Ketahuilah, Mimpi Tidak Boleh Diceritakan Kepada Orang Lain

Mimpi adalah sesuatu yang terlihat atau di alami manusia pada waktu tidur. Mimpi yang di alami seseorang adakalanya benar atau tidak benar.

Mimpi bukannya hanya di alami manusia awam, akan tetapi para Nabi pun mengalami mimpi. Mimpi yang di alami seseorang ada yang sifatnya menyenangkan adakalanya menakutkan dan menyedihkan.

Misalnya mimpi ketemu orang yang kita sayangi, mimpi ketemu makhluk yang kita takuti dan lain sebagainya. Mimpi orang awam kebanyakan karena campur tangan syaitan.Sedangkan mimpi para Nabi dan Rasul adalah merupakan mimpi petunjuk, pertanda atau wahyu dari Allah swt. Sebagaimana di jelaskan dalam Al-Qur’an, yang artinya,

“(yaitu) ketika Allah menampakkan mereka kepadamu di dalam mimpimu (berjumlah) sedikit. Dan sekiranya Allah memperlihatkan mereka kepada kamu (berjumlah) banyak tentu saja kamu menjadi gentar dan tentu saja kamu akan berbantah-bantahan dalam urusan itu, akan tetapi Allah telah menyelamatkan kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS Al-Anfal : 43)

Dalam ajaran agama Islam mimpi yang di alami diwaktu tidur, tidak dibenarkan menceritakannya kepada orang lain. Apakah mimpi yang benar atau mimpi yang tidak benar. Ini penjelasaan dua mimpi tersebut,

1. Mimpi yang baik atau benar.

Ketika seseorang mengalami mimpi yang benar, hendaklah ia memuji Allah dan memohon kepadanya agar merealisasikannya dan jangan menceritakan kepada orang lain kecuali kepada orang yang di cintainya dan mencintainya. Oleh sebab itu ketika, Nabi yusuf bermimpi melihat matahari, bulan, dan sebelas bintang bersujud kepadanya, ia menceritakannya kepada bapaknya.

Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS Yusuf : 5)

Dari Abu Qatadah Ra, mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Mimpi yang benar berasal dari Allah, sedangkan mimpi yang merupakan bunga tidur berasal dari syaitan. Jika diantara kamu bermimpi sesuatu yang disukainya, hendaklah ia tidak menceritakannya kecuali kepada orang yang dicintainya. Tetapi jika ia bermimpi sesuati yang di bencinya, maka hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dari keburukannya dan dari keburukan syetan, dan supaya meludah tiga kali serta tidak menceritakannya kepada siapa pun. Sesungguhnya mimpi tersebut tidak akan membahayakan.” (HR Muttafaq ‘alaih)

Berdasarkan firman Allah SWT. dan hadits Rasulullah tersebut, ketika seseorang mengalami mimpi yang benar, hendaknya ia memuji Allah dan memohon kepadanya agar merealisasikannya dan jangan menceritakannya kepada orang lain kecuali kepada orang yang ia cintai dan mencintainya. Menceritakan mimpi yang benar terhadap orang yang dicintai tujuannya supaya ia berbahagia dengan kebahagian tersebutu dan mendoakan agar mendapat kebaikan tersebut. Kita dilarang untuk menceritakan mimpi benar kepada orang yang tidak kita cintai atau menyukai kita. Supaya ia tidak mengganggu arah mimpi tersebut dengan pentakwilan yang berdasarkan hawa nafsu, atau berusaha menghilangkan nikmat Allah SWT. karena dengki kepadanya.

2. Mimpi yang tidak benar.

Mimpi yang tidak benar atau buruk berasal dari syaitan. jika seseorang mengalami mimpi buruk dilarang juga menceritakannya kepada orang lain . Sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda,

“Jika salah seorang kalian melihat mimpi buruk maka hendaklah ia bangkit melaksanakan shalat dan jangan ia ceritakan kepada orang-orang,” (HR Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan dari Abu Usamah, ia berkata, “Aku pernah melihat sebuah mimpi yang membuat aku sakit hingga aku mendengar Qatadah berkata, ‘Aku pernah melihat sebuah mimpi yang membuat aku sakit hingga aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,

“Mimpi baik berasal dari Allah. Jika salah seorang kalian melihat apa yang kalian sukai maka janganlah ia ceritakan mimpi tersebut kecuali kepada orang yang menyukainya saja dan jika ia melihat mimpi yang tidak ia sukai maka hendaklah ia meminta perlindungan kepada Alloh dari kejahatan mimpi tersebut dan dari kejahatan syaitan, kemudian meludah lah tiga kali dan jangan ia ceritakan kepada siapapun, sebab mimpi itu tidak akan mendatangkan kemudharatan,” (HR Bukhori dan Muslim).

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a,

“Bahwasanya Rasulullah SAW didatangi seorang Arab Badui dan berkata, ‘Aku bermimpi bahwa kepalaku dipenggal lalu akui mengikuti kepalaku yang menggelinding.’ Kemudian Nabi saw. mencela Arab Badui tersebut dan bersabda, ‘Jangan engkau ceritakan kisah syaitan yang mempermainkanmu disaat engkau tidur,” (HR Muslim).

Berdasarkan hadits Rasulullah SAW di atas, ketika seseorang mengalami mimpi buruk, maka tidak dibolehkan juga menceritakannya kepada orang lain. Sebab ditakutkan orang lain akan mentakwilkan dengan caranya masing-masing sehingga menimbulkan kegelisahan dan rasa takut bagi orang yang mimpi buruk tersebut.

Akan tetapi Rasulullah menganjurkan bagi yang melihat mimpi yang buruk atau tidak ia sukai, hendaklah ia melaksanakan apa yang tercantum dalam sunnah untuk mengusir was-was dan menolak tipu daya syaitan. Yaitu: melaksanakan shalat, memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan mimpi dan kejahatan syaitan, meludah ke sebelah kiri sebanyak tiga kali dan mengubah posisi tidur dari posisi semula.

 

BACAAN MADANI

Makan Kurma? Ada Caranya…

وَجَعَلْنَا فِيهَا جَنَّـتٍ مِّن نَّخِيلٍ وَأَعْنَـبٍ وَفَجَّرْنَا فِيهَا مِنَ الْعُيُونِ 

“Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air.” (Yaasiin : 34)

Dalam Thibbun Nabawi disebutkan oleh Ibnu Qoyyim, kurma bisa  termasuk ke dalam jenis makanan, obat atau buah-buahan. Kurma matang bersifat panas pada tingkatan kedua dan kering pada tingkatan pertama, ia dapat meningkatkan hasrat seksual dan memperkuat lambung yang dingin.

Namun di antara berbagai manfaatnya dijelaskan oleh imam Ibnu Qoyyim, kurma yang telah masak (ruthob) juga cepat membusuk (dalam lambung), menyebabkan rasa haus, dapat merusak gigi, merusak darah dan menyebabkan sakit kepala, berbagai penyumbatan serta nyeri di prostat. Lalu bagaimana jika ingin menghindari efek yang tidak menyenangkan ini?

Salah satu resep kesehatan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah mencegah bahaya makanan dan menghindari efek sampingnya dengan mengkonsumsinya bersama makanan lain sehingga dapat meredam bahaya makanan tersebut.

Dalam satu riwayat disebutkan,

“وَكَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَأْكُلُهُ مَعَ الرُّطَبِ” خ

Nabi SAW pernah memakannya (mentimun) bersama kurma segar.” (H.R. Al-Bukhari).

Mengenai hadits ini Ibnu Qoyyim mengemukakan bahwasannya mentimun itu bersifat dingin pada tingkatan kedua, bisa meredam rasa haus, memiliki aroma yang menyegarkan dan mendinginkan lambung.

Kesimpulannya, kurma bersifat panas sementara mentimun adalah dingin, dan masing-masing akan sesuai dengan yang lainnya, di samping itu akan menetralisir bahaya di antara keduanya.

Pendeknya, menetralisir efek makanan yang bersifat panas dilakukan dengan substansi yang dingin dan juga sebaliknya atau makanan yang bersifat kering dengan yang bersifat lembab dan begitu sebaliknya. Cara ini akan menghasilkan substansi lebih lembut, ini juga dianggap sebagai salah satu metode pengobatan dan tindakan pencegahan terbaik.

Maka berangkat dari teori penyeimbangan unsur, dapat diketahui landasan terhadap kebiasaan makan Rasulullah SAW. Hadits lain yang mengungkapkan hal serupa adalah,

 

أَنَّهُ كَانَ يَأْكُلُ الْبِطِّيْخَ بِالرُّطَبِ وَيَقُوْلُ : يَدْفَعُ حَرُّ هَذَا بَرْدُ هَذَا، وَبَرْدُ هَذَا حَرُّ هَذَا. رواه ت ود.

Bahwa beliau pernah makan semangka dengan kurma ruthab, beliau berkata, ‘Menolak yang panas ini dengan yang dingin ini, dan menolak yang dingin ini dengan yang panas ini’.” (HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Maka dengan berlandaskan tuntunan yang ada, teori penyeimbangan unsur makanan akhirnya menjadi kajian yang menarik di mata para ulama yang diberikan petunjuk oleh Allah SWT.

Ibnu Qoyyim menyebutkan dalam Ath-Thibbun Nabawi bahwasannya diriwayatkan dengan shahih bahwa Rasulullah SAW biasa menyantap kurma dengan keju, atau menyantapnya dengan roti.

Ibnu Qoyyim juga menyarankan mengkonsumsi sakanjabin (sirup yang terbuat dari madu dan cuka) untuk menetralisir efek samping akibat banyak mengkonsumsi ruthob yang berupa sakit kepala, kelebihan empedu hitam dan merusak gigi.

Selain itu metode peyeimbangan sifat makanan dengan menggunakan makanan lain yang memiliki sifat berlawanan dapat menguatkan potensi (bersifat sinergis) atau menambah manfaat makanan tersebut, sebagai contoh adalah terjadi pada jenis kurma terbaik, yaitu kurma ajwa.

Imam Adz-dzahabi menjelaskan dalam Ath-Thibbun Nabawi, “Kurma ajwa adalah makanan yang bagus lagi mencukupi, jika ditambahkan minyak samin padanya sempurnalah kecukupannya.”

Sedangkan Al-Maqdisi mengatakan tamr (kurma kering) dapat menetralisir Jummar (jantung pohon kurma), juga mengkonsumsi busr (kurma yang hampir masak) diiringi dengan sakanjabin. Wallahu ‘Alam.

 

Joko Rinanto

ERA MUSLIM

Menag Tak Setuju Sidang Isbat Dihapus: Negara Harus Ikut Beri Acuan

Wakil ketua Komisi VIII DPR yang membidangi urusan agama, Sodik Mudjahid meminta tradisi sidang isbat untuk menentukan awal Ramadan (puasa) dan awal Syawal (Idul Fitri) dihapus. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin tidak sepakat dengan hal itu.

Menurut Lukman, sidang isbat diperlukan untuk memberikan tanggungjawab pemerintah kepada masyarakat. Menurutnya, meskipun bukan negara Islam atau pun sekuler, tapi tidak bisa memberikan keputusan penting itu kepada tiap individu.

“Indonesia tidak bisa menyerahkan sepenuhnya urusan-urusan keagamaan itu ke orang per orang. Negara harus ikut bertanggungjawab untuk memberikan acuan, memberikan pedoman, panduan kapan mengawali puasa Ramadan, kapan mengakhirinya yaitu menentukan 1 syawal, 1 Dzulhijjah terkait haji itu,” kata Lukman di Kementerian Agama, Jakarta Pusat, Jumat (26/5/2017).

Menurutnya, sidang Isbat sangat penting untuk menentukan metode penentuan 1 Ramadan dan 1 Syawal. Jika tidak ada sidang isbat, maka tidak ada wadah musyawarah untuk menentukan kapan awal puasa.

“Karenanya, sidang Isbat diperlukan sebagai sarana bagi negara dalam hal ini pemerintah untuk bersepakat menentukan kapan 1 Ramadan, 1 Syawal dan sebagainya tadi. Kalau tidak ada isbat maka tidak ada forum, tidak ada mekanisme, tidak ada wadah medium tempat para pemuka agama, ulama-ulama, para kiai untuk duduk bersama, bermusyawarah yang difasilitasi oleh pemerintah dalam rangka menentukan tadi itu,” ujar Lukman.

Sebelumnya, Wakil ketua Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid mengatakan pelaksanaan sidang isbat perlu dikaji kembali seiring perkembangan zaman.

“Sidang isbat sudah berlangsung puluhan tahun dan layak dikaji keberadannya sesuai dengan perkembangan zaman termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam bidang astronomi dan ilmu falaq,” ujar Sodik melalui keterangan tertulisnya, Rabu (24/5).

Sebagai gantinya, ia mengusulkan adanya kalender tahun Hijriyah permanen. Bentuknya seperti kalender tahun Masehi yang jumlah hari dalam setiap bulannya bersifat tetap.

“Dengan kemajuan IPTEK ini maka sesungguhnya penetapan kalender Hijriyah termasuk di dalamnya penetapan 1 Ramadan dan 1 Syawal sudah bisa dilaksanakan dengan akurat puluhan tahun sebelumnya dalam sebuah kalender Hijriyah permanen seperti halnya kalender Masehi permanen,” ujar Sodik.
(yld/idh)

 

DETIK

Menguak Fakta Menarik Imsakiah

Imsakiah Ramadan seperti kita ketahui berisikan jadwal puasa selama satu bulan penuh melingkupi waktu sahur, berbuka dan salat 5 waktu. Tapi pernahkah Anda mencari tahu bagaimana asal muasal Imsakiah?

Imsakiah pertama kali diperkenalkan di Mesir pada Ramadan 1262 H atau sekitar September 1846, dua tahun sebelum pemimpin Mesir, disebut wali atau gubernur kala itu, Muhammad Ali Pasha meninggal. Imsakiah ini dicetak oleh Bulaq printing press atau lebih dikenal dengan nama Imsakiah Wali al-Nuam.

Imsakiah dicetak dalam sebuah lembaran kertas kuning berukuran 27×17 cm. Di bagian atas dituliskan bahwa hari pertama Ramadan jatuh pada hari Senin dan hilal terlihat jelas di bagian selatan selama 35 menit. Tak lupa gambar Muhammad Ali Pasha juga turut menghiasi Imsakiah tersebut.

Sama seperti saat ini Imsakiah berisikan jadwal berbuka (iftar), sahur dan waktu shalat. Dilansir laman English el-Arabiya, lembaran Imsakiah ini kala itu juga dibagikan ke semua kantor pemerintahan dengan perintah agar semua pekerja membagikan Imsakiah tersebut dan tetap tidak melalaikan pekerjaan mereka.

Sekitar 1920 dan 1940, Imsakiah kemudian juga digunakan untuk keperluan iklan. Imsakiah seperti ini pertama kali dicetak oleh Egyptian Renaissance Statue pada Ramadan 1347 H atau Februari 1929. Dalam imsakiah tersebut dituliskan bahwa percetakan tersebut juga menerima jasa pencetakan berbagai jenis buku.

Tak hanya sebagai sarana iklan, seorang pengusaha Yahudi, Daoud Adas mencetak Imsakiah pada Ramadan 1364 H atau Augustus 1945 dengan menyertakan secuil informasi seputar alasan dan manfaat berpuasa, namun tetap menyertakan iklan terkait usaha yang dimilikinya.

Menurut Wassim Afifi, editor dari situs Toraseyat, Imsakiah yang dicetak Daoud inilah yang menjadi inspirasi desain Imsakiyah Ramadan saat ini.

Pada 1356 H atau November 1937, sebuah perusahaan parfum juga mencetak Imsakiah. Di dalamnya terdapat informasi seputar puasa, ayat-ayat Al-Qur’an, doa-doa, Zakat Fitrah dan jadwal puasa.

Wassim mengatakan rahasia di balik populernya Imsakiah Daoud Adas adalah ia membagikannya pada pejalan kaki dan jemaah masjid. Inilah yang memulai evolusi Imsakiyah dari tahun-tahun.

 

VIVA

Ayo Kita Tiru Cara Rasulullah Berpuasa,…

Sebagai umat Islam, kita semua tentu bercita-cita bisa beribadah sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Shalat seperti yang dicontohkan Rasul, makan, minum, tersenyum, dan amal ibadah lainnya seperti yang diajarkan Rasulullah SAW.

 

Tak mudah mengikuti seperti apa yang diberikan dan disampaikan oleh Rasul SAW. Sebab, beliau adalah teladan terbaik bagi seluruh umat manusia. Beliau adalah pemimpin yang tak ada bandingannya di dunia ini. Banyak orang mengakui keagungan dan kehebatan Rasulullah. Beliau adalah contoh bagi orang kaya dalam kedermawanannya, beliau adalah contoh bagi orang miskin dalam kesederhanaan dan kezuhudannya, dan Rasulullah SAW adalah teladan bagi pemimpin dalam ketegasan dan kebijaksanaannya.

Dalam Alquran, Allah memuji Rasulullah SAW sebagai suri teladan yang baik bagi umat. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS al-Ahzab [33]: 21). Hal ini menunjukkan bahwa akhlak dan pribadinya sangat baik dan mulia.

Bahkan, dalam salah satu hadis yang diriwayatkan dari Aisyah RA dinyatakan bahwa akhlak Rasulullah SAW itu senantiasa merujuk pada Alquran. Karena itu, sudah selayaknya umat Islam mencontoh dan meneladani kepribadian Rasulullah SAW dalam segala hal, termasuk puasa. Berikut beberapa cara yang biasa dilakukan Rasulullah SAW dalam menjalankan ibadah puasa dan menghidupkan Ramadhan.

Berniat puasa sejak malam

Diriwayatkan dari Hafsah, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang tidak berniat untuk puasa Ramadhan sejak malam, maka tak ada puasa baginya.” (HR Abu Dawud).

 

Mengawali dengan sahur

Setiap akan berpuasa, Rasul SAW selalu makan sahur dengan mengakhirkannya, yakni menjelang datangnya waktu imsak.

 

Menyegerakan berbuka dan shalat

Dan ketika berbuka itu, Rasul SAW hanya memakan tiga biji kurma dan segelas air putih, lalu segera berwudhu untuk mengerjakan shalat Maghrib secara berjamaah.

Dari Abu ‘Athiyah RA, dia berkata, “Saya bersama Masruq datang kepada Aisyah RA. Kemudian Masruq berkata kepadanya, “Ada dua sahabat Nabi Muhammad SAW yang masing-masing ingin mengejar kebaikan, dan salah seorang dari keduanya itu segera mengerjakan shalat Maghrib dan kemudian berbuka. Sedangkan yang seorang lagi, berbuka dulu baru kemudian mengerjakan shalat Maghrib.” Aisyah bertanya, “Siapakah yang segera mengerjakan shalat Maghrib dan berbuka?” Masruq menjawab, “Abdullah bin Mas’ud.” Kemudian Aisyah berkata, “Demikianlah yang diperbuat oleh Rasulullah SAW.” (HR Muslim No 1242).

 

Memberbanyak ibadah

Selama bulan Ramadhan, Rasul SAW senantiasa memperbanyak amalan, seperti shalat malam, tadarus Alquran, zikir, tasbih, dan sedekah.

 

Iktikaf

Memasuki 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, Rasul SAW meningkatkan aktivitas ibadahnya, terutama dengan iktikaf.

 

 

REPUBLIKA

Hakikat Hamba Allah

Allah SWT adalah Tuhan pencipta manusia dan seluruh alam semesta. Tidak akan pernah ada alam semesta, manusia, dan kehidupan jika Allah tidak menciptakannya. Tiadalah Allah menciptakan segala di dunia, kecuali memiliki tujuan yang jelas.  Visi penghambaan adalah tujuan utama segala penciptaan di dunia ini.

Karena itu, kedudukan segala makhluk ciptaan Allah adalah sebagai hamba Allah, lebih khusus lagi adalah penciptaan jin dan manusia. Allah telah dengan jelas berfirman dalam surah adz-Dzariyat ayat 56, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.

Visi penghambaan sebagai tujuan utama penciptaan manusia setidaknya mengandung empat hikmah. Hal ini bisa ditegaskan melalui firman Allah dalam surah al-Fatihah ayat 5, “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”.

Istilah na’budu diambil dari kata ‘ibaadat yang memiliki makna kepatuhan dan ketundukan, yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya. Sementara istilah nasta’iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti’aanah, yang maknanya mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan, yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.

Hikmah pertama dari surah al-Fatihah ayat 5 adalah sebuah penegasan hanya Allahlah yang wajib disembah oleh manusia dan haram menyembah selain kepada Allah. Menjadikan selain Allah sebagai tuhan yang disembah adalah bentuk kemaksiatan besar yang disebuat sebagai perilaku musyrik. Begitu juga, hanya kepada Allah-lah seharusnya manusia meminta pertolongan. Dengan kata lain, Allahlah Tuhan Yang Maha Penolong, bukan yang lain.

Hikmah kedua dari surah al-Fatihah ayat 5 adalah bahwa kata na`budu bermakna kewajiban dan nasta`in bermakna hak. Artinya, kewajiban yang terlebih dahulu dilakukan baru akan mendapatkan haknya. Islam tidaklah mengajarkan tuntutan atas hak sebelum menjalankan kewajiban. Manusia berkewajiban menyembah Allah, setelah itu manusia baru boleh meminta kepada Allah berupa hak pertolongan Allah.

Hikmah ketiga dari surah al-Fatihah ayat 5 adalah keharusan totalitas penyembahan kepada Allah. Dengan menggunakan dhomir nahnu (kami) dalam kata na`budu dan nasta`in memberikan makna bahwa dalam upaya menyembah Allah harus totalitas dari seluruh diri manusia, baik akal, fisik, maupun hatinya. Sebab, dalam shalat kadang-kadang fisiknya hadir di masjid tapi pikirannya hadir di luar masjid. Di sinilah pentingnya shalat dilaksanakan secara khusyuk.

Hikmah keempat dari surah al-Fatihah ayat 5 adalah adanya hukum sebab akibat dalam kehidupan manusia di dunia. Pertolongan Allah akibat yang hanya akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya, yang menjalankan sebab berupa penyembahan kepada Allah. Begitupun, Allah akan menolong hamba-hamba-Nya yang mau menolong agama Allah. Dalam hubungan sebab akibat ini, Allah tegaskan dalam surah Muhammad ayat 7, “Hai orang-orang Mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”.

Dengan demikian, predikat hamba Allah adalah saat manusia memurnikan keimanan. Hanya Allah sebagai tujuan ibadah yang dilakukan secara totalitas ketundukan dalam rangka menggapai pertolongan-Nya.

 

REPUBLIKA

Bagaimana Hukum Berkumur-kumur dan Sikat Gigi Disaat Berpuasa?

Islam mengajarkan umatnya untuk hidup bersih demi kesehatan. Islam mendidik umatnya hidup bersih mulai dari istinjak, mandi dan bersiwak atau sikat gigi. Yang demikian itu bukan hanya untuk kebersihan. Akan tetapi untuk hidup sehat dan nyaman dalam hidup bermasyarakat.

Demikian halnya juga puasa merupakan termasuk salah satu ibadah untuk menuju sehat. Dalam hal berpuasa kita dilarang makan dan minum, sebab yang demikian adalah termasuk yang membatalkan puasa. Akan tetapi ada kebiasaan sehari-hari kita diluar puasa yang berat meninggalkannya di saat berpuasa. Seperti berkumur-kumur dan sikat gigi. Berkumur-kumur biasanya kita lakukan disaat kita berwudhu dan bangun tidur. Kegiatan tersebut bukan hanya waktu berwudhu, akan tetapi berkumur-kumur dan gosok gigi sering dilakukan disaat baru bangun tidur.

Nah bagaimana hukumnya berkumur-kumur dan sikat gigi disaat lagi berpuasa? Dari abu Hurairah Ra, Nabi SAW bersabda, “Seandainya tidak memberatkan umatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap kalai berwudhu.” (HR. Bukhari) Dan hadits ini juga dikeluarkan juga oleh Ibnu Khuzaimah 1:73 dengan menggunakan sanad yang lebih lengkap sedangkan Syaikh Al Albani menegaskan kalau sanad di hadits ini shahih, dan terdapat juga beberapa hadits yang mengatakan tentang keutamaan untuk bersiwak yang menyatakan kalau bersiwak itu adalah mutlak dan diperbolehkan untuk dilakukan setiap saat (menurut penulis Tuhfatul Ahwadzi rahimahullah “tuhfatul ahwadzi, 3:488), namun beberapa ulama ada yang memakruhkan siwak basah seperti yang di katakan oleh ulama Asy-Sya’bi dan juga Malikiyah karena siwak basah itu memiliki rasa Sedangkan Imam Bukhari menyanggah pernyataan tersebut didalam kitab shahihnya (Ibnu Sirin mengatakan ‘tidak masalah menggunakan siwak basah’) dan sebagian ulama yang memberikan pernyataan kalau tidak boleh melakukan siwak basah diatas disanggah oleh Ibnu Sirin dan Beliau memberikan jawaban kalau Air itu juga memiliki rasa, namun masih diperbolehkan untuk kumur-kumur dengan menggunakan air Dan

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Ibnu ‘Umar memiliki pendapat, boleh menggunakan siwak basah ataupun siwak kering, dan pada intinya sebenarnya melakukan siwak basah itu masih diperbolehkan karena hal yang dikhawatirkan itu adanya sesuatu yang masuk lewat mulut, dan hal ini juga sama saja dengan berkumur pada saat puasa, apabila ada sesuatu yang basah yang berada di mulut kemudian dimuntahkan maka tidak akan merusak puasanya (Tuhfatul Ahwadzi, 3.488)

Hukum Sikat Gigi Ketika Puasa Dan apabila kita melihat dari penyataan beberapa ulama yang ada di masa silam , apabila anda melakukan sikat gigi ketika puasa itu tidak membatalkan puasa anda asalkan tidak terdapat sesuatu atau pasta gigi yang masik kedalam rongga mulut atau perut anda

Imam Nawawi Ra berkata :

“Jika seseorang bersiwak dengan siwak yang basah lantas cairan dari siwak tadi terpisah lalu tertelan, atau ada serpihan dari siwak yang ikut tertelan, puasanya batal.”

Sedangkan pendapat dari Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pada saat ditanya tentang perkara menggunakan pasta gigi ketika sedang melakasanakan ibadah puasa beliau menjawab,”

Bila membersikah gigi dengan menggunakan pasta gigi itu tidak membatalkan puasa selama  bisa menjaga diri dari sesuatu yang bisa masuk ke dalam rongga perut” namun apabila tidak sengaja ada sesuatu yang masuk dalam rongga perut maka puasanya tidak akan batal,{ majmu’ Fatwa Ibnu Baz, 15:260, Di ambil dari Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab no. 108014}

Sedangkan menurut Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-‘Utasumin Ra yang memberikan penjelasan kalau jauh lebih utama ketika anda berpuasa itu tidak menyikat gigi dengan menggunakan pasta gigi, karena sebenarnya waktu untuk bisa menyikat gigi itu masih banyak dan apabila ada orang yang menyikat giginya pada saat sudah berbuka puasa maka orang tersebut berarti sudah menjaga diri dari hal-hal yang bisa merusak puasanya { Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 17:261-262)

 

Hukum Berkumur-kumur Berkumur atau beristinsyaq (memasukkan air ke hidung) dalam berwudlu menurut 3 madzhab imam yaitu Imam Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i hukumnya adalah sunnah. Sementara itu, Imam Ahmad menganggapnya sebagai bagian dari membasuh wajah, maka hukumnya fardlu. Lalu bagaimana hukumnya? Rasulullah SAW bersabda,

“Apabila engkau beristinyaq, maka bersungguh-sungguhlah kecuali jika engkau sedang berpuasa.” (HR. Syafi’i, Ahmad, Imam yang empat, dan Baihaqi) Berdasarkan hal tersebut, berkumur dan beristinsyaq saat berwudhu sebaiknya jangan ditinggalkan walaupun sedang berpuasa. Hanya saja, ketika kita berpuasa maka janganlah memasukkan air secara berlebihan hingga membasahi kerongkongan. Jadi, cukup hanya membasahi dalam mulut (saat berkumur) atau ujung hidung saja ketika beristinsyaq. Bagaimana jika tidak sengaja masuk ke kerongkongan? Puasa tetap sah. Hal ini sama juga dengan tanpa sengaja kemasukan debu, tepung, atau binatang kecil ke tenggorokannya. Semuanya merupakan ketidaksengajaan yang dimaafkan.

Demikianlah ulasan tentang menyikat gigi dan berkumur waktu berpuasa. Puasa tidak batal selama tidak berlebihan. Namun lebih baik apabila anda melakukan sikat gigi ini sebelum datangnnya Adzan Subuh atau melakukan sikat gigi setelah berbuka puasa.
BACAAN MADANI

Hukum Berpuasa dalam Keadaan Junub di Waktu Subuh

Junub secara etimologi adalah bermakna jauh. Adapun pengertian dalam istilah syar’i ialah terjauhkannya seseorang dari ibadah-ibadah tertentu, karena sebab keadaannya yang junub.

Sedangkan menurut Imam Nawawi rahimahullah, junub itu berarti keluarnya mani (sperma). Juga junub adalah istilah bagi yang melakukan hubungan intim, meski tidak sampai keluar mani (ejakulasi).

Disebut junub karena ia menjauh dari salat, menjauh dari masjid, menjauh dari membaca Alquran. Lalu bagaimana hukumnya orang berpuasa tapi masih junub di pagi hari?

Orang yang dalam keadaan junub, baik karena hubungan suami istri atau karena mimpi, sehingga kesiangan bangun tidur hingga telah masuk waktu shalat subuh, tetap wajib melaksanakan puasa Ramadhan. Meskipun dia masih dalam keadaan junub. Keadaannya itu tidak menghalanginya dari berpuasa. Sebab ibadah puasa itu pada hakikatnya tidak mensyaratkan kesucian seseorang dari hadats besar dan hadats kecil kecuali khusus untuk perempuan yang belum berhenti haidh dan nifasnya dimalam harinya. Ibadah puasa berbeda dengan ibadah shalat, tawaf dan lainnya yang mensyaratkan pelakunya harus suci dari hadats besar dan kecil.

Khatib Syarbaini mengatakan : “Dan jika suci perempuan yang berhaidh atau yang bernifas pada malam hari dan berniat puasa, seterusnya berpuasa atau berpuasa orang yang berjunub dengan tidak mandi terlebih dahulu, maka sah puasanya.” (Khatib Syarbaini, Mughni al- Muhtaj, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 436)

Firman Allah Swt : فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ “Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan mubasyaroh (basyiruhunna) dalam ayat di atas adalah jima’ atau hubungan intim.”

Dalam lanjutan ayat disebutkan “ikutilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk kalian”. Jika jima’ itu dibolehkan hingga terbit fajar (waktu Subuh), maka tentu diduga ketika masuk Subuh masih dalam keadaan junub. Puasa ketika itu pun sah karena Allah perintahkan “sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam.”

Hadits Rasulullah Saw : Aisyah r.a. berkata : “Aku bersaksi bahwa Rasulullah Saw jika beliau bangun subuh dalam keadaan berjunub karena bersetubuh, bukan karena mimpi, maka kemudian beliau meneruskan puasanya.” (HR. Bukhari) Hadits Rasulullah Saw : “Rasulullah Saw pernah mendapati fajar pada bulan Ramadhan, sedangkan beliau dalam keadaan berjunub bukan karena mimpi, lalu beliau mandi dan kemudian melaksanakan puasa.” (HR. Muslim)

Namun, meskipun diperbolehkan mandi junub saat puasa, ulama’ menganjurkan (sunat) untuk melakukan mandi junub sebelum terbitnya fajar dengan tujuan :

1. Supaya kita mengerjakan ibadah puasa dalam keadaan suci dari hadats besar. 2. Apabila mandi junub dilaksanakan sesudah subuh, dikhawatirkan kemasukan air saat mandi,meskipun puasanya tidak batal selama masuknya air bukan karena ia mandi dengan cara masuk kedalam air ( inghimas ), jika masuknya air karena ia mandi dengan cara masuk ke air maka puasanya batal. Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang hukum orang yang berpuasa masih dalam keadaan junub. Mudah-mudahan diberikan kemudahan untuk kita melaksanakan mandi junub sebelum waktu subuh masuk, terutama di bulan Ramadhan ini.

Aamiin.

BACAAN MADANI

10 hal yang dialami ibu Muslimah

Menjadi orangtua sudah cukup berat, tetapi menjadi orangtua Muslim memiliki kerumitan tersendiri. Angkat tangan jika Anda merasa senasib! Oleh Sya Taha.

 

1. Anda memiliki buku daftar nama bayi bebas masalah.

Qur’an memiliki sekitar 30 nama untuk bayi lelaki, yang cocok bagi orangtua maupun mertua manapun dari agama-agama Ibrahim. Namun hanya ada satu nama yang tersedia untuk bayi perempuan, jadi Anda mungkin bisa mencari tahu dari buku sejarah Islam untuk ide tambahan.

2. Ahli kesehatan Anda bertanya-tanya mengapa Anda berbisik ke telinga bayi yang baru lahir.

Itu namanya adzan, dan jika Anda cukup beruntung, Anda bisa menggendong bayi Anda segera setelah kelahiran, dan menjadikan suara Anda hal pertama yang didengarnya.

3. Anda mengucap “Alhamdulillah” mungkin hingga 50 kali sehari.

Jika ini terucap secara refleks setiap kali seseorang bersendawa, buang angin, atau bersin, maka Anda akan melakukan lebih banyak lagi kata ini saat berada di sekitar bayi atau anak-anak.

4. Anda diharapkan meletakkan sesuatu yang manis di mulut bayi, membotaki mereka, dan mengurbankan hewan.

Salah satu tradisi yang disebut tahnik melibatkan peletakan kurma atau madu di bibir bayi dalam tujuh hari pertama hidup mereka. Tradisi lain melibatkan pembotakan kepala bayi (atau alternatifnya: memotong tujuh lembar rambut) setelah 40 hari, menimbangnya, dan memberi emas dengan jumlah yang sama ke badan amal. Dan lainnya yang disebut aqiqah mengharuskan kurban kambing atau sapi untuk memperlihatkan rasa syukur atas kelahiran.

5. Boneka babi jadi topik diskusi.

Bayangkan: rekan kerja non-Muslim berniat baik memberikan boneka babi berbulu yang lucu sebagai hadiah. Dan Anda berdiskusi (dengan diri Anda atau orang lain) mempertimbangkan apakah tidak masalah anak bermain dengan boneka tersebut. Jika Anda memutuskan tidak masalah, Anda mungkin masih harus berurusan dengan Muslim lain yang mengatakan bahwa tidak seharusnya anak Anda memasukkan boneka tersebut ke dalam mulut.

6. Diskusi tentang apakah tidak masalah jika anak melihat Anda dalam kondisi telanjang harus melibatkan tinjauan fiqih dan tidak hanya berkisar pada citra tubuh dan harga diri.

Seorang ibu menuliskan di internet bahwa ia membiarkan putra-putranya melihat tubuh selepas melahirkannya agar mereka tumbuh besar dengan citra realistis tentang tubuh wanita, dan bukannya berpikir bahwa foto-foto airbrush di majalah adalah wanita sungguhan. Saya kira seseorang yang telah melihat bagian dalam tubuh Anda mungkin bisa melihat bagian luar Anda tanpa bersikap terlalu terkejut. Lagipula, diskusi tentang bagian tubuh mana dari sang ibu yang tidak boleh dilihat oleh putranya terasa terlalu oedipal menurut saya.

7. “Begitu sunnahnya” jadi jawaban andalan Anda untuk menyusui lebih lama.

Meski minimal dua tahun ASI disarankan oleh Organisasi Kesehatan Dunia, banyak orang dari generasi orangtua kita yang terpengaruh oleh pemasaran agresif perusahaan susu formula dan berusaha menghentikan kita memberi ASI lebih dari enam bulan, atau hingga beberapa tahun. Untungnya, jika Anda Muslim, Anda bisa bilang bahwa Qur’an menyarankan 30 bulan kehamilan dan ASI (46:15).

8. Anda harus berhadapan dengan sejumlah orang yang mengatakan bahwa Anda boleh atau tidak boleh berpuasa saat menyusui.

Pendapat yang berbeda bermunculan tentang boleh tidaknya seorang ibu hamil dan/atau menyusui saat berpuasa Ramadan. Untungnya, keputusan untuk berpuasa atau tidak adalah keputusan milik Anda dan bayi. Dengarkan kebutuhan tubuh Anda.

9. Anda khawatir anak diberi makan roti isi daging babi di penitipan anak.

Jika Anda tinggal di tempat atau negara yang tidak memiliki jumlah Muslim yang dominan, roti isi daging babi dan keju adalah cemilan yang umum. Beritahu perawat atau guru anak Anda apa saja yang boleh dimakan oleh anak – atau bawakan sekalian saat Anda mengantarnya.

10. Anda merasakan harap-harap cemas soal Islamofobia.

Menjadi orangtua bisa jadi pengalaman yang paling menyenangkan dan paling menakutkan dalam hidup. Dari saat anak Anda lahir, ketakutan terbesar Anda adalah kehilangan mereka. Meski menjadi Muslim pasca 9/11 tidak mudah, Anda berharap anak Anda akan jadi sosok yang mengubah dunia menjadi lebih baik.

 

AQUILA STYLE

Tarawih 11 ataukah 23 Rakaat?

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Hampir semua ulama mengatakan, tidak ada batas maksimal untuk jumlah rakaat shalat tarawih.

Diantara dalil yang menunjukkan tidak ada batas untuk jumlah rakaat shalat tarawih adalah hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,

Ada seorang sahabat yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai tata cara shalat lail. Kemudian beliau menjelaskan,

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

“Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at. Jika kalian takut masuk waktu shubuh, maka kerjakanlah satu raka’at, untuk menjadi witir bagi shalat-shalat sebelumnya.” (HR. Bukhari 990 dan Muslim 749)

Hadis ini bersifat umum, mencakup shalat malam yang dikerjakan di luar ramadhan maupun ketika ramadhan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tata cara pelaksanaan shalat malam untuk dikerjakan 2 rakaat-2 rakaat. Dan beliau tidak menyebutkan batasan jumlah rakaatnya. Beliau hanya memberi batasan,

“Jika kalian takut masuk waktu shubuh, maka kerjakanlah satu raka’at, untuk menjadi witir bagi shalat-shalat sebelumnya.”

Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya.

Ibnu ‘Abdil Barr – ulama Malikiyah – mengatakan,

أن صلاة الليل ليس فيها حد محدود وأنها نافلة وفعل خير وعمل بر فمن شاء استقل ومن شاء استكثر

“Bahwa shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat sunah, amal soleh dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan dengan jumlah raka’at sedikit, dan siapa yang mau, bisa mengerjakan dengan banyak rakaat.”(at-Tamhid  Syarh al-Muwatha’, 21/70)

Tidak Lebih dari 13 Rakaat

A’isyah pernah ditanya oleh murid-muridnya tentang bagaimana cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam. Jawab A’isyah radhiyallahu ‘anha,

مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

Beliau tidak pernah nambahi lebih dari 11 rakaat, baik di dalam ramadhan maupun di luar ramadhan. (HR. Bukhari 3569)

Dalam riwayat lain, A’isyah mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam sebanyak 13 rakaat. (HR. Abu Daud 1340)

Para ulama memahami, hadis ini bukanlah pembatasan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melarang lebih dari 13. Yang diceritakan Aisyah adalah kebiasaan jumlah rakaat shalat lail yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

أن نفس قيام رمضان لم يوقت النبي صلى الله عليه وسلم فيه عددا معينا ؛ بل كان هو – صلى الله عليه وسلم – لا يزيد في رمضان ولا غيره على ثلاث عشرة ركعة لكن كان يطيل الركعات

“Bahwa shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Namun yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at, akan tetapi beliau memperpanjang rakaatnya.… Barangsiapa yang mengira bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki bilangan raka’at tertentu yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh ditambahi atau dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau lakukan, sungguh dia telah keliru.”(Majmu’ al-Fatawa, 22/272).

Kemudian beliau menyebutkan, bahwa dulu ada yang shalat tarawih 40 rakaat dan witir dengan 3 rakaat. Ada juga yang tarawih 36 rakaat dan witir dengan 3 rakaat. Semuanya dibolehkan.

Yang Lebih Afdhal, 11 atau 23?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

“Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambahkan. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.” (Majmu’ al-Fatawa, 22/272)

Praktek di atas menunjukkan bahwa jumlah bukan acuan utama penilaian. Karena ini kembali kepada mana yang lebih berkualitas. Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Dialah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2)

Salah satu diantara faktor yang menentukan kualitas adalah kekhusyu-an. dan salah satu faktornya adalah kondisi makmum. Karena itu, Syaikhul Islam menyimpulkan, yang paling afdhal adalah menyesuaikan kondisi makmum. Beliau mengatakan,

والأفضل يختلف باختلاف أحوال المصلين فإن كان فيهم احتمال لطول القيام فالقيام بعشر ركعات وثلاث بعدها . كما كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي لنفسه في رمضان وغيره هو الأفضل وإن كانوا لا يحتملونه فالقيام بعشرين هو الأفضل

Yang paling afdhal, berbeda-beda sesuai kondisi orang yang shalat. Jika mereka bisa diajak berdiri lama, maka tarawih dengan 10 rakaat dan 3 rakaat setelahnya lebih bagus. Seperti yang dilakukan sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di bulan ramadhan dan di luar ramadhan. Namun jika mereka tidak kuat berdiri lama, tarawih 20 rakaat lebih afdhal. (Majmu’ al-Fatawa, 22/272)

Sayangnya, banyak praktek yang kurang maksimal di tempat kita. Sebagian masjid yang tarawih 23 rakaat, sangat tidak thumakninah. Bahkan ada yang selesainya kurang dari setengah jam. Sementara mereka yang shalat 11 rakaat, selesai selama setengah jam. Masalah jumlah, jangan sampai mengorbankan kualitas. Karena thumakninah bagian dari rukun shalat.

Allahu a’lam.

KONSULTASI SYARIAH