Jangan Biarkan Iblis Kendalikan Anak Kita!

SEPENGGAL hikmah di surat al-Isra: 6165. Ketika Iblis diusir dari surga karena membangkang perintah Allah, dia diberi kesempatan untuk menyesatkan manusia untuk menjadi temannya di neraka Jahanam.

Dia juga diberi kesempatan untuk memanfaatkan setiap harta dan anak yang dimiliki manusia agar menjadi propertinya. Allah berfirman,

“Bergabunglah dengan mereka (manusia) pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (QS. Al-Isra: 64)

Ulama berbeda pendapat tentang bentuk bergabungnya iblis bersama manusia dalam hal anak dan harta. Al-Hafidz Ibnu Katsir menyimpulkan perbedaan tafsir tersebut dengan menyebutkan keterangan Ibnu Jarir at-Thabari,

Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang paling mendekati kebenaran, bahwa setiap anak yang dilahirkan wanita, dan menjadi sebab seseorang bermaksiat kepada Allah, baik dengan memberikan nama untuknya dengan nama yang Allah Allah benci, atau dengan memasukkan anak ini ke dalam agama yang tidak Allah ridai, atau anak hasil zina dengan ibunya, atau anak yang dibunuh dan dikubur hidup-hidup, atau perbuatan lainnya yang termasuk maksiat kepada Allah terhadap anak itu, semua keadaan di atas termasuk dalam bentuk ikut campurnya Iblis terhadap anak.

Oleh karena itu, semua anak dan harta yang menjadi sarana bermaksiat kepada Allah dan sebab mentaati setan maka Iblis ikut bergabung di dalamnya. (Tafsir Ibnu katsir, 5/94).

Ayat ini mengingatkan kita untuk lebih mawas diri dalam mendidik dan memperhatikan manfaat harta dan pendidik anak. Bisa jadi secara zahir itu harta dan anak kita, namun sejatinya telah dikendalikan iblis.

Perhatikan dengan baik, jangan beri kesempatan Iblis untuk bergabung mengendalikan harta dan anak kita. Allahu alam. [Ustaz Ammi Nur Baits]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2327516/jangan-biarkan-iblis-kendalikan-anak-kita#sthash.klxRxyNb.dpuf

Hikmah Potong Tangan bagi Pencuri

HIKMAH dari potong tangan ini adalah untuk melemahkan alat yang dijadikan untuk melakukan kriminal, sebab tangan bagi pencuri adalah ibarat sayap bagi burung, maka memotong tangan pencuri dapat meruntuhkan sayapnya dan memudahkan penangkapannya bila dia mengulang mencuri lagi. Jadi, hukuman ini adalah untuk menjaga keamanan dan harta manusia. (Ahkamu Sariqoh fi Syariah wal Qonun, hlm. 233)

Kecintaan Nabi kepada Usamah tidak menjadikan beliau untuk menerima lobinya, karena ini bersangkutan dengan hukum hak Allah yang tidak bisa dibatalkan oleh lobi seorang, padahal biasanya dalam permasalahan yang tidak berkaitan dengan hukum Allah, Nabi selalu menerima lobi sahabatnya sekalipun mungkin lebih rendah dari Usamah.

Seorang yang biasa terkadang dapat mengungguli kedudukan orang yang kaya. Perhatikanlah Usamah bin Zaid, beliau adalah budak, sebab ayahnya Zaid bin Haritsah adalah budak yang diberikan Khodijah kepada Nabi. Namun sekalipun demikian, beliau memiliki kedudukan yang begitu tinggi dalam hati Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Peringatan bagi orang yang melobi untuk membatalkan hukum Allah, sebab Nabi memberikan peringatan kepada Usamah yang telah melakukan hal itu. Tidak cukup hanya ditolak lobinya, bahkan lebih dari itu, hendaknya dia diberi peringatan agar tidak mengulangi perbuataannya lagi di waktu mendatang.

Bolehnya membuat perumpamaan dan permisalan, di mana Nabi memberikan permisalan dalam hadis ini dengan Bani Israil, beliau bersabda: “Sesungguhnya faktor penyebab kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah apabila orang yang bangsawan di antara mereka mencuri maka mereka dibiarkan (tidak dihukum), namun apabila yang mencuri adalah rakyat kecil (miskin) maka mereka langsung dihukum”.

Sungguh, ini termasuk keterbalikan Bani Israil, karena justru seharusnya para bangsawan itu mendapatkan hukuman yang lebih berat sebab mereka semestinya lebih harus menjauhi kriminal daripada rakyat biasa.

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2327242/hikmah-potong-tangan-bagi-pencuri#sthash.UGAeOVgR.dpuf

Ketegasan Khalifah Umar Menghukum Keluarganya

LIHATLAH ketajaman Khalifah Umar bin Khoththob, beliau apabila melarang manusia dari sesuatu maka beliau mengumpulkan keluarganya seraya mengatakan kepada mereka:

“Saya telah melarang manusia dari begini dan begitu, dan manusia sekarang akan melihat kepada tingkah kalian layaknya burung melihat kepada daging. Maka siapapun seorang di antara kalian yang melanggarnya maka saya akan lipatkan hukumannya.” (Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf, 6/199).

Kenapa Umar melipatkan hukuman bagi mereka? Bukankah seharusnya sama saja hukumannya? Ya, memang asal hukumnya sama tetapi Umar melipatkan agar mereka tidak meremehkan hukum hanya karena kedekatan mereka dengan Umar.

Barang siapa di kalangan pemerintah melakukan seperti ini yaitu tidak menegakkan hukum kecuali kepada rakyat biasa maka ini adalah faktor kehancuran negara dan bangsanya, sebagaimana Bani Israil hancur karena hal tersebut. Kitapun tidak ada bedanya dengan Bani Israil kalau kita melakukan hal yang sama. Apa yang menimpa bani Israil dikarenakan tidak menerapkan hukum Allah akan menimpa kita juga apabila kita tidak menerapkan hukum Allah.

Lihatlah fakta sekarang, adakah kehinaan yang lebih daripada apa yang dirasakan oleh umat Islam sekarang. Walaupun jumlah mereka milyaran, memiliki kekuatan militer dan persenjataan, namun karena mereka melalaikan agama Allah maka Allah melalaikan mereka.

Nabi memiliki hikmah dan kata-kata yang mendalam dalam ucapan dan perbuatannya, beliau bersumpah padahal tidak diminta bersumpah, bersumpah dengan Fathimah yang juga dari kabilah Quraisy dan wanita yang paling dekat dan paling dicintai oleh Nabi. Sekalipun demikian, Nabi mengatakan: Seandainya Fathimah putri Muhammad mencuri niscaya saya sendiri yang akan memotong tangannya”.

Allahu Akbar, demikianlah hendaknya hukum Allah ditegakkan, tanpa pilih kasih kepada siapapun orangnya yang melakukan kriminal dan pelanggaran. Semoga Allah memberikan taufik kepada para pemerintah kita agar meniru apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad.

Demikianlah beberapa mutiara ilmu yang dapat kita petik dari hadis ini. Semoga bermanfaat. [Ustad Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar ]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2327240/ketegasan-khalifah-umar-menghukum-keluarganya#sthash.g5OBRitX.dpuf

Penegak Hukum Permainkan Hukum, Orang Hina

AKHIR-AKHIR ini ramai diberitakan di media masa adanya oknum penegak hukum yang menerima sejumlah dana yang patut diduga berkaitan dengan perkara yang telah ditanganinya. Bila ini benar, yakni apabila penegak hukum yang mempermainkan hukum, maka tunggu masa-masa kehancuran.

Di dalam surat Al Baqaroh ayat 188 Allah SWT berfirman yang artinya “Janganlah sebahagian di antara kamu dengan yang lain memakan harta kamu dengan cara yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian dari pada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui”.

Janganlah kamu memakan harta sebagian kamu antara kamu, yakni janganlah memperoleh dan menggunakannya. Keuntungan dan kerugian dari interaksi itu, tidak boleh ditarik terlalu jauh oleh masing-masing, sehingga salah satu pihak merugi, sedang pihak yang lain mendapat keuntungan, sehingga bila demikian harta tidak lagi berada di tengah atau harta antara dan kedudukan kedua belah pihak tidak lagi seimbang. Perolehan yang tidak seimbang adalah bathil, dan yang bathil adalah segala sesuatu yang tidak hak, tidak dibenarkan oleh hukum serta tidak sejalan dengan tuntunan ilahi walaupun dilakukan atas dasar kerelaan yang berinteraksi.

Salah satu yang terlarang dan sering dilakukan dalam masyarakat adalah menyogok dan disogok. Penyogok menurunkan keinginannya kepada yang berwenang memutuskan sesuatu, tetapi secara sembunyi-sembunyi dan dengan tujuan mengambil sesuatu secara tidak sah. Di dalam ayat ini ada beberapa kandungan yang patut untuk dicermati adalah, banyak di sekeliling kita dan banyak sekali dapat kita saksikan ada orang yang senantiasa berbuat zalim kepada sesamanya dengan dalih dalam rangka meraup keuntungan.

Ayat di atas juga bermakna, janganlah sebagian kamu mengambil harta orang lain dan menguasainya tanpa hak, dan jangan pula menyerahkan urusan harta kepada hakim yang berwewenang untuk memutuskan perkara bukan untuk tujuan memperoleh hak, tetapi untuk mengambil hak orang lain dengan melakukan dosa, dan dalam keadaan mengetahui bahwa itu sebenarnya tidak berhak.

Kebatilan yang merajalela

Mari kita melihat kejadian demi kejadian sekarang ini ada orang yang memberikan alat pemutih kepada beras agar beras tersebut putih dan jernih. Orang menggunakan formalin kepada produk yang dikonsumsi oleh orang banyak. Allah SWT menegaskan dalam surat Al- Muthaffifin ayat 1-3 yang artinya “Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang), yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dan orang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi”.

Dalam surat Al Baqarah ayat 188 Allah dengan tegas dan gamblang menyatakan bahwa ada sebahagian di antara manusia yang senantiasa memberikan sogokan kepada para hakim dan penegak keadilan dalam rangka mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan diambil oleh hakim itu.

Ada hadis Rasulullah SAW, yang sangat terkenal dalam kehidupan peradilan, Rasulullah SAW mengatakan “Sungguh telah celaka orang-orang sebelum kamu, kalau seseorang yang berbuat kriminal adalah orang-orang mempunyai kedudukan yang tinggi, orang-orang yang mempunyai kekuasaan dan status sosial, maka para penegak hukum mengenyampingkan hukum dan mereka yang mempermainkan hukum, tetapi apabila yang mencuri itu adalah orang yang lemah dan miskin, mereka dengan tegas berkoar-koar menegakkan keadilan, menegakkan hukum-hukum itu karena yang berbuat kriminal adalah orang-orang yang lemah, miskin dan orang-orang yang tidak mempunyai pengaruh di dalam kekuasaan”.

Dalam hadis lain juga dijelaskan dimana membuat bulu roma kita menjadi merinding yaitu “Demi Allah yang jiwa-Ku yang berada dalam kegengamannya, andai saja Fatimah anakku yang melakukan mencurian aku sendiri yang memotong tanganya dan aku sendiri yang menegakkan hukum itu tanpa pandang bulu”.

Pilar-pilar penegakan keadilan

Dalam keadilan ada beberapa hal yang perlu kita ketahui yaitu:

Keseimbangan, yaitu dasar dari penegakan keadilan itu sendiri. Yang disebut dengan keseimbangan adalah apabila semua anggota di dalam komunitas itu menegakkan fungsi-fungsinya dan aturan-aturan yang sesuai dengan fungsinya dan bekerja sesuai dengan fungsinya maka disana akan terjadi keseimbangan yang merupakan sendi dari keadilan itu.

Persamaan, kita mengetahui dalam ajaran Islam semua sama di hadapan Allah SWT, tetapi yang membedakan kita adalah nilai ketakwaan antara yang satu dengan yang lain, tetapi dalam fungsi-fungsi keseharian kita semua sama di hadapan Allah, kemudian kembali memperhatikan ayat tadi bahwa orang-orang yang melakukan kecurangan tadi adalah orang yang mengerti hukum, kalau saja yang melakukan pelanggaran itu adalah orang-orang yang tidak mengerti tentang hukum boleh jadi orang tidak terlalu mencibir, tetapi karena orang yang melakukan itu adalah mereka yang mengetahui persis tentang hukum itu maka Allah menegaskan “sungguh hina orang-orang yang melakukan perbuatan seperti itu karena dia mengetahui tetapi mempermainkan hukum”. [Mimbarjumat.com]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2327513/penegak-hukum-permainkan-hukum-orang-hina#sthash.GgSYEvrp.dpuf

Rasul Telah Peringatkan Mukmin Soal Kristenisasi

HASIL sensus pendududuk tahun 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan.

Subhanallah, kekuatan kaum muslimin di Indonesia sangat besar, dibandingkan umat agama lainnya. Dengan angka sekian, kita layak terheran, ketika ada kaum muslimin yang merasa terintimidasi oleh penganut agama lain. Dengan angka sekian pula, kita layak terheran, ketika ada sebagian penganut agama lain yang begitu leluasa menghina simbol islam dan kaum muslimin. Umat islam telah menajdi mayoritas yang terdiam.

Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Kita meyakini ini musibah. Mungkin ini bagian dari kebenaran yang disabdakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,

“Hampir saja, banyak umat dari berbagai penjuru dunia akan memperebutkan kalian, sebagaimana makanan di atas piring diperebutkan.” Kami bertanya, Apakah karena jumlah umat islam ketika itu sedikit?

Jawab Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Tidak, ketika itu jumlah kalian (kaum muslimin) banyak. Namun kalian seperti buih di lautan. Allah hilangkan rasa takut di mata musuh kalian (orang kafir), dan Allah sematkan penyakit wahan di hati kalian.” Sahabat bertanya, Apa itu penyakit wahan? Beliau bersabda, “Penyakit cinta dunia dan takut mati.” (HR. Ahmad 8713, Abu Daud 4299, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Kenyataan ini bisa kita pahami. Karena dari sekitar 200 juta penduduk Indonesia yang muslim, tidak semuanya memahami hakikat agamanya. Bahkan banyak diantara mereka yang layak untuk disebut pengkhianat agama. Anda bisa lihat tingkah laku orang liberal. Kepada siapa mereka berpihak? Kita tidak pernah melihat ada orang liberal yang berpihak pada islam, selain status agama yang tertuang di KTP mereka.

Kehadiran mereka inilah yang menjadi salah satu penghalang umat islam berkembang. Mereka memanfaatkan status kebodohan masyarakat untuk menawarkan doktrin pluralisme dan kebebasan beragama. Di saat yang sama, banyak tokoh liberal menuding berbagai ormas islam telah bersikap intoleran. Menjadi corong barat untuk mengkambing hitamkan islam dalam setiap masalah sosial. Mereka memanfaatkan mayoritas yang terdiam.

Sayangnya, pemikiran semacam ini yang menguasai hampir semua media massa besar di tempat kita. Baik online, cetak, radio maupun televisi. Maka jangan heran, ketika anda kesulitan untuk mencari berita tentang penderitaan kaum muslimin karena kejahatan panganut agama lain. Mereka tutup mata, ketika kaum muslimin berada pada pihak minoritas yang tertindas. Sebaliknya, ketika aliran sesat, atau kelompok non muslim berada di pihak lemah, mereka angkat bicara atas nama HAM dan kemanusiaan.

Saatnya anda mulai waspada dengan komentar media. Karena dusta dan kejujuran sedang menabuh genderang pertempuran. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh penipuan. Pendusta dianggap benar, sementara orang yang jujur dianggap dusta. Pengkhianat diberi amanat, sedangkan orang amanah dianggap pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah angkat bicara.” Ada yang bertanya, “Apa itu Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh (masalah agama) yang turut campur dalam urusan masyarakat.” (HR. Ahmad 7912, Ibnu Majah 4036, Abu Yala al-Mushili dalam musnadnya 3715, dan dinilai hasan oleh Syuaib al-Arnauth).

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2327520/rasul-telah-peringatkan-mukmin-soal-kristenisasi#sthash.i17sKPxk.dpuf

Umat Non-Muslim Perlu Berterima Kasih pada Islam

SUDAH lama kaum muslimin terluka dengan ulah sebagian mereka. Tragedi berdarah di Ambon, di Poso, gugurnya banyak imam masjid di Papua, pelarangan masjid di Kupang, kemana suara media. Memang benar, bukan sikap yang bijak ketika kita menyalahkan agama disebabkan kriminal penganutnya.

Namun seharusnya mereka juga tutup mulut dan tidak menuding dan menyalahkan islam ketika ada tindakan kriminal yang dilakukan sebagian penganutnya. Tapi sekali lagi, mereka tidak pernah konsisten dengan ini. Hingga ada anggota MPR RI asal bali ber-KTP hindu yang melemparkan kalimat sampah, bahwa umat islam menyebarkan virus HIV/AIDS di bali melalui pelacur. Maha Suci Allah dari tuduhannnya.

Seharusnya mereka berterima kasih kepada umat islam. Masyarakat yang sangat menghargai toleransi dan kerukunan. Di saat masyarakat Bali sedang gencar memerangi simbol-simbol islam di pulau mereka, apakah anda menjumpai kaum muslimin di Tanah Jawa yang menintimidasi kegiatan orang Hindu?

Di Jogja, umat hindu hanya segelintir bagian penduduknya. Di kota ini, orang Hindu masih sempat memasang sesajian di bawah jembatan layang janti dengan sangat leluasa, dan tidak ada satupun umat islam yang mengusiknya.

Memahami kenyataan di atas, saatnya umat islam berbenah. Memperbaiki kondisi mereka, agar tidak menjadi bulan-bulanan penganut lain agama. Allah menjanjikan, orang yang berusaha menolong agama Allah, maka mereka akan ditolong oleh Allah dari kejahatan orang lain,

“Wahai orang yang beriman, jika kalian menolong agama Allah, maka Allah akan menolong kalian dan mengokohkan langkah kalian.” (QS. Muhammad: 7).

Yang dimaksud menolong agama Allah adalah dengan mempelajari sesuai sumbernya (alquran, Sunah, dan ijma umat), mengamalkannya, dan mendakwahkannya kepada orang lain. Allah juga menjanjikan, orang yang berusaha mengikuti ajaran syariat, akan dilindungi dari kejahatan dan tipu daya orang kafir. Allah berfirman,

“Jika mereka bersabar dan bertakwa kepada Allah, tipu daya mereka (orang kafir) sama sekali tidak akan membahayakan kalian.” (QS. Ali Imran: 120)

Jangan terlalu bangga dengan sebutan mayoritas. Karena jumlah yang banyak tidak ada artinya ketika mereka menumpuk dosa. Allah berfirman, “(ingatlah) pada peristiwa perang Hunain, ketika kalian merasa bangga dengan jumlah kalian yang banyak dan itu sama sekali tidak bermanfaat bagi kalian.” (QS. at-Taubah: 25).

Hanya karena dosa ujub, merasa bangga dengan jumlah yang banyak, Allah timpakan kekalahan kepada para sahabat ketika perang Hunain. Berusahalah menghindari segala bentuk kezaliman, baik kezaliman kepada makhluk terlebih kezaliman terhadap Sang Pencipta. Karena Allah akan membalas kezaliman, dengan Allah tunjuk pemimpin zalim yang tidak peduli dengan keadaan umat islam. Allah berfirman,

“Demikianlah kami angkat sebagian orang zalim untuk menjadi pemimpin bagi orang zalim yang lain, disebabkan maksiat yang mereka kerjakan.” (QS. al-Anam: 129).

Kezaliman kepada Allah mencakup segala bentuk maksiat, terutama syirik dan bidah. Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2327522/umat-non-muslim-perlu-berterima-kasih-pada-islam#sthash.KiBFlz8e.dpuf

Islam, Komunis Dan Pancasila

Sejarah perjalanan kehidupan bernegara di Indonesia mencatat satu babak tentang perebutan memaknai Pan casila antar berbagai kelompok ideologi di Indonesia. Pergulatan pemikiran itu secara intensif pernah terjadi dalam Majlis Konstituante, dimana kekuatan Islam dan sekulerisme kembali terlibat dalam perdebatan tentang Dasar Negara Indonesia. Kekuatan komunis pernah menggunakan Pancasila untuk memuluskan penerapan ideologi komunisme di Indonesia.

Mantan Wakil Kepala BIN, As’ad Said Ali, menulis dalam bukunya, Negara Pan casila, (hlm. 170-171), bahwa munculnya semangat para tokoh Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, dalam Majelis Konstituante, antara lain juga didorong oleh masuknya kekuatan ko munis (melalui Partai Komunis Indo ne sia/PKI) ke dalam blok pendukung Pancasila.

“Kalangan Islam langsung curiga. Muncul kekhawatiran Pancasila akan dipolitisasi oleh kelompok-kelompok komunis untuk selanjutnya diminimalisasi dimensi re ligiusitasnya. Kekhawatiran tersebut se makin mengkristal karena adanya pe luang perubahan konstitusi sehubungan UUDS mengamanatkan perlunya dibentuk Majelis Konstituante yang bertugas merumuskan UUD yang definitif,” tulis As’ad dalam bukunya tersebut.

Dalam pidatonya di Majelis Konstituan te tanggal 13 November 1957, tokoh Islam Kasman Singodimedjo banyak mengkritisi pandangan dan sikap PKI terhadap Pan casila. Kasman menilai PKI hanya membonceng Pancasila untuk kemudian diubah sesuai paham dan ideologi komunisme. Ketika itu PKI bermaksud mengubah sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi “kebebasan beragama”. Termasuk dalam cakup an “kebebasan beragama” adalah “kebebasan untuk tidak beragama.”

Mr. Kasman Singodimedjo adalah Jaksa Agung RI 1945-1946 dan Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1950). Ia juga dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah. Dalam Sidang Konstituante itu mengingatkan: “Saudara ketua, sama-sama tokh kita mengetahui bahwa soko guru dari Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sama-sama kita mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu justru telah mempunyai peraturan-peraturan yang tentu-tentu bagi umat manusia yang lazimnya dinamakan agama. Saudara ketua, sama-sama kita tahu, bahwa PKI dan komunis pada umum nya dan pada dasarnya justru anti Tuhan dan anti-Agama!.” (Lihat buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, hlm. 480-481).

Masuknya kaum komunis ke dalam blok pembela Pancasila kemudian dipandang oleh kubu Islam sebagai upaya membelokkan Pancasila dari prinsip dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai contoh, pada 20 Mei 1957, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) Ir. Sakirman mendukung pandangan Fraksi Katolik yang menyatakan, bahwa “Rakyat Indonesia terdiri dari berbagaibagai golongan dengan berbagai-bagai kepercayaan atau keyakinan masing-masing bersifat universal.”

Karena itu Sakirman menyeru kepada golongan Islam: “[B]etapa pun universal, praktis dan objektifnya Islam, tetapi karena Islam hanya merupakan salah satu dari sekian banyak kepercayaan dan keyakinan, yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka Pancasila sebagai apa yang dinamakan oleh Partai Kristen Indonesia (Parkin do) suatu “grootste gemene deler” yang mem pertemukan keyakinan dan kepercayaan kita semua, akan tetapi lebih praktis lebih objektif dan lebih universal dari pada Islam.”

Dalam Sidang Konstituante tanggal 2 Desember 1957, Kasman mengkritik ucapan Nyoto dari PKI pada Sidang Konstituante 28 November 1957 yang menyatakan: “Panca sila itu bersegi banyak dan berpihak ke manamana.” Kasman berkomentar: “Itu arti nya, dan menurut kehendak dan tafsiran PKI, bah wa Pancasila itu dapat dan boleh saja ber segi ateis dan politeis, pun da pat/ boleh saja berpihak ke syaitan dan neraka.” Begi tulah sikap para tokoh Islam dalam sidang Konstituante yang memang merupakan forum untuk merumuskan dasar negara yang baru. Tapi, ketika forum itu di bubarkan dan dikeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959, Kas man dan para tokoh Islam lain nya, me nerimanya karena telah sah se cara konstitusional. (Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, hlm. 536-540).

Dalam bukunya, Renungan dari Ta han an, Kasman menulis: “… seluruh rakyat In donesia, termasuk seluruh umat Islam yang me liputi mayoritas mutlak dari rakyat In donesia itu kini harus mengindahkan Dekrit Presiden itu sepenuh-penuhnya.” (Lihat, Kasman Singodimedjo, Renungan dari Tahanan, (Jakarta: Tintamas, 1967), hlm. 34).

Memang, Ir. Sakirman pernah berpidato dalam Majlis Kontituante dengan menyebutkan adanya rumusan sila kelima yang diajukan Bung Karno pada 1 Juni 1945, yang berbeda dengan rumusan risalah sidang BPUPK, yaitu (5) “Ke-Tuhanan yang berkebudayaan atau Ke-Tuhanan yang berbudi luhur atau Ke-Tuhanan yang hormatmenghormati satu sama lain.” Sakirman juga mengakui, bahwa PKI memang menginginkan agar sila Ketuhanan Yang Maha Esa diganti dengan sila “Kemer de kaan Beragama dan Berkeyakinan Hi dup.” (Pidato Ir. Sakirman dikutip dari bu ku Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, editor: Erwien Kusuma dan Khairul (Jakarta: BAUR Pub lishing, 2008), hlm. 275.

Fakta komunisme
Tajamnya perbedaan antara Islam dan Komunisme, tidak menyurutkan usaha un tuk menyatukan kekuatan agama dan komunisme. Tapi, sejarah kemudian mencatat, upaya penyatuan antara kelompok Nasionalis, Agama, dan Komunis, di bawah payung Pancasila mengalami kegagalan.

Golongan Islam melakukan perlawanan habis-habisan melawan komunisme. Dalam Muktamar Ulama se-Indonesia tanggal 8- 11 September 1957 di Palembang, para ulama memutuskan: (1) Ideologi/ajaran Komunisme adalah kufur hukumnya, dan haram bagi umat Islam menganutnya, (2)

Bagi orang yang menganut ideologi/ajaran Komunisme dengan keyakinan dan kesa daran, maka kafirlah dia dan tiada sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka-mempusakai dan haram hukumnya jenazahnya diselenggarakan secara Islam, (3) Bagi orang yang memasuki organisasi/Partai yang berideologi komunisme (PKI, Sobsi, Pemuda Rakyat dll; tidak dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut, (4) Walaupun Republik Indonesia belum menjadi negara Islam, namun haram hukumnya bagi umat Islam mengangkat/ memilih kepala negara yang berideologi Ko munisme, (5) Memperingatkan kepada pemerintah RI agar bersikap waspada terhadap gerakan aksi subversif asing yang membantu perjuangan kaum Komunis/ Atheis Indonesia, (6) Mendesak kepada Presiden RI untuk mengeluarkan dekrit menyatakan PKI dan mantel organisasinya sebagai partai terlarang di Indonesia. (Lihat buku Muktamar Ulama se-Indonesia di Palembang tanggal 8-11 September 1957, yang disusun oleh H. Husin Abdul Mu’in, (Palembang: Panitia Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia, 1957).

Dalam sambutannya untuk Muktamar ter sebut, mantan wakil Presiden RI Mo ham mad Hatta mengingatkan kepada para ulama, bahwa perkembangan Komunisme di Indonesia, terutama dihasilkan melalui kerja keras mereka dan kondisi kemiskinan rakyat. “Kemajuan PKI tidak disebabkan oleh kegiatan orang-orang komunis me ngem bangkan ideologi yang belum di mengerti oleh rakyat, melainkan dengan kegiatannya bekerja dalam kalangan rakyat serta janji-janjinya akan membagikan tanah dan memperbaiki hidup rakyat yang mis kin… Apabila kaum Ulama kita tidak me nilai masalah kemasyarakatan ini dengan ukuran yang tepat, Muktamar tidak akan dapat menyusun rencana yang tepat terhadap gerakan Atheisme,” kata Hatta da lam sam butannya. Hatta mengajak agar Ula ma berusaha menegakkan keadilan Islam. Kata Hatta lagi, “Apabila berlaku keadilan Islam di Indonesia, maka dengan sendirinya Ko munisme akan lenyap dari bu mi Indonesia.

Apabila berlaku keadilan Is lam di bumi kita ini, tidak ada yang akan dituntut oleh Komunisme. Keadilan Islam adalah keadilan yang setinggi-tingginya, keadilan Ilahi. Keadilan Islam menumbuhkan rasa damai, rasa bahagia dan sejahtera.”

Perjuangan melawan komunisme, dalam sejarah perjuangan umat Islam, bisa dikatakan sudah mendarah daging di berbagai penjuru dunia. Sebab, kekejaman komunisme di berbagai belahan dunia sudah terbukti. Di Indonesia, salah seorang sastrawan terkemuka yang aktif melawan komunisme, sejak zaman Orde Lama sampai zaman kini adalah Taufik Ismail. Berbagai buku yang menjelaskan bahaya dan kegagalan komunisme ditulis oleh Taufik Ismail, termasuk buku-buku saku yang disebarluaskan secara gratis kepada masyarakat luas.

Taufiq mengaku risau dengan generasi muda yang tidak lagi mengenal hakekat dan kekejaman kaum komunis. Dalam sebuah buku saku berjudul Tiga Dusta Raksasa Palu Arit Indonesia: Jejak Sebuah Ideologi Bangkrut di Pentas Jagad Raya, (Jakarta: Titik Infinitum, 2007), Taufiq menyajikan data yang menarik: Komunisme adalah ideologi penindas dan penggali kuburan massal terbesar di dunia. Dalam mengeliminasi lawan politik, kaum komunis telah membantai 120 juta manusia, dari tahun 1917 sampai 1991. Itu sama dengan pembunuhan terhadap 187 nyawa per jam, atau satu nyawa setiap 20 detik. Itu dilakukan selama ¾ abad (sekitar 75 tahun) di 76 negara. Karl marx (1818-1883) pernah berkata: “Bila waktu kita tiba, kita tak akan menutup-nutupi terorisme kita.”

Vladimir Ilich Ullyanov Lenin (1870- 1924) juga menyatakan: “Saya suka mendengarkan musik yang merdu, tapi di tengah revolusi sekarang ini, yang perlu adalah membelah tengkorak, menjalankan keganasan dan berjalan dalam lautan darah.” Satu lagi tulisannya: “Tidak jadi soal bila ¾ penduduk dunia habis, asal yang tinggal ¼ itu komunis. Untuk melaksanakan komunisme, kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta orang.”

Lenin bukan menggertak sambal. Semasa berkuasa (1917-1923) ia membantai setengah juta bangsanya sendiri. Dilanjut kan Joseph Stalin (1925-1953) yang menjagal 46 juta orang; ditiru Mao Tse Tung (RRC) 50 juta (1947-1976); Pol Pot (Kamboja) 2,5 juta jiwa (1975-1979) dan Najibullah (Afghanistan) 1,5 juta nyawa (1978-1987). Buku saku lain tentang komunis me yang ditulis oleh Taufiq Ismail adalah Komunisme=Narkoba dan Komunis Bakubunuh Komunis, serta Karl Marx, Tukang Ramal Sial yang Gagal (Jakarta: Infinitum, 2007).

Sepatutnya, bangsa Indonesia mau belajar dari sejarah. Ketika agama dibuang; Tuhan disingkirkan, jadilah manusia laksana binatang. Anehnya, kini ada yang mulai berkampanye tentang perlunya “kebebasan beragama” harus mencakup juga “kebebasan untuk tidak beragama”. Dalam kondisi seperti ini, Islam dan kekuatan anti-komunisme lainnya, diharapkan memainkan perannya yang signifikan. Jangan sampai elite-elite muslim lupa diri; sibuk memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya; sibuk saling caci; tanpa sadar komunisme dalam kemasan baru semakin mendapat simpati masyarakat. Na’udzubillahi min dzalika.

Dr Adian Husaini
Ketua Program Doktor Pendidikan Islam – Universitas Ibn Khaldun Bogor

 

sumber: Republika Online

Bagaimana Syariah Islam Memberantas Komunisme (PKI) ?

Pasca runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, praktis dunia dibawah kendali hegemoni tunggal ideologi kapitalisme dibawah kepemimpinan Amerika dan barat. Dunia yang sebelumnya terbelah menjadi dua blok, hubungan ketegangan internasional yang bersifat multipolar berubah menjadi satu kesatuan kendali Amerika dengan politik bipolarnya.

Ideologi sosialisme dan kapitalisme, seiring runtuhnya Soviet mulai dipertanyakan sekaligus ditinggalkan. Rusia, sebagai negara inti pecahan Soviet, tidak terlalu memiliki peranan dalam kancah perpolitikan internasional.

Seluruh negeri-negeri Islam berada dalam kendali peradaban barat kapitalis, dengan menerapkan sistem pemerintahan demokrasi sekuler dengan beragam corak dan bentuknya.

Amerika menjadi pemain tunggal, menguasai seluruh wilayah bekas jajahan Inggris, termasuk menguasai seluruh wilayah Turki utsmani yang telah dirobek dengan perjanjian sykes – picot, sebagai wilayah jajahannya.

Pengaruh ideologi sosialisme komunisme meredup sejak runtuhnya Soviet. Diberbagai pertarungan kepentingan dunia, Rusia mengalah atau terpaksa kalah, dan akhirnya berkompromi berbagi ghanimah dengan menerima sisa jarahan Amerika.

Seluruh negeri Islam mengekor kepada Amerika dan barat. Bahkan tidak sebatas konsepsi politik dan pemerintahan demokrasi yang diadopsi dari barat, seluruh interaksi sosial dan sistem kehidupan kaum muslimin diatur oleh peradaban barat yang sekuler.

Meski Soviet telah runtuh, potensi ancaman ideologi sosialisme – komunisme, tetap menjadi bahaya laten yang patut diwaspadai seluruh umat dan bangsa.

Potensi sosialisme komunisme untuk kembali mengatur kehidupan politik, berbangsa dan bernegara, wajib diwaspadai. Betapa tidak, ideologi ini telah terbukti menimbulkan berbagai malapetaka dan kerusakan terhadap berbagai umat dan bangsa.

Jejak Sosialisme-Komunisme di Indonesia, Kemunduran dan Kebangkitannya

Kebrutalan dan kebiadaban sejarah komunis yang direpresentasikan oleh Partai Komunisme Indonesia (PKI), telah dirasakan secara nyata oleh bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia telah sepakat untuk menutup lembaran komunisme sebagai sejarah kelam dan cukup mengambil hikmah darinya.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, nampaknya komunisme (PKI) di Indonesia tengah mencari celah untuk kembali dalam pentas politik Indonesia dan mencoba mengambil alih ruang publik dari sterilisasi komunisme.

Beberapa kali telah terjadi penemuan simbol dan acara-acara yang ditengarai terkait dengan agenda komunisme (baca: PKI). Jejak komunisme PKI Kembali menghiasi ruang publik dan menuntut untuk eksis dan dianggap bagian dari anak bangsa yang sebelumnya telah menjadi korban sejarah.

 

Yang lebih miris, upaya untuk menarik ulang sejarah PKI termasuk didudukkan kembali sebagai bahagian korban sejarah justru muncul dari Pemerintah.

Beberapa waktu yang lalu, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan Presiden Joko Widodo memerintahkannya untuk mencari kuburan massal korban peristiwa 1965 dan lanjutannya.

Pencarian kuburan masal ini  dijadikan sandaran argumen bagi Pemerintah untuk meminta maaf kepada korban peristiwa 1965.

“Presiden tadi memberitahu bahwa memang disuruh cari aja kalau ada kuburan massalnya,” ungkap Luhut kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (25/04/16).

di Kantor Kemenko Polhukam, Luhut juga menegaskan pemerintah “baru bisa meminta maaf” kepada korban peristiwa 1965, “jika ditemukan mass grave atau kuburan massalnya (BBC.com, 25/4/16).

Sontak saja isu ini memantik keprihatinan publik dan perdebatan banyak pihak. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Yunahar Ilyas berpendapat, perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Menkopolhukam Luhut Panjaitan untuk mencari kuburan massal korban G30 S/PKI sebagai bumerang bagi pemerintah.

Menurutnya, langkah tersebut sama saja dengan membangunkan macan yang sedang tidur. Sebab, jika diniatkan untuk rekonsiliasi, tak sedikit barisan sakit hati pada PKI yang akan bangkit menentang langkah pemerintah ini.

Yunahar menilai pemerintah tak perlu menempuh langkah rekonsiliasi terhadap tragedi pembantaian 1965-1966 ini. Rekonsiliasi, sambungnya, tak bisa dilakukan karena pihak-pihak yang bersangkutan sudah meninggal dunia (Okezone.com, 26/4/16).

Sementara itu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan menolak pilihan permintaan maaf dari negara kepada korban pelanggaran HAM sepanjang 1965-1966 setelah adanya gerakan 30 September 1965 (G30S).

“Pakai logika saja, yang memberontak (saat G30S) itu siapa. Masa mereka yang berontak, negara yang harus meminta maaf?” ungkapnya.

Dia meyakini bahwa yang melakukan pemberontakan saat G30S adalah Partai Komunis Indonesia, yang menurutnya, telah melakukan pemberontakan dengan membunuh para jenderal TNI. (Republika.com, 19/8/15).

Menilik dari rentan pengguliran isu, dikaitkan dengan menguatnya peran China dalam pemerintahan Jokowi – JK, kekhawatiran bangkitnya PKI dengan ideologi komunisme memang bukan isapan jempol belaka.

China merupakan negara dengan ideologi sosialisme – komunisme yang memiliki peran penting, terlebih pada saat posisi China menguat secara ekonomi dan politik dalam kancah internasional akhir-akhir ini. China juga memiliki sejarah panjang dan keterkaitan erat dengan pemberontakan PKI yang merongrong negeri ini.

Terlebih, sebagai sebuah ideologi, sosialisme – komunisme tidak bisa dihapuskan. Sepanjang ada yang mempelajari ajarannya, meyakini kebenarannya serta mengemban dan memperjuangkan ideologinya, kembalinya kekuatan politik komunisme PKI dalam kancah politik tinggal menunggu waktu saja.

Akar Masalah Komunisme PKI dan Solusinya

Memahami komunisme PKI artinya seluruh elemen Umat dan bangsa wajib memahami ideologi sosialisme – komunisme secara keseluruhan. Pemahaman yang utuh terhadap realitas dan pemikiran ideologi sosialisme – komunisme, mengantarkan pada arah dan kebijakan praktis yang tepat untuk memberantasnya.

Sebagai sebuah ideologi, sosialisme komunisme telah menjadikan Dialektika materialisme dan materialisme historis sebagai akidah dasarnya. Konsep ketuhanan ditiadakan, berdasarkan asumsi kehidupan ini berasal dari Dialektika materi.

Asas untuk mengatur masyarakat dalam kehidupan publik, merujuk pada materialisme historis dan class strugle (perjuangan kelas). Negara, memiliki otoritas penuh untuk mengatur masyarakat dengan meniadakan pengakuan hak privat terhadap individu warga negara.

Syariah Islam telah menetapkan bahwa Allah SWT telah menciptakan materi dari ketiadaan menuju wujudnya. Islam telah memberikan keyakinan, bahwa Allah SWT adalah pencipta alam semesta, pencipta manusia dan juga pencipta kehidupan.

Kehidupan berjalan berdasarkan desain yang telah Allah SWT tetapkan, bukan mengikuti hukum dialektika materialisme.  Ayat-ayat kauniyah dan sunatullah atas hukum khasiat benda dan karakteristiknya, berupa penciptaan alam semesta, bintang-bintang, planet, kehidupan tumbuh-tumbuhan dan binatang, bahkan seluruh potensi hidup yang ada pada manusia berupa al hajat Udlowiyah (kebutuhan hidup) dan gharizah (naluri) kesemuanya merupakan ketetapan yang berasal dari Allah SWT.

Keyakinan ini wajib menghujam pada setiap diri kaum muslimin dengan methode pengajaran dan pengulangan, penumbuhan keyakinan dan aplikasi.

Adapun kehidupan manusia itu sendiri, baik dalam interaksi sosial, interaksi privat dan termasuk asas hubungan pengaturan kehidupan politik (negara) wajib diatur berdasarkan syariah Islam yang dibawa Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Negara Khilafah selaku institusi syar’i yang menerapkan syariah Islam akan memberantas komunisme PKI dengan jalan :

Pertama, Menerapkan ideologi Islam sebagai asas konstitusi, peraturan perundang-undangan dan pertanggungjawaban pemerintahan. Ideologi Islam dalam bentuk penerapan syariah Islam akan mengatur seluruh interaksi sosial yang berkembang ditengah masyarakat, dengan pandangan Islam yang khas dan tidak boleh sedikitpun bertentangan dengannya.

Kedua, Negara Khilafah mengontrol secara penuh internalisasi ideologi Islam kepada seluruh umat Islam melalui penerapan kurikulum Islam dalam sistem pendidikan di Daulah Khilafah. Khilafah, sekaligus menerapkan uqubat (sanksi) kepada setiap penyimpangan pemahaman Islam, dari sanksi yang sifatnya takdib (mendidik), sampai sanksi eksekusi (hukuman mati) bagi setiap muslim yang menyimpang dari akidah Islam dan meyakini akidah komunis.

Ajaran komunisme dinyatakan ajaran terlarang, seluruh nilai dan pendapat yang berafiliasi dengan komunisme baik dalam ilmu alam, ilmu sosial dan politik di sterilisasi dari kurikulum pendidikan yang diajarkan kepada peserta didik pada tahap dasar dan pendidikan lanjutan.

Adapun pembahasan sosialisme – komunisme sebagai sebuah ide untuk dipahami dan dijelaskan kerusakannya, dapat diberikan kepada peserta didik pada tingkat perguruan tinggi. Pembelajaran ini disandingkan dengan pemahaman dan penerapan Islam yang unggul.

Ketiga, Tidak boleh ada syiar didalam Daulah Islam, kecuali hanya syiar Islam. Orang-orang kafir ahludz dzimah diberi kebebasan untuk beribadah sesuai keyakinannya bahkan dijamin oleh negara. Namun, tidak boleh ada satupun syiar agama, selain agama Islam yang boleh eksis dalam kehidupan Daulah Khilafah. Seluruh syiar-syiar agama lain, khususnya syiar komunisme baik dalam wujud aktualusasi kegiatan, simbol-simbol partai komunis, dan apapun yang berkaitan dengannya tidak diperbolehkan dan akan diberi sanksi yang tegas oleh negara.

Keempat, Negara memberi kebebasan seluruh warganya untuk mendirikan partai politik, dengan syarat berasaskan Islam. Seluruh partai, baik beraliran sosialis dan nasionalis sekuler termasuk komunisme PKI dilarang dalam Daulah Islam. Kontrol penguasa oleh partai politik dengan standard selain Islam juga tidak diperkenankan. Dari sini, ruang tumbuhnya komunisme PKI baik yang eksis dengan jalan mendompleng lewat partai nasionalis sekuler atau secara mandiri langsung mendirikan partai dengan asas komunis dapat diberantas tuntas.

Kelima, Negara Khilafah memimpin upaya mengemban dakwah Islam keseluruh penjuru alam, agar Negara Khilafah dengan konsep Islam rahmatan lil alamien menjadi pemain utama serta otoritas tunggal dalam kancah perpolitikan internasional. Aktivitas itu  akan menggerus upaya dominasi ideologi sosialisme – komunisme, termasuk kapitalisme – demokrasi, bahkan menghapusnya dari peradaban dunia.

Jika ke-lima solusi tersebut diterapkan oleh Daulah Khilafah untuk mengatur kehidupan umat dalam urusan politik dan negara, niscaya komunisme termasuk PKI akan tercerabut tuntas sampai ke akar-akarnya.

Dengan demikian, syariah dan Khilafah dapat menjaga akidah sekaligus melindungi segenap elemen umat dan bangsa dari bahaya komunisme PKI, bahkan menghancurkan eksistensi ideologi Kapitalsme – Sekulerisme, termasuk ideologi sosialisme – komunisme dari kehidupan. [].Abu Jaisy al Askary

 

sumber: Hizbut Tahrir

Umat Islam Haram Menganut Komunis, Meyakini Komunis Hukumnya Kafir

Agar bersikap waspada terhadap gerakan aksi subversif asing yang membantu aksi-aksi perjuangan kaum komunis di Indonesia.

Sejarah mencatat, sikap umat Islam Indonesia tegas terhadap paham komunis sudah dimulai sejak Kongres Alim Ulama se Indonesia tahun 1957 di Palembang. Ada beberapa point yang dihasilkan dalam Kongres Alim Ulama se Indonesia tersebut, antara lain:

Pertama, Ideologi atau ajaran komunis kufur hukumnya, dan haram bagi umat Islam menganutnya.

Kedua, bagi seseorang yang menganut ideologi komunis dengan keyakinan dan kesadaran, maka dia termasuk kafir dan tidak sah menikah dengan orang Islam, tidak ada waris mewarisi (ahli waris), serta jenazahnya tidak diboleh diselenggaran secara Islam.
Ketiga, bagi seseorang yang memasuki organisasi atau partai yang berideologi komunis tidak dengan keyakinan dan kesadaran, maka dia termasuk orang yang sesat, dan harus diajak agar meninggalkan organisasi atau partai tersebut.

Keempat, walaupun Indonesia belum menjadi Negara Islam, namun haram bagi umat Islam mengangkat/memilih Kepala Negara/pemerintah yang berideologi komunis (di masa itu dasar Negara RI sedang dibahas dalam Konstituante berdasarkan UUD Sementara tahun 1959).

Kelima, memperingatkan kepada pemerintah agar bersikap waspada terhadap gerakan aksi subversif asing yang membantu aksi-aksi perjuangan kaum komunis di Indonesia.
Keenam, mendesak kepada Presiden RI (Soekarno ketika itu) untuk mengeluarkan dekrit yang menyatakan PKI dan mantel organisasinya sebagai partai terlarang di Indonesia. (Selasa, 20 Zulhijjah 1435 H / 1 Oktober 2013 07:07 wibIngat! Banyak Kiai dan Santri yang Syahid Dibunuh PKI Secara Keji voa-islam.com).

***

Khutbah

Drs Abdurrahman Aziz, M.Si

 

Komunisme dan Bahaya Komunis

 

12-01-2015 | 11:07:04

Sembilan tahun setelah terjadinya pemberontakan PKI di Madiun, 18 September 1948 yang mendirikan Negara Republik Soviet di Madiun dapat ditumpas oleh Pemerintah, maka pada tanggal 8 s/d 11 September 1957 para Alim Ulama Indonesia mengadakan muktamar di Palembang. Setelah membaca, membahas dan mengkaji secara mendalam ideologi/ajaran komunis, maka muktamar mengambil kesimpulan ideologi/ajaran komunis dalam lapangan :

1. Falsafah berisi atheisme, anti Tuhan dan anti Agama.
2. Politik adalah anti demokrasi (dictator proletariat/istibdad).
3. Sosial menganjurkan pertentangan dan perjuangan klas.
4. Ekonomi menghilangkan hak perseorangan.
5. Ideologi/ajaran yang demikian itu bukan saja berlawanan dengan ajaran Islam pada khususnya dan agama-agama lain pada umumnya akan tetapi merupakan tantangan dan serangan terhadap hidup keagamaan umumnya.

Muktamar Alim Ulama seluruh Indonesia kemudian memutuskan antara lain :
1. Ideologi/ajaran komunis adalah kufur hukumnya, dan haram bagi umat Islam menganutnya.
2. Memperingatkan kepada Pemerintah RI agar bersikap waspada terhadap gerakan aksi subversive asing yang membantu perjuangan kaum komunis//atheis Indonesia.
3. Mendesak kepada Presiden RI untuk mengeluarkan Dekrit menyatakan PKI dan mantel organisasinya sebagai partai terlarang di Indonesia.

Peringatan Alim Ulama se Indonesia itu rupanya tidak diperhatikan oleh pemerintah, maka 8 tahun setelah peringatan alim ulama tersebut, terjadilah pemberontakan PKI yang kedua, yakni pada 30 September 1965 yang kita kenal dengan G-30-S/PKI.

Komunis Di Luar Indonesia
1. Pembantaian kaum beragama di Rusia. Pada lima tahun pertama Lenin berkuasa dia mengintruksikan pembunuhan 28 Uskup dan 1200 pendeta. Membantai 800.000 muslimin dan diumumkan dalam kongres Soviet ke -10. Di Zaman Kruschov, membantai 50.000 orang pendeta bangsanya sendiri.
2. Pembantaian Kamboja oleh Rezim Pol Pot
– Ratusan ribu orang beragama dibantai termasuk di dalamnya pembasmian etnis minoritas muslim kaum chan, 75.000 orang

1. Imam Haji Res Los, mufti besar Kamboja yang dimasukkan dalam air mendidih, dan kepalanya dipukuli dengan linggis.
2. Haji Sulaiman Shoukri, mufti pertama, dipukuli hingga mati dan dilempar ke dalam got.
3. Haji Mat Sles Sulaeman, mufti kedua, mula-mula disiksa, lalu isi perutnya dikelurkan.
4. Haji Mat Ley Harun, ketua Islam Kamboja, dibiarkan mati kelaparan di penjara Anlong Sen.

Komunis di Indonesia
1. Pemberontakan PKI September 1948 Musuh utama mereka adalah pesantren-pesantren, di mana terdapat para kiai santri militan yang tahu siapa mereka itu sebenarnya. Dalam peristiwa itu Bupati, Patih, Wedana, Kepala Polisi, Komandan Depo. Jaksa, Kiai, Guru, pimpinan partai dan organisasi beserta para bawahannya beramai-ramai digiring ke suatu tempat, kemudian dijagal di lubang-lubang pembantaian yang telah disiapkan oleh para anggota FDR/PKI.

2. Pemberontakan PKI tahun 1965
– Orang-orang komunis membantai enam orang jenderal dan seorang perwira menengah sekaligus. Mereka dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua di daerah Lubang Buaya.
– Dewan Revolusi PKI membantai 62 orang pemuda Ansor di desa Cemethuk, kecamatan Cluring, kabupaten Banyuwangi. Mereka dimasukkan ke dalam tiga lubang sumur. Sumur pertama diisi 11 orang, sumur kedua 11 orang dan sumur ketiga 40 orang. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 18 oktober 1965.

Komunis dan Komunisme tidak akan pernah padam.
Akhir akhir ini ada gejala-gejala bangkitnya kembali komunis di Indonesia yang sering di sebut dengan KGB (Komunis Gaya Baru). Menurut Drs Arukat Djaswadi, Direktur Centre of Indonesia Community Studies (CICS) atau Kajian Komunis Indonesia, saat ini telah bermunculan organisasi yang didirikan oleh orang-orang eks PKI dan simpatisannya seperti : Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 1965 (LPKP’65). Paguyuban Korban Orde Baru (PAKORBA), Angklung Soren (Lembaga Kesenian), dan Sanggar Bumi. Bahkan anak-anak PKI maupun simpatisannya telah mengorganisir diri dalam beberapa organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan. Seperti Lembaga Mahasiswa Nasional Demokrasi (LMND), Partai Rakyat Demokrasi (PRD), dan Partai Persatuan Pembebasan Rakyat Nasional (PAPPERNAS). Selain itu mereka juga telah menyusup ke pusat-pusat kekuasaan baik legislative maupun eksekutif. Di lembaga legislative misalnya ada yang namanya Rifka Ciptaning Proletariati, yang menjadi salah seorang ketua komisi di DPR RI. Yang telah menulis buku “ Aku Bangga Jadi Anak PKI dan Anak PKI Duduk di Parlemen”.

Mengapa Komunis tetap dapat tumbuh terus di Indonesia, padahal kejahatan, keganasan dan kebiadabannya sudah begitu jelas? Berkaitan pertanyaan tersebut Taufiq Ismail menjelaskan bahwa di negara manapun apabila :

1. Hukum tak tegak kukuh, keadialan tak dilaksanakan seungguh-sungguh.
2. Korupsi dan salah guna jabatan meluas dan merajalela
3. Situasi chaos, anarkhis, kacau, massa gampang dihasut, merusak, membakar, membunuh.
4. Jarak antara orang yang sangat kaya dengan yang sangat miskin seperti jurang.

Maka jalan bagi”Palu Arit” di manapun merebut kekuasaan akan mulus dan gampang. Oleh karena itu, jika pemerintah tidak ingin adanya perebutan kekuasaan kembali oleh kaum komunis yang ke tiga kalinya, maka harus secepatnya memperbaiki empat hal tersebut. / masjidalakbar.com

***

Sampai Kiamat Umat Islam AkanTerus Melawan Ideologi Kufur Komunis

Selasa, 21 Rabiul Awwal 1436 H / 1 Oktober 2013 05:58 wib

JAKARTA (voa-islam.com) – Komunis merupakan suati ideology, ajaran, faham yang menolak adanya Tuhan dan memusuhi Agama serta umatnya. Muncul pertama kali di Indonesia dibawa oleh Henk Sneevliet, orang Belanda keturunan Yahudi, lalu menyusup ke dalam pergerakan Islam yang sangat berpengaruh saat itu, yakni Syarikat Islam (SI).

Beberapa tokoh SI cabang Semarang seperti Semaun dan Darsono berhasil dipengaruhinya. Namun gagal ketika mereka hendak menjadikan SI sebagai kendaraannya untuk melaju. Hari-hari selanjutnya umat Islam terus melakukan perlawanan terhadap kegiatan-kegiatan komunis di Indonesia.

Generasi muda Islam harus kembali membuka catatan, tentang kegigihan umat Islam melakukan perlawanan terhadap komunis. Ingat, saat Muktamar Masyumi (22-27 Desember 1954) di Surabaya dan Kongres Alim Ulama se Indonesia tahun 1957 di Palembang.

Ketika itu pergerakan umat Islam di Indonesia dipelopori oleh Masyumi, para ulama dan zuama yang bermuktamar di Surabaya (22-27 Desember 1954), telah menolak dengan tegas kehadiran komunis. Karena komunis bertentangan, menentang dan memusuhi Islam serta umat Islam.

Begitu juga saat Kongres Alim Ulama se Indonesia di Palembang (8-11 September 1957). Saat itu Kongres dihadiri lebih dari 327 ulama (sebagai peserta) dan sekitar 300 ulama lainnya (sebagai peninjau), mereka datang dari berbagai kota di seluruh Indonesia.

Muktamar Masyumi menghasilkan lima alasan pokok kenapa ajaran komunis harus ditolak: Pertama, komunis adalah falsafah berdasarkan materialistis (faham kebendaan berdasarkan sejarah) sebagaimana terungkap dalam buku “Zur Kritik de Hegelschen Rechtsphilosophie”, yang menyebutkan “Agama adalah keluhan dari makhluk yang tertindas; Agama adalah jiwa dari keadaan yang tidak bersemangat; Agama adalah candu bagi rakyat”.

Kedua, komunis memusuhi agama dan mengingkari adanya Tuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Karl Marx “Die religion ist machwerk des seins eigenen kopfes” (Agama adalah hasil buatan kepala manusia saja). Juga sesuai dengan pernyataan Lenin dalam bukunya “Augewahite Werke” yang berkata: seorang Marxist semestinya menjadi seorang materialis, artinya musuh agama).

Juga sesuai dengan semboyan yang terpahat di depan gereja Theotos yang telah mereka kuasai di Moskow.”Agama adalah candu bagi rakyat” dan berbagai penyataan tokoh utama komunis dunia.

Ketiga, Komunis menghilangkan ikatan keluarga dan menjadikan wanita milik bersama, sebagaimana tertuang dalam Manifesto Communist. Padahal Allah menegaskan kepada hamba-Nya untuk menikah dan melarang perbuatan zina.

Keempat, komunis menghapuskan adanya hak milik pribadi, perorangan. Pandangan seperti benar-benar mengingkari fitrah manusia.

Kelima, Komunis dalam memperjuangkan dan melaksanakan cita-citanya selalu memakai system diktatur proletariat sebagaimana tertuang dalam Manifesto Communist. Padahal Islam menyuruh umatnya dalam memutuskan suatu perkara.

 

Melihat kenyataan itu, Muktamar Umat Islam di bulan Desember 1954, memutuskan 6 hal: 1) Falsafah komunis bertentangan dengan dasar iman. 2) Perjuangan kaum Komunis dan pelaksanaan komunisme sebagai akibat dari falsafahnya itu sepanjang sejarahnya adalah bertentangan, menentang dab memusuhi Islam serta umatnya. 3) Atas dasar itu semua, menurut ajaran Islam, komunisme itu hukumnya kufur.

 

Selanjutnya, 4) karena itu orang yang menganut faham komunisme dengan pengertian, kesadaran dan keyakinan, maka dia menjadi kafir. 5) akan tetapi bagi seorang muslim yang mengikuti faham komunisme atau organisasi komunis dengan tidak mempunyai pengertian, kesadaran dan keyakinan atas hakikat falsafah, ajaran, tujuan dan cara-cara perjuangannya, maka dia digolongkan sebagai sesat dari Islam.

6) Dan orang yang sesat harus diberi pengertian, dan menyadari kesesatannya, dan bertaubat, serta kembali kepada Islam. (Lihat buku: Alam Fikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito, penerbit Documenta, Surabaya, 1972, hal 540 dst) [desastian/dbs]

***

Ingat! Banyak Kiai dan Santri yang Syahid Dibunuh PKI Secara Keji

JAKARTA (voa-islam.com) – Setiap tanggal 30 September, bangsa Indonesia akan terus diingatkan oleh peristiwa pemberontakan 30 S PKI. Kebiadaban komunis di masa lalu menyegarkan ingatan kembali agar sejarah yang kelam itu tak terulang di masa yang akan datang.

Sejarah mencatat, sikap umat Islam Indonesia tegas terhadap paham komunis sudah dimulai sejak Kongres Alim Ulama se Indonesia tahun 1957 di Palembang. Ada beberapa point yang dihasilkan dalam Kongres Alim Ulama se Indonesia tersebut, antara lain:

Pertama, Ideologi atau ajaran komunis kufur hukumnya, dan haram bagi umat Islam menganutnya. Kedua, bagi seseorang yang menganut ideology komunis dengan keyakinan dan kesadaran, maka dia termasuk kafir dan tidak sah menikah dengan orang Islam, tidak ada waris mewarisi (ahli waris), serta jenazahnya tidak diboleh diselenggaran secara Islam.

Ketiga, bagi seseorang yang memasuki organisasi atau partai yang berideologi komunis tidak dengan keyakinan dan kesadaran, maka dia termasuk orang yang sesat, dan harus diajak agar meninggalkan organisasi atau partai tersebut.

Keempat, walaupun Indonesia belum menjadi Negara Islam, namun haram bagi umat Islam mengangkat/memilih Kepala Negara/pemerintah yang berideologi komunis (dimasa itu dasar Negara RI sedang dibahas dalam Konstituante berdasarkan UUD Sementara tahun 1959).

Kelima, memperingatkan kepada pemerintah agar bersikap waspada terhadap gerakan aksi subversif asing yang membantu aksi-aksi perjuangan kaum komunis di Indonesia.

Keenam, mendesak kepada Presiden RI (Soekarno ketika itu) untuk mengeluarkan dekrit yang menyatakan PKI dan mantel organisasinya sebagai partai terlarang di Indonesia.

Sejarah mencatat, komunis melalui partainya PKI secara kolosal telah dua kali melakukan kup berdarah atas pemerintahan yang sah di Indonesia. Kup pertama dilakukan pada 18 September 1948 yang dikenal dengan peristiwa “Madiun Affair” atau Pemberontakan Madiun. Padahal waktu itu, bangsa Indonesia sedang berjuang melawan agresi Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia. Di bawah Muso pemberontakan dilakukan hingga menelan korban jiwa. Banyak para kyai, ulama dan santri yang syahid dibunuh oleh orang-orang Komunis dari belakang.

Kup kedua terjadi pada tanggal 30 September 1965, PKI dan organisasi sayapnya (Pemuda Rakyat, Gerwani, Lekra dll) melakukan pemberontakan yang sangat biadab, tujuh jenderal mati terbunuh. Belum lagi di daerah-daerah, lagi-lagi umat Islam jadi sasaran pembantaian.

Di bawah kendali tokoh utamanya DN Aidit, PKI berhasil menyusun kekuatan sebagai Angkatan kelima, setelah Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Selama masa Orde Lama (1959-1965), PKI sukses mempengaruhi dan menguasai alam fikiran Presiden Soekarno beserta anggota kabinetnya, juga ABRI, anggota legislative dan yudikatif serta lembaga-lembaga lainnya.

Presiden Soekarno akhirnya ternina-bobokan, terbuai oleh rayuan PKI dan antek-anteknya, sehingga ia bertindak dictator. Partai dan ormas-ormas yang tidak mengikuti kehendaknya dibubarkan. Tak sedikit tokoh-tokoh Islam dan nasional yang dijebloskan dalam penjara, sebut saja seperti: Mohamad Natsir, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Boerhanoeddin Harahap. Mr Kasman Singodimedjo, M. Yunan Nasution, KH. Ghozali Sjahlan, Buya Hamka, KH. Hasan Basri, E.Z Muttaqien dan sebagainya.

 

Suasana perpolitikan menjadi panas oleh berbagai isu, teror dan intimidasi. Kebebasan berkumpul, berserikat, mengeluarkan pendapat ditutup rapat. Penerbitan pers yang menyuarakan keadilan dan kebenaran dibredel. Kehidupan social ekonomi juga tidak menentu, harga-harga kebutuh pokok terus melambung, rakyatpun menjerit. Sementara kegiatan dakwah  sudah lebih dahulu dimatikan, sehingga umat pun terbelenggu dalam tahayul, khurafat dan bid’ah.

 

Dari catatan sejarah ringkas itu, hendaknya sebagai generasi muda Islam, belajar dari sejarah. Jangan sampai sejarah yang kelam bangsa Indonesia terulang kembali. Dengan demikian, tidak ada tempat bagi PKI, paham komunis maupun ajarannya mengotori akidah Islam dan Tanah Air tercinta ini.[desastian] 1 Oktober 2013 07:07 wib

(nahimunkar.com)

Pandangan Islam tentang Marxisme-Leninisme

Selama ini orang menganggap bahwa Marxisme-Leninisme atau lebih mudahnya komunisme, berada dalam hubungan diametral dengan Islam. Banyak faktor pendorong kepada tumbuhnya anggapan seperti itu. Secara politis, umpamanya dalam sejarah yang belum sampai satu abad. Marxisme-Leninisme telah terlibat dalam pertentangan tak kunjung selesai dengan negara-negara (dalam artian pemerintahan negara bangsa atau nation state), bangsa-bangsa, dan kelompok-kelompok muslim di seluruh dunia.

Dalam Peristiwa Madiun, 1948, umpamanya, kaum muslimin Indonesia berdiri berhadapan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) karena dua alasan. Pertama, karena PKI di bawah pimpinan Muso berusaha menggulingkan pemerintahan Republik Indonesia yang didirikan oleh bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kedua, karena banyak pemuka agama Islam dan ulama yang terbunuh, seperti kalangan pengasuh Pesantren Takeran yang hanya terletak beberapa kilometer di luar kota Madiun sendiri. Kiai Mursyid dan sesama kiai pesantren tersebut hingga saat ini belum diketahui di mana dikuburkan.

Percaturan geo-politik saat ini pun menghadapkan Uni Soviet, kubu pertama paham Marxisme-Leninisme kepada Dunia Islam, karena pendudukannya atas bangsa muslim Afghanistan semenjak beberapa tahun lalu. Selain itu, secvara ideologis, Marxisme-Leninisme juga tidak mungkin dipertemukan dengan Islam. Marxisme-Leninisme adalah doktrin politik yang dilandaskan pada filsafat materialisme. Sedangkan Islam betapa pun adalah sebuah agama yang betapa praktisnya, sekalipun dalam urusan keduniaan, masih harus mendasarkan dirinya pada spiritualisme dan kepercayaan akan sesuatu yang secara empiris sudah tentu tidak dapat dibuktikan.

Apalagi Marxisme-Leninisme adalah pengembangan ekstrem dari filsafat Karl Marx yang justru menganggap agama sebagai opium (candu) yang akan melupakan rakyat dari perjuangan strukturalnya untuk merebut alat-alat produksi dari tangan kaum kapitalis. Demikian pula dari skema penataan Marxisme-Leninisme atas masyarakat, Islam sebagai agama harus diperlakukan sebagai super struktur yang dibasmi, karena “merupakan bagian dari jaringan kekuasaan reaksioner yang menunjang kapitalisme”, walaupun dalam dirinya ia mengandung unsur-unsur antikapitalisme.

Atau dengan kata lain, yang menjadi bagian inti dari doktrin Marxisme-Leninisme, Islam adalah “bagian dari kontradiksi internal kapitalisme”. Dialektika paham tersebut memandang pertentangan antara Islam dan kapitalisme hanya sebagai pertentangan subsider dalam pola umum pertentangan antara kaum proletar melawan struktur kapitalisme yang didirikan oleh kaum feodal.

Sebuah aspek lain dari pertentangan ideologis antara Islam dan Marxisme-Leninisme dapat dilihat pada fungsi kemasyarakatan masing-masing. Dalam kerangka ini, Marxisme-Leninisme berusaha mengatur kehidupan bermasyarakat secara menyeluruh atas wawasan-wawasan rasional belaka, sedangkan Islam justru menolak sekulerisme seperti itu.

Menurut ajaran formal Islam, pengaturan kehidupan bermasyarakat harus diselaraskan dengan semua ketentuan-ketentuan wahyu yang datang dari Allah. Pengaturan hidup secara revelational (walaupun memiliki wawasan pragmatis dan rasionalnya sendiri untuk dapat menampung aspirasi kehidupan nyata), bagaimanapun juga tidak mungkin akan berdamai sepenuhnya dengan gagasan pengaturan masyarakat secara rasional sepenuhnya.

Tidak heranlah jika pengelompokan politik dan sosial budaya yang memunculkan apa yang dinamai “golongan Islam” juga menggunakan pola penghadapan dalam meletakkan Marxisme-Leninisme dalam hubungannya dengan Islam. Seperti dalam forum yang melawan dan menentangnya.

Forum-forum formal Islam sendiri juga demikian, senantiasa meletakkan Marxisme-Leninisme dalam hubungannya dengan Islam. Seperti dalam forum yang melawan dan menentangnya.

Forum-forum formal Islam sendiri juga demikian, senantiasa meletakkan Marxisme-Leninisme dalam kategori “ideologi lawan”. Atau dalam jargon Rabithah al-Alam al-Islami/Islamic Word Association) yang berkedudukan di Makkah, “ideologi yang menentang Islam (al-fahm al-mudhadli al-islami).” Dalam forum-forum resmi internasional di kalangan kaum muslimin, Marxisme-Leninisme dalam “baju” komunisme secara rutin dimasukkan ke dalam paham-paham yang harus ditolak secara tuntas.

Sikap demikian dapat juga dilihat pada karya-karya tulis para pemikir, ideolog, dan budayawan yang menjadikan Islam sebagai kerangka acuan dasar untuk menata kehidupan (dalam arti tidak harus dalam bentuk negara theokratis atau secara ideologis formal dalam kehidupan negara, tetapi sebagai semangat pengatur kehidupan). Para penulis “pandangan Islam” itu memberikan porsi panjang lebar kepada penolakan atas ideolgi dan paham Marxisme-Leninisme dalam karya-karya mereka.

Penolakan ini antara lain berupa sikap mengambil bentuk peletakan “pandangan Islam” sebagai jalan tengah antara kapitalisme dan komunisme atau menurut istilah Mustofa al-Siba’I, antara kapitalisem dan sosialisme.menurut pandangan mereka, kapitaisme akan membawa bencana karena terlalu mementingkan kepentingan perorangan warga masyarakat, karena sandarannya kepada inividualisme. Sedangkan kolektivisme yang menjadi ajaran Marxisme, diserap oleh Marxisme-Leninisme, justru akan menghilangkan hak-hak sah dari individu yang menjadi warga masyarakat. Islam menurut mereka memberikan pemecahan dengan jalan menyeimbangkan antara “hak-hak masyarakat” dan “hak-hak individu”.

Melihat pola hubungan diametral seperti itu memang mengherankan. Bahwa masih saja ada kelompok-kelompok Marxis-Leninis dalam masing-masing lingkungan bangsa muslim mana pun di seluruh dunia. Bahkan di kalangan minoritas muslim di negara yang mayoritas penduduknya beragama bukan Islam, seperti Sri-Lanka, Filipina. Bukan karena adanya orang-orang yang berpaham Marxis-Leninis. Karena memang mereka ada di mana-mana.

Tambahan pula, keadaan masyarakat bangsa-bangsa yang memiliki penduduk beragama Islam dalam jumlah besar memang membuat subur pertumbuhan paham itu. Secara teoritis, karena besarnya kesenjangan antara teori kemasyarakatan yang terlalu meuluk-muluk yang ditawarkan dan kenyataan menyedihkan akan meluaskan kemiskinan dan kebodohan. Yang menarik justru kenyataan bahwa oleh pemerintah negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, (kecuali sudah tentu di Indonesia. Kalaupun dilarang, maka bukan karena paham itu sendiri tidak dibarkan secara hukum neagara, melainkan karena di lingkunagn bangsa itu tidak diperkenankan adanya gerakan politik dari rakyat sama sekali, seperti Arab Saudi saat ini.

Yang lebih menarik lagi justru adalah terus-menerus adanya upaya untuk meramu ajaran Islam kepada atau dengan paham-paham lain, termasuk Marxisem. Seperti yang saat ini dilakukan dengan giatnya oleh Muammar Khadafi, pemimpin Lybia yang berperilaku eksentrik itu. Ternyata upaya tersebut tidak terbatas pada “penggalian” konsep konsep Marx yang nonkomunistis saja, tetapi juga mencapai “pengambilan” dari Marxisme-leninisme.

Secara formal, paham tersebut di larang di Lybia. Tetapi secara faktual banyak unsur-unsur Marxisme-Leninisme ke dalam doktrin politik Khadafi. Umpanya saja, pengertian “kelompok yang memelopori revolusi,’ yang jelas berasal dari konsep Lenin tentang pengalihan pemerintah dari kekuasaan kapitalisme (tidak harus yang berwatak finansial-industri, tetapi cukup yang masih berwatak agraris belaka). Demikian juga konsep “pimpinan revolusi”, yang dicanangkan sebagai “dewan-dewan rakyat” (al-jamariyah) sebagai satu-satunya kekuatan “pengawan revolusi” dari kemunkginan direbut kembali oleh kapitalisme internasional.

Fenomena upaya meramu unsur Marxisme-Leninisme ke dalam teori politik yang ditawarkan sebagai “ideolgoi Islam” sangat menarik untuk dikaji, karena bagaimanapun ia mengandung dua aspek. Pertama, ia tidak terbatas pada kalangan eksentrik seperti Khadafi, tetapi juga di kalangan sujumlah pemikir muslim serius, semisal Abdel Malek dan Ali Syari’ati. Saat ini pun, gerakan Mojaheddin eKhalq yang bergerak di bawah tanah di Iran dan dipimpin oleh Masoud Rajavi dari Paris, menggunakan analisis perjuangan kelas yang mengikuti acuan Marxisme-Leninisme. Kedua, kenyataan bahwa upaya “meramu” tersebut sampai hari ini masih mampu mempertahankan warna agamanya yang kuat. Bukan proses akulturasi yang muncul, di mana Islam dilemahkan, melainkan sebaliknya, terjadi penguatan ajaran-ajarannya melalui “penyerapan sebagai alat analisis”.

Keseluruhan yang dibentangkan di atas menghendaki adanya kajian lebih mendalam tentang hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme, yang akan membawa kepada pemahaman yang lebih terinci dan pengertian lebih konkret akan adanya titik-titik persamaan yang dapat digali antara Islam sebnagai ajaran kemasyarakat dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik.

Pemahaman dan pengertian seperti itu akan memungkinkan antisipasi terhadap peluang bagi terjadinya “titik sambung” keduanya dinegeri ini. Antisipasi mana dapat saja digunakan, baik untuk mencegahnya maupun mendorong kehadirannya.

Salah satu cara untuk melihat titik-titik persamaan antara Islam dan Marxisme Leninisme, keduanya sebagai semacam “ajarab kemasyarakatan” (untuk meminjam istilah yang populer saat ini di kalangan sejumlah theolog Katolik yang menghendaki perubahan struktural secara mendasar) adalah menggunakan pendekatan yang disebut sebagai vocabularies of motive (keragaman motif) oleh Bryan Turner dalam bukunya yang terkenal, Weber and Islam (hlm. 142).

Menurut pendekatan in, tidak ada satu pun motif tunggal dapat diaplikasikan secara memuaskan bagi keseluruhan perilaku kaum muslimin sepanjang sejarah mereka. Kecenderungan “agama” seperti tasawuf (mistisisme), syariat (legal-formalisme), dan akhlak (etika sosial), dalam hubungannya dengan kecenderungan “ekonomis”, seperti semangat dengan etos kerja agraris, pola kemiliteran dan asketisme politis, ternyata menampilkan banyak kemungkinan motivatif bagi perilaku kaum muslimin itu. Walaupun pendekatan itu oleh Turner dipakai justru untuk mencoba melakukan pembuktian atas kaitan antara Islam dan kapitalisme, bagimanapun juga penggunaannya sebagai alat untuk meneliti kaitan antara Islam Marxisme-Leninisme akan membuahkan hasil kajian yang diharapkan.

Umpamanya saja, pendekatan ini dapat mengungkapkan adanya kesamaan orientasi antara pandangan kemasyarakatan Marxisme-Leninisme yang bersumber pada kolektivisme dan tradisi kesederhanaan hierarki dalam masyarakat suku yang membentuk masyarakat Islam yang pertama di Madinah di zaman Nabi Muhammad.

Kesamaan orientasi tersebut dapat dilihat pada besarnya semangat egalitarianisme dan populisme dalam kedua sistem kehidupan itu. Orientasi kehidupan seperti itu mau tidak mau akan membawa sikap untuk cenderung menyusun pola kehidupan serba senang kepada tindakan (action-oriented), dan menjauhi kecenderungan kontemplatif dan meditatif.

Orientasi kepada tindakan ini demikian kuat terlihat dalam kehidupan masyarakat Islam, sehingga keimanan dan tuntasnya keterlibatan kepada ajaran agama (dikenal dengan nama Rukun Islam) sepenuhnya diidentifisir dengan “tindakan”. Dari syahadat (pengakuan akan keesaan Allah dan kerasulan Muhammad), salat, zakat, puasa, hingga kewajiban menjalankan peribadatan haji.

Walaupun Marxisme bersandar pada ajaran determinisme-materialistik (dalam jargon sosialisme dikenal dengan nama historis-materialisme), dan dengan demikian Marxisme-Leninisme mendasarkan idiologinya sampai titik tertentu pada acuan tersebut, tetapi orientasinya kepada “sikap aksional” tetap tampak sangat nyata. Justru acuan deterministik yang mendorong kaum Marxis termasuk Marxis-Leninis, untuk mempersoalkan struktur kekuasaan dan tindakan terprogram dalam memperjuangkan dan kemudian melestarikan struktur masyarakat yang mereka anggap sebagai bangunan kehidupan yang adil.

Orientasi inilah yang “menhubungkan” antara Islam dan Marxisme-Leninisme, menurut versi pikiran orang-orang seperti Khadafi dan Masoud Rajavi. Walaupun secara prinsipil mereka menentang komunisme sebgai ideologi dan memenjarakan pemimpin-pemimpin komunis serta melawan mereka dalam bentrokan-bentrokan fisik.

Berbeda dengan mendiang Gamal Abdul Nasser dari Mesir, yang berideologi sosialistik dan sedikit banyak dapat mentolerir kehadiran pemimpin-pemimpin komunis, seperti Mustafa Agha di negerinya, walupun sering juga ditahan kalau ternyata masih melakukan aktivitas yang dinilainya subversif. Sikap Nasser ini juga diikuti oleh kedua rezim sosialis Ba’ath (kebangunan) yang berkuasa di Irak dan Syiria sekarang ini.

Sebuah perkecualian menarik dalam hal ini, karena perbedaan ideologis yang ada dapat “dijembatani” oleh kesamaan orientasi di atas adalah kasus Parta Tudeh di Iran. Pertai yang nyata-nyata berideologi Marxis-Leninis itu ternyata hingga saat ini masih dibirakan hidup oleh rezim revolusi Islam di Iran, walaupun gerakan gerilya Fedayen E-Khalq yang juga Marxis-Leninis justru ditumpas dan dikejar-kejar.

Ternyata kesamaan orientasi populistik dan egalitarian anatara ideologi Islam dan Marxis-Leninisme dihadapan lawan bersama imperialisme Amerika Serikat menurut jargon mereka, mengandung juga benih-benih kontradiksi interen antara kaum mula dan kaum Marxis-Leninis Iran, selama yang terakhir ini tidak mengusik-usik kekuasaan Partai Republik Islam, selam itu pula mereka ditolerir.

Dari sudut pandangan ini, sikap kaum muslimin Indonesia yang menolak kehadiran Marxisme-Leninisme melalui ketetapan MPR adalah sebuah anomali, yang hanya dapat diterangkan dari kenyataan bahwa telah dua kali mereka dikhianati oleh kaum komunis di tahun 1948 dan 1965. Penolakan dengan demikian berwatak politis, bukannya ideologis.

Hal ini menjadi lebih jelas, jika diingat bahwa kaum muslimin Indonesia sudah tidak lagi memiliki aspirasi mereka sendiri di bidang ideologi, tetapi meleburkannya ke dalam ideologi “umum” bangsa, Pancasila.

Kenyataan seperi ini memang jarang dimengerti, karena tinjauan yang dilakukan selama ini atas hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme sering sekali bersifat dangkal, melihat persoalannya dari satu sisi pandangan saja, itu pn yang bersifat sangat formal. Wajar sekali kalau kaitan dengan Marxisme-Leninisme tidak diakui secara formal di kalangan gerakan-gerakan Islam, tetapi diterima dalam praktek. Seperti wajarnya ”garis partai” yang menolak kehadiran agama di negara-negara komunis, tetapi dalam praktek diberikan hak melakukan kegiatan serba terbatas.

Melihat kenyataan di atas, menjadi nyata bagi mereka yang ingin melakukan tinjauan mendalam atas Maexisme-Leninisme dari sudut pandangan Islam. Bahwa harus dilakukan pemisahan antara sikap Islam yang dirumuskan dalam ajaran resmi keagamaannya dan “sikap Islam” yang tampil dalam kenyataan yang hidup dalam bidang politik dan pemahaman secara umum.

Banyak pertimbangan lain yang mempengaruhi hubungan antara Islam dan Marxisme-Leninisme dalam praktek, sehingga tidak dapat begitu saja digeneralisasi tanpa mengakibatkan penarikan kesimpulan yang salah. Demikian juga, dalam melihat kaitan dalam praktek kehidupan pemerintahan, tidaklah cukup kaitan itu sendiri diidentifikasikan sebagai sesuatu yang sumir dan berdasarkan kebutuhan taktis belaka, seperi yang disangkakan pihak Amerika Serikat atas hubungan Khadafy dan Uni Soviet. Karena sebenarnya yang terjadi adalah proses saling mengambil antara dua ideologi besar, tanpa salah satu harus mengalah terhadap yang lain. Betapa tidak permanennya hubungan itu sekalian, karena keharusan tidak boleh mangalah kepada ideologi lain, kaitan antara Islam dan Marxisme-Leninisme memiliki dimensi ideologinya sendiri. Yaitu kesamaan sangat besar dalam orientasi perjuangan masing-masing.

Kalau diproyeksikan terlebih jauh ke masa depan, bahkan akan muncul varian lain dari pola hubungan yang telah ada itu. Yaitu dalam hasil akhir ideologis dari upaya yang sedang dilakukan sejumlah intelektual muslim untuk mendalami sumber-sumber ajaran Islam melalui analisis pertentangan kelas yang menjadi “merek dagang” Maxisme-Leninisme.

Ayat-ayat Al-Qur’an, ucapan nabi dalam hadits dan penjelasan ulama dalam karya-karya mereka diperiksa kembali “wawasan kelas”-nya, digunakan sudut pandangan sosial-historis untuk melakukan penfsiran kembali atas “pemahaman salah” akan sumber-sumber ajaran agama itu.

Zakat sebagai salah satu Rukun Islam, umpamanya, dilihat secara kritis sebagai alat populistik untuk menata orientasi kemasyarakat kaum muslimin dalam pengertian struktural. Lembaga tersebut diwahyukan dengan beban terbesar atas penyelenggaraan hidup bermasyarakat pada pundak lapangan pertanian sebagai profesi kaum elite Madinah waktu itu (karena membutuhkan masukan modal sangat besar, tidak seperti usaha dagang kecil-kecilan di pasar yang menjadi kerja utama kebanyakan penduduk Madinah). Pendekatan struktural dalam menafsirkan kembali ajaran agama itu bagaiamanapun akan membawa kepada kesadaran akan pentingnya analisis perjuangan kelas untuk menegakkan struktur masyarakat yang benar-benar adil dalam pandangan Islam.

Di pihak lain, semakin berkembangnya pemahaman “humanis” atas Marxisme-Leninisme, seperti dilakukan Partai Komunis Itali dewasa ini akan membawa apresiasi lebih dalam lagi tentang pentingnya wawasan keagamaan ditampung dalam perjuangan kaum Marxis-Leninis untuk menumbangkan struktur kapitalis secara global.

Hal ini sebenarnya sudah disadari oleh sejumlah teoritisi Marxis-Leninis sejak dasawarsa tigapuluhan dari abad ini, semisal Gramsci. Sudah tentu akan muncul aspek kesamaan orientasi kemasyarakatan antara Islam dan Marxisme-Leninisme dengan dilakukan kajian-kajian di atas yang antara lain sedang dilakukan oleh Mohammad Arkoun dan Ali Merad, yang dua-duanya kini tinggal di Perancis.

 

 

Oleh Abdurrahman Wahid

* Tulisan ini pernah dimuat di Persepsi, No.1, 1982

sumber: Nadhatul Ulama