Perbanyak Zakat, Infak dan Sedekah Saat Ramadhan

Umat Islam akan memasuki bulan Ramadhan yang kemungkinan masih dalam situasi pandemi Covid-19. Selama masa pandemi Covid-19 ini banyak masyarakat menghadapi kesulitan ekonomi akibat terdampak pandemi Covid-19.

Sehubungan dengan itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengimbau untuk memperbanyak zakat, infak dan sedekah selama Ramadhan. Imbauan ini termaktub dalam Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 03/EDR/1.0/E/2021 tentang Tuntunan Ibadah Ramadhan 1442 H/ 2021 M Dalam Kondisi Darurat Covid-19 sesuai Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid. 

“Memperbanyak zakat, infak dan sedekah serta memaksimalkan penyalurannya untuk pencegahan dan penanggulangan wabah Covid-19. Hal ini selaras dengan spirit dari Alquran dan hadis,” kata Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Mohammad Mas’udi dalam Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 03/EDR/1.0/E/2021 yang diterima Republika, Senin (29/3).

Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 03/EDR/1.0/E/2021 ini mengutip ayat Alquran dan hadis yang menyeru umat manusia untuk melaksanakan zakat, infak dan sedekah.

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

. . . Barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya. (QS Saba: 39)

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS Al Baqarah: 261)

Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, dan kedermawanan itu semakin tampak pada bulan Ramadhan ketika malaikat Jibril menemuinya (HR. al-Bukhari dan Muslim). 

IHRAM

Ciri-ciri Ulama Palsu

KETENARAN adalah fitnah, popularitas adalah bencana, dan ingin terkemuka adalah penyakit yang menahun. Di antara orang yang terkenal sebagai ulama ada yang bisanya cuma memakai jubah yang lebar, menyisir-nyisir jenggot, membawa siwak yang panjang, dan menampakkan kekusyhuan yang semu, gemar menggoyang goyangkan kepala, suka mencium dahi orang, serta menyukai kata-kata penghormatan dan ungkapan ungkapan pujian.

Bila dikatakan bahwa dirinya adalah berkah bagi seluruh manusia, bahwa Allah menjaga bangsa ini karena dirinya, bahwa semua manusia besar atau kecil berdoa untuknya, dia pasti percaya. Musuh utama ulama palsu itu adalah orang yang tidak mengakui haknya, tidak mencium tangannya, tidak menyebut-nyebut jasanya, dan tidak menyinggung-nyinggung keutamaan keutamaannya. Lawan nomor satunya adalah orang yang mengkritik atau mengoreksinya atau memberikan catatan kepadanya. Tindakan seperti ini menurutnya tidak santun, tidak sopan, dan tidak beradab.

Jika anda sebut namanya tanpa gelar, dan tanpa kata-kata sanjungan, ia akan mengganggap sebuah kesalahan yang tak terlupakan. Jika anda memuji ulama lain dihadapannya, dia pasti mencela anda, mukanya memerah dan murka.

Semua pendapat harus berujung dan berpangkal padanya, dia pikir dia mengetahui berbagai hal dan ilmu. Dia tidak boleh disebut tidak tahu dan tidak boleh dianggap tidak mampu. Itulah ujub dan takabur. Dada orang itu sempit, tidak mungkin dilapangkan kecuali oleh Allah.

Tiga pernyataan para Thagut di muka bumi, dan binasa karena pernyataannya,

– pertama kata “Aku” seperti perkataan Iblis, “Aku lebih baik”

– kedua kata “Kumiliki” yang dikatakan Qarun,” Berkat ilmu yang kumiliki”

– ketiga kata “Milikku” , yang dikatakan Firaun, “Bukankah kerjaan Mesir ini milikku”

Wahai orang yang dibalut ujub, terselimuti kesombongan, dan terbius kelalaian, takkah kau dengar Bilal menyerukan tobat di fajar umurmu, “Marilah mengejar kemenangan”. Maka basuhlah hatimu dengan berwudhu dengan linangan air mata, duduklah di barisan pertama orang-orang yang tobat untuk mendengar takbiratul ihram menghadap Allah, sampai malaikat penjaga Surga Ridwan memanggilmu dengan kemenangan,” Masukilah surga dengan sejahtera dan aman sentosa (QS al Hijr : 46). [Syeikh Aidh Al Qarni]

INILAH MOZAIK

Dua Masalah Terkait Niat Puasa di Bulan Ramadhan

Niat merupakan syarat sah ibadah puasa, sebagaimana ibadah-ibadah yang lainnya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal itu hanyalah tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai dengan yang dia niatkan” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).

Berkaitan dengan niat puasa, terdapat dua masalah yang akan kami bahas dalam tulisan ini.

Apakah niat puasa harus dilakukan di malam hari bulan Ramadhan?

Dalam masalah ini, terdapat dua pendapat di kalangan para ulama.

Pendapat pertama, tidak disyaratkan niat di malam hari bulan Ramadhan. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyyah.

Dalil yang dikemukakan oleh Hanafiyah adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Salamah bin Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ أَنْ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنَّ مَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيَصُمْ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ وَمَنْ لَمْ يَكُنْ أَكَلَ فَلْيَصُمْ فَإِنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seseorang dari suku Aslam untuk menyerukan kepada manusia, bila ada seseorang yang sudah makan maka hendaklah dia mengganti puasanya pada hari yang lain dan siapa yang belum makan hendaklah dia meneruskan puasanya karena hari ini adalah hari ‘Asyura’.” (HR. Bukhari no. 2007 dan Muslim no. 1135)

Sisi pendalilan dari hadits tersebut adalah bahwa puasa ‘Asyura’ itu diwajibkan pada masa awal-awal Islam. Karena jika puasa ‘Asyura itu tidak wajib, tentu tidak akan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan. Di dalam hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan puasa dimulai di siang hari, dan tentunya mereka belum berniat puasa di malam harinya. Sehingga niat di malam hari itu tidak wajib, karena boleh saja niat puasa di siang harinya.

Pendapat kedua, disyaratkan untuk berniat puasa di malam hari. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama).

Dalil yang dikemukakan adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Hafshah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa yang belum berniat untuk berpuasa sebelum fajar, maka tidak ada (tidak sah) puasa baginya.” (HR. Abu Daud no. 2098, An-Nasa’i no. 2291, Ibnu Majah no. 1700. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 913)

Hadits ini diriwayatkan melalui sanad yang shahih dari tiga orang sahabat, yaitu Ibnu ‘Umar, Hafshah, dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Juga, tidak diketahui adanya sahabat lain yang menyelisihi pendapat ini. Sehingga pendapat kedua inilah yang lebih kuat.

Sanggahan untuk pendapat ulama Hanafiyah

Adapun cara berdalil ulama Hanafiyah di atas, dapat disanggah melalui beberapa argumentasi berikut ini.

Pertama, puasa ‘Asyura tidak wajib, akan tetapi sunnah. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ وَلَمْ يَكْتُبْ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَأَنَا صَائِمٌ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ

“Ini adalah hari ‘Asyura’ dan Allah belum mewajibkan puasa atas kalian dan sekarang aku sedang berpuasa. Maka siapa saja yang mau, silakan berpuasa. Dan siapa saja yang tidak mau, silakan berbuka (tidak berpuasa).” (HR. Bukhari no. 2003 dan Muslim no. 1129)

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa ‘Asyura adalah puasa sunnah, bukan puasa wajib.

Kedua, jika memang puasa ‘Asyura itu hukumnya wajib di masa awal Islam, maka puasa tersebut diwajibkan di siang hari, bukan sejak malam harinya. Sehingga berniat puasa ‘Asyura di malam harinya tidak mungkin dilaksanakan, karena memang belum diperintahkan.

Ketiga, jika kita terima pendapat yang mengatakan bahwa boleh berniat puasa Ramadhan di siang hari, maka kita katakan, “Seandainya seseorang itu makan minum di pagi hari, kemudian di tengah hari dia berniat puasa, apakah puasanya sah?” Tentu mereka akan mengatakan bahwa puasa tersebut tidak sah. Maka dari sini, gugurlah sisi pendalilan mereka.

Kewajiban niat puasa di malam hari hanya berlaku untuk puasa wajib, semisal puasa Ramadhan, puasa nadzar, atau puasa kaffarah. Adapun untuk puasa sunnah, maka boleh niat di siang hari sesuai dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ يَا عَائِشَةُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ قَالَ فَإِنِّي صَائِمٌ

“Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, “Wahai ‘Aisyah, apakah Engkau mempunyai makanan?” Aisyah menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, aku akan berpuasa.” (HR. Muslim no. 1154)

Inilah pendapat sahabat ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah bin Yaman, Thalhah, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum, juga pendapat Sa’id bin Musayyib, Sa’id bin Jubair, An-Nakha’i, Abu Hanifah, Ahmad, Syafi’i rahimahumullah.

Apakah niat harus dilakukan setiap malam di bulan Ramadhan, atau boleh niat sekali di awal bulan Ramadhan?

Dalam masalah ini, terdapat dua pendapat di kalangan para ulama.

Pendapat pertama, disyaratkan untuk niat puasa di setiap malam. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahumullah.

Argumentasi yang disampaikan adalah karena setiap hari bulan Ramadhan adalah ibadah yang terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Jika puasa di satu hari batal, maka tidak membatalkan puasa di hari lainnya. Sehingga harus berniat puasa di setiap malam di bulan Ramadhan.

Pendapat kedua, boleh atau cukup untuk berniat puasa di awal bulan Ramadhan (dengan niat puasa sebulan penuh, misalnya). Ini adalah pendapat Imam Malik, Ishaq, dan juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahumullah.

Argumentasi yang disampaikan adalah karena ibadah puasa bulan Ramadhan itu ibadah yang berturut-turut pelaksanaannya. Sehingga cukup satu niat di awal bulan, selama puasanya tidak ada yang batal. Hal ini karena tidak boleh sengaja tidak berpuasa tanpa ada udzur (alasan) yang dibenarkan oleh syariat.

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, yaitu harus niat puasa di setiap malam karena dua alasan berikut ini.

Pertama, karena setiap hari di bulan Ramadhan adalah ibadah yang terpisah (berdiri sendiri), dimulai dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari. Jadi dipersyaratkan untuk niat di setiap malamnya.

Kedua, jika ada satu hari puasa yang batal, maka tidak akan merusak ibadah puasa, baik di hari sebelumnya ataupun di hari setelahnya.

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

 Artikel: Muslim.or.id

Apa Agama Teroris?

Aksi teror yang meresahkan dan mengancam keharmonisan sosial rupanya tidak ada habisnya. Sialnya, para teroris seringkali memakai atribut dari agama tertentu. Alhasil, terjadilah stereotipe yang kelewat menyebalkan.

Teroris itu punya agama atau enggak? Ini pertanyaan yang sulit. Kalau dijawab punya, berarti kita sedang mengafirmasi agama tertentu mengajarkan aksi-aksi nir-kemanusiaan. Tapi kalau dijawab enggak punya, faktanya mereka mengklaim dirinya sedang melakukan misi keagamaan.

Untuk itu, saya kira penting membincang apa itu agama. Mula-mula, sebut saja ia sebagai sebuah institusi kepercayaan dengan segala infrastrukturnya. Dan, anggaplah itu sebagai agama.

Sementara, para pesohor dari rumpun ilmu sosial memberi keterangan bahwa agama merupakan sarana manusia dalam mengakui adanya kekuatan lain di luar dirinya. Ini seperti diungkap oleh Edward Burnett Tylor yang dikutip dari Seven Theories of Religion (1996) karya Daniel L. Pals. Hal senada juga dikatakan James George Frazer dalam The Golden Bough. Meski begitu, ia membedakan antara sihir dengan agama. Menurutnya, agama adalah keyakinan bahwa alam ini dikuasai oleh satu (atau lebih) dewa.

Di lain pihak, al-Quran punya sedikitnya dua diksi, ad-Din dan Millah. Keduanya merujuk pada makna yang kurang lebih sama namun dengan penggunaan yang berbeda. Pada yang pertama, umpamanya, sebuah ayat menyebut al-yauma akmaltu lakum diinakum…(telah Kusempurnakan pada hari ini untukmu agamamu), sedang pada yang kedua biasanya melekat dengan leluhur Nabi Muhammad, millata Ibrahim.

Meski begitu, millah terkadang dipakai juga untuk pengertian yang lebih teknis. Misalnya adalah kata millah dalam Surah al-Baqarah ayat 120 yang merujuk pada Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian, disebut millah karena nabi-nabi yang memunculkannya dahulu sudah mengimlakkan untuk umat mereka.

Sebaliknya, seorang penafsir senior bernama Imam Ja’far ath-Thabari menulis dalam Jamiʿal-Bayan an Taʾwil ay al-Qurʾan bahwa kata ad-Din adalah serupa dengan ath-thaʿah (ketaatan). Namun, ketaatan dan kepatuhan di sini tidak sekadar “iya-iya” aja, atau membeo.

Artinya, ada semacam kesadaran bahwa ketaatan itu dibangun bukan dalam pengertian yang politis, tetapi totalitas. Maka di sini, ayat inna ad-dina inda Allah al-Islam menjadi relevan: bahwa sesungguhnya ketaatan yang diterima di sisi Allah adalah ketaatan yang totalitas dipersembahkan untuk-Nya saja.

Lagi pula, kata al-Islam sendiri berasal dari kata kerja aslama yang berarti: “masuk ke dalam kepasrahan dan ketundukan yang total”. Oleh karena itu, al-Islam bermakna kepatuhan cum ketundukan (al-Inqiyad bil-khudhluʿ), tanpa adanya resistensi sedikit pun.

Di titik ini, adalah tidak masuk akal jika para pelaku teror mengklaim aksinya sebagai ejawantah dari ajaran Islam. Apalagi jika mau sedikit lebih teliti membaca al-Quran, pastilah peledakkan rumah ibadah itu tidak akan pernah terjadi.

Lha gimana, Gusti Allah sendiri kok yang bilang “…kalau bukan lantaran Allah menolak keganasan manusia, sebagian dengan sebagian yang lain, tentulah sudah roboh biara-biara, gereja-gereja, sinagog-sinagog, dan masjid-masjid yang di dalamnya disebut nama Allah banyak sekali…” (Q.S. al-Hajj [22]: 40)

Rupanya, ayat ini memang cukup menarik. Tidak saja diawali (dalam teks utuhnya) oleh sebuah situasi getir berupa potret ketidakadilan sebagian manusia, tetapi ayat tersebut juga memposisikan masjid pada urutan yang paling belakang. Situasi redaksional ini, menurut Muhammad Ali dalam The Holy Quran, menyiratakan bahwa kehidupan seorang muslim mestinya bukan saja dikurbankan untuk menghentikan penganiayaan terhadap dirinya, tetapi seharusnya diabdikan juga untuk melayani masjid-masjid, dan juga memastikan keamanan gereja-gereja, dan sinagog, dan rumah ibadah lainnya.

Maka, jika umat Muslim bersepakat dengan tawaran tafsir tersebut, kita boleh sedikit berbangga karena belum tentu terdapat ajaran seadiluhung itu dalam kitab suci agama lain. Persoalannya, benarkah segenap umat Muslim sudah betul-betul “mendengar”, meresapi, atau sekadar mengakses ayat tentang Biara, Gereja, Sinagog, dan Mesjid?

Kalau melihat realitas yang ada, lewat kasus pembakaran, perusakan, dan bahkan pengeboman rumah ibadah, rasanya kita hanya semakin lantang menyeru “kembali ke al-Quran” tanpa pernah benar-benar membacanya.

Jadi, omong kosong kalau ada pelaku teror mengklaim dirinya, atau aksinya, atau misinya adalah bagian dari ajaran agama. Dan, kalau dipikir-pikir lagi, bukankah agama itu tidak lebih dari mata pelajaran di bangku sekolah?

Untuk itu, ketimbang berdebat soal “apa agama teroris”, saya kira akan lebih relevan mendebat “di mana para teroris mengenyam sekolah agama”. Heuheu…

ISLAMIco

Problematika Perempuan Saat Puasa Ramadhan

Ada banyak problematika perempuan saat puasa Ramadhan. Puasa Ramdhan adalah ibadah yang hukumnya wajib bagi umat Islam. Pembahasan tentang kewajiban puasa Ramadhan ada dalam Quran Surat Al-Baqarah Ayat 183 sebagai berikut:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Yā ayyuhallażīna āmanụ kutiba ‘alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba ‘alallażīna ming qablikum la’allakum tattaqụn

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Lewat ayat tersebut, Allah Swt. menyeru pada orang-orang yang beriman dengan panggilan spesial yakni “hai orang-orang yang beriman”. Adanya panggilan ini menyatakan bahwa Allah Swt. mengingatkan umat Islam terhadap eksistensi, hakikat, dan jati dirinya sebagai seorang hamba yang beriman.

Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa indikasi bahwa orang yang beriman akan berhasil mencapai taqwa dengan puasa Ramadhan. Hal ini bisa dilihat dari semangat seorang hamba mengisi hari-hari Ramadhan dengan berbagai bentuk ibadah selain puasa.

Sebagai misal, qiyamullail yakni dengan melaksanakan shalat tarawih, shalat witir, shalat tahajjud, tilawah Al-Qur’an, sedekah dan berbagai amal kebajikan lainnya.

Agar puasa Ramadhan yang dijalankan tidak terasa begitu berat, selain panggilan spesial untuk hamba-hambanya yang beriman, Allah Swt. juga menjelaskan dalam bahwa kewajiban puasa berlaku juga bagi umat-umat terdahulu karena sudah menjadi tabiat manusia akan merasa sedikit ringan jika suatu beban itu juga dibebankan kepada orang lain, bukan hanya ia sendiri.

Pada bagian akhir ayat di atas, Allah Swt. menyatakan bahwa tujuan utama ibadah puasa adalah membentuk Muslim yang bertaqwa. Kiranya, Allah Swt. telah memberikan pemahaman agar dalam melaksanakan puasa Ramadhan, kita seharusnya tidak terjebak pada sekadar menggugurkan kewajiban.

Dalam mengisi bulan Ramadhan, laki-laki dan perempuan mendapat kesempatan yang sama untuk bisa meraih keutamaan dan keistimewaan. Tapi, ada hal-hal bersifat qodrati yang tidak bisa dielakkan oleh perempuan. Selain itu, ada pula hal-hal yang membatasi kegiatan-kegiatan perempuan di bulan Ramadhan.

Hal ini diakibatkan karena tugas-tugas dan tanggung jawab sosial perempuan yang kadang-kadang membuatnya tidak dapat mengisi Ramadhan sebagaimana yang disyariatkan kepadanya. Problematika yang dihadapi perempuan saat menunaikan ibadah puasa diantaranya adalah haid dan nifas serta istihadah.

Selain itu, ada pula hamil dan menyusui. Selanjutnya, ada juga pemakaian alat kontrasepsi, saat mencicipi makanan, memakan obat penunda haid, dan lain-lain.

Hamil dan Menyusui

Problematika perempuan saat puasa Ramadhan yang paling umum adalah hamil dan menyusui. Perempuan yang hamil dan menyusui bayi diperbolehkan berbuka puasa apabila merasa khawatir atas kesehatan dirinya ataupun bayinya, baik bayi itu anak kandung perempuan yang menyusui ataupun anak orang lain, baik perempuan itu sebagai ibu dari bayi yang disusuinya ataupun sebagai ibu susu yang disewa orang tua kandungnya.

Kekhawatiran tersebut membolehkan dua kategori perempuan untuk berbuka puasa.  Perlu dicacat, kekhawatiran mestin berdasarkan perhitungan yang matang. Hal ini bisa diukur dengan pengalaman sebelumnya atau hasil konsultansi dengan dokter. Alasan dibolehkannya berbuka bagi keduanya adalah mengqiyaskannya kepada orang sakit dan musafir.

Dalam Al-Fiqh Al-Islamiy, Wahbah Az-Zuhaily menjelaskan bahwa alasan bolehnya perempuan hamil dan menyusui berbuka puasa adalah dengan qiyas terhadap orang sakit dan musafir. Alasan lain terdapat dalam hadits Rasulullah Saw. sebagai berikut:

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ، وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ

Artinya: “Sesungguhnya Allah swt meringankan kewajiban puasa dan sebagian shalat dari musafir dan (meringankan kewajiban) puasa dari perempuan hamil dan perempuan menyusui.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Abu Dawud)

Muhammad Ibn Ali Asy-Syaukaniy dalam Nail al-Autar menjelaskan, saat seorang perempuan hamil atau menyusui merasa ada kekhawatiran akan bahaya kebinasaan yang akan menimpanya atau anaknya kalau dia tetap berpuasa maka haram ia berpuasa.

Aturan tentang tata cara mengganti puasa yang tertinggal ini para ulama berbeda pendapat Az-Zuhaily menjelaskan salam al-Fiqh al-Islamiy, menurut mazhab Hanafi, apabila ada perempuan hamil atau menyusui yang tidak berpuasa, maka keduanya wajib mengqada puasanya tersebut tanpa harus mengeluarkan fidyah.

Sedangkan menurut mazhab Syafii dan Hambali, apabila keduanya tidak berpuasa lantaran mengkhawatirkan anaknya, maka keduanya wajib mengqada puasa dan juga membayar fidyah.

Problematika pertama perempuan saat puasa Ramdhan yakni hamil dan menyusui bisa diselesaikan dengan mengqada dan membayar fidyah puasa. Tapi, apabila fisik sang ibu dan anak kuat dalam menjalankan puasa, maka ada baiknya apabila menunaikan puasa. Hal perlu dicatat adalah puasa yang dijalankan jangan sampai karena paksaan.

Islam telah memudahkan, kini giliran kita yang memutuskan. Selain hamil dan menyusui, ada banyak problematika perempuan saat puasa Ramadhan yakni haid dan nifas, istihadah, pemakaian alat kontrasepsi, mencicipi makanan, memakan obat penunda haid, dan lain-lain yang akan dibahas di tulisan berikutnya.

Ada hikmah di balik syariat yang ditetapkan bagi perempuan hamil dan menyusui saat puasa. Sebagaimana diketahui, memiliki keturunan adalah salah satu tujuan utama perkawinan.

Dengan begitu, keturunan akan berkelanjutan dan melahirkan cikal-bakal generasi mendatang. Allah Swt. telah menanam rasa suka dan bahagia bagi setiap pasangan yang telah dikaruniai keturunan. Anak adalah berkah bagi keluarga, terutama untuk kedua orang tuanya.

Tapi karena alasan-alasan tertentu, ada kekhawatiran akan kesehatan ibu terlalu sering hamil dan melahirkan, atau bisa juga disebabkan karena kekhawatir akan kesulitan materi bila anak terlalu banyak di mana akan berakibat pada tidak terpenuhinya kebutuhan anak-anak serta rendahnya pendidikan mereka.

Maka, banyak pasangan yang membatasi kelahiran dengan memakai alat kontrasepsi atau bisa juga dengan cara-cara tertentu.

Alat Kontrasepsi

Cara yang paling banyak digunakan untuk menghalangi atau mengurangi laju kelahiran dimasa Rasulullah Saw. adalah degan azal. Azal ialah mengeluarkan air mani di luar rahim apabila terasa akan keluar.

Para sahabat melakukan ini di zaman Rasulullah Saw. saat wahyu masih turun sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Jabir r.a.: “Kami melakukan azal pada masa Rasulullah Saw. sedangkan Al-Qur’an masih turun.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Selain itu, ada pula Usamah bin Zaid yang meriwayatkan bahwa seseorang menghadap Rasulullah Saw. dan bertanya:

“Wahai Rasulullah Saw., saya telah melakukan azal terhadap istri saya. Rasulullah Saw. menjawab: mengapa engkau lakukan itu? Orang itu menjawab: Saya kasihan kepada anaknya atau dia, berkata saya kasihan kepada anak-anaknya. Rasulullah Saw. pun bersabda: Kalau azal itu berbahaya, tentu telah membahayakan bangsa Parsi dan Romawi.” (H.R. Muslim)

Yusuf al-Qardawy menulis dalam bukunya yang berjudul Halal Haram Dalam Islam (2000) terjemahan Wahid Ahmadi bahwa dalam hadis ini, seolah-olah Rasulullah Saw. melihat bahwa kondisi pribadi ini tidak membahayakan untuk umat secara keseluruhan.

Buktinya, azal tidak membahayakan bangsa Parsi dan Romawi yang juga melakukan azal, padahal keduanya adalah negara terkuat pada masa itu.

Salah satu alasan syar’i yang memungkinkan bisa diterimanya masalah ini adalah tentang kekhawatiran masalah pertumbuhan terhadap anak yang masih menyusui. Apabila ada kandungan baru lagi, maka kehamilan selanjutnya akan merusak ASI dan memperlemah anak. Demikian Yusuf al-Qardaway menjelaskan dalam bukunya.

Sementara itu, si bayi sangat membutuhkan perhatian ibu dalam usianya yang masih sangat muda, padahal sang ibu dalam keadan hamil dan menghadapi segala risiko yang tidak dapat memperhatikan si bayi dengan baik. Selain itu, boleh jadi kondisi kesehatan sang ibu yang baru beberapa bulan melahirkan belum pulih, padahal ada “penyakit” baru telah datang lagi.

Berbeda dengan zaman dahulu, saat ini telah ditemukan berbagai sarana yang bisa digunakan untuk mencegah kehamilan. Pencegahan ini bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan dengan sasaran yang ingin dicapai yakni perlindungan terhadap bayi dan ibu dari bahaya dan kemudharatan serta menghindari kerusakan lain berupa menahan diri dari istri saat menyusui, dan ini memberatkan suami.

Cara modern yang bisa dilakukan itu antaralain memakan pil KB, suntikan, spiral, kondom, sterilisasi, dan lain sebagainya. Meskipun cara-cara ini terbilang efektif dalam  mengatur kelahiran, namun sebagiannya dapat menimbulkan masalah bagi perempuan, seperti haid yang tidak teratur, bahkan kadang-kadang terus menerus.

Selain itu, perempuan juga dihadapkan dengan permasalahan lain yang timbul dalam penggunaan alat kontrasepsi modern. Sebagai misal, pada pemasangan spiral dan pengontrolannya. Memasang spiral yaitu memasukkannya alat ke dalam vagina pada posisi tertentu. Sementara pengontrolannya adalah dengan cara mengecek apakah spiral tetap pada posisi yang sama pada saat ditempatkan.

Perlu dicatat bahwa pemasangan spiral pada bulan Ramadhan akan menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada yang mengatakan bahwa puasanya batal dan ada pula yang mengatakan puasanya tidak batal. Pendapat tersebut tentu berdasarkan argumen masing-masing yang memiliki konteks berbeda-beda.

Jumhur ulama; mazhab Hanafi, Syafi‟i, dan Hambali berpendapat puasa akan menjadi batal dengan sebab pemasangan spiral, sebab pemasangan spiral berarti memasukkan sesuatu kedalam rongga tubuh bagian dalam yang dimasukkan melalui lubang terbuka dengan sengaja.

Sedangkan mazhab Maliki mengatakan tidak batal. Alasannya adalah bahwa yang dimaksudkan dengan memasukkan sesuatu ke dalam lubang tubuh bagian bawah ini berwujud cairan bukan benda padat.

Sementara itu, hukum untuk pengontrolan spiral yang dilakukan secara manual atau USG juga berbeda-beda. Jumhur ulama selain mazhab Syafi’i menyatakan tidak membatalkan puasa.

Sementara itu, ulama mazhab Syafi’i menyatakan bahwa puasanya batal. Untuk itu, kita mesti kembali pada kepercayaan dan mazhab yang dianut oleh masing-masing orang.

Jangan lupa, pemasangan alat kontrasepsi pun mesti didiskusikan terlebih dahulu, tidak berdasarkaan paksaan salah satu pihak saja.

Istihadah

Istihadah adalah darah yang keluar dari kemaluan perempuan, tapi tidak pada waktu-waktu yang normal seperti haid atau nifas. Ia adalah darah penyakit. Umumnya, istihadah terjadi pada perempuan di bawah usia haid yakni 9 tahun atau darah yang keluar dalam waktu kurang dari sedikit-dikitnya masa haid atau melebihi selama-lama masa haid dan juga masa nifas.

Tidak ada halangan apa pun bagi para perempuan yang mengalami istihadah dalam melaksanakan ibadah, baik ibadah yang wajib dan sunnah. Ada beberapa hadits Rasulullah Saw. yang melandasi hal tersebut, diantaranya sebagai berikut:

Pertama, hadits dari Aisyah r.a. yang menyatakan bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy berkata kepada Rasulullah Saw.: “Aku perempuan istihadah, aku tidak suci, apakah kutinggalkan shalat?” Rasulullah Saw. pun menjawab: “Istihadah itu bukan haid, jika engkau kedatangan haid, tinggalkan shalat, maka jika ukuran biasanya telah selesai, mandilah dan shalatlah.” (Asy-Syaukani, Nail al-Autar, Juz I, halaman 268).

Kedua, ada hadits Nabi Muhammad Saw. yang memerintahkan Hamnah binti Jahsy untuk berpuasa dan shalat pada waktu istihadah. (H.R. Abu Daud, Ahmad dan at-Tirmizi).

Dari dua hadits di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa perempuan haid atau nifas yang bersambung dengan istihadah hanya meninggalkan hal-hal yang dilarang dalam masa haidnya saja, kemudian ia mandi dan beribadah seperti biasa.

Dalam Al-Fiqh Al-Islamy, Az-Zuhaily menuliskan bahwa menurut Malikiyah, perempuan yang istihadah disunnahkan berwudhu setiap kali akan melaksanakan ibadah shalat dan jika darah istihadahnya telah berhenti dan disunnahkan untuk mandi.

Sedangkan menurut jumhur ulama, perempuan yang istihadah wajib berwudhu setiap kali masuk waktu shalat setelah terlebih dahulu membersihkan dan membasuh kemaluannya dan memakai pembalut.

Pil Penunda Haid

Problematika perempuan saat puasa Ramadhan selanjutnya adalah mengonsumsi pil penunda haid. Dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan, para ulama sepakat bahwa perempuan muslimah yang sedang haid diwajibkan untuk tidak berpuasa. Namun, diwajibkan baginya untuk mengqadanya pada bulan yang lain.

Hal ini adalah kemurahan dari Allah Swt. dan rahmatNya kepada perempuan yang sedang haid, sebab kondisi badan seorang perempuan sedang lelah dan urat-uratnya lemah, perasaan tidak enak dan lain-lain.

Maka dari itu, Allah Swt. mewajibkan untuk berbuka dan bukan sekadar dibolehkan tidak puasa. Jika mereka berpuasa, maka puasanya tidak sah dan tidak diterima. Perbuatan meninggalkan puasa saat masa haid telah dilakukan para muslimah sejak masa Rasulullah Saw.

Ummahat al-Mukminin dan para Shahabiyah dan para Muslimah yang mengikuti mereka tidak berpuasa di bulan Ramadhan bila mereka mengalami haid. Aisyah r.a berkata: “Kami diperintahkan mengqada puasa dan tidak diperintahkan mengqada shalat.” (H.R. Bukhari)

Lantas, bagaimana apabila seorang perempuan menggunakan pil penunda haid saat puasa? Setiawan Budi Utamo menulis dalam bukunya Fiqih Aktual (2003) yang selaras dengan pendapat Yusuf Qardhawy bahwa lebih afdal apabila segala sesuatu berjalan secara alamiah sesuai dengan tabiat dan fitrahnya.

Darah haid adalah perkara tabi’i, yakni proses alamiah biologis yang fitri dan sebaiknya dibiarkan berjalan sesuai dengan tabiat dan fitrahnya sebagaimana ia diciptakan Allah Swt.

Meski demikian, penggunaan pil ini tidak dilarang. Hal ini berlaku apabila pil tersebut tidak membawa efek samping medis yang membahayakan bagi penggunanya. Untuk itu, para perempuan yang ingin menggunakannya mesti melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan dokter ahli kandungan.

Quraish Shihab dalam Panduan Puasa (2000) tidak cenderung membolehkan penggunaan pil tersebut dengan alasan bahwa pil tersebut hanya menahan keluarnya darah tapi tidak menghilangkan dampak psikis haid.

Mencicipi Makanan

Problematika perempuan saat puasa ramadhan lainnya adalah mencicipi makanan. Memasak dan menyediakan makanan untuk orang yang berpuasa di bulan Ramadhan umumnya dilakukan oleh perempuan. Agar rasa makanan tersebut pas dan tidak berlebihan atau kurang, biasanya makanan tersebut dicicipi terlebih dahulu sebelum dihidangkan.

Mencicipi makanan pada saat berpuasa tidaklah membatalkan puasa. Syaratnya adalah makanan yang dicipipi tersebut tidak sampai tertelan. Tapi sebaiknya tidak dilakukan sebab hukumnya makruh. Hal ini dikarenakan mencicipi makanan membuka peluang batalnya puasa.[]

BINCANG SYARIAH

Larangan Bergabung dengan Perkumpulan yang Didalamnya Ada Kemaksiatan Kepada Allah

Allah Swt Berfirman :

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا

Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam. (QS.an-Nisa’:140)

Ayat ini memperingatkan kaum muslimin agar tidak ikut serta dalam perkumpulan yang merendahkan dan mengolok-olok Al-Qur’an. Sampai mereka berhenti merendahkan Al-Qur’an dan beralih ke pembicaraan lain.

Lalu kemudian ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa siapa yang mengikuti perkumpulan yang merendahkan al-Qur’an maka ia sama dengan orang-orang disana yang mengolok-olok Al-Qur’an.

إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ

“(kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.”

Lalu ayat ini melanjutkan penekanan bahwa siapa yang ikut dalam majlis yang mengolok-olok Al-Qur’an maka di dalam jiwanya ada benih-benih kemunafikan. Dan Allah akan mengumpulkan orang-orang kafir serta orang munafik dalam satu tempat yang sama yaitu neraka Jahannam.

Pada intinya, ayat ini ingin mengingatkan kita tentang beberapa pesan penting :

1. Ikut dalam perkumpulan maksiat sama halnya dalam ikut berbuat maksiat, walaupun ia tidak melakukannya namun ia hanya ikut duduk diam di tengah-tengah mereka. Karena kehadiran di tengah perkumpulan itu adalah tanda bahwa ia rela dengan kemaksiatan yang dilakukan didalamnya.

2. Jika tidak mampu melarang secara langsung, maka tugas kita adalah menyatakan sikap tidak setuju dengan tidak menghadiri perkumpulan maksiat tersebut.

3. Orang yang datang ke peekumpulan maksiat walau ia hanya diam saja dan tidak melakukan kemaksiatan seperti yang lain, maka ia juga akan mendapatkan dosa dan balasan seperti yang berbuat maksiat.

4. Tidak ada larangan kita untuk bergaul dan berkumpul dengan saudara yang berbeda agama, asalkan didalamnya tidak ada pembicaraan yang merendahkan dan mengolok-olok Al-Qur’an.

5. Tidak berani bersikap dihadapan perkumpulan maksiat adalah tanda kemunafikan. Seorang muslim sejati harus punya sikap yang jelas dalam urusan ini. Khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan merendahkan Al-Qur’an. Bila tidak bisa menegur secara langsung maka sikap tidak setuju dengan tidak datang ke perkumpulan itu adalah bukti keimanan.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Adakah Batasan Keuntungan Dalam Jual Beli?

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Pertanyaan:

Apakah keuntungan dalam jual beli memiliki batasan tertentu?

Jawaban:

Keuntungan dalam jual beli tidak memiliki batasan tertentu selama seluruh pasar memiliki harga yang sama-sama naik. Misalkan seseorang membeli barang dengan harga 100, kemudian harga barangnya naik menjadi 200, lalu dia menjualnya dengan harga 200 tersebut, maka dia mendapat keuntungan 100%.

Adapun jika dia menaikkan harga barang pada saat harga barang di pasar tidak mengalami perubahan, dan dia berniat merugikan banyak orang, atau dia menambah harga dengan sebab pembelinya termasuk orang yang bisa ditipu karena tidak mengetahui harga-harga, maka dalam kondisi-kondisi tersebut hukumnya adalah haram dan tidak halal baginya menjual lebih besar dari harga yang biasa penjual pasar menjualnya.

Sebagian penjual mengatakan: “Seandainya jika aku menyebutkan harga barang dengan harga pasar kepada pembeli, kemudian pasti si pembeli menawar untuk mengurangi harga barangnya.” Maka kita katakan, tidak mengapa engkau menambah harga jualnya, namun dengan syarat sebelumnya engkau memang menduga pembeli tersebut akan menawar untuk mengurangi harga kepadamu. Namun jika engkau menyangka bahwa pembeli biasanya tidak akan menawar untuk mengurangi harga, maka harus engkau katakan kepadanya dengan harga yang berlaku di pasar.

Contohnya, jika ada seorang yang membeli barang anda dengan harga yang berlaku di pasar yaitu sebesar 100. Namun engkau katakan harganya 120, dengan sangkaan bahwa dia si pembeli akan meminta pengurangan harga hingga mencapai harga 100. Akan tetapi si pembeli rupanya tidak meminta pengurangan harga dan menerima harga 120 tersebut, maka dalam hal ini wajib bagi engkau si penjual untuk mengatakan kepadanya: “sabarlah, saya mengatakan kepada engkau dengan harga 120 dikarenakan saya menyangka engkau seperti kebanyakan orang yang meminta untuk pengurangan harga. Namun selama engkau tidak meminta pengurangan harga, maka harga sebenarnya adalah 100”. Tidak mengapa engkau mengatakan demikian, bisa jadi ini menjadi bukti akan kejujuranmu dalam bermuamalah dengan masyarakat. Dalil tentang sikap jujur dalam berjual beli ini terdapat dalam hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

البيعان بالخيار فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما وإن كذبا وكتما محقت بركة بيعهما

“Pembeli dan penjual berhak untuk membatalkan perjanjian mereka. Apabila keduanya jujur dan berterus terang dalam jual beli, maka jual beli keduanya akan diberkahi. Tetapi apabila keduanya berdusta dan menyembunyikan, maka akan dihapuskan keberkahan jual beli mereka” (HR. Bukhari & Muslim).

Sumber: Fatawa Nurun ‘alad Darbi (16/2) Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.

Penerjemah: Muhammad Bimo Prasetyo

Artikel: Muslim.or.id

Hukum Jual Beli Dengan Uang Muka

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Pertanyaan:

Jika seorang pembeli memberikan uang muka kepada penjual, kemudian pembeli membatalkan jual beli tersebut sehingga jual beli batal. Apakah uang muka tersebut menjadi milik si penjual?

Jawaban:

Iya benar. Uang muka adalah ketika si penjual khawatir pembeli membatalkan transaksi jual beli. Maka, penjual berhak meminta uang muka dari pembeli.

Sebagai contoh, ada seseorang yang ingin membeli tanah dari si penjual (pemilik tanah) seharga 10.000 riyal, kemudian ia (pemilik tanah) berkata, “Saya ingin Anda memberikan uang muka sebesar 1.000 riyal.” Lalu ia (pembeli) menyerahkan uang muka itu kepadanya. Jika terjadi kesepakatan, uang muka itu menjadi bagian dari harga yang harus dibayarkan pembeli dan ia tinggal menyerahkan 9.000 riyal untuk melunasinya. Adapun jika tidak terjadi kesepakatan, maka uang muka menjadi milik penjual.

Karena hal ini telah disepakati antara mereka berdua. Dan ini termasuk syarat yang tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram (syarat yang sah dalam jual beli sesuai syariat, pen).

Penetapan uang muka dibolehkan dalam rangka mengupayakan maslahat bagi kedua belah pihak. Bagi pembeli, maslahatnya adalah barang yang akan dibeli sudah murni ditujukan untuknya, dengan uang muka tadi. Dan dapat kita ketahui bersama bahwasanya adanya deposit uang muka di sini dalam rangka untuk mencegah kerugian yang lebih besar.

Adapun bagi si penjual, maslahatnya adalah sebagai ganti rugi atas terluputnya penglihatan calon pembeli lain atas barang dagangannya yang dibatalkan oleh pembeli.

Intinya, transaksi dengan uang muka itu sah. Jika terjadi kesepakatan jual beli, uang muka dianggap sebagai pembayan pertama dari keseluruhan harta. Dan jika jual-beli tidak terjadi, maka uang muka tersebut menjadi milik si penjual.

Sumber: Fatawa Nurun ‘alad Darbi lis Syaikh Ibnu al ‘Utsaimin (2/16)

Penerjemah: Rafi Pohan

Artikel: Muslim.or.id

Akal dan Agama Mana yang Mengatakan Ngebom Itu Jihad?!

Beberapa tahun yang silam pernah terjadi pengeboman dan perusakan di kota Riyadh, saat itulah Syeikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr angkat suara, “Alangkah miripnya kata tadi malam dengan semalam. Sesungguhnya peristiwa pemboman dan perusakan di kota Riyadh dan senjata-senjata lain yang digunakan di kota Makkah maupun Madinah pada awal tahun ini (1424 H, sekitar tahun 2003) merupakan hasil rayuan setan yang berupa bentuk meremehkan atau berlebih-lebihan dalam beragama.

Sejelek-jeleknya perbuatan yang dihiasi oleh setan adalah yang mengatakan bahwa pengeboman dan perusakan adalah bentuk jihad. Akal dan agama mana yang menyatakan membunuh jiwa, memerangi kaum muslimin, memerangi orang-orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin, membuat kekacauan, membuat wanita-wanita menjanda, menyebabkan anak-anak menjadi yatim, dan meluluhlantakkan bermacam bangunan sebagai jihad(?)”

Selanjutnya kita akan melihat berbagai ayat dan hadits yang menjelaskan bahwa syariat-syariat terdahulu juga menjelaskan hukuman keras terhadap pembunuhan. Juga akan dijelaskan pula mengenai bahaya akibat membunuh sesama muslim, hukum bunuh diri dan hukum membunuh orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin.

Beratnya Hukuman Pembunuhan Menurut Syariat Terdahulu

Allah Ta’ala berfirman mengenai kedua anak Adam yang saling membunuh,

فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah. Maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.” (Qs. Al Maidah: 30)

Begitu pula hukuman keras bagi Bani Israel yang membunuh seorang manusia, Allah Ta’ala berfirman,

مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Qs. Al Maidah: 32)

Bahkan bagi anak Adam yang membunuh saudaranya, dia akan terus menanggung dosa orang-orang sesudahnya yang melakukan pembunuhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلاَّ كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا . وَذَلِكَ لأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ

“Tiada pembunuhan yang terjadi karena kezhaliman melainkan anak Adam yang pertama (yakni Qabil) yang akan menanggung dosa pembunuhan tersebut karena dialah yang pertama kali melakukannya.” (HR. Bukhari no. 32 dan Muslim no. 1677)

Harga Darah Seorang Muslim

Membunuh seorang muslim adakalanya dengan cara yang dibenarkan dan adakalanya tidak demikian. Membunuh dengan cara yang dibenarkan adalah jika pembunuhan tersebut melalui qishash atau hukuman had. Sedangkan membunuh tidak dengan cara yang benar bisa saja secara sengaja atau pun tidak.

Mengenai pembunuhan dengan cara sengaja, Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. An Nisa’: 93)

Begitu pula Allah menyebutkan siksaan yang begitu pedih dan berlipat-lipat dalam firman-Nya,

وَالَّذِينَ لا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا , يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا , إِلا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Dan orang-orang yang tidak menyembah Rabb yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al Furqan: 68-70)

Masalah darah adalah masalah antar sesama yang akan diselesaikan pertama kali di hari perhitungan nanti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فِى الدِّمَاءِ

“Perkara yang pertama kali akan diperhitungkan antara sesama manusia pada hari kiamat nanti adalah dalam masalah darah.” (HR. Bukhari no. 6864 dan Muslim no. 1678)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ  . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ  الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا

“Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan.” Kemudian ada yang mengatakan, “Wahai Rasulullah, apa dosa-dosa tersebut? ” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan (di antaranya), “Berbuat syirik, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan tanpa jalan yang benar, memakan hasil riba …” (HR. Bukhari no. 6857 dan Muslim no. 89)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

“Musnahnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbutuhnya seorang muslim.” (HR. Muslim, An Nasa’i dan At Tirmidzi. Shahih At Targhib wa At Tarhib no.2439, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّ أَهْلَ السَّمَاءِ وَأَهْلَ الأَرْضِ اِشْتَرَكُوْا فِي دَمِّ مُؤْمِنٍ لَأَكَّبَهُمُ اللهُ فِي النَّارِ

“Seandainya penduduk langit dan bumi bersekongkol untuk membunuh seorang mukmin, niscaya Allah akan menelungkupkan mereka ke dalam neraka.” (HR. At Tirmidzi. Shahih At Targhib wa At Tarhib no.2442, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih lighoirihi)

Dari ‘Ubadah bin Ash Shoomit, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا فَاغْتَبَطَ بِقَتْلِهِ لَمْ يَقْبَلِ اللهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً

“Barangsiapa membunuh seorang mukmin lalu dia bergembira dengan pembunuhan tersebut, maka Allah tidak akan menerima amalan sunnah juga amalan wajibnya.” (HR. Abu Daud. Shahih At Targhib wa At Tarhib no.2450, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Faidhul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, Al Munawi, 6/252)

Adapun untuk pembunuhan terhadap seorang mukmin secara tidak sengaja, maka Allah telah memerintahkan untuk membayar diat dan kafarat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tidak sengaja, dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tidak sengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. An Nisaa’: 92)

Balasan bagi Seorang Muslim yang Bunuh Diri

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا , وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Qs. An Nisa’: 29-30)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَىْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu cara yang ada di dunia, niscaya kelak pada hari kiamat Allah akan menyiksanya dengan cara seperti itu pula.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Contohnya adalah orang yang mati bunuh diri karena mencekik lehernya sendiri atau mati karena menusuk dirinya dengan benda tajam. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الَّذِى يَخْنُقُ نَفْسَهُ يَخْنُقُهَا فِى النَّارِ ، وَالَّذِى يَطْعُنُهَا يَطْعُنُهَا فِى النَّارِ

“Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan mencekik lehernya, maka ia akan mencekik lehernya pula di neraka. Barangsiapa yang bunuh diri dengan cara menusuk dirinya dengan benda tajam, maka di neraka dia akan menusuk dirinya pula dengan cara itu.” (HR. Bukhari no. 1365)

Hukum Membunuh Orang Kafir

Orang-orang kafir yang haram untuk dibunuh adalah tiga golongan:

  1. Kafir dzimmi (orang kafir yang membayar jizyah/upeti yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin)
  2. Kafir mu’ahad (orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati)
  3. Kafir musta’man (orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin).

Sedangkan orang kafir selain tiga di atas yaitu kafir harbi, itulah yang boleh diperangi.

Berikut kami tunjukkan beberapa dalil yang menunjukkan haramnya membunuh tiga golongan kafir di atas secara sengaja.

[Larangan membunuh Kafir Dzimmi yang  telah menunaikan jizyah]

Allah Ta’ala  berfirman,

قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (Qs. At Taubah: 29)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun. “ (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

[Larangan membunuh Kafir Mu’ahad yang  telah membuat kesepakatan untuk tidak berperang]

Al Bukhari membawakan hadits dalam Bab “Dosa orang yang membunuh kafir mu’ahad tanpa melalui jalan yang benar”. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)

[Larangan Membunuh Kafir Musta’man yang telah mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin]

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْلَمُونَ

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (Qs. At Taubah: 6)

Dari ‘Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذِمَّةُ الْمُسْلِمِينَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ

“Dzimmah kaum muslimin itu satu, diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun).” (HR. Bukhari dan Muslim)

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksudkan dengan dzimmah dalam hadits di atas adalah jaminam keamanan. Maknanya bahwa jaminan kaum muslimin kepada orang kafir itu adalah sah (diakui). Oleh karena itu, siapa saja yang diberikan jaminan keamanan dari seorang muslim maka haram atas muslim lainnya untuk mengganggunya sepanjang ia masih berada dalam jaminan keamanan.” (Syarh Muslim, 5/34)

Adapun membunuh orang kafir yang berada dalam perjanjian dengan kaum muslimin secara tidak  sengaja, Allah Ta’ala telah mewajibkan adanya diat dan kafaroh sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. An Nisaa’: 92)

Setan Akan Merasuk Melalui Dua Pintu

Pada dasarnya setan akan merasuk ke dalam tubuh seorang muslim melalui dua pintu, dengan maksud membujuk dan menyesatkan mereka.

Pintu pertama, ditemukan pada orang yang sering lalai dan gemar berbuat maksiat. Setan akan memasukinya melalui pintu maksiat dan syahwat. Setan akan menghiasi manusia melalui jalan ini sehingga mereka akan semakin jauh dari ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.

Pintu kedua, ditemukan pada orang yang taat beragama lagi ahli ibadah. Setan akan memasukinya melalui pintu bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beragama dan sikap melampaui batas. Setan akan menghiasinya bahwa perbuatan ghuluw yang dia lakukan adalah baik, dengan tujuan agar agamanya rusak.

Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat mencela perbuatan ghuluw sebagaimana yang menimpa ahli kitab. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلا الْحَقَّ

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (Qs. An Nisa’: 171)

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِيَّاكُمْ وَ الغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ

“Jauhilah sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beragama karena penyebab hancurnya umat-umat sebelum kalian adalah karena ghuluw dalam beragama.” (HR. Al Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Memperturutkan Hawa Nafsu dan Mengikuti Ayat yang Masih Samar

Di antara bentuk tipu daya setan untuk orang-orang yang selalu bertindak ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beragama adalah setan menghiasi mereka agar memperturutkan hawa nafsu. Mereka akhirnya salah dalam beragama dan enggan bertanya pada para ulama. Oleh karena itu, mereka tidak memperoleh ilmu dan keyakinan yang benar serta jauh dari petunjuk para ulama sehingga mereka tetap berada dalam kesesatan dan  tertipu oleh bujuk rayu setan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ كَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ

“Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Rabbnya sama dengan orang yang (setan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya?” (Qs. Muhammad: 14)

Allah Ta’ala juga berfirman,

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya.” (Qs. Ali Imran: 7)

Syeikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di –rahimahullah– menjelaskan, “Yang dimaksud ayat muhkam di sini adalah ayat yang jelas maknanya, tidak ada di dalamnya kesamaran dan kerancuan. Dan ayat muhkam inilah tempat rujukan bagi ayat-ayat yang masih samar (mutasyabih). Ayat muhkam inilah yang mendominasi dan paling banyak dalam Al Qur’an.”

Lalu Syeikh As Sa’di –semoga Allah selalu merahmati  beliau- menjelaskan pula, “Di antara ayat-ayat Al Qur’an juga ada yang mutasyabih (masih samar). Kesamaran ini terjadi pada kebanyakan orang karena masih mujmal (global)-nya ayat tersebut. Atau mungkin tertangkap pada sebagian benak orang, namun bukan makna tersebut yang dimaksudkan.

Ringkasnya, dalam Al Qur’an ada ayat-ayat yang bersifat muhkam, jelas maknanya bagi setiap orang. Namun ada pula ayat yang masih samar bagi sebagian orang. Maka wajib bagi setiap muslim untuk membawa ayat-ayat mutasyabih (yang masih samar) kepada ayat-ayat yang muhkam (yang sudah jelas maknanya). Jika jalan seperti ini yang ditempuh, maka setiap ayat akan saling menjelaskan satu dan lainnya, sehingga tidak mungkin ada ayat-ayat yang saling bertentangan.”

Dalam Shahih Bukhari dan Muslim, diriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat di atas, beliau pun bersabda,

فَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ، فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ ، فَاحْذَرُوهُمْ

“Jika engkau melihat ada orang yang mengikuti  hal yang masih samar (mutasyabih), inilah orang-orang yang Allah sebut telah menyimpang. Oleh karena itu, waspadalah terhadap orang-orang semacam itu.” (HR. Bukhari no. 4547 dan Muslim no. 2665)

Agar mendapat petunjuk, kembalilah pada ulama. Hal ini dibuktikan pada kisah 2000 orang Khawarij yang mengikuti petunjuk orang yang berilmu yakni Ibnu ‘Abbas sehingga mereka pun selamat dan sisanya yang tidak mau mengikuti akhirnya ditumpas karena berpaham sesat. Jadi dengan ilmu dan mau mengikuti arahan para ulama, itulah yang akan membuat setiap muslim terselamatkan dari kejahatan dan musibah.

Allah Ta’ala sendiri telah memerintahkan kita untuk bertanya pada orang yang berilmu jika kita tidak mengetahui, di antara contohnya adalah kita meminta penjelasan mereka mengenai ayat yang masih samar di benak kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Qs. An Nahl: 43)

Penutup

Hendaklah setiap muslim merasa takut kepada Allah apalagi dalam masalah darah seorang muslim dan masalah orang yang tidak pantas ditumpahkan darahnya.

فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

“Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Qs. Al Baqarah: 24)

Rujukan:

  1. Biayyi ‘Aqlin wa Diinin Yakuunu At Tafjiiru wa At Tadmiiru Jihaadan [?], Syeikh Abdul Muhsin bin Hamad Al Abbad Al Badr, http://islamspirit.com
  2. Shahih At Targhib wa At Tarhib, Muhammad Nashiruddin Al Albani, Maktabah Al Ma’arif – Riyadh
  3. Syarh Muslim, An Nawawi, Mawqi’ Al Islam
  4. Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsiri Kalamil Mannan, Syeikh ‘Abdurrahman  bin Nashir As Sa’di, Muassasah Ar Risalah

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (www.rumaysho.com)

Artikel: Muslim.Or.Id

Pedoman Puasa Ramadhan Tahun 2021

Tak terasa Ramadhan segera tiba. Bulan suci penuh rahmat tahun 2021 akan dimulai sejak awal bulan April sampai dengan bulan Mei 2021. Sebelum menunaikan ibadah puasa, mari membaca Pedoman Puasa Ramadhan Tahun 2021 terlebih dahulu agar puasa Ramadhan di tahun ini bisa dipersiapkan secara matang sejak jauh hari.

Kewajiban Sebagai Muslim

Sebelum beranjak ke bagian-bagian dari Pedoman Puasa Ramadhan Tahun 2021, kita harus memahami terlebih dahulu hakikat puasa Ramadhan sebagai kewajiban. Kewajiban melaksanakan puasa di bulan Ramadhan bersumber dari hadis Nabi Muhammad Saw. yang menjelaskan tentang rukun Islam sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ الله ﷺ: بُنِيَ الإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Artinya: “Dari Abdullah bin Umar -semoga Allah meridhainya- ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Islam dibangun di atas 5 syahadat Tiada tuhan Selain Allah dan Muhammad Utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, puasa ramadhan.” (HR Bukhari Muslim)

Seorang Muslim yang membangkang akan kewajiban berpuasa akan dihukum sebagai seorang kafir. Berbeda halnya dengan orang yang tahu tentang kewajiban berpuasa, tidak membangkangnya, namun tidak melaksanakannya dengan alasan malas atau lain sebagainya, maka orang semacam itu tidak dianggap kafir, melainkan dianggap fasiq.

Umat Islam tidak diperbolehkan untuk secara mentah-mentah menghukumi kafir kepada saudara sesama muslim yang tidak berpuasa. Sebab, tidak berpuasanya seseorang belum tentu bentuk pengingkaran terhadap  kewajibannya. Bisa jadi karena ia bodoh, awam, atau malas.

Selain itu, wajib hukumnya melakukan amar ma’ruf nahi munkar khususnya pada orang-orang fasiq yang mengakui tentang kewajiban berpuasa namun masih enggan melakukannya.

Cara paling ideal dalam melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar tersebut ialah memberikan kondisi senyaman mungkin agar dia mau berpuasa dan terus mengingatkannya untuk mau berpuasa, menahan lapar dan dahaga serta hawa nafsu, setidaknya saat berada di hadapan kita. Saar berada di luar pengawasan kita, maka bukan lagi menjadi kewajiban untuk meneliti secara mendetail apakah orang tersebut berpuasa atau tidak.

Menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan adalah rutinitas bagi setiap Muslim di seluruh dunia. Puasa Ramadhan adalah kewajiban yang merupakan perintah langsung dari Allah Swt. yang terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 183:

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Syarat Puasa Ramadhan

Hal pertama yang mesti diperhatikan dalam Pedoman Puasa Ramadhan Tahun 2021 adalah empat syarat sah puasa yang tercantum dalam kitab Attahrir karya Syekh Zakariya al Anshari (juz. 1 Assyarqawi Attahrir, halaman 419-420) berikut ini:

(شَرْطُ صِحَّتِهِ) أَرْبَعَةُ أَشْياَءَ (اِسْلاَمٌ وَعَقْلٌ وَنَقَاْءٌ مِنْ  نَحْوِ حَيْضٍ) كَنِفَاسٍ (وَعِلْمٌ بِالْوَقْتِ) وَهَذَا عَدَّهُ الْأَصْلُ مِنْ فُرُوْضِهِ الْآتِيَةِ وَعَبَّرَ عَنْهُ بِالْعِلْمِ بِالشَّهْرِ فَلاَيصح صوم كافر ولامجنون ولا مغمى عليه لم يفق لحظة من نهاره ولا نحو حائض ولا من جهل دخول وقت الصوم.

Syarat sebelum melakukan puasa itu ada empat:

Pertama, Islam.

Maka puasa tidaklah sah dilakukan bagi orang kafir murni sejak lahir, atau bagi orang murtad (keluar dari agama Islam), sekalipun di pertengahan melaksanakan puasa ia keluar dari agama Islam, maka puasanya tidak sah atau batal.

Kedua, berakal.

Maka bagi orang yang mengidap penyakit gila, atau  epilepsi (ayan) yang tidak memiliki kesadaran sedikit pun di siang hari, jika mereka melaksanakan puasa maka puasanya tidak sah. Apabila ada seseorang yang tidur seharian, maka puasanya tidak batal, karena ia masih memiliki kendali akal yang sehat meskipun dalam keadaan tidur.

Ketiga, bersih dari haid dan nifas.

Syarat yang ketiga ini ditujukan bagi wanita yang sedang haid atau nifas. Apabila mereka sengaja menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan dan minum dengan niat puasa, maka puasanya tetap tidak sah. Karena dia masih menanggung hadas besar yakni haid dan nifas.

Puasa boleh dilakukan bagi keduanya jika telah suci dari haid dan nifas. Namun, misalnya ada seseorang wanita yang sudah berpuasa, namun di siang harinya sekitar jam 12 siang ia mengeluarkan darah haid, maka seketika itu puasanya batal. Bahkan lima menit sebelum azan pun, jika ia mengeluarkan darah, puasanya tetap batal meskipun ia telah lakukan hampir mendekati azan maghrib.

Keempat, mengetahui waktu puasa.

Maka wajib bagi orang yang melakukan puasa mengetahui jika telah memasuki tanggal satu Ramadhan, baik cara mengetahuinya dengan sempurnanya bulan Sya’ban atau dengan cara ruyatul hilal.

Di Indonesia, penetapan ru’yatul hilal bulan Ramadhan telah diorganisir oleh menteri agama dari pemerintahan yang akan mengumumkan penetapan tanggal satu Ramadhan, maka cukuplah bagi kita untuk dapat mengetahui waktu puasa dengan mengikuti penetapan pemerintah tersebut.

Pengertian syarat sahnya puasa yakni mengetahui waktu puasa juga diartikan bahwa seseorang tersebut mengetahui akan waktu-waktu yang diperbolehkan puasa. Jadi ia tidak akan berpuasa di waktu-waktu yang diharamkan untuk berpuasa.

Seperti puasa di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, puasa di hari-hari tasyrik, 11, 12, dan 13 Dzulhijah atau hari yang diragukan yakni tanggal 30 Sya’ban, karena dikhawatirkan pada tanggal tersebut, ada seseorang yang telah melihat bulan/ru’yah.

Niat Puasa Ramadhan

Hal penting lain yang mesti diperhatikan dalam Pedoman Puasa Ramdhan 2021 adalah niat. Saat melaksanakan puasa Ramadhan, maka wajib melakukan niat. Niat tersebut dibaca di waktu malam, dimulai sejak waktu Maghrib sampai waktu Shubuh. Apabila tidak melakukan niat di waktu malam, maka puasa Ramadhan yang dilaksanakan dinilai menjadi tidak sah.

Ulama berbeda pendapat tentang niat puasa Ramadhan yang menjadi bagian dari syarat atau bagian dari rukun puasa Ramadhan. Menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan juga Malikiyah, niat puasa Ramadhan termasuk bagian dari syarat puasa Ramadhan.

Maka dari itu, niat puasa Ramadhan ini dilakukan di luar waktu berpuasa, yaitu di waktu malam. Pendapat ini berdasarkan pada pendapat Syaikh Wahbah Al-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu berikut;

واعتبرها الحنفية والحنابلة وكذا المالكية على الراجح شرطا لان صوم رمضان وغيره عبادة

Artinya: “Ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan juga ulama Malikiyah (menurut pendapat yang unggul) menganggap bahwa niat puasa Ramadhan sebagai syarat karena puasa Ramadhan dan lainnya adalah ibadah.”

Sedangkan menurut ulama Syafiiyah, niat puasa Ramadhan adalah bagian dari rukun puasa Ramadhan. Niat yang dilaksanakan adalah bagian dari rukun puasa Ramadhan seperti menahan dari makan, minum, jimak, dan sengaja muntah. Berikut pendapat Syaikh Wahbah Al-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu:

وهي عند الشافعية ركن كالامساك عن المفطرات

Artinya: “Niat menurut ulama Syafiiyah termasuk bagian dari rukun puasa Ramadhan sebagaimana menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa.”

Meski merupakan bagian dari rukun, niat puasa Ramadhan wajib dilakukan di waktu malam sebelum berpuasa. Hal ini disebabkan karena sulitnya menyesuaikan niat puasa Ramadhan dengan terbitnya fajar. Dalam kitab Asnal Mathalib disebutkan berikut:

وَإِنَّمَا لم يُوجِبُوا الْمُقَارَنَةَ في الصَّوْمِ لِعُسْرِ مُرَاقَبَةِ الْفَجْرِ وَتَطْبِيقِ النِّيَّةِ عليه

Artinya: “Sesungguhnya para ulama (Syafiiyah) tidak mewajibkan muqaranah (membarengkan) dalam puasa karena sulitnya mengetahui terbitnya fajar dan sulitnya menyesuaikan niat dengan terbitnya fajar.”

Dalam kitab-kitab fiqih lainnya disebutkan pula bahwa diantara fardhu puasa Ramadhan adalah melakukan niat. Puasa Ramadhan dinilai tidak sah tanpa melakukan niat di waktu malam.

Ada banyak hadis yang menjelaskan kewajiban melakukan niat puasa Ramadhan. Salah satunya adalah hadis riwayat Imam Abu Daud, Imam Al-Tirmidzi, Al-Nasai dan Ibnu Majah dari Sayidah Hafshah yang berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

Artinya: “Barangsiapa tidak berniat puasa di malam hari sebelum terbitnya fajar, maka tidak ada puasa baginya.”

Empat Syarat Niat

Hal berikutnya yang perlu digarisbawahi dalam Pedoman Puasa Ramadhan Tahun 2021 adalah syarat niat puasa Ramadhan. Agar niat puasa yang diucapkan saat akan melaksanakan puasa Ramadhan sah dan sempurna, maka para ulama memberikan beberapa syarat. Dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Al-Zuhaili menyebutkan ada empat syarat niat puasa Ramadhan:

Pertama, niat puasa Ramadhan mesti dilakukan di waktu malam, dimulai sejak waktu Maghrib tiba hingga waktu Shubuh. Melakukan niat di waktu malam ini dalam kitab-kitab fiqih disebut dengan tabyitun niah. Apabila melakukan niat puasa di waktu siang setelah waktu Shubuh, maka niatnya dinilai tidak sah.

Kedua, melaksanakan niat puasa harus tayinun niah atau menentukan jenis puasa yang akan dilakukan, sebagaimana wajib menentukan jenis shalat dalam niat saat mengerjakan shalat wajib.

Dalam puasa Ramadhan, pada saat melakukan niat, maka wajib menyebut Ramadhan dalam niat. Sebagai misal, nawaitu shauma ghadin min romadhan (saya niat puasa besok dari bulan Ramadhan).

Ketiga, memutlakkan niat hanya untuk puasa Ramadhan saja, bukan untuk puasa yang lain. Misalnya, seseorang melakukan niat puasa Ramadhan, namun jika besoknya dia bepergian, maka dia mau puasa sunnah. Niat seperti ini tidak sah karena tidak memutlakkan niat hanya untuk puasa Ramadhan saja.

Keempat, harus melakukan niat setiap malam selama bulan Ramadhan. Hal ini karena setiap hari selama bulan Ramadhan adalah ibadah mustaqillah (independen) yang tidak bisa dikaitkan dengan hari sebelumnya atau setelahnya. Menggabungkan niat hanya di awal pada malam hari pertama bulan Ramadhan untuk seluruh puasa selama satu bulan dinilai tidak cukup.

Pedoman Puasa Ramadhan Tahun 2021 ini bisa dijadikan sebagai rujukan dalam menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan nanti. Selain itu, masih banyak juga artikel-artikel lain tentang Ramadhan di Bincang Syariah yang bisa dijadikan sebagai rujukan dalam mengkhidmati ibadah di bulan Ramadhan.[]

BINCANG SYARIAH

————-

Yuk, berzakat bersama Baznas dan Kitabisacom di sini untuk membersihkan penghasilan kita setiap bulannya.