Mengonsumsi Obat Kuat dalam Tinjauan Hukum Islam

Melakukan hubungan seksual merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan berumah tangga. Hubungan intim sejatinya akan membuat rumah tangga kian harmonis. Pasalnya, itu  termasuk dalam kebutuhan zahir dan batin bagi pasangan suami istri. Tidak salah kemudian, pelbagai cara dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah untuk menggapai kepuasan seksual.

Dalam berhubungan seksual—sebagai suami—, ia bertugas di ranjang untuk memberikan kepuasan hasrat seksual bagi istrinya. Sudah tak rahasia lagi, dalam berhubungan ranjang si istri harus sampai klimaks atau orgasme. Bila tidak akan, akan membuat pasangan perempuan sedih. Dan emosinya tak terkontrol. Murung.  Dan berpikiran yang tidak-tidak.

Durasi dan ukuran alat vital penting dalam hubungan intim. Pasalnya, banyak perselisihan sebab suami mengalami ejekulasi dini. Tak sedikit istri yang selingkuh. Musababnya, pasangannya gagal dalam memberikan kebutuhan ranjangnya. Untuk itu, bagi pasangan penting untuk memperhatikan durasi dalam bercinta. Pun sama pentingnya memperhatikan ukuran vital.

Untuk itu, demi memuaskan pasangan terkadang suami mengosumsi pil kuat. Adapun obat itu untuk menunjukkan keperkasaan dan kejantanan suami di depan istri. Di samping itu, tentunya untuk memperlama durasi dan menegangkan Mr.P suami. Agar ibadah ranjang kian khusuk.

Nah dalam Islam, bagaimana hukum mengosumsi obat kuat dalam tinjauan syariat? Apakah itu sesuatu yang diperbolehkan? Atau sesuatu yang terlarang?

Menurut Syekh Abdul Hamid al Syarwani dalam Kitab Hawasyi Syarwani Tuhfatul Muhtaj bi Syarhi al Minhaj, bahwa sunat hukumnya menggunakan obat kuat ketika bersetubuh dengan istri. Namun dengan cacatan, penggunaan obat kuat itu harus sesuai dengan peraturan dokter. Pasalnya, bila tak berdasarkan resep dokter, dikhawatirkan menimbulkan efek negatif.  Tak dibenarkan obat kuat yang belum ada izin edarnya.

Selain itu, Syekh Abdul Hamid Syarwani mengatakan—alasan kesunahan meminum obat kuat— sebab tujuan dari penggunaan obat kuat tersebut agar menimbulkan keharmonisan dalam rumah tangga suami dan istri. Lebih lagi, dengan mengosumsi obat kuat itu akan mempermudah mendapatkan keturunan. Inilah tujuan yang dibenarkan dalam mengkomsumsi obat kuat.

Syekh Syarwani dalam kitab Hasiyah Syarwani, jilid VII  halaman 217 mengatakan;

و يندب التقوي له بادوية مباحة مع رعاية القوانين الطبية و مع قصد صالح كعفة او نسل لانه وسيلة لمحبوب فليكن محبوبا و كثيرون يخطئون ذلك فيتولد منه امور ضارة جدا

Artinya; Hukumnya sunah memakai obat kuat yang dibolehkan (ada izin edar) beserta memperhatikan pelbagai aturan medis (baca; dokter) dan juga pemakaian obat kuat tersebut dengan tujuan baik, seperti menjaga keharmonisan rumah tangga atau tujuan untuk memperoleh keturunan. Karena meminum obat kuat itu merupakan alternatif untuk dicintai, maka seyogianya suami mencintai istrinya. Akan tetapi banyak manusia yang salah dalam pemakaiannya dan itu menimbulkan bahaya yang sangat besar.

Sementara itu dalam kitab Jāmi’ul Ahkāmi, Jilid III, halaman 124, memfatwakan boleh hukumnya suami menggunakan obat kuat sebelum melaksanakan hubungan seksual. Kebolehan itu bila seoarang suami bertujuan untuk menyenangkan si istri. Dan juga memberikan kenikmatan seksual bagi si istri.

وان رأى الرجل من نفسه عجزا عن اقامة حقها في مضطجعها اخذا من الادوية التي تزيد في باهه وتقوي شهوته حتى يعفها. اھ

Artinya: Jika seorang suami melihat/ merasa dirinya lemah dalam menunaikan hak istrinya dalam melaksanakan hubungan seksual, meminum ia obat yang mampu meningkatkan harga dirinya dan menguatkan gairahnya, sehingga ia menyenangkan istrinya.

Demikianlah mengosumsi pil persangsang dalam hubungan seksual tinjauan hukum Islam. Semoga bermanfaat. 

BINCANG SYARIAH

Tentang Islam Wasathiyah, Aset Unik Indonesia di Tengah Isu Global

Islam wasathiyah adalah aset unik muslim Indonesia di tengah isu global. Hal ini dikatakan Duta Besar RI untuk Jerman HE Arief Havas Oegroseno dalam acara Ngaji Kebangsaan Bersama PCINU Jerman pada Sabtu (28/8/2021).

“Di tengah persoalan umat Islam yang terjadi saat ini maka konsep Islam Wasathiyah menjadi semakin relevan. Sejalan dengan prinsip politik luar negeri Indonesia bebas aktif,” tulis Arief dalam rilis yang dikeluarkan Pengurus Cabang Istimewa NU Jerman.

Dikutip dari situs MUI, wasathiyah dalam Islam bertumpu pada tauhid sebagai dasar ajaran Islam dan penegakan keseimbangan. Proses penegakan mencakup penciptaan dan kesatuan dari segala lingkaran kesadaran manusia.

Syarat untuk merealisasikan sikap wasathiyah adalah akidah dan toleransi. Sedangkan ciri wasathiyah adalah sikap realistis, karena Islam wasathiyah berada di antara idealis dan kenyataan.

“Islam memiliki cita-cita yang tinggi dan ideal untuk menyejahterakan umat di dunia dan akhirat. Cita-citanya yang melangit, tapi ketika di hadapkan pada realitas, maka bersedia untuk turun ke bawah,” tulis MUI.

Wakil Ketua PBNU 2010-2015 dan Wakil Ketua Badan Intelijen Negara 2001 Dr (HC) KH As’ad Said Ali mengatakan, Islam wasathiyah memiliki landasan yang kuat di Indonesia. Landasan ini mencakup teologis, sosiologis, dan historis.

“Nilai-nilai moderat, keadilan, kebebasan, keberagaman dalam Islam Wasathiyah mampu menciptakan Islam yang transformatif, lentur,luwes, sehingga mampu mengambil nilai positif perubahan sekaligus yang lama,” ujar KH As’ad.

Dengan kemampuan menyelaraskan teori dan praktek, idealis dan realis, serta berdiri tegak dan seimbang di antara dua kutub maka Islam Wasathiyah tidak hanya cocok untuk Indonesia. Konsep ini bisa jadi jawaban persoalan muslim di kawasan Timur Tengah, Eropa, Asia Selatan, persaingan antara Tiongkok-Amerika, dan wilayah konflik.

HIKMAH DETIK

Pelajaran dari Wanita Pelit

DALAM beberapa kitab tazkiyatun nafs, seperti Tanbiihul Ghaafiliin, Al-Jauharul Mauhuub wa Munabbihatul Quluub, dan Al-Mawaaidz al-‘Ushfuuriyyah, dicantumkan sebuah kisah ganjaran yang diberikan Allah Subhanahu Wata’ala kepada seorang wanita yang pelit bersedekah saat ia hidup di dunia. Inilah petikan kisahnya.

Suatu hari datang kepada Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) seorang wanita dengan tangan kanan yang tidak berfungsi (lumpuh).

“Ya Rasul, berdoalah kepada Allah untuk tanganku ini agar bisa berfungsi kembali seperti semula,” pintanya kepada Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم).

“Kenapa tanganmu bisa seperti itu?” tanya Rasulullah kembali.

Lalu diceritakan wanita tersebut apa yang terjadi dengan dirinya.

“Saya bermimpi seakan kiamat telah terjadi. Neraka jahannam telah menyala dan surga telah terhidang. Di dalam neraka terdapat beberapa lembah. Kulihat ibuku berada di salah satu lembah tersebut. Di tangan kanannya terdapat lemak dan di tangan kirinya terdapat lap kecil yang menghindarkan tangannya dari terkaman api neraka.”

“Mengapa ibu bisa berada di lembah tersebut?” Bukankah ibu seorang yang taat kepada Allah dan Ayah selalu ridha dan sayang terhadap ibu?” tanyaku kepada ibuku.

“Anakku, semasa di dunia ibu pelit. Di sinilah tempat ibu.”

“Lalu apa maksudnya lemak dan kain yang menempel di tangan ibu?”

“Ini adalah balasan sedekah ibu saat masih di dunia. Selama hidup, ibu tidak pernah bersedekah kecuali lemak dan kain lap. Dua benda inilah yang melindungi tangan ibu dari sengatan api neraka.”

Aku pun bertanya kembali, “Ayah di mana, Bu?”

“Ayahmu dermawan. Tentulah ia sedang berada di surga di tempat orang-orang yang dermawan.”

Aku bergegas ke Surga untuk menemui ayahku. Kulihat ayahku sedang berdiri di dekat telagamu, ya Rasul. Ia sedang memberi minum manusia, menerima gelas dari tangan Ali. Ali dari Utsman. Utsman dari Umar. Umar dari Abu bakar. Abu Bakar dari tanganmu, ya Rasul.

“Wahai Ayah! Mengapa ibuku yang taat kepada Allah dan patuh dengan Ayah tega ayah biar berada di salah satu lembah di neraka? Sedangkan Ayah sibuk memberi minum manusia dari telaga Rasulullah. Ayah, ibu haus di neraka sana. Berikanlah ia seteguk air saja,” pintaku kepada Ayah.

“Wahai anakku, ibumu itu berada di tempat orang yang pelit dan orang yang berdosa. Allah mengharamkan air telaga ini diberikan kepada orang-orang yang pelit dan orang-orang yang berdosa.” Ayah menolak untuk memberikannya.

Aku nekad mengambilnya segelas, untuk diminumkan kepada ibuku. Ketika ibuku sedang minum, kudengar suara, “Semoga Allah melumpuhkan tanganmu karena kamu datang memberi minum kepada orang yang pelit dari telaga Muhammad.”

Aku terbangun. Dan kulihat tanganku menjadi lumpuh.

Oleh: H. Rahmat Hidayat Nasution, Lc

HIDAYATULLAH

Hukum Memberikan Pakaian Bekas, Apakah Boleh?

Ketika terjadi bencana di suatu daerah, terkadang kita melakukan donasi dengan memberikan pakaian bekas yang masih layak pakai. Namun hal ini oleh sebagian orang dianggap kurang baik. Jika hendak berdonasi, kita dituntut untuk memberikan pakaian yang masih baru, bukan bekas. Sebenarnya, bagaimana hukum memberikan pakaian bekas yang masih layak pakai kepada orang yang membutuhkan, apakah boleh?

Memberikan pakaian bekas yang masih layak pakai hukumnya boleh. Tidak masalah kita berdonasi pakaian bekas yang masih layak pakai kepada orang yang membutuhkan. Nabi Saw sendiri sering memberikan pakaian beliau kepada sahabatnya, dan banyak juga di antara sahabat Nabi Saw yang memberikan pakaian mereka kepada orang lain.

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi Saw pernah menyuruh Ali untuk memberikan tirai yang sudah dipakai kepada orang yang sedang membutuhkan. Ini menunjukkan bahwa memberikan pakaian bekas, atau perabotan bekas, dan lainnya, selama hal itu masih layak pakai, hukumnya dianjurkan, apalagi kita sudah membutuhkannya.

Hadis dimaksud diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Umar, dia berkata;

أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَ فَاطِمَةَ فَلَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهَا وَجَاءَ عَلِيٌّ فَذَكَرَتْ لَهُ ذَلِكَ فَذَكَرَهُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنِّي رَأَيْتُ عَلَى بَابِهَا سِتْرًا مَوْشِيًّا فَقَالَ مَا لِي وَلِلدُّنْيَا فَأَتَاهَا عَلِيٌّ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهَا فَقَالَتْ لِيَأْمُرْنِي فِيهِ بِمَا شَاءَ قَالَ تُرْسِلُ بِهِ إِلَى فُلَانٍ أَهْلِ بَيْتٍ بِهِمْ حَاجَةٌ

Nabi Saw pernah mendatangi rumah Sayidah Fathimah namun beliau tidak segera masuk. Kemudian Sayidina Ali datang, dan Sayidah Fathimah menceritakan peristiwa ini kepadanya. Kemudian Sayidina Ali menceritakan kepada Nabi Saw, maka beliau berkata; Aku melihat di pintu ada tabir yang ada lukisannya. Maka Sayidina Ali berkata; Aku tidak punya kepentingan dengan dunia. Lalu Sayidina Ali menemui Fathimah dan menceritakan perkataan Nabi Saw, maka Sayidah Fathimah berkata; Silahkan beliau memerintahkanaku apa saja sesuka beliau. Sayidina Ali berkata; Sebaiknya kamu kirimkan saja tabir itu untuk si fulan yang barangkali keluarga mereka membutuhkannya.

Berdasarkan hadis ini, maka tidak masalah kita memberikan pakaian bekas yang masih layak pakai kepada orang yang membutuhkan. Ini lebih baik daripada kita membuangnya, padahal masih ada orang lain yang dengan senang hati menerimanya.

BINCANG SYARIAH

Apakah Perbedaan antara Qadha dan Qadar?

 Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu

Pertanyaan:

Apa perbedaan qadha dan qadar? Apakah keduanya sama?

Jawaban:

القضاء والقدر إذا اجتمعا فلكل واحد معناه. وأما إذا أفرد أحدهما فإنه يشمل الآخر، فإذا قيل: قضاء وقدر، فالقضاء: ما قضاه الله تعالى في الأزل، وكتبه في اللوح المحفوظ. والقدر: ما قدره الله فوقع. فأما إذا قيل: قضاء فقط فإنه يشمل الأمرين جميعاً، أو قيل: قدر فقط فإنه يشمل الأمرين جميعاً

Qadha dan qadar jika bergandengan (disebutkan bersamaan, pent.), maka memiliki makna masing-masing. Adapun jika bersendirian (disebutkan secara terpisah, pent.), maka dia mencakup makna dari yang lainnya (qadha mengandung makna qadar dan sebaliknya, pent.).

Jika disebut “qadha dan qadar“, maka qadha adalah apa yang Allah Ta’ala tetapkan pada zaman azali (50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi) dan tertulis di Lauhul Mahfudz. Dan qadar adalah apa-apa yang Allah Ta’ala tetapkan dan kemudian terjadi.

Adapun jika disebut kata “qadha” saja, maka mencakup makna keduanya (yaitu makna qadha dan qadar). Juga jika disebut kata “qadar” saja, maka mencakup makna keduanya.

Wallahu a’lam.

***

Sumber: Fatawa Nuur ‘Ala Ad-Darb juz 4 halaman 2, https://al-maktaba.org/book/2300/258

Selesai diterjemahkan pada Senin, 3 Dzulqa’dah 1442 H

Penerjemah: Dimas Setiaji

Sumber: https://muslim.or.id/68399-apakah-perbedaan-qadha-dan-qadar.html

Kenakalan Anak: Kenali Sebabnya, Jangan Nafikan

PADA pokoknya, tidak ada anak yang nakal. Kitalah yang salah didik sehingga mereka menjadi nakal. Tak ada anak yang lahir dalam keadaan nakal. Tetapi kita tak boleh menutup mata atau menyangkal bahwa kenakalan itu ada. Sesungguhnya, eufimisme hanya menyulitkan kita menemukan akar masalahnya. Memahami setiap sebab kenakalan akan memudahkan kita menentukan langkah yang tepat sesuai dengan sebab kenakalannya. Langkah terstruktur.

Menyangkal adanya kenakalan dapat membuat kita terkejut. Tiba-tiba saja ada berita kriminalitas anak. Bukan lagi sekedar kenakalan. Ungkapan sebagian trainer bahwa kenakalan hanyalah soal cara pandang, atau kenakalan adalah kreativitas terpendam, memang menghibur. Tetapi ungkapan ini sangat menjerumuskan. Menganggap biasa tiap kenakalan, memandangnya wajar sehingga tak ada tindakan, akibatnya sangat fatal. Kita menganggap kenakalan itu tidak pernah ada, tapi tiba-tiba saja dikejutkan oleh berita anak SD membunuh. Apakah ini bukan kenakalan? Bukan. Ini sudah kriminalitas. Jauh lebih berat daripada kenakalan.

Ketika ada yang gaduh di kelas, sebagian guru dengan ringan berkata “mereka anak kinestetik”. Tapi tak menjelaskan beda kinestetik dan liar. Teringat kisah seorang kawan di Melbourne. Suatu saat anaknya mengantuk di kelas. Catat: mengantuk. Itu pun sebentar. Tapi guru langsung koordinasi. Mereka ingin mengetahui sebab (ini mempengaruhi penanganan) mengantuknya anak. Karena kehilangan motivasi, terlambat tidur atau lainnya.

Point pentingnya adalah, masalah kecil pun perlu segera ditangani agar tak berkembang lebih parah atau justru jadi masalah kolektif.

Terdapat banyak literatur yang khusus membahas kenakalan anak, mengenali tanda dan sebabnya serta cara menangani. Ini menunjukkan bahwa kenakalan itu ada dan perlu langkah-langkah yang tepat untuk menanganinya. Bukan menafikan.

Jika setiap yang tak sesuai kita anggap biasa, maka ketika anak sudah berperilaku sangat menyimpang pun, kita sudah tak peka lagi. Kita menganggap biasa apa yang sebenarnya tak biasa tanpa mencoba memahami sebabnya dan akhirnya gagap ketika persoalan berkembang serius.

Ini sama dengan belajar anak. Kita perlu bedakan antara kemampuan dan kemauan. Jika anak goblog karena malas, jangan cari pembenaran. Berbakat tapi tak bersemangat akan kalah dibanding tak berbakat tapi gigih. Awalnya sulit, sesudah itu mereka akan menemukan kemudahan.

Sama halnya capek dan lelah. Capek (tired) bersifat fisik, lelah (fatigue) bersifat mental. Capek karena belajar seharian itu wajar.

Cukup beri kesempatan istirahat, dia akan segar kembali. Tapi lelah setelah belajar, full day atau pun half day, itu yang perlu diatasi. Dan itu tidak terkait dengan panjang pendeknya durasi belajar. Di sekolah yang durasi belajarnya pendek pun bisa saja banyak yang kelelahan.’

Jika anak kelewat bersemangat sehingga kecapekan belajar, paling-paling cuma badannya yang sakit. Bisa flu, bisa demam. Paling seminggu. Tapi sangat berbeda dengan kelelahan. Jika dibiarkan, anak dapat kehilangan motivasi belajar, apatis, gangguan perilaku atau kenakalan. Anak juga dapat menjadi trouble maker alias biang kerok. Ini jika anak tidak memperoleh stimulasi media. Nah, apalagi kalau media merusak dan memperparah.*

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim, Penulis buku “Mencapai Ketenangan di Tengah Kesibukan”, twitter: @kupinang

HIDAYATULLAH

Antara Fitrah Iman dan Tabiat Kekafiran

SIKAP rendah hati adalah fitrah iman. Sebaliknya, kesombongan pasti menyertai kekafiran.

Iman dan kesombongan adalah dua hal yang mustahil bersatu, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ وَلَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ أَحَدٌ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ كِبْرِيَاءَ

“Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak akan masuk neraka, seseorang yang mana dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari iman, dan tidak akan masuk Surga seseorang yang mana dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan.” (HR: Muslim).

Tidak aneh jika Al-Qur’an pun sangat sering menggambarkan sikap kedua golongan ini (mukmin dan kafir) secara bertentangan. Tabiat mereka tampak sangat berbeda terutama ketika berhadapan dengan petunjuk-petunjuk Allah.

Golongan pertama akan tunduk, khusyu’, dan memohon agar diberi taufik untuk mengikutinya, sementara golongan kedua justru angkuh, ingkar, dan menantang agar didatangkan azab. Mari kita telusuri penggambaran Al-Qur’an ini, agar menjadi nasehat bagi kita bersama.

Ketika sebagian Ahli Kitab (yang mukmin) mendengar bacaan Al-Qur’an pada masa-masa awal dakwah Islam di Makkah, beginilah sikap mereka:

قُلْ ءَامِنُوا۟ بِهِۦٓ أَوْ لَا تُؤْمِنُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ مِن قَبْلِهِۦٓ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا

وَّيَقُوۡلُوۡنَ سُبۡحٰنَ رَبِّنَاۤ اِنۡ كَانَ وَعۡدُ رَبِّنَا لَمَفۡعُوۡلًا

وَيَخِرُّوۡنَ لِلۡاَذۡقَانِ يَبۡكُوۡنَ وَيَزِيۡدُهُمۡ خُشُوۡعًا ۩‏

“…Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. Mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”. Mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS: Al-Isra’: 107-109).

Begitulah seorang mukmin. Hatinya sangat lembut dan peka terhadap tanda-tanda kebenaran yang diisyaratkan Tuhannya. Cermin nuraninya yang bening spontan dapat mengenali cahaya Allah, dan segera memantulkannya.

Maka, seketika jiwanya menjadi terang dan lapang, sebagaimana ruangan gelap yang terasa lega dan nyaman begitu lampu dinyalakan di dalamnya. Dalam menapaki kehidupan ini, mereka senantiasa memanjatkan doa dengan penuh ketawadhu’an, “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu; karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang Maha Pemberi.” (QS: Ali ‘Imran: 8).

Sebaliknya adalah tabiat kaum kafir. Ketika menghadapi kebenaran, serta-merta hatinya tertutup.

Bahkan, secara sengaja mereka menutupnya sendiri. Permusuhan mereka terhadap kebenaran adalah kebencian sejati yang sangat mengerikan.

Dengarkanlah apa kata Al-Qur’an tentangnya:

وَقَالُوۡا قُلُوۡبُنَا فِىۡۤ اَكِنَّةٍ مِّمَّا تَدۡعُوۡنَاۤ اِلَيۡهِ وَفِىۡۤ اٰذَانِنَا وَقۡرٌ وَّمِنۡۢ بَيۡنِنَا وَبَيۡنِكَ حِجَابٌ فَاعۡمَلۡ اِنَّنَا عٰمِلُوۡنَ‏

“Mereka berkata: “Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi kami dari) apa yang kamu serukan, dan pada telinga kami ada sumbatan. Antara kami dan kamu ada dinding. Maka, bekerjalah kamu, sesungguhnya kami bekerja (pula).” (QS: Fusshilat: 5).

Apakah iman bisa masuk ke dalam hati seperti ini? Sungguh mustahil, karena pemiliknya telah menguncinya dari dalam.

Ibaratnya, jauh lebih mudah membangunkan orang tidur sungguhan dibanding menyadarkan orang yang pura-pura tidur. Membimbing orang bodoh yang mau belajar pasti lebih gampang dibanding mengajari seseorang yang keras kepala dan sok tahu. Ini sangat menjengkelkan.

Tidak hanya sampai di situ, Al-Qur’an bahkan menceritakan tabiat kekafiran yang jauh lebih parah. Dalam Surah al-Anfal: 32, Allah berfirman:

وَإِذْ قَالُوا۟ ٱللَّهُمَّ إِن كَانَ هَٰذَا هُوَ ٱلْحَقَّ مِنْ عِندِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ ٱلسَّمَآءِ أَوِ ٱئْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

“Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: “Ya Allah, jika betul (Al-Qur’an) ini adalah yang benar dari sisi-Mu, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.”

Sungguh ganjil permohonan mereka ini, dan betapa mendalamnya kebencian mereka terhadap kebenaran. Bukankah seharusnya mereka memohon agar dibimbing mengikuti Al-Qur’an jika ia terbukti sebagai kebenaran dari Allah? Akan tetapi, mengapa mereka justru minta dihujani batu dari langit atau ditimpa siksa yang sangat pedih? Tidak ada istilah yang lebih tepat untuk sikap-sikap aneh begini selain “gila kuadrat”!

Maka, Rasulullah ﷺ pernah menyimpulkan fitrah keimanan dan tabiat kekafiran dalam sabdanya: “

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ ؟ كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعِّفٍ ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ، أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ ؟ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ

Dari Haritsah bin Wahb radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Maukah aku kabarkan kepada kalian siapa penghuni Surga? Merekalah orang yang lemah lagi diremehkan orang lain. Namun jika dia bersumpah dengan menyebut nama Allah, pasti Allah akan mengabulkannya. Maukah aku kabarkan pada kalian siapa penghuni Neraka? Merekalah orang yang kasar, tak sabaran lagi sombong.” (HR: Al-Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853).

Segenap ayat dan hadits diatas sebenarnya merupakan diagnosa atas gejala-gejala keimanan dan kekafiran dalam hati manusia. Sebagaimana dimaklumi, iman dan kufur adalah hakikat ruhiyah yang tidak bisa ditangkap panca indra, dan hanya bisa dikenali dari tanda-tandanya.

Setelah mendiagnosa, Allah kemudian memberikan terapi, yaitu syariat-Nya yang terangkum dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi. Allah sendiri telah menyifati Al-Qur’an sebagai obat dari segala penyakit hati, petunjuk, dan rahmat bagi kaum beriman (Qs. Yunus: 57 dan al-Isra’: 82).

Dengan kata lain, kita diajari untuk melakukan self-diagnostic, memeriksa sendiri tanda-tanda mana yang bersemayam dalam jiwa kita. Jika didominasi gejala iman, mari berdoa agar senantiasa diteguhkan. Iringi pula dengan amal shalih.

Jika didapati gejala kufur, Allah pun telah menuliskan resep-resep manjur untuk mengatasinya. Langkah diagnosa ini dapat pula dipergunakan untuk kepentingan lain, misalnya memilih guru, calon pasangan hidup, teman bergaul, rekan berbisnis, karyawan, atau pembantu rumah tangga. Semoga saja kita selalu diberkahi dan terselamatkan. Amin. Wallahu a’lam.*

Oleh: Alimin Mukhtar, Penulis pengasuh di PP Arrahmah, Malang

HIDAYATULLAH

Memakan Kue dari Bahan Dasar Tanah, Apakah Boleh?

Hampir semua orang menyukai kue. Bentuk dan rasanya pun beraneka ragam, sehingga banyak pilihan yang bisa dinikmati. Bahkan tiap daerah memiliki kue khas daerahnya masing-masing. Terlepas dari itu, bagaimanakah Islam memandang hukum memakan kue dari bahan dasar tanah? Apakah boleh memakan tanah?

Dilansir dari laman Wikipedia, di  Indonesia sendiri, ada camilan yang terbuat dari tananh liat yang disebut Ampo. Makanan ini merupakan makanan tradisional daerah Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur khususnya daerah Tuban, biasanya camilan ini digemari oleh wanita hamil.

Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu Syarh Al-Muhazzab juz 9 halaman 37 menerangkan perihal hukum mengkonsumsi tanah :

لا يحل أكل ما فيه ضرر من الطاهرات كالسم القاتل والزجاج والتراب الذي يؤذى البدن وهو هذا الذي يأكله بعض النساء وبعض السفهاء وكذلك الحجر الذي يضر أكله وما أشبه ذلك ودليله في الكتاب قال إبراهيم المروذي وردت أخبار في النهي عن أكل الطين ولم يثبت شئ منها قال وينبغى أن نحكم بالتحريم إن ظهرت المضرة فيه وقد جزم المصنف وآخرون بتحريم أكل التراب وجزم به القاضي حسين في باب الربا

“Tidak boleh memakan sesuatu yang suci yang terdapat mudhorot di dalamnya, seperti racun, kaca dan tanah yang dapat menyakiti tubuh, yang mana sebagian perempuan dan orang-orang bodoh memakannya, begitupula memakan batu yang mana dalilnya terdapat dalam Al-Quran. Ibrahim Al-Mawardzi mengatakan ada hadist yang melarang memakan tanah, namun tidak ada bukti yang membenarkannya. Namun sebaiknya memakan tanah tersebut dihukumi haram jika memang mengakibatkan mudhorot, pengarang kitab dan ulama lain juga menegaskan keharaman memakan tanah ini, hal ini juga didukun Qadlhi Al-Husain”

Dari redaksi di atas, para ulama sepakat bahwa mengkonsumsi tanah hukumnya haram meskipun tanah itu suci. Keharaman ini dengan catatan ketika mengkonsumsinya menimbulkan mudhorot.

Masih dalam kitab yang sama, namun pada redaksi ini musonif masih mengklasifikasi lagi mengenai hukum mengkonsumsi tanah tersebut :

هل يحرم أكل الطين قال الروياني اختلف أصحابنا منهم من قال يحرم الطين قليله وكثيره وهو اختيار مشايخ طبرستان الإمام أبي عبد الله الحناطي وأبي علي الزجاجي والإمامين جدي ووالدي رحمهم الله واختاره القفال المروزي ومنهم من قال لا يحرم ولكن يكره وهو اختيار مشايخ خراسان وهذا إذا لم يضر لقلته فإن كان كثيرا يضر فهو حرام وبه أفتي وسمعت الشيخ الحافظ البيهقي بنيسابور يقول لم يصح نص عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في تحريم قليله وهذا هو الصحيح عندي انتهى كلام الروياني في البحر

“Imam Ar-Ruyani mengatakan bahwa ulama masih berbeda pendapat mengenai kebolehan mengkonsumsi tanah. Ulama Thabaristan, Imam Abi Abdillah Al-Hanati, Abi Ali Zujajiy serta kakek dan orang tuaku, berpendapat bahwa mengkonsumsi tanah baik sedikit atau banyak adalah haram, pendapat ini juga didukung Imam Qofal. Ulama Khurasan berpendapat bahwa mengkonsumsi tanah adalah makruh, dengan catatan ketika mengkonsumsinya dalam jumlah sedikit tidak memudhorotkan, namun ketika mengkonsumsinya dalam jumlah banyak dan memudhorotkan maka dihukumi haram. Syaikh Hafidz Naisabur mengatakan, bahwa nash dari nabi yang mengatakan mengkonsumsi tanah sedikit itu haram, tidaklah shahih.”

Dari berbagai pendapat ulama yang ada, semuanya sepakat bahwa tanah itu merupakan benda suci yang pada dasarnya boleh dimakan dengan catatan tidak memudhorotkan terhadap tubuh, jika memudharatkan maka hukumnya haram. Ada yang berpendapat jika mengkonsumsinya dalam jumlah sedikit dan tidak memudhorotkan maka hukumnya makruh.

Sebuah studi menyebutkan bahwa ternyata tanah liat atau lempung yang steril tersebut memiliki efek menyamankan perut dan membantu melindungi dari serangan virus dan bakteri. Tanah liat juga bisa mengikat hal yang berbahaya seperti mikrob, patogen dan virus. Sehingga lempung yang dimakan itu bisa menjadi semacam pelindung, semacam masker lumpur untuk usus.

Namun risiko yang jelas dalam konsumsi tanah liat yang terkontaminasi oleh kotoran hewan atau manusia, khususnya risiko dari telur parasit, seperti cacing gelang yang dapat tinggal selama bertahun-tahun di dalam tanah dan dapat menimbulkan masalah. Juga dapat meningkatkan risiko terjangkit Tetanus.

Namun, risiko ini umumnya sudah dipahami oleh sebagian besar masyarakat atau suku yang mengonsumsi tanah liat. Kegemaran anak-anak untuk terlibat dalam mengonsumsi ampo membuat mereka lebih rentan terhadap infeksi cacing. Bahaya lain yang terkait dengan mengonsumsi tanah liat mencakup kerusakan enamel gigi, menelan berbagai bakteri, berbagai bentuk pencemaran tanah, dan obstruksi usus. Namun proses pengolahan tanah liat yang cukup bagus dengan cara memasak atau dipanggang dapat mengurangi risiko tersebut.

Alhasil, mengkonsumsi kue dari tanah boleh hukumnya selama tidak membahayakan tubuh. Namun alangkah baiknya untuk menghindari mengkonsumsi kue dari tanah tersebut, karena dampak negatif yang ditimbulkan akan lebih banyak dibanding dampak positifnya. 

Allahu a’lamu bisshawwab.

BINCANG SYARIAH

Pandemi dan Spiritualitas Manusia

Agama mengajarkan ketertundukan atas apa yang tengah dihadapi manusia.

Dalam kondisi seperti saat ini, kita tak pelak meniscayakan sebuah takdir. Kenyataan yang ada pada diri ini adalah ketentuan yang nyata. Ketentuan yang telah ditetapkan oleh sang penguasa alam. Inilah kondisi itu yang meniscayakan ketertundukan manusia dalam pengakuan terdahsyat. Kita bukanlah manusia hebat, terlebih lagi sempurna.

Covid-19 yang belum berakhir menunjukkan bahwa manusia tengah dilanda ketakutan, kekuatiran, kegelisahan dan sifat lainya. Hal ini sekaligus menandakan bahwa dalam skala yang luas manusia (masih) memiliki kelemahan. Dalam kelemahan itulah psikologis manusia membutuhkan adanya sandaran.

Dalam konteks norma,  sandaran itu ada pada agama. Dimana agama mengajarkan ketertundukan atas apa yang tengah dihadapi manusia. Agama mengajarkan bahwa ketertundukan itu merupakan salah satu bagian yang sangat penting. Betapa tidak, dengan sikap ketertundukan tersebut ego manusia akan dibatasi dengan pemahaman. Dalam konteks ini adalah pemahaman akan eksistensi sebuah agama.

Agama bagi kehidupan manusia sangat penting. Agama bukan sebatas pemahaman Marx yang menyatakan bahwa agama adalah candu. Akan tetapi agama menempati posisi jauh melebihi apa yang ada dalam konsepsi manusia. Maka dengan tingginya nilai sebuah agama, keniscayaan bagi manusia untuk tunduk dan patuh mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan.

Pandemi yang kita hadapi saat ini merupakan musibah dan sekaligus cobaan bagi manusia. Wabah yang tidak pernah kita duga datang begitu cepat. Mampu memporak-porandakan tatanan yang sedang dinikmati manusia. Begitu cepat dan masif. Menyebar keseluruh sendi-sendi kehidupan manusia.

Beragam cara yang dilakukan oleh pemerintah, para ahli dan komponen masyarakat untuk menghentikan penyebaran virus Covid-19. Namun hingga saat ini usaha tersebut belum sepenuhnya berhasil. Usaha-usaha yang tengah dilakukan oleh pemerintah itu merupakan sebuah ikhtiar. Maka, sudah seyogyanya usaha tersebut didukung sebagai bentuk ikhtiar bersama dalam “memerangi” virus Covid-19.https://66618aea372da5447973e526b6e64b84.safeframe.googlesyndication.com/safeframe/1-0-38/html/container.html

Dalam konteks agama, mendukung usaha pemerintah dalam menekan penyebaran Covid-19 adalah kewajiban. Dukungan yang bisa diberikan adalah mentaati apa yang telah ditentukan oleh pemerintah. Dengan dukungan tersebut maka secara tidak langsung ataupun langsung telah melaksanakan ajaran agama. Disinilah pemahaman itu mutlak diperlukan.

Dukungan tersebut merupakan bentuk lain dari sebuah ketaatan pada pmerintah. Dalam perspektif Al-Qur’an bahwa ketaatan pada pimpian merupakan perintah yang khusus. Perintah bagi orang-orang yang beriman. Hal ini dapat kita temukan dalam Al-Qur’an.

Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 59, “ Wahai orang-orang yang beriman!, tatailah Allah dan tatatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.”.

Ketaatan ini akan mampu mengembangkan nilai spiritualitas keberagamaan di tengah pandemi. Sebab ketaatan tersebut mencerminkan sikap kedewasaan dalam beragama. Betapa tidak, dengan ketaatan itu proses penjagaan jiwa akan dapat tercapai dengan baik. Dengan penjagaan itu pula maka jiwa-jiwa lainya pun akan dapat terselamatkan.

Ketika pemerintah menghimbau untuk berkegiatan dirumah, maka kita dapat mengisi hari-hari dengan amalan yang telah diajarkan oleh agama. Kita dapat lebih dekat dengan Allah SWT melalui dzikir dan doa. Pun kita dapat beristighfar memohon ampunan atas dosa yang telah kita lakukan.

Namun, ketika situasi yang memang mengharuskan beraktifitas di luar, maka ikhtiar pun harus tetap dilaksanakan. Bekerja untuk menghidupi keluarga misalnya. Maka aktifitas tersebut juga merupakan perwujudan dari ikhtiar menjalani kehidupan. Ikhtiar dimaksud adalah dengan menjalankan protokol kesehatan yang telah ditetapkan.

Dimensi ini harus dimaknai bahwa dalam menjalani kehidupan di tengah wabah tidak dibenarkan adanya kepasrahan total. Kepasrahan akan situasi yang tengah dihadapi tanpa melaksanakan aktifitas pemenuhan kebutuhan. Demikian juga bersikap “merdeka” tanpa memedulikan keadaan yang belum sepenuhnya normal. Ini berarti bahwa ada sikap moderat dalam kehidupan ditengah pandemi.

Sejatinya dengan pandemi ini bersikap sabar adalah sebuah keniscayaan. Kesabaran tidak memerlukan sikap putus asa dalam menjalani kehidupan. Dengan kesabaran itulah nilai spiritualitas manusia akan terlihat. Sebab sikap ini dapat menumbuhkan nilai kebaikan manusia yang sempat diabaikan oleh Frued.

Sikap sabar inilah yang menjadi entitas tersendiri bagi manusia. Terlebih lagi bagi manusia yang beriman. Sebab kesabaran akan menjadi pendorong yang utama dalam setiap situasi. Meskipun tidak semudah mengatakan untuk bersabar. Karena sesungguhnya sabar itu bukan hanya sebuah teori, namun yang terpenting adalah proses melaksanakanya.

Dengan bersabar maka sikap bangunan taqwa akan berdiri kokoh. Pondasi yang merupakan keniscayaan bagi seorang yang beriman. Dengan begitu maka situasi apapun akan dapat dihadapi dengan seijin Allah SWT. sikap sabar akan memberikan amunisi dalam menjalani roda kehidupan, sementara sikap taqwa akan mendatangkan pertolongan Allah SWT.

Oleh : Munawar, Penyuluh Agama Islam pada kantor Kementerian Agama Kabupaten Way Kanan Lampung

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Menagih Hutang Secara Kasar Kepada Orang yang Susah Bayar

Di dalam Islam, menagih hutang secara kasar itu akhlak tercela. Di antara adab dan etika ketika menagih hutang kepada orang yang berhutang adalah menagih hutang tersebut dengan baik dan lembut, terutama kepada orang yang sedang kesusahan dan tidak mampu membayar. Meski orang yang memberi hutang hendak menagih uangnya sendiri, namun dia tetap tidak boleh kasar dan menyakiti orang yang berhutang. Jika kita memang tidak terdesak, anggap saja sedekah pada orang yang susah bayar hutang, apalagi memang dia membutuhkan.

Larangan menagih hutang secara kasar ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar dan Aisyah,  Nabi Saw bersabda;

مَنْ طَلَبَ حَقًّا فَلْيَطْلُبْهُ فِي عَفَافٍ وَافٍ، أَوْ غَيْرِ وَافٍ

Barangsiapa menuntut haknya, maka hendaknya dia menuntutnya dengan baik, baik pada orang yang ingin menunaikannya atau pada orang yang tidak ingin menunaikannya.

Di dalam Al-Quran, Allah telah memberikan panduan saat menagih hutang kepada orang yang tidak mampu membayar, yaitu dengan cara menunggunya hingga dia mampu membayar atau membebaskannya. Dalam surah Al-Baqarah ayat 280, Allah berfirman;

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.

Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir berkata bahwa ayat tersebut merupakan anjuran untuk bersabar saat menagih hutang kepada orang yang tidak mampu membayar. Dalam menagih hutang tidak boleh meniru prilaku orang-orang jahiliyah, yaitu dengan mengancam dan memberatkan orang yang berhutang. Imam Ibnu Katsir berkata sebagai berikut;

يأمر تعالى بالصبر على المعسر الذي لا يجد وفاء، فقال: وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَة أي: لا كما كان أهل الجاهلية يقول أحدهم لمدينه إذا حل عليه الدين: إما أن تقضي وإما أن تربي ثم يندب إلى الوضع عنه، ويعد على ذلك الخير والثواب الجزيل، فقال: وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ أي: وأن تتركوا رأس المال بالكلية وتضعوه عن المدين

Allah memerintahkan untuk bersabar dalam menghadapi orang yang kesulitan membayar hutang. Allah berfirman; Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Artinya; Janganlah seperti orang-orang jahiliyah yang berkata kepada orang yang berhutang tatkala sampai waktu jatuh tempo pembayaran; Apakah kamu mau melunasi atau kamu tangguhkan disertai tambahan?.

Kemudian Allah menganjurkan untuk membebaskan hutang, dan menjanjikan untuk itu kebaikan dan pahala yang besar. Allah berfirman; Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui. Artinya; Kamu biarkan pokok hutang secara menyeluruh dan kamu gugurkan hutang itu dari orang yang berhutang.

BINCANG SYARIAH