Inilah Orang-Orang yang Masuk Daftar Didoakan Para Malaikat

Inilah beberapa golongan orang-orang yang didoakan oleh para malaikat, semoga kita termasuk di antaranya

SESUNGGUHNYA Allah Swt telah menciptakan malaikat dari cahaya, sementara jin diciptakan dari nyala api. Para ulama mengatakan doa malaikat adalah doa yang mustajab.

Siapa yang kehidupannya didoakan para malaikat maka beruntunglah ia. Untuk diketahui, para malaikat senantiasa mendoakan orang-orang yang berbuat baik dan beramal shaleh. Inilah beberapa orang yang masuk dalam daftar doanya para malaikat:

1. Orang yang tidur dalam keadaan bersuci

Rasulullah ﷺ. bersabda, “Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa ‘Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci”. (Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra).

2. Orang yang sedang duduk menunggu waktu shalat

Rasulullah ﷺ. Bersabda yang artinya, “Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya ‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia.’” (Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Muslim no. 469).

3. Orang-orang yang berada di shaf barisan depan di dalam shalat berjamaah

Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang – orang) yang berada pada shaf – shaf terdepan” (Imam Abu Dawud (dan Ibnu Khuzaimah) dari Barra’ bin ‘Azib ra).

4. Orang-orang yang menyambung shaf pada sholat berjamaah (tidak membiarkan sebuah kekosongan di dalam shaf)

Rasulullah ﷺ. bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada orang – orang yang menyambung shaf – shaf” (Para Imam yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah ra).

5. Para malaikat mengucapkan ‘amin’ ketika seorang Imam selesai membaca Al Fatihah

Rasulullah ﷺ. bersabda, yang artinya; “Jika seorang Imam membaca ‘ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladh dhaalinn’, maka ucapkanlah oleh kalian ‘aamiin’, karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang masa lalu” (Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Shahih Bukhari no. 782).

6. Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan shalat

Rasulullah ﷺ. bersabda, yang artinya: “Para malaikat akan selalu bershalawat kepada salah satu diantara kalian selama ia ada di dalam tempat shalat dimana ia melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya, (para malaikat) berkata, ‘Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia” (Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, Al Musnad no. 8106).

7. Orang – orang yang melakukan shalat shubuh dan ‘ashar secara berjama’ah

Rasulullah ﷺ. bersabda, yang artinya: “Para malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para malaikat (yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal.

Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat ‘ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat ‘ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, ‘Bagaimana kalian meninggalkan hambaku?’, mereka menjawab, ‘Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat.” (Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Al Musnad no. 9140).

8. Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan

Rasulullah ﷺ. bersabda, yang artinya; “Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata ‘aamiin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan.’” Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummud Darda’ ra., Shahih Muslim no. 2733)

9. Orang – orang yang berinfak

Rasulullah ﷺ. bersabda, yang artinya “Tidak satu hari pun dimana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali 2 malaikat turun kepadanya, salah satu diantara keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak’. Dan lainnya berkata, ‘Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit’” (Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 1442 dan Shahih Muslim no. 1010).

10. Orang yang sedang makan sahur

Rasulullah ﷺ bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang sedang makan sahur” (Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath Thabrani, meriwayaatkan dari Abdullah bin Umar ra)

11. Orang yang sedang menjenguk orang sakit

Rasulullah ﷺ. bersabda, yang artinya: “Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus 70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan di waktu malam kapan saja hingga Subuh.” (Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib ra).

12. Seseorang yang sedang mengajarkan kebaikan kepada

Rasulullah ﷺ bersabda, yang artinya; “Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah diantara kalian. Sesungguhnya penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain” (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahily ra).*

(sumber Syaikh Dr. Fadhl Ilahi (Orang – orang yang Didoakan Malaikat), Pustaka Ibnu Katsir, 2005)

HIDAYATULLAH

Malik Bin Dinar dan Mimpi Ular

Sejak terbangun dari mimpi, mampir setiap Malik Bin Dinar menghabiskan waku belajar Islam pada ulama dan beribadah

PARA ulama mengakui Malik bin Dinar sebagai seorang ulama besar dan shaleh di masa tabi’in. la termasuk salah seorang ulama ahli Hadits yang dipercaya. Ia juga dikenal sebagai kaligrafer al-Qur’an yang mumpuni.

Sebelum menjadi orang yang salih, Malik bin Dinar seorang yang suka hidup berfoya-foya. Tiada hari tanpa berbuat maksiat dan zalim kepada orang lain sehingga orang di sekitarnya manjauhinya.

Kisah pertobatannya dimulai ketika ia ingin berkeluarga. Setelah menikah ia dikarunia seorang putri yang ia beri nama Fatimah.

Setiap anaknya bertambah besar, keimanannya terus bertambah dan kemaksiatannya berkurang. Sewaktu Fatimah berusia dua tahun seringkali ia membuang minuman arak miliknya.

Ini yang membuat Malik bin Dinar semakin dekat dengan Allah. “Seakan Allah mengatur seperti itu,” katanya. Namun kemudian Allah menberikan cobaan dengan mengambil Fatimah pada usia tiga tahun.

Ternyata kematian itu membuatnya lebih buruk dari sebelumnya. “Aku sangat kecewa dan terpukul dengan kematian Fatimah,” tuturnya.

Untuk mengobati kekecewaannya itu, hampir tiap malam ia minum arak sampai mabuk. Hingga pada suatu malam, ia bermimpi yang membuatnya sadar.

la bermimpi dirinya di hari Kiamat. Manusia berbondong-bondong, termasuk dirinya menghadap pada Yang Maha Kuasa

Masing-masing orang dipanggil sesuai namanya agar menghadap Allah. Ada yang wajahnya berubah menjadi hitam karena ketakutan.

Akhirnya ia mendengar namanya dipanggil. Anehnya, manusia yang ada di sekelilingnya hilang. Seakan tiada seorang pun di padang Mahsyar itu.

“Lalu aku melihat ular yang sangat besar lagi ganas berjalan mendekatiku sambil membuka mulutnya. Akupun berlari sehingga aku menemui seorang lelaki tua yang lemah. Aku berkata padanya, “Tolonglah aku dari kejaran ular itu!.

Namun lelaki itu menjawab: ‘Aku lemah anakku, aku tidak mampu menolongmu. Larilah ke arah sana mungkin kamu akan selamat.”

la berlari sekuat tenaga ke arah yang ditunjukkan orang tua itu. Namun si ular terus mengejar sampai di belakangnya dan neraka di depannya.

Kemudian ia berlari kembali ke arah lelaki tua tadi dan minta tolong. Lagi-lagi orang tua
tersebut menjawab tidak mampu menolongnya.

Tapi dia menyuruh Malik pergi ke arah gunung. la pun kemudian lari ke sana.

Dalam ketakutannya ia melihat di puncak gunung ada anak-anak kecil yang berteriak, “Wahai, Fatimah temuilah ayahmu, tolonglah ayahmu!” Fatimah pun menolong Malik bin Dinar dengan mengusir ular tersebut.

Dalam mimpi tersebut Malik seakan bertemu anaknya yang meninggal dalam usia 3 tahun.
Anaknya kemudian berkata kepadanya, “Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk menundukan hati mereka mengingat Allah” (Al-Hadid [57]: 16).

Malik bertanya pada anaknya, “Ceritakanlah padaku tentang ular besar itu!” Kemudian Fatimah bercerita bahwa ular itu adalah amal buruknya. Sedang orang tua itu adalah amal baiknya.

Namun ia tidak mampu menolongnya karena dilemahkan sendiri oleh Malik. Kemudian Fatimah berkata, “Seandainya engkau tidak melahirkan aku dan meninggal sewaktu masih kecil dahulu niscaya tidak ada yang menjadi penolong buatmu.”

Setelah itu, Malik bin Dinar terbangun dari tidurnya. Sejak itu ia bertobat.

Hampir setiap waktunya dihabiskan di masjid untuk belajar Islam kepada para ulama dan beribadah kepada Allah Taala.

Kelak, ia menjadi seorang ulama besar yang saleh.*/ Bahrul Ulum

HIDAYATULLAH

Apakah Perlu Membaca Basmalah di Setiap Memulai Aktivitas?

Terdapat satu hadis yang sangat masyhur yang berbunyi,

كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لاَ يَبْدَأُ فِيْهِ بِبِسْمِ اللَّهِ فَهُوَ أَبْتَرُ

“Setiap perkara penting yang tidak diawali dengan Bismillaahirrahmaanirrahiim, maka perbuatan tersebut akan terputus (dari rahmat Allah).” (HR. Ar-Rahawy dalam kitab Al-Arba’in sebagaimana terdapat juga di dalam kitab Al-Jami’ As-Shaghir karya Imam As-Suyuti, 2: 158)

Maksud “terputus” adalah tidak memberikan hasil baik atau berkurang berkahnya.

Terdapat beberapa riwayat hadis mengenai anjuran membaca basmalah di setiap perkara penting. Akan tetapi, kebanyakan ulama menghukumi hadis-hadis tersebut dengan lemah (dha’if).

Syekh Al-Albani rahimahullah, pakar hadis yang terkenal, mengatakan, “Hadis ‘kullu amrin dzi balin la yubda’u fihi bibismillahirrahmanirrahim fahuwa abtar.’ diriwayatkan oleh Al-Khatib dan juga Al-Hafidz Abdul Qadir Ar-Rahawy. Hadis ini dengan lafaz seperti yang telah disebutkan sangatlah lemah hukumnya (dha’if). Maka, jangan pernah tertipu dengan mereka yang menghasankannya, karena itu merupakan kekeliruan yang sangat jelas, karena di dalam sanadnya terdapat kelemahan yang sangat parah.” (Irwa’ Al-Ghalil, 1: 29-30).

Beberapa ulama ada yang menghukumi ‘shahih’ hadis di atas, seperti Ibnu Daqiq Al-‘Id dan Ibnu Al-Mulaqqin. Beberapa juga menghasankannya, seperti Imam An-Nawawi dan Ibnu Hajar rahimahumullahu Ta’ala.

Setelah memaparkan bahwa lafaz yang masyhur dan lebih dikenal terkait hadis di atas adalah lafaz (bihamdillah), Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya “Al-Fath” mengambil pendapat bahwa ada beberapa amalan yang dimulai dengan ucapan alhamdulillah seperti khotbah, ada juga yang dimulai dengan lafaz basmalah yang lengkap (bismillahirrahmanirrahim) seperti di dalam surat menyurat. Sebagiannya lagi dimulai dengan “bismillah” saja, seperti jimak (hubungan suami istri) dan menyembelih. Sebagian lainnya dengan lafaz berupa dzikir tertentu seperti takbir.

Berdasarkan semua hal yang telah kita paparkan, kita katakan terkait anjuran membaca basmalah di setiap memulai seluruh aktifitas dan kegiatan sebagai berikut:

Jika hadis berupa anjuran di atas ternyata shahih, maka perkaranya telah jelas (membaca basmalah dianjurkan di setiap memulai aktifitas dan kegiatan bermanfaat).

Jikalau hadisnya ternyata dhaif dan lemah, maka banyak dari ulama yang telah mengamalkannya, mereka mengatakan bahwa basmalah dianjurkan untuk dibaca di setiap aktifitas dan kegiatan yang penting.

Di dalam “Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (8: 92) disebutkan, “Kebanyakan ahli fikih telah sepakat bahwa membaca basmalah disyariatkan dan dianjurkan untuk dibaca di setiap perkara yang penting, baik itu berupa ibadah maupun yang selainnya.”

Di antara hal-hal lainnya yang menunjukkan pensyariatan dan anjuran bacaan basmalah adalah petunjuk dan ajakan syariat untuk membacanya di berbagai macam perkara yang begitu banyak, baik itu berupa ibadah maupun adat kebiasaan. Sehingga, dapat dipahami bahwa memulai sebuah aktifitas fisik atau verbal yang penting merupakan salah satu kondisi di mana ucapan basmalah ditekankan untuk dilakukan.

Di antara dalil yang mereka gunakan untuk menguatkan keumuman hukumnya sehingga menyeluruh pada setiap aktifitas yang penting adalah hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu. Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَقُضِيَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرُّهُ

“Jika salah seorang dari kalian ingin mendatangi isterinya (untuk bersetubuh), maka hendaklah ia membaca; ‘bismillah allahumma jannibnasy syaithana wa jannibisy syaithana ma razaqtana (Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rezekikan (anak) kepada kami) ‘. Jika dikaruniai anak dari hubungan keduanya, maka setan tidak akan dapat mencelakakan anak itu.” (HR. Bukhari no. 5165 dan Muslim no. 1434)

Imam Bukhari memberikan judul untuk hadis ini dengan ucapannya,

“Bab Mengucapkan Bismillah di Semua Keadaan dan Ketika Hendak Bersetubuh.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah memberikan catatan, “Keumuman hukum ini tidak secara jelas nampak dari hadis yang disebutkannya. Akan tetapi, disimpulkan berdasarkan kaidah bahwa hal tersebut lebih layak dan lebih pantas. Karena jika hal tersebut saja (basmalah) dianjurkan (untuk dibaca) ketika hendak melakukan hubungan suami istri, di mana hubungan suami istri termasuk yang Nabi perintahkan secara diam-diam dan tidak terus terang, maka ucapan basmalah tersebut lebih dianjurkan lagi pada amal-amal yang selainnya.” (Fathu Al-Bari, 1: 242)

Ibnu Battal rahimahullah juga menyampaikan, “Di dalamnya (mengandung): membaca basmalah di setiap aktifitas hukumnya adalah mustahab dan sunah, sebagai bentuk ngalap berkah dengannya, dan untuk menghadirkan perasaan bahwa Allah Ta’ala adalah Zat yang akan memberikan kemudahan pada aktifitas tersebut serta penolong seorang hamba di dalam melaksanakannya.” (Syarh Shahih Al-Bukhari, 1: 230)

Kita ketahui bersama juga bahwa seorang hamba dituntut untuk senantiasa bertawakal kepada Allah Ta’ala serta meminta pertolongan kepada-Nya dalam setiap urusan. Sedangkan ucapan basmalah merupakan salah satu bentuk meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala saat ingin memulai sebuah aktifitas atau perkataan yang penting. Sebagaimana hal ini telah disampaikan oleh Ibnu Battal yang telah lalu.

Al-Qurtubi rahimahullah mengatakan, “Syariat menganjurkan dan menyunahkan bacaan basmalah di setiap permulaan aktifitas seperti makan, minum, menyembelih, bersuci, dan berkendara di atas lautan dan berbagai aktifitas lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

فَكُلُوْا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللّٰهِ عَلَيْهِ

“Maka, makanlah dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) disebut nama Allah.” (QS. Al-An’am: 118)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَقَالَ ارْكَبُوْا فِيْهَا بِسْمِ اللّٰهِ مَجْرٰ۪ىهَا وَمُرْسٰىهَا ۗ

“Dan dia berkata, ‘Naiklah kamu semua ke dalamnya (kapal) dengan (menyebut) nama Allah pada waktu berlayar dan berlabuhnya.’” (QS. Hud: 41)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وأَغْلِقْ بَابَكَ واذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ، وأَطْفِئْ مِصْبَاحَكَ واذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ، وأَوْكِ سِقَاءَكَ واذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ، وخَمِّرْ إنَاءَكَ واذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ، ولو تَعْرُضُ عليه شيئًا.

“Dan tutuplah pintu rumah dan sebutlah nama Allah, padamkanlah lampu-lampu kamu dan sebutlah nama Allah, tutup tempat minum dan sebutlah nama Allah, serta tutup pula bejana (tempat makanan) kamu dan sebutlah nama Allah, walaupun kamu hanya sekedar melintangkan sesuatu di atasnya.” (HR. Bukhari no. 3280 dan Muslim no. 2012)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَقُضِيَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرُّهُ

“Jika salah seorang dari kalian ingin mendatangi isterinya (untuk bersetubuh), maka hendaklah ia membaca, ‘bismillah allahumma jannibnasy syaithana wa jannibisy syaithana ma razaqtana (Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rezekikan (anak) kepada kami).’ Jika dikaruniai anak dari hubungan keduanya, maka setan tidak akan dapat mencelakakan anak itu.” (HR. Bukhari no. 5165 dan Muslim no. 1434)

Beliau juga pernah mengatakan kepada sahabat Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu saat dirinya masih kecil,

يا غُلَامُ، سَمِّ اللَّهَ، وكُلْ بيَمِينِكَ، وكُلْ ممَّا يَلِيكَ

“Hai anak, ucapkanlah ‘bismillah’, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari apa-apa yang dekat denganmu.” (HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

إنَّ الشَّيْطَانَ يَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ أَنْ لا يُذْكَرَ اسْمُ اللهِ عليه

Sesungguhnya setan dapat memakan makanan (dapat menikmatinya) yang tidak disebut nama Allah Ta’ala padanya.” (HR. Muslim no. 2017)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ومَن لَمْ يَذْبَحْ، فَلْيَذْبَحْ باسْمِ اللَّهِ.

“Dan barangsiapa yang belum menyembelih, maka sembelihlah dengan nama Allah.” (HR. Bukhari no. 985)

Suatu ketika sahabat Utsman bin Abi Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu mengadukan keluhan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang rasa sakit yang dirasakan pada badannya sejak awal masuk Islam. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ضَعْ يَدَكَ علَى الَّذي تَأَلَّمَ مِن جَسَدِكَ، وَقُلْ: باسْمِ اللهِ، ثَلَاثًا، وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَعُوذُ باللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِن شَرِّ ما أَجِدُ وَأُحَاذِرُ

“Letakkan tanganmu pada tempat yang sakit di badanmu dan ucapkanlah, ‘Bismillah.’ sebanyak tiga kali, dan juga ucapkan sebanyak tujuh kali, ‘Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-nya, dari keburukan apa yang kurasakan dan kukhawatirkan.’.” (HR. Muslim no. 2202)

Semua hadis di atas telah benar datangnya di dalam kitab As-Shahihain. (Selesai semua kutipan dari Tafsir Al-Qurtubi, 1:151-152)

Wallahu a’lam bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/87315-membaca-basmalah-di-setiap-memulai-aktivitas.html

Perhatian Islam terhadap Kesehatan Mental

Kesehatan mental atau mental health adalah kesehatan yang berkaitan dengan kondisi emosi, kejiwaan, dan psikis seseorang. Hal ini bisa saja berpengaruh besar terhadap kepribadian dan perilaku seseorang. Dan lebih berbahaya lagi seandainya seseorang tidak bersegera untuk mencoba beradaptasi dengannya. Kondisi mental yang tidak sehat dari seorang muslim akan mempengaruhi bagaimana ibadahnya kepada Allah ‘Azza Wajalla.

Islam sangat memperhatikan 5 kebutuhan dasar dari seorang manusia, yang mencakup agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal. Dan jiwa seseorang tidak hanya terbatas pada fisiknya, melainkan juga kondisi mentalnya. Bahkan, Islam juga sudah menyediakan obatnya. Beberapa hal yang secara umum atau khusus menunjukkan kepada kita agar memperhatikan kesehatan mental adalah:

Larangan membahayakan diri sendiri

Allah ‘Azza Wajalla berfirman,

وَاَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

Berinfaklah di jalan Allah, janganlah jerumuskan dirimu ke dalam kebinasaan, dan berbuatbaiklah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)

Dalam ayat ini, Allah ‘Azza Wajalla melarang hamba-Nya untuk menjerumuskan diri dalam kehancuran. Syekh Abdurrahman As-Sa’diy rahimahullahu menjelaskan,

والإلقاء باليد إلى التهلكة يرجع إلى أمرين: ترك ما أمر به العبد, إذا كان تركه موجبا أو مقاربا لهلاك البدن أو الروح، وفعل ما هو سبب موصل إلى تلف النفس أو الروح, فيدخل تحت ذلك أمور كثيرة، فمن ذلك, ترك الجهاد في سبيل الله, أو النفقة فيه, الموجب لتسلط الأعداء، ومن ذلك تغرير الإنسان بنفسه في مقاتلة أو سفر مخوف, أو محل مسبعة أو حيات, أو يصعد شجرا أو بنيانا خطرا, أو يدخل تحت شيء فيه خطر ونحو ذلك، فهذا ونحوه, ممن ألقى بيده إلى التهلكة.
ومن الإلقاء باليد إلى التهلكة الإقامة على معاصي الله, واليأس من التوبة، ومنها ترك ما أمر الله به من الفرائض, التي في تركها هلاك للروح والدين.

Menceburkan diri dalam kehancuran ini merujuk pada dua hal, yaitu 1) meninggalkan sesuatu yang Allah perintahkan, yang bisa menyebabkan kehancuran bagi badan dan juga jiwanya dan 2) mengerjakan sesuatu yang bisa menghancurkan fisik dan jiwanya. Banyak sekali hal yang tercakup dalam kaidah ini. Di antaranya: meninggalkan jihad di jalan Allah, atau meninggalkan infak di jalan Allah, yang menjadikan kaum muslimin dikalahkan musuh, atau menjadikan dirinya kalah di peperangan atau safar yang menakutkan, atau sengaja masuk di sarang hewan buas dan ular, atau naik pohon dan rumah yang mudah runtuh, atau masuk ke tempat yang membahayakan. Ini semua adalah contoh menjerumuskan diri ke dalam kehancuran. Contoh lain misalnya berbuat maksiat kepada Allah, tidak bertobat kepada-Nya, meninggalkan perintah Allah seperti tidak mengamalkan perkara warisan, yang mana di dalam perkara-perkara ini terdapat kehancuran terhadap jiwa dan agama.” (Tafsir As-Sa’diy)

Maka, dengan sengaja menjadikan jiwa atau mentalnya rusak atau dirusak oleh orang adalah bentuk pelanggaran terhadap larangan Allah ‘Azza Wajalla di dalam ayat ini. Atau yang lebih parah menjadi sebab sakit hatinya seorang muslim adalah sesuatu yang dilarang. Demikian pula, yang disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama dalam sabda beliau,

لا ضرر ولا ضرار

Tidak boleh melakukan hal yang berpotensi membahayakan orang lain dan tidak boleh pula membalas memberikan bahaya.” (HR. Malik secara mursal)

Larangan menyakiti hati orang lain

Islam sangat memperhatikan kondisi hati umatnya. Baik dengan melarang seseorang menyakiti orang lain maupun melarang dari memiliki penyakit hati. Contoh kecilnya adalah sebagaimana larangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama dari berbuat najwa,

إذا كنتم ثلاثة فلا يتناجى رجلان دون الآخر حتى تختلطوا بالناس أجل أن يحزنه

Jika kalian bertiga, maka janganlah dua orang berbisik-bisik tanpa menyertakan orang yang ketiga sehingga kalian berbaur dengan yang lainnya. Karena hal tersebut melukai hatinya.” (HR. Bukhari no. 5816)

Begitu pun, ketika Islam melarang dari berkata dusta, karena bisa menyakiti sesama muslim. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama,

لَا يَصْلُحُ ‌الْكَذِبُ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ: كَذِبِ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا، أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ، أَوْ كَذِبٍ فِي الْحَرْبِ

Tidak diperkenankan berdusta, kecuali dalam tiga kondisi, yaitu seorang suami yang ingin membuat pasangannya bahagia, saat memperbaiki hubungan sesama manusia, dan cerdik dalam strategi perang.” (HR. Ahmad no. 27608)

Islam juga melarang seorang menjadi sebab muslim lainnya merasa tidak aman dari gangguannya, baik gangguan tangan maupun lisannya. Dan seringkali lisan seseorang itu lebih tajam daripada senjata yang dipegangnya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,

المُسْلِمُ مَن سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِن لِسَانِهِ ويَدِهِ، والمُهَاجِرُ مَن هَجَرَ ما نَهَى اللَّهُ عنْه

Muslim (yang sejati) adalah yang tidak mengganggu kaum muslimin yang lain, baik dengan lisan dan tangannya. Seorang yang berhijrah (yang sejati) adalah orang yang menjauhi hal yang dilarang oleh Allah ‘Azza Wajalla.” (HR. Bukhari no. 10)

Perhatian para ulama terhadap ilmu kejiwaan

Allah ‘Azza Wajalla berfirman,

وَفِیۤ أَنفُسِكُمۡۚ أَفَلَا تُبۡصِرُونَ

(Begitu juga ada tanda-tanda kebesaran-Nya) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 21)

Syekh Abdurrahman As-Sa’diy rahimahullahu menjelaskan,

Bahwa di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah Allah menjadikan dalam diri seorang hamba pelajaran, hikmah, dan rahmat yang menunjukkan bahwa Dialah Allah yang Maha Esa yang tidak ada yang berhak dimintai pertolongan, kecuali hanya Dia. Dan Dia tidak menciptakan setiap makhluk dengan sia-sia.” (Tafsir As-Sa’diy)

Ayat tersebut dan ayat-ayat lain di dalam Al-Qur’an menunjukkan kepada kita agar memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah, bahkan yang ada dalam diri kita sendiri. Di antaranya adalah kondisi kejiwaan kita. Tentu saja, dengan memperhatikan rambu-rambu yang dijelaskan para ulama agar kita tidak terjerumus ke dalam keyakinan yang menyesatkan di dalam ilmu kejiwaan.

Perintah untuk berobat atau mengambil sebab kesembuhan

Beberapa di antara pemuda/i muslim pasrah dengan kondisi mentalnya dan menjadikan itu sebagai alasan untuk membenarkan setiap tindakannya. Maka, hal seperti ini tidaklah dibenarkan. Bahkan, mayoritas ulama menganjurkan agar seseorang mengambil sebab untuk menyembuhkan penyakit yang menimpa dirinya sendiri. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama,

إن الله تعالى أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فتداووا ولا تداووا بالحرام

Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan penyakit dan obatnya. Dan Allah menjadikan obat untuk setiap penyakit. Maka, berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan yang diharamkan Allah ‘Azza Wajalla.” (HR. Abu Dawud no. 3874)

Di antara yang dianjurkan adalah menjadikan Al-Qur’an sebagai salah satu sebab syar’i yang ditempuh oleh seseorang yang memiliki kesehatan mental yang terganggu. Allah ‘Azza Wajalla berfirman,

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْاٰنِ مَا هُوَ شِفَاۤءٌ وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَۙ وَلَا يَزِيْدُ الظّٰلِمِيْنَ اِلَّا خَسَارًا

Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang mukmin. Sedangkan bagi orang-orang zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian.” (QS. Al-Isra: 82)

Syekh Abdurrahman As-Sa’diy rahimahullahu menjelaskan,

فالقرآن مشتمل على الشفاء والرحمة، وليس ذلك لكل أحد، وإنما ذلك للمؤمنين به، المصدقين بآياته، العاملين به، وأما الظالمون بعدم التصديق به أو عدم العمل به، فلا تزيدهم آياته إلا خسارًا، إذ به تقوم عليهم الحجة، فالشفاء الذي تضمنه القرآن عام لشفاء القلوب، من الشبه، والجهالة، والآراء الفاسدة، والانحراف السيئ، والقصود السيئة

Al-Qur’an mengandung kesembuhan dan rahmat, meskipun tidak untuk setiap orang. Sesungguhnya ia hanya untuk mereka yang beriman kepada Al-Qur’an, mengimani ayat-ayatnya, beramal dengannya. Adapun mereka yang berbuat lalim dan tidak percaya dengan Al-Qur’an, bahkan enggan mengamalkannya, maka tidaklah bertambah bagi mereka dengan ayat-ayat Allah, kecuali hanya kerugian belaka. Al-Qur’an kelak menjadi hujah atas perilaku mereka. Dan kesembuhan yang terkandung di dalam Al-Qur’an adalah umum, baik kesembuhan dari penyakit jiwa seperti syubhat, kebodohan, keyakinan batil, disorientasi yang jelek, maksud yang buruk.” (Tafsir As-Sa’diy)

Dengan kita mengetahui bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat obat, maka bagi mereka yang merasa kesehatan mentalnya tidak maksimal, segeralah mengambil sebab dengan banyak mendekatkan diri kepada Allah dengan membaca Al-Qur’an, menghafalkannya, mengamalkannya, kemudian menempuh sebab syar’i berupa datang ke psikolog atau psikiater agar ia bisa semakin menikmati ibadahnya kepada Allah ‘Azza Wajalla.

***

Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag.

Artikel: Muslim.or.id

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/87277-perhatian-islam-terhadap-kesehatan-mental.html

Hukum Berteman dengan Penghayat Kepercayaan

Bagaimana hukum berteman dengan penghayat kepercayaan? Hidup di Lingkungan yang sangat Heterogen seperti Indonesia ini, tidak menutup kemungkinan kita bekerja sama atau bahkan berteman dengan orang non Muslim atau Kaum Penghayat.

Perlu diketahui, bahwasa tidak ada larangan untuk berbuat baik kepada siapapun. Meski berbeda agama dan berbagai aspek lainnya, kita diperintahkan untuk berbuat baik kepadanya. Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Mumtahanah ayat 8-9;

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

Artinya; Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (8) 

اِنَّمَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَاَخْرَجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوْا عَلٰٓى اِخْرَاجِكُمْ اَنْ تَوَلَّوْهُمْۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

Artinya; Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim (9). 

Ketika mengomentari ayat ini, Ibnu Katsir menyatakan dalam tafsirnya;

وَقَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ﴾ أَيْ لَا يَنْهَاكُمْ عَنِ الْإِحْسَانِ إِلَى الْكَفَرَةِ الَّذِينَ لَا يُقَاتِلُونَكُمْ فِي الدِّينِ، كَالنِّسَاءِ وَالضَّعَفَةِ مِنْهُمْ، ﴿أَنْ تَبَرُّوهُمْ﴾ أَيْ: تُحْسِنُوا إِلَيْهِمْ ﴿وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ﴾ أَيْ: تَعْدِلُوا … إلى أن قال… إِنَّمَا يَنْهَاكُمْ عَنْ مُوَالَاةِ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ نَاصَبُوكُمُ الْعَدَاوَةَ، فَقَاتَلُوكُمْ وَأَخْرَجُوكُمْ، وَعَاوَنُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ، يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنْ مُوَالَاتِهِمْ وَيَأْمُرُكُمْ بِمُعَادَاتِهِمْ.

Artinya; Allah Swt tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan adil pada Non Muslim (semisal perempuan dan kaum sipil yang lemah) yang tidak memerangi kalian dalam hal agama. Allah Swt hanya melarang kalian untuk berteman dengan mereka yang jelas-jelas memusuhi kalian, bahkan sampai mengusir atau membunuh. Maka kepada mereka dilarang berteman dan kita diperintahkan untuk melawannya”.(Tafsir Ibnu Katsir, QS; 60:8) 

Oleh karenanya, Syekh Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya memetakan menjadi 3 aspek terkait hukum berteman dengan Non Muslim. Beliau menyatakan; 

واعلم أن كون المؤمن موالياً للكافر يحتمل ثلاثة أوجه أحدها : أن يكون راضياً بكفره ويتولاه لأجله ، وهذا ممنوع منه لأن كل من فعل ذلك كان مصوباً له في ذلك الدين ، وتصويب الكفر كفر والرضا بالكفر كفر ، فيستحيل أن يبقى مؤمناً مع كونه بهذه الصفة . وثانيها : المعاشرة الجميلة في الدنيا بحسب الظاهر ، وذلك غير ممنوع منه . والقسم الثالث : وهو كالمتوسط بين القسمين الأولين هو أن موالاة الكفار بمعنى الركون إليهم والمعونة ، والمظاهرة ، والنصرة إما بسبب القرابة ، أو بسبب المحبة مع اعتقاد أن دينه باطل فهذا لا يوجب الكفر إلا أنه منهي عنه ، لأن الموالاة بهذا المعنى قد تجره إلى استحسان طريقته والرضا بدينه ، وذلك يخرجه عن الإسلام

Artinya; Ketahuilah bahwa orang Muslim mencintai non-Muslim (kafir) melihat tiga situasi dan sikap :

1.Tidak boleh jika ridho akan kekafiran dan bahkan mencintai orang kafir lantaran kekafirannya. Hal ini dilarang, bahkan bisa menyebabkan ia kafir.

  1. Pergaulan dan interaksi sosial dengan baik di dunia,  hal ini boleh atau tidak dilarang.
  2. Menolong orang kafir, entah dengan sebab ada tali persaudaraan atau dengan sebab simpati, namun tetap meyakini bahwa agamanya adalah tidak benar. Yang demikian tidak membuatnya Kafir, hanya saja lebih baik dijauhi ketika ia mudah goyah. Sehingga ditakutkan ia ridho atas kekafirannya, yang mana ini bisa menyebabkan kekafiran”. (Marah Labid, Juz 1 H. 120)

Dengan demikian bisa diketahui bahwasanya diperbolehkan untuk berteman dengan hukum berteman dengan penghayat kepercayaan. Wallahu A’lam bi Al-Shawab.

BINCANG SYARIAH

Larangan Haji Berkali-kali dalam Tinjauan Islam

Berikut keterangan larangan haji berkali-kali dalam tinjauan Islam. Pasalnya, populasi pemeluk Agama Islam di dunia terus mengalami peningkatan, pada tahun 2023 Islam memiliki 2,01 miliar penganut, yang membentuk sekitar 24% populasi dunia. 

Tentunya jumlah ini berpengaruh pada ritual tahunan yang dilakukan, yaitu ibadah Haji. Jumlah yang sedemikian banyak mempengaruhi keberlangsungan ibadah tahunan ini, sebab sudah barang tentu lahan di Mekkah Madinah tidak bisa menampung seluruh jumlah tersebut. Sehingga ada pembatasan kuota, Indonesia sendiri pada tahun 2023 ini mendapat porsi 221 ribu. 

Dalam KMA yang ditandatangani Menag Yaqut tertanggal 13 Februari 2023 ini ditetapkan bahwa kuota haji Indonesia tahun 1444 H berjumlah 221.000, terdiri atas 203.320 kuota haji reguler dan 17.680 kuota haji khusus.  

Karena banyaknya jumlah tersebut, ditambah lagi jumlah lain di seluruh penjuru dunia, maka terdapat masa tunggu keberangkatan. Bahkan estimasi waiting list jamaah haji ini sudah pada taraf tidak masuk akal, sebab durasi yang cukup lama. Yakni kisaran puluhan tahun, disesuaikan dengan daerah masing-masing.

Larangan Haji Berkali-kali 

Lalu bagaimana hukum Haji berkali-kali? Atau bagaiman tinjauan Islam terkait larangan haji berkali-kali? Mengingat di zaman sekarang ini ada pembatasan kuota bagi setiap Negara dan semakin banyaknya jumlah kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia?

Lembaga Fatwa Mesir, melalui Darul Ifta pernah membahas ini pada Fatwa nomer 4946, tepatnya tertanggal pada 7 Februari 1985 menyatakan bahwa pada dasarnya syariat tidak melarang seseorang untuk melakukan Haji dan Umrah berkali-kali. Hanya saja, lebih utama kekayaannya disalurkan kepada tetangganya yang kekurangan, jika sudah melaksanakannya. 

Syekh Abdul Latif Abdul Ghani Hamzah selaku Mufti yang menjawab pertanyaan ini, tentunya memberikan pandangan sesuai situasi dan kondisi yang terjadi pada tahun tersebut. Sehingga pada kurun selanjutnya, salah seorang elit agama yang cukup terkemuka di Mesir memberikan pandangan yang cukup progresif. 

Di mana Syekh Yusuf Al-Qardhawi -afallahu anhu- justru mengharamkan beribadah haji berkali-kali, memandang semakin banyaknya jumlah kaum Muslimin di penjuru dunia ini dan adanya pembatasan kuota bagi setiap negara. Jadi dalam pandangan beliau bukan hanya utama untuk mendermakan hartanya kepada tetangga yang membutuhkan, bahkan haram untuk naik haji lagi. Beliau menyatakan;

“(1) Allah Swt tidak akan menerima amalan Sunnah yang menyebabkan melakukan suatu yang haram, karena menjauhi dosa dari perbuatan haram ini lebih didahulukan dari pada memperoleh pahala dari kesunnahan.

Artinya, jika banyaknya orang yang sudah haji namun melaksanakan haji lagi (haji sunnah) ini bisa menyakiti kaum Muslimin, maka seyogyanya ia tidak haji lagi. Agar ia bisa memberikan kesempatan kepada mereka yang belum berhaji. 

(2) Mencegah keburukan ini lebih didahulukan dari pada mendatangkan kemaslahatan, terlebih dalam konteks keburukannya ini sifatnya publik (umum) dan maslahatnya hanya sebatas domestik (khusus). Maka jika mereka berhaji lagi dan menyebabkan kelebihan kapasitas yang berpotensi menyakiti diri mereka dan para jamaah, tentunya ia diperintahkan untuk mencegah ini.

 (3) Pintu kebaikan ini terbuka lebar, dan Allah Swt pun tidak menyempitkan ruang tersebut. Seyogyanya kaum Muslimin bersikap dengan hal yang pantas dan relevan bagi zaman dan lingkungannya.

Yakni jika haji sunnahnya ini menyebabkan dampak negatif bagi jamaah lainnya, maka sunggu ia telah diberi keluasan oleh Allah Swt untuk beribadah dengan melakukan kegiatan spiritual lain yang tidak mengganggu kaum Muslimin lainnya. Antara lain adalah mendermanan hartanya kepada mereka yang membutuhkan, khususnya pada sanak saudara. (Website Resmi Yusuf Al-Qardhawi

Pandangan serupa juga disampaikan oleh elit agama Nusantara yang masyhur di bidang ilmu Hadis, adalah Prof. KH. Ali Musthafa Ya’qub yang juga mengharamkan beribadah haji berkali-kali kecuali bagi mereka para petugas dan yang memiliki kewajiban. (Teror di Tanah Suci, halaman 88) Bahkan beliau menganjurkan kepada para elit yang memegang kebijakan negara untuk memberikan aturan atau himbauan terkait keharaman melakukan haji lagi. ( Wawancara, Via TvOne

Tentunya ini menjadi trobosan baru dan solusi atas antrian masa keberangkatan yang irasional, bayangkan saja jamaah harus menunggu puluhan tahun untuk bisa melaksanakan Haji. Tentunya ini harus ditindak lanjuti oleh para elit, bagi jamaah yang sudah Haji dan masih memiliki harta yang cukup untuk berangkat lagi juga harus sedia untuk mengalah.

Sebab masih banyak kaum Muslimin yang juga berkeinginan untuk menyempurnakan Rukun Islamnya, sehingga ini patut dijadikan renungan bagi mereka. Kaum Muslimin lainnya juga berhak untuk berangkat haji, sehingga mohon dimaklumi adanya. Justru menjadi egois ketika sudah pernah haji, namun berangkat lagi.

Memang benar adagium Fikih menyatakan bahwa  mendahulukan orang lain dalam ibadah adalah Makruh, namun jika ini berdampak pada maslahat publik, tentunya ia dengan kebesaran hatinya tidak akan mendaftar haji lagi. Syekh Yusuf Al-Qardhawi menyatakan;

هذا ما أنصح به الإخوة المتدينين المخلصين الحريصين على تكرار شعيرتي الحج والعمرة أن يكتفوا بما سبق لهم من ذلك، وإن كان ولابد من التكرار، فليكن كل خمس سنوات، وبذلك يستفيدون فائدتين كبيرتين لهم أجرهما: الأولى: توجيه الأموال الموفرة من ذلك لأعمال الخير والدعوة إلى الإسلام، ومعاونة المسلمين في كل مكان من عالمنا الإسلامي، أو خارجه حيث الأقليات المسحوقة. الثانية: توسيع مكان لغيرهم من المسلمين الوافدين من أقطار الأرض، ممن لم يحج حجة الإسلام المفروضة عليه؛ فهذا أولى بالتوسعة والتيسير منهم بلا ريب، وترك التطوع بالحج بنية التوسعة لهؤلاء، وتخفيف الزحام عن الحجاج بصفة عامة، لا يشك عالم بالدين أنه قربة إلى الله تعالى، لها مثوبتها وأجرها. 

“Seyogyanya para saudara kaum Muslimin yang berkeinginan hendak berangkat haji lagi, merasa cukup dengan haji yang sudah ia tunaikan dulu. Jika tidak bisa, 5 tahun sekali saja. Dengan demikian ia akan mendapatkan 2 faedah yang sangat agung, yaitu; (1) mendermakan hartanya kepada mereka yang membutuhkan dan untuk kepentingan dakwah Islam.

(2) memberikan kesempatan kepada kaum Muslimin yang belum haji, ini adalah suatu keutamaan. Meninggalkan haji yang sunnah (karena dia sudah melaksanakan haji) dengan niat memberikan keluasan pada mereka ini dipastikan mendapatkan pahala dan menjadi salah satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah swt”. (Website Resmi Yusuf Al-Qardhawi) 

Maka dari itu, seyogyanya para elit memikirkan hal ini. Mengingat antusias jamaah yang tidak sejalan dengan porsi yang ada, sehingga sepatutnya ada batasan pelaksanaan haji agar yang lainnya juga kebagian.

Demikian penjelasan terkait larangan haji berkali-kali dalam tinjauan Islam. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH

Doa Sujud Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam

APA doa sujud yang dibaca oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam?

Doa Sujud Bacaan Pertama yang Diajarkan Rasulullah:

Bacaan ini yang diambil oleh Imam Mazhab

Dari hadits Hudzaifah, ia mengatakan, ia pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau mengucapkan ketika rukuk ‘SUBHANAA ROBBIYAL ‘AZHIM’ (artinya: Mahasuci Rabbku Yang Mahaagung)’ dan ketika sujud, beliau mengucapkan

سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى

‘SUBHANAA ROBBIYAL A’LAA’ (artinya: Mahasuci Rabbku Yang Mahatinggi). (HR. Muslim, no. 772 dan Abu Daud, no. 871).

Doa Sujud Bacaan Kedua yang Diajarkan Rasulullah:

سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ

“SUBHANA ROBBIYAL A’LAA WA BI HAMDIH (artinya: Mahasuci Rabbku Yang Mahatinggi dan pujian untuk-Nya)”. Ini dibaca tiga kali. (HR. Abu Daud, no. 870, sahih)

Doa Sujud Bacaan Ketiga yang Diajarkan Rasulullah:

Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu, ia berkata bahwa ketika sujud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca,

اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ، وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ، تَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الخَالِقِينَ

“ALLAHUMMA LAKA SAJADTU, WA BIKA AAMANTU WA LAKA ASLAMTU, SAJADA WAJHI LILLADZI KHALAQAHU, WA SHAWWARAHU, WA SYAQQA SAM’AHU, WA BASHARAHU. TABARAKALLAHU AHSANUL KHOOLIQIIN’ (artinya: Ya Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu juga aku beriman, kepada-Mu juga aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Mahasuci Allah Sebaik-baik Pencipta).” (HR. Muslim, no. 771)

Doa Sujud Bacaan Keempat yang Diajarkan Rasulullah:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ketika sujudnya,

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ : دِقَّهُ وَجِلَّهُ ، وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ ، وَعَلاَنِيَتَهُ وَسِرَّهُ

“ALLOHUMMAGH-FIR LII DZANBII KULLAHU, DIQQOHU WA JILLAHU, WA AWWALAHU WA AAKHIROHU, WA ‘ALAANIYATAHU WA SIRROHU (artinya: Ya Allah ampunilah seluruh dosaku, yang kecilnya dan besarnya, yang pertamanya dan terakhirnya, yang terang-terangannya dan rahasianya).” (HR. Muslim, no. 483)

Doa Sujud Bacaan Kelima yang Diajarkan Rasulullah:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى

“SUBHANAKALLAHUMMA ROBBANAA WA BIHAMDIKA, ALLAHUMMAGHFIR-LII(artinya: Mahasuci Engkau Ya Allah, Rabb kami, pujian untuk-Mu, ampunilah aku)”. (HR. Bukhari, no. 817 dan Muslim, no. 484).

Doa Sujud Bacaan Keenam yang Diajarkan Rasulullah:

سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ

“SUBBUHUN QUDDUUS, ROBBUL MALAA-IKATI WAR RUUH (artinya: Mahasuci, Maha Qudus, Rabbnya para malaikat dan ruh -yaitu Jibril-).” (HR. Muslim, no. 487)

Doa Sujud Bacaan Ketujuh yang Diajarkan Rasulullah:

Dari Auf bin Malik Al-Asyja’i berkata, saya berdiri bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berdiri dan membaca surah Al-Baqarah, tidak melewati ayat rahmat kecuali berhenti dan memohonnya. Dan tidak melewati ayat siksa kecuali berhenti dan berlindung (darinya). Berkata, kemudian rukuk seperti waktu berdirinya dan membaca dalam rukuknya,

سُبْحَانَ ذِي الجَبَرُوْتِ وَالملَكُوْتِ وَالكِبْرِيَاء ِوَالعَظَمَةِ

SUBHAANA DZIL JABARUUTI WAL MALAKUUTI WAL KIBRIYAA’ WAL ‘AZHOMAH (artinya: Mahasuci Allah Yang mempunyai keperkasaan dan kerajaan (penuh) serta kesombongan dan keagungan). Kemudian sujud seperti waktu berdirinya kemudian mengatakan dalam sujudnya seperti itu. Kemudian berdiri dan membaca Ali Imran kemudian satu surah, satu surah. (HR. An-Nasai, no. 1132; Abu Daud, no. 873. []

ISLAMPOS

5 Orang yang Tak Dapat Mencium Bau Surga

ADA beberapa orang yang tak dapat mencium bau surga. Kenapa?

Surga Allah, bagi seorang Muslim tentunya menjadi tujuan utama dalam hidupnya. Harumnya Bau surga, dalam sebuah hadits, bisa tercium dari jarak 500 tahun perjalanan. Siapa yang tidak ingin menghirupnya?

Namun sayang sekali, beberapa orang ini tak dapat menginjak surganya Allah. Bahkan mencium harumnya surga saja, tidak.

1. Orang yang Tak Dapat Mencium Bau Surga: Orang yang sombong

Sikap sombong, tentu tak disukai oleh banyak orang. Darinya, seseorang bisa merendahkan orang lain. Hati-hatilah dengan sombong, ia mengharamkan pelakunya masuk surga.

Dari Uqbah bin Amir, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seorang laki-laki meninggal dunia, dan ketika ia meninggal di dalam hatinya terdapat sebiji sawi dari sifat sombong, (maka tidak) akan halal baginya mencium bau surga atau melihatnya.”

Abu Raihanah, seorang kaum Quraisy, berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, saya benar-benar menyukai keelokan dan menggemarinya hingga pada gantungan cemetiku dan juga pada tali sandalku!”

Rasulullah bersabda, “Itu tidaklah termasuk kesombongan, sesungguhnya Allah ‘azza wajalla itu Indah dan menyukai keindahan. Akan tetapi sombong itu adalah siapa yang menolak kebenaran dan meremehkan manusia dengan kedua matanya.” (HR. Ahmad).

2. Orang yang Tak Dapat Mencium Bau Surga: Wanita, berpakaian tapi telanjang

Berpakaian tapi telanjang, bukankah banyak kita saksikan dewasa ini. Ia menjadi sumber dosa bagi dirinya sendiri, dan tentunya bagi orang yang melihatnya.

“Dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat; kaum membawa cambuk seperti ekor sapi, dengannya ia memukuli orang dan wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, mereka berlenggak-lenggok dan condong (dari ketaatan), rambut mereka seperti punuk unta yang miring, mereka tidak masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan sejauh ini dan ini.” (HR. Muslim).

3. Orang yang Tak Dapat Mencium Bau Surga:  Wanita meminta dicerai tanpa alasan syar’i

Terkadang alasan sepele, menjadi biang terjadinya perceraian. Tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i, permintaan dicerai adalah gerbang menuju ditolaknya seorang wanita menuju surga Allah.

“Siapa pun wanita yang meminta talak pada suaminya tanpa alasan maka bau surga haram baginya.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad).

4. Orang yang Tak Dapat Mencium Bau Surga: Orang yang mengamalkan ilmu akhirat untuk mencari duniawi

Pun begitu, dengan mereka yang mengaku sebagai orang yang paham agama namun menjual jasa mereka dengan sejumlah uang. Mereka mengaku-ngaku ustadz atau ustadzah, menyatakan memiliki karomah, dan menarif sejumlah rupiah dari orang yang meminta tolong. Niscaya, bau surga pun tak kan pernah ia hirup.

“Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya untuk Allah, namun ia tidak menuntutnya kecuali untuk mencari dunia, maka pada hari kiamat ia tidak akan mendapatkan bau surga.”(HR. Ibnu Majah, Abu Daud dan Ahmad; shahih).

5. Orang yang Tak Dapat Mencium Bau Surga: Bernasab bukan pada ayahnya

Mengakui seseorang sebagai orang tua—ayah—sendiri, meski tahu ia bukanlah ayah kandung, menjadi orang selanjutnya yang dijauhkan dari bau surga.

“Barangsiapa mengaku keturunan dari orang lain yang bukan ayahnya sendiri tidak akan mendapatkan bau surga. Padahal bau surga telah tercium pada jarak tujuh puluh tahun, atau tujuh puluh tahun perjalanan.” (HR. Ahmad; shahih). []

ISLAMPOS

Sufi Menurut Penilaian Imam Asy Syafi’i

DI beberapa tempat, Imam As Syafi’i telah memberi penilaian terhadap para sufi. Yang sering dinukil dari perkataan beliau mengenai sufi bersumber dari Manaqib Al Imam As Syafi’i yang ditulis oleh Imam Al Baihaqi.

Di dalam kitab itu, Imam As Syafi’i menyatakan, “Kalau seandainya seorang laki-laki mengamalkan tashawuf di awal siang, maka tidak tidak sampai kepadanya dhuhur kecuali ia menjadi hamqa (kekurangan akal).” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Beliau juga menyatakan,” Aku tidak mengetahui seorang sufi yang berakal, kecuali ia seorang Muslim yang khawwas.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Beberapa pihak secara tergesa-gesa menyimpulkan dari perkataan di atas bahwa Imam As Syafi’i mencela seluruh penganut sufi. Padahal tidaklah demikian, Imam As Syafi’i hanya mencela mereka yang menisbatkan kepada tashawuf namun tidak benar-benar menjalankan ajarannya tersebut.

Imam Asy Syafi’i Bedakan Antara Sufi Yang Benar dengan Sufi Klaim

Dalam hal ini, Imam Al Baihaqi menjelaskan, ”Dan sesungguhnya yang dituju dengan perkataan itu adalah siapa yang masuk kepada ajaran sufi namun mencukupkan diri dengan sebutan daripada kandungannya, dan tulisan daripada hakikatnya, dan ia meninggalkan usaha dan membebankan kesusahannya kepada kaum Muslim, ia tidak perduli terhadap mereka serta tidak mengindahkan hak-hak mereka, dan tidak menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, sebagaimana beliau sifatkan di kesempatan lain.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/208)

Imam Al Baihaqi menjelaskan maksud perkataan Imam As Syafi’i tersebut, ”Sesungguhnya yang beliau ingin cela adalah siapa dari mereka yang memiliki sifat ini. Adapun siapa yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, dan menggunakan adab syari’ah dalam muamalahnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah serta mummalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah dikisahkan dari beliau (Imam As Syafi’i) bahwa beliau bergaul dengan mereka dan mengambil (ilmu) dari mereka. (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Imam Asy Syafi’i Mengambil Manfaat dari Sufi

Kemudian Imam Al Baihaqi menyebutkan satu riwayat, bahwa Imam As Syafi’i pernah mengatakan, ”Aku telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua kalimat ini, ”Waktu adalah pedang” dan “Termasuk kemaksuman, engkau tidak mampu” (maknanya, sesungguhnya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalangi, maka manusia tidak mampu melakukannya, hingga terhindar dari maksiat).

Jelas, bahwa Imam Al Baihaqi memahami bahwa Imam As Syafi’i mengambil manfaat dari para sufi tersebut. Dan beliau menilai bahwa Imam As Syafi’i mengeluarkan pernyataan di atas karena perilaku mereka yang mengatasnamakan sufi, namun Imam As Syafi’i menyaksikan dari mereka hal yang membuat beliau tidak suka. (lihat, Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Bahkan Ibnu Qayyim Al Jauziyah menilai bahwa pernyataan Imam As Syafi’i yang menyebutkan behwa beliau mengambil dari para sufi dua hal atau tiga hal dalam periwayatan yang lain, sebagai bentuk pujian beliau terhadap kaum ini, ”Wahai, bagi dua kalimat yang betapa lebih bermanfaat dan lebih menyeluruh. Kedua hal itu menunjukkan tingginya himmah dan kesadaran siapa yang mengatakannya. Cukup di sini pujian As Syafi’i untuk kelompok tersebut sesuai dengan bobot perkataan mereka.” (lihat, Madarij As Salikin, 3/129)

Imam As Syafi’i Memuji Ulama Sufi

Bahkan di satu kesempatan, Imam As Syafi’i memuji salah satu ulama ahli qira’ah dari kalangan sufi. Ismail bin At Thayyan Ar Razi pernah menyatakan,”Aku tiba di Makkah dan bertemu dengan As Syafi’i. Ia mengatakan,’Apakah engkau tahu Musa Ar Razi? Tidak datang kepada kami dari arah timur yang lebih pandai tentang Al Qur`an darinya.’Maka aku berkata,’Wahai Abu Abdillah sebutkan ciri-cirinya’. Ia berkata,’Berumur 30 hingga 50 tahun datang dari Ar Ray’. Lalu ia menyebut ciri-cirinya, dan saya tahu bahwa yang dimaksud adalah Abu Imran As Shufi. Maka saya mengatakan,’Aku mengetahunya, ia adalah Abu Imran As Shufi. As Syafi’i mengatakan,’Dia adalah dia.’” (Adab As Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 164)

Walhasil, Imam As Syafi’i disamping mencela sebagian penganut sufi beliau juga memberikan pujian kepada sufi lainnya. Dan Imam Al Baihaqi menilai bahwa celaan itu ditujukan kepada mereka yang menjadi sufi hanya dengan sebutan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya dan Imam As Syafi’i juga berinteraksi dan mengambil manfaat dari kelompok ini. Sedangkan Ibnu Qayyim menilai bahwa Imam As Syafi’i juga memberikan pujian kepada para sufi.

Demikianlah perkataan Imam Asy Syafi’i mengenai sufi, yang dipahami oleh para ulama besar, yakni Al Imam Al Baihaqi dan Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah. Kedua ulama besar itu lebih layak untuk diambil dalam memahami perkataan Imam Asy Syafi’i dibanding para individu yang tergesa-gesa menyimpulkan. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.

HIDAYATULLAH

Kapan Boleh Memukul Anak Menurut Islam

Dalam Islam, pukulan kepada anak dilakukan saat menginjak usia 10 tahun dan berkenaan dengan shalat, itupun tidak boleh sampai melukai 

Hidayatullah.com | SETAHUN belakangan di banyak media sering diberitakan orang tua atau para pendidik memukul anak hingga menyebabkan luka berat. Dengan menyebut nama Allah Swt, sesungguhnya agama Islam amatlah lengkap memberikan pedoman dalam masalah ini, termasuk masalah ‘pukulan’ kepada anak.

Dianjurkan bagi seorang hamba apabila disebutkan nama Allah di hadapannya untuk bersikap khusyu’, tunduk, malu, dan menyurutkan diri. Sehubungan dengan hal ini, Rasulullah ﷺ telah bersabda:

إذا ضرب أحدكم خادمه فذكر الله فارفعوا أيديكم

“Apabila seseorang di antara kalian memukul pelayannya, lalu pelayannya menyebut nama Allah, maka tahanlah tangan kalian (dari memukulnya).” (HR. Tirmidzi, dalam Kitabul Birri wash Shilah 1873).

Apabila hal ini dianjurkan, meskipun terhadap pelayan, maka terlebih lagi terhadap anak kecil. Dalam hal ini tidak bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan apa yang dikatakan oleh ahli debat yang menyebutkan bahwa anak yang bersangkutan bisa saja menjadikan hal ini sebagai kilah dan jalan keluar agar terbebas dari hukuman setiap kali dikenai hukuman.

Demikian karena sesungguhnya berkah, taufiq, dan hidayah, semuanya hanya ada pada ketaatan kepada Nabi. Allah telah berfirman:

وإن تطيعوه تهتدوأوماعلى الرسول إلا البلاغ المبين

“Dan jika kamu taat kepada-Nya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tiada lain kewajiban rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS: An-Nuur (24): 54).

Memang benar bisa jadi ada sebagian anak yang berkilah dengan memakai cara ini, tetapi siapakah yang disalahkan bila anak-anak didik ada yang berani berbuat demikian dan memaksa mereka untuk menggunakan kilah dan tipu muslihat seperti ini?

Untuk itu, pihak pendidik dan orang tua harus melakukan introspeksi ke dalam, mengevaluasi segala kekeliruan, dan mulai lagi berangkat dari kaidah yang diakui oleh syari’at dalam masalah pendidikan secara ilmiah lagi benar, agar tidak terjadi ketimpangan dan kontradiksi dalam penerapannya.

Untuk itu, kembali saya katakan bahwa sesungguhnya tidak layak memperbanyak hukuman, karena pengaruhnya sangat buruk bagi anak didik. Kękerasan secara erus-menerus yang dilakukan terhadap anak didik dapat membahayakan tubuh, akhlaq, sosial, dan perasaan mereka.

Untuk itu, harus dicari cara lain yang bijak seperti yang dikatakan oleh pepatah: “Sedia payung sebelum hujan.”

Seorang pendidik yang bijaksana adalah orang yang menjauhkan anak didiknya dari lingkungan yang dapat menjerumuskannya ke dalam berbagai kekeliruan. (Al-Aulad wa Tarbiyatuhun fi Dhauil Islam hlm. 164, menukil dari Ath-Thil fisy Syari’atil Islamiah, karya Muhammad Shalih).

Larangan Memukul di Bagian Sensitif  Saat Emosi

Tidak diragukan lagi bahwa orang yang menghukum anaknya, sedang dia dalam keadaan marah, mnaka hukuman yang ditimpakannya akan berakibat:

1. Tidak bermanfaat,

2. Menimbulkan rasa antipati dan kebencian dalam diri anak,

3. Pukulan yang ditimpakan saat itu bukan untuk tujuan mendidik, melainkan untuk memuaskan diri dan menyalurkan kemarahan yang bergejolak dalam dada terhadap anak didik yang patut dikasihani.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda:

إذا ضرب أحدكم فليتق الوجة

“Apabila seseorang di antara kalian memukul, maka hindarilah bagian wajah.” (Muslim, Kitabul Birri wash Shilah 4729, Abu Dawud, Kitabul Hudud 3859, Ahmad, lanjutan Musnadul Mukstirin 10314 dengan teks sebagai berikut: “Apabila seseorang di antara kalian memukul saudaranya, hindarilah bagian wajah, karena sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam keadaan utuh menurut rupa aslinya).

Berangkat dari pengertian ini, kita dapat mengetahui rahasia yang terkandung di balik pesan berulang Nabi ﷺ kepada seorang lelaki Badui saat mengatakan kepadanya: “Berpesanlah kepadaku!” Nabi menjawab:

لا تغضب

“Janganlak Kamu suka marah!”

Lelaki itu berkata: “Setelah kurenungkan apa yang dipesankan oleh Nabi ﷺ, ternyata kujumpai bahwa sikap marah menghimpun semua keburukan.” (Bukhari, Kitabul Adab 5651, Ahmad, lanjutan Musnadul Anshar 22088. Teks hadits ini menurut apa yang ada pada Ahmad.)

Inilah patokan kebolehan menjatuhkan hukuman pukulan:

  1. Pukulan tidak boleh dilakukan sebelum sang anak menginjak usia 10 tahun. Hal inipun hanya berkenaan dengan masalah meninggalkan shalat. Karena shalat adalah rukun Islam paling besar sesudah membaca dua kalimah syahadat.
  2. Berupaya keras mengurangi hukuman pukulan dan menjadikannya seperti garan dalam masakan. Sedikit tetapi membuatnya bertambah lezat dan bila kebanyakan justru akan merusak rasanya. Begitu pula dengan pukulan, semakin banyak dilakukan, akan mengurangi keampuhan dan efektivitasya, bahkan membuat sang anak didik akan terbiasa dengannya, kemudian akan membuatnya bertambah bodoh.

Rasulullah ﷺ telah bersabda:

لا يجلد فوق عشر جلدات إلا في حد من حدود الله

“Tidak boleh melakukan hukuman cambuk lebih dari 10 kali dera, kecuali hanya dalam kasus pelanggaran yang ada hukuman hadnya.” (Bukhari, Kitabul Hudud 5342, Tirmidzi, Kitabul Hudud 1383, Abu Dawud, Kitabul Hudud 3849, dan Ahmad, Musnadul Madaniyyin 15894).

Berdasarkan hadits ini, dapat disimpulkan bahwa hukuman pukulan hanya diperbolehkan maksimal 10 kali pukulan dan hal ini pun hanya dilakukan terhadap orang mukallaf yang sudah baligh.

Bagaimanakah sikap kita terhadap anak yang belum mencapai usia taklif? Sudah barang tentu kita tidak boleh memukulnya sebelum mencapai usia 10 tahun.

Disebutkan bahwa dahulu Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengirim surat kepada semua gubernurnya yang ada di berbagai kota besar yang isinya antar lain mengatakan bahwa seorang mu’allim (guru) tidak boleh memukul lebih dari 3 kali secara berturut-turut, karena sesungguhnya cara ini akan menakutkan anak didik. (Ibnu Abud Dun-ya, Kitabul Iyal 1/531).

Yang dimaksud dengan pukulan di sini adalah bertujuan mendidik, bukan menghukum. Sebagai dalilnya ialah pesan Rasulullah ﷺ kepada Mu’adz bin Jabal yang mengatakan:

ولا ترفع عنهم عصاك أدبا وأخفهم في الله

“Janganlah mengangkat tongkatmu terhadap mereka untuk mendidik, tetapi perlakutilah mereka dengan Allah.” (Ahmad, 21060)

Al-Qadhi Syuraih berpendapat bahwa anak didik tidak boleh dipukul karena melakukan kesalahan dalam membaca Al-Qur’an, kecuali hanya sebanyak tiga kali. Sebagaimana Jibril menyekap Nabi Muhammad sebanyak tiga kali.

3. Ulama tafsir mengatakan bahwa pukulan memakai cambuk dianjurkan hanya mengenai bagian kulit semata dan tidak boleh melampauinya sampai menembus daging.

Setiap pukulan yang melukai bagian daging atau merobek kulit hingga menembus daging dan melukainya bertentangan dengan hukum Al-Qur’an. Yang dimaksud adalah apa yang disebutkan dalam firman-Nya: “Fajlíduu” yang artinya deralah bagian luar kulit tubuh manusia yang dikenainya. (Tafsir Surat An-Nuur karya Al-Maududi).

4. Sarana yang dipakai untuk memukul tidak boleh berupa cambuk yang keras atau cambuk yang ada pintalannya, karena ada larangan mengenai hal tersebut.

Zaid bin Aslam telah meriwayatkan bahwa dahulu pada masa Rasulullah  ﷺ pernah ada seorang lelaki mengakui dirinya telah berbuat zina. Rasulullah ﷺ pun meminta cambuk, lalu didatangkanlah kepadanya sebuah cambuk yang telah terurai ujungnya, maka beliau bersabda: “Di atas ini!” Lalu didatangkanlah sebuah cambuk baru yang masih ada pintalannya pada bagian ujungnya, maka beliau bersabda: “Di bawah ini!” Akhirnya, didatangkanlah kepadanya sebuah cambuk yang telah digunakan dan agak lunak ujungnya, kemudian Rasulullah ﷺ memerintahkan agar lelaki itu didera dengan cambuk tersebut.

Sesudah itu Rasulullah bersabda:

أيها الناس قد أن لكــم أن تنتهوا عن حدود اللـه من أصـاب من هذه القاذورات شيئا فليستتر بستر الله فإنه من يبدي لنا صفحته نقم عليه كتاب الله

“Hai sekalian manusia, sekarang sudah saatnya bagi kalian untuk menghentikan hukuman had Allah; barangsiapa yang melakukan sesuatu dari perbuatan yang keji ini, hendaklah ia menutupi dirinya dengan tirai Allah, karena sesungguhnya barang siapa yang mengakui perbuatannya terhadap kani, niscaya kami akan menegakkan terhadapnya hukum Allah.” (Muwaththa Imam Malik, Kitabul Hudud 2 199)

5. Seseorang yang menimpakan pukulan tidak boleh mengangkat tinggi ketiaknya, sebagaimana yang dikatakan oleh Unar terhadap juru pukulnya: “Janganlah kamu angkat ketiakmnu!” Makna yang dimaksud ialah agar pukulan yang ditimpakan tidak melukai, yakni tidak terlalu keras dan kuat, karena ada larangan dari Nabi mengenai hal ini sebagaimana yang akan diterangkan kemudian.* (diambil dari Terjemahan Athfaalul Muslimin Kaifa Rabbahumun Nabiyyul Amin, Jamal Abdul Rahman).

HIDAUYATULLAH