Pernahkah Rasulullah Memaksa Manusia Memeluk Agama Islam? Ini Jawabannya

Nabi sejak awal Islam tak pernah memaksakan manusia untuk memeluk agama Islam. Para sahabat yang masuk dalam Islam, murni dari kehendak dan nurani mereka. Tak ada sedikit pun paksaan. Pasalnya, tindakakan “pemaksaan” bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Pada Q.S al-Baqarah ayat 256, Allah berfirman tentang larangan memaksa manusia untuk masuk agama Islam.

 لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Artinya; Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Pada ayat ini jelas sekali,  Tuhan tak menginginkan manusia dipaksa dalam memeluk agama.  Untuk itu kemudian, Fakhruddin Ar Razi dalam tafsir Mafatih al Ghaib menyebutkan keimanan pada hakikatnya merupakan suatu pilihan  sadar manusia, dan tidak atas paksaan dan tekanan pihak mana pun. Untuk itu, pemaksaan untuk memeluk agama Islam, bertentangan dengan asas dasar syariat Islam.

Dalam buku, Argumen Pluralisme Agama; Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, karangan Abdul Moqsuth Ghazali disebutkan bahwa ayat ini sejatinya merupakan teks fondasi Islam terhadap jaminan kebebasan beragama. Terlebih posisi ayat Al-Baqarah ayat 256 tersebut terletak setelah ayat kursi (ayat tentang kesucian Allah), maka ayat 256 itu seolah menegaskan penghormatan pada manusia—menjamin hak kebebasan dalam beragama.

Ada kisah menarik. Terjadi pada masa hidup Rasulullah. Syahdan, ada seorang laki-laki Anshor bernama Abu Husain. Sahabat Anshar ini merupakan seorang muslim yang memiliki dua anak Kristen. Mendapati buah hatinya masih dalam Kristen, Ia lantas mengadu pada baginda Nabi, apakah dirinya boleh memaksa dua anaknya untuk masuk memeluk agama Islam—sementara ketika itu anaknya cenderung pada agama Krsiten.

Ia mencoba menegaskan kepada Nabi, bila tidak memaksa anaknya pada Islam, maka itu akan membuat mereka masuk ke dalam nereka. Ia tampaknya tak rela kedua putranya kelak dipanggang dalam bara api neraka. Ia menjadi dilema. Sementara putranya, berat pada agama Kristen. Dengan kejadian yang menimpa Abu Husain ini turunlah ayat Q.S al-Baqarah, ayat 256.

Sementara itu, Rasyid Ridha dalam kitab Tafsir al-Qur’an al- Hakim,  menjelaskan keimanan merupakan fondasi dasar agama, maka ia tak bisa dipaksakan. Rasyid Ridha berkata;

لان الايمان هو الاصل الدين وجوهره عبارة عن اذعان النفس و يستحيل ان يكون الاذعان بالالزام والاكراه

Artinya; Sesungguhnya iman merupakan fondasi agama, yang pada esensinya adalah ketundukan  diri, maka agama itu tidak akan bisa dijalankan dengan penuh pemaksaan dan dipaksa.

Agama yang dipaksakan, persis cinta yang dipaksakan. Begitu kata Jawwad Sa’id dalam kitabnya, La Ikraha  fi al Din. Cinta yang dipksakan, akan berakhir dengan duka dan air mata. Tidak ada kebahagiaan.  Agama pun demikian. Bila cenderung dipaksakan akan berakibat fatal. Tidak akan memperoleh manfaat yang alami. Memeluk suatu agama, sejatinya harus dibarengi dengan keyakinan dan keimanan.

Muncul persoalan, kenapa manusia taidak boleh dipaksankan dalam memeluk agama? Jawabannya, manusia memiliki akal untuk berpikir. Akal anugerah tertinggi Tuhan pada manusia. Akal sumber pengetahuan. Pun dengan akal, manusia akan mampu memilih agama yang terbaik buat dirinya. Allah berfirman dalam Q.S al-Kahfi ayat 29;

وَقُلِ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ ۖ فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ إِنَّآ أَعْتَدْنَا لِلظَّٰلِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ وَإِن يَسْتَغِيثُوا۟ يُغَاثُوا۟ بِمَآءٍ كَٱلْمُهْلِ يَشْوِى ٱلْوُجُوهَ ۚ بِئْسَ ٱلشَّرَابُ وَسَآءَتْ مُرْتَفَقًا

Artinya: Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.

Dengan demikian, terlihat jelas posisi akal manusia. Tuhan membebaskan manusia, untuk memilih mana yang terbaik baginya. Akal adalah medium manusia untuk menyaring pelbagai hal, termasuk yang terbaik baginya. Apakah ia akan masuk surga? Atau kelak ingin ke dalam neraka. Masalah baik dan buruk, manusia mampu dengan akalnya.

Terkahir, dalam buku Hayatu Muhammad, karya Husain Haikal menyebutkan , sejak awal di negeri Madinah, Nabi Muhammad sudah punya tekad yang kuat untuk memberikan kebebasan bagi setiap umat. Pasalnya, Madinah tergolong wailayah dan negeri yang terbilang plural. Terdiri dari pelbagai budaya, agama, dan kepercayaan. Dengan kebebasan hendaknya sarana utama untuk mencapai integral (persatuan).

BINCANG SYARIAH

Hijrahnya Seorang Pencuri Ulung

Menjadi seorang pencuri sudah seperti pekerjaan saya sehari hari. Ketika itu, jika tidak mencuri, tangan saya rasanya gatal sekali. Dari hasil nyolong itu, saya pakai untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan, bayar kontrakan, dan sebagainya.

Saya biasa mencuri di banyak tempat, mulai dari warung kecil, kotak amal masjid hingga rumah sakit. Dulu, sangat gampang mencuri barang orang di rumah sakit, karena kebanyakan pemiliknya lengah. Apalagi, saat itu belum ada kamera CCTV.

Hingga suatu hari, pada penghujung malam, terjadi sebuah kejadian aneh, ketika saya tengah ‘bergerilya’ untuk melakukan aksi pembobolan rumah di sebuah kota di Jawa Tengah. Rumah yang menjadi sasaran saya ternyata milik pasangan suami istri yang sudah lanjut usia. Namun, dari peristiwa itulah justru menjadi titik balik bagi kehidupan saya.

Setelah berhasil masuk ke rumah, saya menyisir setiap ruangan, mencari barang-barang berharga yang dapat dibawa pulang. Kemudian saya kumpulkan di sebuah ruang yang langsung menghadap pintu keluar supaya lebih mudah membawanya.

Sementara, pemilik rumah masih tertidur pulas. Saya masih terus menyisir hingga merasa cukup puas. Lalu, memutuskan untuk segera keluar meninggalkan rumah.

Namun, ketika ingin keluar rumah, terjadi peristiwa yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Bukan kepergok pemilik rumah atau warga sekitar, tetapi tiba-tiba saya kesulitan untuk menemukan pintu keluar.

Hampir setiap sudut rumah sudah saya jamah, tetapi entah kenapa saya seperti tersesat dan kebingungan. Pintu yang sedianya sudah saya pilih untuk jalan keluar tak kunjung saya temukan. Setelah capek keliling, perut saya keroncongan. Tanpa pikir panjang, saya langsung menuju dapur untuk mengambil sepiring nasi beserta lauk pauk.

Setelah makan dan perut kenyang, tiba-tiba rasa kantuk yang teramat menyergap hingga membuat saya tertidur nyenyak.

Adzan Shubuh pun berkumandang dari masjid yang tak jauh dari rumah itu. Saya terbangun oleh tepukan ringan di pundak. Saya pun kaget bukan kepalang, sebab yang menepuk ternyata sang pemilik rumah. Bukanya dimarahi atau dilaporkan, ia justru menyuruh saya untuk Shalat Shubuh berjamaah ke masjid. Tetapi, ternyata saya tetap tak sanggup keluar rumah, seolah tubuh ini tidak bisa leluasa bergerak.

Karena itu, saya diminta menunggu di rumah, sementara mereka menuju masjid untuk Shalat Shubuh berjamaah. Dengan perasaan bercampur aduk; takut, malu, dan was-was, saya pun menunggu mereka hingga kembali dari masjid.

Lalu, apa yang terjadi? Pasangan lansia itu datang sambil tersenyum. Kemudian, memberikan nasihat. Mereka menyarankan agar saya mencari nafkah yang halal. Tak sekadar itu, saya juga diberi uang sebesar 20.000 rupiah bergambar burung cendrawasih. Waktu itu, uang segitu cukup besar. Sebelum saya beranjak keluar, mereka mengatakan, kalau ada kebutuhan lebih baik bilang dari pada mencuri.

Dalam perjalanan pulang, peristiwa aneh itu terus terngiang-ngiang dalam benak, hingga akhirnya membuat saya berpikir, mungkin Allah sedang memberi hukuman karena sudah bertahun-tahun lamanya saya menjadi seorang pencuri. Dari situlah saya mulai tersadar dan berkeinginan untuk berubah.

Namun, di saat yang sama, saya bingung harus memulai dari mana. Apakah harus langsung ke masjid untuk shalat? Sementara, saya sudah lama tidak mengerjakan shalat sehingga lupa semua doa-doanya. Ditambah perasaan malu, karena banyak tato permanen yang di tubuh saya.

Padahal, ketika itu perasaan ingin berubah dan berhijrah sudah terbesit di lubuk hati yang terdalam, tapi saya tak tahu bagaimana caranya. Di tengah kebingungan saya masih mencuri agar sekadar bisa makan.

Hingga suatu ketika, saya mendapat kabar bahwa di Kota Solo ada seorang ustadz yang menerima orang-orang yang mau berhijrah seperti saya. Panggilan akrabnya Abah Ali. Beliau pun sering membina orang-orang marjinal seperti saya.

Tanpa banyak berpikir, saya pun bergegas menuju basecamp Abah Ali. Gayung bersambut, pelan-pelan Abah Ali membimbing saya serta memberi pemahaman tentang kehidupan dan apa yang harus kita lakukan sebagai seorang hamba.

Kemudian, saya memutuskan untuk keluar seratus persen dari dunia pencuri sejak bergabung serta belajar kepada Abah Ali. Saya mulai membuka usaha kecil-kecilan di samping basecamp-nya. Saya membuka warung di sebuah gerobak, meski kecil-kecilan, tetapi setidaknya saya sudah bisa mencari nafkah halal untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Sejak dibina Abah Ali, alhamdulillah, saya merasakan ada perubahan besar dalam hidup. Dari perasaan yang lebih tenang dan bahagia, sampai kucuran rezeki yang selalu datang tak terduga.

Puncak dari semuanya, saya dipilih oleh Abah Ali untuk diberangkatkan umrah ke Tanah Suci. MasyaAllah, saya tidak pernah menyangka sama sekali. Hanya tangis bahagia dan rasa syukur kepada Allah yang hanya bisa saya lakukan waktu itu.

Juga bersyukur sekali, karena ternyata Allah masih memberi kesempatan kepada saya untuk bertaubat dan merasakan kasih sayang-Nya.

“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. an-Nisa’ : 17)

*Seperti yang dikisahkan Hendri kepada  Hidayatullah.com

HIDAYATULLAH

Arab Saudi Umumkan Jamaah yang Ikut Haji Tahun Ini

Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi akan mengumumkan nama-nama dari 60.000 jamaah yang terpilih menunaikan haji tahun ini. Pengumuman akan dilakukan hari ini, Jumat (25/6). 

Seperti dilansir Arab News, Kementerian Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi mengatakan bahwa portal elektronik untuk jamaah haji domestik menerima lebih dari 540.000 aplikasi dari warga dan penduduk Saudi sebelum pendaftaran ditutup pada Rabu (23/6). Kementerian juga menegaskan tidak  ada prioritas untuk pendaftaran awal.

Kementerian juga mengatakan jamaah yang terpilih bisa mulai memesan dan membeli paket pada pukul 1 siang pada Jumat.

Karena pandemi virus corona (COVID-19) dan munculnya mutasi baru, Kementerian Kesehatan dan Haji mengumumkan awal bulan ini bahwa mereka akan membatasi jumlah orang yang diizinkan untuk melakukan haji tahun ini sebanyak 60.000 orang saja. Pendaftaran hanya terbuka untuk warga negara dan penduduk Kerajaan Arab Saudi

Jamaah laki-laki menyumbang 59 persen dari peziarah yang terdaftar. Sementara kelompok usia antara 31 dan 40 tahun menempati slot pendaftaran paling banyak yaitu 38 persen. Jamaah haji yang terdaftar berusia 60 tahun ke atas mewakili kelompok usia terendah sebesar dua persen.

Berdasarkan protokol kesehatan Kerajaan Arab Saudi, jamaah yang ingin melakukan haji harus bebas dari penyakit kronis apa pun. Selain itu jamaah yang harus divaksin dan  berusia antara 18 hingga 65 tahun. 

Jamaah haji harus menerima vaksinasi secara lengkap. Atau bagi jamaah yang mengambil dosis vaksin Covid-19 pertama setidaknya 14 hari sebelumnya, atau yang divaksinasi setelah sembuh dari infeksi virus corona.

IHRAM

Saudi akan Umumkan 60 Ribu Nama Calon Jamaah Haji

Kementerian Haji dan Umrah akan mengumumkan nama-nama pendaftar haji yang telah dipilih untuk melakukan haji tahun ini, pada Jumat (25/6). Sebanyak 60 ribu peziarah domestik, termasuk warga negara dan penduduk, akan dipilih dari 540 ribu pendaftar yang masuk.

Dilansir dari Saudi Gazette, Jumat (25/6) Kementerian menekankan bahwa tidak akan ada prioritas bagi mereka yang melakukan pendaftaran awal. Pemesanan dan pembelian paket haji akan dimulai pada Jumat (25/6) pukul 13.00 waktu setempat.

Kementeriam sebelumnya telah menegaskan, bahwa pendaftaran bagi mereka yang ingin melakukan ritual haji tahun ini telah dibatasi hanya untuk warga negara dan penduduk yang saat ini berada di dalam Kerajaan. Pendaftaran pun hanya satu pintu, yakni melalui aplikasi resmi milik pemerintah Saudi, Tawakkalna.

Kementerian telah menutup pendaftaran pada Rabu (23/6) kemarin pukul 10 malam.  Kementerian menggarisbawahi, bahwa mereka yang ingin melakukan ritual haji harus bebas dari penyakit kronis, dan berada dalam kelompok usia antara 18 dan 65 tahun.

Peziarah wajib diinokulasi terhadap virus corona dan itu sesuai dengan kontrol dan mekanisme yang diikuti di Kerajaan untuk kategori imunisasi, dengan mengambil dua dosis vaksin atau menyelesaikan 14 hari setelah mengambil dosis pertama atau telah pulih dari infeksi Covid-19.

IHRAM

Hewan Kurban Haram karena Dikuliti Sebelum Mati Total?

Tersebar artikel dari sebagian aktifis makanan halal, bahwa jika hewan kurban selesai disembelih kemudian dikuliti dan dipotong bagian-bagian tubuhnya, maka dagingnya haram. Alasan mereka, karena hewan ketika disembelih terkadang tidak langsung mati total. Dan jika dikuliti dan dipotong bagian-bagian tubuhnya ketika itu, maka ia akan mati bukan karena sembelihan, namun karena dikuliti. Sehingga dagingnya haram.

Kami sayangkan, mereka yang mengeluarkan statement tersebut tidak menyokong pernyataannya dengan dalil atau keterangan ulama sedikit pun. Karena perkara halal-haram dalam agama, maka sudah semestinya didasari oleh dalil dan juga keterangan dari para ulama. Oleh karena itu, akan kita uraikan masalah ini dengan secara ringkas insyaAllah.

Hewan sembelihan halal ketika sudah disembelih

Kita ketahui bersama bahwa hewan sembelihan menjadi halal karena dilakukan penyembelihan padanya. Allah Ta’ala berfirman,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah” (QS. Al-Maidah: 3).

Dan cara penyembelihan adalah dengan dzabh dan nahr. Disebutkan dalam kamus Lisaanul ‘Arab,

الذَّبْحُ : قَطْعُ الحُلْقُوم من باطنٍ عند النَّصِيل

adz-dzabh artinya memotong tenggorokan dari saluran makan hingga saluran darah”.

Sedangkan an-nahr, definisinya disebutkan dalam Mu’jam Lughatil Fuqaha sebagai berikut,

النَّحْر: ذكاة الإبل: طعنها في أسفل العنق عند الصدر

“Nahr artinya cara menyembelih unta, yaitu dengan menusuk unta di bawah leher unta di bagian dada“.

Maka penyembelihan sudah sah ketika yang menyembelih sudah memotong tenggorokan dari hewan sembelihan atau menusuk leher dari unta, sehingga mengalirkan sebagian besar darahnya.

Ini juga diisyaratkan oleh hadis dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda tentang alat sembelihan,

كُلُ – يَعْنِي – ما أنْهَرَ الدَّمَ، إلَّا السِّنَّ والظُّفُرَ

“Alat sembelihan adalah semua yang mengalirkan darah kecuali gigi dan kuku” (HR. Bukhari no. 5506).

Maka sekali lagi, sembelihan sudah terpenuhi dengan selesai dilakukannya dzabh atau nahr. Dan hewan kurban sudah halal statusnya sejak itu. Sehingga tidak benar jika dikatakan hewan yang sudah disembelih statusnya bisa menjadi haram karena dikuliti.

Dimakruhkan menguliti sebelum mati

Namun memang, memotong dan menguliti hewan sebelum mati total hukumnya makruh, karena ini bentuk tidak ihsan dalam penyembelihan. Dari Syaddad bin Aus radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

إنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإحْسَانَ علَى كُلِّ شيءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فأحْسِنُوا القِتْلَةَ، وإذَا ذَبَحْتُمْ فأحْسِنُوا الذَّبْحَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

“Allah mewajibkan ihsan (berbuat baik) dalam segala sesuatu. Jika kalian membunuh (dalam hukuman qishash) maka bunuhlah dengan ihsan. Jika kalian menyembelih maka sembelihlah dengan ihsan. Tajamkan pisaumu dan tenangkan hewan sembelihanmu” (HR. Muslim no. 1955).

Seorang ulama Hanafiyah, Muhibbuddin Al-Buldahi, dalam kitab Al-Ikhtiyar lit Ta’lil Al-Mukhtar (5/12) mengatakan:

وَيُكْرَهُ سَلْخُهَا قَبْلَ أَنْ تَبْرُدَ

“Dimakruhkan menguliti hewan sebelum ia dingin (mati total)”.

Namun, hukum makruh ini hanya terkait perbuatan menguliti dan memotong sebelum mati total. Adapun dagingnya maka halal selama sudah dilakukan nahr atau dzabh. Ibnu Atsir dalam kitab An-Nihayah (3/428) mengatakan,

كسر رقبة الذبيحة قبل أن تبرد. فإن نخع، أو سلخ قبل أن تبرد، لم تحرم الذبيحة؛ لوجود التذكية بشرائطها

“Memotong leher hewan sebelum dia dingin walaupun sampai keluar darah dari kerongkongannya, atau mengulitinya sebelum dia dingin, maka tidak haram dagingnya. Karena sudah tercapai syarat-syarat penyembelihan”.

Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Durar As-Saniyyah, “Dimakruhkan menguliti hewan atau memotong anggota badannya sebelum ia mati total. Ini disepakati oleh 4 madzhab: Hanafiyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Alasannya adalah sebagai berikut:

Pertama, hal tersebut dapat menyiksa si hewan. Namun, ini tidak membuat hewan sembelihan tersebut menjadi haram. Karena pelarangan hal ini (menguliti sebelum mati total) itu karena faktor tambahan, yaitu bertambahnya rasa sakit yang dirasakan si hewan. Sehingga ini tidak membuat hewan sembelihan tersebut menjadi haram.

Kedua, hal tersebut dapat mempercepat matinya si hewan. Padahal dengan dipercepat matinya, ini dapat membuat sebagian darah tertahan dan tidak keluar” (Sumber: https://dorar.net/feqhia/3731).

Maka daging hewan kurban itu tetap halal selama sudah disembelih dengan benar. Dan dianjurkan untuk menunggu mati total sebelum memotong atau mengulitinya. Namun, jika langsung dikuliti atau dipotong, maka tidak membuat dagingnya haram.

Dan mengatakan “haram” pada kasus di atas itu berat, dan akan membuat kaum Muslimin ragu terhadap kehalalan hewan kurban. Ini tidak boleh sembarangan diucapkan kecuali didukung oleh dalil atau minimal pernyataan ulama, tidak boleh hanya dengan logika atau perasaan.

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/67056-hewan-kurban-haram-karena-dikuliti-sebelum-mati-total.html

Debat yang Dibenci Allah

LISAN adalah karunia yang unik. Di satu sisi bisa menjadi sumber kebaikan, namun di saat yang sama bisa menjadi sumber keburukan. Lisan bisa membawa ke surga dan juga bisa ke neraka.

إن أبغض الرجال إلى الله الألد الخصم . متفق عليه

“Sesungguhnya orang yang paling dimurkai oleh Allah adalah orang yang selalu mendebat.” (Riwayat Bukhari No 2457, Muslim No 2668).

Organ tubuh ini tidak mudah ditundukkan. Tak jarang keinginan berbicara lebih sulit dikendalikan daripada keinginan makan dan minum. Di bulan puasa banyak yang bisa menahan lapar dan haus, tapi tak berdaya menghadapi keinginan lisannya.

Berdebat adalah salah satu ruang pemanfaatan lisan. Dalam debat, seseorang bisa menyampaikan gagasan dan argumentasi dengan lisan. Dengan lisan pula seseorang membela diri dan mempertahankan gagasannya.

Debat Tercela

Berdebat, pada asalnya sesuatu yang mubah (boleh). Bahkan bisa menjadi terpuji jika dijadikan wasilah menyampaikan dan mempertahankan kebenaran. Namun pada keadaan tertentu, debat bisa menjadi musibah dan mendapat predikat sangat buruk dari Allah SWT.

Hadits di atas adalah salah satu peringatan Rasulullah ﷺ dalam perkara ini. Ternyata ada debat yang bisa menjadi sebab pelakunya teramat dibenci oleh Allah SWT. Yaitu orang sangat keras dalam mendebat (al-aladdul-khasim). Inilah yang diistilah dengan al-jidal al-madzmum (debat yang tercela).

Menurut Ibnu Hajar, al-khasim adalah yang terus-menerus mendebat. Kemungkinan makna yang lain adalah orang yang keras dalam debatnya atau yang banyak berdebat. Adapun lafaz luddan maknanya adalah melenceng. (Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani, Bab: Qauluhu ta’ala wa huwa aladdul-khisam).

Dengan demikian, makna al-aladdul-khasim adalah orang yang banyak atau sangat keras dalam mendebat untuk membela sesuatu yang menyimpang. Imam Nawawi menjelaskan, “Debat yang tercela adalah debat yang batil untuk melenyapkan yang hak dan menegakkan kebatilan.” (Syarah Shahih Muslim, Imam an-Nawawi, bab: Fil aladdil-khasim).

Jadi, pendebat yang dibenci Allah SWT memiliki dua ciri khas. Pertama, berdebat untuk mempertahankan penyimpangan dan kesalahan. Kedua, keras dan gigih dalam mempertahankan kesalahan itu.

Orang yang ngotot membela penyimpangan sejatinya sangat lemah pegangan dan argumentasinya. Itulah sebabnya, cara apapun akan ditempuh agar bertahan. Dan salah satu jurus andalannya adalah dusta.

Berdebat membela penyimpangan juga akan membutakan mata dan hati. Semua akan didebat jika penyimpangan yang dibelanya merasa terancam. Jangankan perkataan orang, al-Qur`an dan Hadits pun bisa menjadi sasaran.

Al-Qur`an adalah wahyu dari Allah SWT. Mendebatnya sesungguhnya melawan Allah. Aneh, tapi memang seperti itulah keadaan orang yang telah buta mata dan hatinya.

Orang musyrik pernah mendebat Rasulullah ﷺ tentang firman Allah SWT:

اِنَّكُمۡ وَمَا تَعۡبُدُوۡنَ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰهِ حَصَبُ جَهَـنَّمَؕ اَنۡـتُمۡ لَهَا وَارِدُوۡنَ

“Sesungguhnya kalian (orang kafir) dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah bahan bakar Jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya.” (al-Anbiyaa’ [21]: 98).

Kata orang musyrik, jika sesembahan kami menjadi bahan bakar neraka, maka Isa bin Maryam juga demikian. Allah SWT kemudian menjawab:

وَقَالُـوۡٓا ءَاٰلِهَتُنَا خَيۡرٌ اَمۡ هُوَ‌ؕ مَا ضَرَبُوۡهُ لَكَ اِلَّا جَدَلًا ؕ بَلۡ هُمۡ قَوۡمٌ خَصِمُوۡنَ

“Dan mereka berkata: ‘Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)?’ Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka mendebat.” (az-Zukhruf [43]: 58).

Debat Terpuji

Berbeda halnya jika debat itu dijadikan wasilah untuk menegakkan kebenaran. Para nabi berdialog dan berdebat dengan kaumnya untuk meninggikan kebenaran.
Allah SWT berfirman:

قَالُوۡا يٰـنُوۡحُ قَدۡ جَادَلۡتَـنَا فَاَكۡثَرۡتَ جِدَالَـنَا فَاۡتِنَا بِمَا تَعِدُنَاۤ اِنۡ كُنۡتَ مِنَ الصّٰدِقِيۡنَ

“Mereka berkata: ‘Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah (berdebat) dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” (QS: Hud [11]: 32).

Di kalangan Sahabat terkadang juga ada perdebatan. Ibnu Abbas RA, misalnya, pernah mendatangi dan berdialog dengan kelompok sesat Khawarij.

Begitupun para ulama salafush-shalih. Tapi debatnya adalah untuk menegakkan kebenaran. Tak heran jika di kalangan ulama ada yang meninggalkan pendapatnya setelah mengetahui bahwa dalil yang jadi pijakannya lemah.

Tujuan dalam berdebat penting untuk jadi perhatian. Baik dan buruknya debat sangat dipengaruhi niat yang melatarbelakangi. Walau tampilan debatnya adalah kebaikan tapi jika niatnya tidak baik akan menjadi debat yang tercela.

Ad-Dzahabi berkata, “Jika debat untuk teguh di atas kebenaran dan menetapkannya maka itu terpuji, dan jika debat untuk menolak kebenaran atau tanpa ilmu maka itu tercela.” (al-Kabir, hal 221).

Dalam konteks agama, al-Qur`an dan Sunnah adalah sumber kebenaran. Oleh karenanya salah sasaran jika kandungan al-Qur`an dan Sunnah yang jadi bahan perdebatan.

Ketika makna suatu ayat atau Hadits sudah sangat jelas, maka yang dituntut dari kita adalah sami’na wa atha’na (dengar dan taat). Bukan mendebat.

Yang bisa menjadi bahan perdebatan adalah pendapat para ulama dalam memahami suatu ayat dan Hadits yang mutasyabihat (belum jelas maknanya). Pada ruang inilah ada peluang untuk berdebat. Tujuannya agar nampak pendapat yang lebih sesuai dengan al-Qur`an dan Sunnah.

Tentunya orang yang memperdebatkan adalah orang yang memiliki kapabilitas keilmuan yang mumpuni. Tidak setiap orang bisa melakukannya.

Perdebatan di Medsos

Di zaman modern ini, begitu banyak fasilitas yang bermunculan. Fasilitas-fasilitas itu memang memberikan banyak kemudahan, tapi pada kondisi tertentu juga menjadi pencuri waktu yang andal. Salah satunya adalah media sosial (medsos).

Tidak dipungkiri bahwa medsos bisa menjadi sarana dakwah yang efesien. Tapi melalui medsos, kita juga melihat model pendebat-pendebat yang dibenci oleh Allah SWT. Mereka berdebat bukan mencari kebenaran, tapi demi kepuasan diri atau pihak tertentu yang menyuruhnya.

Penting agar kita selalu mengoreksi niat dan tujuan ketika berdebat di medsos. Juga perlu menata caranya, yaitu berdebat dengan ilmu yang dibingkai dengan etika dan sopan santun.

Ibnu Katsir berkata, “Debat yang baik adalah debat yang berpijak di atas ilmu, dilaksanakan dengan akhlaq yang baik, lembut, sopan dan tepat dalam memilih kalimat dan mengajak kepada kebenaran dan menggambarkan baiknya kebenaran itu dan membantah yang batil dan menjelaskan keburukannya dengan jalan yang ringkas (tidak bertele-tele). Janganlah tujuan di dalam berdebat sekadar untuk saling mengalahkan. Yang menjadi tujuan adalah menjelaskan kebenaran dan memberikan hidayah (penjelasan) kepada manusia.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/592).

/*Ahmad Rifai, pengajar di STIS Hidayatullah Balikpapan/Suara Hidayatullah

HIDAYATULLAH

Imam Syafii dan Kakek Misterius

Imam Syafii terkesan dengan penampilan kakek berwibawa yang misterius itu.

Dalam sejarah peradaban Islam, Imam Syafii merupakan salah seorang tokoh yang berpengaruh besar. Pemilik nama lengkap Muhammad bin Idris bin ‘Abbas bin ‘Usman bin Syaafi’ itu mendirikan salah satu mazhab fikih ahlussunnah waljama’ah. Fatwa dan pemikirannya diikuti banyak kaum Muslimin di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Sejak kecil, ia tumbuh dalam lingkungan yang mengutamakan ilmu-ilmu agama. Perjalanannya dalam menuntut ilmu dimulai dari belajar membaca, menulis, dan menghafal Alquran. Alhasil, saat usianya masih tujuh tahun, Imam Syafi’i telah menyelesaikan hafalan 30 juz dengan lancar.

Setelah menjadi hafiz, lelaki kelahiran Gaza, Palestina, tersebut meneruskan rihlah keilmuannya dengan menghafal berbagai macam syair Arab dan kitab Al-Muwattha’ karangan Imam Malik. Ketika menetap di Makkah, ia berguru kepada Sufian bin ‘Uyainah, salah seorang ahli hadis terkemuka dari generasi tabiit tabiin. Imam Syafi’i memuji keduanya, “Kalau bukan karena Imam Malik dan Sufian bin ‘Uyainah, maka akan hilanglah ilmu di Hijaz.”

Salah seorang habib atau keturunan Nabi Muhammad SAW itu dikenal luas sebagai ulama besar. Ia mengajar di sejumlah daerah, utamanya Irak dan Mesir. Dengan reputasi yang sedemikian besar, bagaimanapun, dirinya tidak jatuh pada keangkuhan.

Malahan, pakar fikih tersebut tetap belum merasa puas akan ilmu-ilmu yang telah diperolehnya. Dalam suatu riwayat disebutkan, Imam Syafii masih merasa sebagai orang yang paling bodoh. “Bila aku mendapatkan satu ilmu baru, maka hal itu menunjukkan betapa bodohnya diriku,” katanya. Sebuah ungkapan rendah hati sang imam!

Kisah berikut ini juga menggambarkan kerendah-hatiannya. Pada suatu hari, yakni antara zuhur dan ashar, Imam Syafii bersandar pada sebuah pohon yang rindang. Waktu itu dimanfaatkannya untuk istirahat, menenangkan pikiran sejenak setelah menyelami kitab-kitab di perpustakaan.

Tiba-tiba, seorang kakek berjalan menghampirinya. Kakek tersebut tampak memakai jubah yang cukup tebal, imamah, dan sarung yang menutupi kedua kakinya. Kelihatannya, semua yang dikenakan orang tua ini berbahan dasar bulu domba (shuf). Adapun tangan kanannya memegang sebuah tongkat.

Imam Syafii terkesan dengan penampilan kakek itu. Menurutnya, kewibawaan begitu terpancar dari sosok misterius tersebut. Kakek ini mengucapkan salam. Sang imam bangkit dari duduknya, berdiri sembari merapikan pakaian, dan menjawab salamnya. Lelaki tua itu mengisyaratkan ingin duduk di sebelah Imam Syafii. Yang diminta pun mempersilakannya.

“Sungguh, aku ingin mengajukan pertanyaan untukmu,” kata sang kakek.

“Silakan,” jawab Imam Syafii.

“Apa dasar dari agama Allah?” tanya kakek itu.

“Alquran.”

“Lalu, apa lagi?”

“Sunnah Rasulullah SAW.”

“Kemudian?”

“Ijma (konsensus) para ulama,” terang Imam Syafii.

“Apa dalil-dalil yang bisa Anda ajukan sehingga mengatakan ijma para ulama?” desak kakek tersebut.

“Alquran,” jawab Imam Syafii.

“Kalau begitu, ayat yang mana di Alquran?” cecarnya lagi.

Imam Syafii tidak langsung menjawab. Untuk beberapa lama, dia merenung dan berpikir sejenak. Melihat itu, sang kakek bangkit lalu berkata kepadanya, “Kuberikan kepadamu waktu tiga hari tiga malam. Jika menemukan ayat dari Alquran sebagai dalil untuk itu, maka kamu benar. Jika tidak, maka segeralah bertobat!”

Imam Syafii terkejut. Sebelum ia menanggapi, kakek tersebut sudah beranjak pergi. Sejak saat itu, sang imam berupaya untuk menemukan dalil yang dimaksud. Ia pun selalu memohon petunjuk kepada Allah agar diberikan ilham tentang ayat Alquran yang bisa menjelaskan perihal ijma.

Tiap hari, begitu memasuki waktu antara Zhuhur dan Ashar, Imam Syafii menyambangi pohon tempatnya bertemu dengan sang kakek misterius. Barulah pada hari ketiga, keduanya kembali berjumpa.

Tampak jelas rasa lelah pada fisik Imam Syafii. Kantung matanya menjadi tebal. Kedua telapak tangan dan kakinya kelihatan bengkak. Itu menandakan, sang imam memang sangat bersungguh-sungguh dalam menemukan apa yang dicari.

“Silakan, berikan jawabanmu,” kata sang kakek setelah mengucapkan salam.

“Baiklah,” jawab Imam Syafii, “adapun dalil yang dimaksud ialah surah an-Nisa ayat 115.”

Terjemahan ayat itu, “Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu, dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”

“Jawabanmu tepat,” timpal kakek tersebut sembari tersenyum kepada Imam Syafii.

Sejurus kemudian, pria tua misterius itu pun pergi. Menurut riwayat dari Tajuddin as-Subki, kakek ini adalah Nabi Khidir.

Kisah tersebut memuat pesan moral tentang keteladanan yang ditunjukkan Imam Syafii. Tidak perlu diragukan lagi, sang imam memiliki taraf keilmuan yang tinggi. Pengetahuannya akan syariat pun luas, di atas rata-rata Muslimin. Tentangnya, Imam Hambali pernah berkata, “Imam Syafii laksana matahari bagi dunia dan kesembuhan bagi tubuh. Setelahnya, tidak ada orang yang menandingi kebesarannya.”

Namun, keluasan ilmu tidak menjadikannya sombong. Sikap rendah hatilah yang membuatnya tidak gengsi untuk tidak menjawab seketika pertanyaan dari sang kakek. Ketika “diberi” waktu tiga hari untuk menemukan jawaban, masa itu dimanfaatkannya dengan sungguh-sungguh. Sampai-sampai, kaki dan tangannya bengkak karena kerja keras mencari dalil yang tepat.

OLEH HASANUL RIZQA

REPUBLIKA ID

Musim Kematian

Kemarin lusa, sambil hujan-hujan saya berkendara dari utara ke selatan. Sepanjang jalan, saya berpapasan dengan tiga ambulan. Semua membunyikan sirine meminta jalan.

Saya membaui aura kegentingan di kota ini. Rumah-rumah sakit hampir penuh. Penguasa kota sudah memikirkan untuk menutup kota untuk mencegah penyebaran penyakit.

Hari ini saya membuka media sosial hanya untuk mendapati ucapan berita duka cita. Banyak orang meninggal. Sebagian saya kenal. Sebagian tidak.

Tidak ada satupun menyebut mereka meninggal karena penyakit yang sekarang menjadi pandemi ini. Semua orang tidak ingin bicara tentang penyakit itu. Bahkan enggan menyebut namanya. Termasuk saya.

Penyakit ini membawa malapetaka tidak saja untuk mereka yang terinfeksi. Juga untuk mereka yang bugar. Jika satu kematian diumumkan karena penyakit ini, orang-orang yang berkontak dengan yang terinfeksi harus diisolasi.

Ada satu rumah harus diasingkan. Bisa juga satu kampung harus diisolasi.

Semikian beratnya, orang menghindar untuk menyebutnya. Jika ada pertanyaan, si A meninggal karena apa? Oh, dia meninggal karena jantung. Karena stroke. Karena darah tinggi. Orang tidak mau menyebut penyakit itu. Karena petaka berenteng yang harus mereka pikul.

Pagi ini, saya membaca berita bahwa penyakit ini tidak saja mematikan orang biasa. Ia juga membunuh tenaga kesehatan dan para dokter. Menurut sebuah data, 945 tenaga kesehatan telah meinggal karena penyakit ini. Hingga saat ini ada kurang lebih 350 dokter dan tenaga kesehatan terinfeksi sekalipun telah divaksinasi.

Akhir-akhir ini kasus infeksi meningkat tajam. Tidak terlalu sulit mencari datanya.

Namun, tidak sedikit pula yang tidak percaya. Satu penelitian tahun lalu di Jakarta akhir tahun lalu memperlihatkan bahwa satu dari lima responden percaya bahwa penyakit ini adalah “konspirasi yang diciptakan para elit global.”

Pandemi ini membutuhkan rasa percaya (trust) khususnya rasa percaya pada otoritas. Tidak saja kepercayaan kepada otoritas politik yang membuat kebijakan publik tetapi pada otoritas keahlian. Harus ada pengakuan bahwa ada orang yang memang terspesialisasi dan ahli tentang penyakit ini.

Epidemi ini tidak hanya pertarungan melawan virus. Dia juga adalah pertarungan melawan virus disinformasi. Pertarungan merebut otoritas dan upaya legitimasi atau delegitimasi terhadapnya.

Selama pandemi ini kita juga menyaksikan keriuhan pertarungan informasi/disinformasi ini di media sosial. Grup-grup WA, FB, Twitter, penuh dengan perang informasi.

Orang-orang awam berteori dan menuduh kiri kanan. Yang tak kalah menakjubkannya, bahkan orang-orang yang seharusnya kompeten ikut bertarung dalam pembentukan persepsi ini. Bahkan seorang mantan menteri kesehatan, yang juga terpidana korupsi, menjadikan isu pandemik ini sebagai caranya “berjuang” untuk kaum lemah. Barangkali itu cara termudah untuk seorang terpidana korupsi untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik.

Semakin kontroversial sebuah informasi, semakin menarik ia perhatian, dan semakin populerlah para ‘messenger’ atau pembawa pesannya . Sebagian bahkan memonetisasi popularitasnya itu.

Namun ini ada akibatnya. Kebencian kepada tenaga-tenaga kesehatan semakin memuncak. Seorang dokter di Jawa Timur mengatakan bahwa anak buahnya dilempari kotoran manusia karena mendiagnosa bahwa pasiennya menderita penyakit ini.

Pertarungan persepsi ini melahirkan anarki. Tidak ada kepemimpinan. Tidak ada kebenaran. Semua orang mencoba mengeruhkan air dan memancing didalamnya.

Melihat semua itu, saya bertanya, lalu kita harus bagaimana? Untuk saya persoalannya sederhana namun rumit. Saya kira, cara terbaik untuk menghadapi pandemi ini adalah dengan kepercayaan terutama kepada sains.

Orang tentu akan bertanya, sains yang mana? Karena kaum yang tidak percaya juga punya sain dan isaintis. Mereka juga mahir mengutip teori ini dan itu.

Dalam hal ini, saya percaya pada sains arus utama (mainstream). Saya percaya pada kesepakatan para ahli, pada apa yang ditemukan dan disetujui oleh banyak ahli.

Biasanya mereka yang tidak percaya akan penyakit ini akan menganggap ketundukan pada hal-hal yang mainstream itu adalah tanda kepengecutan. Tanda kelemahan. Pokoknya sama sekali tidak heroik.

Anti-mainstream adalah perlawanan. Ketidakpercayaan pada ahli dan kekuasaan adalah kebodohan. Anarki adalah puncak kebebasan.

Sekalipun hal-hal itu menarik untuk saya, dan sepanjang hidup saya berusaha untuk tidak menjadi mainstream, saya juga tunduk pada keadaan sekeliling saya.

Terlalu banyak tangisan dan duka. Terlalu banyak kesakitan dan kegagalan. Tidak ada kepemimpinan — bahkan ironisnya mereka yang seharusnya memimpin juga menyebarkan berita-berita bohong dan memanipulasi informasi.

Pandemi ini bisa diakhiri kepercayaan bahwa penyakit ini ada dan saling bekerjasama untuk mengatasinya. Penyakit ini hanya bisa diakhiri hanya dengan aksi-aksi kolektif (collective actions). Sekalipun penyakit ini menuntut pemisahan sosial (social distancing), penyelesaiannya membutuhkan kerjasama sosial secara kolektif.

Pandemi ini tidak akan berakhir jika ada orang-orang yang terus menerut mengeruhkan air dan memancing didalamnya. Mereka yang menyemburkan kegagahan atas nama rakyat miskin tetapi ternyata memancing keuntungan daripadanya.

Pada akhirnya, yang paling diperlukan adalah kerendahan hati untuk mengakui bahwa pandemi ini ada dan perlu diatasi bersama. Dengan rendah hati. Anti-hero banget, bukan?

ISLAMI

Kiat-Kiat agar Doa Dikabulkan (Bag. 4)

Baca pembahasan sebelumnya Kiat-Kiat agar Doa Dikabulkan (Bag. 3).

Kiat ketiga: berdoa dengan hati khusyuk disertai merasa lemah dan butuh di hadapan Rabbnya, serta menghinakan diri dan merendahkan diri kepada-Nya

Perkara yang disebutkan Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah ini sangat penting dalam masalah doa ataupun ibadah-ibadah yang lainnya. Di antara bentuk realisasi penghambaan hendaknya seorang hamba merendahkan dan menghinakan diri di hadapan pencipta-Nya, terlebih lagi di saat berdoa dan meminta. Hal ini seperti yang Allah sebutkan dalam Al Qur’an,

اٌدْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-A’raf: 55).

Imam At Thabari menjelaskan dalam kitab tafsirnya bahwa yang dimaksud (تَضَرُّعاً) adalah menghinakan diri dan merendahkan diri dengan menaati-Nya, sedangkan  (خُفْيَةً) maksudnya adalah dengan khusyuknya hati mereka.

Maka hendaknya kondisi orang yang berdoa adalah menghadirkan khusyuk dan merasa butuh ketika meminta kepada Rabbnya. Menyampaikan doa hendaknya juga dengan suara yang pelan dan penuh adab. Oleh karena itu, tatkala Nabi mendengar sebagian sahabat mengeraskan suara mereka ketika berzikir dan berdoa, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan mereka dengan bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا علَى أَنْفُسِكُمْ، إنَّكُمْ ليسَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا، إنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا، وَهٌوَ مَعَكُمْ

“Wahai sekalian manusia! Rendahkanlah suara  kalian, karena sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada Zat yang tuli dan tidak ada! Sesungguhnya kalian berdoa kepada Zat yang Maha Mendengar serta dekat dengan kalian dan Dia bersama kalian” (HR. Bukhari).

Al Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, “Ini menunjukkan dibencinya meninggikan suara ketika berzikir dan berdoa. Demikianlah perkataan mayoritas perkataan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in.”

Imam Nawawi memberi judul bab tatkala menyebutkan hadis ini dengan judul: “Disunahkan merendahkan suara ketika berzikir kecuali dalam kondisi terdapat dalil syar’i yang menyebutkan untuk mengeraskan bacaan zikir atau doa.”

Kiat keempat: menghadap kiblat ketika berdoa

Menghadap kiblat termasuk merupakan adab penting ketika berdoa yang menunjukkan pengagungan orang yang berdoa dan sekaligus menunjukkan perhatian penting terhadap doanya.

Oleh karena itu, terdapat hadis yang sahih dari Nabi dalam berbagai kesempatan beliau menghadap kiblat ketika berdoa. Seperti misalnya saat perang badar ketika beliau melihat banyaknya jumlah kaum musyrikin dibanding jumlah kaum muslimin, maka Nabi menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangan beliau untuk berdoa. Hal ini karena ketika orang yang berdoa menghadap kiblat merupakan sebab yang diharapkan bisa terkabulnya doa yang dia minta. Ini bukanlah merupakan syarat ketika berdoa, namun ini merupakan adab yang baik dan terpuji saat berdoa.

Kiat kelima: dalam keadaan suci saat berdoa

Bersuci merupakan salah satu adab ketika berdoa. Tidak diragukan lagi bahwa ketika orang yang berdoa dalam keadaan suci maka kondisinya lebih utama dan mulia untuk menyampaikan doanya kepada Allah, karena kondisi saat berwudu jelas lebih sempurna daripada kondisi hadats.

Dari Al Muhajir bin Qunfudz Radhiyallahu‘anhu bahwasanya beliau pernah mengucapkan salam kepada Nabi di saat beliau sedang berwudu. Beliau tidak menjawab salam saat itu. Setelah menyelesaikan wudu, barulah beliau menjawab ucapan salam tadi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنه لم يمنعني أن أرد عليك إلا أني كرهت أن أذكر الله إلا على طهارة

“Sesunghunya tidaklah menghalangiku untuk menjawab ucapan salam darimu meliankan karena aku tidak suka menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan suci” (HR. Abu Dawud, sahih).

Insyaallah bersambung dengan penjelasan kiat-kiat lainnya  agar doa dikabulkan. Semoga bermanfaat.

Sumber: Ad Duaa alladzii Laa Yurod karya  syekh Prof. Dr. ‘Aburrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al Badr Hafidzahullah yang diunduh dari: https://www.al-badr.net/ebook/192.

Penyusun: Adika Mianoki

Sumber: https://muslim.or.id/67054-kiat-kiat-agar-doa-dikabulkan-bag-4.html

Bersatu Mencegah Kemungkaran

Perintah menyuruh berbuat baik dan mencegah kemungkaran adalah wajib bagi tiap-tiap orang yang beriman. (QS. 3: 104): “Adakanlah tiap-tiap kamu ummat yang mengajak kebaikan menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang membuat yang salah. Mereka itulah oranga-orang yang beuntung.

Ayat ini dapat dilaksanakan jika dakwah Islam disiarkan secara teratur luas, selaras dengan tempat, masa keadaan untuk membawa ummat manusia ke jalan kebaikan. Menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang melakukan yang salah.

Penyiaran (dakwah) ini bukan saja ditujukan kepada umat Islam, melainkan juga untuk yang belum memeluk Islam dan buat segenap bangsa-bangsa di dunia. Umat Islam Indonesia seharusnya tidak hanya pandai menerima kedatangan penyiar-penyiar agama dari negara lain saja. Tetapi adalah suatu keharusan pula untuk mengirimkan para juru dakwah ke negara lain.

Kemungkaran yang semakin mengikat kita saat ini, sehingga kita tidak mampu lagi menyuruh berbuat kebaikan adalah karena rusaknya aqidah kita. Kembali kita telusuri kenapa aqidah ummat Islam jadi merosot. Bahkan di antara kita aqidahnya betul-betul tak bisa dinilai.

Seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa kelompok di luar Islam tidak akan senang kepada kita ummat Islam sebelum kita mengikuti cara mereka ( QS. 2:120). Mereka sangat menginginkan kita terpecah belah. Kemudian mereka mencoba merusak aqidah ummat Islam dengan bacaan-bacaan, tontonan dan ide-ide yang membuat ummat Islam semakin tidak berdaya.

Dan untuk memberbaiki hal ini tentulah tergantung usaha kita dengan mencoba tetap berusaha agar cara yang kita ambil tidak menimbulkan permusuhan dengan mereka. Tapi andainya mereka menginginkan kekerasan ataupun bahkan perang kita tidak mungkin tetap mengajukan cara lunak.

Nampaknya umat Islam diseluruh pelosok dunia, khususnya umat Islam di Indonesia sebagai jumlah terbanyak harus cepat-cepat menyadari bahwa hal pertama yang harus dilakukan agar ummat Islam kuat adalah melaksanakan perintah “bilma’ruf wa yanhauna anil munkar“.

Seandainya “bil ma’ruf wayanhauna ‘anilmunkar” mampu dilaksanakan tiap-tiap umat Islam, maka secara mendunia akan tercipta Islam yang kuat. Tapi, apakah umat Islam di Indonesia mampu mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, atau bahkan menolak bekerja sama dengan pemimpin yang tidak benar? Masih jadi pertanyaan.

Masih menjadi keperihatinan bagi banyak orang. Mengapa dikalangan umat Islam rasa cinta terhadap ajaran agamanya sangat tipis? Aneka produk (barang), seni musik, atau apa saja yang merupakan buah karya ummat Islam akan terasa asing bagi umat Islam sendiri. Bahkan mereka merasa gengsi dan rendah diri memakai apa saja yang mermerek Islam. Betapa memperihatinkannya.

Di sudut kota, baik kota besar maupun kota kecil terpampang poster porno di depan bioskop, tanpa kita mampu mencegahnya sama sekali. Padahal ini jelas-jelas iklan motivasi berlomba dalam kemaksiatan. Dan hal ini merupakan kemungkaran yang belum dicegah ummat Islam di Indonesia sampai zaman reformasi saat ini.

Mungkin untuk menegakkan kebenaran kita sudah bayak berkorban. Tapi apakah menegakkan kebenaran tanpa mencegah kemungkaran dapat membuat ummat di negari ini merasa damai?

Konteks teoritisnya menyatakan mesti harus saling seiring dan sejalan. Harus diikuti yang satu dengan yang lainnya. “Bilma’ruf wayanha Tanil munkar” merupakan perintah Allah yang harus dikerjakan sekaligus.

Keadilan dan kebenaran yang ditegakkan tanpa mencegah atau bahkan menghancurkan kemungkaran akan tetap membawa kita ke alam kesesatan. Karena kerusakan moral timbul karena rusaknya moral yang dilandasi oleh agama yang tipis.

Seandainya negara ini tetap dipimpin oleh orang yang tidak mengerti Allah dan agama dan tetap berkiblat pada Yahudi, maka sia-sialah reformasi yang diperjuangkan selama ini.

Mungkin karena kita terus dipaksa berpikir politik oleh para pengamat politik atau orang-orang yang merasa bahwa permasalahan negeri ini bisa diselesaikan dengan politik, membuat kita lupa ada hal utama yang jauh lebih penting bagi bangsa. Moral yang bejad, telah menciptakan banyak kemungkaran di mana-mana.

Kebenaranpun ditertawakan dan diinjak-injak. Akibatnya, negara ini terluka dan teramat sulit diobati.

Adalah yang terpenting saat ini, bagaimana kita bisa menciptakan Islam yang kuat dalam diri kita masing-masing. Sehingga pandangan kita terhadap politik, ekonomi, sosial budaya dan pendidikan sesuai dengan kerangka dan bingkai pandangan Allah swt juga (al-Qur’an dan Sunnah).

Semoga para pemimpin cepat menyadari sehingga rakyat jadi puas dan kebenaran dapat ditegakkan dengan mencegah sekuat mungkin arus kemungkaran.*/Hudiya Nadrah

HIDAYATULLAH