Kebaikan-kebaikan Menyegerakan Berbuka Puasa

Berbuka puasa merupakan salah satu amalan penting bagi umat Islam yang menjalankan ibadah puasa. Rasulullah SAW menekankan pentingnya untuk menyegerakan waktu berbuka, karena dalam hal ini terdapat kebaikan bagi manusia. Sebagaimana yang disampaikan dalam hadis riwayat Sahl bin Sa’ad, “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.”

Hadist ini memberikan pelajaran pentingnya menyegerakan (takjil) berbuka puasa karena adanya kebaikan-kebaikan. Takjil atau bersegera berbuka yang dalam istilah Indonesia lebih dikenal sebagai barangnya sejatinya memiliki nilai-nilai kebaikan.

Kebaikan pertama tentu karena ittiba’ atau mengikuti sunnah Nabi yang menyegerakan berbuka. Kebaikan berikutnya adalah untuk membedakan diri dari umat-umat terdahulu seperti Yahudi dan Nasrani ketika berpuasa mengkahirkan berbuka. Sebagaimana hadits Nabi :

“Agama (Islam) senantiasa mendapatkan kejayaan selama manusia menyegerakan berbuka puasa karena Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya.” (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan yang lainnya)”

Kebaikan berikutnya tentu saja persoalan kesehatan. Menyegerakan puasa berarti menyegerakan tubuh mendapat asupan nutrisi dan cairan setelah seharian berpuasa. Tentu saja ini akan menghindarkan tubuh kekurangan kadar gula darah dan mengalami dehidrasi.

Kebaikan lainnya adalah menjamin ibadah yang khusuk dan fokus setelah berbuka. Pikiran tidak lagi memikirkan tentang makanan karena sudah tercukupi. Hal ini juga menjamin kekuatan badan untuk melaksakanakan shalat sunnah tarawih.

Jangan Salah Waktu Berdoa Buka Puasa

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga waktu berbuka sebagai bagian dari ibadah puasa yang dianjurkan. Hal yang seringkali terjadi kebingungan terkait kapan seharusnya membaca doa berbuka puasa.

Sebagian dari kita keliru dengan membaca doa tersebut sebelum memulai makan atau minum ketika masuk waktu Magrib. Namun, sesungguhnya doa berbuka yang paling tepat adalah dibaca sesaat setelah selesai berbuka puasa. Penjelasan ini dapat ditemukan dalam kitab Hasyiyah I’anah at-Thalibin yang menyatakan bahwa maksud dari “setelah berbuka” adalah selesainya berbuka puasa, bukan sebelumnya atau pada saat berbuka.

Pemahaman yang benar terkait penempatan membaca doa berbuka setelah berbuka puasa dapat dipertegas dengan melihat makna yang terkandung dalam doa tersebut. Doa berbuka puasa, “Allahumma laka sumtu wa ‘ala rizqika aftartu, dhahaba alzzama’u wabtallatil ‘uruqu, wa thabata al-ajru in sha Allahi ta’ala,”.

Dalam doa tersebut mengandung ungkapan syukur kepada Allah atas nikmat rezeki-Nya yang memungkinkan seseorang untuk berbuka puasa. Selain itu, doa ini juga mencerminkan rasa lega dan syukur atas hilangnya rasa haus setelah berbuka, serta keyakinan akan keberkahan dan pahala yang tetap teguh jika Allah menghendaki.

Dalam praktiknya, menyegerakan waktu berbuka dan membaca doa berbuka puasa sesaat setelah selesai berbuka menjadi bagian penting dalam menjalankan ibadah puasa dengan baik.

Ini merupakan bentuk ketaatan kepada ajaran Islam dan rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah. Dengan demikian, setiap individu yang menjalankan ibadah puasa diharapkan dapat mengikuti tuntunan yang benar dalam berbuka puasa, baik dalam hal waktu maupun doa yang dibacakan.

ISLAMKAFFAH

Salah Kaprah Masyarakat Indonesia Mengenai Takjil di Bulan Ramadan

Bulan Ramadan adalah bulan suci umat Islam, umut Muslim di dunia pastinya menanti dan merindukan bulan istimewa ini dan akan merasa sedih dan kehilangan apabila bulan ini telah pergi.

Mengapa demikian? Sebab di bulan ini sangat banyak keutamaannya dan semua ibadah yang dilakukan akan bernilai pahala dan akan dilipatgandakan serta dihapuskan dosa-dosanya.

Ketika bulan Ramadan umat Islam tidak hanya melakukan ibadah-ibadah yang umumnya dilakukan di bulan selain Ramadan, tetapi biasanya umat Muslim melakukan tradisi yang tidak akan didapatkan di selain bulan Ramadan, diantaranya melakukan ngabuburit, buka Bersama, tadarus, tarawih, serta bagi-bagi makanan untuk berbuka puasa.

Ada satu yang menarik dari tradisi-tradisi yang dilakukan umat Muslim yaitu bagi-bagi makanan untuk berbuka, biasanya kegiatan ini di Indonesia dinamakan bagi-bagi takjil.

Sebenarnya penamakan takjil ini salah untuk menamakan makanan untuk berbuka jika dilihat dari akar katanya.

Jika lebih teliti lagi kata takjil berasal dari Bahasa Arab yaitu عَجَّلَ – يُعَجِّلُ dengan mashdar berupa تعجيل yang berarti menyegerakan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata takjil memiliki arti mempercepat dalam berbuka puasa. Berarti dalam konteks ini menyegerakan untuk berbuka puasa.

Akan tetapi, masyarakat Indonesia salah kaprah menamakan takjil sebagai sebutan makanan untuk berbuka puasa, dan hal ini sudah sangat melekat dalam tradisi Masyarakat Indonesia. Sebab, penamaan takjil sebagai sebutan makanan untuk berbuka bermula ketika agama Islam mulai tersebar di tanah Jawa oleh Walisongo.

Pada saat itu, Walisongo kerap menghidangkan kolak dari bahan dasar pisang, ubi jalar, dan gula merah. Seiring berjalannya waktu makanan tersebut divariaskan dengan berbagai macam makanan, seperti kolang kaling, ubi kayu, tapai, sampai Nangka. Sehingga kebiasaan dalam menyebut menu untuk berbuka puasa dengan yang manis-manis dengan sebutan takjil sampai saat ini.

Jadi, perlu diingat oleh semua masyarakat bahwa takjil merupakan ungkapan untuk menyegerkan berbuka puasa dengan sesuatu, bukan makanan yang manis-manis untuk berbuka puasa seperti kolak, kurma, dan sebagainya. Sehingga, jika asa pernyataan “Orang Arab bertakjil dengan kurma”, maka pengertiannya adalah mereka menyegerakan berbuka puasa dengan memakan kurma, bukan makanan untuk berbuka puasa itu kurma.

ISLAMKAFFAH

Perbanyaklah Berdoa di Bulan Ramadhan

Ramadhan adalah bulan doa di mana saat ini doa begitu diperkenankan. Jadi perbanyaklah doa memohon setiap hajat kita, baik hajat dunia maupun akhirat kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)

Ibnu Katsir menerangkan bahwa masalah ini disebutkan di sela-sela penyebutan hukum puasa. Ini menunjukkan akan anjuran memperbanyak doa ketika bulan itu sempurna, bahkan diperintahkan memperbanyak doa tersebut di setiap kali berbuka puasa. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 66).

Apa yang dikatakan oleh Ibnu Katsir menunjukkan bahwa bulan Ramadhan adalah salah waktu terkabulnya doa. Namun doa itu mudah diijabahi jika seseorang punya keimanan yang benar.

Ibnu Taimiyah berkata, “Terkabulnya doa itu dikarenakan benarnya i’tiqod, kesempurnaan ketaatan karena di akhir ayat disebutkan, ” dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Majmu’ Al Fatawa, 14: 33-34).

Ramadhan adalah waktu terkabulnya doa dikuatkan lagi dengan hadits dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِلّهِ فِى كُلِّ يَوْمٍ عِتْقَاءَ مِنَ النَّارِ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ ,وَإِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ دَعْوَةً يَدْعُوْ بِهَا فَيَسْتَجِيْبُ لَهُ

Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan,dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a maka pasti dikabulkan.” (HR. Al Bazaar. Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 10: 14) mengatakan bahwa perowinya tsiqoh -terpercaya-. Lihat Jaami’ul Ahadits, 9: 224)

Tiga waktu yang bisa digunakan untuk memperbanyak doa:

1- Waktu sahur

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

“Rabb kita tabaroka wa ta’ala turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lantas Dia berfirman, “Siapa saja yang berdo’a kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku beri. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758). Imam Nawawi berkata, “Pada waktu itu adalah waktu tersebarnya rahmat, banyak permintaan yang diberi dan dikabulkan, dan juga nikmat semakin sempurna kala itu.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 36).

Ibnu Hajar juga menjelaskan hadits di atas dengan berkata, “Doa dan istighfar di waktu sahur adalah  diijabahi (dikabulkan).” (Fathul Bari, 3: 32).

2- Saat berpuasa

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Tiga orang yang do’anya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang dizalimi.” (HR. Ahmad 2: 305. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan berbagai jalan dan penguatnya)

Kata Imam Nawawi, “Disunnahkan orang yang berpuasa berdoa saat berpuasa dalam urusan akhirat dan dunianya, juga doa yang ia sukai, begitu pula doa kebaikan untuk kaum muslimin.”(Al Majmu’, 6: 273)

3- Ketika berbuka puasa

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang terzalimi.” (HR. Tirmidzi no. 2526 dan Ibnu Hibban 16: 396. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ketika berbuka adalah waktu terkabulnya do’a karena saat itu orang yang berpuasa telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7: 194)

Semoga bermanfaat. Semoga Allah memperkenankan doa-doa kita di bulan Ramadhan.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: https://muslim.or.id/21966-kajian-ramadhan-28-ramadhan-bulan-untuk-memperbanyak-doa.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Mensyukuri Karunia Allah Dalam Berpuasa

Dalam melakukan suatu amal ibadah, hendaknya seorang hamba menyadari akan besarnya karunia Allah terhadap dirinya. Sebab hanya dengan pertolongan dan taufik dari Allah, ia dapat melaksanakan ketaatan tersebut. Sebagaimana firman Allah tabaraka wa ta’ala,

يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا۟ ۖ قُل لَّا تَمُنُّوا۟ عَلَىَّ إِسْلَٰمَكُم ۖ بَلِ ٱللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَىٰكُمْ لِلْإِيمَٰنِ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ

“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 17)

Di sisi lain, hendaknya ia juga menyadari betapa kurangnya ia dalam menghadirkan hati dan kekurangannya dalam menegakkan hak-hak Allah. Maka hanya karena kemurahan dan kebaikan dari Allah, ia mendapatkan ganjaran atas ibadahnya. Kecintaannya kepada Allah pun bertambah dan timbul rasa syukur yang terbalut dalam zikir dan pujian kepadaNya.

Keadaan inilah yang kebanyakan manusia terlupakan darinya, terutama di saat berpuasa dalam bulan Ramadan. Mereka terlalaikan dari syukur terhadap karunia Allah, padahal mereka bergelimang di atasnya. Dan di antara karunia tersebut ialah:

Nikmat Berjumpa Dengan Ramadan

Ramadan adalah bulan yang mulia nan penuh keberkahan. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

“Salat lima waktu, salat Jumat ke salat Jumat berikutnya, puasa Ramadan ke Ramadan berikutnya, semuanya adalah penghapus dosa di antara keduanya jika dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim)

Kemudahan Dalam Ibadah Puasa

Kemudahan ini meliputi tiga hal:

Pertama, berbilangnya hari-hari Ramadan yang kita diwajibkan berpuasa di dalamnya. Allah ta’ala berfirman,

‎أَيَّامًا مَّعْدُودَٰتٍ

“(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Kedua, kemudahan dalam pelaksanaan puasa: waktunya singkat yaitu dari terbitnya fajar (fajar shadiq) hingga terbenamnya matahari. Sebagaimana firman Allah,

وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Disunahkan juga bagi kita untuk mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka.

Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Dahulu aku dan keluargaku makan sahur menjelang masuk waktu subuh, sehingga begitu selesai sahur aku segera salat subuh berjamaah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” (HR. Bukhari, no. 1920)

Dari Sahl bin Sa’id, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

“Seseorang senantiasa dalam kebaikan apabila menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari, no. 1957)

Ketiga, diperbolehkannya kita untuk tidak berpuasa dalam keadaan-keadaan tertentu. Sebagaimana firman Allah,

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ  فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Syaikh As Sa’di mengatakan, “Oleh karena itu, segala perkara yang diperintahkan oleh Allah atas hamba-hambaNya pada dasarnya adalah sangat mudah sekali, namun bila terjadi suatu rintangan yang menimbulkan kesulitan, maka Allah akan memudahkannya dengan kemudahan lain, yaitu dengan menggugurkannya atau menguranginya dengan segala bentuk pengurangan, dan hal ini adalah suatu hal yang tidak mungkin dibahas perinciannya, karena perinciannya merupakan keseluruhan syariat dan termasuk di dalamnya segala macam keringanan-keringanan dan pengurangan-pengurangan.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Mannan)

Anugerah Ilmu Tentang Tata Cara Berpuasa

Betapa banyak manusia yang beribadah namun ibadahnya tersebut tertolak atau malah mendatangkan kemurkaan Allah. Karena terluputnya mereka dari tata cara yang benar dalam melakukan ibadah tersebut. Sebagaimana firman Allah ta’ala,

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَٰشِعَةٌ • عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ • تَصْلَىٰ نَارًا حَامِيَةً

“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka).” (QS. Al-Ghasyiyyah: 2-4)

Maka ketika kita dapat berpuasa di atas bashirah (pengetahuan) tentangnya, dengan tata cara yang benar dan tidak menyalahi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hendaknya kita memuji Allah.

Pertolongan Allah Dalam Melaksanakan Puasa

Seandainya bukan karena pertolongan Allah, tentu kita tidak dapat melaksanakan ibadah kepadaNya. Dialah yang menggerakkan hati-hati kita untuk berpuasa dan memudahkan kita dalam menjalankannya. Menanamkan iman pada diri kita, pengharapan atas rahmatNya serta takut pada kemurkaanNya. Memberikan kita rezeki berupa kesehatan, kesempatan dan kelapangan untuk dapat sahur dan berbuka.

Salah satu doa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan,

‎اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

“Ya Allah tolonglah diriku untuk selalu mengingatMu, bersyukur kepadaMu dan memperbagus ibadah kepadaMu.”

Pahala yang Dilipatgandakan

Di antara amalan yang agung adalah puasa; padanya terdapat keutamaan dan bagi seorang yang mengerjakannya pahala yang tak terbatas, di mana hanya Allah yang mengetahuinya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa adalah perisai, maka orang yang sedang berpuasa janganlah berkata-kata keji dan berbuat seperti orang yang tidak tahu (agama). Jika seseorang mengajaknya berkelahi atau orang itu memaki-makinya, maka hendaklah ia mengucapkan kepadanya, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa,’ sebanyak dua kali. Demi Allah, yang diriku berada dalam genggamanNya! Sungguh mulut orang yang berpuasa itu disisi Allah lebih harum dari minyak kasturi. Allah berfirman, ‘Ia (orang yang berpuasa itu) sengaja tidak makan, minum dan melepaskan syahwatnya semata-mata karenaKu. Puasa itu adalah untukKu, dan Akulah yang (langsung) membalasnya.’ Sedangkan setiap kebaikan itu balasannya adalah sepuluh kali lipat.” (HR. Bukhari, no. 1894)

Terlebih lagi di bulan Ramadan, pahala dan keutamaan berpuasa di dalamnya lebih agung dan lebih besar. Sebab terkumpul padanya dua kemuliaan: kemuliaan ibadah puasa dan kemuliaan bulan Ramadan itu sendiri.

Maka segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘Alamin.

Penulis: Annisa Auraliansa

Sumber: https://muslimah.or.id/17664-mensyukuri-karunia-allah-dalam-berpuasa.html
Copyright © 2024 muslimah.or.id

Menilik Kembali Kata “Semesta”

Belakangan ini, kata semesta kerap kali digunakan untuk sebuah kutipan mutiara. Sebagai pemanis, digunakanlah kata semesta agar tulisan dan kutipan tersebut terlihat indah, serta memiliki makna yang tersirat. Tentunya, kita harus mengetahui tentang makna yang tersirat pada penggunaan kata semesta, agar tidak salah kaprah dalam menggunakan dan memahami. Hanya karena terlihat untaian tersebut bagus dan dilontarkan oleh orang yang masyhur akan kata-kata mutiaranya.

“Semesta mengetahui tentang apa yang saya rasa selama ini.”

“Biarlah semesta yang mengatur segalanya, sesuai kehendaknya.”

“Semesta sebetulnya sama saja seperti hati manusia, tidak dapat kita kira.”

Ini di antara bentuk contoh kalimatnya, dan masih banyak lagi contoh-contoh untaian kata yang lainnya. Dengan kata semesta, seolah kutipan ataupun rangkaian kalimat itu terdapat cita rasa yang spesial. Sehingga, kutipan tersebut seolah memiliki makna yang kuat ketika disandarkan kepada semesta. Oleh karena itu, kata semesta yang dijadikan sebagai sandaran dalam sebuah untaian kata mutiara ini, perlu ditinjau kembali penggunaannya. Bagaimana tinjauan dari segi syariat? Apakah bisa kita menggunakannya? Atau justru kalimat tersebut harus kita hindari?

Tinjauan dari segi bahasa Indonesia (KBBI)

Kalau kita melihat KBBI, kata semesta diartikan dengan: seluruh; segenap; semuanya. Ini merupakan asal arti yang sebenarnya dari kata semesta, yaitu menunjukkan akan keseluruhan, segenap, dan semuanya. Adapun contoh dari asal arti semesta, “Hidupku adalah petualangan yang mengembara melintasi semesta waktu.”

Dalam contoh di atas, tidak terlihat adanya permasalahan secara makna. Karena kata semesta di atas tidak dijadikan sebagai subjek (pelaku). Kata semesta pada kalimat di atas justru menjadi objek yang tidak berdiri sendiri karena disandarkan dengan waktu. Untuk yang seperti ini, maka tidak ada masalah.

Yang dikritisi pada tulisan ini adalah tentang kata semesta yang menjadi subjek (pelaku) dan kata semesta yang dijadikan sebagai majas metafora [1] untuk menjadikan semesta yang seolah melakukan suatu hal. Seperti ketiga contoh yang telah disebutkan di awal.

Tinjauan dari segi arti atau makna

Sekali lagi, pembahasan di sini adalah dari segi makna pada kata semesta, yaitu ketika kata tersebut menjadi subjek (pelaku) ataupun yang berupa majas metafora dan bukan sebagai objek. Karena inilah yang menjadi sorotan pembahasan pada tulisan ini.

Kata semesta digunakan sebagai penafian dari Tuhan/Allah

Jika maksud dari kata semesta digunakan untuk menafikan Tuhan, tentu ini adalah keyakinan yang sangat batil dan keliru. Sebagai contoh, “Begitu indahnya semesta menciptakan segalanya.” Dalam kalimat ini, semesta menjadi subjek. Jika ini yang dimaksud secara zahirnya, maka tentu ini keyakinan yang batil. Karena segala sesuatu yang ada pasti ada yang menciptakan, dan yang menciptakan adalah Allah Tabaraka wa Ta’ala.

Berikut ini, di antara dalil-dalil bahwasanya segala yang ada, Allah yang menciptakannya dan Allahlah sesembahan yang Maha Esa. Allah Ta’ala berfirman,

أَمۡ خُلِقُواْ مِنۡ غَيۡرِ شَىۡءٍ أَمۡ هُمُ ٱلۡخَـٰلِقُونَ

Apakah mereka diciptakan tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri).” (QS. Ath-Thur: 35)

وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَہُمۡ وَأَشۡہَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِہِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡ‌ۖ قَالُواْ بَلَىٰ‌ۛ شَهِدۡنَآ‌ۛ

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’” (QS. Al-‘Araf: 172)

ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَمَا بَيۡنَهُمَا فِى سِتَّةِ أَيَّامٍ۬ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ

Allahlah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ’Arsy.” (QS. As-Sajdah: 3)

Inilah di antara dalil-dalil akan adanya pencipta, yaitu Allah Ta’ala. Bahkan, secara akal pun, fitrah manusia menuntun akan adanya pencipta alam semesta ini. Dalam sebuah syair dikatakan,

فَيَا عَجَباَ كَيْـــفَ يُعْصَى الإِلَــــــ         ـهُ أَمْ كَيْفَ يَجْحَدُهُ الجَاحِدُ

وَفِي كُــــــــــــلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَـــةٌ         تَدُلُّ عَلَـــــى أَنـَّــهُ وَاحِـــــدٌ

Sungguh menakjubkan, bagaimana Allah dimaksiati

Atau mengapa bisa orang kafir mengingkari (adanya) Allah?

Sedangkan pada segala sesuatu terdapat bukti (yang nyata)

Yang menunjukkan bahwa Allah adalah Maha Esa.[2]

Maka, tidak mungkin ada makhluk yang dapat menciptakan segala yang ada di langit dan di bumi, kecuali Allah. Sehingga, kata semesta yang disandarkan kepada penciptaan harus dihindari.

Kata semesta digunakan sebagai alias dari Tuhan/Allah

Seperti contohnya “Biarlah semesta yang mengatur segalanya, sesuai kehendaknya.” Sungguh, kalimat ini dapat dinilai secara zahirnya bahwa ini keliru. Karena yang mengatur alam semesta adalah Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ ثُمَّ يَعۡرُجُ إِلَيۡهِ فِى يَوۡمٍ۬ كَانَ مِقۡدَارُهُ ۥۤ أَلۡفَ سَنَةٍ۬ مِّمَّا تَعُدُّونَ

Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. As-Sajdah: 4)

Menggantikan nama Allah dengan makhluk

Perlu diketahui, bahwa mengaliaskan atau menggantikan nama Allah pada sebuah kalimat dengan kata semesta sama saja menyamakan Allah dengan makhluk. Karena semesta adalah makhluk Allah Ta’ala. Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah (wafat th. 1206 H) menyebutkan kaidah yang sangat bagus dalam kitabnya Al-Ushul Ats-Tsalatsah,

كُلُّ مَا سِوَى اللهِ عَالَمٌ

Segala sesuatu selain dari Allah Ta’ala adalah alam (makhluk).[3]

Dari kaidah ini, dapat kita tentukan bahwa apapun selain dari Allah Ta’ala adalah makhluk. Termasuk semesta, sehingga tidak bisa menggantikan kedudukan Allah Ta’ala walau hanya untuk kata hiasan semata.

Menamakan Allah dengan semesta

Penggunaan kata semesta pada hal ini pun keliru. Karena seolah-olah menamakan Allah dengan kata semesta. Dan tidak boleh bagi seorang pun untuk menamakan Allah, selain dengan nama-nama-Nya. Karena nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah tauqifiyyah (terlarang sampai datangnya dalil).

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah (wafat th.1421 H) meletakkan kaidah dalam kitabnya Al-Qawa’idul Mutsla,

أَسْمَاءُ اللهِ تَعَالى تَوْقِيْفِيَّةٌ لاَ مَجَالَ لِلْعَقْلِ فِيْهَا

Nama-nama Allah Ta’ala sifatnya tauqifiyyah tidak ada ruang bagi akal untuk membuat-buatnya.” [4]

Menyandarkan perbuatan yang khusus bagi Allah kepada makhluk

Menyandarkan perbuatan kekhususan bagi Allah kepada makhluk termasuk perkara yang dilarang dalam agama kita, bahkan termasuk dari kekafiran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah pada suatu hari mendirikan salat di Hudaibiyah bersama para sahabat selepas hujan pada malam tersebut. Setelah selesai salat, beliau menghadap kepada para sahabat seraya berkata,

هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ : قَالَ أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ

Tahukah kamu apa yang telah difirmankan oleh Rabbmu?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Lalu, beliau bersabda, “Allah berfirman, ‘Di antara hamba-hamba-Ku, ada yang menjadi orang yang beriman dan ada yang kafir. Maka, barangsiapa yang mengatakan, ‘Kita diberi hujan dengan keutamaan dan rahmat Allah’, maka orang itu beriman kepada-Ku dan tidak beriman terhadap bintang-bintang. Sebaliknya, orang yang berkata, ‘Kita diberi hujan oleh bintang ini atau bintang itu, maka orang tersebut kafir terhadap-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.’[5]

Pada hadis di atas, Allah menyebutkan bahwa ada orang-orang yang mereka menyandarkan hujan kepada suatu bintang. Padahal, hujan diturunkan oleh Allah Ta’ala. Sehingga Allah menyebutkan bahwa orang tersebut kafir terhadap Allah Ta’ala. Adapun orang beriman, mereka menyandarkan hanya kepada Allah saja.

Dari sini, terlihat jelas bahwa penggunaan kata semesta tidak bisa menggantikan Allah dan bukan termasuk nama di antara nama-nama Allah, dan tidak bisa disandarkan kepada perbuatan yang menjadi kekhususan bagi Allah semata. Oleh karena itu, kata-kata ini semestinya dihindari, walaupun tidak bermaksud menuju kepada hal tersebut.

Kata semesta digunakan sebagai alias dari kata takdir

Terkadang kata semesta ini bisa diartikan pula sebagai alias dari takdir. Seperti “Semesta ini tidak bisa kita kira akan datangnya. Kita hanya dituntut untuk mengimaninya saja.” Karena takdir pun tidak bisa kita kira akan hadirnya, dan wajib kita untuk mengimani takdir yang baik maupun yang buruk.

Jika kata semesta pada suatu kalimat yang bermakna takdir membawa kepada hal positif, seperti kalimat di atas, maka tidak mengapa. Namun, jika kalimat tersebut membawa kepada hal negatif yang justru dalam bentuk mencela takdir, maka ini tidak diperbolehkan.

Namun, alangkah baiknya kata semesta dalam hal ini pun dihindari. Karena, bisa jadi, hal ini menjadi salah penafsiran bagi pembacanya. Tentu maksud dari kata-kata yang indah adalah agar multitafsir, akan tetapi tentunya multitafsir yang tidak harus melanggar syariat.

Kesimpulan

Pertama: Kata semesta yang harus dihindari dalam sebuah kalimat adalah yang dijadikan sebagai subjek. Sehingga disandarkan padanya perbuatan, seperti: menciptakan, memberikan rezeki, menghidupkan, membuat senang, mengatur waktu, dan lain sebagainya. Tentunya ini adalah kekhususan Allah Ta’ala. Sehingga, semesta yang di mana ia sebagai makhluk, tidak dapat menggantikan seluruh perbuatan yang dikhususkan kepada Allah Ta’ala

Kedua: Pada pembahasan ini terdapat pemurnian tauhid walau hanya dari sebatas kata. Tentunya sebagai seorang muslim, kita harus hati-hati dan menghindarkan segala hal yang dapat mencacati tauhid seorang hamba kepada Rabbnya.

Ketiga: Penggunaan kata semesta dalam bentuk objek tidak mengapa untuk digunakan. Seperti contohnya “Cantikmu bagaikan semesta.”

Keempat: Sebaiknya kata semesta ini dihindari agar tidak terjadi salah paham dalam menafsirkannya kendati untuk menghias sebuah kalimat. Masih banyak kalimat yang bisa digunakan selain kata semesta ini.

Wabillahit Taufiq.

***

Depok, 9 Sya’ban 1445 H / 19 Februari 2024 M

Penulis: Zia Abdurrofi

Sumber: https://muslim.or.id/92191-menilik-kembali-kata-semesta.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Inilah Amalan Ringan Berpahala Besar Saat Berpuasa Menurut Syaikh Ali Jum’ah

Bulan suci Ramadhan menjadi masa yang sangat istimewa bagi umat Islam. Berbagai keutamaan ada dalam bulan suci ini, mulai dari dilipatgandakannya pahala, dibelenggunya setan, dibukanya pintu surga hingga malam yang dinilai lebih baik dari seribu bulan.

Umat Islam pada bulan puasa berupaya untuk mengumpulkan pundi-pundi pahala dengan melakukan berbagai amalan sunnah dan memperbanyak amal kebaikan seperti sholat tahajud, mengkhatamkan Al-Quran, hingga bersedekah.

Namun, bagaimana mereka yang tak mampu melakukan semua itu lantaran tidak memiliki waktu atau disibukkan dengan berbagai masalah kehidupan? Syaikh Ali Jum’ah, ulama yang pernah menjadi Mufti Agung Mesir, mengungkapkan satu amalan yang ringan dan mudah dilakukan tetapi berpahala besar saat dilakukan di bulan Ramadhan.

Amalan tersebut disampaikan Syaikh Ali Jum’ah menjawab sebuah pertanyaan seorang pria. Pria tersebut merasa sedih karena setelah memiliki anak ia tak lagi dapat melakukan ibadah sunnah yang sebelumnya rutin ia lakukan setiap Ramadhan dan hanya bisa melakukan ibadah wajib saja.

Menurut Syaikh Ali Jum’ah, mendidik anak juga merupakan ibadah dan berpahala besar. Lantas amalan apa yang secara khusus dapat dilakukan saat berpuasa? Dzikir, jawab Syaikh Ali Jum’ah.

“Allah telah mengajarkan kita dzikir. Dan mengajarkan kita sepuluh kalimat baik yang perlu kita perbanyak,” kata Syaikh Ali Jum’ah dalam video yang dilihat Hidayatullah.com.

Kalimat atau dzikir tersebut adalah “Subhanallah, Alhamdulillah, Laa ilaha Illa Allah, Allahu Akbar, Laa Haula wala Quwata ilaa billah.”

Kelima kalimat ini merupakan al-bâqiyat ash-shâlihât yang disebutkan dalam Surat Al-Kahfi ayat ke-46.

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا

Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh (al-bâqiyat ash-shâlihât) adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”

Selain itu, Syaikh Ali Jumah juga menyebut ada 2 kalimat yang ringan di lisan (diucapkan) namun berpahala besar yakni “Subhanallah wa bihamdihi, subhanallahil adzim.”

Sementara sisanya yakni “Astagfirullah, Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, Hasbunallah wa ni’mal wakil, Tawakaltu ‘ala Allah, serta sholawat dan salam pada Rasulullah SAW.”

Inilah sepuluh kalimat baik yang mudah bagi lisan, ringan bagi manusia namun berat di timbangan amal (mizan) menurut Syaikh Ali Jum’ah.*

HIDAYATULLAH

Setan Dibelenggu di Bulan Ramadhan, Kenapa Maksiat Marak?

Salah satu hadis populer di bulan suci Ramadhan yang mungkin akrab kita dengarkan adalah hadis perihal “setan dibelenggu di bulan Ramadhan”. Hadis ini seringkali disampaikan penceramah atau khatib di berbagai kesempatan, seperti saat menjelang berbuka puasa dan setelah shalat tarawih

Namun banyak kalangan umat muslim yang bertanya tanya perihal hadis ini. Salah satu Pertanyaannya adalah mengapa di bulan Ramadhan masih banyak manusia yang melakukan maksiat? Katanya setan dipenjara? Lantas apa maksud hadis tersebut? 

Hadis perihal dipenjaranya setan saat bulan Ramadhan diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Sahih Muslim hadis ke 2173 berikut;

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال “إذا جاء رمضان فتحت أبواب الجنة، وغلقت أبواب النار، وصفدت الشياطين

Artinya, “Dari Abi Hurairah Ra sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:”Jika bulan Ramadhan datang, maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.”

Mengenai ihwal kesahihan hadis diatas tidak perlu dipertanyakan lagi. Sebab hadis diatas tertulis dalam kitab Sahih Muslim yang menjadi kitab hadits paling otoritatif di tengah kaum Muslimin.

Menjawab pertanyaan mengapa di bulan Ramadhan masih banyak manusia yang melakukan maksiat padahal setan telah dipenjara? Hal tersebut telah dijelaskan dalam kitab Fathul Mun’im Syarah Sahih Muslim juz 4 halaman 488 berikut:

قال القرطبي: فإن قيل: كيف ونحن نرى الشرور والمعاصي واقعة في رمضان كثيراً؟ فلو صفدت الشياطين لم يقع ذلك؟ فالجواب أنها إنما تقل عن الصائمين للصوم الذي حوفظ على شروطه، وروعيت آدابه، أو المصفد بعض الشياطين، وهم المردة، لا كلهم كما جاء في بعض الروايات، أو المقصود تقليل الشرور فيه، وهذا أمر محسوس، فإن وقوع ذلك فيه أقل من غيره، إذ لا يلزم من تصفيدهم جميعهم أن لا يقع شر ولا معصية، لأن لذلك أسباباً غير الشياطين، كالنفوس الخبيثة والعادات القبيحة والشياطين الإنسية

Artinya:” Al-Qurthubi berkata:”Jika ditanya:”Mengapa kita sering melihat keburukan dan pelanggaran di bulan Ramadhan? Padahal iblis dirantai, seharusnya hal ini tidak terjadi? Kejelekan tersebut menjadi jarang terjadi pada orang yang berpuasa dengan menjalankan semua syarat-syaratnya dan menjaga adab-adabnya.

Atau yang diborgol hanyalah sebagian setan tidak semuanya seperti keterangan di sebagian riwayat terdahulu. Atau yang dimaksud adalah sedikitnya kejelekan di bulan Ramadhan, ini adalah hal nyata karena kejelekan di bulan ramadhan kenyataannya memang lebih sedikit dibanding bulan-bulan lainnya dan bukan berarti apabila semua setan diborgol di bulan Ramadhan sekalipun, tidak akan terjadi kejelekan dan kemaksiatan karena masih dimungkinkan kejelekan tersebut terjadi disebabkan oleh nafsu yang jelek atau setan dari setan sebangsa manusia”

Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa untuk menjawab pertanyaan mengapa masih ada tindakan maksiat di bulan Ramadhan padahal setan telah dipenjara? setidaknya ada 3 jawaban:

  1. Seorang muslim yang masih bermaksiat pada bulan Ramadhan berarti ia belum menjalankan semua syarat-syarat puasa dan menjaga adab-adanya.
  2. Tidak semua setan yang dipenjara melainkan hanya sebagian, oleh karenanya masih memungkinkan adanya kemaksiatan.
  3. Dibelenggunya setan bukan jaminan tidak terjadi keburukan atau kemaksiatan. Karena ada faktor lain yang menyebabkan manusia melakukan maksiat. Yakni nafsu yang buruk, kebiasaan yang hinia dan setan yang berwujud manusia.

Demikian penjelasan perihal jika saat setan dibelenggu di Bulan Ramadhan, mengapa maksiat masih merajalela? Semoga bermanfaat Wallahu a’lam bissawab.

BINCANG SYARIAH

Rapper Lil Jon Memutuskan Jadi Mualaf di Awal Ramadhan

Rapper yang juga merupakan produser rekaman musik, Lil Jon, memutuskan untuk masuk Islam dan menjadi mualaf di depan jamaah sholat Jumat di Masjid King Fahad, Los Angeles, Amerika Serikat.

Kabar masuk Islamnya rapper bernama asli Jonathan H. Smith ini terungkap dalam sebuah video yang diunggah akun Youtube resmi Masjid King Fahad pada Jumat (15/03/2024) waktu setempat.

Dalam video tersebut terlihat Lil Jon mengenakan sebuah peci berwarna merah berdiri di depan jamaah sholat Jumat bersama seorang imam dan takmir.

“Alhamdulillah, hari ini kita kedatangan saudara Jon yang siap untuk menjadi seorang muslim dan bergabung dengan umat kita, semoga Allah SWT memberkatinya dan semoga Allah SWT menjaganya tetap istiqomah,” ujar sang imam tersebut di depan para jamaah.

Setelah itu, imam tersebut menjelaskan bahwa untuk menjadi muslim Lil Jon harus mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai bentuk pengakuan terhadap Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.

Dituntun oleh sang imam, Lil Jon kemudian bersyahadat. Yang pertama dengan bahasa Arab dan yang kedua dengan bahasa Inggris.

Jonathan H. Smith (lahir 17 Januari 1972), yang lebih dikenal dengan nama panggung Lil Jon, adalah seorang DJ, produser rekaman, dan rapper asal Amerika Serikat. Dia berperan penting dalam terobosan komersial subgenre hip hop crunk di awal tahun 2000-an, dan sering dikreditkan sebagai nenek moyang dari genre tersebut.

Dia adalah pentolan grup crunk Lil Jon & the East Side Boyz, yang telah merilis lima album. Selain itu, Lil Jon menjabat sebagai produser rekaman untuk sebagian besar rekaman oleh artis yang mempopulerkan genre ini; ini termasuk rapper yang berbasis di Miami, Pitbull, rapper yang berbasis di Bay Area, Too Short dan E-40, dan sesama artis yang berbasis di Atlanta, Ludacris, Ciara, dan Usher.

Pada tahun 2013, Lil Jon berkolaborasi dengan DJ Snake merilis sebuah single berjudul “Turn Down For What” yang disertifikasi octuple platinum oleh Recording Industry Association of America (RIAA).[9] Lagu ini kemudian memenangkan Penghargaan Musik Billboard untuk Lagu Dance/Elektronik Terbaik.

Video musik yang menyertainya dinominasikan untuk Penghargaan Grammy untuk Video Musik Terbaik, dan melewati tonggak sejarah 1 miliar penayangan di YouTube tujuh tahun setelah dirilis. Terdaftar sebagai salah satu Pemenang Penghargaan Musik Billboard Teratas Sepanjang Masa pada tahun 2016, Lil Jon telah mengumpulkan delapan singel nomor satunya di tangga lagu Rhythmic Billboard.*

HIDAYATULLAH

Darah Haid Tuntas Tapi Belum Mandi Besar, Bolehkah Berpuasa?

Perempuan haid dilarang berpuasa. Tapi, larangan ini tidak bermakna diskriminasi Islam terhadap perempuan. Puasa ramadhan memiliki keutamaan dan pahala berlimpah. Suatu kerugian apabila menyia-nyiakan bulan mulia ini. Namun demikian, ada beberapa kelompok yang diberikan keringanan, bahkan tidak boleh berpuasa di bulan ramadhan. Seperti musafir, pekerja berat dan lain-lain dengan beberapa syarat tertentu.

Termasuk perempuan yang sedang haid, mereka dilarang berpuasa. Apakah dengan demikian mereka kehilangan kesempatan meraih pahala dan keutamaan ramadhan? Tidak. Sebab larang berpuasa bagi perempuan haid merupakan perintah juga, perintah untuk tidak berpuasa. Maka, sekalipun tidak berpuasa tetap memperoleh keutamaan di bulan ramadhan.

Lalu, seandainya darah haid tuntas di malam hari dan sebelum mandi wajib perempuan niat berpuasa, mandi wajibnya setelah subuh atau di pagi hari, sah atau tidak puasanya?

Dalam kitab Hasyiyata Qalyubiy wa Umairah, dijelaskan, diharamkan melakukan aktifitas ibadah yang diharamkan saat haid, sekalipun darah haidnya telah tuntas sebelum mandi wajib terlebih dahulu, kecuali puasa dan talak.

Boleh berpuasa sekalipun belum mandi wajib sebab larangan berpuasa telah hilang bersamaan dengan berhentinya darah haid. Dengan kata lain, illat atau alasan keharaman berpuasa hilang bersama mampetnya darah haid.

Dengan demikian, perempuan yang telah tuntas haidnya boleh berpuasa di bulan ramadhan sekalipun belum mandi wajib. Namun demikian, tetap dianjurkan mandi terlebih dahulu sebelum terbit fajar mengingat puasa adalah ibadah mulia yang dalam pelaksanaannya sebisa mungkin seseorang bersih dari hadats besar seperti haid.

ISLAMKAFFAH

Setan Dibelenggu di Bulan Ramadhan, Kenapa Maksiat Marak?

Salah satu hadis populer di bulan suci Ramadhan yang mungkin akrab kita dengarkan adalah hadis perihal “setan dibelenggu di bulan Ramadhan”. Hadis ini seringkali disampaikan penceramah atau khatib di berbagai kesempatan, seperti saat menjelang berbuka puasa dan setelah shalat tarawih

Namun banyak kalangan umat muslim yang bertanya tanya perihal hadis ini. Salah satu Pertanyaannya adalah mengapa di bulan Ramadhan masih banyak manusia yang melakukan maksiat? Katanya setan dipenjara? Lantas apa maksud hadis tersebut? 

Hadis perihal dipenjaranya setan saat bulan Ramadhan diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Sahih Muslim hadis ke 2173 berikut;

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال “إذا جاء رمضان فتحت أبواب الجنة، وغلقت أبواب النار،

وصفدت الشياطين

Artinya, “Dari Abi Hurairah Ra sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:”Jika bulan Ramadhan datang, maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.”

Mengenai ihwal kesahihan hadis diatas tidak perlu dipertanyakan lagi. Sebab hadis diatas tertulis dalam kitab Sahih Muslim yang menjadi kitab hadits paling otoritatif di tengah kaum Muslimin.

Menjawab pertanyaan mengapa di bulan Ramadhan masih banyak manusia yang melakukan maksiat padahal setan telah dipenjara? Hal tersebut telah dijelaskan dalam kitab Fathul Mun’im Syarah Sahih Muslim juz 4 halaman 488 berikut:

قال القرطبي: فإن قيل: كيف ونحن نرى الشرور والمعاصي واقعة في رمضان كثيراً؟ فلو صفدت الشياطين لم يقع ذلك؟ فالجواب أنها إنما تقل عن الصائمين للصوم الذي حوفظ على شروطه، وروعيت آدابه، أو المصفد بعض الشياطين، وهم المردة، لا كلهم كما جاء في بعض الروايات، أو المقصود تقليل الشرور فيه، وهذا أمر محسوس، فإن وقوع ذلك فيه أقل من غيره، إذ لا يلزم من تصفيدهم جميعهم أن لا يقع شر ولا معصية، لأن لذلك أسباباً غير الشياطين، كالنفوس الخبيثة والعادات القبيحة والشياطين الإنسية

Artinya:” Al-Qurthubi berkata:”Jika ditanya:”Mengapa kita sering melihat keburukan dan pelanggaran di bulan Ramadhan? Padahal iblis dirantai, seharusnya hal ini tidak terjadi? Kejelekan tersebut menjadi jarang terjadi pada orang yang berpuasa dengan menjalankan semua syarat-syaratnya dan menjaga adab-adabnya.

Atau yang diborgol hanyalah sebagian setan tidak semuanya seperti keterangan di sebagian riwayat terdahulu. Atau yang dimaksud adalah sedikitnya kejelekan di bulan Ramadhan, ini adalah hal nyata karena kejelekan di bulan ramadhan kenyataannya memang lebih sedikit dibanding bulan-bulan lainnya dan bukan berarti apabila semua setan diborgol di bulan Ramadhan sekalipun, tidak akan terjadi kejelekan dan kemaksiatan karena masih dimungkinkan kejelekan tersebut terjadi disebabkan oleh nafsu yang jelek atau setan dari setan sebangsa manusia”

Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa untuk menjawab pertanyaan mengapa masih ada tindakan maksiat di bulan Ramadhan padahal setan telah dipenjara? setidaknya ada 3 jawaban:

  1. Seorang muslim yang masih bermaksiat pada bulan Ramadhan berarti ia belum menjalankan semua syarat-syarat puasa dan menjaga adab-adanya.
  2. Tidak semua setan yang dipenjara melainkan hanya sebagian, oleh karenanya masih memungkinkan adanya kemaksiatan.
  3. Dibelenggunya setan bukan jaminan tidak terjadi keburukan atau kemaksiatan. Karena ada faktor lain yang menyebabkan manusia melakukan maksiat. Yakni nafsu yang buruk, kebiasaan yang hinia dan setan yang berwujud manusia.

Demikian penjelasan perihal jika saat setan dibelenggu di Bulan Ramadhan, mengapa maksiat masih merajalela? Semoga bermanfaat Wallahu a’lam bissawab.

BINCANG SYARIAH