nabi juga suka menyisir rambutnya dengan gaya dan model sisiran rambut orang Yahudi. Artinya, tidak semua peniruan dimaknakan negatif, terkutuk, dan tercela.

Jika dicermati lebih dalam, sebenarnya titik tekan hadis ini lebih kepada subtansi yang kita tiru. Maksudnya, meniru gaya dan aktivitas kelompok lain itu diperbolehkan selama itu baik dan tidak melenceng dari koridor syariat dan yang tidak diperbolehkan itu adalah meniru keburukan kelompok lain.

Bagi kita umat Islam, mungkin acara perayaan tahun baru masehinya perlu dimodifikasi. Misalnya, dengan mengadakan pengajian, zikir, seminar, atau bisa juga dengan acara budaya dan hiburan yang lebih bermanfaat untuk perubahan dan kemajuan bangsa Indonesia ke depannya.

Selamat Tahun Baru.

BINCANG SYARIAH

2 Jenis Perubahan dalam Hidup untuk Seorang Muslim

Terdapat dua jenis perubahan dalam hidup bagi seorang Muslim

Pergantian tahun adalah momentum untuk memperbaik diri dan melakukan perubahan dalam hidup. Seperti apakah perubahan hidup yang dimaksud? 

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Marsudi Syuhud, memaknai momen pergantian tahun sebagai perubahan. Perubahan dalam hidup ada dua jenis, yaitu attaghyiir al-ijbary (perubahan yang memaksa anda untuk berubah) dan attaghyiir al-ichtiyary (perubahan yang direncanakan).

“Perubahan al-ijbary adalah perubahan yang memaksa kita untuk berubah, kita mau berubah ya kita berubah, kita tidak mau berubah ya tetap berubah, seperti adanya Covid-19, telah mengubah perilaku kita sehari hari,” ujarnya kepada Republika.co.id, Rabu (30/12). 

“Untuk menghadapinya, maka kita harus melakukan perubahan yang direncanakan, agar tidak terkaget kaget jika ada masalah perubahan yang tiba-tiba terjadi,” sambungnya.  

Dalam Islam, umat Muslim diajarkan untuk menghadapi perubahan dengan persiapan yang matang, dan yang paling mendasar adalah memperkuat sinergi dan persatuan. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah mengetengahkan pandangan dan paham agar tidak terlalu condong ke satu sisi saja, kata Kiai Marsudi. 

“Dalam berbangsa dan bernegara kita harus menyiapkan pergantian tahun ini dengan hal yang paling mendasar dan fital saat ini, untuk menyikapi carut marutnya berbangsa, dengan bersinergi antar bangsa antar kelompok di Indonesia yang majemuk,” kata dia.  

“Maka langkah yang harus dilakukan antara lain dengan mengetengahkan pandangan dan paham yang ada di sebelah kanan jauh dan sebelah kiri jauh, mendekatkan yang jauh dan merekatkan yang sudah dekat,” sambungnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Anak Kecil Mengumandangkan Adzan

Umumnya yang mengumandangkan adzan di masjid sebagai tanda masuknya waktu shalat adalah orang yang sudah dewasa. Namun di sebagian masjid, terkadang yang mengumandangkan adzan adalah anak yang masih kecil. Sebenarnya, bagaimana hukum anak yang masih kecil mengumandangkan adzan?

Dalam kitab-kitab fiqih, anak kecil (arab: shobiyy) dikategorikan menjadi dua bagian,

  • Pertama, anak kecil yang masih belum tamyiz (kesadaran membedakan antara yang baik dan buruk) atau belum mencapai usia tujuh (7) tahun.
  • Kedua, anak kecil yang sudah tamyiz atau sudah mencapai usia tujuh (7) atau lebih, dan belum usia baligh.

Untuk kategori pertama, yaitu anak kecil yang belum tamyīz, para ulama sepakat bahwa dia tidak boleh mengumandangkan adzan di masjid untuk memberitahukan masuknya waktu shalat. Jika dia mengumandangkan adzan, maka adzannya dinilai tidak cukup.

Sementara untuk kategori kedua, yaitu anak kecil yang sudah tamyīz, maka para ulama membolehkan dia mengumandangkan adzan. Hanya saja meski boleh hukumnya adalah makruh jika masih ada orang dewasa yang bisa mengumandangkan adzan.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;

الصَّبِيُّ غَيْرُ الْعَاقِل أَيْ غَيْرُ الْمُمَيِّزِ لاَ يَجُوزُ أَذَانُهُ بِاتِّفَاقٍ؛ لأِنَّ مَا يَصْدُرُ مِنْهُ لاَ يُعْتَدُّ بِهِ، أَمَّا الصَّبِيُّ الْمُمَيِّزُ فَيَجُوزُ أَذَانُهُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ مَعَ كَرَاهَتِهِ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيَّةِ، وَهُوَ إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ، وَهُوَ أَيْضًا مَذْهَبُ الْمَالِكِيَّةِ إِذَا اعْتَمَدَ عَلَى بَالِغٍ عَدْلٍ فِي مَعْرِفَةِ دُخُول الْوَقْتِ

Anak kecil yang masih belum berakal, artinya belum tamyiz, dia tidak boleh mengumandangkan adzan menurut kesepakatan para ulama. Hal ini karena perbuatan yang berasal dari anak kecil yang belum tamyiz tidak diperhitungkan. Adapun anak kecil yang sudah tamyiz, maka dia boleh mengumandangkan adzan menurut ulama Hanafiyah, hanya saja makruh menurut Abu Hanifah dan ulama Syafiiyah. Itu merupakan salah satu pendapat di kalangan ulama Hanabilah, dan juga pendapat ulama Malikiyah jika masih ada orang dewasa yang bisa dipercaya mengetahui masuknya waktu shalat.

Dalam kitab Badāi’ as-Shonāi’ juga disebutkan sebagai berikut;

وَأَمَّا أَذَانُ الصَّبِيِّ الَّذِي لَا يَعْقِلُ فَلَا يُجْزِئُ ، وَيُعَادُ ؛ لِأَنَّ مَا يَصْدُرُ لَا عَنْ عَقْلٍ لَا يُعْتَدُّ بِهِ ، كَصَوْتِ الطُّيُورِ

Adzan anak kecil yang belum memiliki akal (belum tamyiz), hukumnya tidak sah dan harus diulang. Karena perbuatan yang berasal dari orang yang tidak berakal tidak perhitungkan, seperti suara burung.

BINCANG SYARIAH

Bolehkah Saling Mendoakan Dan Memberi Selamat Tahun Baru Masehi?

Berikut ini adalah pernyataan yang kurang tepat:

Daripada kumpul-kumpul malam tahun baru untuk bakar kembang api dan niup terompet seperti orang Yahudi, mendingan malam tahun baru kita berkumpul buat pengajian dan saling mendoakan

Saya ikut tahun baru sekedar formalitas aja kok, gak enak ama temen, gak niat merayakannya juga, saya sudah tahu hukumnya

Yang benar adalah, jalanilah malam tahun baru sebagaimana malam-malam biasanya. Tidak ada yang spesial di malam tahun baru. Tidak perlu membuat “saingan” berupa kegiatan Islami dalam rangka menyambut tahun baru. Intinya tidak perlu membuat acara khusus dalam rangka menyambut tahun baru masehi. Tidak perlu membuat majelis dzikir atau pengajian dalam rangka tahun baru. Karena jelas tahun baru masehi bukan perayaan kaum Muslimin dan jelas itu adalah perayaan non-muslim serta memiliki sejarah yang terkait dengan agama kuno Romawi.

Sebagaimana dalam buku “The World Book Encyclopedia” vol.14 hal.237 dijelaskan: “Semenjak abad ke 46 SM raja Romawi julius caesar menetapkan 1 Januari sebagai hari permulaan tahun. Orang Romawi mem persembahkan hari 1 Januari kepada janus, dewa segala gerbang pintu-pintu dan permulaan (waktu). Bulan Januari diambil dari nama janus sendiri,yaitu dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menghadap ke (masa) depan dan satu wajah lagi menghadap ke (masa) lalu”.

Jelas tahun baru masehi bukanlah bagian dalam Islam dan jangan sampai kita ikut-ikutan menyerupai mereka. Karena jika kita ikut-ikutan menyerupai mereka maka kita bisa dihukumi bagian dari mereka. Tidak perlu menjadikan momen tahun baru untuk ajang saling mendoakan tau membuat majelis “pengajian” khusus untuk menyambutnya. Atau sekedar basa-basa walapun tidak berniat merayakannya.

Berikut pertanyaan yang diajukan kepada syaikh Muhammad Al-Munajjid hafidzahullah: “Bolehkah bagi kaum Muslimin saling memberikan ucapan selamat dan mendoakan pada saat momen tahun baru masehi? Tentunya mereka tidak berniat/bermaksud untuk merayakannya“.

Beliau menjawab: “Tidak boleh bagi kaum Muslimin saling memberikan ucapan selamat tahun baru masehi, tidak boleh juga mereka merayakannya. Karena kedua perbuatan tersebut termasuk bentuk tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir, sedangkan kita dilarang melakukan hal itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka” (HR. Abu Daud no. 4031, dishahihkan oleh Al Albani)

Memberikan ucapan selamat yang terkait dengan suatu hari yang berulang  tiap tahunnya termasuk dalam makna merayakannya dan mmenjadikan hari tersebut sebagai hari raya, dan ini juga terlarang. Wallahu a’lam.1

Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair hafizhahullah ditanya mengenai berdoa dan ucapan selamat tahun baru. Beliau menjelaskan bahwa doa itu boleh kapan saja (doa mutlak), tetapi sebaiknya tidak dikaitkan dengan perayaan-perayaan hari raya tertentu seperti tahun baru. Beliau berkata, “Doa untuk saudara muslim bisa dengan doa mutlak, seorang muslim tidak menjadikannya ibadah (khusus) terkait dengan hari raya tertentu.”2

Sebagai seorang muslim hendaknya kita tidak ikut-ikutan setelah tahu sejarah dan hakikat perayaan tahun baru. Janganlah kita mengikuti perayaan dan hal-hal yang jelek dari Yahudi dan Nashrani. Karena ini sudah diperingati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa akan banyak kaum muslimin yang mengikuti mereka walapun sampai ke perkara yang buruk dan bisa merusakan agama kaum muslimin.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ  . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ  وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ

Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?3

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ

Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?4

Demikian semoga bermanfaat.

***

Catatan kaki

1. Sumber: http://islamqa.info/ar/177460

2.Sumber: http://www.saaid.net/mktarat/nihat/13.htm

3. HR. Bukhari no. 7319

4. HR. Muslim no. 2669

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel Muslim.or.id

Ibadah adalah Kehidupan

Al-Qur’an telah menyebutkan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk beribadah.

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS.Adz-Dzariyat:56)

Maka setiap sisi dari kehidupan kita harus selalu sejalan dengan tujuan kita diciptakan, yaitu beribadah dan penyembahan kepada Allah Swt.

Karenanya jangan pernah mempersempit makna ibadah hanya dengan ibadah ritual saja seperti Sholat dan Puasa. Namun seluruh perbuatan kita, apakah itu di dalam masjid, di kantor, di rumah, di pasar dan dimanapun kita berada harus selalu sejalan dengan Keridhoan Allah dan dilandasi dengan niat yang benar. Maka semua perbuatan itu akan memiliki nilai ibadah.

Maka setiap mukmin memiliki kesempatan untuk beribadah dalam setiap detik di kehidupannya. Tidak ada alasan untuk mempersempit ibadah di waktu tertentu atau di tempat tertentu.

يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ أَرۡضِي وَٰسِعَةٞ فَإِيَّٰيَ فَٱعۡبُدُونِ

“Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Sungguh, bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku (saja).” (QS.Al-Ankabut:56)

قُلۡ يَٰعِبَادِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمۡۚ لِلَّذِينَ أَحۡسَنُواْ فِي هَٰذِهِ ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٞۗ وَأَرۡضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةٌۗ إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجۡرَهُم بِغَيۡرِ حِسَابٖ

Katakanlah (Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu.” Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. (QS.Az-Zumar:10)

Maka seorang muslim tidak punya alasan untuk mengurangi atau meninggalkan sisi ibadah dalam hidupnya. Karena apabila di suatu tempat ia dicegah dan dihalang-halangi untuk bisa beribadah kepada Allah maka ia diperintahkan untuk berhijrah dan meninggalkan tempat tersebut. Sehingga ia  memiliki kebebasan untuk mengekspresikan ibadahnya kepada Allah.

Karena Ibadah adalah inti kehidupan, maka tidak ada arti hidup tanpa ibadah.

KHAZANAH ALQURAN

Serial Fiqh Zakat (Bag. 9): Zakat Uang Kartal

Definisi Uang Kartal

Dalam Fiqh az-Zakah (1: 269), menurut Dr. Qardhawi uang kartal (al-waraq an-naqdiyah) didefinisikan sebagai kertas khusus yang dihias dengan relief tertentu dan memuat nomor yang valid. Kertas ini umumnya setara dengan cadangan mineral dalam persentase tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang. Kertas ini dikeluarkan oleh pemerintah atau badan yang diizinkan oleh pemerintah agar masyarakat mempertukarkannya sebagai mata uang. Di masing-masing negara kertas ini diberi dengan nama khusus seperti Rupiah, Riyal, Junaih, Dinar, Dirham, Yen, Dolar, Euro, dll.

Lebih umum dari definisi Dr. Qardhawi, uang kartal tidak hanya mencakup uang berbahan kertas, tapi juga berbahan logam. Wikipedia mengemukakan bahwa uang kartal adalah uang kertas dan uang logam yang beredar di masyarakat yang dikeluarkan dan diedarkan otoritas moneter, dalam hal ini adalah bank sentral (https://id.wikipedia.org/wiki/Jenis-jenis_uang).

Di negara kita, Indonesia, uang kartal berarti uang kertas dan uang logam yang dikeluarkan dan diedarkan oleh Bank Indonesia dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia. (https://www.bi.go.id/id/Kamus.aspx?id=U).

Status Uang Kartal

Ulama berbeda pandangan dalam memahami dan mengkategorikan uang kartal. Apakah dia komoditi perdagangan atau pengganti emas dan perak? Atau apakah dia adalah surat utang pihak pembuat kepada pembawanya? Ulama kontemporer memiliki sejumlah pandangan berikut dalam menyikapi uang kartal.

Pandangan Pertama

Uang kartal adalah surat utang yang harus dibayar oleh pihak pembuatnya kepada orang yang membawa uang tersebut. Ilustrasinya, uang kartal sebesar Rp100.000,- yang dikeluarkan oleh Bank Sentral atau lembaga keuangan, maka orang yang membawa uang ini berhak atas piutang sejumlah angka yang tertulis di atas uang tersebut dari pihak yang mengeluarkannya [Bahjah al-Musytaq fii Bayaan Hukm Zakaat Amwaal al-Awraaq hlm. 22; Adhwaa’ al-Bayaan 1: 225].

Pandangan Kedua

Uang kartal adalah komoditi perdagangan dan tidak memiliki ciri-ciri sebagai alat pembayaran. Dia hanya berfungsi sebagai barang atau perkakas [al-Fataawaa as-Sa’diyah hlm. 315; al-Awraaq an-Naqdiyah fii al-Iqtishaad al-Islamiy Qiimatuha wa Ahkaamuha hlm. 173; al-Waraq an-Naqdiy hlm. 55].

Pandangan Ketiga

Uang kartal seperti fulus yaitu bahan tambang selain emas dan perak yang dicetak untuk digunakan sebagai mata uang dan alat pembayaran [al-Waraq an-Naqdiy hlm. 65; Syarh al-Qawaa’id al-Fiqihiyah hlm.173; Zakaat an-Nuquud al-Waraqiyah al-Mu’aashirah hlm. 90].

Pandangan Keempat

Uang kartal merupakan pengganti emas dan perak, karena itu statusnya sama dengan emas dan perak [al-Awraaq an-Naqdiyah fii al-Iqtishaad al-Islamiy Qiimatuha wa Ahkaamuha hlm. 204]

Pandangan Kelima

Uang kartal adalah mata uang tersendiri yang berdiri secara independen dan memiliki implikasi hukum yang sama dengan emas dan perak [Majallah al-Buhuuts al-Islaamiy no. 31 hlm. 376, ketetapan no. 10; Majallah Mujamma’ al-Fiqh al-Islaamiy no. 3 jilid ketiga].

Pandangan terakhir ini merupakan pandangan mayoritas ulama. Hal ini difatwakan oleh Hai-ah Kibar Ulama di Arab Saudi dan Mujamma’ al-Fiqhiy al-Islaamiy di Mekkah. Pandangan inilah yang paling tepat dalam mengategorikan status uang kartal.

Implikasi dari pandangan terakhir ini adalah uang kartal wajib dizakati sebagaimana emas dan perak meskipun tidak digunakan dalam jual-beli. Seperti seseorang yang memiliki uang Rp85.000.000,- atau seribu batang emas, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Berbeda dengan pandangan yang menyatakan uang kartal adalah komoditi perdagangan semisal buku dan pakaian yang tidak wajib dizakati dan baru jadi obyek zakat ketika diperjual-belikan [Fiqh an-Nawaazil fii al-Ibaadaat, al-Qism ats-Tsaaniy, hlm. 11].

Hukum Zakat Uang Kartal

Uang kartal wajib dizakati. Demikianlah yang difatwakan oleh Majma’ al-Fiqhiy yang berada di bawah ar-Rabithah al-Aalam al-Islaamiy dan al-Lajnah ad-Daaimah [Majallah Majma’ al-Fiqhiy al-Islaamiy no. 3, jilid 3 hlm. 952; Fataawaa al-Lajnah ad-Daaimah, vol. 1, 13/444]. Itu pula yang menjadi pendapat dari Syaikh Abdul Aziz ibn Baaz dan Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin rahimahumullah [Majmu’ Fataawaa Ibn Baaz 14: 333; asy-Syarh al-Mumti’ 6: 95].

Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,

القولُ الرَّاجِحُ في هذه العملاتِ: أنَّ الزَّكاةَ فيها واجبةٌ مطلقًا، سواءٌ قُصِدَ بها التِّجارة أو لا

“Pendapat terpilih terkait mata uang (kartal) ini adalah wajib dizakati secara mutlak, baik uang itu diniatkan untuk diperdagangkan atau tidak.” [asy-Syarh al-Mumti’ 6: 95]

Kewajiban zakat atas uang kartal ditunjukkan oleh sejumlah alasan berikut:

Pertama, firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” [QS. at-Taubah: 34]

Frasa “tidak menafkahkannya …” pada ayat di atas merupakan isyarat bahwa ciri utama dari emas dan perak adalah fungsinya sebagai nuqud, yaitu alat yang digunakan masyarakat untuk bertransaksi, yang keduanya memang dipergunakan untuk memenuhi nafkah [Fiqh az-Zakaah 1: 241].

Kedua, firman Allah Ta’ala,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka …” [QS. at-Taubah: 103]

Ayat di atas secara umum menunjukkan kewajiban zakat pada setiap harta dan salah satu harta yang menjadi patokan saat ini adalah uang kartal [asy-Syarh al-Mumti’ 6: 93]

Ketiga, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ مِنْ الْوَرِقِ صَدَقَةٌ

“Tidak ada zakat pada al-wariq (uang perak dirham) yang kurang dari lima uqiyah.” [HR. al-Bukhari no. 1405 dan Muslim no. 979]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan zakat pada uang perak di antara jenis perak dan tidak menyebutkan jenis selain itu (misal perhiasan perak -pen). Beliau tidak mengatakan apabila perak mencapai berat sekian, maka besaran zakatnya adalah sekian. Akan tetapi, beliau mempersyaratkan statusnya sebagai uang perak (ar-riqqah). Istilah ini dipahami oleh bangsa Arab sebagai uang perak dengan nilai dan relief tertentu yang beredar di masyarakat. Karena alasan itu, uang kartal saat ini memiliki hukum yang sama [al-Amwaal, hlm. 542-543].

Keempat, Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau menginformasikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Mu’adz radhiallahu ‘anhu ketika mengutusnya ke negeri Yaman,

وأعْلِمْهم أنَّ اللهَ افترَضَ عليهم صدقةً في أموالِهم

“ … beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (Zakat) dari harta mereka … ” [HR. al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19]

Pada saat ini, uang kartal tercakup dalam keumuman harta [asy-Syarh al-Mumti’ 6: 93].

Kelima, uang kartal telah beredar secara luas dan diterima masyarakat. Ia memiliki karakteristik harga karena statusnya sebagai standar nilai dan penyimpan kekayaan [Abhaats Haiah Kibaar al-Ulamaa, 1: 91].

Keenam, pada saat ini nilai uang kartal sebagai harga sudah sangat mengakar. Bahkan uang kartal itu justru menjadi harga/nilai bagi emas dan perak itu sendiri. Dengan demikian, uang kartal harus dianggap sebagai mata uang yang berdiri sendiri sebagaimana status emas dan perak karena adanya kesamaan [Majallah al-Buhuuts al-Islaamiyah 39: 314, 320; Abhaats Haiah Kibaar al-Ulamaa 1: 92]

Ketujuh, apabila uang kartal tidak dikategorikan sebagai mata uang, maka hal itu melazimkan tidak ada riba lagi yang terjadi di masyarakat karena mayoritas transaksi yang dilakukan saat ini menggunakan uang kartal. Demikian pula akibat dari pandangan tersebut adalah tidak ada kewajiban zakat yang harus ditunaikan oleh orang yang memiliki uang kartal selama tidak diperjual-belikan. Konsekuensi tersebut tentu saja tidak tepat [asy-Syarh al-Mumti’ 6: 93]

Nishab Uang Kartal

Ahli fikih kontemporer berbeda pandangan dalam menilai kewajiban zakat pada uang kartal di awal kemunculannya. Hal itu dikarenakan perbedaan pandangan dalam memahami status uang kartal. Namun perbedaan itu berangsur-angsur mereda seiring dengan berkembangnya transaksi yang menggunakan uang kartal dan fungsinya yang bisa berperan sebagai mata uang, hingga hampir-hampir tidak ada seorang ahli fikih yang menyatakan bahwa uang kartal tidak wajib dizakati [Fiqh az-Zakaah 1: 2294, Majma’ al-Fiqhiy al-Islaamiy 3/3/1965; al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah 23: 267]

Atas hal itu, menjadi penting untuk mengenali nishab uang kartal, terlebih tidak ada dalil khusus yang menyatakan besaran nishab untuk uang kartal karena ia muncul setelah masa pensyariatan usai. Akan tetapi, ketika tujuan adanya uang kartal ini adalah statusnya sebagai harta dan nilai pertukarannya, maka yang menjadi tolok ukur dalam nishab uang kartal adalah nilainya yang diketahui dengan taksiran terhadap emas dan perak.

Pendapat terpilih dalam hal ini adalah nishab uang kartal terpenuhi ketika mencapai nishab terendah antara emas dan perak. Dalil-dalil yang shahih telah menetapkan nishab bagi emas dan perak dan ketika terjadi perbedaan wajib memilih nishab terendah dari keduanya karena lebih bermanfaat bagi fakir miskin dan lebih utama dalam membebaskan tanggung jawab wajib zakat (muzakkiy).

Berdasarkan hal di atas, untuk mengetahui nishab uang kartal kita bisa menghitung nilai/harga nishab emas dan nishab perak, kemudian memilih nishab terendah dan mengeluarkan zakat dalam bentuk uang kartal yang setara dengan nilai nishab tersebut [Nawaazil az-Zakaah hlm. 160]

Ilustrasinya sebagai berikut:

Jika diasumsikan harga emas murni saat ini adalah Rp800.000,- per gram, maka nishab emas adalah sebesar 85 gram x Rp800.000,- = Rp68.000.000,-.

Adapun jika diasumsikan harga perak murni saat ini adalah Rp14.000,- per gram, maka nishab perak adalah 595 gram xRp14.000,- = Rp8.330.000,-

Maka dalam hal ini, nishab bagi uang kartal adalah nishab terendah, yaitu nishab perak. Sehingga seorang yang memiliki uang kartal sebesar Rp8.330.000,- telah mencapai nishab. Dan apabila telah memenuhi haul, wajib menunaikan zakat sebesar 2,5%.

Menyatukan Uang Kartal dengan Emas atau Perak untuk Menyempurnakan Nishab

Telah disampaikan pada artikel sebelumnya bahwa berat emas dan perak tidak dapat disatukan untuk menyempurnakan nisab.

Berdasarkan hal itu, untuk menyempurnakan nishab, uang kartal hanya dapat digabungkan dengan emas atau perak saja. Apabila seseorang memiliki uang kartal, namun nilainya belum mencapai nishab, tapi dia memiliki emas atau perak yang jika dikonversikan nilainya bisa mencapai nishab, maka wajib menyatukan uang kartal ini dengan nilai emas atau perak yang dimiliki sehingga bisa menyempurnakan nishab uang kartal (https://islamqa.info/amp/ar/answers/201807).

Menyatukan Uang Kartal yang Berbeda  dengan Nilai Komoditi Perdagangan untuk Menyempurnakan Nishab

Sebagaimana nilai komoditi perdagangan dapat disatukan pada nishab emas atau nishab perak, demikian pula dengan uang kartal, ia dapat disatukan dengan nilai komoditi perdagangan untuk menyempurnakan nishab. Demikian pula uang kartal yang satu bisa disatukan dengan uang kartal yang lain untuk menyempurnakan nishab sehingga mata uang rupiah bisa disatukan dengan mata uang dollar, riyal, atau mata uang lain agar nishab tercapai [Zakaat al-Awraaq an-Naqdiyah wa Hukm Dham an-Nuquud Ba’dhuha ilaa Ba’dh hlm. 42-43]

Majma’ al-Fiqhiy al-Islaamiy menyatakan,

وجوبُ زكاةِ الأوراق النقديَّة إذا بلغت قيمَتُها أدنى النِّصَابينِ من ذهب أو فضَّة، أو كانت تُكَمِّلُ النِّصَاب مع غيرها من الأثمانِ والعروض المعدَّة للتِّجارة

“Uang kartal wajib dizakati apabila: (a) nilainya mencapai nishab terendah antara emas dan perak; atau (b) nilainya menyempurnakan nishab apabila disatukan dengan mata uang yang lain dan komoditi perdagangan.” [Majallah Majma’ al-Fiqhiy al-Islaamiy no. 3, jilid 3 hlm, 952]

Demikian yang dapat disampaikan. Semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: www.muslim.or.id

Serial Fiqh Zakat (Bag. 8): Nishab Zakat Emas dan Perak

Nisab zakat emas

Pada dasarnya, emas tidaklah wajib dizakati kecuali setelah mencapai nisab sebesar 20 mitsqal yang setara dengan 20 dinar.

Dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا، وَحَالَ عَلَيْهَا اَلْحَوْلُ، فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ، فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ

“Tidak wajib atasmu zakat emas kecuali engkau memiliki 20 dinar dan telah melewati setahun. (Jika telah memenuhi hal itu), maka zakatnya sebesar 0,5 dinar. Apa yang lebih dari itu, maka zakatnya juga menyesuaikan dengan perhitungan tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 1573, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 1573)

Meski sejumlah kalangan menyatakan bahwa tidak ada satu pun hadis sahih yang memberikan informasi perihal ketentuan nisab zakat emas, termasuk hadis di atas, namun alim ulama bersepakat bahwa nisab zakat emas adalah 20 mitsqal dan tidak ada kewajiban zakat pada emas yang beratnya di bawah itu. (Lihat Al-Umm 2: 43, Al-Amwal hlm. 501, Al-Ijma’ hlm. 48, At-Tamhid  20: 145, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim 7: 48, 49, 53)

Asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan,

لا أعلم اختلافًا في أنْ ليس في الذَّهَب صدقة، حتى تبلُغَ عشرينَ، فإذا بلغَتْ عِشرينَ مثقالًا، ففيها الزَّكاةُ

“Tidak ada perbedaan sepanjang pengetahuanku bahwa tidak ada zakat pada emas kecuali telah mencapai 20 mitsqal. Apabila emas itu mencapai 20 mitsqal, maka ada kewajiban zakat padanya.”

Ketentuan nisab zakat emas sebesar 20 mitsqal ini disepakati, kecuali Al-Hasan Al-Bashri yang berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat terhadap emas yang beratnya kurang dari 40 mitsqal. Pendapat beliau tersebut disampaikan oleh Ibnu Al-Mundzir dalam kitabnya Al-Ijma’.

Konversi nisab zakat emas dengan satuan berat kontemporer

Alim ulama menakar dan memperkirakan satuan mitsqal dengan biji gandum barley (حَبَّةً شَعِير). Mereka menyatakan bahwa satu mitsqal setara dengan 72 biji gandum barley yang berukuran sedang, belum dikupas, dan dipotong kedua ujungnya yang kecil dan memanjang.

Asy-Syarbini al-Khathib menyatakan,

والمثقال لم يتغير جاهلية ولا إسلاما، وهو اثنان وسبعون حبة، وهي الشعيرة معتدلة لم تقشر وقطع من طرفيها ما دق وطال

“Ukuran mitsqal tidak berubah sejak zaman jahiliyah hingga munculnya agama Islam, yaitu setara dengan berat 72 biji gandum barley yang berukuran sedang, belum dikupas, dan dipotong kedua ujungnya yang kecil dan memanjang.” (Mughni al-Muhtaj)

Namun mereka berbeda pendapat dalam mengonversi berat 72 biji gandum barley ke dalam satuan kontemporer seperti satuan gram.

Ada yang menyatakan satu mitsqal setara dengan 3,5 gram sehingga nisab zakat emas adalah sebesar 20 mitsqal x 3,5 gram = 70 gram emas.

Ada yang berpendapat satu mitsqal setara dengan 3,60 gram sehingga nisab zakat emas adalah sebesar 20 mitsqal x 3,60 gram = 72 gram emas.

Ada yang berpendapat satu mitsqal setara dengan 4,25 gram sehingga nisab zakat emas adalah sebesar 20 mitsqal x 4,25 gram = 85 gram emas.

Pendapat terakhir inilah yang diamini oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam asy-Syarh al-Mumti’ (6: 97). Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyatakan,

وقد حررتُ نصاب الذهب فبلغ خمسة وثمانين جرامًا من الذهب الخالص

“Saya telah meneliti nisab zakat emas dan tercapail berat 85 gram emas murni.” (Asy-Syarh Al-Mumti’ 6: 97)

Dengan demikian, setiap orang yang memiliki 85 gram emas murni maka emas yang dimilikinya mencapai nisab zakat emas sehingga wajib dizakati. Ketentuan ini berlaku pada emas murni yang pada saat ini dinyatakan dalam kadar 24 karat.

Nisab zakat perak

Nisab zakat perak adalah sebesar 200 dirham. Ketentuan ini terdapat dalam hadis Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, tatkala Abu Bakar radhiallahu ‘anhu menuliskan aturan zakat yang telah ditetapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutusnya ke negeri Bahrain, dinyatakan dalam aturan tersebut,

وفي الرِّقَةِ رُبُعُ العُشرِ، فإذا لم يكُنِ المالُ إلَّا تِسعينَ ومئةَ درهمٍ؛ فليس فيها شيءٌ إلَّا أن يشاءَ ربُّها

“Dan untuk zakat uang perak (dirham), maka ketentuannya seperempat puluh (2,5%) bila (telah mencapai dua ratus dirham). Dan apabila tidak mencapai jumlah itu, namun hanya seratus sembilan puluh dirham, maka tidak ada kewajiban zakat kecuali bila pemiliknya mau mengeluarkannya.” (HR. al-Bukhari no. 1454)

Nisab zakat perak ditetapkan sebesar 200 dirham yang setara dengan berat 5 uqiyah berdasarkan hadis Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ مِنْ الْوَرِقِ صَدَقَةٌ

“Tidak ada zakat pada al-wariq (uang perak dirham) yang kurang dari lima uqiyah.” (HR. Bukhari no. 1405 dan Muslim no. 979)

Konversi nisab zakat perak dengan satuan berat kontemporer

Terdapat ijmak bahwa nisab zakat perak sebesar 200 dirham yang setara dengan 140 mitsqal. Hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama karena mereka menganggap nisab zakat perak ditentukan dengan timbangan berdasarkan hadis Abu Sa’id di atas dimana uqiyah merupakan satuan berat.

Jika dikonversikan dalam satuan berat kontemporer, berapakah nisab zakat perak?

Berdasarkan pendapat yang menyatakan satu mitsqal setara dengan 4,25 gram, maka nisab zakat perak adalah sebesar 4,25×140 = 595 gram (Asy-Syarh Al-Mumti’ 6: 9, Fiqh Az-Zakat 1: 260).

Dengan demikian, apabila seorang memiliki perak seberat 595 gram, maka perak itu telah mencapai nisab dan wajib dizakati.

Kadar dalam nisab zakat emas dan perak

Ketika alim ulama membicarakan nisab zakat emas dan zakat perak, maka ketentuan nisab tersebut berlaku untuk emas dan perak yang murni tanpa tercampur dengan logam lain, sehingga yang menjadi tolok ukur dalam penentuan nisab adalah kadar emas dan perak murni. An-Nawawi rahimahullah mengatakan,

إذا كان له ذهبٌ أو فضة مغشوشة، فلا زكاةَ فيها حتى يبلغ خالصُها نصابًا

“Apabila emas dan perak bercampur dengan logam lain, maka tidak ada zakat pada emas/perak itu hingga kandungan emas/perak murni mencapai nisab.” (Al-Majmu’ 5: 467)

Apabila kadar emas itu kurang dari 24 karat, maka emas itu bukanlah emas yang murni karena bercampur dengan tembaga, perak, dan logam lain. Semakin kecil karat suatu emas, semakin kecil kemurniannya karena kandungan logam semakin besar. Kandungan logam lain pada emas ini tidak dapat dijadikan pelengkap untuk menyempurnakan nisab zakat emas. Berdasarkan hal itu, nisab zakat emas berdasarkan kemurniannya/karatnya, bisa ditentukan dengan rumus :

(karat emas murni/karat emas yang dimiliki) x nisab zakat emas murni

Misal kita meggunakan nisab zakat emas murni sebesar 85 gram, maka,

Emas 21 karat memiliki nisab sebesar 24/21 x 85 gram = 97,14 gram,

Emas 18 karat memiliki nisab sebesar 24/18 x 85 gram = 113,33 gram,

Emas 16 karat memiliki nisab sebesar 24/16 x 85 gram = 127,5 gram,

dan seterusnya.

Besaran wajib zakat emas dan perak

Setiap orang yang memiliki emas yang mencapai berat 85 gram atau perak yang mencapai berat 595 gram, maka ia berkewajiban mengeluarkan besaran zakat sebesar seperempat puluh, yaitu 2,5% dari berat tersebut. Hal ini merupakan kesepakatan ulama. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

إذا تمَّت الفضَّةُ مئتين، والدنانيرُ عِشرين، فالواجِبُ فيها رُبُع عُشْرِها، ولا نعلَمُ خلافًا بين أهل العِلم في أنَّ زكاة الذهب والفضَّة رُبُعُ عُشرِها

“Apabila perak genap mencapai 200 dirham dan emas genap mencapai 20 dinar, maka besaran zakat yang wajib dikeluarkan adalah seperempat puluhnya. Kami tidak mengetahui ada perselisihan pendapat di antara ahli ilmu akan hal ini.” (Al-Mughni 3: 38)

Besaran zakat ini ditetapkan berdasarkan hadis Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا، وَحَالَ عَلَيْهَا اَلْحَوْلُ، فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ، فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ

“Tidak wajib atasmu zakat emas kecuali engkau memiliki 20 dinar dan telah melewati setahun. (Jika telah memenuhi hal itu), maka zakatnya sebesar 0,5 dinar. Apa yang lebih dari itu, maka zakatnya juga menyesuaikan dengan perhitungan tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 1573, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 1573)

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menyatakan bahwa Abu Bakar radhiallahu ‘anhu menuliskan aturan zakat yang telah ditetapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutusnya ke negeri Bahrain, dinyatakan dalam aturan tersebut,

وفي الرِّقَةِ رُبُعُ العُشرِ، فإذا لم يكُنِ المالُ إلَّا تِسعينَ ومئةَ درهمٍ؛ فليس فيها شيءٌ إلَّا أن يشاءَ ربُّها

“Dan untuk zakat uang perak (dirham) maka ketentuannya seperempat puluh (2,5%) apabila (telah mencapai dua ratus dirham). Dan apabila tidak mencapai jumlah itu, namun hanya seratus sembilan puluh dirham, maka tidak ada kewajiban zakat kecuali bila pemiliknya mau mengeluarkannya.” (HR. al-Bukhari no. 1454)

Menyatukan nisab emas dan perak untuk menyempurnakan nisab

Apakah berat emas dapat disatukan dengan berat perak untuk menyempurnakan nisab dan sebaliknya?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa keduanya dapat disatukan untuk menyempurnakan nisab karena ‘illat/maksud keduanya sama, yaitu keduanya merupakan alat tukar dalam transaksi jual-beli dan merupakan tolok ukur nilai bagi suatu barang. Dengan alasan inilah berat keduanya dapat melengkapi nisab yang satu dengan yang lain.

Sebagai contoh, jika Anda memiliki setengah nisab emas, yaitu 10 mitsqal dan setengah nisab perak, yaitu 100 dirham. Apabila 10 mitsqal emas tadi diasumsikan setara dengan 100 dirham, maka berdasarkan pendapat ini Anda wajib mengeluarkan zakat karena setidaknya nisab zakat perak telah tercapai yaitu sebesar 200 dirham.

Pendapat lain menyatakan bahwa berat emas dan perak tidak dapat disatukan untuk menyempurnakan nisab. Dan inilah pendapat yang tepat karena sejumlah alasan berikut:

1. Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Nabi shalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ مِنْ الْوَرِقِ صَدَقَةٌ

“Tidak ada zakat pada al-wariq (uang perak dirham) yang kurang dari lima uqiyah.” (HR. Al-Bukhari no. 1405 dan Muslim no. 979)

Redaksi hadis di atas tegas menyatakan bahwa tidak ada zakat pada perak yang kurang dari 5 uqiyah, meski ia memiliki emas dalam jumlah yang banyak. Apabila kita menyatukan berat emas dan perak untuk menyempurnakan nisab zakat, maka ini berarti kita mewajibkan zakat pada perak yang jumlahnya kurang dari lima uqiyah. Hal ini tentu tidak sejalan dengan hadis di atas. (Lihat al-Muhalla 6: 83, Adhwal al-Bayan 2:125-126)

Demikian pula halnya jika emas yang Anda miliki kurang dari nisab, maka perak milik Anda tidak bisa menyempurnakan nisabnya (Asy-Syarh al-Mumti’ 6: 101).

2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa emas dan perak merupakan dua hal yang berbeda jenis sehingga dalam pertukaran keduanya diperbolehkan tafaadhul (berbeda kuantitas/berat). Tidaklah tepat jika menganggap keduanya sejenis sehingga bisa saling melengkapi nisab, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan keduanya berbeda jenis (Al-Amwal hlm. 513).

3. Alasan bahwa ‘illat/maksud dari emas dan perak itu serupa, yaitu sebagai alat tukar, tidak lantas menjadikan keduanya sebagai harta yang satu sehingga bisa saling melengkapi nisab. Emas dan perak merupakan jenis harta zakat yang berbeda sehingga tidak bisa disatukan untuk saling menyempurnakan nisab. Sebagaimana juga gandum burr tidak bisa disatukan dengan gandum sya’ir untuk menyempurnakan nisab padahal keduanya memiliki maksud yang sama, yaitu sebagai makanan pokok. Demikian pula dengan kambing yang tidak bisa digunakan untuk menyempurnakan nisab sapi, dimana keduanya memiliki maksud yang sama yaitu binatang ternak yang dikembangkan (Bidayah Al-Mujtahid 1: 257, asy-Syarh al-Mumti’ 6: 102).

4. Emas dan perak masing-masing memiliki nisab tersendiri, sehingga tidak bisa disatukan untuk saling menyempurnakan nisab. Konsekuensi pendapat yang menyatakan bahwa nisab keduanya bisa saling melengkapi adalah munculnya hukum baru dalam agama karena menyatakan adanya suatu nisab yang bukan nisab emas dan perak. Tentu mustahil dalam perkara yang ambigu ini terdapat hukum khusus sementara ketentuan agama mendiamkannya, mengingat karakter agama ini adalah senantiasa memberikan penjelasan (Bidayah Al-Mujtahid 1: 259-259, Al-Mughni 3: 36).

5. Seandainya Anda memiliki emas 20 dinar dan harga 1 dinar saat ini setara dengan 9 dirham atau kurang dari itu, maka zakat tetap wajib ditunaikan dari emas Anda tersebut meski nilainya tidak mencapai 200 dirham (nisab perak). Sebaliknya, jika Anda memiliki emas sebanyak 10 dinar dan harga 1 dinar saat itu setara dengan 20 dirham atau lebih, maka emas yang Anda miliki itu tidak wajib dizakati meski nilainya setara dengan 200 dirham atau lebih. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya merupakan obyek zakat yang berbeda dengan nisab yang berbeda pula sehingga tidak bisa digunakan untuk saling menyempurnakan nisab (Al-Amwal hlm. 513-515).

Menyatukan nilai komoditi perdagangan pada nisab emas atau perak

Nilai barang dagangan dapat disatukan pada berat emas atau perak sehingga mencapai nisab. Sebagai contoh, Anda memiliki setengah nisab perak, yaitu 100 dirham dan memiliki barang dagangan yang nilainya setara dengan 100 dirham. Maka dalam kasus ini, Anda dapat menyatukan nilai barang dagangan tersebut untuk menyempurnakan nisab zakat perak menjadi 200 dirham, kemudian zakatnya dikeluarkan dari jumlah nisab perak tersebut.

Contoh lain, jika Anda memiliki 50 gram emas dan barang dagangan yang nilainya setara dengan 35 gram emas, maka Anda bisa menyatukan nilai barang dagangan itu untuk melengkapi nisab emas (yaitu 85 gram) kemudian ditunaikan zakatnya.

Hal ini bisa dilakukan karena zakat barang dagangan berkaitan dengan qiimah (nilai nominal uang) sehingga sejenis dengan emas dan perak. Oleh karena itu, nilai barang dagangan bisa disatukan dengan emas atau perak untuk saling melengkapi nisab (Al-Mughni 3: 36, Al-Furu’ 4: 138).

Ketentuan ini telah menjadi kesepakatan ulama sebagaimana yang dinyatakan al-Khaththabi,

لا أعلَمُ عامَّتَهم اختلفوا في أنَّ من كانت عنده مئةُ درهمٍ، وعنده عَرْضٌ للتِّجارة يساوي مئةَ درهمٍ وحال الحَوْلُ عليهما أنَّ أحدَهما يُضمُّ إلى الآخَرِ وتجِبُ الزَّكاة فيهما

“Saya tidak mengetahui ada perselisihan pendapat perihal seorang yang memiliki perak sebanyak 100 dirham dan barang dagangan yang setara dengan 100 dirham, yang telah dimiliki selama setahun, bahwa keduanya digabungkan sehingga keduanya wajib dizakati” (Ma’alim As-Sunan 2: 16).

Ibnu Qudamah menyatakan,

فإنَّ عروضَ التِّجارة تُضمُّ إلى كلِّ واحدٍ مِنَ الذَّهَبِ والفضة، ويُكَمَّل به نِصابه، لا نعلمُ فيه اختلافًا

“Nilai barang dagangan dapat disatukan pada salah satu nilai emas dan perak, sehingga nisabnya sempurna. Kami tidak mengetahui ada pendapat yang berbeda dalam hal ini.” (Al-Mughni 3: 36)

Wallahu ta’ala a’lam.

Demikian pembahasan ini. Semoga bermanfaat.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: Muslim.or.id

Serial Fiqh Zakat (Bag. 7): Zakat Perhiasan Emas dan Perak

Definisi Perhiasan Emas dan Perak

Perhiasan emas dan perak dalam bahasa Arab disebut dengan “al-hulliy” yang didefinisikan dengan,

اسمٌ لكلِّ ما يُتزيَّنُ به مِن مصاغِ الذَّهَبِ والفِضَّة

“Istilah bagi setiap benda yang digunakan sebagai perhiasan yang terbuat dari emas dan perak.” [an-Nihayah 1/435]

Latar Belakang Silang Pendapat Alim Ulama Perihal Zakat Perhiasan Emas dan Perak

Alim ulama bersepakat bahwa zakat emas dan perak wajib ditunaikan zakatnya apabila berbentuk uang atau batangan. Lihat artikel tentang Zakat Emas dan Perak sebelumnya.

Namun, mereka berselisih pendapat mengenai hukum zakat emas dan perak yang dijadikan sebagai perhiasan.

Silang pendapat ini dilatarbelakangi oleh ketiadaan dalil yang secara tegas menetapkan atau meniadakan kewajiban zakat pada perhiasan emas dan perak. Hadits-hadits yang dijadikan dalil tersebut diperselisihkan oleh alim ulama, baik dari sisi keabsahan maupun penunjukannya.

Selain itu, alim ulama yang mewajibkan zakat pada perhiasan emas dan perak berpandangan bahwa bahan baku pembuatan perhiasan tersebut adalah bahan tambang yang sejenis dan dipergunakan sebagai mata uang yang berlaku dalam praktik perdagangan antar manusia. Sedangkan bahan tambang berupa emas dan perak berikut mata uang terbuat dari keduanya dan wajib ditunaikan zakatnya.

Di sisi lain, terdapat alim ulama yang berpandangan bahwa perhiasan emas dan perak ini tidak lagi dipandang sebagai mata uang karena telah mengalami fabrikasi sehingga serupa dengan barang-barang yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pribadi seperti perabotan, barang, baju, dan benda lain yang tidak wajib dizakati berdasarkan ijmak. Alasan inilah yang dijadikan dasar bahwa tidak ada zakat pada perhiasan emas dan perak. 

3 Batasan dalam Topik Zakat Perhiasan Emas dan Perak

Perselisihan pendapat alim ulama mengenai hukum zakat perhiasan emas dan perak di atas memiliki batasan, yaitu terbatas pada perhiasan emas dan perak; yang mubah; dan dipergunakan sebagai perhiasan. Dengan demikian ada 3 batasan dalam silang pendapat ini, yaitu:

  • Terbuat dari emas dan perak. Apabila terbuat dari bahan selain emas dan perak, maka tidak ada zakat atas perhiasan itu berdasarkan ijmak.

Ibnu Abdil Barr mengatakan,

وَأَجْمَعُوا أَنْ لَا زَكَاةَ فِي الْحَلْيِ إِذَا كَانَ جَوْهَرًا أَوْ يَاقُوتًا ، لَا ذَهَبَ فِيهِ وَلَا فِضَّةَ

“Mereka sepakat bahwa tidak ada zakat untuk perhiasan apabila berupa intan dan yakut yang tidak mengandung emas dan perak.” [al-Istidzkar 3/153]

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz mengatakan,

المجوهرات من غير الذهب والفضة : كالماس ، ليس فيها زكاة ، إلا أن يراد بها التجارة

“Tidak ada zakat atas perhiasan yang terbuat dari bahan selain emas dan perak seperti berlian, kecuali perhiasan itu diniatkan untuk diperjualbelikan.” [Fatawa Ibn Baaz 14/124]

  • Bersifat mubah. Apabila perhiasan yang terbuat dari emas dan perak itu berstatus haram, misalnya karena dipakai oleh pria, maka alim ulama bersepakat bahwa wajib mengeluarkan zakat dari perhiasan tersebut. Menggunakannya sebagai perhiasan tidak lantas membuatnya menjadi obyek non-zakat alias tetap sebagaimana kondisi asal karena statusnya haram dimana syari’at tidak mengizinkan penggunaan tersebut.

Ibnu Qudamah mengatakan,

ومن ملك مصوغاً من الذهب أو الفضة محرماً ، كالأواني وما يتخذه الرجل لنفسه من الطوق ونحوه ، وخاتم الذهب ، وحلية المصحف ، والدواة ، والمحبرة والمقلمة ، والسرج : ففيه الزكاة ؛ لأن هذا فعل محرم فلم يخرج به عن أصله

“Setiap orang yang memiliki barang haram yang terbuat dari emas dan perak seperti bejana; benda yang digunakan pria seperti ikat pinggang dan semisalnya;  cincin, ornamen mushaf, tempat tinta, pena, kotak pena, pelana, maka ada zakat pada benda-benda tersebut karena kepemilikannya haram sehingga tidak mengeluarkannya dari hukum asal.” [al-Kaafi 1/405]

Disebutkan dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah 18/113,

اتفق الفقهاء على وجوب الزكاة في الحلي المستعمل استعمالاً محرماً , كأن يتخذ الرجل حلي الذهب للاستعمال

“Ahli fikih bersepakat bahwa zakat wajib ditunaikan dari perhiasan yang digunakan secara haram seperti perhiasan emas yang digunakan oleh pria.”

  • Digunakan sebagai perhiasan. Apabila perhiasan emas dan perak itu digunakan untuk tujuan lain seperti diperjual-belikan (komoditi perdagangan); disewakan; atau untuk disimpan dan ditimbun untuk menjaga harta, maka wajib ditunaikan zakatnya.

Ibnu Qudamah mengatakan,

فَأَمَّا الْمُعَدُّ لِلْكِرَى (الإجارة) أَوْ النَّفَقَةِ إذَا اُحْتِيجَ إلَيْهِ ، فَفِيهِ الزَّكَاةُ ؛ لِأَنَّهَا إنَّمَا تَسْقُطُ عَمَّا أُعِدَّ لِلِاسْتِعْمَالِ ، لِصَرْفِهِ عَنْ جِهَةِ النَّمَاءِ ، فَفِيمَا عَدَاهُ يَبْقَى عَلَى الْأَصْلِ ، وَكَذَلِكَ مَا اُتُّخِذَ حِلْيَةً فِرَارًا مِنْ الزَّكَاةِ لَا يَسْقُطُ عَنْهُ

“Adapun perhiasan emas dan perak yang dipergunakan sebagai obyek sewa dan biaya hidup (nafkah) jika dibutuhkan, maka ada kewajiban zakat padanya. Zakat hanyalah gugur dari emas dan perak yang digunakan sebagai perhiasan sebab telah dialihkan dari upaya pengembangan, sehingga untuk tujuan selain itu statusnya tetap seperti semula. Hal yang sama juga berlaku untuk emas dan perak yang digunakan sebagai perhiasan oleh pemiliknya tapi dengan niat agar terbebas dari zakat, maka kewajiban zakat tidaklah gugur (karena adanya niat tersebut).” [al-Mughni 4/221]

Pendapat terpilih

Silang pendapat antar alim ulama dalam topik ini sangat panjang, dan wallahu a’lam, pendapat terpilih adalah pendapat yang menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban zakat pada perhiasan emas dan perhiasan perak. Dalil-dalil yang mendukung pendapat ini adalah sebagai berikut:

Firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.” [at-Taubah : 34-35]

Penyebutan al-kanz dan al-infaq pada ayat di atas menunjukkan bahwa emas dan perak yang dimaksudkan adalah uang emas dan uang perak (an-nuqud), karena an-nuqud saja yang bisa ditimbun dan diinfakkan (digunakan untuk memenuhi biaya hidup). Adapun perhiasan emas atau perhiasan perak yang dipakai tidak dapat dianggap sebagai kanz, sebagaimana pada dasarnya ia juga tidak dipergunakan untuk infak. [Fiqh az-Zakah hlm. 1/295; Zakat al-Hulliy fi al-Fiqh al-Islami hlm. 33]  

Dari Zainab bintu Mu’awiyah, istri Abdullah ibn Mas’ud radhiallahu ‘anha, beliau menyampaikan,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَصَدَّقْنَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bersedekahlah wahai kaum wanita! Bersedekahlah sekalipun dengan perhiasanmu.” [HR. al-Bukhari : 1466 dan Muslim : 1000. Redaksi di atas adalah redaksi Muslim]

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas merupakan dalil bahwa tidak ada kewajiban zakat pada perhiasan, karena seandainya wajib beliau tidak akan menjadikan perhiasan sebagai contoh untuk sedekah sunnah.” [asy-Syarh al-Mumti’ 6/284]

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ مِنْ الْوَرِقِ صَدَقَةٌ

“Tidak ada kewajiban sedekah (zakat) pada “al-wariq” yang kurang dari lima uqiyah.” [HR. al-Bukhari : 1405 dan Muslim : 979]

al-Wariq adalah uang dirham yang dicetak [an-Nihayah 2/245].

Pada hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan kewajiban zakat hanya pada ar-riqqah di antara jenis perak. Beliau tidak mengucapkan, “Apabila perak mencapai kuantitas sekian, maka ada kewajiban zakat padanya dengan jumlah sekian”. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan ar-riqqah di antara jenis perak. Sedangkan penamaan ar-riqqah di kalangan orang Arab hanya dipergunakan untuk al-wariq yang diukir, memiliki cetakan, yang beredar di tengah-tengah manusia, sehingga hal itu menjadi batasan yang mengecualikan perhiasan dan semisalnya dari kewajiban zakat [al-Amwal hlm. 542-543].

Atsar dari Aisyah radhiallahu ‘anha, 

كَانَتْ تَلِي بَنَاتَ أَخِيهَا يَتَامَى فِي حَجْرِهَا لَهُنَّ الْحَلْيُ فَلَا تُخْرِجُ مِنْ حُلِيِّهِنَّ الزَّكَاةَ

“Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengasuh anak-anak perempuan saudara laki-lakinya yang sudah yatim, dan mereka mempunyai perhiasan. Namun Aisyah tidak mengeluarkan zakat dari perhiasan mereka.” [HR. Malik dalam al-Muwatha 2/351; Ibnu Zanjawaih dalam al-Amwal hlm. 1782; al-Baihaqi 4/138. Dinilai shahih oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ 6/33 dan al-Albani dalam Adab az-Zafaf hlm. 192]

Pada dasarnya zakat hanya dikenakan pada harta yang dikembangkan (المال النامي) atau harta yang diniatkan untuk dikembangkan (المُعَدِّ للنماء). Perhiasan emas/perhiasan perak bukan harta yang seperti itu karena ia adalah harta tak bergerak, tak memiliki fungsi untuk dikembangkan, selain digunakan untuk berhias sehingga tidak ada kewajiban zakat padanya [al-Mughni 4/221, 222; al-Istidzkar 3/151]

Al-Qurthubi mengatakan,

قصد النماء يوجب الزكاة في العروض ، وهي ليست بمحل الإيجاب الزكاة ، وكذلك قصد قطع النماء في الذهب والفضة باتخاذهما حلياً يسقط الزكاة

“Niat mengembangkan melazimkan kewajiban zakat dikenakan pada barang perniagaan yang pada asalnya bukan obyek zakat. Demikian pula niat untuk tidak mengembangkan emas dan perak dengan menjadikannya perhiasan untuk dipakai secara pribadi menggugurkan kewajiban zakatnya.” [al-Kami’ li Ahkam al-Quran 8/126]

Perhiasan emas/perhiasan perak dengan penggunaan yang mubah menjadi sejenis dengan pakaian dan perkakas, sehingga tidaklah sejenis dengan uang (al-atsman). Karenanya ia tidak dikenakan kewajiban zakat [al-Hawi al-Kabir 3/272; al-Mughni 3/42; Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 9/263] 

Ibnu Qudamah mengatakan,

لا تجب الزكاة في الحالي ، لأنه مرصد لاستعمال مباح يا فلم تجب فيه الزكاة كالعوامل وثياب القنية

“Tidak ada zakat pada perhiasan emas/perak wanita karena diperuntukkan untuk pemakaian yang mubah, sehingga tidak wajib dizakati sebagaimana hewan ternak yang digunakan untuk bekerja dan pakaian pribadi.” [al-Mughni 3/12]

Tanggapan terhadap sebagian dalil yang digunakan oleh ulama yang mewajibkan zakat perhiasan emas/perhiasan perak 

Dalam hadits ‘Amru ibn Syu’aib disebutkan,

أَنَّ امْرَأَةً أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهَا ابْنَةٌ لَهَا وَفِي يَدِ ابْنَتِهَا مَسَكَتَانِ غَلِيظَتَانِ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ لَهَا أَتُعْطِينَ زَكَاةَ هَذَا قَالَتْ لَا قَالَ أَيَسُرُّكِ أَنْ يُسَوِّرَكِ اللَّهُ بِهِمَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سِوَارَيْنِ مِنْ نَارٍ قَالَ فَخَلَعَتْهُمَا فَأَلْقَتْهُمَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَتْ هُمَا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ

“Seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa anak wanitanya, dan di tangan anak wanita tersebut terdapat dua gelang tebal yang terbuat dari emas, kemudian beliau berkata kepadanya, “Apakah engkau telah menunaikan zakat untuk perhiasan ini?” Wanita tersebut berkata, “Tidak”. Beliau bersabda, “Apakah engkau senang karena kedua gelang tersebut Allah memberimu gelang dari api pada Hari Kiamat?” Khalid (perawi hadits) berkata, “Kemudian wanita tersebut melepas kedua gelang tersebut dan melemparkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Kedua gelang itu untuk Allah ‘azza wa jalla dan rasul-Nya.” [HR. Abu Dawud : 1563; at-Tirmidzi : 637; an-Nasaa-i 5/38]

Dengan asumsi hadits tersebut shahih, Abu ‘Ubaid menerangkan,

فأما الحديث المرفوع الذي ذكرناه أول هذا الباب حين قال لليمانية ذات المسكتين من ذهب (أتعطين زكاته) فإن هذا الحديث لا نعلمه يروى من وجه واحد بإسناد قد تكلم الناس فيه قديماً وحديثاً، فإن يكن الأمر على ما روى وكان عن رسول الله محفوظاً فقد يحتمل معناه أن يكون أراد بالزكاة العارية، كما فسرته العلماء الذين ذكرناهم سعيد بن المسيب والشعبي والحسن وقتادة في قولهم زكاته عاريته 

“Adapun hadits marfu’ yang kami sampaikan di awal bab ini, dimana beliau bertanya kepada wanita Yaman yang memiliki dua gelang tebal dari emas, ‘Apakah engkau telah menunaikan zakatnya?’, maka hadits ini kami ketahui diriwayatkan dari sejumlah jalan dengan sanad yang telah diperbincangkan derajatnya oleh para pakar hadits sejak dulu hingga saat ini. Jika memang ternyata hadits itu mahfuzh (valid) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka terdapat kemungkinan bahwa makna yang diinginkan oleh beliau dengan kata zakat adalah meminjamkannya (al-‘ariyah) seperti tafsiran yang disampaikan oleh alim ulama sebelumnya seperti Sa’id ibn al-Musayyib, asy-Sya’bi, al-Hasan, dan Qatadah yang menyatakan bahwa zakat perhiasan emas wanita adalah dengan meminjamkannya.” [al-Amwal 1/607]

Hadits-hadits seperti hadits ‘Amru ibn Syu’aib dan semisalnya yang dijadikan dalil oleh alim ulama yang mewajibkan zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak wanita tidak secara tegas menunjukkan adanya kewajiban zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak wanita karena mengandung berbagai kemungkinan. Di antara hal yang menguatkan adalah praktik sebagian sahabat yang menyelisihi zhahir hadits-hadits tersebut, seperti praktik ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang menyelisihi riwayat beliau sendiri yang secara zhahir menetapkan adanya kewajiban zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak wanita. 

Oleh karena itu, alim ulama menyatakan bahwa hadits-hadits tersebut mengandung sejumlah kemungkinan, di antaranya: (a) kewajiban zakat yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut ditetapkan pada masa tertentu, yaitu ketika emas diharamkan bagi wanita; (b) kewajiban zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak hanya khusus berlaku pada kondisi israf dan melampaui batas; (c) kewajiban zakat hanya khusus ditetapkan pada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Berbagai kemungkinan ini membatalkan penggunaan hadits-hadits tersebut sebagai dalil untuk menyatakan wajibnya zakat pada perhiasan emas/perak wanita sebagaimana kaidah “الدليل إذا تطرق إليه الاحتمال بطل به الاستدلال”. (Jika suatu dalil itu mengandung kemungkinan-kemungkinan, maka tidak bisa dipergunakan dalam beristidlal)

Dengan demikian hendaknya merujuk pada prinsip umum dalam pensyari’atan zakat, yang di antara prinsip tersebut adalah zakat hanya diwajibkan pada harta yang dikembangkan dan tidak diwajibkan pada harta yang tidak dikembangkan. Itulah mengapa zakat diwajibkan pada komoditi perniagaan, hewan ternak saaimah, dan uang karena statusnya yang berkembang. Sementara kewajiban itu digugurkan pada barang atau komoditi yang tidak diniatkan untuk diperdagangkan seperti pakaian dan bejana yang tidak berkembang, dan hanya dipergunakan untuk penggunaan dan pemakaian pribadi, sebagaimana kewajiban zakat digugurkan pada perhiasan, permata yang terbuat dari mutiara, marjan, dan yaqut karena statusnya yang diperuntukkan untuk berhias. 

Perhiasan emas dan perak yang dipakai oleh wanita dengan penggunaan yang mubah termasuk dalam harta tak berkembang sehingga tidak wajib dizakati. Hal ini karena ia dipergunakan untuk berhias sebagaimana perhiasan yang terbuat dari mutiara dan marjan. [Zakat Hulliy adz-Dzahab wa al-Fidhdhah wa al-Jauharat hlm. 65-66].

Kesimpulan

  1. Perhiasan emas dan perak dikenal alim ulama dengan istilah al-hulliy.
  2. Alim ulama berselisih pendapat terkait hukum zakat perhiasan emas dan perak. Hal ini dilatarbelakangi ketiadaan dalil yang secara tegas menetapkan atau meniadakan kewajiban zakat pada perhiasan emas dan perak. Hadits-hadits tersebut diperselisihkan oleh alim ulama, baik dari sisi keabsahan maupun dalalah-nya.
  3. Emas dan perak yang menjadi obyek pembahasan memiliki 3 batasan, yaitu terbuat dari emas dan/atau perak; dipergunakan secara mubah; dan dipergunakan sebagai perhiasan.
  4. Pendapat terpilih adalah pendapat yang menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban zakat pada perhiasan emas dan perak.
  5. Hadits-hadits seperti hadits ‘Amru ibn Syu’aib dan semisalnya yang dijadikan dalil oleh alim ulama yang mewajibkan zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak wanita tidak secara tegas menunjukkan adanya kewajiban zakat pada perhiasan emas/perhiasan perak wanita karena mengandung berbagai kemungkinan. Berbagai kemungkinan ini membatalkan penggunaan hadits-hadits tersebut sebagai dalil untuk menyatakan wajibnya zakat pada perhiasan emas/perak wanita. Dengan demikian hendaknya merujuk pada prinsip umum dalam pensyari’atan zakat, yang di antara prinsip tersebut adalah zakat hanya diwajibkan pada harta yang dikembangkan dan tidak diwajibkan pada harta yang tidak dikembangkan.

Demikian pembahasan ini. Semoga bermanfaat.

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: Muslim.or.id

Serial Fiqh Zakat (Bag. 6)

Baca pembahasan sebelumnya Serial Fiqh Zakat (Bag. 5): Syarat Wajib Zakat (2)D

Zakat Emas dan Perak

Hukum Zakat Emas dan Perak

Emas dan perak yang telah mencapai nishab dan memenuhi haul wajib ditunaikan zakatnya. Dalilnya terdapat dalam al-Qur’an, as-Sunnah (hadits), dan ijmak.

Dalil al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman,

وَٱلَّذِينَ يَكْنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِى نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا۟ مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” [QS. at-Taubah: 34-35]

Allah Ta’ala juga berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. at-Taubah: 103]

Ayat di atas secara umum menerangkan kewajiban menunaikan zakat yang terdapat dalam harta, dimana emas dan perak tercakup di dalamnya [asy-Syarh al-Mumti’, 6: 93] 

Dalil as-Sunnah

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ

“Siapa yang memiliki emas dan perak, tetapi dia tidak membayar zakatnya, niscaya di hari kiamat akan dibuatkan setrika api untuknya yang dinyalakan di dalam neraka, lalu disetrikakan ke perut, dahi dan punggungnya. Setiap setrika itu dingin, maka akan dipanaskan kembali lalu disetrikakan kembali kepadanya setiap hari –di mana sehari setara lima puluh tahun di dunia – hingga perkaranya diputuskan. Setelah itu, barulah ia melihat jalannya keluar, adakalanya ke surga dan adakalanya ke neraka.” [HR. Muslim: 987]

Demikian pula dalam hadits Anas perihal surat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu terkait sejumlah zakat yang diwajibkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas kaum muslimin sebagaimana yang diperintahkan Allah. Dalam surat tersebut tercantum,

وفي الرِّقَةِ رُبُعُ العُشرِ، فإن لم تكُن إلَّا تِسعينَ ومئةً، فليس فيها شيءٌ إلَّا أن يشاءَ رَبُّها

“Dan untuk zakat uang perak (riqqah), maka ketentuannya seperempat puluh (2,5%) bila telah mencapai 200 dirham. Apabila tidak mencapai jumlah itu namun hanya mencapai 190 dirham, maka tidak ada kewajiban zakat kecuali pemilik ingin mengeluarkannya.” [HR. al-Bukhari: 1454]

Dalil Ijmak

Sejumlah ulama mengutip adanya ijmak bahwa emas dan perak wajib ditunaikan zakatnya.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, 

زكاة الذهب والفضَّة، وهي واجبةٌ بالكتاب، والسنَّة، والإجماع

“Zakat emas dan perak adalah wajib ditunaikan berdasarkan al-Quran, as-Sunnah, dan ijmak” [al-Mughni, 3: 35]

An-Nawawi rahimahullah mengatakan,

تجب الزَّكاة في الذهب والفضَّة بالإجماع، ودليلُ المسألة النُّصوصُ والإجماع، وسواء فيهما المسكوكُ والتِّبرُ والحجارة منهما والسبائك وغيرها من جنسها، إلَّا الحُلِيَّ المباحَ على أصحِّ القولين

“Zakat atas emas dan perak adalah wajib berdasarkan ijmak. Dalil hal ini adalah nash (al-Quran dan as-Sunnah) dan ijmak’, baik yang berupa mata uang resmi, bijih, bongkahan, koin, atau bentuk lain yang sejenis, kecuali berbentuk perhiasan yang mubah menurut pendapat yang terpilih dari dua pendapat yang ada” [al-Majmu’, 6: 6]  

Hikmah Ketetapan Zakat Emas dan Perak

Uang seyogyanya bergerak dan beredar, sehingga pasti ada manfaat yang dipetik dari setiap orang yang mengedarkannya. Jika uang ditimbun dan ditahan, maka hal itu akan menyebabkan bisnis merosot, pengangguran merebak, pasar mengalami stagnasi, dan pergerakan ekonomi mengalami resesi secara merata. Berangkat dari hal inilah kita bisa melihat peran penting diwajibkannya zakat terhadap emas dan perak (termasuk di dalamnya mata uang) yang telah mencapai nishab dan setiap kali memenuhi satu haul, baik emas dan perak itu diinvestasikan ataupun tidak.

Al-Qardhawi mengatakan,

وهو أمثلُ خطَّةٍ عمليَّةٍ للقضاء على حبْسِ النقود واكتنازِها؛ ذلك الداءُ الوَبيلُ الذي حار علماء الاقتصاد في علاجِه، حتى اقترح بعضهم أن تكون النقودُ غيرَ قابلةٍ للاكتناز بأن يحدَّدَ لها تاريخُ إصدارٍ، ومن ثَمَّ تفقِدُ قيمَتَها بعد مُضيِّ مدَّة معيَّنة من الزمن، فتبطُلُ صلاحيتها للادِّخار والكَنْز

“Oleh karena itu, penetapan zakat atas uang (termasuk di dalamnya emas dan perak) merupakan rencana aksi yang terbaik untuk mengeliminasi aktifitas menahan dan menimbun uang. Itulah penyakit kronis yang selalu diupayakan penyembuhannya oleh para pakar ekonomi. Agar tidak lagi dapat ditimbun, sejumlah pakar bahkan merekomendasikan agar uang memiliki tanggal rilis, dimana nilai uang tersebut tidak lagi ada ketika telah melewati masa tertentu. Dengan begitu uang tersebut tidak berguna lagi untuk disimpan dan ditimbun.” [Fiqh az-Zakat, hlm. 242]

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Artikel: Muslim.or.id