Hikmah Difardhukannya Shalat Saat Isra Mi’raj

Salah satu peristiwa besar yang terjadi pada masa awal penyebaran Islam oleh Nabi Muhammad Saw periode Mekah ialah ketika Nabi Muhammad di-Isra dan di-Mi’rajkan oleh Allah Swt.

Perjalanan Nabi merupakan perjalanan malam yang luar biasa. Pasalnya, hanya dengan satu malam, Nabi mampu melakukan perjalanan dari Masjidil Haram di Mekkah sampai ke Baitul Maqdis yang berada di Palestina  (Isra) kemudian peristiwa naiknya Nabi Muhammad ke langit hingga ke Sidratul Muntaha dan bertemu sang Khaliq (Mi’raj). 

Peristiwa yang  diperdebatkan oleh banyak ulama apakah Nabi melakukannya dalam keadaan sadar dengan ruh beserta jasadnya atau hanya melalui mimpi. Ataupun dilakukan dalam satu malam yang sama atau tidak. Namun, mayoritas ulama berpendapat peristiwa Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad dilakukan dalam keadaan sadar dan pada satu malam yang sama.

Sebagaimana yang maklum diketahui, salah satu produk hasil Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw adalah difardhukannya shalat lima waktu sehari semalam untuk umat Nabi Muhammad Saw. Lantas apa hikmah difardhukannya shalat pada saat Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw?.

Banyak kejadian luar biasa yang dikisahkan oleh riwayat hadist yang menjelaskan Isra’ Mi’raj. Salah satu peristiwa yang disebutkan riwayat hadist Imam Bukhari dari jalur Yahya bin Bukair. Ketika Nabi Muhammad dibelah dadanya, dibasuh dengan air zamzam, diisi dengan kebaikan (hikmah dan iman) sebelum kemudian dibawa oleh Jibril naik ke langit (Mi’raj).

Berikut petikan sebagian teks kisah Isra Mi’raj tersebut:

حدثنا يحيى بن بكير قال: حدثنا الليث عن يونس عن ابن شهاب عن أنس بن مالك قال: كان أبو ذر يحدث أن رسول الله ص.م قال: فرج عن سقف بيتي وأنا بمكة, فنزل جبريل ففرج صدري, ثم غسله بماء زمزم, ثم جاء بطست من ذهب ممتلئ حكمة وإيمانا فأفرغه في صدري ثم أطبقه, ثم أخذ بيدي إلى السماء الدنيا

Menceritakan kepadaku Yahya bin Bukair: menceritakan kepadaku Laiss dari Yunus dari Ibnu Syihab dari Anas bin Malik berkata: Abu Dzar pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

atap rumahku pernah dibuka pada saat aku di Mekkah, kemudian Jibril turun dan membuka dadaku, membasuhnya dengan air zamzam dan kemudian ia datang dengan membawa wadah yang terbuat dari emas yang dipenuhi dengan hikmah dan iman. Jibril memasukkannya ke dadaku dan menutupnya, kemudian ia membawaku menuju langit dunia…..

Terkait hadist tersebut, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya “Fathul-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari” Jilid 1 hal 616 dalam bab “Kayfa Furidhat Al-Shalat fi Al-Isra” (bagaimana shalat diwajibkan pada saat Isra) salah satunya menjelaskan hikmah terkait difardhukannya shalat pada malam Isra Mi’raj.

Ibnu Hajar berkata demikian:

والحكمة في وقوع فرض الصلاة ليلة المعراج أنه لما قدس ظاهرا وباطنا حين غسل بماء زمزم بالايمان والحكمة, ومن شأن الصلاة أن يتقدمها الطهور ناسب ذلك أن تفرض الصلاة في تلك الحالة, وليظهر شرفه في الملاء الأعلى, ويصلي بمن سكنه من الأنبياء وبالملائكة, وليناجي ربه, ومن ثم كان المصلي يناجي ربه جل وعلا

Hikmah difardhukannya shalat pada saat malam Mi’raj ialah sehubungan (pada saat sebelum naik) Nabi dibersihkan baik secara dzahir maupun batin ketika dibasuh dengan air zamzam, iman dan hikmah. 

Dan diantara ketentuan shalat ialah harus didahului oleh suci. Hal tersebut menjadikannya sesuai (serasi) ketika shalat difardhukan pada saat itu. 

Juga agar kemuliaannya tampak pada khalayak yang luhur, ia (Nabi) shalat dengan penduduknya yang terdiri dari para Nabi dan malaikat, ia bermunajat dengan Tuhannya, oleh karenanya orang yang melakukan shalat ia sedang bermunajat dengan Tuhannya.

Demikian hikmah difardhukannya shalat pada saat Isra’ Mi’raj menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Inilah Nama-nama Lain Bulan Rajab

Bulan Rajab dinamakan juga Al-‘Asham. Dalam kitabnya Ash-Shihhah, Al-Jauhari berkata, “Orang-orang Jahiliyyah menamakan Rajab dengan Syahrullah Al-Asham bahkan ada yang menamakan Al-Ashab karena tercurahnya kebaikan padanya

BULAN RAJAB memiliki banyak nama. Ini dikarenakan bulan Rajab memiliki keagungan dan kemuliaan bagi orang-orang Arab sejak dulu sebelum datang Islam, bahkan setelah datang Islam.

Di dalam kitabnya “Tabyiinul ‘Ajab bimaa Warada Fii Syahri Rajab”, Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menyebutkan nama-nama bulan Rajab itu delapan belas nama. Ibnu Hajar berkata: Ibnu Dihyah berkata, “Rajab mempunyai delapan belas nama:

Pertama: Rajab, karena ia agungkan pada masa Jahiliyah.

Kedua: Al-Asham, karena ia tidak ada terdengar padanya gemerincing senjata.

Ketiga: Al-Ashab, karena mereka mengatakan: sesungguhnya rahmat dicurahkan padanya.

Keempat: Rajam, karena setan-setan dirajam padanya.

Kelima: Bulan Haram

Keenam: Al-Haram, karena keharamannya itu sudah lama .

Ketujuh: Al-Muqim, karena keharamannya itu tetap.

Kedelapan: Al-Mu’alla, karena dia tinggi di sisi mereka.

Kesembilan: Al-Fardu, dan ini nama syar’i.

Kesepuluh: Munashilul Asinnah, disebutkan oleh Imam Al-Bukhari, dari Abi Raja’ Al-‘Athaaridi.

Kesebelas: Munshilul Aal, maknanya menjawab,. Nama ini terdapat dalam syair Al-A’syi.

Kedua belas: Munziul Asinnah

Ketiga belas: Syahrul ‘athirah, karena mereka menyembelih.

Keempat belas: Al-Mubri

Kelima belas: Al-Mu’asy-asy

Keenam belas: Syahrullah

Ketujuh belas: Dinamakan Rajab, karena meninggalkan peperangan. Dikatakan: Aku memutuskan ar-rawaajib karena Allah.

Kedelapan belas: Dinamakan Rajab, karena ia musytaq (berasal) dari kata rawaajib.” (Tabyiinul ‘Ajab Bimaa Warada Fii Syahri Rajab: 21-22).

Menurut Ibnu Al-Atsir, “Pada masa Jahiliyyah, mereka menamai bulan Rajab dengan Munshilul Asinnah, artinya mencabut mata tombak dan panah untuk membatalkan peperangan dan memutus sebab-sebab huru-hara. Karena Rajab menjadi penyebab terhentinya peperangan, maka sebutan itu dinisbatkan kepada Rajab.

Imam Qurthubi berkata, “Orang-orang Arab juga menamakan bulan Rajab dengan nama munshilul asinnah. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abi Raja’ Al-‘Utharidi – namanya ‘Imran bin Milhan. Ada juga yang mengatakan ‘Imran bin Taim – ia berkata: ” Kami dulu menyembah batu. Apabila kami menemukan batu yang lebih baik darinya, maka kami membuangnya dan kami mengambil yang lain. Apabila kami tidak menemukan batu, maka kami kumpulkan jatswah dari tanah, lalu kami datangkan kambing, maka kami sembelih di atasnya, lalu kamu berthawaf dengannya.. Maka apabila telah datang bulan Rajab kami katakan munshilul asinnah. Maka kami tidak menanggalkan tombak yang ada besi diujung dan panah yang ada besi di ujunngnya melainkan kami mencabutnya dan membuangnya.” (Tafsir Al-Qurthubi: 8/123).

Bulan Rajab dinamakan juga Al-‘Asham. Dalam kitabnya Ash-Shihhah, Al-Jauhari berkata, “Orang-orang Jahiliyyah menamakan Rajab dengan Syahrullah Al-Asham. Berkata Khalil: Sesungguhnya dinamakan dengan itu karena tidak didengar suara histeris, gerakan perang, dan suara gemercing senjata, karena ia termasuk bulan-bulan haram.”

Imam Al-Munawi berkata dalam kitabnya “At-Taisir bi Syarhi Al-Jami’ Ash-Shaghir”: Rajab dinamakan dengan Al-Asham karena mereka (orang-orang Arab Jahiliyyah) menahan diri dari peperangan, maka tidak terdengar padanya suara senjata.”

Syaikh Abu Bakar Ad-Dimyathi al-Bakari berkata, “Bulan Rajab dinamakan dengan Al-Ashab karena tercurahnya kebaikan padanya. Dan dinamakan dengan Al-Asham karena tidak mendengar gemerincing senjata padanya. Dan dinamakan dengan Arrajam karena merajam musuh-musuh dan setan-setan sehingga tidak menyakiti para wali dan orang-orang shalih.” (I’anatut Thalibin: 2/454).

Demikianlah penjelasan para ulama mengenai makna bulan Rajab dan nama-nama lain dari bulan Rajab serta sebab penamaannya.

Para ulama sepakat mengatakan bahwa dianjurkan memperbanyak amal shalih pada Rajab. Amal shalih yang dimaksud adalah amalan secara umum yang dalilnya shahih yang dianjurkan pada semua bulan termasuk Rajab, bukan amalan yang dikhususkan pada bulan Rajab.

Mengingat keagungan dan kemuliaan bulan Rajab sebagai bulan haram, maka mari kita memperbanyak amal shalih dan menjaga diri dari maksiat di bulan ini. Karena, pahala amal shalih dan dosa maksiat pada bulan-bulan haram termasuk bulan Rajab lebih besar dari bulan-bulan lainnya.

Semoga Allah swt senantiasa memberi petunjuk kepada kita untuk senantiasa memperbanyak amal shalih sesuai dengan dalil yang shahih agar ibadah kita diterima dan senantiasa menjaga diri dari maksiat. Dan semoga Allah swt menerima amal shalih kita. Aamin.

Penulis adalah Doktor bidang Fiqh dan Ushul Fiqh pada International Islamic University Malaysia (IIUM), Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh Pascasarjana UIN Ar-Raniry

Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi

HIDAYATULLAH

Isra Mikraj Antara Jasad atau Ruh, Simak Perdebatan Antara Aisyah dan Sahabat Lain

Dalam bulan Rajab terdapat peristiwa besar yang di luar nalar, sebagai bukti kemaha kuasaan Allah Swt. yang mana Allah memerintahkan Rasulullah Saw untuk melakukan perjalanan spiritual dalam rangka mengemban amanah yang besar. Peristiwa ini dikenal dengan istilah Isra’ mikraj.

Karena peristiwa ini menembus dinding logika manusia, mungkin saja terlintas dalam benak, apa bisa seorang hamba melakukan perjalanan dalam durasi singkat menuju ke radius jarak yang sangat jauh, yaitu dari Mekkah ke Palestina, kemudian disambung ke langit ke tujuh.

Meski di luar nalar, kita harus percaya, sebab tuhan itu punya kuasa. Semua perkara yang tidak mungkin, dalam kuasa-Nya pasti menjadi mungkin, termasuk peristiwa yang dialami Nabi Saw ini. 

Sebagai seorang muslim yang taat, pasti kita percaya terhadap peristiwa ini. Namun ketika dipikirkan, mungkin terlintas dalam benak, Rasulullah ini Isra Mi’raj dengan jasadnya sahaja atau dengan ruhnya juga? 

Mengenai permasalahan ini, terjad khilaf di antara kibar as-sahabat. Menjadi 2 poros besar, Sayyidah Aisyah R.A menganggap peristiwa Isra mi’raj ini dialami ruhnya Nabi saja sebagaimana redaksi berikut:

وَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا كَانَتْ تَقُولُ مَا فُقِدَ جَسَدُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَكِنْ اللَّهَ أَسْرَى بِرُوحِهِ. وَالْأَكْثَرُونَ عَلَى أنه أسرى بجسده وروحه فِي الْيَقَظَةِ وَتَوَاتَرَتِ الْأَخْبَارُ الصَّحِيحَةُ عَلَى ذَلِكَ.

Diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah R.A, beliau berkata “Rasulullah isra’ itu dengan ruhnya, bukan dengan jasadnya”. Namun menurut matoritas, Rasulullah isra’ itu dengan ruh dan jasadnya juga (dalam keadaan terjaga dan sadar). Sungguh telah banyak hadis sahih yang menjelaskan demikian. (Tafsir Al-Baghawi, jilid III, halaman 105). 

Hadis dari sayyidah Aisyah ini ternyata bermasalah dalam segi transmisinya, Alawi As-segaf menyatakan bahwa hadis ini berstatuskan daif, sebab Ibnu ishaq meriwayatkannya dengan sanad yang munqati’ (terputus sampai taraf sahabat). (Takhrij ahadits wa atsar kitab fi dzilal al-qur’an https://al-maktaba.org/book/2615/297#p1 halaman 299) 

Mengenai hadis yang meriwayatkan peristiwa isra’ mi’raj, Ibnu Hajar al-Haitami  dalam kitab Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, juz VIII halaman 609, selaku komentator sahih bukhari yang paling masyhur mengatakan:

وَظَاهِرُ الْأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِي الْإِسْرَاءِ تَأْبَى الْحَمْلَ عَلَى ذَلِكَ بَلْ أُسْرِيَ بِجَسَدِهِ وَرُوحِهِ وَعُرِجَ بِهِمَا حَقِيقَةً فِي الْيَقَظَةِ لَا مَنَامًا وَلَا اسْتِغْرَاقًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Secara leksikal, hadis yang meriwayatkan peristiwa isra’ itu tidak bisa diarahkan terhadap pemahaman bahwa yang isra’ itu ruhnya nabi bukan jasadnya, bahkan yang isra’ adalah kedua-duanya. 

Mengapa bisa demikian? Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Al-qur’an al-adzim, halaman 41 juz 5 mengatakan;

وَأَيْضًا فَإِنَّ العبد عبارة عن مجموع الروح والجسد

Sebab ketika Allah menceritakan peristiwa isra’  mi’raj dalam surat al-isra’ ayat 1, Allah itu menggunakan redaksi abd, yang mana kata tersebut merupakan representasi dari ruh dan jasad.

Jadi menurut pendapat yang valid, dikatakan bahwasanya yang Isra Mikraj itu adalah ruh dan jasadnya Nabi Saw. Adapun mengenai riwayatnya sayyidah Aisyah, tidak bisa dijadikan dalil, sebab transmisinya itu bermasalah. Wallahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Anjuran dan Larangan Saat di Makam Nabi Muhammad

Ada yang dianjurkan dan dilarang saat di makam Nabi Muhammad.

Mengunjungi Kota Madinah membawa kedamaian dan berkah di hati setiap muslim. Salah satu tempat yang paling penting untuk dikunjungi di sana adalah Masjid Nabawi, di mana terdapat makam Nabi.

Melansir laman aboutislam.net sangat dianjurkan bagi orang yang mengunjungi Madinah untuk berdoa di masjid Nabi dan mengunjungi makamnya dan mengirim salam kepadanya.

Anjuran

Syekh Ibn ‘Utsaimin berkata dalam Manaasik al-Hajj wa’l-‘Umrah setelah jamaah shalay setibanya di Masjid Nabawi jamaahharus pergi dan mengirim salam atas Nabi dan dua sahabatnya Abu Bakar dan ‘Umar.

Pertama, jamaah harus berdiri di depan makam Nabi dan berkata, “ Assalaamu ‘alayka ayyuhannabiyyu wa rahmatullaahi wa barakaatuhu (Salam bagimu, wahai Nabi, dan rahmat dan berkah Allah) .”

Jika dia ingin menambahkan sesuatu yang sesuai tidak mengapa, seperti mengatakan

“Assalaamu ‘alayka ya khalilallaah wa amiinahu ‘ala wahiihi wa khiiratahu min khalqihi, asyhadu annaka qad ballaghta arrisaalah wa addayta al amaanah wa nasahta al ummah wa jaahadta fillahi haqqa jihaadihi.

(Assalamu’alaikum wahai sahabat dekat Allah, yang dengannya Dia menitipkan wahyu-Nya dan yang Dia pilih dari antara makhluk-Nya. Saya bersaksi bahwa Anda menyampaikan pesan, memenuhi amanah, dengan tulus menasihati umat dan berjuang dengan sekuat tenaga karena Allah).

Tetapi jika dia membatasi dirinya pada salam pertama, itu baik. Ibn ‘Umar biasa mengatakan, ” Assalaamu ‘alayka ya Rasulullah, assalaamua alayka ya Aba Bakr, assalaamu ‘alayka ya abati (Wahai ayahku),” maka dia akan pergi. 

Kedua, Kemudian melangkah satu langkah ke kanan berada di depan Abu Bakar (ra dengan dia) dan berkata, “ Assalaamu ‘alayka ya Aba Bakr, assalaamu ‘alayka ya khaliifat Rasulillaah (damai dan berkah Allah besertanya) fi ummatihi, radiyallahu ‘anka wa jazaaka ‘an ummati Muhammadin khayran.

(alaihissalam, hai Abu Bakar, damai atasmu wahai penerus Rasulullah) di umatnya, semoga Allah meridhoimu dan membalasmu dengan kebaikan atas nama Muhammad. ).”

Ketiga, Kemudian mengambil satu langkah ke kanan untuk berada di depan ‘ Umar (ra dengan dia) dan berkata, “Assalaamu ‘alayka ya ‘Umar, assalaamu ‘alayka ya amiir al- mu’miniin, radiyallahu ‘anka wa jazaaka ‘an ummati Muhammadin khayran 

(Assalamu’alaikum wahai ‘Umar, wahai pemimpin orang-orang beriman, semoga Allah meridhoimu dan membalasmu dengan kebaikan atas namamu).

Larangan

Saat memasuki masjid Nabawi, seseorang harus dalam keadaan tenang dan spiritualitas. Salah satu dari banyak kesalahan yang dilakukan di makam Nabi (saw) adalah meninggikan suara dan meminta darinya agar kebutuhan seseorang terpenuhi.

Seseorang harus mengirim salam kepada Nabi dan kedua sahabatnya dengan etika yang tepat dan dengan suara rendah.

Nabi Muhammad bersabda, Jangan jadikan rumahmu kuburan, dan jangan jadikan kuburanku tempat pesta. Tapi berdoalah untukku, karena berkahmu sampai padaku di mana pun kamu berada.” ( Abu Daud ).

Sumber:

KHAZANAH REPUBLIKA

4 Lokasi Favorit yang Bisa Dikunjungi Selama Ziarah ke Madinah

Meskipun mengunjungi Madinah bukan bagian dari haji rukun atau syarat, banyak jamaah memastikan tidak pernah melewatkan untuk mengunjungi kota tempat Rasulullah Muhammad SAW hijrah ini.

Muslim sangat mencintai kota yang dikenal sebagai kota Nabi SAW. Di sini Rasulullah SAW tinggal, menyebarkan Islam dan meninggal. 

Tak hanya Masjid Nabawi sebagai masjid pertama di Madinah, jamaah haji dan umrah juga sering berkunjung di banyak tempat lainnya. Empat tempat favorit melansir laman aboutislam.net di antaranya sebagai berikut: 

Pertama, Makam Nabi Muhammad SAW 

Nabi Muhammad SAW dimakamkan di sebuah ruangan dekat Masjid Nabawi. Kemudian perluasan masjid melekatkan letak makam Rasulullah SAW dalam Masjid Nabawi.

Muslim mengunjungi dan menyapa Nabi Muhammad SAW dan dua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhuma. Keduanya dimakamkan di samping makam Rasulullah SAW. 

Kedua, Pemakaman Baqi

Berziarah kubur adalah pengalaman spiritual yang luar biasa. Ini melembutkan hati dan mengingatkan kita pada kehidupan selanjutnya. 

Baqi’ merupakan makam bagi sebagian besar istri Nabi dan banyak sahabat beliau yaitu dibangun Rasulullah ketika mendekati Madinah dalam perjalanan hijrah.  

Ketiga, Masjid Quba 

Menurut sebuah hadits, seorang Muslim mendapatkan pahala umroh jika membersihkan diri di rumah lalu sholat di Masjid Quba.  

Keempat, Bukit Uhud 

Di bukit ini, jamaah dapat mengenang pertempuran kedua dalam Islam ketika orang-orang musyrik mencoba menyerang Madinah. Jamaah dapat mengunjungi makam 70 sahabat yang mati syahid dalam membela Islam dan Nabi Muhammad SAW.

Sumber: aboutislam   

IHRAM

Fikih Nikah (Bag. 7)

ISTRI MINTA CERAI, BAGAIMANA HUKUMNYA?

Perselisihan di dalam pernikahan tentu saja pasti terjadi dan terkadang berujung pada perceraian. Saat sudah tidak ada solusi selain cerai, adakalanya suami enggan untuk menceraikan. Islam memberikan jalan bagi istri untuk mengajukan gugatan cerai. Gugatan ini tentu saja didasari pada alasan yang dibenarkan, bukan hanya ingin berpisah. Dari Tsauban, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِى غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

“Wanita mana saja yang meminta talak (cerai) tanpa ada alasan yang jelas, maka haram baginya mencium bau surga.” (HR. Abu Daud no. 2226, Tirmidzi no. 1187 dan Ibnu Majah no. 2055. Abu Isa At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan. Al-Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih.)

Hadis di atas menjadi dalil  terlarangnya seorang wanita meminta cerai atau melakukan gugat cerai, kecuali jika ada alasan yang dibenarkan. Karena kenikmatan yang pertama kali dirasakan penduduk surga adalah mendapatkan baunya surga. Inilah yang didapatkan oleh orang-orang yang berbuat baik. Sedangkan yang disebutkan dalam hadis adalah wanita tersebut tidak mendapatkan bau surga itu. Hal ini menunjukkan ancaman bagi istri yang memaksa minta diceraikan tanpa alasan.

Hadis di atas merupakan dalil bolehnya istri melakukan gugat cerai (baca: khulu’), juga berdasarkan ayat,

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ

“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah: 229)

Tentu saja istri bisa mengajukan gugatan cerai lewat lembaga yang resmi, yaitu melakukan Kantor Urusan Agama. Merekalah yang berhak memproses hal itu.

udah Terjadi di Zaman Nabi

Yaitu kisah istri salah seorang sahabat yang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta agar diceraikan dari suaminya. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata,

جَاءَتِ امۡرَأَةُ ثَابِتِ بۡنِ قَيۡسِ بۡنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَتۡ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا أَنۡقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلَا خُلُقٍ، إِلَّا أَنِّي أَخَافُ الۡكُفۡرَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (تَرُدِّينَ عَلَيۡهِ حَدِيقَتَهُ؟) فَقَالَتۡ: نَعَمۡ، فَرَدَّتۡ عَلَيۡهِ، وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا

“Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama, tidak pula dalam hal akhlak. Hanya saja aku mengkhawatirkan kekufuran.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Engkau bisa mengembalikan kebunnya kepadanya?’ Istri Tsabit menjawab, ‘Iya.’ Dia pun mengembalikannya kepada Tsabit dan Nabi memerintahkan Tsabit untuk menceraikannya.” (HR. Bukhari no. 5276)

Di dalam riwayat lain disebutkan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama, tidak pula dalam hal akhlak. Akan tetapi, aku tidak mampu hidup bersamanya.” (HR. Bukhari no. 5275)

Di dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan alasan mengapa istri Tsabit bin Qais ini menggugat cerai, Tsabit Ibnu Qais itu jelek rupanya, dan istrinya berkata, ‘Seandainya aku tidak takut murka Allah, jika ia masuk ke kamarku, aku ludahi wajahnya.’” (Bulughul Maram, Bab Khulu’, Hadis no. 1096).

Imam Ahmad mengatakan bahwa kisah ini merupakan permintaan cerai pertama di dalam Islam.

Pengertian Khulu’ (Gugat Cerai) dan Dalil Pensyariatannya

Secara bahasa khulu’ berarti melepas. Sedangkan menurut istilah, khulu’ berarti perpisahan suami istri dengan keridaan keduanya, dengan ada timbal balik (kompensasi) yang diserahkan oleh istri pada suami.

Sehingga maksud khulu’ adalah gugatan cerai dari istri pada suami dengan adanya kompensasi.

Disyariatkannya gugat cerai ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ

“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya” (QS. Al Baqarah: 229)

Di dalam Tafsir As-Sa’di dijelaskan bahwa maksud bayaran di ayat ini adalah kompensasi yang diberikan agar terjadi perpisahan. Inilah dalil yang menunjukkan dibolehkannya khulu’ jika hikmah yang dimaksud dalam ayat tidak mampu dijalankan. Dan berdasarkan juga hadis Tsabit bin Qais yang sudah kita sebutkan sebelumnya. Serta sudah menjadi kesepakatan ulama’ tentang adanya syariat khulu’ (gugat cerai) ini.

Kapan Istri Dibolehkan Menggugat Cerai?

Khulu’ atau gugat cerai termasuk salah satu syariat yang hukumnya berubah-ubah berdasarkan keadaan, kadang dihukumi haram, yaitu jika tanpa sebab dan alasan. Khulu’ kadang dihukumi boleh. Kadang juga dihukumi sunah. Lalu, bagaimana khulu’ atau gugat cerai ini bisa dibolehkan?

Khulu’ bisa dihukumi boleh jika:

  • Istri membenci keadaan suami sebagaimana hadis Tsabit bin Qais.
  • Istri khawatir tidak bisa menunaikan kewajiban terhadap suami.
  • Istri tidak bisa menunaikan kewajiban terhadap Allah dengan baik di dalam pernikahan tersebut.

Dalam kondisi ini istri diperbolehkan untuk gugat cerai dengan syarat membayar kompensasi tertentu. Dan di zaman ini, permasalahan gugat cerai sudah ada prosedurnya di Pengadilan Agama atau Kantor Urusan Agama serta besaran kompensasinya pun akan ditentukan oleh pengadilan.

Namun, tentunya jika suami masih mencintai istrinya dan masih menginginkan untuk mempertahankan pernikahannya, maka ini lebih baik.

Gugat Cerai Karena Suami Lalai Ibadah, Bolehkah?

Saat seorang istri diberikan cobaan berupa suami yang lalai di dalam beribadah, jarang salat berjemaah atau bahkan meninggalkan salat wajib atau yang lebih parah lagi salat jum’at pun tidak dilakukan, maka hal pertama yang harus ia lakukan adalah terus menasihati suami, disertai dengan terus mendoakan kebaikan baginya, agar suami dapat hidayah. Itu yang harus dilakukan lebih dahulu.

Namun, jika ternyata setelah bertahun-tahun istri mengingatkan dan suami tetap saja enggan untuk berubah, lebih banyak meninggalkan salat dari pada mendirikannya, apakah boleh istri gugat cerai?

Syekh Bin Baz pernah ditanya perihal hal ini, lalu beliau menjawab,

“Jika keadaannya seperti yang engkau ceritakan wahai saudari penanya, dia hanya salat di waktu tertentu dan bahkan lebih banyak meninggalkannya, maka tidak boleh bagimu untuk tinggal bersamanya. Karena meninggalkan salat termasuk kufur akbar menurut pendapat yang lebih kuat, walaupun orang tersebut tidak mengingkari kewajibannya. Sudah menjadi kewajibanmu untuk mengakhiri hubunganmu dengan dia dan tidak boleh bagimu untuk mempertahankan pernikahan ini. Menurut pendapat yang rajih akad nikah semacam ini menjadi batal, berhati-hatilah. Dan jika suamimu tidak mau men-talak-mu maka yang bisa kamu lakukan adalah mengajukan perkara ini ke pengadilan.” (web resmi Syekh Bin Baz rahimahullah)

Dan di antara keadaan-keadaan lainnya di mana gugat cerai (khulu’) dihukumi sunah (dianjurkan) adalah:

  • Suami memiliki akidah yang rusak atau telah melakukan pembatalan keislaman.
  • Suami jadi pecandu obat-obatan terlarang atau narkoba.
  • Suami memerintahkan istri untuk melakukan keharaman seperti tidak menutup aurat.

Wallahu A’lam Bisshowaab.

Semoga Allah senantiasa menjaga keluarga kita dan memberkahinya dengan kebaikan.

Bersambung.

Dirangkum dari berbagai sumber.

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/72567-fikih-nikah-bag-7.html

Macam-Macam Ziarah Kubur

Ziarah kubur merupakan perkara yang bisa mengingatkan seseorang tentang kematian dan negeri akhirat. Namun pada praktk pelaksanaan oleh kaum muslimin, ziarah kubur ini bisa tercampur dengan bidah, apalagi syirik akbar. Oleh karena itu, tulisan singkat ini menjelaskan bagaimanakah agar ziarah kubur itu sesuai dengan syariat.

Ziarah kubur dapat dibagi ke dalam tiga jenis:

Pertama, ziarah kubur yang disyariatkan

Ziarah kubur itu disyariatkan jika diniatkan untuk mengingat kematian dan juga merenungkan akhirat. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari sahabat Buraidah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ القُبُورِ، فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِي زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ، فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الآخِرَةَ

“Saya pernah melarang kalian berziarah kubur. Sekarang telah diizinkan untuk Muhammad menziarahi kuburan ibunya, maka berziarahlah, karena (berziarah kubur itu) dapat mengingatkan akhirat.” (HR. Tirmidzi no. 1054, dinilai sahih oleh Al-Albani).

Disyariatkan pula untuk mengucapkan salam untuk ahli kubur. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju pemakaman, kemudian mengatakan,

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ

“ASSALAAMU ‘ALAIKUM DAARA QAUMIN MUKMINIIN, WA INNAA INSYAA ALLAAHU BIKUM LAAHIQUUN” (Semoga keselamatan terlimpah kepada kalian wahai penghuni kampung kaum mukminin, sesungguhnya insya Allah kami akan menyusul kalian)”  (HR. Abu Dawud no. 3237, An-Nasa’i no. 150, dan Ibnu Majah no. 4306, dinilai sahih oleh Al-Albani).

Ziarah kubur juga disyariatkan ketika seseorang tidak perlu melakukan safar (perjalanan jauh) demi berziarah kubur. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

“Tidaklah boleh mengadakan perjalanan (dengan tujuan ibadah) kecuali untuk mengunjungi tiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam (Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsha” (HR. Bukhari no. 1189 dan Muslim no. 1397).

Perbuatan ini dilarang untuk menutup jalan keburukan agar kaum muslimin tidak mengultuskan, mengistimewakan, atau mengeramatkan tempat-tempat tertentu, termasuk makam orang saleh, untuk beribadah dan mencari berkah di sana. Karena ketika seseorang meyakini bahwa suatu makam itu keramat atau istimewa, maka dia akan berdoa meminta-minta kepada penghuni kubur. Hal ini termasuk dalam syirik akbar, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam poin yang ketiga.

Ziarah kubur juga akan sesuai dengan syariat apabila selama berziarah kubur, seseorang tidak melakukan berbagai ucapan dan perbuatan yang dilarang oleh syariat. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari sahabat Buraidah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ، فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُورَ فَلْيَزُرْ، وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا

“Dan aku juga pernah melarang kalian berziarah kubur. Barangsiapa yang ingin berziarah, maka berziarahlah dan jangan mengucapkan kata-kata kotor” (HR. An-Nasa’i no. 2033, dinilai sahih oleh Al-Albani).

“Hujr” dalam hadis tersebut memiliki makna perkataan-perkataan yang batil.

Ziarah kubur akan sesuai dengan tuntunan syariat apabila seseorang tidak melakukan hal-hal yang akan menjadikan ziarah kubur tersebut menjadi ziarah kubur yang bidah atau syirik, sebagaimana penjelasan selanjutnya di bawah ini.

Baca Juga:

Kedua, ziarah kubur yang bidah

Ziarah kubur termasuk bidah apabila seseorang meniatkan ziarah kubur untuk berdoa kepada Allah Ta’ala dengan meyakini bahwa apabila berdoa di sisi makam orang tertentu, akan lebih besar kemungkinan dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Atau seseorang berziarah kubur agar bisa bertawassul dengan penghuni kubur ketika berdoa kepada Allah Ta’ala. Ziarah kubur juga termasuk bidah ketika diniatkan untuk beribadah kepada Allah Ta’ala di sisi makam, baik dengan berzikir, iktikaf, atau membaca Al-Qur’an, dengan meyakini bahwa beribadah kepada Allah Ta’ala di sisi makam itu lebih afdal dan lebih banyak pahalanya. Keyakinan-keyakinan semacam ini, tidak memiliki landasan dalil dari syariat.

Diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) ini yang bukan dari kami, maka amal tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Dari sahabat ‘Irbadh bin Sariayh Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Hendaklah kalian berpegang dengan sunahku, sunah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam urusan agama), sebab setiap perkara yang baru adalah bidah dan setaip bidah adalah sesat” (HR. Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 42, dinilai sahih oleh Al-Albani).

Ketiga, ziarah kubur yang syirik

Ziarah kubur termasuk kesyirikan ketika peziarah berdoa meminta langsung kepada penghuni kubur, bukan kepada Allah Ta’ala. Ini termasuk syirik akbar yang bisa mengeluarkan seseorang dari Islam.

Terdapat banyak dalil dalam masalah ini, di antaranya firman Allah Ta’ala,

وَمَن يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِندَ رَبِّهِ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ

“Dan barang siapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung” (QS. Al-Mu’minuun: 117).

Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ تَدْعُ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَنفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذاً مِّنَ الظَّالِمِينَ وَإِن يَمْسَسْكَ اللّهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَآدَّ لِفَضْلِهِ يُصَيبُ بِهِ مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudarat kepadamu selain Allah. Sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim. Jika Allah menimpakan sesuatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Yunus: 106-107).

Juga firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْماً عَظِيماً

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An-Nisa’: 48).

Demikian penjelasan singkat ini, semoga bermanfaat. Dan semoga aktivitas ziarah kubur yang kita lakukan menjadi aktivitas ibadah yang sesuai dengan tuntunan syariat, dan tidak terjatuh ke dalam bidah, apalagi syirik akbar. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/72545-macam-macam-ziarah-kubur.html

Faedah Sirah Nabi: Pensyariatan Azan

Berikut adalah kisah tentang pensyariatan azan dari Fikih Sirah Nabi.

Ajakan dan seruan untuk menyembah Allah telah dimulai sejak di Makkah. Pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta pengikutnya mendapat banyak siksaan, cacian, dan rintangan dari kafir Quraisy dalam menyebarkan dakwah. Adapun fokus utama dakwah di Makkah adalah pembinaan tauhid dan pengokohan akidah yang lurus pada setiap sanubari manusia dan menyucikan mereka dari berhala-berhala yang telah mereka jadikan tuhan.

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah dan hati pun telah tenteram dengan terbentuknya masyarakat muslim, maka mulailah turun beberapa syariat, seperti azan, pemindahan arah kiblat, puasa, zakat, jihad, dan sebagainya.

Awal Pensyariatan Azan

Nafi’ meriwayatkan: Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Ketika orang-orang mukmin tiba di Madinah, mereka berkumpul dan saling menyeru untuk melakukan shalat, sebab belum ada saat itu seruan khusus untuk melakukan shalat.

Pada suatu hari, sebagian mereka berkata, “Pakailah naaqus (kayu panjang dipukul dengan kayu kecil), seperti naaqus-nya orang-orang Nasrani. Sementara sebagian yang lain mengatakan, “Pakailah buq (seruling jika ditiup mengeluarkan bunyi), seperti orang Yahudi mengumpulkan pengikutnya. Kemudian Umar bin Khaththab bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak mengutus seseorang untuk menyerukan shalat?” Beliau berkata, “Wahai Bilal, banghun dan serukan shalat.” (HR. Bukhari, 2:77 dan Muslim, 4:75-76)

Pada awal mula pensyariatan shalat, orang-orang mukmin mengerjakannya tanpa ada satu seruan yang baku atau tetap sebagai pertanda telah masuknya waktu shalat. Namun, mereka saling mengajak dan mengingatkan sebagai pertanda waktu shalat telah tiba, lalu mereka pun berkumpul untuk menunaikannya. Hal tersebut memang menyulitkan dan menyusahkan, mungkin karena terlalu lama menunggu antara sesama mereka, atau sebagian lain terlambat sehingga ketinggalan dari shalat berjamaah. Kemudian mereka membicarakannya di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi menyudahinya dengan memerintahkan Bilal untuk menyerukan shalat. Seruan tersebut hanya sebagai pemberitahuan waktu shalat dan bukan panggilan atau azan syari seperti sekarang ini, karena saat itu belum ada syariatnya.

Diriwayatkan oleh Sa’ad dalam Tabaqat-nya: Dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata, “Pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebelum azan disyariatkan, mereka menyeru dengan seruan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ‘ash-shalaatul jaami’ah’, maka orang-orang pun berkumpul.”

Kemudian disyariatkan azan, sementara seruan ash-shalaatul jaami’ah masih berlaku, karena ia merupakan seruan yang sudah familiar, jika mereka mendengarnya, mereka pun hadir. Selain itu, seruan tersebut juga berfungsi sebagai pembuka dari pengumuman, seperti dibacalan pada pembukaan acara atau ketika Nabi menyuruh sesuatu. Oleh karena itu, seruan ash-shalaatul jaami’ah itu masih ada. Meskipun hal tersebut bukan pada waktu-waktu shalat.

‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu bermimpi tentang azan. Diriwayatkan dari Abu Laila, “Shalat itu ada tiga kondisi. Kemudian Abu Laila berkata, ‘Para sahabat mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan shalatnya kaum muslimin.” Dalam riwayat lain disebutkan dengan “kaum mukminin”. Mereka melakukannya secara serentak, lantas aku tertarik memperhatikan seseorang dari ketinggian mengajak manusia untuk shalat, mereka berdiri di atas atham (bangunan yang tinggi) sambil memukul naaqus (kayu panjang yang dipukul dengan kayu kecil) guna mengajak manusia untuk melaksanakan shalat. Ia berkata, “Kemudian datang seseorang dari Anshar seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku melihat besarnya perhatianmu terhadap azan. Aku bermimpi melihat orang yang memakai baju hijau, berdiri di masjid kemudian mengumandangkan azan. Kemudian duduk sesaat, selanjutnya berdiri kembali mengumandangkan kalimat serupa dan menambah kalimat ‘qad qaamatish-shalaah’.” Ibnu Mutsanna berkata, ‘Katakanlah., aku dalam keadaan sadar, bukan tidur, kemudian beliau bersabda, (Ibnu Mutsanna berkata), “Allah telah memperlihatkan kepadamu suatu kebaikan. Ia tidak menyebutkan Amr. Allah telah memperlihatkan kepadamu suatu kebaikan. Maka suruhlah Bilal untuk mengumandangkan azan.” Kemudian Umar bin Khaththab berkata, “Aku telah bermimpi sama seperti mimpinya Abu Mutsanna, tetapi ia lebih dahulu menceritakannya sehingga aku pun malu menceritakannya kembali.” (HR. Abu Daud, no. 478, disahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Dari Abu ‘Umair bin Anas berkata, “Nabi sangat memperhatikan shalat dan bagaimana cara mengumpulkan umat dalam melaksanakannya.” Lalu dikatakan kepadanya, “Pancangnkan bendera ketika telah masuk waktu shalat. Jika orang melihatnya, maka mereka akan memberitahukannya kepada yang lain. Namun, hal itu tidak membuat beliau tertarik. Lalu disebutkan juga kepada beliau agar menggunakan qan’u atau syabbur (alat yang digunakan untuk mengumpulkan orang).” Ziyad berkata, “Syabbur merupakan syiarnya orang Yahudi.” Kemudian disebutkan naaqus di hadapan Ziyad, ia pun berkata, “Itu merupakan syiarnya orang Nashrani.” Kemudian ‘Abdullah bin Zaid pergi sambil memikirkan kegelisahan Nabi. Pada saat ia tidur, ia pun memimpikan tentang azan.

Pada pagi harinya, ia menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan mimpi tersebut, kemudian ia berkata, “Ya Rasulullah, aku seperti berada dalam kondisi antara tidur dan sadar, kemudian datanglah kepadaku seseorang mengajarkan azan.” Abu Umair berkata, “Padahal Umar bin Khaththab telah mimpi serupa sebelum itu, tetapi ia menyembunyikannya selama dua pulu hari, kemudian baru ia memberitahukannya kepada nabi, beliau berkata kepadanya, “Apa yang menghalangimu untuk tidak memberitahukannya kepadaku?” Umar menjawab, “Abdullah bin Zaid telah mendahuluiku, lalu aku pun jadi malu untuk menceritakannya.”

Kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Bilal, bangunlah dan perhatikan apa yang disampaikan oleh ‘Abdullah bin Zaid, dan lakukanlah!” Kemudian Bilal pun mengumandangkan azan.”

Abu Basyar berkata, “Abu Umair mengabarkannya kepadaku bahwasanya orang-orang Anshar menyangka bahwa sekirarnya saat itu ‘Abdullah bin Zaid tidak sakit, niscaya Rasulullah akan menjadikannya sebagai muazin.”

Dari ‘Abdullah bin Zaid berkata, “Ketika beberapa sahabat memberikan usulan kepada Nabi untuk menggunakan naqus dalam mengumpulkan orang untuk melaksanakan shalat, tiba-tiba saya bermimpi melihat seseorang dengan naqus di tangannya berputar di sisiku, kemudian aku berkata, “Wahai hamba Allah, apa engkau menjual naqus itu?” Ia menjawab, “Apa yang akan kamu perbuat dengan naqus?” Kemudian ‘Abdullah bin Zaid menjawab, “Sebagai seruan untuk shalat.” Kemudian ia berkata, “Maukah engkau aku tunjukkan yang lebih baik dari itu?” ‘Abdullah menjawab, “Ya, mau.” Dia berkata, “Kumandanglah:

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ

حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

Tidak lama setelah itu, ia berkata, “Jika kamu mendirikan shalat, maka ucapkanlah:

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ

حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ

قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ

قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

Pada paginya, aku menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku kabarkan kepadanya apa yang ada dalam mimpiku. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya itu adalah mimpi yang benar. Katakan kepada Bilal mengenai mimpimu itu, suruhlah dia mengumandangkannya. Sesungguhnya ia lebih baik suaranya dibandingkan kamu.” Kemudian aku menyampaikan kepada Bilal dan ia pun mengumandangkannya. Umar bin Khaththab mendengarnya dari rumah, lalu keluar dan menarik selendangnya seraya berkata, “Demi Rabb yang telah mengutusmu wahai Rasulullah, aku telah bermimpi seperti ‘Abdullah bermimpi.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Segala puji bagi Allah.” (HR. Abu Daud, sahih).

Begitulah proses pensyariatan azan shalat, yaitu pada awal mulanya tanpa seruan yang baku, kemudian seruan dengan lafaz ash-shalaatu jaami’ah, kemudian dengan cara dan lafaz yang khusus.

Pensyariatan azan dengan cara yang terakhir adalah pada tahun pertama Hijriyah.

Pelajaran dari Pensyariatan Azan

Pertama: Azan secara syari adalah pemberitahuan tentang telah masuknya waktu shalat dengan lafaz tertentu.

Kedua: Hikmah pensyariatan azan sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi:

  1. Sebagai syiar Islam.
  2. Sebagai syiar tauhid.
  3. Sebagai pemberitahuan akan masuknya waktu shalat sekaligus memberitahukan tempatnya.
  4. Seruan untuk melaksanakan shalat secara berjamaah.

Ketiga: Hikmah menggunakan seruan atau panggilan ketika shalat, tidak dalam bentuk perbuatan, karena ucapan itu lebih ringan, memudahkan semua orang dalam melaksanakannya pada segala tempat dan waktu.

Keempat: Pentingnya shalat berjamaah.

Kelima: Pentingnya musyawarah dalam mencapai mufakat.

Keenam: Agungnya suara azan karena mengandung dzikir yang sangat mulia.

Ketujuh: Hikmah disyariatkannya azan berdasarkan mimpi dan bukan berasal dari nabi sendiri menunjukkan tentang tingginya pujian beliau terhadap orang lain dan sebagai penghormatan baginya.

Keutamaan Azan

1- Setan menjauh saat mendengar azan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا نُودِىَ بِالأَذَانِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعَ الأَذَانَ فَإِذَا قُضِىَ الأَذَانُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِهَا أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِىَ التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ يَخْطُرُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا. لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ إِنْ يَدْرِى كَمْ صَلَّى فَإِذَا لَمْ يَدْرِ أَحَدُكُمْ كَمْ صَلَّى فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ

Apabila azan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar azan tersebut. Apabila azan selesai dikumandangkan, maka ia pun kembali. Apabila dikumandangkan iqamah, setan pun berpaling lagi. Apabila iqamah selesai dikumandangkan, setan pun kembali, ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya. Dia berkata, “Ingatlah demikian, ingatlah demikian untuk sesuatu yang sebelumnya dia tidak mengingatnya, hingga laki-laki tersebut senantiasa tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat. Apabila salah seorang dari kalian tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, hendaklah dia bersujud dua kali dalam keadaan duduk.” (HR. Bukhari, no. 608 dan Muslim, no. 389)

2- Yang mendengar azan akan menjadi saksi bagi muazin pada hari kiamat

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَىْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Tidaklah suara azan yang keras dari yang mengumandangkan azan didengar oleh jin, manusia, segala sesuatu yang mendegarnya melainkan itu semua akan menjadi saksi pada hari kiamat.” (HR. Bukhari, no. 609). Termasuk juga di sini jika yang mendengar adalah hewan dan benda mati sebagaimana ditegaskan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah. Dalam riwayat lain disebutkan,

الْمُؤَذِّنُ يُغْفَرُ لَهُ مَدَى صَوْتِهِ وَيَشْهَدُ لَهُ كُلُّ رَطْبٍ وَيَابِسٍ

Muazin diberi ampunan dari suara kerasnya saat azan serta segala yang basah maupun yang kering akan menjadi saksi baginya pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud, no. 515; Ibnu Majah, no. 724; dan An-Nasai, no. 646. Sanad hadits ini hasan sebagaimana dinilai oleh Al-Hafizh Abu Thahir). Termasuk juga yang mendengarnya adalah malaikat karena sama-sama tidak terlihat seperti jin. Lihat Fath Al-Bari, 2:88-89.

3- Kalau tahu keutamaan azan pasti akan jadi rebutan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِى النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا

Seandainya setiap orang tahu keutamaan azan dan shaf pertama, kemudian mereka ingin memperebutkannya, tentu mereka akan memperebutkannya dengan berundi.” (HR. Bukhari, no. 615 dan Muslim, no. 437)

Fikih Azan

Syarat sah untuk muazin

  1. Islam
  2. Berakal
  3. Tamyiz
  4. Laki-laki

Catatan: Azan wanita untuk laki-laki tidak boleh sebagaimana tidak sahnya wanita mengimami laki-laki.

  1. Mengeraskan suara
  2. Sudah masuk waktu shalat
  3. Mengetahui waktu-waktu shalat
  4. Azan mesti diucapkan secara berurutan
  5. Kalimat azan diucapkan secara berkesinambungan (muwalah)

Sunnah azan

  1. Berdiri
  2. Menghadap kiblat
  3. Dalam keadaan suci

Catatan: Disunnahkan muazin dalam keadaan suci dari hadats kecil maupun hadats besar. Dimakruhkan muazin dalam keadaan berhadats, lebih-lebih lagi jika dalam keadaan junub.

  1. Baligh, lebih utama dari anak kecil yang tamyiz
  2. Adalah, bagus agamanya dan berakhlak mulia
  3. Suara muazin bagus
  4. Bisa melihat, yaitu melihat langsung waktu shalat
  5. Menoleh dengan leher (bukan dengan dada) ke kanan saat ucapan “hayya ‘alash sholaah” dan ke kiri saat ucapan “hayya ‘alal falaah”
  6. Mengucapkan dengan tartil, perlahan-lahan, tidak tergesa-gesa
  7. Melakukan tarji’, mengucapkan dua kalimat syahadat sebanyak dua kali, pertama secara lirih, kedua secara jahar
  8. Mengucapkan tatswib pada azan Shubuh (ash-shalaatu khairum minan nauum) setelah ucapan hayya ‘alash sholaah dan hayya ‘alal falaah
  9. Menetapkan dua muazin, ada yang mengumandangkan azan sebelum Shubuh dan ada yang setelah masuk Fajar
  10. Yang mendengarkan azan disunnahkan inshat (diam) dan ijabah (mengikuti azan)
  11. Shalawat kepada Nabi dengan suara lirih bagi muazin, bagi yang mendengar azan, lalu meminta kepada Allah wasilah dan berdoa kepada-Nya setelah selesai azan (dengan diberi jeda)
  12. Berdoa untuk diri sendiri karena waktu antara azan dan iqamah adalah waktu mustajabnya doa

Syarat iqamah

  1. Iqamah itu furada (umumnya satu kalimat yang diucapkan)
  2. Isra’ (cepat pengucapannya)
  3. Iqamah diulang untuk setiap shalat wajib, termasuk shalat yang dijamak atau shalat yang luput
  4. Sudah masuk waktu

Sunnah iqamah

  1. Menunggu jamaah
  2. Berpindah tempat
  3. Yang azan itulah yang iqamah
  4. Meninggikan suara untuk iqamah, tetapi lebih rendah dari suara azan
  5. Musafir boleh mengumandangkan iqamah di kendaraannya

Lima Amalan Ketika Mendengar Azan

Lima amalan tersebut telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim sebagai berikut:

(1) mengucapkan seperti apa yang diucapkan oleh muazin.

(2) bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah azan: ALLAHUMMA SHOLLI ‘ALA MUHAMMAD atau membaca shalawat ibrahimiyyah seperti yang dibaca saat tasyahud.

(3) minta kepada Allah untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wasilah dan keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah: ALLAHUMMA ROBBA HADZIHID DA’WATIT TAAMMAH WASH SHOLATIL QOO-IMAH, AATI MUHAMMADANIL WASILATA WAL FADHILAH, WAB’ATSHU MAQOOMAM MAHMUUDA ALLADZI WA ‘ADTAH.

(4) membaca: ASYHADU ALLA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH WA ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASULUH, RADHITU BILLAHI ROBBAA WA BI MUHAMMADIN ROSULAA WA BIL ISLAMI DIINAA, sebagaimana disebutkan dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqqash.

(5) memanjatkan doa sesuai yang diinginkan. (Lihat Jalaa-ul Afham hlm. 329-331)

Referensi

  1. Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.
  2. Fiqh As-Sirah. Cetakan Tahun 1424 H. Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.
  3. Jalaa-ul Afham fii Fadhli Ash-Shalah wa As-Salaam ‘ala Muhammad Khoir Al-Anam. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Dar Ibn Katsir.

— 

Selesai disusun pada Jumat sore, 24 Rajab 1443 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/31959-faedah-sirah-nabi-pensyariatan-azan.html

Apakah Nabi Muhammad Isra` Mi’raj dengan Ruh dan Jasadnya?

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan peristiwa yang menunjukkan tanda kekuasaan Allah. Saat itu, peristiwa ini sulit sekali dipercaya karena dengan teknologi yang belum modern seperti saat ini, perjalanan ke Masjidil Aqsha di Palestina tidak mungkin hanya dilakukan semalam. Kemudian di kalangan setelahnya, terjadi perdebatan apakah Nabi Muhammad melakukan Isra` dan Mi’raj dengan ruh dan jasadnya?

Peristiwa ini disepakati oleh para ulama karena merujuk pada surat al-Isra’ ayat 1,

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

Artinya: Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menampilkan dua permasalahan yang menjadi perdebatan para ulama. Pertama, apakah Nabi Muhammad menjalani Isra` Mi’raj dalam keadaan terjaga atau tidur? Kedua, apakah Nabi Muhammad Isra` Mi’raj dengan ruh dan jasadnya atau ruhnya saja?

Permasalahan pertama, mayoritas ulama mengatakan bahwa Isra` dan Mi’raj yang dialami oleh Nabi Muhammad adalah dalam keadaan terjaga bukan mimpi. Sedangkan pendapat Hasan al-Bashri berbeda dari pendapat mayoritas yaitu, Nabi mengalami peristiwa ini dalam keadaan terlelap berdasarkan ayat 60 surat al-Isra`,

 وَمَا جَعَلْنَا الرُّءْيَا الَّتِيْٓ اَرَيْنٰكَ اِلَّا فِتْنَةً لِّلنَّاسِ وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُوْنَةَ فِى الْقُرْاٰنِ

”Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon yang terkutuk (zaqqum) dalam Al-Qur’an.

Tapi pendapat ini tidak diunggulkan dibandingkan pendapat mayoritas.

Adapun permasalahan kedua yaitu, apakah Nabi melaksanakan Isra` dan Mi’raj dalam keadaan terjaga atau terlelap, mayoritas ulama berpendapat bahwa saat itu Nabi melaksanakannya beserta ruh dan jasadnya. Mereka berhujjah dengan ayat 1 surat al-Isra` yang menghadirkan kalimat tasbih sebagai dalil bahwa peristiwa itu merupakan peristiwa luar biasa dan menakjubkan. Kalau peristiwa itu terjadi saat Nabi terlelap, tentu bukanlah merupakan kejadian luar biasa.

Akan tetapi, ada dua sahabat yang berbeda pendapat dari pendapat mayoritas ulama yaitu, Muawiyah dan Aisyah. Keduanya meyakini bahwa peristiwa Isra` Mi’raj yang dialami oleh Nabi adalah ruhnya saja tanpa jasadnya. Pendapat keduanya dibantah oleh fakta bahwa saat peristiwa itu terjadi, Muawiyah belum masuk Islam dan Aisyah belum menjadi istri Nabi bahkan anak-anak.

Begitu juga dengan disebutkannya ayat 1 surat al-Isra dengan bunyi, Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) bukan dengan narasi memperjalankan ruh hamba-Nya. Ungkapan “Abdihi” pada ayat itu mencakup ruh dan jasad Nabi. Begitulah pendapat mayoritas ulama untuk membantah pendapat Muawiyah dan Aisyah.

Begitu juga dengan adanya buroq sebagai kendaraan yang dinaiki oleh Nabi saat peristiwa Mi’raj menunjukkan bahwa Nabi menjalaninya dengan ruh dan jasadnya.

Syekh Hafiz al-Hakami (W 1958 M) dalam kitabnya, Ma’arij al-Qabul menyebutkan kalau Nabi mengalami peristiwa Isra` Mi’raj dengan ruhnya saja atau dalam mimpi maka itu tidak disebut mukjizat dan tidak akan kaum Quraisy menafikan peristiwa ini apalagi sampai ada yang murtad dari kalangan muslim pada masa itu. Karena hal itu akan dianggap peristiwa yang biasa saja.

Perbedaan pendapat di kalangan ulama ini lebih mengunggulkan peristiwa ini terjadi saat Nabi dalam keadaan terjaga dan hadir bersama ruh dan jasadnya. Sedangkan pendapat sebaliknya tidak diunggulkan dan dianggap lemah. Wallahu a’lam.

Syekh Nawawi Al Bantani; Guru Besar Asal Indonesia Paling Populer di Makkah

Syekh Nawawi bin Umar merupakan salah satu ulama asal Indonesia yang memiliki gelar “Sayyid al-Ulama al-Hijaz”. Sebutan Syekh Nawawi al Bantani cukup populer dikalangan para penggiat ilmu keislaman. Namanya banyak tertera di berbagai kitab kuning dalam beberapa fan ilmu agama. Nama lengkapnya adalah Muhammad Nawawi bin Umar bin Arbi al-Jawi al-Bantani. 

Al-Jawi adalah nisbat dari tanah kelahirannya yang mana ketika itu daerah Jawa lebih dikenal sebagai nama sebuah negara daripada negara Indonesia sendiri. Hal ini, karena dikala itu Indonesia masih belum terbentuk sebagai suatu negara. Sedangkan Al-Bantany adalah nisbatnya pada kota Banten, kota kelahiran beliau. 

Di samping juga untuk membedakan beliau dengan ulama lain yang juga dikenal dengan sebutan Syekh Nawawi, seperti Syekh Abi Zakariyya Muhyiddin Ibn Sharaf al Nawawi yang berasal dari Nawa, Damaskus. 

Syekh Nawawi Al Bantani lahir di Tanara, Serang, Karasidenan Banten tahun 1230 H/1813 M. Beliau adalah anak seorang penghulu, pemimpin masjid dan pesantren di Serang, Banten. Apabila ditelisik dari garis keturunannya, beliau termasuk keturunan ke 12 dari Maulana Syarif Hidayatullah, sunan Gunung jati, Cirebon. Sebagai anak seorang tokoh agama, beliau hidup dalam lingkungan keluarga yang agamis. 

Sejak usia lima tahun, beliau sudah berangkat ke pesantren di beberapa Pondok pesantren di Jawa. Hanya sekitar 5-7 tahun beliau belajar di pesantren, muncul berita duka yang mengabarkan bahwa ayahandanya telah meninggal dunia. Hal ini yang membuatnya menjadi pemimpin pesantren untuk menggantikan posisi ayahnya di usia 13 tahun. Usia yang relatif sangat muda untuk bisa memimpin pesantren. 

Sebab kecerdasannya, beliau semakin dikenal dan masyhur dikalangan masyarakat Banten. Sehingga, para santri datang berbondong-bondong untuk belajar kepadanya. Sulitnya hidup di masa ketika kolonial Belanda menguasai kesultanan Banten tidak membuatnya menjadi patah semangat.

Kesulitan ini beliau jadikan sebagai salah satu latar belakang berkobarnya semangat beliau untuk memperjuangkan perkembangan Islam di Indonesia dengan melahirkan para ulama yang hampir keseluruhan adalah generasi cendekiawan yang memunculkan gerakan Islam pada awal abad ke 20. 

Seperti KH. Kholil (Bangkalan, Madura), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang, Jawa timur), KH. ‘Asy’ari (Bawean, Gersik, Jawa timur), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan para tokoh-tokoh gerakan Islam mancanegara. 

Setelah 2 tahun memimpin pesantren, beliau akhirnya melakukan perjalanan ke Mekkah untuk melakukan ibadah haji sekaligus untuk memperdalam ilmunya sebagai salah satu bentuk usahanya memperjuangkan kemajuan Islam di nusantara. Beliau memutuskan untuk pergi meninggalkan tanah airnya karena melihat kondisi saat itu mulai terjadi campur tangan kekuasaan pemerintahan oleh kolonial Belanda yang sangat membatasi ruang gerak umat Islam. 

Syekh Nawawi Al Bantani sempat kembali ke Indonesia sebelum memutuskan kembali ke Makkah lagi untuk mengembangkan pesantren peninggalan ayahnya bersama adiknya. Namun, pemerintah sudah diambil alih oleh mereka kolonial Belanda yang semakin mengusik gerak gerik umat Islam.

Beliau lebih memperdalam ilmunya lagi di Mekkah dengan tujuan agar bisa melawan Belanda dan terus memajukan perkembangan Islam sebelum mereka menjajah terang-terangan dengan kekerasan. Di sanalah beliau belajar hingga menjadi guru besar di Masjidil Haram dan melahirkan murid-murid anti penjajah yang banyak menjadi cendikiawan gerakan Islam. 

Selama di Mekkah beliau juga mulai melahirkan karya-karyanya tentang berbagai fan ilmu agama. Diantaranya : Kasyifatus saja ( 1292 H) dalam bidang ilmu kalam dan akhlak, Nihayah az Zain dan Uqud Al Alujain (1297 H) dalam bidang fikih, Tafsir Al Munir Li Mu’allim Al Tanzil (1305 H) dan masih banyak yang lain dalam berbagai bidang ilmunya. Beliau mengarang hingga akhir hayatnya. Beliau pun wafat tatkala menyelesaikan kitabnya yaitu Syarah Minhaj at Thalibin karya Yahya bin Syaraf. 

Bertepatan pada tanggal 25 Syawal 1314 H/ 1897 M, Syekh Nawawi al Bantani wafat di kampung Syi’ib Ali, Makkah al-Mukarromah. Beliau dimakamkan di Ma’la, berdekatan dengan makam Ibnu Hajar dan Siti Asma binti Abu Bakar Ash- Shiddiq. Tercatat dalam sejarah oleh Azyumardi Azra seorang pakar sejarah, bahwa Syekh Nawawi termasuk diantara ulama guru besar asal Indonesia paling populer di Makkah. 

Memang, beliau dan juga teman-teman ulama sejawatnya di Makkah tidak secara fisik melawan Belanda. Namun secara spiritual mereka menjunjung tinggi semangat juangnya untuk memajukan perkembangan Islam dan kemerdekaan Indonesia. Di antaranya dengan cara mendidik murid-muridnya menjadi kader-kader anti penjajah dan membangkitkan semangat untuk melawan penjajah. 

BINCANG SYARIAH