Panjang Ideal Jenggot dan Hukumnya

Para ulama berbeda pendapat terkait hukum dan panjang ideal jenggot. Namun, jelas bahwa memelihara jenggot dan tidak mencukurnya adalah termasuk perbuatan Nabi Muhammad SAW dan telah ditegaskan dalam syariat Islam.

Rasulullah SAW biasa memangkas jenggotnya dan memangkas bagian samping dan atasnya agar sesuai dengan kontur wajahnya. Beliau juga biasa membasuh jenggotnya dengan air dan menyisirnya.

Juga diketahui bahwa para Sahabat Nabi meniru tindakan tersebut. Ada teks-teks Nabi yang mendukung pemeliharaan dan perawatan jenggot sebagaimana ada teks-teks yang mendukung penggunaan siwak dan memotong kuku dan kumis.

Beberapa ahli hukum menganggap nash-nash tersebut sebagai dalil yang menunjukkan bahwa tindakan-tindakan tersebut adalah wajib, dan menurut pendapat ini, mencukur jenggot adalah dilarang.

Sebagian ahli fikih lainnya memahami nash-nash tersebut sebagai anjuran, dan menurut pendapat ini, memelihara jenggot adalah sunnah, dan orang yang memeliharanya akan mendapat pahala dan tidak akan mendapat siksa jika meninggalkannya.

Secara umum, perbedaan pendapat tentang jenggot terbagi menjadi dua. Yang pertama berpendapat memelihara jenggot adalah wajib sehingga haram mencukurnya sedangkan yang kedua berpendapat memelihara jenggot adalah sunnah sehingga boleh mencukurnya.

Adapun pendapat pertama yang melarang mencukur jenggot, dalil-dalil yang digunakan adalah dalil-dalil yang menganjurkan kaum muslimin untuk memanjangkan jenggotnya untuk membedakannya dengan orang kafir.

Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Ada sepuluh perkara yang termasuk fitrah, yaitu memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, menghirup air dan mengeluarkannya dari hidung untuk membersihkannya, memotong kuku, membersihkan ruas-ruas jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, dan mengurangi penggunaan air.” Sebagian perawi berkata, “Dan saya lupa yang kesepuluh, yaitu berkumur-kumur dengan air.”

Para ulama Syafi’iyah yang berpendapat bahwa hukum memelihara jenggot wajib adalah Ibnu Rif’ah, Al Halimi, Al Qaffal Asy Syasyi, Al Adzra’I, Az Zarkasyi, Ibnu Hajar dalam Al I’ab, Ibnu Ziyad, serta Al Malibari . (lihat, Hasyiyah Asy Syarwani ala At Tuhfah, 9/376)

Adapun pendapat kedua adalah pendapat ulama Syafi’iyah yang berpendapat bahwa mencukur jenggot tidak dilarang. Mereka mendasarkan pendapatnya pada pemahaman mereka terhadap perintah yang berkaitan dengan adat kebiasaan, makanan, minuman, pakaian, tempat duduk, dan sebagainya yang dipahami sebagai anjuran dan bukan kewajiban.

Baca juga: Dalam Madzhab Asy Syafi’i Pelihara Jenggot, Wajib atau Sunnah?

Mereka menggunakan contoh perintah untuk mewarnai pakaian dan shalat dengan sandal untuk membuktikan bahwa ini bukan perintah yang mewajibkan, melainkan anjuran, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Hajr al-`Asqlani dalam komentarnya atas Sahih Bukhari.

Sementara para ulama yang menyatakan bahwa mememlihara jenggot adalah sunnah adalah Imam Ar Rafi’i, Imam An Nawawi, Imam Al Ghazali, Syeikh Al Islam Zakariyah Al Anshari, Khatib Asy Syarbini, Ibnu Hajar dala At Tuhfah, Ar Ramli dalam An Nihayah dan lainnya seperti Al Bujairmi, Abu Bakr Satha Ad Dimyathi serta lainnya. (lihat, Hasyiyah Asy Syarwani ala At Tuhfah, 9/376, Hasyiyah Al Bujarmi ala Al Khatib, 5/ 261, Hasyiyah Bughyatul Mustarsyidin, 1/286, Hasyiyah I’anatuth Thalibin, 2/386)

Sebagaimana disebutkan di atas, Nabi SAW biasa memangkas jenggotnya dan menggunting bagian sisinya. Beberapa ulama membolehkan memotong rambut jenggot yang melebihi jumlah yang dapat digenggam dalam kepalan tangan karena ini adalah praktik Ibnu Umar. Hal yang paling penting dari memelihara jenggot adalah menjaga penampilan agar tidak memberikan kesan yang buruk terhadap umat Islam.

Berdasarkan hal ini, jelaslah bahwa ada perdebatan ilmiah yang sah mengenai hukum memelihara jenggot. Ketika ada perbedaan pendapat ulama dalam suatu masalah, maka yang lebih utama adalah menghindarinya.

Namun, jika hal ini tidak memungkinkan, maka umat Islam harus mengikuti para ulama yang membolehkannya. Oleh karena itu, memelihara jenggot dibolehkan, tetapi tidak diwajibkan, dan membiarkannya tumbuh hingga sekepalan tangan, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Umar.

Disadur dan diterjemahkan dari laman resmi Darul Ifta, lembaga fatwa Islam Mesir

HIDAYATULLAH

Arab Saudi Umumkan Tanggal Kedaluwarsa Visa Umroh 15 Dzulqaidah

Tanggal kedaluwarsa visa umroh dimajukan dari sebelumnya 29 Dzulqaidah.

Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi mengumumkan 15 Dzulqaidah akan menjadi hari terakhir berakhirnya masa berlaku visa umroh bagi jamaah yang datang dari luar Kerajaan.

“Dimajukannya tanggal kedaluwarsa visa umroh dari 29 Dzulqaidah menjadi 15 Dzulqadah adalah untuk kelancaran arus jamaah ke kota-kota suci Makkah dan Madinah dari seluruh dunia untuk ziarah tahunan haji,” menurut kementerian, dilansir dari Saudi Gazette, Senin (15/4/2024).

Kementerian juga mencatat masa berlaku visa umroh tiga bulan akan dianggap dimulai sejak tanggal penerbitannya, bukan masa berlaku yang disetujui sebelumnya sejak tanggal masuk ke Arab Saudi. Kementerian mengklarifikasi hal ini sebagai tanggapan atas sejumlah pertanyaan yang diajukan melalui platform X-nya.

Kementerian menjelaskan masa berlaku visa umroh adalah tiga bulan sejak tanggal penerbitannya, dengan ketentuan masa berlakunya paling lambat 15 Dzulqaidah, dan itu sesuai dengan koordinasi yang dibuat antara Kementerian Haji dan Umrah dan Kementerian Luar Negeri.

“Tanggal 15 Dhulqadah ini disetujui, dua minggu (14 hari) lebih awal dari tanggal kedaluwarsa 29 Dhulqadah yang diumumkan sebelumnya,” katanya.

Bulan Ramadhan biasanya menandai musim puncak umroh ketika umat Islam dari seluruh dunia berduyun-duyun ke Masjidil Haram. Karenanya Komisi Kerajaan untuk Kota Makkah dan Situs Suci sampai harus mengimbau seluruh jamaah umroh untuk tidak memaksakan diri sholat di dalam masjidil Haram. Menurutnya, sholat di area masjid di manapun, selama masih di dalam batas Masjidil Haram akan sama besar nilai pahalanya.

“Menunaikan sholat di seluruh area Masjidil Haram sama-sama mendapat pahala yang besar,” kata komisi, dilansir dari Saudi Gazette, Rabu (20/3/2024).

Tahun ini, Kerajaan Arab Saudi (KSA) juga telah meluncurkan mobil golf pintar untuk membantu para peziarah umroh melakukan ritual tawaaf di sekitar Ka’bah suci di Masjid Agung di Makkah. Inisiatif ini bertujuan membantu individu dengan kebutuhan khusus, lansia, dan individu yang cacat fisik dalam melakukan ziarah umroh dengan mudah dan meyakinkan.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi juga mengumumkan jamaah khusus di bulan Ramadhan, jamaah yang sudah pernah melakukan umroh tidak diperbolehkan mengulangi. Peraturan ini bertujuan mengurangi kepadatan yang berlebihan.

IHRAM

Update Terbaru: Pemegang Semua Jenis Visa dari Arab Saudi Kini Bisa Umroh  

Arab Saudi permudah aturan visa untuk umroh

Arab Saudi mengumumkan bahwa setiap orang yang memegang berbagai jenis visa kini diizinkan untuk melakukan ibadah umroh dengan mudah. 

Pengunjung dari mana saja dan dengan visa apa pun bisa menunaikan umroh dengan mudah dan nyaman.

Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi menyatakan, ibadah umroh dapat diakses oleh pemegang semua visa, termasuk visa pribadi, keluarga, transit, tenaga kerja, dan e-visa. “Apapun jenis visanya, Anda bisa melakukan umroh,” tambahnya, dilansir Gulf News, Kamis (25/4/2024).

Jamaah didorong untuk menggunakan aplikasi Nusuk untuk mendapatkan izin umroh dan mematuhi waktu yang ditentukan untuk ibadah di Masjidil Haram di Makkah. 

Selain itu, platform Nusuk memfasilitasi berbagai prosedur, termasuk pengaturan akomodasi, bagi umat Islam yang berencana melakukan umroh  dan mengunjungi Madinah.

Dalam beberapa bulan terakhir, kerajaan telah memperkenalkan sejumlah fasilitas bagi umat Islam luar negeri untuk datang ke negara tersebut untuk melakukan umroh.

Inisiatif ini bertujuan untuk mengakomodasi jutaan umat Islam di seluruh dunia yang melakukan umroh , terutama mereka yang mungkin tidak dapat berpartisipasi dalam ibadah haji tahunan karena kendala fisik atau keuangan.

Peningkatan terkini termasuk memperpanjang durasi visa umroh  dari 30 menjadi 90 hari, memungkinkan masuk melalui semua pelabuhan darat, udara, dan laut, dan menghilangkan persyaratan bagi jamaah perempuan untuk didampingi oleh wali laki-laki.

Selain itu, ekspatriat di negara-negara Dewan Kerjasama Teluk dan pemegang visa Schengen, Amerika Serikat, dan Inggris kini dapat membuat janji umroh melalui aplikasi Nusuk sebelum tiba di Arab Saudi.

Tidak hanya itu, pemerintah Arab Saudi juga telah meluncurkan call center multibahasa baru untuk meningkatkan komunikasi dengan para jamaah dari seluruh dunia, nomornya yaitu “1966”.

Hal tersebut atas inisiatif Menteri Haji dan Umroh, Tawfiq Al Rabiah, pada saat Forum Umroh dan Ziarah berlangsung dengan didukung sembilan bahasa untuk memberikan pengalaman yang baik untuk para jamaah yang akan berkunjung ke Arab Saudi.

Visa umroh kini juga berlaku selama tiga bulan atau 90 hari sejak tanggal penerbitannya. Ini mengacu pada aturan baru yang dikeluarkan oleh Kementerian Haji dan Umroh Kerajaan Arab Saudi.

Dilansir Gulf News, Senin (15/4/2024), perubahan tersebut merupakan bagian dari upaya terkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri Saudi untuk menyederhanakan persiapan musim haji tahunan.

Pengumuman tersebut disampaikan sebagai jawaban atas berbagai pertanyaan pada platform “X”. Hal ini sekaligus menandai perubahan dari sistem sebelumnya yaitu masa berlaku tiga bulan dimulai setelah pemegang visa masuk ke Arab Saudi.

Kementerian Saudi menambahkan bahwa masa berlaku visa umroh tiga bulan sejak tanggal penerbitan ini dengan ketentuan batas akhir masa berlakunya paling lambat 15 Dzulqadah.

Kementerian menekankan bahwa perubahan tersebut bertujuan untuk mengelola masuknya dan aktivitas jamaah menjelang dan selama musim haji dengan lebih baik.

“Dimajukannya tanggal kedaluwarsa visa umroh dari 29 Dzulqadah menjadi 15 Dzulqadah adalah untuk kelancaran arus jamaah ke kota-kota suci Makkah dan Madinah dari seluruh dunia untuk ziarah tahunan haji,” kata kementerian dalam pernyataannya, dilansir dari Saudi Gazette, Senin (15/4/2024).

“Tanggal 15 Dzulqadah ini disetujui, dua pekan (14 hari) lebih awal dari tanggal kedaluwarsa 29 Dzulqadah yang diumumkan sebelumnya,” tambah pernyataan tersebut.

Sebelumnya Kementerian Haji dan Umroh  juga telah mengeluarkan pemberitahuan bahwa visa umroh berlaku khusus untuk keperluan ibadah di Tanah Suci, dan tidak boleh digunakan untuk pekerjaan atau kegiatan non-ziarah lainnya.

Mereka menekankan pentingnya mematuhi peraturan visa, terutama mengingat adanya penyalahgunaan visa baru-baru ini. Jamaah juga diminta untuk meninggalkan Arab Saudi sebelum visa mereka habis masa berlakunya dan menghormati ketentuan tinggal mereka.

IHRAM

Manfaat Berdoa Bagi Tubuh

British Journal of Health Psychology, sebuah penelitian di Inggris menyebutkan bahwa berdoa bisa mengurangi resiko terserang stres. Penelitian ini menemukan fakta bahwa manfaat berdoa bagi tubuh tergolong positif. Seseorang akan cenderung merasa positif dan tidak tertekan jika berdoa di tempat ibadah.

Hal ini terjadi karena ketika berdoa, kita akan merasa fokus terhadap diri sendiri, mencurahkan segala kegelisahan pada sesuatu yang kita anggap memiliki kekuatan penuh, dan akhirnya jiwa kita merasa aman, rileks dan damai.

Alasan di balik manfaat doa untuk meredakan stres dapat dijelaskan sebagai berikut. Saat berdoa, kita terfokus pada diri sendiri dan mencurahkan segala kegelisahan kepada sesuatu yang kita anggap memiliki kekuatan penuh. Hal ini dapat membantu menenangkan pikiran dan memberikan rasa aman, rileks, dan damai.

Doa juga dapat membantu kita untuk merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri, seperti Tuhan, alam semesta, atau komunitas keagamaan. Rasa koneksi ini dapat memberikan rasa dukungan dan kekuatan saat kita menghadapi situasi yang sulit.

Selain itu, doa juga dapat membantu kita untuk memproses emosi dan menemukan makna dalam pengalaman yang sulit. Dengan berdoa, kita dapat mengekspresikan rasa sedih, marah, atau frustrasi, dan mencari bimbingan dan kekuatan untuk menghadapi situasi tersebut.

Penting untuk dicatat bahwa manfaat doa untuk meredakan stres dapat berbeda-beda bagi setiap orang. Bagi sebagian orang, doa mungkin merupakan cara yang efektif untuk mengatasi stres, sementara bagi yang lain, doa mungkin tidak memiliki efek yang signifikan.

Jika Anda merasa stres, cobalah untuk mencari cara yang sehat untuk mengatasinya. Doa dapat menjadi salah satu pilihan, tetapi ada banyak cara lain yang dapat membantu Anda, seperti berolahraga, meditasi, atau menghabiskan waktu bersama orang yang dicintai.

Dengan demikian, berdoa tidak hanya dapat mengurangi stres mental, namun juga sangat bermanfaat bagi kesehatan organ tubuh dan membantu meredakan reaksi emosional dan tekanan mental.

Sebagaimana yang kita tahu bahwa penyakit kronis seperti diabetes, jantung, darah tinggi dan maag diyakini terjadi karena terlalu banyak stres. Menurut ahli terapi alternative seperti Ayurveda, stres merupakan alasan utama terjadinya penumpukan racun di dalam tubuh, yang tidak hanya menyebabkan penyakit kronis seperti diabetes namun juga penyakit kanker.

Sebuah penelitian yang dilakukan di University of Pennsylvania menemukan fakta bahwa berdoa bisa meningkatkan kadar dopamine atau hormon gembira di otak kita, sehingga hal ini berdampak pada kehidupan kita sehari-hari.

Selain itu, berdoa membuat kita hidup dan bertahan lebih lama. Dengan meminimalkan efek buruk stres dan menaklukkan semua penyakit yang menyerang, berdoa dapat membantu kita hidup dan menua dengan lebih sehat.

Anjuran Berdoa dalam Islam

Sebagai umat Islam, kita dianjurkan untuk selalu berdoa kepada Allah SWT, baik dalam keadaan senang maupun susah. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadis riwayat al-Tirmidzi, di mana Nabi Muhammad SAW bersabda:

مَنْ سَـرَّهُ أَنْ يَسْتَجِيْبَ الله لَهُ عِنْدَ الشَّدَائِدِ فَلْيُكْثِرْ مِنَ الدُّعَاءِ فِى الرَّخَاءِ

Artinya; “Barang siapa yang senang dikabulkan Allah ketika dalam kesusahan maka hendaknya ia memperbanyak do’a dalam waktu senang”

Hadis ini menunjukkan bahwa doa yang dipanjatkan di saat senang memiliki peluang yang lebih besar untuk dikabulkan Allah SWT dibandingkan doa yang dipanjatkan saat susah. Hal ini dikarenakan saat senang, hati kita lebih tenang dan fokus untuk berdoa dengan penuh keyakinan dan ketulusan.

Selain itu, dalam hadis riwayat al-Tirmidzi dan Ibnu Hibban, Nabi Muhammad SAW juga bersabda:

لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللهِ مِنَ الدُّعَاءِ فِى الرَّخَاءِ

Artinya; “Tiada sesuatu yang lebih mulia bagi Allah melebihi do’a di waktu senang”

Hadis ini menunjukkan bahwa berdoa di saat senang merupakan amalan yang sangat mulia dan disukai oleh Allah SWT. Hal ini dikarenakan doa yang dipanjatkan di saat senang menunjukkan rasa syukur kita atas nikmat yang telah diberikan Allah SWT.

Demikian manfaat berdoa bagi tubuh. Oleh karena itu, marilah kita membiasakan diri untuk selalu berdoa kepada Allah SWT, baik dalam keadaan senang maupun susah. Dengan demikian, kita akan selalu mendapatkan rahmat dan karunia dari Allah SWT.

BINCANG SYARIAH

4 Amalan Kaya Raya dalam Islam

Siapa sih yang tidak mau menjadi seorang yang kaya raya? Sudah menjadi hal yang lumrah setiap manusia menginginkannya. Nah berikut ini 4 amalan kaya raya dalam Islam.

Dalam Islam, memperoleh kekayaan seharusnya dilakukan dengan mengikuti prinsip-prinsip yang sesuai dengan ajaran agama. Agama Islam mengajarkan pentingnya menjadikan kekayaan sebagai sarana untuk berbuat kebaikan, menyantuni yang membutuhkan, dan memperjuangkan keadilan sosial.

Islam juga menekankan pentingnya kejujuran, keadilan, dan kepatuhan terhadap hukum syariah dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam mencari dan menggunakan kekayaan. 

Setiap muslim harus ingat bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat pemberi rezeki. Jangan sampai saking ingin menjadi orang kaya, hingga menghalalkan segala cara untuk meraihnya. Justru hal inilah yang sangat dilarang dalam Islam.

Allah telah menyediakan cara untuk mendapatkan kekayaan yang sesuai syariat. Namun, mungkin sebagian masyarakat kurang menyadari bahwa ada bagian dari cara yang berkah. Nah berikut di antaranya amalan kaya raya dalam Islam:

1. Bekerja di Pagi Hari

Rasulullah pernah berdoa kepada Allah, agar aktivitas yang dilakukan umatnya di pagi hari lebih diberkahi. Dari Shakhr bin Wada’ah al-Ghamidi radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ berdoa,

اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا

“Ya Allah, berikan keberkahan untuk umatku di waktu paginya,” (HR. Abu Daud 2608, Turmudzi 1256).

Para sahabat menceritakan, bahwa Nabi SAW ketika mengirim pasukan, beliau selalu memberangkatkan mereka di pagi hari. Setelah sahabat Shakhr mendapatkan riwayat ini, beliau memiliki kebiasaan, menjalankan bisnisnya di pagi hari. Beliau kirim barang, selalu pagi hari. Hingga hartanya bertambah dan dia semakin kaya.

2. Transaksi yang Jujur dan Transparan

Bertransaksi dengan jujur dan transparan dijanjikan oleh Nabi Muhammad SAW akan diberkahi hasilnya. Dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, Nabi SAW bersabda,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَفْتَرِقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ بَيْعِهِمَا

Artinya; “Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar selagi mereka berada di dalam satu majelis dan belum berpisah. Jika keduanya jujur dan transparan maka transksi jual belinya akan diberkahi. Namun jika keduanya dusta dan tidak transparan, keberkahan transaksinya akan dicabut.” (HR. Bukhari 2079 & Muslim 3937)

3. Menikah

Allah SWT menjanjikan bisa menambah keberkahan adalah menikah. Di antara janji Allah bagi orang yang menikah, Allah janjikan kecukupan untuk mereka,

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

“Kawinkanlah orang-orang yang masih lajang diantara kalian, dan orang-orang yang layak (menikah) dari budak-budak lelaki dan budak-budak perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya,” (QS. an-Nur: 32).

Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda,

ثَلاَثَةٌ كُلُّهُمْ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَوْنُهُ الْمُجَاهِدُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالنَّاكِحُ الَّذِى يُرِيدُ الْعَفَافَ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِى يُرِيدُ الأَدَاءَ

“Ada 3 orang yang dijamin oleh Allah untuk membantunya: Mujahid fi sabilillah, orang yang menikah karena menjaga kehormatan dirinya, dan budak yang hendak menebus dirinya untuk merdeka,” (HR. Nasa’I no. 3133, Turmudzi no. 1756)

.

Demikian pula dinyatakan dalam keterangan Ibnu Mas’ud,

التمسوا الغنى في النكاح

“Carilah kekayaan dalam pernikahan,” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/51).

4. Menakar Apa yang Dibutuhkan

Menakar apa yang dibutuhkan, terutama makanan, termasuk di antara amalan yang mengantarkan keberkahan. Dari al-Miqdam bin Ma’di Karib, Nabi Muhammad SAW bersabda,

كِيلُوا طَعَامَكُمْ يُبَارَكْ لَكُمْ

Artinya; “Takarlah makanan kalian, niscaya kalian akan diberkahi,” (HR. Ahmad 17177, Bukhari 2128, dan yang lainnya). 

Demikian amalan kaya raya dalam Islam. semoga kita semua menjadi orang yang rezekinya diberkahi oleh Allah dan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

BINCANG SYARIAH

Puasa Syawal, Syarat dan Ketentuan menurut Fikih

Umat Islam dianjurkan puasa Syawal selama enam hari setelah Ramadhan, apa sarat dan ketentuannya dan kapan boleh dilakukan?

KETIKA bulan Ramadhan selesai, kita diperintahkan untuk melakukan puasa enam hari pada bulan Syawal. Ini berdasarkan Hadist Abu Ayyub radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال كان كصيام الدهر

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka seakan berpuasa seumur hidup.” (HR. Muslim)

Hadits di atas menunjukkan beberapa pelajaran, sebagai berikut :

Pertama, puasa enam hari bulan Syawal hukumnya sunnah

Kedua, satu kebaikan di dalam Islam akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Oleh karena itu, puasa Ramadhan satu bulan dihitung sepuluh bulan, dan puasa enam hari bulan Syawal dihitung enam puluh hari atau setara dengan dua bulan. Sehingga sepuluh bulan ditambah dua bulan sama dengan satu tahun.

Itulah makna puasa seumur hidup atau puasa satu tahun, sebagaimana tersebut dalam hadits di atas. Adapun dalilnya adalah firman Allah :

مَن جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا ۖ وَمَن جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

“Barangsiapa berbuat kebaikan, dia akan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan Barangsiapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (didzalimi).” (QS: Al-An’am : 160).

Tiga,  disunahkan untuk segera melakukan puasa enam hari bulan Syawal setelah selesai hari raya Idul Fitri.

Karena bersegera kepada kebaikan adalah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana di dalam firman-Nya :

وَسَارِعُوْۤا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ

عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَا لْاَرْضُ ۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ ۙ

Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS: Ali ‘Imran: 133)

Dan juga firman-Nya,

فَاسْتَجَبْنَا لَهٗ ۖ وَوَهَبْنَا لَهٗ يَحْيٰى وَاَصْلَحْنَا لَهٗ زَوْجَهٗ ۗ اِنَّهُمْ كَا نُوْا يُسٰرِعُوْنَ فِيْ الْخَيْـرٰتِ

وَ يَدْعُوْنَـنَا رَغَبًا وَّرَهَبًا ۗ وَكَا نُوْا لَنَا خٰشِعِيْنَ

“Maka Kami kabulkan (doa)nya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan kami jadikan istrinya (dapat mengandung). Sungguh mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdoa kepada kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang – orang yang khusyuk kepada kami.” (QS: Al – Anbiya : 90).

Empat, kapan puasa Syawal sebaiknya dimulai?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:

Pendapat Pertama:  puasa Syawal dimulai hari kedua setelah Idul Fitri. Mereka berdalil dengan empat hal:

Hal ini sesuai dengan lafadh hadist:  “Barangsiapa yang berpuasa bulan Ramadhan kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal.” Makna diikuti yaitu langsung,  tidak ada jeda kecuali hari pertama Idul Fitri.

Hal itu juga karena yang diharamkan berpuasa hanyalah hari pertama, dengan demikian dibolehkan berpuasa pada hari keduanya.

Selain itu,  puasa hari kedua belum banyak gangguannya dan masih terasa suasana bulan Ramadhan,  sehingga membuat semangat untuk berpuasa. Berbeda jika puasanya diundur, dikhawatirkan semangatnya sudah mulai berkurang karena terpengaruh dengan gegap gempita suasana lebaran.

Sebagian ulama memposisikan puasa Syawal seperti sholat rawatib yang dikerjakan langsung setelah selesai sholat lima waktu dan dzikir. Jika diundur pelaksanaannya,  menjadi tidak baik.

Pendapat Kedua: Puasa Syawal dimulai pada hari keempat.

Alasan pendapat ini :

Pertama, walaupun Idul Fitri hanya satu hari,  tetapi makna lebaran berlangsung sampai tiga hari untuk makan dan minum serta silaturahim.

Kedua, ini seperti hari raya Idul Adha dimana penyembelihan hewan dan hari Tasyriq berlaku sampai tiga hari setelah hari Raya Idul Adha. Tujuannya adalah memberikan kesempatan kaum muslimin untuk makan dan minum setelah melaksanakan ibadah haji atau setelah puasa Arafah.

Lima, puasa Syawal boleh dilakukan secara berturut-turut, dan boleh juga dilakukan secara terpisah.

Berkata Imam An-Nawawi  di dalam Al-Majmu’: “Jika seseorang memisahkannya (puasa enam Syawal) atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena masih berada pada keumuman dari hadits tersebut Kami (dalam Madzhab Syafi’i) tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini. Dan ini juga pendapat Imam Ahmad dan Abu Daud.”

Enam,  sebelum melaksanakan puasa enam hari bulan Syawal,  hendaknya dia menyempurnakan puasa Ramadhan terlebih dahulu.

Bagi yang mempunyai hutang puasa pada bulan Ramadhan,  hendaknya meng-qadha’nya terlebih dahulu sebelum dia melaksanakan puasa enam hari bulan Syawal.

Di dalam lafadh hadits di atas sangat jelas,  yaitu, “Barangsiapa puasa bulan Ramadhan ” artinya telah menyelesaikannya dengan sempurna.

Tujuh, bolehkah berpuasa Syawal terlebih dahulu, sebelum meng-qadha’ puasa Ramadhan?

Para ulama berbeda pendapat apakah boleh berniat mengqadha’ puasa Ramadhan, sekaligus berniat puasa Syawal?

Sebagian ulama menjelaskan bahwa puasa Syawal syaratnya harus menyelesaikan puasa Ramadhan terlebih dahulu, dan itu tidak terpenuhi jika diniatkan meng-qadha’ puasa Ramadhan dan puasa Syawal secara bersamaan. Dengan demikian, tidak dibolehkan untuk menggabung keduanya dalam satu puasa.

Adapun menggabungkan niat meng-qadha’ puasa Ramadhan dengan puasa sunnah lainnya (selain puasa Syawal), seperti puasa Senin Kamis, puasa Daud, Puasa ‘Asyura dan Puasa Arafah, maka hal itu dibolehkan, karena tidak ada syarat sebagaimana di dalam puasa Syawal.

Delapan, perbedaan ulama tentang hukum mendahulukan puasa Syawal sebelum meng-qadha’ hutang puasa Ramadhan:

Pendapat Pertama:

Tidak dianjurkan, bahkan dianggap pahala puasa Syawal tidak sampai. Mereka berdalil dengan hadist Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال كان كصيام الدهر

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan enam hari pada Syawal, maka seakan berpuasa seumur hidup.” (HR. Muslim)

Hadist di atas menjelaskan bahwa untuk mendapatkan pahala puasa Syawal harus terpenuhi tiga syarat;

Pertama: Harus menyelesaikan puasa bulan Ramadhan secara penuh. Orang yang masih punya hutang bulan Ramadhan dan belum meng-qada’nya dianggap belum menyelesaikan puasa Ramadhan nya secara penuh, maka tidak akan mendapatkan pahala seperti yang tersebut di dalam hadist.

Kedua: Harus dilaksanakan pada bulan Syawal.

Ketiga: Puasanya harus enam hari.

Berkata al-Haitami di dalam kitab Tuhfatu al-Muhtaj (3/457): “Karena dia harus menyempurnakan puasa Ramadhan (secara keseluruhan),  jika tidak maka dianggap tidak mendapatkan keutamaan puasa Syawal, walaupun dia berbukanya pada bulan Ramadhan karena udzur.”

Pendapat Kedua:

Dibolehkan puasa enam hari bulan Syawal,  walaupun belum meng-qadha’ hutang puasa bulan Ramadhan dan pahalanya tetap sampai. Mereka berdalil sebagai berikut:

Kewajiban mengqadha’ hutang puasa Ramadhan tidak harus dilakukan pada bulan Syawal, tetapi boleh diundur pada bulan-bulan berikutnya sebagaimana di dalam firman Allah,

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ

“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka Barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.” (QS: Al-Baqarah: 184)

Ayat di atas tidak membatasi waktu qadha’ puasa Ramadhan,  boleh pada bulan Syawal,  juga boleh pada bulan-bulan lainnya.  Juga berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,

حديث عائشة رضي الله عنها تقول: كان يكون عليَّ الصوم من رمضان فما أستطيع أن أقضيه إلا في شعبان. الشغل من رسول الله صلى الله عليه وسلم، أو برسول الله صلى الله عليه وسلم.

Aisyah radhiyallahu ‘ anha berkata: ” Saya pernah punya hutang puasa Ramadhan dan saya tidak bisa meng-qadha’ nya kecuali pada bulan Sya’ban karena disibukkan mengurusi Rasulullah ﷺ.” (HR. Muslim)

Hadits di atas menunjukkan bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha meng-qadha’ puasa Ramadhan pada bulan Sya’ban. Ini menunjukkan ada kemungkinan beliau puasa enam hari di bulan Syawal sebelum meng-qadha’ puasa Ramadhan.

Orang yang telah menyelesaikan puasa Ramadhan walaupun ada beberapa hari yang ditinggalkannya karena udzur dianggap telah berpuasa Ramadhan secara maknawi.

Mewajibkan untuk meng-qadha’ puasa Ramadhan terlebih dahulu sebelum melaksanakan puasa Syawal akan sangat memberatkan, terutama bagi kaum wanita yang haidnya sampai delapan hari atau lebih,  khususnya jika ada udzur lainnya seperti sakit dan safar, bahkan kadang hutang puasa Ramadhan bisa sampai 15 hari lebih. Jika digabung dengan 6 hari puasa Syawal,  maka menjadi 21 hari.

Pendapat yang membolehkan untuk mengundur qadha’ puasa Ramadhan hingga satu tahun, dan membolehkan mendahulukan puasa Syawal akan meringankan beban mereka. Allah berfirman,

ۡ یُرِیدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡیُسۡرَ وَلَا یُرِیدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ

“Allah menginginkan kalian mendapatkan kemudahan dan tidak menginginkan kalian mendapatkan kesusahan.” (QS: Al-Baqarah: 185)

Berkata al-Bujairmi  dalam Hasyiayah nya atas al-Khatib (2/352) dengan menukil perkataan ulama: “Mengikuti  dengan puasa Syawal secara (taqdiriyah),  yaitu menyempurnakan (puasa Ramadhan) sesudahnya, tetapi dianggap terlaksana sebelumnya. Atau mengikutinya dengan puasa Syawal secara (Mutaakhirah), yaitu dilaksanakan puasa Syawal sesudah puasa Ramadhan sebagaimana pelaksanaan shalat nafilah sesudah  shalat fardhu.”

TARJIH

Dari dua pendapat di atas, maka pendapat yang kita pilih dilihat dari dua sisi:

  • Untuk sifat kehati-hatian dan agar tidak mengundur-undurkan amal shalih, maka pendapat pertama lebih tepat.
  • Untuk kemudahan bagi kalangan tertentu seperti wanita yang banyak meninggalkan puasa Ramadhan (banyak hutang puasanya), sedang mereka ingin mendapatkan pahala puasa Syawal, maka yang lebih tepat adalah pendapat kedua. Wallahu A’lam.*/Dr. Ahmad Zain An-Najah. MA, PUSKAFI (Pusat Kajian Fiqih Indonesia)

HIDAYATULLAH

Dalil yang Melarang Sejumlah Hal saat Haji

Ada sejumlah hal yang dilarang saat ibadah haji.

Sebagai umat Islam yang beriman, wajib bagi mereka untuk melaksanakan segala ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT, salah satunya adalah haji. Haji merupakan ibadah yang termasuk ke dalam rukun Islam yang kelima dan harus dilakukan sesuai dengan syariat. Terdapat hal – hal yang tidak boleh dilakukan ketika Ihram.

Bagi para jamaah, wajib memperhatikan apa saja larangan – larangan yang tidak boleh dilakukan selama Ihram. Hal tersebut guna menjaga kesempurnaan ibadah haji agar seluruh amalan yang dilakukan dapat diterima oleh Allah SWT. Berikut hal – hal yang dilarang ketika Ihram,

Pertama, Nabi Muhammad SAW melarang bagi para jamaah laki – laki untuk memakai penutup kepala seperti peci, topi, sorban, dan penutup kepala lainnya. Hal tersebut dijelaskan pada Hadits Riwayat Bukhari, Nabi Muhammad SAW bersabda,

   فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَلْبَسُوا الْقَمِيصَ وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ وَلَا الْعَمَائِمَ وَلَا الْبَرَانِسَ   

Artinya : “Janganlah kalian memakai baju, celana, sorban, jubah (pakaian yang menutupi kepala.”

Kedua, selama berihram seluruh jamaah haji dilarang untuk memakai pakaian yang berjahit. Menurut Hadits Riwayat Bukhari, Nabi Muhammad SAW bersabda,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَاذَا تَأْمُرُنَا أَنْ نَلْبَسَ مِنْ الثِّيَابِ فِي الْإِحْرَامِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَلْبَسُوا الْقَمِيصَ وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ وَلَا الْعَمَائِمَ وَلَا الْبَرَانِسَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ أَحَدٌ لَيْسَتْ لَهُ نَعْلَانِ فَلْيَلْبَسْ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ  

 Artinya : “Dari Abdullah bin Umar r.a, seorang laki-laki datang lalu berkata: Wahai Rasulullah, pakaian apa yang Anda perintahkan untuk kami ketika ihram? Nabi Muhammad SAW menjawab, Janganlah kalian memakai baju, celana, sorban, jubah (pakaian yang menutupi kepala) kecuali seseorang yang tidak memiliki sandal, hendaklah dia memakai khuf (sejenis sepatu kulit) dan tapi hendaklah dipotongnya hingga berada di bawah mata kaki.”

Ketiga, ketika berihram dilarang bagi perempuan dan laki – laki untuk berhubungan badan (jimak). Hal tersebut dapat merusak kemuliaan berhaji dan dapat menimbulkan dosa dan kafarah. Seperti yang tertulis pada surat Al Baqarah ayat 197 yang berbunyi,

اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُ ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ

Artinya : “(Musim) haji itu (berlangsung pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafaṡ, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala kebaikan yang kamu kerjakan (pasti) Allah mengetahuinya. Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat.” 

IHRAM

Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 2)

Mukadimah

Segala puji milik Allah yang telah mengirimkan utusannya dengan petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkan agama-Nya di atas seluruh agama lainnya, cukuplah Allah sebagai saksi terhadap hal tersebut. Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi, kecuali Allah semata. Saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, semoga selawat dan sebaik-baik salam selalu tercurah kepadanya, keluarganya, dan para sahabatnya.

Amma ba’d, tema pembahasan mengenai akal merupakan topik yang luas dan hangat diperbincangkan oleh para cendekiawan berbagai generasi. Mereka membahas mulai dari definisi, hakikat, wilayah kerja, dan batasannya, sampai bagaimana hubungan akal dengan hal-hal eksternal seperti wahyu. Adapun berbagai permasalahan, konsekuensi, metode, dan perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang tidak dapat dicegah. Di antara fakta yang mengherankan adalah akal pun bisa tersesat ke dalam akal lainnya.

Hanya saja, tulisan ini membahas suatu substansi khusus yang memiliki urgensi untuk dibahas, yaitu kedudukan akal dalam sudut pandang ahlisunah waljamaah. Ahlisunah waljamaah adalah orang-orang yang Allah beri hidayah untuk mengenali kebenaran yang diperselisihkan orang-orang dalam topik ini. Mereka memperlakukan akal sesuai derajat yang layak baginya, tanpa berlebihan dan tanpa meremehkan.

Memang tidak mudah untuk mengumpulkan berbagai sisi pembahasan topik ini dalam lembaran yang ringkas, namun saya meminta tolong kepada Allah agar mampu menyebutkan rambu-rambu terpenting. Aku memohon taufik kepada Allah.

Definisi akal

Asal-usul kata عقل (akal) dalam bahasa Arab bermakna المنع (mencegah). Maka, ada istilah عقال البعير (tali yang mencegah gerak kaki unta). Oleh karenanya, akal dinamai dengan عقل karena akal dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas [1]. Di antara sinonim istilah عقل (akal) adalah اللب (Al-Lub), الحجى (Al-Hija), الحجر (Al-Hijr), النهية (An-Nuhyah) [2].

Para ulama memiliki ruang diskusi yang panjang mengenai definisi akal [3].

Pertama: Akal adalah penahan diri dari perbuatan dan ucapan yang tidak terpuji [4].

Kedua: Akal adalah lawan dari ketidaktahuan [5].

Ketiga: Akal didefinisikan oleh Ar-Raghib Al-Ashfahani sebagai daya tangkap yang siap untuk menerima ilmu. Dikatakan pula akal adalah ilmu yang dapat dimanfaatkan manusia melalui daya tangkapnya [6].

Kesimpulanmya, definisi akal yang digunakan dalam Al-Qur’an, hadis, maupun perkataan para ulama tidak keluar dari empat makna berikut [7]:

Pertama: Kemampuan berpikir yang Allah tanamkan pada manusia sejak lahir. Dengan kemampuan inilah, Allah jadikan manusia mampu memahami berbagai hal. Melalui kemampuan ini, manusia terbedakan dengan hewan dan orang berakal terbedakan dengan orang gila.

Kedua: Ilmu dharuri [8] yang disepakati oleh seluruh orang berakal. Misalnya, “seluruh” itu lebih banyak daripada “sebagian”, keberadaan makhluk menunjukkan keberadaan pencipta, mustahil menggabungkan dua hal yang kontras, dan seterusnya.

Ketiga: Ilmu nazhari, yaitu pengetahuan yang didapatkan dari proses berpikir dan penelitian.

Keempat: Tindakan yang muncul akibat keberadaan suatu pengetahuan. Inilah penggunaan kata akal yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya,

وَقَالُواْ لَوۡ كُنَّا نَسۡمَعُ أَوۡ نَعۡقِلُ مَا كُنَّا فِيٓ أَصۡحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ

Dan mereka berkata, ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (QS. Al-Mulk: 10)

Untuk menentukan makna penggunaan kata akal dalam suatu teks, perlu memahami konteks redaksinya.

Rambu-rambu terpenting dalam memahami kedudukan akal sesuai dengan pemahaman ahlisunah waljamaah

Akal memiliki kedudukan yang tinggi

Ahlisunah menempatkan akal sesuai dengan derajat yang layak baginya. Penetapan kedudukan tersebut berdasarkan sikap syariat dalam memuliakan, menghormati [9], dan memelihara akal. Dengan meneliti dalil-dalil, konsep ini dapat dipahami dengan jelas. Berikut di antara penjelasan yang mendukung rambu pertama.

Pertama: Syariat menjadikan akal sebagai syarat berlakunya ketentuan hukum Allah bagi seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pena catatan amal diangkat dari tiga golongan: orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ia bermimpi, dan orang gila hingga ia berakal. [10]

Kedua: Syariat memotivasi agar akal kita menjadi produktif. Hal ini ditunjukkan oleh setiap ayat dan hadis yang mengajak untuk tadabur (merenung), tafakkur (memikirkan dengan sungguh-sungguh), dan tadzakkur (mengambil pelajaran).

Ketiga: Syariat memuji orang-orang yang memiliki akal sehat. Allah berfirman,

وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ

Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al Baqarah: 269)

Keempat: Syariat mencela orang-orang yang menelantarkan akal. Allah berfirman,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۗ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُونَ  وَمَثَلُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ كَمَثَلِ ٱلَّذِى يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَآءً وَنِدَآءً ۚ صُمٌّۢ بُكْمٌ عُمْىٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ 

Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah!’ Mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti ajaran yang telah kami dapati dari nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk? Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar, kecuali panggilan dan seruan (teriakan) semata-mata. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka (oleh sebab itu), mereka tidak mengerti. (QS. Al-Baqarah: 170-171)

Kelima: Syariat telah menetapkan bahwa akal adalah satu dari lima hal besar yang harus dijaga dalam agama kita. Tidak boleh berbuat sewenang-wenang terhadap lima hal tersebut, sehingga kita dilarang untuk mengonsumsi zat yang dapat menghilangkan akal. Syariat juga bersikap tegas jika terjadi tindakan kriminal yang merugikan akal. Jika terjadi kesewenang-wenangan terhadap akal, ada diyat yang harus dibayar secara penuh [11]. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

“Sub Bab: Adanya Hukuman Diyat pada Kasus Penghilangan Akal

Kami tidak mengetahui adanya silang pendapat dalam masalah ini. Karena akal merupakan bagian tubuh yang paling penting dalam menangkap makna, indra yang paling besar manfaatnya, dan dengan akallah manusia terbedakan dari hewan. Melalui akal, manusia dapat mengetahui hakikat sesuatu, mendapat maslahat dan tercegah dari keburukan. Manusia baru bisa terkena aturan hukum syariat jika berakal. Akal juga menjadi syarat sahnya keberadaan wilayah kekuasaan, kebijakan ekonomi, serta pelaksanaan ibadah. Dengan demikian, akal lebih berhak mendapat jaminan dengan adanya diyat daripada indra lainnya.” [12]

Keenam: Syariat melarang kita untuk melumpuhkan dan melecehkan akal dengan cara mendengarkan cerita-cerita khurafat (takhayul), sulap, perdukunan, sihir, pamali, jimat, dan semisalnya.

Ketujuh: Syariat menjaga akal dari kebingungan dan beban kerja di luar kapasitasnya. Hal ini ditetapkan dalam rangka memelihara akal dari kesia-siaan. Contohnya, Allah tidak membebani kita untuk memikirkan bentuk rupa hal-hal gaib, mencari-mencari tahu hikmah seluruh kejadian. [13]

[Bersambung]

Kembali ke bagian 1: Kesempurnaan Islam dalam Memuliakan Akal (Bag. 1)

***

Penerjemah: Syaroful Anam

Sumber: https://muslim.or.id/93295-kesempurnaan-islam-dalam-memuliakan-akal-bag-2.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Ketentuan Badal Haji

Badal haji diperuntukkan bagi orang yang sudah meninggal.

Menunaikan ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima. Beribadah haji adalah kewajiban yang harus dilaksanakan bagi seluruh umat muslim di dunia bila mampu. Tetapi, bagaimana dengan orang yang telah meninggal dunia, apakah mereka dapat digantikan orang yang masih hidup?

Hal tersebut bisa dilakukan yang disebut dengan Badal Haji. Hal tersebut merupakan penggantian proses pelaksanaan ibadah haji oleh orang lain, bagi orang yang sudah dapat melakukannya termasuk bagi orang yang sudah meninggal dunia sekalipun. 

“Para ulama dari kalangan sahabat dan yang lain menyatakan bahwa menunaikan ibadah haji untuk orang yang sudah meninggal dunia diperbolehkan. Hal yang sama dikemukakan oleh ats Tauri, Ibnu Mubarak, Ahmad, Syafi’i, dan Ishak,” dikutip dari buku yang berjudul Fikih Sunnah Jilid 3, karya Sayyid Sabiq, Selasa (23/04/2024).

Diperbolehkan untuk badal haji bagi orang yang telah meninggal dunia dengan syarat, orang yang bersangkutan sudah memiliki kewajiban untuk menunaikan ibadah haji karena nazar atau telah berniat untuk melaksanakannya. Seperti yang diriwayat oleh Imam Ahmad, ada seorang pria dari suku Khats’am mendatangi Nabi Muhammad SAW dan berkata,

“Ayah saya sudah meninggal dunia dan ia mempunyai kewajiban haji, apakah aku menghajikannya? Nabi SAW menjawab, Bagaimana pendapatmu apabila ayahmu meninggalkan utang. Apakah engkau wajib membayarnya? Orang itu menjawab, Ya, Nabi SAW berkata, Berhajilah engkau untuk ayahmu itu,” Badal haji juga dapat dilakukan bagi orang yang sudah tidak mampu melaksanakannya akibat fisik yang sangat lemah seperti lansia dan orang yang sakit keras. Tata cara melaksanakan badal haji pada dasarnya sama dengan pelaksanaan haji untuk diri sendiri. Orang yang melaksanakan badal haji harus melakukan niat ihram haji, wukuf di Padang Arafah, keliling ka’bah, berlari-lari kecil antara bukit safa dan marwah, mencukur rambut sebagian atau seluruhnya, mabit di Mina, lempar jumroh, dan tawaf perpisahan. Hanya saja, niat yang menjadi pembeda di antara keduanya. 

IHRAM

Ini Dalil Haram Kawin Kontrak

Berikut ini dalil haram kawin kontrak. Sejatinya, kawin kontrak, yang dalam bahasa fikih dikenal sebagai nikah mut’ah, merupakan pernikahan dengan batasan waktu dan tujuan yang telah disepakati bersama. Secara definisi, menurut Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, Jilid II, halaman 28, disebut nikah mut’ah [kawin kontrak] karena tujuan laki-laki yang menikahinya bermaksud untuk bersenang-senang dalam waktu singkat.

Pernikahan ini memiliki beberapa ciri khas, salah satunya adalah Pernikahan memiliki batasan waktu yang telah disepakati bersama sejak awal akad nikah. Jangka waktunya bisa singkat, seperti beberapa hari atau bulan, atau lebih lama.

Sejatinya, dalam sejarah, pernikahan sempat dibolehkan dalam Islam. Akan tetapi, hukum itu dimansukh [hapuskan], dan tidak diberlakukan lagi. Dalam satu riwayat dijelaskan bahwa nikah kontrak sempat dihalal pada Perang Tabuk. Saat itu, para sahabat yang tidak mampu membawa istri dalam peperangan diperbolehkan menikahi perempuan dengan sistem kontrak waktu.

Dalam kitab Fathul Bari, Jilid IX, halaman 76 dijelaskan sebagai berikut;

حدثنا محمد بن بشار حدثنا غندر حدثنا شعبة عن أبي جمرة قال سمعت ابن عباس سئل عن متعة النساء فرخص فقال له مولى له إنما ذلك في الحال الشديد وفي النساء قلة أو نحوه فقال ابن عباس نعم

Artinya; Muhammad bin Basyar menceritakan kepada kami, dari Ghondar, dari Syu’bah, dari Abu Jami’ah, beliau berkata: “Aku mendengar Ibnu Abbas ditanya tentang mut’ah (nikah kontrak) perempuan. Beliau menjawab, itu keringanan hukum . Lalu Ikrimah bertanya lagi: ‘Itu hanya dibolehkan dalam keadaan darurat perang dan ketika itu wanita sedikit jumlahnya.’ Ibnu Abbas menjawab: ‘Ya, benar.’”

Lebih lanjut, Ibnu Hajar al-Asqallani dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa hukum nikah mut’ah (nikah kontrak) dalam Islam, yang mengalami perubahan beberapa kali.
Pertama, dibolehkan sebelum Perang Khaibar. Awalnya, nikah mut’ah dibolehkan. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW mengizinkan nikah mut’ah saat perang untuk membantu para prajurit yang kesulitan menahan hawa nafsu.

Kedua, diharamkan di Perang Khaibar. Kemudian, nikah mut’ah diharamkan di Perang Khaibar. Ketiga, dihalalkan kembali, pada Hari Penaklukan Mekah (tahun 8 H), nikah mut’ah kembali dihalalkan. Keempat, diharamkan secara permanen hingga hari ini. Akhirnya, nikah mut’ah diharamkan secara permanen, hingga hari kiamat.

وقال النووي : الصواب أن تحريمها وإباحتها وقعا مرتين فكانت مباحة قبل خيبر ثم حرمت فيها ثم أبيحت عام الفتح وهو عام أوطاس ثم حرمت تحريما مؤبدا ، قال : ولا مانع من تكرير الإباحة . ونقل غيره عن الشافعي أن المتعة نسخت مرتين ، وقد تقدم في أوائل النكاح حديث ابن مسعود في سبب الإذن في نكاح المتعة وأنهم كانوا إذا غزوا اشتدت عليهم العزبة فأذن لهم في الاستمتاع فلعل النهي كان يتكرر في كل مواطن بعد الإذن ، فلما وقع في المرة الأخيرة أنها حرمت إلى يوم القيامة لم يقع بعد ذلك إذن والله أعلم .

Artinya; “Imam Nawawi berkata; “Yang benar adalah bahwa pengharaman dan pembolehannya terjadi dua kali. Pertama, dibolehkan sebelum Khaybar, kemudian diharamkan di sana, kemudian dihalalkan pada tahun penaklukan, yaitu tahun Autas, dan kemudian diharamkan secara permanen. Tidak ada salahnya mengulang pembolehan.”

Orang lain meriwayatkan dari Syafi’i bahwa nikah mut’ah mansukh dua kali. Telah disebutkan di awal bab nikah hadits Ibnu Mas’ud tentang alasan izin nikah mut’ah, yaitu karena mereka mengalami kesulitan saat berperang karena ditinggal istri. Maka, mereka diizinkan untuk nikah mut’ah. Mungkin larangan itu berulang setiap kali setelah izin, sampai pada akhirnya diharamkan secara permanen hingga Hari Kiamat. Dan Allah SWT Maha Mengetahui.

Lebih jauh lagi, dalam Bulughul Maram, tercantum hadis riwayat Imam Muslim yang menjelaskan bahwa nikah Mut’ah sempat dibolehkan di tahun Authas [8 H], kemudian dilarang secara permanen. Nabi bersabda;

وَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ – رضي الله عنه – قَالَ : – رَخَّصَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَامَ أَوْطَاسٍ فِي اَلْمُتْعَةِ , ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ , ثُمَّ نَهَى عَنْهَا – رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Artinya; Daripada Salamah bin Al-Akwa’ – semoga Allah meridhoinya – dia berkata: “Rasulullah SAW pernah membolehkan nikah mut’ah (nikah temporer), selama tiga hari, kemudian beliau melarangnya.” (Diriwayatkan oleh Muslim).

Lebih lanjut, terkait dalil haram kawin kontrak juga diungkapkan oleh Imam Syaukani dalam kitab Nailul Authar, Juz VI, halaman 154, dengan mengutip pendapat Qadhi Iyad bahwa hukum nikah mut’ah [kawin kontrak] adalah haram hukumnya. Pasalnya, tindakan tersebut merugikan perempuan dan anak-anak kelak. Simak penjelasan berikut;
وقال القاضي عياض: (ثم وقع الإجماع من جميع العلماء على تحريمها إلا الروافض)

Artinya; Qadhi Iyadh berkata: “Kemudian, semua ulama sepakat untuk mengharamkannya (pernikahan mut’ah), kecuali Rafidhah.

Demikian penjelasan dalil haram kawin kontrak. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH