Hukum Menghajikan Orang Tua

Menghajikan kedua orang tua tentu merupakan sebuah amal kebajikan dan merupakan salah satu bukti bakti anak kepada keduanya. Tetapi, terkadang ada juga seseorang yang hendak menghajikan kedua orang tuanya, sementara dirinya sendiri belum berhaji. Lantas, bagaimanakah hukum menghajikan orang tua oleh anak yang belum berhaji?

Dalam literatur kitab fikih, apabila seseorang telah mampu untuk berangkat haji, maka disunnahkan baginya untuk segera menunaikan ibadah haji. Tetapi, boleh baginya untuk menundanya, hanya saja ia harus sudah punya niat yang kuat dan rencana untuk menunaikannya di waktu mendatang.

Sebagaimana dalam kitab Al-fiqh Al-manhaji Ala Madzhab Al Imam Al Syafii berikut,

مذهب الشافعي رحمه الله تعالى أن الحج والعمرة لا يجبان على الفور، بل ، بل يصح تأخيرهما لأن العمر كله زمان لأدائهما، لكن بشرط العزم على الفعل في المستقبل، وهذا لا ينافي أنه يُسن أداؤهما عقب الوجوب فوراً مبادرة إلى براءة ذمته، ومسارعة في طاعة ربه،

Artinya : “Menurut pendapat imam Syafii rahimahullahu ta’aala bahwa haji dan umrah tidak wajib dilaksanakan dengan segera, bahkan sah menundanya, karena seluruh umur itu adalah waktu untuk melaksanakan haji dan umrah.

Tetapi (boleh menundanya) dengan syarat adanya tekad yang kuat untuk melaksanakannya di masa yang akan datang. Hal ini tidak menafikan bahwa disunnahkan melaksanakan haji dan umrah dengan segera setelah adanya kewajiban (mampu secara materi, fisik dan keamanan), karena agar ia segera terbebas dari tanggungannya dan bersegera dalam melaksanakan keataan kepada Tuhannya.”

Alasan menunda ibadah haji juga terkadang muncul dari seseorang yang hendak berbakti kepada kedua orangtuanya dengan cara menghajikannya lebih dulu. Perbuatan ini dihukumi makruh karena termasuk dalam mendahulukan orang lain dalam persoalan ibadah.

Dengan kata lain, sebaiknya tindakan mendahulukkan ini dihindari, jika pihak yang memberangkatkan belum menunaikan kewajiban haji tersebut, karena haji adalah ibadah wajib dan termasuk rukun Islam.

Sebagaimana penjelasan Syekh Jalaluddin As-Suyuthi, dalam kitab Al-Asybah wan Nazha`ir, halaman 116 berikut,

اَلْإِيثَارُ فِي الْقُرْبِ مَكْرُوهٌ

Artinya, “Mendahulukan pihak lain dalam persoalan ibadah adalah makruh.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa menunda ibadah oleh seseorang yang hendak berbakti kepada kedua orangtuanya dengan cara menghajikannya lebih dulu dihukumi makruh, karena termasuk dalam mendahulukan orang lain dalam persoalan ibadah.

Dengan kata lain, sebaiknya tindakan mendahulukkan ini dihindari, jika pihak yang memberangkatkan belum menunaikan kewajiban haji tersebut, karena haji adalah ibadah wajib dan termasuk rukun Islam.

Demikian penjelasan mengenai hukum menghajikan orang tua oleh anak yang belum berhaji. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Alasan Kenapa Haji Hanya Diwajibkan Sekali

Ibadah haji merupakan ibadah yang paling didambakan oleh seluruh umat Islam, semuanya berbondong-bondong untuk memenuhi rukun Islam yang nomor 5 ini. Kendati demikian, haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup. Berikut alasan kenapa haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup.

Tak bisa dipungkiri, tidak semua orang mampu melaksanakannya. Ada berbagai faktor yang menghalangi mereka untuk menunaikannya, bahkan untuk satu kali saja, padahal ibadah haji ini sangatlah utama. Dijelaskan:

وَتَقَدَّمَ فِي بَابِ صَلَاةِ النَّفْلِ عَنْ الْقَاضِي حُسَيْنٍ أَنَّهُ أَفْضَلُ الْعِبَادَاتِ لِاشْتِمَالِهِ عَلَى الْمَالِ وَالْبَدَنِ. وَقَالَ الْحَلِيمِيُّ: الْحَجُّ يَجْمَعُ مَعَانِيَ الْعِبَادَاتِ كُلِّهَا، فَمَنْ حَجَّ فَكَأَنَّمَا صَامَ وَصَلَّى وَاعْتَكَفَ وَزَكَّى وَرَابَطَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَغَزَا.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab shalat sunah yang dikutip dari al-Qadi Husain bahwa haji itu adalah ibadah yang afdhal (Paling utama) karena mencakup harta dan badan.

Syekh Al-hulaimy berpendapat bahwasanya haji itu menghimpun seluruh pengertian ibadah, maka orang yang berhaji itu seakan-akan sekaligus melaksanakan shalat, puasa, I’tikaf zakat dan berjuang dijalan Allah. (Syekh Khatib Al-Syirbini, Mugni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfadz al-Minhaj, Jilid II/206).

Alasan Haji hanya Diwajibkan Sekali Seumur Hidup

Lalu apa hikmahnya haji hanya diwajibkan satu kali saja seumur hidup, padahal haji adalah ibadah yang paling utama? Syekh Sulaiman Al-Bujairimi menjelaskan:

قَوْلُهُ: (وَلَا يَجِبُ بِأَصْلِ الشَّرْعِ إلَّا مَرَّةً وَاحِدَةً) فَإِنْ قُلْت: فَلِأَيِّ شَيْءٍ لَمْ تَجِبْ الْعُمْرَةُ وَالْحَجُّ إلَّا مَرَّةً وَاحِدَةً فِي الْعُمْرِ؟ وَلِمَ لَمْ يَتَكَرَّرْ كَالصَّلَوَاتِ وَالصَّوْمِ وَالزَّكَاةِ وَالطَّهَارَةِ؟ فَالْجَوَابُ: إنَّمَا فَعَلَ الْحَقُّ ذَلِكَ رَحْمَةً بِخَلْقِهِ مِنْ حَيْثُ إنَّ رَحْمَتَهُ سَبَقَتْ غَضَبَهُ، فَخَفَّفَ فِيهِمَا لِعِظَمِ الْمَشَقَّةِ فِي فِعْلِهِمَا غَالِبًا، لَا سِيَّمَا مَنْ أَتَى مِنْ مَسِيرَةِ سَنَةٍ؛ بِخِلَافِ الطَّهَارَةِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ وَغَيْرِهَا. وَإِنَّمَا قَالَ بَعْضُ الْأَئِمَّةِ بِاسْتِحْبَابِ الْعُمْرَةِ لَا وُجُوبِهَا لِأَنَّهَا دَاخِلَةٌ فِي أَفْعَالِ الْحَجِّ فَكَانَتْ كَالنَّوَافِلِ مَعَ الْفَرَائِضِ، ثُمَّ إنَّ فِي ذَلِكَ بِشَارَةً عَظِيمَةً لَنَا بِغُفْرَانِ ذُنُوبِنَا السَّابِقَةِ وَاللَّاحِقَةِ إذَا حَجَجْنَا مَرَّةً وَاحِدَةً فِي الْعُمْرِ وَلَوْلَا هَذِهِ الْمَغْفِرَةُ لَكَرَّرَ الْحَقُّ تَعَالَى عَلَيْنَا الْحَجَّ كُلَّ سَنَةٍ مَثَلًا لِيَغْفِرَ لَنَا ذُنُوبَ كُلِّ سَنَةٍ بِذَلِكَ الْحَجِّ، فَافْهَمْ؛ ذَكَرَهُ الْعَلَّامَةُ الشَّعْرَانِيُّ.

“Haji hanya diwajibkan satu kali saja. Jika kau bertanya “mengapa umrah dan haji itu hanya diwajibkan satu kali saja seumur hidup, dan mengapa tidak diperintahkan secara berulang-ulang seperti halnya perintah sholat, puasa, zakat dan bersesuci” Maka aku menjawab “yang demikian adalah justru rahmat atau sayangnya Allah terhadap hambanya, bahkan rahmat-Nya itu mendahului marah-Nya.

Sehingga Allah memberikan keringan dalam perintah berhaji dan umrah, yakni hanya satu kali saja seumur hidup, sebab banyaknya kesulitan (baik berupa kesulitan perjalanan, kesehatan atau keuangan) yang ditemui dalam menunaikannya.

Terlebih ada beberapa orang yang untuk menunaikannya itu butuh pada perjalanan selama 1 tahun (konteks dahulu), lain halnya dengan ibadah bersesuci, sholat, puasa dan lainnya, yang mana cukup mudah untuk mengerjakannya. Hanya saja dalam konteks Umrah, ada beberapa ulama’ yang menganggap bahwasanya hukum umrah itu sunnah, bukan wajib.

Sebab ritualnya umrah ini masuk pada ritual Haji, sehingga seakan-akan keduanya itu seperti sholat wajib dengan shalat sunnah (yang mana Sunnah bisa include ke Wajib). Tentunya ini adalah kabar gembira bagi umat Islam, sebab Haji itu bisa menghapus dosa kita, baik yang lalu maupun yang akan datang.

Dan kalaulah bukan karena penghapusan dosa ini, niscaya Allah akan mewajibkan haji bagi kita di setiap tahunnya, agar supaya dosa kita di setiap tahunnya diampuni dengan sebab melaksanakan haji. Maka fahamilah keterangan ini, yang disebutkan oleh Al-Allamah Al-Sya’rani ”.

(Sulaiman Al-Bujairimi, Tuhfat Al-Habib Ala Syarh Al-Khatib atau yang biasa dikenal dengan judul Hasyiyah Al-Bujairimi Ala Al-Khatib.  II/422)

Hukum Haji Berkali-kali

Lalu bagaimana jika ada orang yang haji berkali-kali?

وَالْحَاصِلُ أَنَّ النُّسُكَ إمَّا فَرْضُ عَيْنٍ عَلَى مَنْ لَمْ يَحُجَّ بِشَرْطِهِ، أَوْ فَرْضُ كِفَايَةٍ لِإِحْيَاءِ الْكَعْبَةِ، أَوْ تَطَوَّعَ وَيُتَصَوَّرُ فِي الْأَرِقَّاءِ وَالصِّبْيَانِ؛ إذْ فَرْضُ الْكِفَايَةِ لَا يُتَوَجَّهُ إلَيْهِمْ شَرْحُ م ر.

“jadi ibadah haji itu bisa dihukumi sebagai fardhu ain (kewajiban individual) dalam konteks orang yang belum pernah haji, yang mana ia telah memenuhi syarat untuk berhaji. Dan dihukumi fardu kifayah (bagi orang yang pernah), agar supaya Ka’bah menjadi syiar.

Atau juga dihukumi Sunnah, bagi para budak dan anak kecil. Dalam konteks mereka, tidaklah bisa dihukumi fardhu kifayah, demikian yang dituturkan oleh Imam Al-Ramli”. (Sulaiman Al-Bujairimi, Tuhfat Al-Habib Ala Syarh Al-Khatib atau yang biasa dikenal dengan judul Hasyiyah Al-Bujairimi Ala Al-Khatib, jilid 2/422)

Jadi boleh berhaji lebih dari 1 kali, bahkan Rasulullah SAW pernah membahas ini. Dijelaskan:

وَلَا يَجِبُ بِأَصْلِ الشَّرْعِ إلَّا مَرَّةً وَاحِدَةً لِأَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمْ يَحُجَّ بَعْدَ فَرْضِ الْحَجِّ إلَّا مَرَّةً وَاحِدَةً وَهِيَ حَجَّةُ الْوَدَاعِ وَلِخَبَرِ مُسْلِمٍ: «أَحَجُّنَا هَذَا لِعَامِنَا أَمْ لِلْأَبَدِ؟ قَالَ: بَلْ لِلْأَبَدِ» وَأَمَّا حَدِيثُ الْبَيْهَقِيّ الْآمِرُ بِالْحَجِّ فِي كُلِّ خَمْسَةِ أَعْوَامٍ فَمَحْمُولٌ عَلَى النَّدْبِ لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «مَنْ حَجَّ حَجَّةً أَدَّى فَرْضَهُ، وَمَنْ حَجَّ ثَانِيَةً دَايَنَ رَبَّهُ، وَمَنْ حَجَّ ثَلَاثَ حِجَجٍ حَرَّمَ اللَّهُ شَعْرَهُ وَبَشَرَهُ عَلَى النَّارِ».

“Haji hanya diwajibkan satu kali saja, berdasarkan fakta bahwasanya Rasulullah SAW itu ketika diwajibkan haji, beliau hanya haji satu kali saja, yakni di haji wada’. Dan juga karena adanya Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Ada salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW “Apakah haji kita ini hanya untuk tahun ini atau untuk seumur hidup?” Syahdan Rasulullah SAW menjawab “Haji itu 1 kali selamanya” Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi yang menjelaskan bahwasanya haji itu 5 tahun sekali, maka ini diarahkan kepada hukum sunnah.

Sebab Rasulullah SAW bersabda “Sesiapa yang berhaji satu kali, maka sungguh ia telah menunaikan kewajibannya. Dan barang siapa yang berhaji 2 kali, maka ia telah mendekatkan diri kepada tuhannya.

Adapun jika ada orang yang berhaji sebanyak 3 kali, niscaya Allah akan haramkan api neraka menyentuh rambut dan kulitnya.  (Syekh Khatib Al-Syirbini, Al-Iqna fi Hall Alfadz Abi Syuja’ I/250)

Demikianlah penjelasan mengenai alasan kenapa haji bagi umat muslim hanya diwajibkan sekali dalam seumur hidup, tidak seperti sholat, puasa dan ibadah lainnya. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Mengenal Istilah Haji Luneg

Bagi warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri yang ingin menunaikan ibadah haji, dikenal istilah Haji Luneg. Haji Luneg merupakan singkatan dari Haji Luar Negeri.

Menurut Konsul KJRI Jeddah Endang Jumali, setiap negara diberikan otoritas untuk mengeluarkan visa haji. Sementara, ada negara-negara terutama negara yang umat Islamnya sedikit, tak menggunakan kuota haji itu. Sementara, di situ ada WNI yang ingin berhaji. Sehingga, WNI itu bisa memakai kuota haji di negara itu.

“Ya, mereka menggunakan kuota negara lain seperti Korea. Walaupun mereka orang kita. Namanya haji luar negeri atau haji luneg,” kata Endang beberapa waktu lalu.

 Soal antrean keberangkatan haji, Endang mengatakan tergantung dari negara di mana kuota tersebut diberikan. Kalau negara yang bukan mayoritas muslim penduduknya umumnya lebih mudah dan cepat antreannya. Namun, kalau negara yang mayoritas muslim bisa lebih lama.

Terkait perlindungan untuk mereka, Endang mengatakan tentu sebagai warga negara mereka tetap dilindungi oleh pemerintah. Karena, mereka datang dengan membawa nama negara.

Perlindungan mereka ada di bawah kekonsuleran. Misalnya, jika paspor mereka hilang atau perlu SPLP maka mereka bisa mengurusnya di KJRI.

Tetapi kalau pelayanan selama haji, mereka ada di bawah satuan Muassasah (penyelenggara haji di Arab Saudi). Dan, masuk sesuai dengan benuanya. “Misalnya kalau mereka datang dari Korea maka mereka masuk ke Muasassah Asia, kalau dari Eropa ya Eropa,” kata Endang.

Sementara soal biaya perjalanan haji mereka, Endang mengatakan hal tersebut tergantung dari travel yang mengurus keberangkatan mereka. “Misalnya daya dapat laporan kalau jamaah haji WNI yang datang dari Korea mereka membayar 4.000 dolar ke travelnya,” kata Endang.

Namun, WNI yang diberikan visa haji harus berangkat dari negara yang mengeluarkan visa haji tersebut. Misalnya, jika WNI mendapatkan visa haji dari Korea, maka keberangkatannya harus dari Korea dan tidak boleh dari Indonesia.

Haji Luneg ini bisa menjadi solusi bagi WNI yang ingin berhaji. Karena, hal ini bisa menjadi solusi ketimbang WNI tersebut harus mendaftar di Tanah Air dengan antrean yang panjang.

“Ya, bisa menjadi solusi. Karena Saudi memberikan kuota terhadap WNI yang tinggal di negara lain. Ya, sebaiknya mendafar,” kata Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Kemenag, Subhan Cholid.

Menurut Subhan, dengan mendaftar di luar negri (luneg), WNI bisa mendapatkan kuota haji dari negara tersebut. Namun, tidak mengurangi atau mengganggu kuota haji yang ada di Indonesia.

IHRAM

Arab Saudi Tetapkan Tanggal Pemesanan Bagi Calon Jamaah Haji Domestik

Otoritas Arab Saudi telah menentukan tanggal yang ditetapkan terkait pemesanan tiket bagi jamaah haji domestik pada musim haji 2022. Hal ini disampaikan langsung oleh Ketua Direksi Dewan Koordinasi Jamaah Haji dalam negeri, Saed Al-Juhani.

“Diharapkan jamaah haji domestik akan dapat memesan paket haji pada awal pekan depan,” tutur Al-Juhani, seperti dilansir Saudi Gazette, Ahad (29/5/2022).

Dia mengungkapkan, ibadah haji tahun ini memiliki tiga paket yang dihadirkan oleh perusahaan haji dalam negeri. Pertama paket Menara Haji di Mina. Kedua ialah paket Deyafah1, bercirikan tenda modern mirip kamar hotel, yang dianggap baru pertama kali muncul pada haji tahun ini.

Sedangkan ketiga adalah paket Deyafah2, yaitu tenda reguler yang dilengkapi dengan semua layanan. Al-Juhani menegaskan bahwa makanan yang akan diberikan kepada jamaah haji domestik, untuk warga dan penduduk, merupakan makanan segar yang sesuai dengan paket yang disetujui oleh Kementerian Haji dan Umrah.

Mekanisme yang sama yang diikuti dalam menyediakan makanan untuk jamaah pada tahun-tahun terakhir, khususnya pada 1440 H, akan diadopsi selama haji tahun ini sehingga akan tersedia prasmanan untuk jemaah dan makanan segar.

Adapun jumlah yang dialokasikan untuk tahun ini sejauh ini, jumlah yang disetujui adalah 150 ribu jamaah haji domestik, baik warga negara maupun penduduk. “Jika ada peningkatan tentu akan diumumkan,” kata Al-Juhani.

Pemerintah Arab Saudi telah membuka pelayanan ibadah haji bagi satu juta orang pada musim haji tahun 1443 Hijriyah/2022 Masehi setelah selama dua tahun menerapkan pembatasan ketat untuk mencegah penularan Covid-19.

Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi menyampaikan bahwa jamaah yang hendak menunaikan ibadah haji ke Makkah tahun ini harus berusia di bawah 65 tahun dan sudah mendapat vaksinasi Covid-19 secara penuh.

Jamaah dari luar negeri tahun ini diperbolehkan menunaikan ibadah haji dengan syarat telah mendapat vaksinasi penuh, menunjukkan hasil negatif tes RT-PCR, dan menerapkan protokol pencegahan penularan Covid-19.

Tahun lalu Arab Saudi membatasi jamaah haji sebanyak 60 ribu orang dari dalam negeri, jauh lebih sedikit dibandingkan rata-rata jamaah haji sebelum masa pandemi Covid-19 yang mencapai 2,5 juta orang.

https://saudigazette.com.sa/article/621106/SAUDI-ARABIA/Domestic-Hajj-packages-expected-to-be-available-next-week

IHRAM

Seruan Tuhannya Manusia untuk Seluruh Manusia (Bag. 5)

Seruan ketujuh: Bencana orang yang berbuat kezaliman akan kembali pada dirinya sendiri, walaupun ia menikmati dunia yang fana ini.

Allah Ta’ala berfirman

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا بَغْيُكُمْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ مَتَاعَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ إِلَيْنَا مَرْجِعُكُمْ فَنُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri. (Hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi. Kemudian kepada Kamilah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Yunus: 23)

Ketika Allah Ta’ala menyelamatkan orang-orang kafir dari bencana yang menyulitkan dan menakutkan, mereka pun melanjutkan kerusakan dan maksiat yang biasa mereka lakukan. Allah menegur mereka atas kelalaian tersebut.

Tak cukupkah keburukan yang pernah menimpa kalian untuk menjadikan kalian hidup dengan ikhlas kepada Allah dan meninggalkan kezaliman pada orang-orang lemah karena kalian tertipu dengan kekuatan dan kebesaran kalian?! Sesungguhnya perbuatan kezaliman kalian itu sebenarnya untuk kalian sendiri, dan akibat buruknya akan kembali kepada kalian!

Kalian memang bisa menikmati kezaliman kalian dalam bentuk kehidupan dunia yang menyenangkan. Namun itu hanya sementara dan akan cepat berlalu dan kemudian kalian akan diberikan hukuman. Kalian akan dikembalikan kepada Kami setelah sedikit senang-senang tersebut dan kalian akan diberitahu tentang segala kejahatan, kezaliman, dan kesenangan batil yang kalian lakukan. Kami akan memberikan balasan atas itu semua. Ketika Allah Ta’ala selamatkan mereka dari kesulitan dan ketakutan, mereka pun kembali melakukan kerusakan dan kemaksiatan di atas muka bumi.

Wahai manusia! Sesungguhnya akibat dari kejahatan kalian akan kembali pada kalian sendiri. Kalian bisa menikmati kehidupan dunia yang akan hilang ini, namun kalian akan kembali kepada Kami. Kami akan beri tahu semua amal kalian dan akan memperhitungkannya.

Seruan kedelapan: Al-Qur’an itu nasihat, obat, petunjuk, dan rahmat bagi orang beriman.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57)

Wahai para rasul, katakan pada manusia bahwa sungguh telah datang pada kalian sebuah kitab yang mencakup segala yang kalian butuhkan. Isinya adalah nasihat kebaikan yang bisa melembutkan hati sehingga seseorang mengerjakan apa yang Allah perintahkan dan meninggalkan apa yang Dia larang. Kitab itu juga menyembuhkan hati dari penyakit kesyirikan, kemunafikan, dan seluruh penyakit. Penyakit yang telah membuat hati terasa sesak dengannya karena menimbulkan ragu dengan keimanan, menimbulkan kejahatan, permusuhan, suka berbuat zalim, dan benci pada kebenaran dan kebaikan.

Dalam Al-Qur’an itu juga ada petunjuk untuk menempuh jalan kebenaran dan keyakinan serta menjauh dari kesesatan dalam keyakinan dan amal perbuatan. Al-Qur’an itu juga rahmat bagi orang-orang beriman yang akan membuahkan petunjuk pada kehidupan mereka dan membuat hati mereka terkait dengan Al-Qur’an. Di antara bentuk rahmat tersebut adalah seseorang menjadi semangat untuk mengerjakan kebaikan dan membantu orang yang kesusahan, serta menahan diri dari kezaliman dan segala bentuk permusuhan dan kejahatan.

Al Quran itu adalah

هُدࣰى وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُؤۡمِنِینَ

Petunjuk dan berita gembira bagi orang beriman.” (QS. An-Naml: 2)

هُدࣰى وَرَحۡمَةࣰ لِّلۡمُحۡسِنِینَ

Petunjuk dan rahmat bagi orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Luqman: 3)

هُدࣰى وَذِكۡرَىٰ لِأُو۟لِی ٱلۡأَلۡبَـٰبِ

Petunjuk dan pengingat bagi orang yang berakal.” (QS. Ghafir: 54)

هُدࣰى وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِینَ

Petunjuk dan berita gembira bagi orang-orang Islam.” (QS. An-Nahl: 102)

Siapa yang mencari petunjuk dengan Al-Qur’an dalam urusan dunia dan akhirat, maka dia akan diberikan petunjuk pada yang lebih benar, lebih lurus, dan lebih baik.

Al-Qur’an disifati sebagai sesuatu yang yang bisa memberikan hidayah, khususnya kepada orang beriman, bertakwa dan berbuat kebaikan karena mereka menerima petunjuk Al-Qur’an dan mengerjakan konsekuensinya. Walaupun sebenarnya Al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh manusia. Namun, orang-orang kafir dan munafik mengganti Al-Qur’an dengan yang lain dalam mencari hidayah. Maka, mereka tak bisa mengambil manfaat Al-Qur’an ketika mereka menelaahnya dan membaca ayat-ayatnya.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلۡ هُوَ لِلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ هُدࣰى وَشِفَاۤءࣱۚ وَٱلَّذِینَ لَا یُؤۡمِنُونَ فِیۤ ءَاذَانِهِمۡ وَقۡرࣱ وَهُوَ عَلَیۡهِمۡ عَمًىۚ 

Katakan wahai Muhammad, Al-Qur’an itu petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang beriman. Namun, orang-orang yang tak beriman, di kuping mereka ada sumbatan, sedang Al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka.” (QS. Fushshilat: 44)

[Bersambung]

***

Penerjemah: Amrullah Akadhinta, S.T.

Sumber: https://muslim.or.id/75458-seruan-tuhannya-manusia-untuk-seluruh-manusia-bag-5.html

Seruan Tuhannya Manusia untuk Seluruh Manusia (Bag. 4)

Baca pembahasan sebelumnya Seruan Tuhannya Manusia untuk Seluruh Manusia (Bag. 3)

Seruan kelima: Di dalam Al-Qur’an ada bukti yang jelas dan cahaya yang terang

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُم بُرْهَانٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُّبِينًا

Wahai manusia, telah datang pada kalian petunjuk dari Tuhan kalian, dan Kami turunkan pada kalian cahaya yang menerangi.” (QS. An-Nisa: 174)

Sungguh telah datang pada kalian -wahai manusia!- bukti yang sangat jelas yang menjelaskan hakikat keimanan dan segala yang kalian butuhkan tentang urusan agama kalian. Semuanya didukung oleh dalil-dalil dan penjelasan. Itulah Sang Nabi yang menjelaskan apa yang dia bawa dengan kehidupannya yang dipenuhi dengan amal serta dakwahnya yang merupakan syariat. Beliau telah menjelaskannya dengan sempurna dan dengan cara yang terbaik. Hal itu juga merupakan bukti pertolongan Allah pada beliau dengan wahyu dan petunjuk-Nya.

Kami juga turunkan pada kalian Kitab yang Kami wahyukan padanya. Kitab itu bagaikan cahaya yang memberi petunjuk pada manusia, menjelaskan segala sesuatu yang diperlukan berupa tauhid kepada Allah Ta’ala dan kekuasaan-Nya. Itulah maksud tertinggi diutusnya seluruh Rasul untuk memberikan petunjuk kalian ke jalan yang lurus dan sampai ke surga yang penuh kenikmatan.

Al-Qur’an ini berisi ilmu orang-orang dahulu dan belakangan serta berita-berita yang benar dan bermanfaat. Ia juga berisi perintah untuk melakukan segala bentuk keadilan dan kebaikan serta larangan dari segala kezaliman dan keburukan. Manusia akan berada dalam kegelapan jika tidak diterangi dengan cahayanya, akan berada dalam bahaya yang besar jika tidak mengamalkan kebaikan yang terdapat di dalamnya.

Seruan keenam: Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan untuk seluruh manusia. Berimanlah pada Allah dan Rasul-Nya serta ikutilah beliau.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ لا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآمِنُواْ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Katakanlah, ‘Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.’” (QS. Al-A’raf: 158)

Katakan kepada seluruh manusia wahai Muhammad! Baik bangsa Arab maupun non-Arab, bahwa aku adalah utusan Allah pada kalian semua, bukan khusus untuk kaumku saja. Katakan juga bahwa hanya Allahlah yang mengatur seluruh urusan langit dan bumi dan seluruh alam semesta, maka hanya Dialah yang berhak disembah, tidak ada yang berhak disembah selain Dia.

Berimanlah pada Allah Yang Maha Esa, wahai sekalian manusia! Berimanlah pada rububiyah-Nya (kekuasaan-Nya) dan uluhiyah-Nya (satu-satunya yang berhak diibadahi). Dialah yang menghidupkan sesuatu yang mustahil hidup. Dia pula yang mematikan sesuatu setelah ia hidup. Satu hal yang dapat disaksikan setiap harinya.

Berimanlah pula pada Rasul-Nya! Nabi yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis) yang Allah utus kepada umat yang juga ummi. Utusan kepada seluruh umat manusia yang mengajarkan mereka Al-Kitab dan hikmah dan membersihkan mereka dari segala khurafat kesyirikan, kebodohan, perpecahan, dan kezaliman. Dengan petunjuknya, kalian akan menjadi umat yang satu dan mempersaudarakan seluruh umat manusia. Para Nabi sebelum beliau -semoga selawat Allah tercurah pada mereka semua-, telah memberikan kabar gembira tentang kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dialah yang menjadi penyempurna petunjuk yang telah diberikan kepada para Rasul tersebut.

Itulah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau beriman pada keesaan Allah (tauhid) dan kalimat-Nya. Kalimat-Nya yang berisi syariat yang Dia turunkan untuk memberikan petunjuk pada makhluk-Nya. Syariat yang diturunkan melalui lisan Rasul-Nya yang merupakan bukti ilmu dan kasih sayang-Nya. Demikian pula kalimat-Nya yang berisi penciptaan yang merupakan bukti dari kehendak-Nya, kekuasaan-Nya, dan hikmah-Nya.

Setelah Allah Ta’ala perintahkan untuk beriman pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah perintahkan pula mereka untuk menempuh jalan beliau, meneladani jejaknya dalam setiap perintah dan larangannya dalam urusan agama. Dengan keimanan dan keteladanan kepada beliau, diharapkan mereka akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

[Bersambung]

***
Penerjemah: Amrullah Akadhinta, ST.

Sumber: https://muslim.or.id/75349-seruan-tuhannya-manusia-untuk-seluruh-manusia-bag-4.html

Nama-Nama Nabi dan Rasul dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (Bag. 2)

Apakah Khidir itu Nama Seorang Nabi atau Seorang Wali?

Terdapat satu masalah penting, yaitu apakah Khidir itu termasuk Nabi atau wali? Terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini.

Pendapat pertama, adalah pendapat yang mengatakan bahwa Khidir itu termasuk Nabi. Ini adalah pendapat mayoritas ulama (Tafsir Al-Qurthubi, 11: 16), juga dipilih oleh Abul ‘Abbas Al-Qurthubi (Al-Mufhim, 6: 209), Abu ‘Abdillah Al-Qurthubi (Tafsir Al-Qurthubi, 11: 16), Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahumullah.

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “(Termasuk perkara) yang kita tidak boleh (berpendapat) abstain adalah penegasan tentang kenabian Khidir.” (Az-Zahr An-Nadhr fi Khabaril Khidr, hal. 162)

Para ulama tersebut berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

فَوَجَدَا عَبْداً مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْماً

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. Al-Kahfi: 65)

Yang dimaksud dengan kata “rahmat” dalam ayat tersebut adalah “kenabian” (an-nubuwwah). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu?” (QS. Az-Zukhruf: 32)

Abu ‘Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “(Yang dimaksud dengan kata) ‘rahmat’ dalam ayat ini adalah an-nubuwwah (kenabian).” (Tafsir Al-Qurthubi, 11: 16)

Para ulama tersebut juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي

Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. (QS. Al-Kahfi: 82)

Ayat ini merupakan dalil tegas yang menunjukkan kenabian Khidir ‘alaihissalam. Dalam ayat ini, Khidir mengingkari perbuatannya berupa membunuh anak kecil dan menenggelamkan kapal itu berasal dari kemauannya sendiri. Akan tetapi, apa yang diperbuat itu hanyalah berasal dari perintah dari Allah Ta’ala. Dan perintah Allah Ta’ala semacam itu hanyalah bersumber dari wahyu, dan bukan sekedar bersumber dari ilham.

Apa yang diperbuat oleh Khidir tersebut juga termasuk dalam ilmu gaib yang tidak mungkin diketahui oleh siapa pun, kecuali Allah Ta’ala semata. Perkara ini termasuk dalam firman Allah Ta’ala,

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَداً إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib. Maka, Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridai-Nya. Maka, sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS. Al-Jin: 26-27)

Abul ‘Abbas Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Yang dzahir (makna yang lebih mendekati, pent.) dari rangkaian kisah Khidir dan juga memperhatikan keadaannya, disertai dalil firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri”, bahwa (Khidir) adalah seorang Nabi yang diberi wahyu berupa taklif (beban syariat) dan hukum-hukum.” (Al-Mufhim, 6: 209)

Abu ‘Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri”,  menunjukkan kenabian Khidir. Bahwa Khidir diberi wahyu berupa taklif dan hukum-hukum (syariat), sebagaimana diwahyukan pula kepada para Nabi ‘alaihimush shalatu wassalam. Akan tetapi, Khidir bukanlah Rasul.” (Tafsir Al-Qurthubi, 11: 28)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Khidir berani membunuh anak kecil tersebut. Dan hal itu tidak mungkin terjadi, kecuali berdasarkan wahyu yang disampaikan kepadanya dari sisi Allah Ta’ala. Ini adalah dalil tersendiri yang menunjukkan kenabian Khidir dan juga bukti nyata tentang kemaksuman Nabi Khidir. Hal ini karena seorang wali tidak boleh berinisiatif membunuh jiwa manusia semata-mata hanya berdasarkan pemikirannya. Karena bisikan yang ada dari dalam hatinya tidaklah maksum. Karena berdasarkan kesepakatan (para ulama, pent.), (bisikan itu) bisa saja salah.”  (Az-Zahr An-Nadhr fi Khabaril Khidr, hal. 162)

Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan, “Di antara dalil yang paling jelas menunjukkan bahwa “rahmat” dan “ilmu laduni” yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada hamba-Nya Khidir adalah melalui jalan kenabian (an-nubuwwah) dan wahyu adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.” Maksudnya, apa yang aku lakukan ini hanyalah berasal dari perintah Allah Ta’ala. Sedangkan perintah Allah Ta’ala hanyalah bisa terwujud melalui jalan wahyu. Karena tidak ada jalan untuk mengetahui perintah dan larangan Allah, kecuali dengan wahyu yang berasal dari Allah Ta’ala. Lebih-lebih membunuh jiwa yang pada asalnya tidak boleh dibunuh dan menenggelamkan kapal milik orang lain dengan melubanginya. “ (Adhwa’ul Bayan, 3: 323)

Jika ada yang bertanya, bisa jadi hal itu didapatkan melalui ilham, dan bukan melalui wahyu? Maka, jawabannya adalah sudah menjadi ketetapan dalam ilmu ushul bahwa ilham yang dimiliki para wali itu tidak boleh dijadikan sebagai dalil atas apapun karena wali itu tidaklah maksum. Juga tidak ada dalil yang menunjukkan bolehnya berdalil dengan ilham. Bahkan, yang ada adalah dalil yang menunjukkan tidak boleh berdalil dengan ilham. (Lihat Adhwaul Bayaan, 3: 323)

Para ulama yang mengatakan bahwa Khidir itu Nabi juga berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْداً ؛ قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْراً ؛ وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْراً ؛ قَالَ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ صَابِراً وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْراً ؛ قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَن شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْراً

“Musa berkata kepada Khidhr, ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ Musa berkata, ‘Insyaallah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata, ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.’ (QS. Al-Kahfi: 66-70)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Seandainya Khidir itu seorang wali dan bukan seorang Nabi, Nabi Musa ‘alaihis salaam tidak mungkin berbicara kepada Khidir (dengan perkataan) semacam itu. Musa juga tidak akan menjawab Khidir dengan jawaban semacam itu. Bahkan, Nabi Musa meminta agar bisa membersamai Khidir untuk bisa mendapatkan ilmu yang Allah khususkan kepada Khidir dan tidak dia dapatkan sebelumnya. Seandainya Khidir itu bukan seorang Nabi, maka dia tidaklah maksum. Dan tidak mungkin bagi Nabi Musa, yang merupakan Nabi dan Rasul yang agung, yang jelas maksum, dan memiliki motivasi besar (untuk mencari ilmu, pent.), untuk mempelajari ilmu dari seorang wali yang tidak maksum.” (Az-Zahr An-Nadhr fi Khabaril Khidr, hal. 30)

Demikian pula kabar dari Khidir bahwa anak kecil yang dia bunuh itu akan tumbuh dewasa dalam kekafiran. Ini termasuk berita gaib yang tidak mungkin diketahui kecuali melalui jalan kenabian dan wahyu.

Pendapat kedua, adalah pendapat yang menyatakan bahwa Khidir itu adalah wali dan bukan Nabi. Di antara ulama yang berpendapat yang kedua ini adalah Abu ‘Ali bin Abu Musa (dari ulama Hanabilah), Abu Bakr Al-Anbari, dan Abul Qasim Al-Qusyairi. (Lihat Az-Zahr An-Nadhr fi Khabaril Khidr, hal. 24)

Dan bisa jadi argumentasi utama mereka adalah al-manaamaat. Dan sebagaimana telah diketahui bahwa al-manaamaat itu bukan hujjah dalam syariat.

Sebagian orang yang meyakini bahwa Khidir adalah seorang wali kemudian menjadikan kisah Khidir ini sebagai alasan bahwa derajat kewalian itu lebih tinggi daripada derajat kenabian. Tentu saja hal ini adalah kekeliruan yang nyata dan telah kami jelaskan sebelumnya di tulisan yang lain di tautan ini.

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Perlu diperhatikan bahwa mayoritas dari mereka mengunggulkan wali di atas Nabi, -menurut persangkaan mereka- baik secara mutlak atau unggul (lebih utama) dari sebagian sisi. Mereka menyangka bahwa dalam kisah Khidir bersama Nabi Musa ‘alaihissalam yang terdapat dalam surat Al-Kahfi adalah dalil yang mendukung pendapat mereka.”  (Az-Zahr An-Nadhr fi Khabaril Khidr, hal. 25)

Berdasarkan penjelasan ini, maka pendapat yang sahih adalah pendapat pertama yang menyatakan bahwa Khidir adalah seorang Nabi berdasarkan dalil-dalil yang telah kami sebutkan. Demikian penjelasan ini, semoga bermanfaat.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/71059-nama-nabi-dan-rasul-dalam-alquran-assunnah-bag-2.html

Nama-Nama Nabi dan Rasul dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (Bag. 1)

Dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menunjukkan sebagian dari nama-nama para Rasul yang Allah Ta’ala. Nama-nama yang disebutkan dalam Al-Qur’an tersebut mencapai dua puluh lima nabi dan rasul. Di antara dalil yang menunjukkan nama nabi dan rasul adalah sebagai berikut.

Dalam satu rangkaian ayat, Allah Ta’ala mengumpulkan delapan belas nabi dan rasul. Allah Ta’ala berfirman,

وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَّن نَّشَاء إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ ؛ وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ كُلاًّ هَدَيْنَا وَنُوحاً هَدَيْنَا مِن قَبْلُ وَمِن ذُرِّيَّتِهِ دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَى وَهَارُونَ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ  ؛ وَزَكَرِيَّا وَيَحْيَى وَعِيسَى وَإِلْيَاسَ كُلٌّ مِّنَ الصَّالِحِينَ ؛ وَإِسْمَاعِيلَ وَالْيَسَعَ وَيُونُسَ وَلُوطاً وَكُلاًّ فضَّلْنَا عَلَى الْعَالَمِينَ

“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada (1) Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dan Kami telah menganugerahkan (2) Ishak dan (3) Yaqub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada (4) Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh) yaitu (5) Daud, (6) Sulaiman, (7) Ayyub, (8) Yusuf, (9) Musa, dan (10) Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan (11) Zakaria, (12) Yahya, (13) ‘Isa, dan (14) Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang salih. Dan (15) Ismail, (16) Alyasa’, (17) Yunus, dan (18) Luth. Masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya).” (QS. Al-An’am: 83-86).

Di dalam surat An-Nisa’, Allah Ta’ala sebutkan tiga belas nabi. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِن بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأَسْبَاطِ وَعِيسَى وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُوراً

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu (1) (Muhammad) sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada (2) Nuh dan nabi-nabi setelahnya. Dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada (3) Ibrahim, (4) Isma’il, (5) Ishak, (6) Ya’qub dan (7) al-asbath (anak cucunya, yaitu Yusuf, pen.) (8) ‘Isa, (9) Ayyub, (10) Yunus, (11) Harun, dan (12) Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada (13) Daud.” (QS. An-Nisa’: 163).

Selebihnya, Allah Ta’ala sebutkan dalam surat yang terpisah,

وَعَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاء كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَاء هَـؤُلاء إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!’” (QS. Al-Baqarah: 31).

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُوداً قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُواْ اللّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـهٍ غَيْرُهُ إِنْ أَنتُمْ إِلاَّ مُفْتَرُونَ

“Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus) saudara mereka, Huud. Dia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Kamu hanyalah mengada-adakan saja.’” (QS. Huud: 50).

وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحاً قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُواْ اللّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـهٍ غَيْرُهُ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh. Dia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.’” (QS. Al-A’raf: 73).

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْباً قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُواْ اللّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـهٍ غَيْرُهُ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Dia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.’” (QS. Al-A’raf: 85).

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِدْرِيسَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقاً نَّبِيّاً

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Qur’an. Sesungguhnya dia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.” (QS. Maryam: 56).

وَإِسْمَاعِيلَ وَإِدْرِيسَ وَذَا الْكِفْلِ كُلٌّ مِّنَ الصَّابِرِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris, dan Dzulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Al-Anbiya’: 85).

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ

“Muhammad itu adalah utusan Allah” (QS. Al-Fath: 29).

Berdasarkan ayat-ayat di atas, nama Nabi dan Rasul yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah: (1) Adam; (2) Nuh; (3) Ibrahim; (4) Isma’il; (5) Ishaq; (6) Ya’qub; (7) Dawud; (8) Sulaiman; (9) Ayyub; (10) Yusuf; (11) Musa; (12) Harun; (13) Zakariya; (14) Yahya; (15) Isa; (16) Ilyas; (17) Alyasa’; (18) Idris; (19) Yunus; (20) Luth; (21) Hud; (22) Shalih; (23) Syu’aib; (24) Dzulkifli; dan (25) Muhammad ‘Alihimus shalaatu was salaam.

Yang dimaksud dengan “al-asbath” (sebagaimana yang disebutkan dalam surat An-Nisa’ ayat 163) adalah Nabi dari anak keturunan Ya’qub ‘alaihis salaam (lihat Tafsir Ath-Thabari, 3: 109).

Perlu dicatat bahwa para Nabi itu jumlahnya sangatlah banyak. Tidak terdapat dalil yang sahih yang menunjukkan jumlah yang pasti [1]. Oleh karena itu, wajib beriman kepada mereka seluruhnya tanpa membatasi jumlah mereka dengan angka atau bilangan tertentu.

Adapun jumlah 25 nama yang tadi disebutkan, itu adalah nama-nama yang Allah Ta’ala sebutkan atau ceritakan dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala memang menyebutkan nama sebagian mereka di dalam Al-Qur’an, namun tidak menceritakan sebagian besar dari mereka yang lain. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ مِنْهُم مَّن قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُم مَّن لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ

“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (QS. Al-Mu’min: 78).

Saudara-saudara Yusuf bukanlah Nabi

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Tidaklah diketahui dari Bani Israil (adanya nabi) sebelum Musa kecuali Yusuf. Di antara yang menguatkan  hal tersebut adalah ketika Allah Ta’ala menyebutkan para nabi dari keturunan Ibrahim, Allah Ta’ala mengatakan,

وَمِن ذُرِّيَّتِهِ دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَى وَهَارُونَ

‘Dan kepada sebagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun’ (QS. Al-An’am: 84).

Maka disebutkanlah Yusuf dan yang bersamanya, dan tidak disebutkan al-asbath. Seandainya saudara-saudara Yusuf adalah Nabi sebagaimana kenabian Yusuf, tentu akan ikut disebutkan bersamanya” (Jaami’ul Masaail, 3: 298).

Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa tidak terdapat dalil yang menunjukkan kenabian saudara-saudara Yusuf” (Tafsir Ibnu Katsir, 4: 327).

Tambahan dari dalil As-Sunnah

Terdapat tambahan dari yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu Yusya’ bin Nun. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

غَزَا نَبِيٌّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ، فَقَالَ لِقَوْمِهِ: لاَ يَتْبَعْنِي رَجُلٌ مَلَكَ بُضْعَ امْرَأَةٍ، وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَبْنِيَ بِهَا؟ وَلَمَّا يَبْنِ بِهَا، وَلاَ أَحَدٌ بَنَى بُيُوتًا وَلَمْ يَرْفَعْ سُقُوفَهَا، وَلاَ أَحَدٌ اشْتَرَى غَنَمًا أَوْ خَلِفَاتٍ وَهُوَ يَنْتَظِرُ وِلاَدَهَا، فَغَزَا فَدَنَا مِنَ القَرْيَةِ صَلاَةَ العَصْرِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ، فَقَالَ لِلشَّمْسِ: إِنَّكِ مَأْمُورَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ اللَّهُمَّ احْبِسْهَا عَلَيْنَا، فَحُبِسَتْ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَجَمَعَ الغَنَائِمَ، فَجَاءَتْ يَعْنِي النَّارَ لِتَأْكُلَهَا، فَلَمْ تَطْعَمْهَا فَقَالَ: إِنَّ فِيكُمْ غُلُولًا، فَلْيُبَايِعْنِي مِنْ كُلِّ قَبِيلَةٍ رَجُلٌ، فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلٍ بِيَدِهِ، فَقَالَ: فِيكُمُ الغُلُولُ، فَلْيُبَايِعْنِي قَبِيلَتُكَ، فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ بِيَدِهِ، فَقَالَ: فِيكُمُ الغُلُولُ، فَجَاءُوا بِرَأْسٍ مِثْلِ رَأْسِ بَقَرَةٍ مِنَ الذَّهَبِ، فَوَضَعُوهَا، فَجَاءَتِ النَّارُ، فَأَكَلَتْهَا ثُمَّ أَحَلَّ اللَّهُ لَنَا الغَنَائِمَ رَأَى ضَعْفَنَا، وَعَجْزَنَا فَأَحَلَّهَا لَنَا

“Ada seorang Nabi di antara para nabi yang berperang lalu berkata kepada kaumnya, ‘Janganlah mengikuti aku seseorang yang baru saja menikahi wanita sedangkan dia hendak menyetubuhinya karena dia belum lagi menyetubuhinya (sejak malam pertama); dan jangan pula seseorang yang membangun rumah-rumah sedang dia belum memasang atap-atapnya; dan jangan pula seseorang yang membeli seekor kambing atau seekor unta yang bunting sedang dia menanti-nanti hewan itu beranak.’

Maka Nabi tersebut berperang dan ketika sudah hampir mendekati suatu kampung, datanglah waktu salat Asar atau sekitar waktu itu. lalu Nabi itu berkata kepada matahari, ‘Kamu adalah hamba yang diperintah begitu juga aku hamba yang diperintah. Ya Allah tahanlah matahari ini untuk kami.’ Maka matahari itu tertahan (berhenti beredar) hingga Allah memberikan kemenangan kepada Nabi tersebut. Kemudian Nabi tersebut mengumpulkan ghanimah, lalu tak lama kemudian datanglah api untuk memakan (menghanguskannya), namun api itu tidak dapat memakannya.

Nabi tersebut berkata, ‘Sungguh di antara kalian ada yang berkhiyanat (mencuri ghanimah). Untuk itu, hendaklah dari setiap suku ada seorang yang berbaiat kepadaku.’ Maka ada tangan seorang laki-laki yang melekat (berjabatan tangan) dengan tangan Nabi tersebut. Lalu Nabi tersebut berkata, ‘Di kalangan sukumu ada orang yang mencuri ghanimah, maka hendaklah suku kamu berbaiat kepadaku.’ Maka tangan dua atau tiga orang laki-laki suku itu berjabatan tangan dengan tangan Nabi tersebut, lalu Nabi tersebut berkata, ‘Di kalangan sukumu ada orang yang mencuri ghanimah.’

Mereka datang dengan membawa emas sebesar kepala sapi lalu meletakkannya. Kemudian datanglah api lalu menghanguskannya. Kemudian Allah menghalalkan ghanimah untuk kita karena Allah melihat kelemahan dan ketidakmampuan kita sehingga Dia menghalalkannya untuk kita” (HR. Bukhari no. 3124).

Nama Nabi tersebut adalah Yusya’ bin Nun. Dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الشَّمْسَ لَمْ تُحْبَسْ عَلَى بَشَرٍ إِلَّا لِيُوشَعَ لَيَالِيَ سَارَ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ

“Sesungguhnya matahari tidaklah ditahan untuk seorang manusia, kecuali untuk Yusya’ [ada saat dia berjalan pada malam hari menuju Baitul Maqdis]” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad, 14: 65, no. 8315. Dinilai sahih oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath 6: 221) [2].

Di seri berikutnya, akan kami bahas apakah Khidir itu seorang Nabi ataukah bukan? Semoga Allah Ta’ala mudahkan.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/70311-nama-nabi-dan-rasul-dalam-alquran-assunnah-bag-1.html

Agama Para Rasul Itu Satu

Para rasul seluruhnya diutus dengan membawa agama Islam. Islam yang dimaksud di sini adalah beribadah kepada Allah Ta’ala semata dan tidak berbuat kemusyrikan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 25)

Qatadah mengatakan menafsirkan ayat ini,

أرسلت الرسل بالإخلاص والتوحيد، لا يقبل منهم “قال أبو جعفر: أظنه أنا قال”: عمل حتى يقولوه ويقرّوا به، والشرائع مختلفة، في التوراة شريعة، وفي الإنجيل شريعة، وفي القرآن شريعة، حلال وحرام، وهذا كله في الإخلاص لله والتوحيد له.

“Seluruh Rasul diutus dengan membawa ajaran ikhlas dan tauhid. Tidak diterima dari mereka (Abu Ja’far mengatakan, “Saya menyangka beliau (Qatadah) yang mengatakan.”) sebuah amalan sampai mereka mengatakan dan menetapkannya (ikhlas dan tauhid). Syariat itu bermacam-macam, di dalam kitab Taurat ada syariat, di dalam kitab Injil ada syariat, di dalam Al-Qur’an ada syariat, yaitu halal dan haram. Itu semuanya dalam rangka mewujudkan ikhlas untuk Allah dan mentauhidkan-Nya.” (Tafsir Ath-Thabari, 18: 427)

إِذْ جَاءتْهُمُ الرُّسُلُ مِن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ قَالُوا لَوْ شَاء رَبُّنَا لَأَنزَلَ مَلَائِكَةً فَإِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ

“Ketika para rasul datang kepada mereka dari depan dan belakang mereka (dengan menyerukan), “Janganlah kamu menyembah selain Allah.” Mereka menjawab, “Kalau Tuhan kami menghendaki tentu Dia akan menurunkan malaikat-malaikat-Nya, maka sesungguhnya kami kafir kepada wahyu yang kamu diutus membawanya.” (QS. Fushilat [41]: 14)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Yang Allah Ta’ala turunkan adalah agama yang satu, yang disepakati oleh kitab-kitab dan juga para rasul. Mereka bersepakat di atas pokok-pokok agama dan kaidah-kaidah syariat, meskipun rincian syariat dan manhaj mereka bermacam-macam, sebagaimana ada nasikh dan mansukh (hukum yang datang setelahnya menghapus hukum sebelumnya, pent.). Jadi, meskipun semua syariat itu sama (mirip), bagaikan kitab suci yang satu.“ (Al-Jawaab Ash-Shahiih, 2: 439)

Agama Islam adalah agama para Rasul seluruhnya

Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Nuh ‘alaihis salaam,

فَإِن تَوَلَّيْتُمْ فَمَا سَأَلْتُكُم مِّنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللّهِ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikit pun darimu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya).” (QS. Yunus [10]: 72)

Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam,

وَمَن يَرْغَبُ عَن مِّلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلاَّ مَن سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَإِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلاَ تَمُوتُنَّ إَلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri. Dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang salih. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab, “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata), “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (QS. Al-Baqarah [2]: 130-132)

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُواْ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerahkan diri kepada Allah.” (QS. Al-Maidah [5]: 44)

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالَ مُوسَى يَا قَوْمِ إِن كُنتُمْ آمَنتُم بِاللّهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّسْلِمِينَ

“Musa berkata, “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri.” (QS. Yunus [10]: 84)

Islam dalam makna sempit (khusus) dan luas

Terdapat perselisihan berkaitan dengan umat Nabi Isa dan Nabi ‘Isa, apakah mereka bisa disebut sebagai “muslim” ataukah tidak?

Perselisihan seperti ini pada hakikatnya hanyalah perbedaan dalam cara mengungkapkan saja. Islam dengan makna yang khusus, yaitu syariat yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hanya dimiliki oleh umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Ketika pada zaman ini disebutkan kata “Islam” saja, tanpa ada tambahan keterangan apa pun, maka inilah Islam yang dimaksud.

Adapun Islam juga memiliki makna yang luas (makna umum), yang mencakup seluruh syariat yang dibawa oleh Nabi dan Rasul. Ini adalah Islam yang dimiliki oleh semua umat terdahulu yang mengikuti ajaran Nabi dan Rasul yang diutus kepada mereka.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan para Nabi bahwa mereka semua itu bersaudara, bapak mereka satu, yaitu agama Islam.

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

وَالْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلَّاتٍ أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ

“Dan para nabi adalah bersaudara (dari keturunan) satu ayah dengan ibu yang berbeda, sedangkan agama mereka satu.“ (HR. Bukhari no. 3443)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan agama para Nabi yang mereka sepakati, yaitu agama tauhid, dengan bapak yang satu. (Agama tauhid) itu adalah beribadah kepada Allah Ta’ala semata, tidak mempersekutukan-Nya, beriman kepada-Nya, kepada malaikat, kitab, rasul, dan perjumpaan dengan-Nya. (Disebut dengan bapak yang satu) karena semua berkumpul kepadanya, yaitu agama yang disyariatkan kepada seluruh Nabi. Allah Ta’ala berfirman,

شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحاً وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ

“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (QS. Asy-Syuura [42]: 13)

Al-Bukhari rahimahullah mengatakan, “Bab dalil-dalil yang menunjukkan bahwa agama para Nabi itu satu.” Kemudian beliau menyebutkan hadis di atas.

Inilah agama Islam yang diberitakan oleh Allah Ta’ala sebagai agama para Nabi dan Rasul, sejak Rasul pertama yaitu Nuh ‘alaihis salaam, sampai Rasul terakhir yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Agama tersebut seperti kedudukan seorang bapak yang satu.

Adapun syariat amal-amal yang diperintahkan bisa jadi berbeda-beda. Hal ini seperti ibu yang berbeda yang dimiliki oleh satu suami (ayah). Sebagaimana isi ajaran syariat yang bermacam-macam itu dari agama yang satu adalah sesuatu yang disepakati.“ (Badaa’i Al-Fawaaid, 4: 167)

[Selesai]

***

@Rumah Kasongan, 30 Rajab 1442/14 Maret 2021

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/61640-agama-para-rasul-itu-satu.html

Perbedaan antara Nabi dan Rasul

Adakah perbedaan antara nabi dan rasul?

Ulama sepakat tentang adanya perbedaan antara nabi dan rasul dari sisi makna, yaitu bahwa setiap rasul itu nabi, akan tetapi tidak sebaliknya, tidak setiap nabi itu rasul. Sehingga, “ar-risalah” (kerasulan) itu lebih umum dibandingkan “an-nubuwwah” (kenabian) jika dilihat dari sisi makna, akan tetapi lebih khusus jika dilihat dari sisi orangnya (pemiliknya). Dengan kata lain, “an-nubuwwah” (kenabian) itu bagian dari “ar-risalah” (kerasulan), namun tidak sebaliknya.

Di antara dalil yang menunjukkan adanya perbedaan antara nabi dan rasul adalah firman Allah Ta’ala,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi.” (QS. Al-Haj: 52)

Ayat ini menunjukkan bahwa rasul itu berbeda dengan nabi. Oleh karena itu, Allah Ta’ala gandengkan antara keduanya dengan huruf ‘athaf (kata sambung) الواو  yang berarti “dan”. Dan hukum asal penggandengan semacam ini adalah adanya perbedaan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مُوسَى إِنَّهُ كَانَ مُخْلَصاً وَكَانَ رَسُولاً نَّبِيّاً

Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam Al-Kitab (Al-Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang dipilih dan seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam: 51)

Allah Ta’ala menyifati Musa ‘alaihis salam bahwa beliau adalah rasul dan nabi. Ketika kedua kata tersebut diulang, hal itu menunjukkan adanya perbedaan makna di antara keduanya.

Yang menyelisihi kesepakatan ulama dalam hal ini adalah dari golongan Mu’tazilah, karena mereka tidak membedakan antara nabi dan rasul. Al-Qadhi Abdul Jabbar Al-Mu’tazili mengatakan, “Ketahuilah bahwa tidak ada perbedaan istilah antara rasul dan nabi.” (Syarh Al-Ushuul Al-Khomsah, hal. 567)

Akan tetapi, Mu’tazilah sendiri tidak satu kata dalam masalah ini. Hal ini karena Az-Zamakhsyari Al-Mu’tazili menyelisihi pendapat Mu’tazilah. Ketika membahas firman Allah Ta’ala,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ

Az-Zamakhsyari mengatakan, “مِن رَّسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ “ adalah dalil adanya perbedaan antara rasul dan nabi.” (Al-Kasyaf, 3: 164)

Jika memang ada perbedaan antara nabi dan rasul, lalu apakah perbedaannya?

Setelah bersepakat bahwa nabi dan rasul itu memiliki perbedaan makna, para ulama kemudian berselisih pendapat tentang perbedaan makna antara nabi dan rasul.

Pendapat pertama

Pendapat ini mengatakan bahwa rasul adalah yang mendapatkan wahyu dan diperintahkan untuk menyampaikan kepada umatnya. Sedangkan nabi itu mendapatkan wahyu, namun tidak diperintahkan untuk disampaikan kepada umatnya.

Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafi rahimahullah berkata, “Para ulama menyebutkan perbedaan-perbedaan antara Nabi dan Rasul. Pendapat yang paling bagus adalah bahwa siapa saja yang mendapatkan berita dari langit (wahyu), jika diperintahkan untuk disampaikan kepada orang lain, maka dia adalah nabi sekaligus rasul. Akan tetapi, jika tidak diperintahkan untuk disampaikan kepada orang lain, maka dia nabi, namun bukan rasul.” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 158)

Namun, pendapat pertama ini bisa dibantah dengan firman Allah Ta’ala,

وَإِذَ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ

Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu), ‘Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya.’” (QS. Ali Imran: 187)

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengambil janji dari orang-orang Yahudi dan Nasrani melalui perantaraan nabinya masing-masing untuk menjelaskan ajaran wahyu yang mereka terima kepada manusia. Jika mereka saja diambil janji semacam itu, lalu bagaimana lagi dengan para nabi yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan mereka?

Selain itu, makna dari “nabi” sendiri adalah “memberitakan dari Allah Ta’ala.” (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 12: 80)

Sehingga, bagaimana mungkin mereka tidak menyampaikan wahyu yang mereka terima kepada manusia?

Pendapat kedua

Pendapat ini mengatakan bahwa rasul itu diutus kepada manusia melalui perantaraan Jibril ‘alaihis salam kepadanya dalam kondisi sadar (terjaga). Adapun nabi itu jika mendapatkan kenabian dalam bentuk ilham atau melalui mimpi. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 12: 80)

Pendapat ketiga

Pendapat ini mengatakan bahwa rasul itu jika diutus dengan membawa syariat yang baru. Adapun nabi jika diutus dengan membawa syariat sebelumnya. Pendapat ini bisa dibantah bahwa bukanlah syarat seorang rasul itu harus membawa syariat yang baru. Contohnya, Nabi Dawud dan Sulaiman ‘alaihimas salam itu keduanya adalah rasul, namun mereka mengikuti syariat Taurat. (Lihat An-Nubuwwah, 2: 863)

Pendapat keempat

Rasul itu diutus kepada umat yang menyelisihi atau menentangnya. Sedangkan nabi diutus kepada umat yang menyambut dakwahnya dan tidak menentangnya. Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. (Lihat An-Nubuwwah, 2: 857)

Pendapat kelima

Rasul adalah yang diturunkan kitab kepadanya, juga syariat yang berdiri sendiri, disertai dengan mukjizat yang menunjukkan kerasulannya. Adapun nabi, tidak diturunkan kitab kepadanya dan hanyalah diminta untuk berdakwah kepada manusia untuk mengikuti syariat rasul sebelumnya. Pendapat ini dinyatakan oleh Ali bin Sulthan Al-Mula Al-Harawi Al-Qari dalam kitabnya, Mirqatul Mafatih Syarh Misykaat Al-Mashabih (9: 3669), sebagaimana disebutkan oleh Asy-Syinqithi rahimahullah dalam Adhwaul Bayaan (5: 290)

Pendapat ini bisa dibantah sebagaimana bantahan atas pendapat ketiga di atas. Selain itu, tanda kenabian itu tidak hanya terbatas pada ada tidaknya mukjizat.

Pendapat terkuat

Dari berbagai pendapat di atas, pendapat yang paling kuat adalah pendapat keempat. Yaitu, rasul adalah orang yang diutus kepada umatnya yang menentang dakwahnya. Sedangkan nabi adalah orang yang diutus kepada umat yang tidak menentang dakwahnya. Di antara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah hadis tentang syafaat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersada,

فَيَأْتُونَ نُوحًا فَيَقُولُونَ: يَا نُوحُ، إِنَّكَ أَنْتَ أَوَّلُ الرُّسُلِ إِلَى أَهْلِ الأَرْضِ

Mereka pun mendatangi Nuh, dan berkata, ‘Wahai Nuh, sesunggguhnya Engkau adalah rasul pertama bagi manusia.’” (HR. Bukhari no. 4712)

Dalam hadis di atas, Nuh ‘alaihis salam disebut sebagai rasul pertama. Nabi Nuh ‘alaihis salam diutus kepada umat yang menentang dakwah beliau. Adapun sebelumnya, seperti Adam ‘alaihis salam, beliau adalah seorang nabi, dan bukan rasul. Nabi Adam mendapatkan wahyu, melaksanakan wahyu tersebut, dan juga memerintahkan kaumnya yang hidup bersama dengannya untuk melaksanakannya, karena mereka semua beriman dengan kenabian Adam ‘alaihi salam. Wallahu Ta’ala a’lam.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/75191-perbedaan-antara-nabi-dan-rasul.html