Imam Ghazali: Jangan Nikahi Wanita 6 Jenis Ini

IMAM Al-Ghazali di dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin mengatakan:

Sebagian orang berkata, “Janganlah kalian menikahi wanita dari enam jenis, yaitu;

1. Al-Ananah

Al-Ananah (suka mengeluh) ialah: perempuan yang banyak mengeluh dan mengadu, selalu membalut kepalanya sebagai tanda sakit. Hal ini agar menandakan dia merasa terbebani dengan tugas hariannya, kerana malas atau memang sifat bawaan yang dimilikinya jadinya suka mengeluh walaupun disebabkan perkara kecil. Perempuan tersebut berpura-pura sakit supaya suaminya tidak membebaninya dengan tugasan harian. Menikahi perempuan yang sengaja buat-buat sakit tidak ada faedah padanya.

2. Al-Mananah

Al-Mananah yaitu perempuan yang memberikan sesuatu kepada suaminya akan tetapi suka mengungkit-ngungkit pemberian tersebut. Sampai satu masa dia akan mengatakan saya telah melakukan untuk kamu itu ini.

3. Al-Hananah

Al-Hananah yaitu perempuan yang suka merindui dan mengingati bekas suami atau anak daripada bekas suami. (Perempuan seperti ini tidak akan menghargai suaminya walaupun suaminya berusaha memuaskan segala kemauannya).

4. Al-Haddaqah

Al-Haddaqah yaitu perempuan menginginkan setiap perkara dalam perbelanjaannya (boros) dan suka belanja sehingga membebankan suaminya untuk membayar pembeliaannya.

5. Al-Baraqah

Al-Baraqah yaitu terdapat dua makna yang pertama, suka berhias sepanjang masa (berlebihan dan tak wajar) supaya wajahnya nampak lebih anggun dan mempesona. Makna kedua ialah: perempuan yang tidak mau makan, maka dia tidak akan makan kecuali bila sendirian dan dia akan menyimpan bagian tertentu untuk dirinya sendiri (misalnya, menyembunyikan brutu).

6. Al-Syaddaqah

Al-Syaddaqah yaitu perempuan yang banyak cakap, suka ngomongin suaminya. Sebagaimana sabda Nabi saw, bahawa Allah murka kepada wanita yang paling banyak ngomong.[]

Diambil dari Kitab Ihya Ulumaddin edisi Maktabah Syamila juz 2 hlm 291

Haji dan Kabar Gembira dari Arab Saudi

Dalam beberapa hari ini ada sejumlah kabar gembira yang datang dari Kerajaan Arab Saudi. Kabar gembira –khususnya bagi bakal calon jamaah haji 2020 ini– mencakup pencabutan jam malam dan dibolehkannya sholat tarawih di dua masjid suci di Makkah dan Madinah.

Raja Salman telah memerintahkan pencabutan sebagian jam malam di Arab Saudi, dengan pengecualian kota suci Makkah dan tempat-tempat berdekatan yang sebelumnya terisolasi setelah wabah Covid-19.

Sebuah keputusan kerajaan yang dirilis Saudi Press Agency (SPA) Ahad pagi (26/4) mengatakan jam malam dibatalkan dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore, sejak 26 April 2020 hingga 13 Mei 2020. Makkah dan sekitarnya akan tetap berada di bawah jam malam 24 jam.

Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi menyatakan perubahan jam malam selama bulan suci Ramadhan pada Selasa (22/4). 

photo

 Juru bicara kementerian Letnan Jenderal Talal Al-Shalhoub mengatakan penduduk di semua wilayah dan kota yang bukan subjek pada perintah jam malam diizinkan meninggalkan rumah mereka sepanjang hari dari pukul 09.00 hingga pukul 17.00 waktu setempat.

Ia menambahkan warga yang tinggal di kota-kota dan kegubernuran di mana larangan jam malam diberlakukan, diizinkan meninggalkan rumah mereka untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan. Misalnya, untuk perawatan kesehatan dan memenuhi persediaan makanan.

Warga akan diperbolehkan keluar rumah dari pukul 09.00 hingga pukul 17.00, tetapi hanya di dalam lingkungan tempat tinggal mereka. Selain itu, ditetapkan dalam bepergian dengan kendaraan terbatas untuk pengemudi dan satu penumpang.

Jam malam diberlakukan di Saudi dimulai dari pukul 15.00 hingga pukul 06.00 setiap hari. Warga lingkungan yang menjalani isolasi kesehatan lengkap dilarang meninggalkan rumah mereka.

Seperti dilansir Arab News, kebijakan baru tersebut didasarkan pada rekomendasi dari otoritas kesehatan terkait untuk memungkinkan pengembalian beberapa kegiatan ekonomi dan untuk meringankan warga dan penduduk. 

Diizinkan untuk membuka kembali mulai 6 Ramadhan 1441 H (29 April dalam kalender Masehi) hingga 20 Ramadan 1441 H (13 Mei 2020) adalah toko perdagangan grosir dan eceran, serta pusat atau mal komersial.

photo

 Perusahaan kontraktor dan pabrik juga diperbolehkan untuk melanjutkan kegiatan mereka “tanpa batasan waktu, sesuai dengan sifat bisnis mereka.”

Tidak diizinkan untuk membuka adalah pusat “yang tidak mencapai jarak fisik, termasuk: klinik kecantikan, salon pangkas rambut, klub olahraga dan kesehatan, pusat rekreasi, bioskop, salon kecantikan, restoran, kafe dan kegiatan lain yang ditentukan oleh pihak yang berwenang.”

Penegak hukum juga diinstruksikan untuk memastikan bahwa “jarak sosial” diamati setiap saat, dan bahwa pertemuan sosial yang melibatkan lebih dari lima orang, seperti acara pernikahan dan pesta harus tetap dilarang.

Berita gembira kedua, Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dibuka untuk sholat tarawih. Namun penjarakan sosial berlaku bagi jamaah yang sholat tarawih berjamaah di Masjidil Haram, Mekkah. Dengan kebijakan ini, jamaah melaksanakan sholat tanpa jarak dekat rapat alias renggang-renggang. 

Dilansir dari Arab News pada Senin, (27/2), pengurus dua Masjid Suci (Masjidil Haram dan Masjid Nabawi) mulai memperkenalkan kebijakan itu pada tarawih Ramadhan ini. Tujuannya dalam rangka mencegah penyebaran corona di area Masjid.

Kebijakan tersebut sudah mengikuti protokol pencegahan corona yang ditetapkan Kementerian Kesehatan Kerajaan Arab Saudi. Sehingga, segala keputusan pengurus dua Masjid Suci sudah meninjau pedoman itu demi kemasyalahatan umat.

Sebelumnya, Raja Salman melarang pelaksaan ibadah berjamaah di dua Masjid suci karena khawatir penularan corona. Namun baru-baru ini, Raja Salman akhirnya memberi izin penyelenggaraan ibadah tarawih berjamaah di sana, meski dibatasi hanya sampai lima kali salam saja.

Mulanya sempat dikabarkan hanya pengurus Masjid suci dan petugas kebersihan saja yang diizinkan shalat berjamah di sana selama pandemi corona. Namun kemudian dibuka untuk umum.

photo

 Pada sisi lain, Saudi memang masih bertarung melawan virus corona covid-19. Kementerian Kesehatan Kerajaan Arab Saudi mencatatkan 1.223 penderita baru corona pada Senin (27/4). Dengan begitu, total sementara penderita corona di sana mencapai 17.522 orang.

Dilansir dari Saudi Gazette pada Senin (27/4) Kemenkes Arab mendata ada tiga kasus kematian corona baru-baru ini. Satu adalah warga Arab dan dua lainnya adalah WNA. Dengan demikian total angka kematian sementara 139 orang. Usia penderita corona yang meninggal di rentang 39-72 tahun.

Kemenkes Arab juga memperoleh data ada 142 pasien positif corona yang berhasil disembuhkan dalam 24 jam terakhir. Berarti total sementara pasien corona yang disembuhkan mencapai 2.357 orang.

Kemenkes Arab menduga kasus corona masih terus meningkat seiring tingginya intensitas tim medis melakukan tes massal. Dari temuan sementara, didapati klaster yang terinfeksi corona di Arab.

Dari 1.223 temuan kasus baru corona, penderita terbanyaknya berada di Makkah (272 orang), menyusul Riyadh (267), Madinah (217), Basih (113), dan Jeddah (117). Adapun temuan kasus baru corona di kota-kota lainnya rata-rata hanya belasan orang.

Survei Persiapan Pelaksanaan Haji

Apakah berita gembira dari Saudi ini berpengaruh terhadap pelaksanaan haji 2020? Sampai saat ini Pemerintah Saudi belum memberikan penjelasan resmi tentang pelaksanaan ibadah haji tahun 2020 –apakah tetap dijalankan atau tidak dilaksanakan. Pemerintah Saudi meminta umat Islam untuk menunggu dan melihat perkembangan yang terjadi. 

Meski demikian, World Hajj and Umrah Convention (WHUC) telah melakukan survei persiapan pelaksanaan haji tahun 1441 H/ 2020 M yang melibatkan 25 negara pengirim jamaah haji. 

Hal ini disampaikan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama (Kemenag), Nizar Ali, saat membuka Rapat Evaluasi Pelaksanaan Anggaran Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) melalui telekonferensi.

“Dari 25 negara (pengirim jamaah haji) tersebut, salah satunya termasuk Indonesia,” kata Nizar melalui pesan tertulis yang diterima Republika.co.id, Senin (27/4).

Nizar menjelaskan survei persiapan pelaksanaan haji diselenggarakan Biro Perencanaan Kementerian Haji dengan WHUC.  Hasil survei ini nantinya akan dilaporkan kepada Menteri Haji Arab Saudi dan Raja Salman sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan.  

Dari 25 negara yang berpartisipasi dalam pelaksanaan survei, sudah ada 15 negara yang mengembalikan form survei tersebut termasuk Indonesia.

Secara terpisah, Konsul Haji Konsulat jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah, Endang Jumali, menjelaskan survei yang dilakukan WHUC. Tujuannya, menggali informasi tentang persiapan dan langkah kesehatan yang diambil setiap negara dalam penanganan Covid-19.

Survei ini juga terkait kesiapan setiap negara jika kebijakan haji akan mempertimbangkan pembatasan aspek umur maksimal 50 tahun. Survei menanyakan tentang kesiapan negara jika harus ada karantina sebelum perjalanan dan karantina ketika tiba di Arab Saudi.

“Juga tentang kesiapan setiap negara jika ada pengurangan kuota (haji) sebanyak 20 persen,” jelasnya. 

Oleh: Fuji E Permana, Rizki Suryarandika

IHRAM

Puasa Miliki Manfaat untuk Kesehatan Jiwa

Puasa bisa meredekan stres.

Puasa ternyata banyak memberikan manfaat bagi kesehatan fisik maupun mental. Psikiater dan Ketua Program Studi Pendidikan Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa FKKMK UGM, dr Ronny Tri Wirasto mengatakan, salah satunya menekan stres.

“Banyak hal yang bisa membantu dalam menekan stres, termasuk menjalankan puasa,” kata Ronny, Selasa (28/4).

Ia menjelaskan, puasa berpengaruh secara langsung dalam meredakan stres. Sebab, saat berpuasa orang cenderung melakukan pengaturan makan dengan lebih baik, dan asupan makanan yang diatur turut memengaruhi cara berpikir jadi lebih teratur.

Beberapa penelitian menunjukkan kalau mengurangi kadar makan dalam jumlah tertentu selama beberapa pekan akan meningkatkan kemampuan dalam berpikir. Termasuk, karbohidrat, lemak, dan lain-lain

Ronny menuturkan, cara orang mengenali stres adalah dengan kemampuan berpikir. Ia menerangkan, melalui kemampuan berpikir yang baik, emosi lebih terkendali dan menekan stres.

“Yang mengontrol emosi itu kan salah satunya kemampuan berpikir,” ujar Ronny.

Dengan menjaga makan melalui berpuasa, juga akan menjaga hormon kortisol yang terkait respon tubuh saat stres. Puasa mampu stabilkan hormon kortisol yang dihasilkan kelenjar adrenal, yang mana artinya bisa menekan tingkat stres.

Ia menjelaskan, produksi hormon berhubungan dengan asupan protein karena saat asupan diatur, hormon juga lebih teratur. Jadi, yang tadinya hormonnya dinamis, naik-turun, bisa lebih ditekan yang secara tidak langsung menjadi lebih tenang.

Ronny menekankan, hormon kortisol yang meningkat tidak sesuai dengan kebutuhan menjadikan ambang seseorang jadi lebih rendah. Sehingga, lebih mudah terpapar atau irritable seperti mudah marah.

Meski begitu, produksi hormon kortisol berlebih juga tidak baik bagi tubuh. Pasalnya, kata Ronny, hormon kortisol dapat menekan sistem kekebalan tubuh.

“Saat stres hormon Corticotropin Releasing Factor (CFR) akan teraktivasi secara berlebih yang memengaruhi makrofag, sehingga menurunkan imunitas,” kata Ronny.

KHAZANAH REPUBLIKA

Satu Bulan Bersama Al-Qur’an (Hari – 6)

Allah swt Berfirman :

قُلۡ يَٰقَوۡمِ ٱعۡمَلُواْ عَلَىٰ مَكَانَتِكُمۡ إِنِّي عَامِلٞۖ فَسَوۡفَ تَعۡلَمُونَ مَن تَكُونُ لَهُۥ عَٰقِبَةُ ٱلدَّارِۚ إِنَّهُۥ لَا يُفۡلِحُ ٱلظَّٰلِمُونَ

Katakanlah (Muhammad), “Wahai kaumku! Berbuatlah menurut kedudukanmu, aku pun berbuat (demikian). Kelak kamu akan mengetahui, siapa yang akan memperoleh tempat (terbaik) di akhirat (nanti). Sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu tidak akan beruntung.” (QS.Al-An’am:135)

وَقُل لِّلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ ٱعۡمَلُواْ عَلَىٰ مَكَانَتِكُمۡ إِنَّا عَٰمِلُونَ

Dan katakanlah (Muhammad) kepada orang yang tidak beriman, “Berbuatlah menurut kedudukanmu; kami pun benar-benar akan berbuat.” (QS.Hud:121)

قُلۡ يَٰقَوۡمِ ٱعۡمَلُواْ عَلَىٰ مَكَانَتِكُمۡ إِنِّي عَٰمِلٞۖ فَسَوۡفَ تَعۡلَمُونَ – مَن يَأۡتِيهِ عَذَابٞ يُخۡزِيهِ وَيَحِلُّ عَلَيۡهِ عَذَابٞ مُّقِيمٌ

Katakanlah (Muhammad), “Wahai kaumku! Berbuatlah menurut kedudukanmu, aku pun berbuat (demikian). Kelak kamu akan mengetahui, siapa yang mendapat siksa yang menghinakan dan kepadanya ditimpakan azab yang kekal.” (QS.Az-Zumar:39)

Ayat-ayat di atas ingin menekankan bahwa kekuatan Al-Haq (kebenaran) adalah kekuatan yang tak terkalahkan. Maka bagi siapapun yang ingin menyampaikan kebenaran dan memperjuangkannya, ia harus memiliki keyakinan penuh bahwa ia sedang bersandar kepada Pemilik Al-Haq, yang memiliki Kuasa dan Kemampuan yang tak terbatas.

Ayat ini memberikan beberapa gambaran tentang dakwah para Nabi dan para pejuang kebenaran, yaitu :

1. Dakwah para Nabi dan pejuang kebenaran pasti akan selalu mendapat gangguan, halangan dan tekanan dari musuh-musuh Allah. Mereka tidak akan tinggal diam dan selalu berusaha menggagalkan semua rencana dakwah yang ingin mengajak manusia menuju jalan Allah.

2. Dari ayat-ayat di atas kita juga melihat jaminan bahwa orang-orang yang melawan dan menyerang kebenaran pasti akan mendapatkan kehinaan di dunia dan siksa di akhirat.

3. Kita melihat bahwa terkadang para Nabi juga menggunakan nada ancaman kepada mereka musuh-musuh yang selalu ingin merongrong aktifitas dakwah dan menggagalkannya. Bahkan ayat-ayat juga bernada tantangan bagi siapapun yang ingin menghalangi tersampaikannya kebenaran.
Ketika cara-cara lembut tidak bisa menghentikan mereka yang selalu merongrong dakwah, maka terkadang di butuhkan cara yang tegas untuk melawan mereka. Kita dapat melihat dari tiga ayat di atas, ada satu ucapan yang sama dari para Nabi kepada umatnya yaitu :

ٱعۡمَلُواْ عَلَىٰ مَكَانَتِكُمۡ

“Berbuatlah menurut kedudukanmu.. !”

Pernyataan ini adalah bukti bahwa para Nabi telah mempersiapkan diri mereka untuk menghadapi segala ancaman dan rintangan. Mereka memiliki keyakinan yang penuh kepada Allah dan siap mengorbankan seluruh yang mereka miliki di jalan Allah. Duhai umatku, berbuatlah semau kalian ! Kami tak akan pernah mundur selangkah pun untuk memperjuangkan kebenaran !

Ayat ini juga mengingatkan kita bagaimana Nabi Nuh as di tengah dahsyatnya tekanan kepada beliau, Nabi Nuh as dengan lantang menantang seluruh umatnya dengan penuh keberanian seakan beliau memiliki pasukan yang tak terkalahkan. Padahal Nabi Nuh as seorang diri, hanya di temani oleh segelintir pengikut beliau.

وَٱتۡلُ عَلَيۡهِمۡ نَبَأَ نُوحٍ إِذۡ قَالَ لِقَوۡمِهِۦ يَٰقَوۡمِ إِن كَانَ كَبُرَ عَلَيۡكُم مَّقَامِي وَتَذۡكِيرِي بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ فَعَلَى ٱللَّهِ تَوَكَّلۡتُ فَأَجۡمِعُوٓاْ أَمۡرَكُمۡ وَشُرَكَآءَكُمۡ ثُمَّ لَا يَكُنۡ أَمۡرُكُمۡ عَلَيۡكُمۡ غُمَّةٗ ثُمَّ ٱقۡضُوٓاْ إِلَيَّ وَلَا تُنظِرُونِ

Dan bacakanlah kepada mereka berita penting (tentang) Nuh ketika (dia) berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku! Jika terasa berat bagimu aku tinggal (bersamamu) dan peringatanku dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah aku bertawakal. Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan kumpulkanlah sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku), dan janganlah keputusanmu itu dirahasiakan. Kemudian bertindaklah terhadap diriku, dan janganlah kamu tunda lagi.” (QS.Yunus:71)

Sejarah telah membuktikan bahwa pada akhirnya kemenangan hanya di tangan para pejuang kebenaran. Walau mereka sedikit, walau mereka di tindas. Sementara kehinaan dan kehancuran hanyalah milik mereka yang selalu menyeru kebatilan dan memerangi kebenaran.

Dan kesimpulan terakhir dari ayat-ayat di atas, kita ingin di ajarkan oleh Allah bahwa seorang yang benar-benar beriman selalu akan di uji kekokohan imannya, ketabahan hatinya dan konsistensinya dalam menjalankan perintah Allah. Karenanya seorang mukmin harus kuat, karena ia selalu bersandar pada Yang Maha Kuat !

Semoga bermanfaat….

KHAZANAH ALQURAN

Perbanyak Baca Al-Quran di Saat Wabah dan Bulan Ramadhan

Tahun ini kita melalui bulan Ramadhan dalam kondisi di tengah merebaknya wabah virus Corona. Kaum muslimin sangat dianjurkan untuk menghidupkan Ramadhan ini dengan berbagai amalan shalih, salah satunya memperbanyak membaca Al-Quran

Mengapa Memperbanyak Membaca Al-Quran saat Wabah di Bulan Ramadhan?

Di musim wabah saat bulan Ramadhan ini, mari  kita perbanyak membaca Al-Quran. Ini benar-benar kesempatan meraih pahala yang sangat besar dan sangat bermanfaat. Mengapa?

  1. Ramadhan adalah bulannya Al-Quran kita diperintahnya banyak membaca Al-Quran dan memahami tafsirnya
  2. Di musim wabah ini, sebagian kita punya waktu luang yang banyak karena kita dianjurkan agar #DiRumahAja, gunakan waktu luang ini untuk membaca Al-Quran
  3. Al-Quran adalah obat baik untuk penyakit hati dan penyakit fisik. Sangat pas kita memperbanyak baca Al-Quran di musim wabah, hati tenang dan bisa jadi penyakit fisik akan sembuh
  4. Dengan sibuk mambaca Al-Quran, kita mengurangi membaca berita tentang covid19. Terlalu banyak membaca berita akan meneyebakan kecemasan berlebih dan menyebabkan penyakit psikosomatik, yaitu “perasaan” memiliki gejala penyakit covid19 padahal tidak, bahkan sehat-sehat saja

Berikut penjebaran dari poin-poin di atas: 

1. Ramadhan adalah Bulannya Al-Quran

Ramadhan adalah bulannya Al-Quran kita diperintahnya banyak membaca Al-Quran dan memahami tafsirnya

Allah berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ 

Bulan Ramadhan yang di dalamnya –mulai- diturunkannya Al-Quran (QS Al-Baqarah: 185)

Hendaknya kita semangat membaca Al-Quran karena ia akan memberikan syafaat di hari kiamat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ

Rajinlah membaca al-Quran, karena dia akan menjadi syafaat bagi penghafalnya di hari kiamat.” [HR. Muslim 1910]

2. Banyak Waktu Luang di Rumah

Di musim wabah ini, sebagian kita punya waktu luang yang banyak karena kita dianjurkan agar #DiRumahAja, gunakan waktu luang ini untuk membaca Al-Quran

Dengan banyaknya waktu luang kita dapat gunakan untuk mengkhatamkan Al-Quran. Hendaknya kita bertekad kuat mengkhatamkan membaca Al-Quran minimal sekali saja di bulan Ramadhan

Di bulan Ramadhan Rasulullah shalllahu ‘alaihi wa sallam diajarkan oleh malaikat sampai khatam. Jibril Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,

أن جبريل كان يعْرضُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْآنَ كُلَّ عَامٍ مَرَّةً ، فَعرضَ عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ فِي الْعَامِ الَّذِي قُبِضَ فيه

Dahulu Jibril mendatangi dan mengajarkan Al-Qur’an kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam setiap tahun sekali (pada bulan ramadhan). Pada tahun wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alayi wasallam Jibril mendatangi dan mengajarkan Al-Qur’an kepada beliau sebanyak dua kali (untuk mengokohkan dan memantapkannya)” ( HR. Bukhari no. 4614)

Ibnu Atsir rahimahullah menjelaskan,

أي كان يدارسه جميع ما نزل من القرآن

“yaitu mempelajari (mudarasah) semua ayat Al-Quran yang turun” ( Al-Jami’ fi Gharib Hadits, 4/64).

Bahkan beberapa ulama sengaja meninggalkan majelis ilmu dan beberapa ibadah lainnya karena fokus membaca AL-Quran. Ibnu Rajab Al-Hambali berkata,

قال ابن عبد الحكم: كان مالك إذا دخل رمضان يفر من قراءة الحديث ومجالسة أهل العلم ، وأقبل على تلاوة القرآن من المصحف .

قال عبد الرزاق : كان سفيان الثوري : إذا دخل رمضان ترك جميع العبادة وأقبل على قراءة القرآن 

“Ibnu Abdil Hakam berkata, Imam malik di Bulan Ramadhan meninggalkan majelis membaca hadits dan majelis ilmu dan fokus membaca Al-Quran dari mushaf.

Abdurrazzaq berkata, Sufyan Ats-Tsauri apabila memasuk Ramadhan, ia meninggalkan berbagai ibadah dan fokus membaca Al-Quran.” [Lathaif Al-Ma’arif hal. 171]

3. Al-Quran Obat Penyakit Hati dan Penyakit Fisik

Al-Qurn adalah obat baik untuk penyakit hati dan penyakit fisik. Sangat pas kita memperbanyak baca Al-Quran di musim wabah, hati tenang dan bisa jadi penyakit fisik akan sembuh

Al-Quran adalah obat penyakit fisik dan jiwa. Allah berfirman

ﻭَﻧُﻨَﺰّﻝُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻣَﺎ ﻫُﻮَ ﺷِﻔَﺂﺀٌ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔٌ ﻟّﻠْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻭَﻻَ ﻳَﺰِﻳﺪُ ﺍﻟﻈّﺎﻟِﻤِﻴﻦَ ﺇَﻻّ ﺧَﺴَﺎﺭﺍً

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” (QS. Al-Israa’: 82).

Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqith menjelaskan bahwa maksud obat dalam ayat ini adalah obat untuk penyakit fisik dan jiwa. Beliau berkata

ﻣَﺎ ﻫُﻮَ ﺷِﻔَﺎﺀٌ ﻳَﺸْﻤَﻞُ ﻛَﻮْﻧَﻪُ ﺷِﻔَﺎﺀً ﻟِﻠْﻘَﻠْﺐِ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮَﺍﺿِﻪِ ; ﻛَﺎﻟﺸَّﻚِّ ﻭَﺍﻟﻨِّﻔَﺎﻕِ ﻭَﻏَﻴْﺮِ ﺫَﻟِﻚَ ، ﻭَﻛَﻮْﻧَﻪُ ﺷِﻔَﺎﺀً ﻟِﻠْﺄَﺟْﺴَﺎﻡِ ﺇِﺫَﺍ ﺭُﻗِﻲَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺑِﻪِ ، ﻛَﻤَﺎ ﺗَﺪُﻝُّ ﻟَﻪُ ﻗِﺼَّﺔُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺭَﻗَﻰ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞَ ﺍﻟﻠَّﺪِﻳﻎَ ﺑِﺎﻟْﻔَﺎﺗِﺤَﺔِ ، ﻭَﻫِﻲَ ﺻَﺤِﻴﺤَﺔٌ ﻣَﺸْﻬُﻮﺭَﺓٌ

“Obat yang mencakup obat bagi penyakit hati/jiwa, seperti keraguan, kemunafikan, dan perkara lainnya. Bisa menjadi obat bagi jasmani jika dilakukan ruqyah kepada orang yang sakit. Sebagaimana kisah seseorang yang terkena sengatan kalajengking diruqyah dengan membacakan Al-Fatihah. Ini adalah kisah yang shahih dan masyhur” (Tafsir Adhwaul Bayan).

4. Mengurangi Intensitas Membaca Berita Tentang Covid 19

Dengan sibuk mambaca Al-Quran, kita mengurangi membaca berita tentang covid19. Terlalu banyak membaca berita akan meneyebakan kecemasan berlebih dan menyebabkan penyakit psikosomatik, yaitu “perasaan” memiliki gejala penyakit covid19 padahal tidak, bahkan sehat-sehat saja

Misalnya ia terlalu banyak mendengar berita gejala covid yaitu tenggorakan gatal dan sesak, ia pun merasa tenggorakan gatal dan agak sesak, padahal ia sehat-sehat saja. Inilah gejala dari penyakit psikosomatik.

Demikian smepga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56316-perbanyak-baca-al-quran-di-saat-wabah-dan-bulan-ramadhan.html

Bukti Kekuasaan Allah

Bismillahirrahmanirrahim

Kaum muslimin yang semoga dirahmati oleh Allah. Setiap muslim meyakini bahwa alam semesta ini, langit dan bumi, beserta segala isinya adalah ciptaan Allah, dan berada di bawah kekuasaan-Nya. Tidak ada yang menciptakan dan mengatur alam ini kecuali Alla. Ini adalah bagian dari keyakinan mendasar bahkan fitrah yang telah Allah tanamkan dalam hati umat manusia.

Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah tauhid rububiyah. Keyakinan bahwa Allah Maha Esa dalam hal mencipta, mengatur, dan menguasai alam semesta. Umat manusia pada dasarnya telah mengakui hal ini dalam lubuk hati mereka, bahkan mereka yang musyrik dan kafir sekali pun mengakui hal ini. Jika mereka ditanya, siapa yang menciptakan langit dan bumi, mereka pasti menjawab Allah. Jika mereka ditanya siapa yang memberi rezeki, mereka menjawab Allah. Allah Ta’ala berfirman,

قُلۡ مَن يَرۡزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ أَمَّن يَمۡلِكُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَمَن يُخۡرِجُ ٱلۡحَيَّ مِنَ ٱلۡمَيِّتِ وَيُخۡرِجُ ٱلۡمَيِّتَ مِنَ ٱلۡحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَۚ فَسَيَقُولُونَ ٱللَّهُۚ فَقُلۡ أَفَلَا تَتَّقُونَ ٣١

“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (QS. Yunus: 31)

Pada hari-hari ini ketika musibah wabah telah melanda berbagai negara dan menerpa berbagai lapisan masyarakat baik yang kaya ataupun yang miskin, yang punya kedudukan tinggi maupun orang biasa, maka orang pun kembali tersadar bahwa manusia itu adalah makhluk yang tidak berdaya di hadapan kekuasaan Allah. Makhluk kecil bernama virus pun mampu ‘menumbangkan’ arogansi dan kesombongan negara-negara kaya dan adidaya.

Pada hari ini kita pun kembali sadar, bahwa manusia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa pertolongan dan bantuan Allah. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan pelajaran akidah mendasar ini dalam sabdanya kepada Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma

يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ

“Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. Tirmidzi no. 2516, Imam Ahmad dalam Al Musnad: 1/307)

Imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied rahimahullah menyebutkan salah satu faedah dari hadis itu adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan bimbingan dan arahan kepada sahabatnya itu agar bertawakal kepada Allah semata dan tidak menggantungkan hati kepada selain Allah dalam segala urusan, apakah itu sedikit ataupun banyak (lihat Addurrah Assalafiyah, hal. 153).

Kaum muslimin yang dirahmati Allah. Kita sebagai manusia seringkali lupa akan hal ini. Banyak orang yang terlalu bersandar kepada kemampuannya, kecerdasannya, keahliannya, kekuatannya, kekuasaannya, kekayaannya, ataupun kehebatannya. Padahal, tanpa pertolongan Allah manusia tidak bisa berbuat apa-apa. Laa haula wa laa quwwata illa billaah, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan bantuan Allah. Kalimat yang agung ini mengandung kewajiban bertawakal kepada Allah semata dan agar kita senantiasa memohon pertolongan kepada Allah dalam menghadapi urusan dan permasalahan.

Apabila kita pun telah sadar dan teringat bahwa dunia dan segala isinya ini adalah milik Allah, dan Allah bisa mengatur alam ini sesuai kehendak dan hikmah-Nya, seperti apa pun yang Allah inginkan. Maka semestinya kita pun kembali sadar bahwa tidak ada yang berhak untuk disembah selain Allah. Karena hanya Allah yang mengatur alam raya ini. Allah pula yang menjamin rezeki seluruh manusia dan bahkan setiap binatang melata yang ada.

Kebanyakan orang apabila tertimpa musibah dan bencana kembali kepada Allah dan berdoa kepada-Nya semata agar segera dilepaskan dari musibah dan mara bahaya. Akan tetapi pada saat Allah telah menganugerahkan kepada mereka keselamatan maka tiba-tiba mereka pun kumat, kembali tenggelam dalam syirik dan kekufuran.

Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا رَكِبُواْ فِي ٱلۡفُلۡكِ دَعَوُاْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ فَلَمَّا نَجَّىٰهُمۡ إِلَى ٱلۡبَرِّ إِذَا هُمۡ يُشۡرِكُونَ ٦٥

“Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)” (QS. Alankabut: 65)

Ini merupakan sikap tidak tahu diri dan tidak tahu terima kasih. 

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, tidaklah kita ragu bahwa Allah Mahamampu untuk mengangkat segala bentuk musibah dan bencana yang menimpa manusia. Allah Ta’ala berfirman,

أَمَّن يُجِيبُ ٱلۡمُضۡطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكۡشِفُ ٱلسُّوٓءَ وَيَجۡعَلُكُمۡ خُلَفَآءَ ٱلۡأَرۡضِۗ أَءِلَٰهٞ مَّعَ ٱللَّهِۚ قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ ٦٢

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya)” (QS. Annaml:62)

Bahkan orang-orang musyrik terdahulu pun meyakini bahwa hanya Allah yang bisa memberikan pertolongan kepada mereka dalam kondisi terancam bahaya dan terjepit. Oleh sebab itulah orang-orang musyrik terdahulu berdoa kepada Allah semata ketika berada dalam keadaan susah dan genting seraya memurnikan doanya untuk Allah (lihat Ibthal At-Tandid, hal. 87).

Allah Ta’ala berfirman, 

وَإِذَا مَسَّ ٱلنَّاسَ ضُرّٞ دَعَوۡاْ رَبَّهُم مُّنِيبِينَ إِلَيۡهِ ثُمَّ إِذَآ أَذَاقَهُم مِّنۡهُ رَحۡمَةً إِذَا فَرِيقٞ مِّنۡهُم بِرَبِّهِمۡ يُشۡرِكُونَ ٣٣

“Dan apabila manusia disentuh oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali bertaubat kepada-Nya, kemudian apabila Tuhan merasakan kepada mereka barang sedikit rahmat daripada-Nya, tiba-tiba sebagian dari mereka mempersekutukan Tuhannya” (QS. Arrum: 33)

Ayat-ayat yang jelas ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa sikap kaum musyrikin terdahulu apabila tertimpa musibah maka mereka kembali kepada Allah dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Ishaq, dari Ikrimah bin Abu Jahal yang mengisahkan bahwa orang-orang musyrik kala itu ketika berada di atas kapal dan terancam oleh badai atau ombak lautan mereka mengatakan, “Wahai kaum, murnikanlah untuk Rabb kalian permintaan/doa kalian. Karena tidak ada yang bisa menyelamatkan dalam keadaan ini kecuali Dia (Allah).” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 6/160 cet. at-Taufiqiyah).

Allah pun telah menegaskan hal ini dalam firman-Nya

وَإِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فِي ٱلۡبَحۡرِ ضَلَّ مَن تَدۡعُونَ إِلَّآ إِيَّاهُۖ فَلَمَّا نَجَّىٰكُمۡ إِلَى ٱلۡبَرِّ أَعۡرَضۡتُمۡۚ وَكَانَ ٱلۡإِنسَٰنُ كَفُورًا ٦٧

“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia, Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih.” (QS. Alisra’: 67)

Pelajaran apa yang kiranya bisa kita petik dari musibah wabah yang menggemparkan dunia ini? Ya, banyak yang bisa kita hayati. Salah satunya adalah wajibnya kita bersandar kepada Allah dan tidak kepada kemampuan diri kita.

Kita ini lemah dan Allah Mahakuat. Kita ini tidak mampu dan Allah Mahamampu. Kita ini tidak tahu sedangkan Allah Maha Mengetahui.

Kita pun wajib memurnikan ibadah kita kepada Allah, tidak boleh beribadah kepada selain-Nya. Dengan demikian, musibah ini semestinya membuat manusia kembali sadar untuk bertauhid dan bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya.

Semestinya manusia ingat bahwa sebab utama musibah ini adalah karena syirik dan kekufuran yang dilakukan oleh umat manusia di muka bumi ini.

Allah Ta’ala berfirman, 

ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ ٤١

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Arrum: 41)

Dengan kata lain, semestinya setelah musibah ini menerpa seharusnya kita menjadi orang yang semakin ikhlas dalam beribadah kepada Allah. Semestinya kita tinggalkan segala bentuk sesembahan selain-Nya, apapun bentuknya. Kita bersihkan hati kita dari syirik, kemunafikan, kefajiran, riya’, dan ujub, serta kesombongan. Jika musibah-musibah ini tidak menyadarkan kita akan hal-hal ini maka anda perlu waspada. Karena bisa jadi Allah telah mengunci hatinya.

Sebagaimana dikatakan oleh orang Arab,

“Bagaimana mungkin sayatan luka.

Bisa membuat sakit orang yang sudah binasa.”

Orang yang sudah mati hatinya tidak bisa lagi mengenali kebaikan dan keburukan. Tidak bisa lagi membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Dia tidak mau tunduk kecuali dengan apa-apa yang sesuai dengan selera hawa nafsunya. Hawa nafsu adalah imamnya dan kebodohan adalah kendaraan tunggangannya. Dia taklukkan akal sehatnya dalam keadaan terjajah oleh bujuk rayu dan tipu daya para penyeru menuju lembah neraka.

Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk bertaubat dan kembali ke jalan-Nya.

Oleh: Abu Mushlih Ari Wahyudi hafizhahullahu Ta’ala

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56180-bukti-kekuasaan-allah.html

Jika Allah yang Memberi, Kenapa Kita Cemburu?

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ

“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki.” (QS.an-Nahl:71)

Selama Allah yang memberi kelebihan rezeki dan kecerdasan kepada sebagian manusia, lalu kenapa kita masih iri? Kenapa kita cemburu?

نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.” (QS.az-Zukhruf:32)

KHAZANAH ALQURAN

Fikih Ringkas Shalat Tarawih

Definisi Shalat Tarawih

Tarawih adalah bentuk jamak dari tarwihah, secara bahasa artinya istirahat sekali. Dinamakan demikian karena biasanya dahulu para sahabat ketika shalat tarawih mereka memanjangkan berdiri, rukuk dan sujudnya. Maka ketika sudah mengerjakan empat rakaat, mereka istirahat, kemudian mengerjakan empat rakaat lagi, kemudian istirahat, kemudian mengerjakan tiga rakaat (lihat Lisanul Arab, 2/462, Mishbahul Munir, 1/244, Syarhul Mumthi, 4/10).

Secara istilah tarawih artinya qiyam Ramadhan, atau shalat di malam hari Ramadhan (lihat Al Mughni, 1/455, Syarah Shahih Muslim lin Nawawi, 6/39).

Keutamaan Shalat Tarawih

  1. Shalat tarawih merupakan sebab mendapatkan ampunan dosa-dosa yang telah lalu

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau berkata:

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يُرغِّبُ في قيامِ رمضانَ من غير أنْ يأمرَهم فيه بعزيمةٍ، فيقولُ: مَن قامَ رمضانَ إيمانًا واحتسابًا غُفِرَ له ما تَقدَّمَ مِن ذَنبِه

Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memotivasi orang-orang untuk mengerjakan qiyam Ramadhan, walaupun beliau tidak memerintahkannya dengan tegas. Beliau bersabda: “Orang yang shalat tarawih karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari no. 2009, Muslim no. 759).

  1. Orang yang tarawih berjamaah bersama imam sampai selesai, dicatat baginya shalat semalam suntuk

Dari Abu Dzar radhiallahu’anhu, ia berkata:

قلت: يا رسولَ اللهِ، لو نَفَّلْتَنا قيامَ هذه اللَّيلةِ؟ فقال: إنَّ الرَّجُلَ إذا صلَّى مع الإمامِ حتى ينصرفَ، حُسِبَ له قيامُ ليلةٍ

Aku pernah berkata: wahai Rasulullah, andaikan engkau menambah shalat sunnah bersama kami malam ini! Maka Nabi bersabda: “sesungguhnya seseorang yang shalat bersama imam sampai selesai, ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk” (HR. Tirmidzi no. 806, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

  1. Orang yang rutin mengerjakan shalat tarawih, jika wafat maka dicatat sebagai shiddiqin dan syuhada

Dari Amr bin Murrah Al Juhani radhiallahu’anhu, ia berkata:

جاءَ رجلٌ من قُضاعةَ إلى النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فقال: إنِّي شهدتُ أنْ لا إلهَ إلَّا اللهُ، وأنَّكَ رسولُ اللهِ، وصليتُ الصلواتِ الخمسَ، وصُمتُ رَمضانَ وقُمتُه، وآتيتُ الزكاةَ، فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: مَن ماتَ على هذا كانَ من الصِّدِّيقينَ والشُّهداءِ

Datang seseorang dari gurun kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, ia berkata: aku bersyahadat bahwa tiada sesembahan yang haq kecuali Allah dan bahwasanya engkau adalah utusan Allah. Aku shalat 5 waktu, aku puasa Ramadhan dan mengerjakan qiyam Ramadhan, dan aku membayar zakat. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “orang yang mati di atas ini semua, maka ia termasuk shiddiqin dan syuhada” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 2212, Ath Thabrani dalam Musnad Asy Syamiyyin no.2939, dishahihkan Al Albani dalam Qiyamu Ramadhan, 18).

Hukum Shalat Tarawih

Shalat tarawih hukumnya sunnah muakkadah. Diantara dalilnya:

Pertama: Dalil As Sunnah

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau berkata:

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يُرغِّبُ في قيامِ رمضانَ من غير أنْ يأمرَهم فيه بعزيمةٍ، فيقولُ: مَن قامَ رمضانَ إيمانًا واحتسابًا غُفِرَ له ما تَقدَّمَ مِن ذَنبِه

Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memotivasi orang-orang untuk mengerjakan qiyam Ramadhan, walaupun beliau tidak memerintahkannya dengan tegas. Beliau bersabda: “Orang yang shalat tarawih karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari no. 2009, Muslim no. 759).

Dari Aisyah radhiallahu’anha, beliau berkata:

أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم صلَّى في المسجدِ ذاتَ ليلةٍ، فصلَّى بصلاتِه ناسٌ، ثم صَلَّى من القابلةِ، فكثُرَ الناسُ ثم اجتَمَعوا من الليلةِ الثالثةِ، أو الرابعةِ، فلم يخرُجْ إليهم رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فلمَّا أصبحَ قال: قد رأيتُ الذي صنعتُم، فلمْ يمنعْني من الخروجِ إليكم إلَّا أنِّي خَشيتُ أنْ تُفرَضَ عليكم قال: وذلِك في رمضانَ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat di masjid suatu malam, maka orang-orang pun ikut shalat di belakang beliau. Kemudian beliau shalat lagi di malam berikutnya. Maka orang-orang yang ikut pun semakin banyak. Kemudian mereka berkumpul di masjid di malam yang ketiga atau keempat. Namun ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak keluar. Ketiga pagi hari beliau bersabda: aku melihat apa yang kalian lakukan semalam. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kecuali aku khawatir shalat tersebut diwajibkan atas kalian”. Perawi mengatakan: “itu di bulan Ramadhan” (HR. Bukhari no. 1129, Muslim no. 761).

Kedua: Dalil ijma

Al Imam An Nawawi mengatakan:

فصلاة التراويحِ سُنَّة بإجماع العلماء

“Shalat tarawih hukumnya sunnah dengan ijma ulama” (Al Majmu, 4/37).

Ash Shan’ani mengatakan:

قيام رمضان سُنَّة بلا خلاف

Qiyam Ramadhan hukumnya sunnah tanpa ada khilaf” (Subulus Salam, 2/11).

Shalat Tarawih Di Masjid Jama’ah

Shalat tarawih lebih utama dikerjakan secara berjamaah dari pada sendirian. Dalilnya:

Pertama: Dalil As Sunnah

Dari Aisyah radhiallahu’anha ia berkata:

أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم صلَّى في المسجدِ ذاتَ ليلةٍ، فصلَّى بصلاتِه ناسٌ، ثم صَلَّى من القابلةِ، فكثُرَ الناسُ ثم اجتَمَعوا من الليلةِ الثالثةِ، أو الرابعةِ، فلم يخرُجْ إليهم رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فلمَّا أصبحَ قال: قد رأيتُ الذي صنعتُم، فلمْ يمنعْني من الخروجِ إليكم إلَّا أنِّي خَشيتُ أنْ تُفرَضَ عليكم قال: وذلِك في رمضانَ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat di masjid suatu malam, maka orang-orang pun ikut shalat di belakang beliau. Kemudian beliau shalat lagi di malam berikutnya. Maka orang-orang yang ikut pun semakin banyak. Kemudian mereka berkumpul di masjid di malam yang ketiga atau keempat. Namun ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak keluar. Ketiga pagi hari beliau bersabda: aku melihat apa yang kalian lakukan semalam. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kecuali aku khawatir shalat tersebut diwajibkan atas kalian”. Perawi mengatakan: “itu di bulan Ramadhan” (HR. Bukhari no. 1129, Muslim no. 761).

Sisi pendalilan:

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat tarawih secara berjama’ah di masjid. Namun yang menahan beliau untuk merutinkannya adalah beliau khawatir shalat tarawih diwajibkan kepada umat beliau. Maka ini menunjukkan bahwa melaksanakannya di masjid lebih utama.

Kedua: Dalil ijma

Ath Thahawi mengatakan:

قد أَجمعُوا أنه لا يجوزُ للنَّاس تعطيلُ المساجِد عن قيام رمضانَ وكانَ هذا   القيام واجِبًا على الكِفايَة، فمَن فعَلَه كانَ أفضلَ مِمَّن انفرد به

“Para ulama ijma bahwa tidak boleh orang-orang meninggalkan masjid-masjid untuk mengerjakan qiyam Ramadhan. Dan qiyam Ramadhan ini fardhu kifayah, barangsiapa mengerjakannya berjamaah maka itu lebih utama dari pada sendirian” (Mukhtashar Ikhtilaf Ulama, 1/315).

Ibnu Qudamah mengatakan:

وقال ابنُ   قُدامةَ: (الجماعةُ في التراويح أفضلُ، وإنْ كان رجلٌ يُقتدَى به، فصلَّاها في   بيته، خِفتُ أن يَقتديَ الناس به، وقد جاء عن النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: ((اقتدوا   بالخُلفاء))، وقد جاء عن عُمرَ أنه كان يُصلِّي في الجماعة… ولنا: إجماعُ الصَّحابة على ذلك

“Berjamaah dalam mengerjakan shalat tarawih itu lebih utama. Andai ada seorang yang meniru Rasulullah dengan shalat di rumah, aku khawatir orang-orang lain akan mengikutinya. Padahal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘ikutilah para khulafa (ar rasyidin)’. Dan terdapat riwayat bahwa Umar bin Khathab mengerjakan shalat tarawih secara berjamaah. Dan kami menegaskan bahwa para sahabat ijma akan hal ini” (Al Mughni, 2/124).

Ketiga: Dalil atsar sahabat

Dari Abdurrahman bin Abdil Qari, ia berkata:

خرجتُ مع عُمرَ بنِ الخطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْه ليلةً في رمضانَ إلى المسجدِ، فإذا الناسُ أوزاعٌ متفرِّقون يُصلِّي الرجلُ لنَفسِه، ويُصلِّي الرجلُ فيُصلِّي بصلاتِه الرهطُ، فقال عُمرُ رَضِيَ اللهُ عَنْه: إني أَرَى لو جمعتُ هؤلاءِ على قارئٍ واحدٍ، لكان أمثلَ، ثم عَزَمَ فجمَعَهم إلى أُبيِّ بنِ كعبٍ

Aku keluar bersama Umar radhiallahu’anhu pada suatu malam bulan Ramadan ke masjid. Ketika itu orang-orang di masjid shalat berkelompok-kelompok terpisah-pisah. Ada yang shalat sendiri-sendiri, ada juga yang membuat jamaah bersama beberapa orang. Umar berkata: ‘Menurutku jika aku satukan mereka ini untuk shalat bermakmum di belakang satu orang qari’ itu akan lebih baik’. Maka Umar pun bertekad untuk mewujudkannya, dan ia pun menyatukan orang-orang untuk shalat tarawih berjamaah bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab” (HR. Bukhari no. 2010).

Waktu Pelaksanaan Shalat Tarawih

Shalat tarawih dilaksanakan setelah shalat isya, dan yang utama adalah setelah waktu isya yang terakhir. Ibnu Taimiyah mengatakan:

فما كان الأئمَّة يُصلُّونها إلَّا بعد العِشاء على عهد النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، وعهدِ خلفائه الراشدين، وعلى ذلك أئمَّةُ المسلمين، لا   يُعرف عن أحدٍ أنه تعمَّد صلاتَها قبل العِشاء، فإنَّ هذه تُسمَّى قيام رمضان

“Para imam tidak melaksanakan shalat tarawih kecuali setelah shalat Isya sebagaimana di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dan di masa para Khulafa Ar Rasyidin, dan juga di masa para imam kaum Muslimin. Tidak diketahui ada yang bersengaja melaksanakannya sebelum shalat Isya. Dan oleh karena itukah shalat ini disebut qiyam Ramadhan” (Majmu Al Fatawa, 23/120).

Beliau juga mengatakan:

السُّنة في التراويح أنْ تُصلَّى بعد العِشاء الآخِرةِ، كما اتَّفق على ذلك السَّلَف والأئمَّة

”Yang sunnah dalam melaksanakan melaksanakan shalat tarawih adalah setelah waktu isya yang terakhir. Sebagaimana ini telah disepakati oleh para salaf dan imam kaum Muslimin” (Majmu Al Fatawa, 23/119).

Jumlah Rakaat Shalat Tarawih

Shalat tarawih dan shalat malam secara umum tidak memiliki batasan tertentu. Dalil akan hal ini adalah sebagai berikut:

Pertama: Dalil As Sunnah

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, ia berkata:

أنَّ رجلًا سألَ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عن صلاةِ اللَّيل، فقال رسولُ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: صلاةُ الليلِ مَثْنَى مثنَى، فإذا خشِيَ أحدُكم الصبحَ صلَّى ركعةً واحدةً، تُوتِر له ما قدْ صلَّى

Ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengenai shalat malam. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh maka shalatlah satu rakaat untuk membuat rakaat shalatnya menjadi ganjil” (HR. Bukhari no. 990, Muslim no. 749).

Dari Aisyah radhiallahu’anha beliau berkata:

ما كان يَزيدُ في رمضانَ، ولا في غيرِه على إحْدى عَشرةَ ركعةً ؛ يُصلِّي أربعَ رَكَعاتٍ فلا تسألْ عن حُسنهنَّ وطولهنَّ، ثم يُصلِّي أربعًا، فلا تسألْ عن حُسنهنَّ وطولهنِّ ، ثم يُصلِّي ثلاثًا

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah shalat lebih dari 11 rakaat baik di bulan Ramadhan atau di bulan lainnya. Beliau shalat 4 rakaat, jangan tanya mengenai bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat 4 rakaat, jangan tanya mengenai bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat 3 rakaat” (HR. Bukhari no. 2013, Muslim no. 837).

Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma beliau berkata:

كان صلاةُ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ثلاثَ عَشرةَ ركعةً. يعني: باللَّيل

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat 13 rakaat di malam hari” (HR. Bukhari no. 1138, Muslim no. 764).

Sisi pendalilan:

Dari hadits-hadits ini diketahui bahwa  Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak membatasi jumlah rakaat shalat yang dikerjakan setelah Isya.

Kedua: Dalil ijma’

Ibnu Abdil Barr mengatakan:

وقد أجمَع العلماءُ على أنْ لا حدَّ ولا شيءَ مُقدَّرًا في صلاة الليل،   وأنَّها نافلة؛ فمَن شاء أطال فيها القيام وقلَّت ركعاته، ومَن شاء أكثر الركوع والسجود

“Para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan rakaat tertentu dalam shalat malam. Dan bahwasanya hukumnya adalah sunnah. Barangsiapa yang ingin memanjangkan berdirinya dan menyedikitkan rakaatnya, silakan. Barangsiapa yang ingin memperbanyak rukuk dan sujud, silakan” (Al Istidzkar, 2/102).

Beliau juga mengatakan:

أكثرُ الآثار على أنَّ صلاته كانت إحدى عشرةَ ركعةً، وقد رُوي ثلاث عشرة ركعة، واحتجَّ العلماء على أنَّ صلاة الليل ليس فيها حدٌّ محدود، والصلاة خيرُ موضوع، فمَن شاء استقلَّ ومَن شاء استكثر

“Kebanyakan shalat malam Nabi itu 11 rakaat. Namun terdapat riwayat bahwasanya beliau pernah shalat 13 rakaat. Oleh karena itu para ulama berdalil dari sini bahwa shalat malam itu tidak ada batasan rakaatnya. Dan shalat adalah perkara yang paling baik. Siapa yang ingin mempersedikitnya silakan, yang ingin memperbanyaknya juga silakan” (Al Istidzkar, 2/98).

Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan:

ولا خلافَ أنه ليس فى ذلك حدٌّ لا يُزاد عليه ولا يُنقص منه، وأنَّ صلاة الليل من   الفضائل والرغائب، التي كلَّما زِيد فيها زِيد فى الأجر والفضل، وإنما الخلافُ في فِعل النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وما اختاره لنفْسه

“Tidak ada khilaf bahwa shalat malam itu tidak ada batasannya yang paten sehingga tidak boleh dikurangi atau ditambahi. Shalat malam adalah keutamaan dan hal yang sangat dianjurkan, yang semakin banyak dikerjakan maka semakin banyak pahalanya. Yang diperselisihkan adalah mana jumlah rakaat yang sering dilakukan Nabi dan yang menjadi pilihan (kesukaan) Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk dirinya” (Ikmalul Mu’lim, 3/82).

Al ‘Iraqi mengatakan:

قد اتفق العلماء على أنه ليس له حدٌّ محصور

“Ulama sepakat bahwa shalat malam itu tidak ada batasan rakaatnya” (Tharhu At Tatsrib, 3/43).

Tata Cara Shalat Tarawih

Shalat tarawih dilaksanakan dua rakaat – dua rakaat. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, dari Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah, juga pendapat Abu Yusuf dari Hanafiyah. Dalilnya:

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

صلاةُ الليلِ مَثنَى مَثنى، فإذا رأيتَ أنَّ الصبحَ يُدركُك فأَوتِر بواحدةٍ .قال: فقيل لابن عُمر: ما مَثنَى مَثنَى؟ قال تُسلِّم في كلِّ ركعتينِ

Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, jika engkau melihat bahwa subuh akan datang, maka shalatlah satu rakaat untuk membuat rakaat shalatnya menjadi ganjil”. Ibnu Umar ditanya: “apa maksudnya dua rakaat-dua rakaat?”. Ibnu Umar berkata: “maksudnya, setiap dua rakaat, salam” (HR. Bukhari no. 990, Muslim no. 749).

Dari Aisyah radhiallahu’anha beliau berkata:

كانَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يُصلِّي فيما بين أن يَفرغَ من صلاةِ العِشاءِ – وهي التي يدعو الناسُ العتمةَ – إلى الفجرِ إحْدى عشرةَ ركعةً، يُسلِّمُ بين كلِّ ركعتينِ، ويُوتِرُ بواحدةٍ

Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam antara setelah selesai shalat Isya, yaitu di waktu yang disebut orang sebagai atamah, sampai terbit fajar, beliau shalat 11 rakaat. Dengan salam di setiap dua rakaat kemudian, shalat witir satu rakaat” (HR. Muslim no. 736).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:

والأفضل أن يُسلِّم من كل اثنتين ويوتر بواحدةٍ كما تقدَّم في حديث ابنِ عمر:   «صلاةُ الليل مَثْنى مثنى، فإذا خشِي أحدُكم الصبحَ صلَّى واحدةً تُوتِر له ما قد   صلَّى

“Shalat malam yang paling utama adalah salam di tiap dua rakaat, dan satu rakaat witir. Sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar: shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh maka shalatlah satu rakaat” (Majmu Fatawa Ibnu Baz, 11/324).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

وصلاة الليل تَشمل التطوُّعَ كلَّه والوترَ، فيصلي مَثْنَى مثنى، فإذا خشِي الصبح   صلَّى واحدة فأوتَرتْ ما صلى

“Shalat malam mencakup semua shalat sunnah di malam hari, caranya dengan dua rakaat-dua rakaat, jika khawatir masuk waktu subuh maka shalatlah satu rakaat untuk membuat rakaatnya ganjil” (Majmu Fatawa war Rasail, 20/412).

Bacaan Dalam Shalat Tarawih

Tidak ada batasan tertentu mengenai bacaan Qur’an dalam shalat tarawih. Namun disunnahkan untuk membaca Al Qur’an 30 juz. Al Kasani mengatakan:

السُّنة أن يختمَ القرآن مرةً في التراويح، وذلك فيما قاله أبو حنيفة، وما أمر به عمرُ، فهو من باب الفضيلة، وهو أن يختمَ القرآن مرَّتين أو ثلاثًا، وهذا في زمانهم، وأمَّا في زماننا فالأفضل أن يقرأ الإمامُ على حسب حال القوم من الرغبة والكسل، فيقرأ قدْرَ ما لا يوجب تنفيرَ القوم عن الجماعة؛ لأنَّ تكثير الجماعة   أفضلُ من تطويل القراءة

“Disunnahkan untuk mengkhatamkan Al Qur’an sekali dalam shalat tarawih. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah. Dan Umar bin Khathab pun memerintahkannya. Ini merupakan keutamaan, dan beliau mengkhatamkan Al Qur’an sebanyak dua atau tiga kali (dalam shalat tarawih) di zaman beliau. Adapun di zaman kita, yang utama imam membaca yang sesuai dengan keadaan kaumnya. Terkadang ada kaum yang semangat dan terkadang ada kaum yang pemalas. Maka hendaknya imam membaca bacaan yang tidak membuat orang meninggalkan jama’ah. Karena memperbanyak jumlah orang dalam jama’ah leih utama dari pada memperlama bacaan dalam shalat jama’ah” (Bada’i Ash Shana’i, 1/289).

Ad Dardir mengatakan:

“و” نُدِب للإمام “الخَتْم” لجميع القرآن   “فيها”، أي: في التراويح في الشهر كلِّه ليُسمِعَهم جميعه

“Dianjurkan bagi imam untuk mengkhatamkan seluruh Al Qur’an di bulan Ramadhan, yaitu di dalam shalat tarawih, agar jamaah mendengar semua bagian dari Al Qur’an” (Asy Syarhul Kabir, 1/315).

Men-jahr-kan Bacaan Dalam Shalat Tarawih

Disunnahkan men-jahr-kan bacaan Qur’an dalam shalat tarawih. Ulama ijma akan hal ini. An Nawawi mengatakan:

أجمع المسلمون على استحباب الجَهر بالقِراءة في… صلاة   التراويح، والوتر

“Ulama Islam sepakat disunnahkannya men-jahr-kan bacaan Qur’an dalam shalat tarawih dan witir” (At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, 1/130).

Demikian fikih ringkas shalat tarawih, semoga bermanfaat. Wabillahi at taufiq was sadaad.

***

Penyusun: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/39630-fikih-ringkas-shalat-tarawih.html

Keutamaan Menyegerakan Berbuka Puasa

BERBUKA adalah sesuatu yang sangat dinantikan bagi orang yang tengah berpuasa, setelah seharian menahan lapar dan dahaga. Waktu tibanya berbuka adalah saat terbenamnya matahari, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ

“Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga (datang) malam.” (QS: al-Baqarah: 187)

Nabi Muhammad ﷺ  telah menjelaskan dalam haditsnya terkait dengan ayat tersebut. Dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, berkata bahwa Rasulullah ﷺ  bersabda:

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ وَأَدْبَرَ النَّهَارُ وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

“Apabila malam telah datang dan siang telah pergi serta matahari telah terbenam maka sungguh orang yang berpuasa telah berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih)

Buka puasa menyenangkan karena Allah letakkan kebahagian bagi ummat Muhammad dalam buka puasa, Nabi ﷺ,

للصائم فرحتان : فرحة عند فطره ، وفرحة عند لقاء ربه

“Orang yang puasa mendapatkan dua kebahagiaan bahagia saat berbuka, dan bahagia saat bertemu dengan Robb-nya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Syaikh Abdulkarim Al-Khudhair menerangkan,

فرحة عند فِطْرِهِ يعني في الإنسان جِبِلَّة خِلْقَة إذا قُدِّم الفُطُور ينتظر أذان المغرب، ويبدأ، يفرح هذا موجُود عند النَّاس كُلِّهم

Bahagia saat berbuka, maknanya adalah naluri manusia ketika dihidangkan bukaan, dia menunggu azan, lalu dia mulai menyantap menu buka puasa. Kebahagiaan semacam ini ada pada semua orang.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin juga menjelaskan di dalam kitab Majaalisu Syahri Ramadhaan, ‘Kebahagiaan ketika berbuka maksudnya adalah karena ia merasa senang atas nikmat yang diberikan oleh Allah kepadanya, yaitu bisa melaksanakan puasa yang merupakan salah satu bentuk amal shalih yang paling utama. Betapa banyak manusia yang tidak memperoleh nikmat tersebut sehingga mereka tidak berpuasa. Ia juga merasa senang atas makanan, minuman dan jima’ yang kembali dihalalkan Allah baginya, setelah sebelumnya diharamkan pada saat berpuasa.

Karena itu ummat Rasulullah sangat ditekankan untuk menyegerakan berbuka. Buka puasa itu berbeda dengan sahur, yang justru lebih disyariatkan untuk diakhirkan.

Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ  bersabda.

لاَيَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

“Senantiasa manusia di dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka.” [Hadits Riwayat Bukhari 4/173 dan Muslim 1093]

Namun antara sahur dengan buka ada kesamaan dalam sisi menjaga orisinalitas ajaran agama. disegerakannya berbuka adalah merupakan bentuk dari penyelisihan atas tasyabbuh bil kuffar.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ  bersabda.

لاَيَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، لِأَنَّ الْيَهُوْدَ وَ النَّصَارَى يُؤَخِرُوْنَ

“Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya.” [Hadits Riwayat Abu Dawud 2/305, Ibnu Hibban 223, sanadnya Hasan]

Al-Imam Sarafuddin ath-Thibi rahimahullah berkata, “Dalam sebab ini (yang terdapat dalam hadits ‘karena Yahudi dan Nasrani mengakhirkan [ifthar]’) menunjukkan bahwa penopang agama yang lurus ini dengan menyelisihi musuh-musuh (agama Islam) dari Yahudi dan Nasrani. Dan sesungguhnya mencocoki mereka merupakan keretakan dalam agama.” (Syarhuth-Thibi, 5/1589 no. 1995)

Mengakhirkan berbuka hingga tampak bintang-bintang merupakan perbuatan Yahudi dan Nasrani (Syarhuth-Thibi, 5/1584 dan Fathul Bari’, 4/234). Sedangkan kita dilarang menyerupai mereka. Oleh karena itu, bersegera untuk berbuka puasa ketika telah tiba waktunya karena yang demikian adalah termasuk dari bagian menyelisihi perbuatan mereka.

Sedangkan menyegerakan berbuka itu adalah akhlak kenabian. Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu ad-Darda’ radhiallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi ﷺ  bersabda:

ثَلَاثٌ مِنْ أَخْلَاقِ النُّبُوَّةِ؛ تَعْجِيْلُ الْإِفْطَارِ، وَتَأْخِيْرُ السَّحُورِ، وَوَضْعِ الْيَمِينِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلَاةِ

“Tiga (perkara) termasuk akhlak kenabian (yaitu): menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. ath-Thabarani, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/583 no. 3038)

Keutamaan waktu berbuka

Keutamaan orang yang berpuasa hingga berbuka, banyak dinyatakan dalam hadits-hadits Rasulullah ﷺ.

Kondisi berbuka adalah kondisi dimana menjadi tempat terkabulnya doa dan permohonan. Sebagaimana hadits Rasulullah dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda.

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْجَابَاتٌ : دَعْوَةُ الصَّائِمِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ

“Tiga do’a yang dikabulkan : do’anya orang yang berpuasa, do’anya orang yang terdhalimi dan do’anya musafir.”

Do’a yang tidak tertolak ini adalah ketika waktu engkau berbuka berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi ﷺ bersabda.

ثَلاَثٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَ تُهُمْ : الصَّا ئِمُ حِيْنَ يُفْطِرُ، وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ

“Tiga orang yang tidak akan ditolak do’anya : orang yang puasa ketika berbuka, Imam yang adil dan do’anya orang yang didhalimi.”

Lebih ditegaskan lagi dalam sebuah hadits Dari Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash, dimana Rasulullah ﷺ bersabda.

إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ

“Sesungguhnya orang yang puasa ketika berbuka memiliki doa yang tidak akan ditolak.”

Dalam berbuka, tentu ada banyak kebaikan yang Allah siapkan. Sehingga Allah dan RasulNya memerintahkan hal itu disegerakan, walau dengan sebutir kurma atau seteguk air. Sebagaimana Nabi ﷺ yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkata;

كَانَ رَسُولُ اللهِ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Rasulullah ﷺ berbuka dengan ruthab sebelum melaksanakan shalat (Maghrib), maka jika tidak ada ruthab (beliau berbuka) dengan tamr, jika tidak ada (tamr) maka beliau berbuka dengan meneguk air.” (Hadits hasan sahih, riwayat Abu Dawud dan lainnya, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/59 no. 2356 dan al-Irwa’, 4/45 no. 922)

Doa Buka Puasa

Do’a yang sering dibaca ada dua. Pertama  اللَّهُمَّ لَك صمت وَعَلَى رزقك أفطرت  رواه أبو داود

Artinya: Dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwa sesungguhnya ia telah sempai kepadanya bahwasannya Nabi ﷺ jika berbuka, ia berkata,”Ya Allah, untuk-Mu puasaku dan atas rizki-Mu aku berbuka.” (Riwayat Abu Dawud)

Atau do’a  ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ

“Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat serta telah tetap pahala, insya Allah.” (HR. Abu Dawud, 2/306 no. 2357, an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra, 2/255, ad-Daruquthni, 2/185, al-Baihaqi, 4/239, dari hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma).*/Naser Muhammad

HIDAYATULLAH

Hukum Suntik dan Mandi Menyelam Ketika Puasa

DI antara yang dapat membatalkan puasa adalah adalah memasukkan suatu benda ke dalam rongga melalui lubang yang terbuka (wushul ‘ain min manfdz maftuh ila al-jauf), seperti memasukkan makanan atau air ke dalam mulut hingga masuk ke tenggorokan. Namun, perkara  memasukkan suatu benda ke dalam rongga melalui lubang yang terbuka tidak lah sesederhana itu. Menariknya, dalam hal ini Syeikh al-Habib Hasan di dalam kitabnya yang berjudul al-Taqrirat al-Sadidat fi al-Masa’il al-Mufidat, halaman 451-454 menjelasakan beberapa permasalahan yang menarik seputar wushul ‘ain min manfdz maftuh ila al-jauf, di antaranya.

Pertama, hukum suntik bagi orang yang berpuasa

Adapun hukumnya adalah dibolehkan dalam keadaan darurat, akan tetapi para ulama berbeda pendapat dalam hal batalnya puasa atau tidak, perbedaan tersebut terbagi tiga pembagian. Pertama, suntik ataupun benda lain yang semacamnya itu membatalkan puasa, karena ia masuk kedalam rongga (jauf). Kedua, ulama mengatakan hal tersebut tidak membatalkan puasa, dengan alasan bahwa suntik ataupun jarum tersebut tidak masuk melalui lubang yang terbuka (ghoir manfadz maftuh). Ketiga, apabila suntik atau hal semacamnya itu mengandung bahan makanan atau vitamin, maka hal tersebut membatalkan puasa.

Namun kalau seandainya tidak mengandung bahan makanan, di sini terdapat beberapa perincian. Apabila jarum atau suntik itu dimasukkan melalui lubang yang tidak terbuka (ghoir manfadz maftuh) seperti lengan, jari, paha, kepala,  dan lain-lain, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa.

Adapun jika benda tersebut dimasukkan melalui lubang yang terbuka (manfadz maftuh) seperti dubur, telinga, hidung, mulut maka ia membatalkan puasa.  Dalam hal ini untuk berhati-hati, maka lebih baik tidak memasukkan jarum suntik ke dalam anggota tubuh ketika sedang berpuasa, karena keluar dari perbedaan pendapat ulama itu dianjurkan (al-Khuruj min al-Khilaf Mustahab).

Kedua, hukum menelan dahak

Adapun perkara menelan dahak bagi orang yang berpuasa ada perincian menarik dari para ahli fiqih. Pertama, apabila seseorang menelan dahaknya tatkala masih di pangkal tenggorokan, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa.  Kedua, apabila seseorang menelan dahaknya yang sudah berada di atas pangkal tenggorokan atau diujung tenggorokan, maka hal demikian membatalkan puasa. (Lihat juga: Nihayah al-Muhtaj ditulis oleh Syamsuddin Muhammad bin Abi al-Abbas Ahmad bin Hamzah Syihabuddin al-Ramli, juz 3, hlm.135).

Ketiga, hukum menelan air liur

Hal ini tidaklah membatalkan puasa karena perkara menelan air liur ini sangat sulit untuk pencegahannya, namun dengan tiga syarat. Pertama, air liur tersebut mesti murni. Artinya tidak boleh bercampur dengan zat lain, apabila bercampur dengan air, darah atau zat yang lain. Lalu air liur tersbut ditelan, maka dalam hal ini puasanya dihukumi batal, karena air liur tersebut sudah bercampur dengan zat lain. Kedua, bahwa air liur yang ditelannya tersebut harus suci. Artinya jika air liur tersebut terkontaminasi dengan najis, maka ia membatalkan puasa tatkala ditelan. Ketiga, air liur tersebut harus berasal dari dalam atau dirinya sendiri. Maka apabila air liur tersebut ia permainkan dan telah keluar melewati bibir bagian merahnya kemudian ia telan kembali, ketahuilah perkara tersebut membatalkan puasa. (Lihat juga: Minhaj al-Thalib wa Umadah al-Muftin ditulis oleh Imam an-Nawawi hlm,75).

Keempat, hukum apabila masuk air kedalam lubang terbuka (dubur, mulut, hidung, telinga dll kecuali mata) tanpa tersengaja ketika mandi.

Dalam hal ini ulama membahasnya secara mendalam sekali, oleh karenanya hukum ini tidak bisa dianggap remeh. Pertama, apabila seseorang tersebut mandi karena ada sebab masyru’, seperti mandi junub atau mandi sunnah jum’at lalu masuk air ke dalam lubang yang terbuka seperti, dubur, mulut, hidung, telinga, kecuali mata, sementara orang yang berpuasa itu tidak  mandi menyelam, hal tersebut tidak membatalkan puasa. Namun, apabila ia mandi menyelam di sungai atau hal semacamnya. Kemudian masuk air ke dalam rongga yang terbuka seperti, dubur, telinga, mulut, hidung kecuali mata. Maka puasa orang tersebut dihukumi menjadi batal, karena mandi menyelam bagi orang yang berpuasa hukumnya makruh, atas dasar inilah orang tua dahulu melarang anaknya mandi menyelam tatkala berpuasa. Dan apabila ia mandi tanpa ada sebab syara’ (ghoir al-masyru’), seperti mandi untuk mendinginkan badan atau membersihkan kotoran di badan, lalu masuk air kedalam lubang terbuka (dubur, mulut, hidung, telinga) maka puasa orang tersebut dihukumi batal, sekalipun mandinya tidak menyelam. (Lihat juga : Fath al-Mu’in ditulis oleh Zainuddin Ahmad bin Abdul ‘Aziz al-Malibary, hlm 268).

Kelima, hukum apabila tertelan air ketika berkumur-kumur (Madhmadhah) atau memasukkan air ke dalam hidung (Istinsyaq). Menarik sekali, karena dalam hal ini fuqoha’ syafi’iyah menjelaskan secara rinci. Pertama, apabila seseorang yang berpuasa tersebut berkumur-kumur atas perkara yang dianjurkan oleh syara’ (masyru’) seperti berkumur-kumur sebelum berwudhu’. Kemudian, jika seandainya di saat itu tertelan air, maka tidaklah membatalkan puasa dengan syarat ia berkumur-kumur dengan cara tidak berlebih-lebihan (mubalagho’). Kemudian apabila ia berkumur-kumur dengan cara mubalagho sampai ke pangkal tenggorokannya, lalu airnya tertelan, maka puasanya dihukumi batal karena berlebih-lebihan (mubalagho) bagi orang berpuasa hukumnya makruh. Kedua, puasanya dihukumi batal, apabila orang yang berpuasa tersebut berkumur-kumur (mubalagho atau pun tidak) atas perkara yang tidak diperintahkan agama (ghoir al-masyru’), seperti berkumur-kumur di saat selesai berkerja atau keluar rumah. kemudian tatkala itu tertelan air walaupun tanpa sengaja, hal tersebut tetap membatalkan puasa, karena ia berkumur-kumur tanpa ada anjuran dari syara’ (ma’mur). Allahu’alam.*

Oleh: Muhammad Karim

Asatidz Tafaqquh Study Club

HIDAYATULLAH