Zakat: Siapa Saja yang Berhak Menerima Zakat di Saat Ini?

Zakat memiliki makna khusus bagi umat Islam dan zakat hukumnya wajib bagi semua Muslim yang mampu secara finansial untuk memberikan minimal 2,5% dari akumulasi kekayaan mereka untuk kepentingan orang miskin. Zakat juga berarti penyucian atau bertumbuh.

Menurut sebuah laporan oleh Global Humanitarian Assistance: Indonesia, Malaysia, Qatar, Arab Saudi dan Yaman, yang merupakan sekitar 17% dari perkiraan populasi Muslim dunia, menunjukkan bahwa di negara-negara ini saja setidaknya Rp. 82,4 triliun saat ini dikumpulkan dalam Zakat setiap tahun.

Diperkirakan volume global Zakat yang dikumpulkan setiap tahun melalui jalur formal, setidaknya mencapai puluhan triliun rupiah. Jika kita juga mempertimbangkan Zakat yang dibayarkan melalui jalur informal, jumlah sebenarnya lebih dari nominal tersebut.

Mari kita lihat ayat Al-Qur’an yang mengatur tentang zakat:

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana [QS. At-Taubah (9): 60].

Dalil dan ketentuan pembagian zakat sudah ditetapkan oleh Allah SWT dalam ayat di atas. Karenanya, tulisan ini akan menjabarkan lebih detail siapa saja yang berhak menerima zakat khusus di zaman ini dan bagaimana mendistribusikannya.

Orang miskin

Definisi orang miskin akan berbeda dari satu tempat ke tempat lain dan juga dalam ukuran keluarga. Sekitar 767 juta orang di dunia hidup dengan penghasilan kurang dari rata-rata Rp. 30.000 per hari.

Orang yang membutuhkan

Definisi yang membutuhkan di sini merupakan orang yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya terpenuhi dengan baik.

Kebutuhan dasar meliputi makanan, pakaian dan tempat tinggal serta obat-obatan jika diperlukan. Ini juga dapat mencakup transportasi jika orang yang membutuhkan membutuhkannya untuk pergi bekerja.

Mereka mungkin berpenghasilan di atas garis kemiskinan tetapi mungkin tidak dalam posisi memiliki kemampuan dalam mengurus kebutuhan lainnya seperti obat-obatan atau makanan, transportasi atau pakaian mereka dengan benar.

Orang yang Bertanggung Jawab akan Hal ini

Termasuk orang-orang yang mengelola dana zakat baik di masjid maupun di lembaga lain. Jika seorang Imam masjid terlibat dalam pengumpulan dana zakat, ia dapat memenuhi syarat untuk menerima dari ketentuan pembagian zakat.

Orang yang Hatinya Dimenangkan

Mencakup muallaf, orang baru memeluk Islam, dan semua orang yang mungkin belum pernah mendengar tentang Islam atau yang mungkin memiliki sikap negatif terhadap Islam dan Muslim.

Dalam kategori ini termasuk individu dan kelompok yang terlibat dalam pekerjaan hubungan masyarakat untuk Islam, kelompok Muslim yang terlibat dalam pekerjaan antaragama dan antarkomunitas, media Muslim yang terutama ditujukan untuk mempromosikan Islam, universitas, dan perguruan tinggi yang mengajarkan Islam kepada non-Muslim.

Untuk Membebaskan Manusia dari Perbudakan

Ada 40 juta orang yang hidup dalam perbudakan di dunia kita saat ini. Ada sekitar 42 juta anak perempuan, wanita, dan anak laki-laki yang terpaksa menjual tubuhnya kepada orang lain karena tidak punya mata pencaharian lain. Juga, ada sekitar satu juta keluarga yang karena kemiskinan terpaksa menjual anak-anak mereka kepada orang lain (Islamic City, 2022).

Mereka yang Terbebani Utang

Orang-orang yang berutang termasuk mereka yang berada di atas garis kemiskinan dan yang kebutuhan dasarnya juga ditutupi serta terbebani oleh utang sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat melaksanakan tanggung jawab rumah tangga mereka dengan baik.

Untuk Setiap Perjuangan di Jalan Allah SWT

Ini termasuk mereka yang berada di luar sana untuk menyebarkan firman Allah SWT dan yang membela keadilan sosial dan kesetaraan serta melawan penindasan.

Untuk Para Musafir

Mereka yang berpergian dengan kemampuan terbatas atau orang-orang terlantar termasuk pengungsi atau bahkan tunawisma.

Kemudian, bagaimana seharusnya zakat didistribusikan?

Zakat bisa dilakukan secara individua tau bisa dilakukan melalui organisasi, badan amil, lembaga khusus zakat dan masjid yang memiliki keahlian di bidang ini.

Situasi yang ideal adalah memiliki badan pusat di setiap negara bagian atau kota untuk mengumpulkan dana zakat secara transparan. Syukurnya kita memiliki banyak lembaga yang kompatibel dalam urusan Zakat seperti BAZNAS.

Lalu, kelompok pengumpul dan individu harus mendidik masyarakat tentang pemusatan sumber daya dan kemudian melalui konsultasi dengan orang-orang terpercaya dari masyarakat mendistribusikan ke penerima di setiap kategori.

Selain itu, yang penting disadari juga adalah ketika zakat disalurkan melalui lembaga dan masjid, maka masyarakat harus diberitahu tentang distribusinya. Dengan kata lain, harus ada transparansi mutlak dalam pengumpulan dan pendistribusian zakat.

ISLAM KAFFAH

Alasan Kenapa Wanita Haid Wajib Qadha’ Puasa Sementara Shalat Tidak Wajib Qadha’

Haid adalah gejala alamiah yang dialami seorang wanita rutin sebulan sekali. Dalam kondisi haid dilarang shalat dan puasa. Hukumnya haram. Seandainya tetap shalat dan puasa tidak sah.

Namun ada yang berbeda tentang shalat dan puasa bagi perempuan yang sedang mengalami masa haid. Wanita haid tidak wajib mengganti shalat yang ditinggalkan sebab haid, akan tetapi puasa yang ditinggalkan sebab haid wajib diganti.

Inilah penjelasan fikihnya.

Ibnu Qudamah dalam kitabnya al Mughni menjelaskan, ulama sepakat perempuan yang mengalami haid dan nifas haram berpuasa. Akan tetapi mereka harus mengqadha’. Andai pun berpuasa maka puasanya tidak sah.

Ibnu Daqiq al ‘Id dalam kitabnya Ihkamul Ahkam Syarah ‘Umdatul Ahkam menjelaskan, menurut para ulama hikmah gugurnya qadha’ shalat bagi perempuan haid karena shalat dilakukan berulang-ulang setiap hari sehingga apabila perempuan haid diwajibkan qadha ‘shalat akan sangat memberatkan (masyaqqah). Beda halnya dengan puasa yang dilakukan hanya setahun sekali. Kewajiban qadha’ puasa bagi perempuan haid tidak mengandung masyaqqah. Pendapat senada disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Muhammad al Khatib al Syarbini dalam kitabnya Mughnil Muhtaj.

Demikian juga para ulama seperti Syaikh Zainuddin al Malibari dalam kitabnya Fathul Mu’in juga berpendapat demikian. Syaikh Abu Bakar Syatha al Dimyati dalam I’anatut Thalibin dan Imam Nawawi dalam kitabnya Al Majmu’ Syarah al Muhadzdzab juga berpendapat sama.

Pendapat para ulama tersebut didasarkan kepada hadits Aisyah riwayat Imam Muslim yang mengatakan, “Kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa, tetapi tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat”.

Kesimpulannya, alasan kenapa perempuan haid wajib qadha’ puasa karena masyaqqah atau kesulitannya ringan, sebab puasa hanya dilakukan setahun sekali. Sedangkan shalat tidak wajib qadha’ karena masyaqqahnya berat, sebab shalat dikerjakan berulang setiap hari. Alasan ini seperti disampaikan oleh Al Mawardi dalam kitabnya Al Jawi al Kabir.

ISLAM KAFFAH

Petugas Kesehatan Haji Diharap Maksimal Cegah Kematian Jamaah

Kepala Pusat Kesehatan Haji Budi Sylvana meminta seluruh pengelola kesehatan haji dan petugas kesehatan haji fokus pada angka kematian jamaah haji. Untuk itu petugas harus terus memberikan edukasi kepada jamaah haji agar mereka bisa menyesuaikan aktivitas ritual ibadah sunah dengan kondisi fisiknya.

“Dalam beberapa tahun ini, problem kita adalah angka kematian Jemaah Haji yang tinggi,” kata Budi saat Persiapan Kesehatan Masa Keberangkatan Haji 2022, beberapa hari lalu.

Menurutnya, sekitar dua permil angka kematian jamaah haji Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain. Artinya harus ada yang diperbaiki dalam penyelenggaraan ibadah haji, khususnya di bidang kesehatan.

“Kemungkinan salah satu penyebabnya adalah kelelahan akibat aktifitas ritual ibadah sunnah yang dilakukan oleh jamaah haji yang tidak disesuaikan dengan kondisi fisik mereka,” ujarnya.

Budi menghimbau kepada petugas kesehatan haji agar dalam memberikan edukasi disampaikan dengan cara yang sederhana. Sehingga pesan-pesan yang disampaikan mudah diingat dan dimengerti oleh jamaah haji.

“Dengan demikian edukasi yang kita sampaikan dapat diterapkan dalam kegiatan sehari-hari jamaah selama menjalankan ibadah haji,” katanya.

Budi mengatakan, petugas kesehatan harus selalu mengingatkan jamaah haji agar bisa menyesuaikan kondisi fisik dengan ritual ibadah sunah. Jangan sampai karena kelelahan jamaah tidak bisa menjalankan rukun dan wajib hajinya.

“Jamaah harus lebih mementingkan rukun dan wajib haji. Jangan sampai sakit sebelum rukun haji dilaksanakan,” pesan Budi.

Kerajaan Arab Saudi telah mengumumkan penyelenggaraan ibadah haji dengan beberapa persyaratan dan jumlah terbatas. Selain jumlah yang terbatas dan pembatasan usia 65 tahun, pada penyelenggaraan haji tahun ini Kerajaan Arab Saudi juga mewajibkan Vaksinasi Covid-19 lengkap untuk berangkat haji.

Untuk itu jamaah haji segera melakukan vaksinasi booster, apabila jarak waktu telah 3 bulan sejak vaksinasi COVID-19 kedua.

“Agar daya tahan tubuh lebih kuat tidak terkena COVID-19 di Arab Saudi nanti karena akan bertemu dengan 1 juta Jemaah Haji seluruh dunia,” katanya.

IHRAM

Lima Tuntunan Tatkala Mendengar Azan

Mengagungkan suara azan

Azan adalah syiar Islam yang agung, merupakan tanda iman, penangkal setan, membuat hati menjadi tentram, dan membuat jiwa menjadi tenang. Di dalam sunah-sunah yang meyertai azan terdapat pahala yang melimpah. Di sana ada pengampunan dosa, janji untuk dimasukkan ke surga, dan mendapat syafaat Nabi yang mulia. Oleh karena itu, seorang muslim selayaknya memuliakan dan mengagungkan suara azan yang didengarnya.

Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dari Al-Hafidz ‘Abdul Malik bin ‘Abdil ‘Aziz bin Juraij rahimahullah,

«حُدِّثت أن ناسا كانوا فيما مضى كانوا ينصتون للتأذين كإنصاتهم للقرآن فلا يقول المؤذن شيئا الا قالوا مثله»

Diceritakan bahwa dahulu orang-orang diam tatkala mendengarkan azan sebagaimana diamnya mereka ketika mendengarkan bacaan Al-Qur’an. Tidaklah muazin mengumandangkan azan, kecuali mereka menirukan suara yang diucapkan olehnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

«لا ينبغي لأحد أن يدع إجابة النداء »

Tidak layak bagi orang yang beriman untuk meninggalkan menjawab seruan azan.

Lima tuntunan ketika mendengar azan

Pertama: Mengucapakan seperti yang diucapkan oleh muazin.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

((إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ «اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ» فَقَالَ أَحَدُكُمُ «اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ» ، ثُمَّ قَالَ «أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ» قَالَ «أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ» ، ثُمَّ قَالَ «أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ» قَالَ «أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ» ، ثُمَّ قَالَ «حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ» قَالَ «لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ» ، ثُمَّ قَالَ «حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ» قَالَ «لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ» ، ثُمَّ قَالَ «اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ» قَالَ اللَّهُ «أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ» ، ثُمَّ قَالَ «لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ» قَالَ «لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ» مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ))

Jika muazin mengucapkan «اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ» dan salah seorang dari kalian juga mengucapkan «اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ». Kemudian muazin mengucapkan «أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ» dan dia pun mengucapkan «أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ». Kemudian muazin mengucapkan «أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ» dan dia pun mengucapkan «أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ». Kemudian muazin mengucapkan «حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ» dan dia mengucapkan «لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ». Kemudian muazin mengucapkan «حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ» dan dia mengucapkan «لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ». Kemudian muazin mengucapkan «اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ» dan dia pun mengucapkan «اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ». Kemudian muazin mengucapkan «لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ» dan dia pun mengucapkan «لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ». (Dan dia mengucapkan itu semua dengan penghayatan) dalam hatinya, maka dia akan masuk surga.” (H.R Muslim)

Kedua: Mengucapkan dua kalimat syahadat setelah selesai mendengar azan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

((مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ وَأَنَا أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ، رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا؛ غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ))

Barangsiapa ketika selesai mendengar muazin mengumandangkan azan mengucapkan,

وَأَنَا أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ، رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا

(Dan aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah Ta’ala semata, sesembahan satu-satunya, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Aku rida Allah sebagai Rabbku, Muhammad sebagai rasulku, dan Islam sebagai agamaku); maka akan diampuni dosa-dosanya. “ (HR. Muslim)

Ketiga: Mengucapakan selawat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

((إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ

Jika kalian mendengar muazin mengumandangkan azan, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh muazin kemudian berselawatlah kepadaku.“ (HR. Muslim)

Keempat: Mengucapkan doa setelah azan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

((مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ : اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ ؛ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ))

Barangsiapa ketika selesai mendengar azan mengucapkan :

(اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ )

(Ya Allah, Tuhan Pemilik seruan yang sempurna ini dan salat yang tegak, berilah Muhammad kedudukan dan keutamaan, dan bangkitkan beliau pada tempat terpuji yang telah Engkau janjikan kepadanya.); maka akan mendapatkan syafaatku pada hari kiamat.” (HR. Bukhari)

Kelima: Berdoa antara azan dan ikamah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

((الدَّعْوَةُ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ لاَ تُرَدُّ ؛ فَادْعُوا))

Doa antara azan dan ikamah tidak akan ditolak, maka berdoalah di waktu tersebut!“ (HR. Abu Dawud)

***

Penulis :  Adika Mianoki

Sumber: https://muslim.or.id/74458-lima-tuntunan-tatkala-mendengar-azan.html

Sabar Bagi Calon Jamaah Haji yang Belum Berangkat Tahun Ini

Calon jamaah haji di atas 65 tahun tak bisa berangkat tahun ini.

Sedihnya hati (sebut saja) bude, tetangga saya yang sudah berusia 67 tahun di tahun ini begitu mendengar informasi Arab Saudi sudah mengizinkan pengiriman jamaah haji dari seluruh dunia, tapi tidak bagi yang berusia di atas 65 tahun. Beliau yang sudah mendaftar haji sejak tahun 2012 dan seharusnya berangkat pada 2020 kemarin, harus kembali bersabar untuk bisa menyempurnakan rukun Islam-nya.

Seperti diketahui, pada awal April ini, Arab Saudi memberikan kuota haji untuk Indonesia pada tahun ini sebanyak 100.051 orang. Namun, dari jumlah yang kuran dari separuh kuota haji di masa normal itu, masih ada aturan yang mensyaratkan calon jamaah haji usianya tidak boleh lebih dari 65 tahun per 8 Juli 2022.

Berdasarkan data dari Puskes Haji Kemenkes, dari 221 ribu kuota jamaah tahun 2020, yang berusia kurang 65 tahun sebanyak 164.541 orang, dan usia di atas 65 tahun berjumlah 50.636 orang. Artinya 50.636 jamaah usia diatas 65 tahun tidak bisa diberangkatkan dengan alasan usia.

Tentu kita wajib syukuri dengan pemberian kuota haji dari Arab Saudi dengan jumlah yang sedikit itu. Apalagi, sejak dua tahun terakhir kita belum pernah lagi mengirimkan jamaah haji akibat pandemi.

Namun, bagi kondisi calon jamaah haji yang berusia di atas 65 tahun tak bisa berangkat, tentu kita prihatin. Dan, kita harap mereka bersabar dan kita doakan tahun depannya untuk bisa berangkat.

Dan  kita perlu ingat, kegagalan keberangkatan haji bukan hanya dialami oleh kita baru-baru ini saja. Namun, juga pernah dialami oleh Nabi Muhammad.

Seperti dikisahkan, pada tahun kedelapan Hijriyah negeri Makkah berhasil ditaklukkan, meski orang Quraisy sendiri yang memungkiri perjanjian Hudaibiyah. Di waktu menaklukkan Makkah itu, secara langsung beliau perintahkan menghancurkan dan meruntuhkan berhala-berhala itu.

“Dan beliau perintahkan Sayidina Bilal azan kepuncak Kabah,” kata Prof Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar.

Lalu, pada tahun kesembilan beliau perintahkan Abu Bakar as-Shiddiq menjadi Amirul-Hajj. Kemudian beliau usulkan dengan memerintahkan Ali bin AbuThalib membacakan Surat Baraah (at-Taubah), meyampaikan beberapa perintah.

“Di antaranya ialah bahwa tahun depan tidak boleh lagi ada orang yang tawaf keliling Ka’bah dengan bertelanjang,” katanya.

Menurut informasinya kata Buya Hamka, karena beliau tidak mau melihat orang telanjang bertawaf itulah maka beliau tidak naik haji tahun itu. Dan akhirnya memerintahkan Abu Bakar memimpin haji.

“Baru tahun depannya, di tahun kesepuluh beliau memimpin sendiri naik haji, setelah Ka’bah benar-benar bersih,” katanya.

Dan haji beliau yang terakhir itulah yang dinamai Haji Wada’ Haji Selamat Tinggal atau haji perpisahan. Setelah beberapa bulan dari itu Rasulullah wafat.

Jadi, sekali lagi kita harapkan calon jamaah haji yang belum bisa berangkat, jangan terlalu larut dalam kesedihan karena tidak jadi berangkat. Insya Allah, niat haji kita sudah sampai dan kita mendapatkan pahala.

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, disebutkan “Sesungguhnya Allah mencatat berbagai kejelekan dan kebaikan lalu Dia menjelaskannya. Barangsiapa yang bertekad untuk melakukan kebaikan lantas tidak bisa terlaksana, maka Allah catat baginya satu kebaikan yang sempurna. Jika ia bertekad lantas bisa ia penuhi dengan melakukannya, maka Allah mencatat baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipatnya sampai lipatan yang banyak.”

Sementara,Sa’id bin Al Musayyib, seorang ulama yang termasuk golongan tabi’in berkata, “Barangsiapa bertekad melaksanakan shalat, puasa, haji, umroh atau berjihad, lantas ia terhalangi melakukannya, maka Allah akan mencatat apa yang ia niatkan.”

Oleh : Muhammad Hafil, wartawan Republika

KHAZANAH REPUBLIKA

Puskes Haji Bentuk Tim Penilaian Kepuasan Layanan Kesehatan di Arab Saudi

Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan RI (Puskes Haji Kemenkes) akan melakukan penilaian tingkat kepuasan jamaah haji terhadap pelayanan kesehatan selama penyelenggaraan haji tahun 1443/2022.

Tim Surveilens Kesehatan Haji Puskes Haji telah menentukan sebanyak 750 jamaah akan diminta responsnya yang diambil secara proporsional. 

Ketua Tim Surveilens Kesehatan Haji, Rahmat Kurniadi, mengatakan penilaian ini untuk mengetahui tingkat kepuasan jamaah haji terhadap layanan kesehatan haji di Kloter, Sektor, dan Kantor Kesehatan Haji Indonesia (KKHI).  

“Pada tahun ini kita sedang menyiapkan instrumen penilaian tingkat kepuasan jamaah haji terhadap pelayanan kesehatan di Arab Saudi,” kata Rahmat Kurniadi, Kamis (29/4/2).  

Rahmat mengatakan, penilaian tingkat kepuasan jamaah terhadap layanan kesehatan ini perlu dilakukan. Sehingga petugas kesehatan haji mengetahui pelayanan apa saja yang masih perlu ditingkatkan oleh petugas kesehatan. “Jadi pelayanan kesehatan di Kloter, Sektor, dan KKHI perlu terus ditingkatkan,” ujarnya. 

Rahmat mengatakan, apa saja yang perlu dilakukan penilaian kepuasan jemaah pada pelayanan kesehatan tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2014. 

Di mana penilaian itu terdiri dari persyaratan, prosedur, waktu pelayanan, produk spesifikasi jenis kayanan, kompetensi pelaksana, perilaku pelaksana, maklumat pelaksana, penanganan pengaduan, saran, dan masukan.  

“Selanjutnya variabel tersebut di-breakdown ke dalam dimensi kepuasan yang terdiri dari lima aspek yaitu tangible (nyata), reliability (kehandalan), responsiveness (responsif), assurance (jaminan), dan empathy (empati). 

Sementara untuk cara pengambilan data kepuasan jammaah direncanakan akan memanfaatkan Google Form. Di mana responden akan mengisinya saat jamaah telah mendapatkan layanan kesehatan di KKHI maupun di tingkat kloter. “Mereka akan mengisinya secara mandiri atau bantuan tenaga terlatih lainnya,” katanya. 

IHRAM

Amalan Sunah Idul Fitri 2022 Sesuai Tuntunan Rasulullah

Idul Fitri merupakan momentum di mana kita dianjurkan melakukan amalan sunah tertentu yang tidak dapat dilakukan di luar Idul Fitri. Berikut ini adalah amalan sunah Idul Fitri yang perlu kita lakukan:

  1. Keutamaan melaksanakan kewajiban membayar zakat fitrah di malam idul fitri

Sebagaimana kita ketahui bahwasanya wajib bagi setiap individu umat Islam untuk membayar zakat fitrah. Waktu pembayarannya dimulai sejak bulan Ramadhan hingga sebelum Imam naik mimbar saat pelaksanaan salat id. Untuk waktu paling utama dalam pembayaran zakat fitrah ini ialah sejak ba’da maghrib di malam idul fitri hingga Imam naik mimbar salat id. Perlu diperhatikan agar jangan sampai terlambat melaksanakan pembayaran zakat fitrah hingga salat id dimulai.

  1. Sunah mengakhirkan waktu pelaksanaan salat idul fitri hingga matahari naik sepenggalah

Waktu pelaksanaan salat id sebaiknya diakhirkan hingga matahari naik sepenggalah baru dimulai. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-Syirazi dalam kitab al-Muhadzdzab Juz I, h. 222:

والأفضل أن يؤخرها حتى ترتفع الشمس قيد رمح والسنة أن يؤخر صلاة الفطر ويعجل الأضحى لما روى عبد الله بن أبي بكر بن محمد بن عمرو بن حزم عن أبيه عن جده أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كتب أن يقدم الأضحى ويؤخر الفطر

Artinya: “Yang paling utama ialah mengakhirkan pelaksanaan salat idul fitri hingga matahari naik sepenggalah, (berbeda dengan) salat idul adha yang sunah disegerakan. Berdasarkan hadis riwayat Abdullah ibn Abu Bakar bahwasanya Rasulullah Saw. memastikan untuk menyegerakan salat idul adha dan mengakhirkan salat idul fitri.

Dalam kitab al-Muhadzdzab juga disebutkan bahwa alasan mengapa salat idul fitri didahulukan ialah terkait dengan point 1 diatas, yakni keutamaan membayar zakat fitrah sebelum salat id sehingga sebaiknya waktu pelaksanaan salat idul fitri diakhirkan agar waktu pembayaran zakat fitrah bisa semakin memanjang:

ولأن الأفضل أن يخرج صدقة الفطر قبل الصلاة فإذا أخر الصلاة اتبع الوقت لإخراج صدقة الفطر

Artinya: “Karena yang utama ialah membayar zakat fitrah sebelum salat id, maka ketika salat id diakhirkan, waktu pembayaran zakat fitrah bisa ikut (memanjang)”.

  1. Sunah melaksanakan salat id di lapangan jika tidak hujan atau Masjidnya sesak

Masih menurut Imam al-Syirazi, salat id sebaiknya dilaksanakan di lapangan jika masjidnya sesak mengingat antusiasme umat Islam yang tinggi saat pelaksanaan salat id. Kesunnahan ini tidak berlaku jika masjidnya luas atau sedang dalam kondisi hujan:

المهذب في فقة الإمام الشافعي للشيرازي (1/ 222)

والسنة أن تصلي صلاة العيد في المصلى إذا كان مسجد البلد ضيقاً … وإن كان يوم مطر صلى في المسجد … وإن كان المسجد واسعا فالمسجد أفضل

Artinya: “Sunah melaksanakan salat id di (lapangan) tempat salat jika masjid sesak… jika hujan, maka salat di masjid… dan jika masjid luas, maka lebih utama salat di masjid.

  1. Sunah mandi, berhias diri dan memakai wewangian sebelum berangkat salat id

Berdasarkan pada kebiasaan Sahabat Ibnu Umar Ra., yakni:

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى

Dari Nafi’, (ia berkata bahwa) Sahabat Abdullah ibn Umar biasa mandi di hari Idul Fitri sebelum ia berangkat pagi-pagi ke tanah lapang. (HR. Malik dalam Al-Muwatho’ 426.)

Dari atsar (perilaku sahabat Nabi) diatas, Imam Nawawi menyatakan bahwa para ulama sepakat akan disunnahkannya mandi untuk shalat ‘ied, apalagi kita tahu bahwa mandi sebelum salat Jumat juga disunahkan mengingat saat itu adalah saat berkumpulnya orang banyak sehingga untuk salat id pun sama. Dengan demikian, kesunnahan jumat yang lain pun seperti berhias diri dan memakai wewangain ikut disunahkan dalam salat id.

Memakai wewangian dan berhias diri ini disunahkan bagi lelaki. Sementara bagi perempuan, sebaiknya menghindari hal ini agar tidak menimbulkan fitnah kecuali jika tujuan memakai wewangian dan berhias diri yang ia lakukan adalah untuk menyenangkan suami.

  1. Berhias diri, memakai wewangian dan memakai pakaian terbaik

Sahabat Jabir RA menyatakan bahwasanya Nabi Saw. memiliki pakaian terbaik yang khusus beliau kenakan di moment spesial yakni salat id dan salat Jumat:

كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُبَّةٌ يَلْبَسُهَا لِلْعِيْدَيْنِ وَيَوْمِ الجُمُعَةِ

Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki jubah khusus yang beliau gunakan untuk Idul Fithri dan Idul Adha, juga untuk digunakan pada hari Jum’at.” (Sahih Ibnu Khuzaimah, No. 1765)

Imam Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayah al-Zain menyebutkan bahwa pakaian terbaik adalah pakaian warna putih meskipun tidak baru untuk salat Jumat dan pakaian baru untuk salat id.

  1. Makan sebelum menghadiri salat idul fitri

Menurut Imam al-Syirazi, disunahkan makan sebelum menghadiri salat idul fitri, berkebalikan dengan idul adha:

والسنة أن يأكل في يوم الفطر قبل الصلاة ويمسك في يوم النحر حتى يفرغ من الصلاة

Artinya: “Sunah makan sebelum salat di hari idul fitri, dan tidak makan sebelum salat di hari idul adha”.

Kesunahan yang dimakan sebelum melaksanakan salat idul fitri ialah kurma dalam jumlah yang ganjil seperti 3, 5, atau 7 butir. Sementara di hari idul adha mengapa makannya sesudah salat karena agar bisa lahap ketika menikmati daging kurban yang disembelih sesudah salat.

  1. Memperbanyak bacaan takbir

Dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 185 terdapat perintah untuk memperbanyak takbir sesudah puasa Ramadhan selesai:

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

wa litukabbirullāha ‘alā mā hadākum wa la’allakum tasykurụn

Artinya: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”

  1. Saling mengucapkan selamat

Jubair ibn Nufair sebagaimana tertulis dalam kitab Fath al-Bari: juz II, h. 446 meriwayatkan bahwa para Sahabat Nabi saling mengucapkan selamat saat berjumpa di hari raya baik idul fitri maupun idul adha:

فعن جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك

Artinya: “Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa dengan hari ‘ied (Idul Fithri atau Idul Adha, pen), satu sama lain saling mengucapkan, “Taqabbalallahu minna wa minka” (Semoga Allah menerima amalku dan amalmu).”

  1. Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda saat menghadiri salat id

Dalam kitab Sahih Bukhari, hadis no. 986 disebutkan bahwa Sahabat Jabir Ra. Meriwayatkan:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ

Artinya: “Nabi Saw. di hari id, beliau membedakan jalan antara pergi dan pulang.

Diantara hikmah membedakan jalan pergi dan pulang ialah agar semakin banyak tetangga yang dijumpai dan disapa sepanjang jalan pergi dan pulang serta agak semakin lebar bumi yang kita injak yang saat menuju pelaksanaan ibadah salat id dimana kelak bumi akan menjadi saksi atas amalan-amalan ibadah kita.

Itulah beberapa amalan sunah idul fitri yang diajarkan oleh Rasulullah dan para ulama salaf. Semoga kita dapat melakukannya di hari lebaran nanti.

Wallahu a’lam bi shawab

BINCANG SYARIAH

Apakah Fakir dan Miskin Wajib Mengeluarkan Zakat Fitrah?

Salah satu golongan yang berhak menerima zakat fitrah adalah fakir dan miskin. Tetapi, terkadang akibat dari menerima pemberian zakat, membuat sebagian dari mereka dapat mencukupi kebutuhannya di hari kewajiban membayar zakat. Lantas, apakah fakir dan miskin wajib mengeluarkan zakat fitrah? 

Menurut Imam Ghazali miskin adalah seseorang yang pengeluarannya tidak seimbang dengan pemasukan. Artinya, pengeluaran lebih besar daripada pendapatan. Dengan demikian, boleh jadi orang yang memiliki harta banyak disebut miskin karena kebutuhannya lebih besar dari harta yang tersedia.

Sedangkan fakir adalah orang yang lebih parah kondisi ekonominya dibandingkan orang miskin. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Mughni al-Muhtaj, juz 3 halaman 106 berikut,

قَالَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ الْمِسْكِينُ هُوَ الَّذِي لَا يَفِي دَخُلُهُ بِخَرَجِهِ فَقَدْ يَمْلِكُ ألْفَ دِينَارٍ وَهُوَ مِسْكِينٌ وَقَدْ لَا يَممْلِكُ إِلَّا فَأْسًّا وَحَبْلًا وَهُوَ غَنِيٌّ وَالْمُعْتَبَرُ فِي ذَلِكَ مَا يَلِيقُ بِالْحَالِ بِلَا إِسْرَافٍ وَلَا تَقْتِيرٍ

Artinya : “Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’-nya mengatakan bahwasanya orang miskin adalah orang yang penghasilannya tidak mencukupi pengeluarannya (kebutuhannya), terkadang ia memiliki seribu dirham sementara ia miskin, dan terkadang memiliki kapak dan tali sementara ia orang kaya.

Dalam hal demikian, yang perlu diperhatikan adalah yang layak dengan keadaannya tanpa adanya israf (menghambur-harmburkan harta) dan terlalu hemat.”

Orang fakir dan miskin tetap wajib membayar zakat fitrah apabila dalam dirinya memenuhi dua syarat :

Pertama, memiliki kelebihan kadar satu sa’ (kurang lebih 2  1/2, Kg ) makanan dari yang dibutuhkan untuk dirinya sendiri, keluarga dan orang yang ia tanggung nafakahnya pada hari itu. Kedua, memiliki kelebihan dari sandang, pangan, papan dan kebutuhan-kebutuhan pokok (primer) lainnya. Sebagaimana dalam penjelasan kitab Fiqh al-Zakat, juz 2, halaman 391 berikut,

شَرْطُ وُجُوبِ الْفِطْرَةِ عَلَى الْفَقِيرِ

وَشَرْطُ الْجُمْهُورِ لِإِيجَابِ هَذِهِ الزَّكَاةِ عَلَى الْفَقِيرِ أَنْ يَكُونَ عِنْدَهُ مِقْدَارُهَا فَاضِلًا عَنْ قُوْتِهِ وَقُوتِ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ لَيْلَةَ الْعِيدِ وَيَوْمِهِ، وَأَنْ يَكُونَ فَاضِلًا عَنْ مَسْكَنِهِ وَمَتَاعِهِ وَحَاجَاتِهِ الْأَصْلِيَّةِ.فَمَنْ كَانَ لَهُ دَارٌ يَحْتَاجُ إِلَيْهَا لِسُكْنَاهَا أَوْ إِلَى أَجْرِهَا لِنَفَقَتِهِ، أَوْ ثِيَابِ بَذْلِهِ لَهُ أَوْ لِمَنْ تَلْزَمُهُ مُؤْنَتُهُ، أَوْ بَهَائِمُ يَحْتَاجُ إِلَى رُكوبِهَا وَالْاِنْتِفَاعِ بِهَا فِي حَوَائِجِهِ الْأَصْلِيَّةِ، أَوْ سَائِمَةُ يَحْتَاجُ إِلَى نمَائِهَا كَذَلِكَ

Artinya : “ Syarat kewajiban zakat fitrah bagi fakir : jumhur mensyaratkan agar orang fakir dikenai kewajiban zakat memiliki kelebihan kadar makanan untuk dirinya dan orang yang ia tanggung nafakahnya pada hari itu (hari raya Idul Fitri), memiliki kelebihan dari sandang, pangan, papan, dan kebutuhan-kebutuhan primer.

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa orang fakir dan miskin tetap wajib membayar zakat fitrah apabila dalam dirinya memenuhi dua syarat.

Memiliki kelebihan kadar satu sa’ (kurang lebih 2  1/2, Kg ) makanan dari yang dibutuhkan untuk dirinya sendiri, keluarga dan orang yang ia tanggung nafakahnya pada hari itu dan memiliki kelebihan dari sandang, pangan, papan dan kebutuhan-kebutuhan pokok (primer) lainnya.

Demikianlah penjelasan mengenai penjelasan hukum fikih terkait fakir dan miskin wajib mengeluarkan zakat fitrah?. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Memburu Cinta Allah Melalui Ibadah Zakat

Zakat dalam Islam merupakan sebuah perintah Allah SWT yang harus ditunaikan oleh setiap insan yang mengaku muslim dan mampu mengeluarkannya. Ia termasuk dari salah satu rukun Islam yang lima dan menempati urutan yang ke tiga setelah shalat dan puasa

Perintah menunaikan zakat tersebut terekam jelas di dalam Alquran. Di dalam Alquran dijelaskan bahwa harta yang dimilikinya sejatinya merupakan titipan Allah SWT yang harus diteruskan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. 

Dalam arti, bahwa setiap hamba merupakan persambungan tangan Allah untuk meneruskan amanatnya kepada penduduk bumi. Sebagai wakil Tuhan, maka dia tidak boleh koruspi atas tugas-tugas yang sedang ia emban tersebut agar senantiasa menjadi pemimpin yang amanah, loyal, integritas dan peduli terhadap sesamanya.

Sesungguhnya harta yang dimiliki oleh setiap insan tersebut merupakan titipan Allah yang harus disampaikan kepada orang-orang yang lebih berhak menerimanya. Karena itu harus disalurkan. Perintah zakat sejatinya merupakan serangkaian kegiatan ibadah yang bertujuan untuk mengembalikan harta tersebut kepada mereka yang lebih berhak menerima dan membutuhkan daripadanya. Dalam Alquran berbunyi:

وفي اموالهم للسآئل والمحروم

  “Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta” (QS. Adz-Dzariyat, ayat 19).

Rifqi Fairuz, mengutip pernyataan Prof. Quraish Shihab dalam bukunya “Islam Yang Saya Anut; dasar-dasar Ajaran Islam”, menjelaskan bahwa dalam al-Quran, redaksi perintah zakat sering menggunakan kata “aatu az-zakat”. 

Kata aatu ini merupakan akar dari beragam kata dengan ragam makna, antara lain: istiqamah, cepat, segera dan bergegas melakukan sesuatu, mengantar, dan memudahkan jalan. Dari sini, ragam kata redaksi perintah zakat tersebut memiliki hikmah tersendiri dalam pelaksanaan zakat (islami.co 22 Mei 2020).

Jadi, perintah zakat menjadi sebuah keharusan yang harus disegerakan supaya semua hamba-Nya dapat merasakan kenikmatan yang sudah Allah siapkan untuk mereka. Dalam kitab Al Mawaidz Al ‘Ushfuriyyah karya Syekh Muhammad bin Abu Bakar Al-Ushfuri dijelaskan bahwa Allah memiliki sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim.

Dengan sifat Ar-Rahman, Allah masih memberikan haknya kepada hamba-hamba-Nyalaya meskipun ia ingkar, layaknya makan, tempat tidur dan seluruh kebutuhan hidupnya secara menyeluruh kepada seluruh hamba, tidak terkecuali kepada mereka yang beragama non-muslim.

Lihat misalnya kisah Nabi Ibrahim as yang mendapatkan teguran dari Allah lantaran enggan memberikan makanan kepada non-muslim. Kepada non-muslim saja Allah tetap memberikan haknya terus kenapa dalam urusan mengeluarkan zakat yang merupakan kewajiban pokok umat muslim masih berat melakukannya?. 

Syekh Muhammad bin Abu Bakar Al-Ushfuri mengutip sebuah hadist: 

الراحمون يرحمهم الرحمن، ارحموا من في الارض يرحمكم من في السماء

“Para Penyayang itu akan disayang Allah, Sayangilah siapapun yang ada di bumi, niscaya ia akan disayang oleh para penduduk yang ada di langit”.

Hadis tersebut menekankan akan pentingnya untuk saling mencintai satu sama lain. Mencintai harus dasar ikhlas. Karena hal itu akan menyebabkan dirinya disayang Tuhan. Melalui perintah zakat sejatinya adalah untuk menanamkan rasa spirit saling cinta untuk sesamanya supaya terjalin rasa simpati dan empati di antara mereka.

Sebelumnya, sudah dilakukan serangkaian ibadah puasa selama satu bulan penuh untuk membangkitkan semangat solidaritas, sehingga melalui pendidikan puasa tersebut agar seluruh umat muslim dapat merasakan lapar sebagaimana telah dirasakan selama ini oleh saudaranya yang fakir dan miskin tersebut. 

Dengan demikian, dengan memasukkan kebagian melalui pendidikan zakat tersebut, kata Syekh Muhammad bin Abu Bakar, mengutip hadist yang lain, adalah lebih baik dari beribadah 60 tahun (hal. 155).

Alhasil, di dalam menunaikan ibadah zakat fitrah di sini harus dilepaskan dari rasa sesuatu apapun yang sekiranya dapat mengotori niat baik untuk menjalankan tugasnya berupa ibadah zakat ini. 

Dalam menunaikan ibadah zakat ini harus dengan dasar ikhlas supaya menjadi hamba yang dapat disayang Tuhan, didasari rasa sayang dan tanpa pamrih (QS. Al-Baqarah, (2): 264). Inilah kata Syekh Abdul Qodir Jailani yang disebut berinfak di jalan Allah (Ali Imran, (3): 92). Selamat Merenungkan pesan-pesan Allah SWT yang sarat dengan cinta. (*)

BINCANG SYARIAH

Amalan Ulama Salaf di Sepuluh Hari Pertama dan Terakhir Bulan Ramadhan

Para ulama salaf bersedih berpisah dengan Ramadhan, inilah amalah ulama salaf di sepuluh hari pertama dan terakhir bulan Ramadhan

DARI  Abu Said Al Khudri bahwasannya Rasulullah  ﷺ bersabda, ”Sesungguhnya aku telah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari pertama untuk menemukan mala mini (lailatul qadr), kemudian aku melakukan i’tikaf di sepuluh malam kedua. Lalu ada yang datang kepadaku, dikatakan kepadaku,’ Sesungguhnya ia (lailatul qadr) berada di sepuluh  hari terakhir, barang siapa dari kalian menyukai i’tikaf maka hendaklah ia beri’tikaf (Riwayat Ibnu Hibban dan Ash Shahih).

Hadits di atas menunjukkan bahwasannya Rasulullah ﷺ, ketika belum jelas bagi beliau malam lailatul qadr, beliau melakukan i’tikaf di sepuluh hari pertama dan kedua. Namun setelah mengetahui, beliau melaksanakan i’tikaf di sepuluh hari terakhir hingga wafat. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 325).

Inilah yang juga dilakukan oleh para ulama semisal Khatib As Syarbini, ulama Mesir penulis Mughni Al Muhtaj. Tatkala terlihat hilal Ramadhan, beliau bergegas dengan perbekalan yang cukup untuk ber’itikaf di Masjid Al Azhar, dan tidak pulang, kecuali setelah selesai menunaikan shalat ied. (lihat, biografi singkat As Syarbini dalam Mughni Al Muhtaj, 1/5).

Membaca Al Qur`an

Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al Qur`an. Bahkan Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya, bahwa di tiap tahunnya Jibril Alaihissalammembacakan Al Qur`an kepada Rasulullah ﷺ, dan itu dilakukan di tiap-tiap malam selama Ramadhan.

Oleh sebab itu, dengan berpedoman dengan hadits ini, Al Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa terus-menerus membaca Al Qur`an di bulan Ramadhan akan menambah kemuliaan bulan itu. (Fath Al Bari, 9/52).

Adalah Aswad bin Yazid An Nakha’i Al Kufi. Bahwa beliau mengkhatamkan Al-Qur`an dalam bulan Ramadhan setiap dua hari, dan beliau tidur hanya di waktu antara maghrib dan isya, sedangkan di luar Ramadhan beliau menghatamkan Al Qur`an dalam waktu 6 hari. (dalam Hilyah Al Auliya, 2/224).

Adapula Qatadah bin Diamah, dalam hari-hari “biasa”, tabi’in ini menghatamkan Al Qur`an sekali tiap pekan, akan tetapi tatkala Ramadhan tiba beliau menghatamkan Al Qur`an sekali dalam tiga hari, dan apabila datang sepuluh hari terakhir beliau menghatamkannya sekali dalam semalam. (dalam Hilyah Al Auliya, 2/228).

Sedekah

Amalan sedekah amatlah dianjurkan di bulan Ramadhan. Demikian juga yang dilakukan oleh Imam Ahmad, ketika datang peminta-minta kepadanya, maka ia berikan dua potong  roti yang telah dipersiapkan untuk berbuka. Karena menyekahkan roti itu, akhirnya Imam Ahmad pun tidak berbuka, hingga paginya berpuasa.  (Lathaif Al Ma’arif, hal. 314).

Sepuluh Hari Terakhir

Dari Aisyah Radhiyallahu anha bahwasannya Rasulullah  ﷺ jika berada di sepuluh hari terakhir mengencangkan ikatan sarungnya dan menghidupkan malamnya,  serta membangunkan keluarganya. (Riwayat Al Bukhari).

Dengan demikian, amalan-amalan yang dikerjakan di sepuluh hari terakhir adalah beberapa hal seperti:

Menghidupkan Malam dan Membangunkan Keluarga

Apa yang dilaksanakan oleh Rasulullah  ﷺ di sepuluh hari terakhir diikuti oleh para ulama. Sufyan Ats Tasuri menyatakan,”Perkara yang paling aku sukai ketika di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan adalah melaksanakan shalat tahajjud, dan bersungguh-sungguh dalam hal itu, membangunkan kelaurga dan anak untuk melaksanakan shalat jika mereka mampu.” (Latha`if Al Ma’arif, hal. 341).

Sebagaimana Ibnu Abbas membangunkan keluarganya dengan memercikkan air kepada mereka di malam 23 di bulan Ramadhan. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 365).

Menjauh dari Perempuan

Para ulama, semisal Sufyan Ats Tsauri menafsirkan “mengencangkan ikatan sarung” adalah menjauh dari perempuan. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 341).

Membersihkan Diri dan Berhias

Dalam hadits disebutkan oleh Aisyah Radhiyallahu’anha bahwasannya Rasulullah  ﷺ mandi di antara dua Isya. (Riwayat Ibnu Abi Ashim). Yakni pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, dan yang dimaksud dua Isya adalah Maghrib dan Isya.

Ibnu Jarir menyatakan bahwasannya para ulama menyatakan sunnahnya mendi di setiap malam di sepulu hari terakhir pada bulan Ramadhan. Sebagaiaman An Nakha’i mandi di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.

Sedangkan Anas Bin Malik, jika memasuki malam ke dua puluh empat, maka beliau mandi dan memakai wewangian serta menggunakan pakaian baru dengan sarung yang dilapisi dengan jubah namun ketika pagi ia mengenakan pakaian yang biasa ia kenakan. Sedangkan Ayyub As Sakhthiyani mandi  di malam dua puluh tiga.

Hammad bin Salamah berkata, ”Tsabit Al Bunani dan Humaid Ath Thawil mengenakan pakaian terbagus meraka dan memakai wewangian, dan mereka memberi wewangian untuk masjid di malam-malam yang diharakan sebagai lailatul qadr. Tsabit Al Bunani berkata, ”Tamim Ad Dari memiliki pakaian seharga seribu dirham, yang ia pakai di malam-malam yang diharapkan sebagai lailatul qadr. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 346, 347).

I’tikaf

I’tikaf di seluruh malam bulan Ramadhan memang disyari’atkan namun melaksanakannya di sepuluh hari terakhir lebih ditekankan. Dari Aisyah Radhiyallahu’anha bahwasannya Rasulullah ﷺ melaksanan i’tikaf di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah Ta’ala memanggil beliau. (Riwayat Al Bukhari).

Bersungguh-sungguh dalam Amalan Siang dan Malam

Imam Asy Sya’bi menyatakan bahwa malam lailatul qadr sama dengan siangnya. Demikian pula Imam Asy Syafi’i, ”Sunnah menjadikan kesungguhan dalam beribadah di malamnya sama dengan kesungguhan di siang harinya. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 368).

Perpisahan dengan Ramadhan

Para salaf dalam beribadah di bulan Ramadhan amat bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mencapai kesempurnaan, lalu mereka berharap agar amalan itu diterima. Malik bin Dinar menyatakan, ”Ketakutan akan tidak diterimanya amal lebih berat dari amalan itu sendiri.”

Jika demikian, tidaklah mengherankan jika sebagian salaf mengatakan, ”Mereka berdoa kepada Allah selama enam bulan agar sampai kepada Ramadhan, kemudian berdoa kepada-Nya selama enam bulan agar amalan mereka diterima-Nya. (Latha`if Al Ma’arif, hal. 375,376).

Pada hari raya Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan berkhutbah, ”Wahai manusia, kalian telah berpuasa selama tiga puluh hari dan kalian telah melakukan qiyam selama tiga puluh malam, dan saat ini kalian keluar untuk mengharap agar Allah menerima apa yang telah kalian perbuat.” (Latha`if Al Ma’arif, hal. 376).

Sebagian salaf pernah terlihat bersedih pada hari raya, saat itu ada yang menyatakan kepadanya, ”Sesungguhnya hari ini adalah hari untuk bergembira!” Kemudian ia pun menjawab, ”Benar, akan tetapi aku adalah seorang hamba yang mana tuanku memerintahkanku untuk melaksanakan amalan untuknya, dan aku pun tidak tahu apakah hal itu diterima atau tidak?” (Latha`if Al Ma’arif, hal. 376).*

HIDAYATULLAH