Status Suami yang Hilang Bertahun-tahun

TERDAPAT kasus di beberapa tempat yang menyebutkan bahwa seorang istri telah ditinggal suaminya kira-kira lima tahun lamanya, bagaimana statusnya, apakah dibolehkan baginya untuk menikah lagi dengan laki-laki lain, ataukah dia harus menunggu suaminya datang?

Sampai kapan dia harus menunggu sedang suaminya tidak jelas keberadaannya ? Bagaimana Islam memberikan solusi atas masalah seperti ini?

Perbedaan Pendapat

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:

Pendapat Pertama: bahwa seorang istri yang ditinggal lama oleh suaminya hendaknya sabar dan tidak boleh menuntut cerai. Ini adalah pendapat Madzab Hanafiyah dan Syafi’iyah serta adh-Dhahiriyah. Mereka berdalil bahwa pada asalnya pernikahan antara kedua masih berlangsung hingga terdapat keterangan yang jelas, bahwa suaminya meninggal atau telah menceraikannya. (az-Zaila’i, Nasbu ar-Rozah fi takhrij ahadits al-hidayah: kitab al-mafqud, Ibnu Hamam, Syarh Fathu al-Qadir ; Kitab al-Mafqud, Ibnu Hazm, al-Muhalla bi al Atsar ; Faskh nikah al mafqud).

Pendapat Kedua: bahwa seorang istri yang ditinggal lama oleh suaminya, dan merasa dirugikan secara batin, maka dia berhak menuntut cerai. Ini adalah pendapat Hanabilah dan Malikiyah.

Adapun dalil-dalil yang bisa dikemukakan untuk mendukung pendapat ini adalah :

Pertama firman Allah subhanahu wa ta’ala :

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Dan pergaulilah mereka dengan baik.“ (QS: An-Nisa : 19).

Kedua firman Allah subhanahu wa ta’ala :

وَلَا تُمْسِكُوْهُنَّ ضِرَارًا لِّتَعْتَدُوْا ۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهٗ

“Janganlah engkau tahan mereka untuk memberi kemudharatan bagi mereka, karena demikian itu berarti kamu menganiaya mereka.“ (QS: Al-Baqarah : 231).

Ketiga sabda Rasulullah ﷺ:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Tidak ada yang mudharat (dalam ajaran Islam) dan tidak boleh seorang muslim membuat kemudharatan bagi orang lain.“ (Hadist Hasan Riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni).

Ayat dan hadist di atas melarang seorang muslim, khususnya suami untuk membuat kemudharatan bagi istrinya dengan pergi meninggalkan rumah dalam jangka waktu yang lama tanpa ada keperluan yang jelas. Maka, istri yang merasa dirugikan dengan kepergian suaminya tersebut berhak untuk menolak mudharat tersebut dengan gugatan cerai yang diajukan ke pengadilan.

Keempat, disamping itu, seorang istri dalam keadaan sendirian, biasanya sangat sulit untuk menjaga dirinya , apalagi di tengah-tengah zaman yang penuh dengan fitnah seperti ini. Untuk menghindari firnah dan bisikan syetan tersebut, maka dibolehkan baginya untuk meminta cerai dan menikah dengan lelaki lain.

Kelima, mereka juga mengqiyaskan dengan masalah al-iila’ (suami yang bersumpah untuk tidak mendekati istrinya) dan al-Unnah (suami yang impoten), dalam dua masalah tersebut sang istri boleh memilih untuk cerai, maka begitu juga dalam masalah ini. (Ibnu Rusydi, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayah al-Maqasid, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 2/ 52).

Hanya saja para ulama yang memegang pendapat kedua ini berbeda pendapat dalam beberapa masalah:

Para ulama dari kalangan Hanabilah menyatakan bahwa suami yang meninggalkan istrinya selama enam bulan tanpa berita, maka istri berhak meminta cerai dan menikah dengan laki-laki lain. Mereka berdalil dengan kisah Umar bin Khattab yang mendengar keluhan seorang wanita lewat bait-bait syi’irnya ketika ditinggal suaminya berperang.

Beliau menannyakan kepada anaknya Hafshah tentang batas kesabaran seorang perempuan berpisah dengan suaminya, maka Hafsah menjawab enam bulan. Dan keputusan ini hanya berlaku bagi suami yang pergi begitu saja tanpa ada udzur syar’i, dan disebut dengan faskh nikah (pembubaran pernikahan) dan tidak disebut talak. (Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal as-Syakhsiyah, Kairo, 1957, Dar al Fikr al Arabi, hlm : 367).

Adapun para ulama Malikiyah menentukan batas waktu waktu satu tahun, bahkan dalam riwayat lain batasan waktunya adalah empat tahun, dimana seorang istri boleh meminta cerai dan menikah dengan suami lain. Dan ketentuan ini berlaku bagi suami yang pergi, baik karena ada udzur syar’i maupun tidak ada udzur syar’i. Jika hakim yang memisahkan antara keduanya, maka disebut talak bain. (Ibnu Rusydi : 2/ 54).

Mereka juga membedakan antara yang hilang di Negara Islam, atau di Negara kafir, atau hilang dalam kondisi fitnah atau hilang dalam peperangan. Masing-masing mempunyai waktu tersendiri.

Jika suami berada di tempat yang bisa dijangkau oleh surat atau peringatan, maka seorang hakim diharuskan untuk memberikan peringatan terlebih dahulu, baik lewat surat, telpon, sms, maupun kurir ataupun cara-cara yang lain, dan menyuruhnya untuk segera kembali dan tinggal bersama istrinya, atau memindahkan istrinya di tempatnya yang baru atau kalau perlu diceraikannya. Kemudian sang hakim memberikan batasan waktu tertentu untuk merealisasikan peringatan tersebut, jika pada batas tertentu sang suami tidak ada respon, maka sang hakim berhak untuk memisahkan antara keduanya. (Ibnu Juzai, al-Qawanin al-Fiqhiyah, Kairo, Daar al hadits, 2005 ,hlm : 177, Muhammad Abu Zahrah: 366)

Pendapat yang lebih mendekati kebenaran- wallahu a’lam- adalah pendapat yang menyatakan bahwa batasan waktu dimana seorang istri boleh meminta cerai dan menikah dengan lelaki lain, jika suami pergi tanpa udzur syar’i adalah satu tahun atau lebih. Itupun, jika istri merasa dirugikan secara lahir maupun batin, dan suaminya telah terputus informasinya serta tidak diketahui nasibnya. Itu semua berlaku jika kepergian suami tersebut tanpa ada keperluan yang berarti.

Adapun jika kepergian tersebut untuk suatu maslahat, seperti berdagang, atau tugas, atau belajar, maka seorang istri hendaknya bersabar dan tidak diperkenankan untuk mengajukan gugatan cerai kepada hakim.  Gugatan cerai ini, juga bisa diajukan oleh seorang istri yang suaminya dipenjara karena kejahatan atau perbuatan kriminal lainnya yang merugikan masyarakat banyak, sekaligus sebagai pelajaran agar para suami untuk tidak melakukan tindakan kejahatan. (Muhammad Abu Zahrah : 368).

Adapun mayoritas ulama tidak membolehkan hal tersebut, karena tidak ada dalil syar’i yang dijadikan sandaran. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, Riyadh, Daar Alami al Kutub, Juz 11, hal : 247, Dr. Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, Damaskus, Dar al Fikr, 1989, Cet ke 3, Juz :7, hlm :535).

“Jika hakim telah memisahkan antara keduanya dan telah selesai masa iddahnya, kemudian sang istri menikah dengan lelaki yang lain, tiba-tiba mantan suaminya muncul, maka pernikahan istri dengan laki-laki yang kedua tidak bisa dibatalkan, karena penikahan dengan lelaki yang pertama (mantan suaminya) sudah batal.” (Ibnu Juzai : 177).

Adapun jika dasar pemisahan antara suami istri tersebut, karena diprediksikan bahwa suaminya telah meninggal dunia, tetapi pada kenyataannya masih hidup, maka pernikahan yang kedua batal. Dan pernikahan pertama masih berlangsung. Wallahu a’lam.*/Dr A Zain An-Najah, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)

HIDAYATULLAH

Perbedaan Hati yang Hidup dan Mati Menurut Islam

Hati umat manusia bisa dikategorikan mati dan hidup

Hati merupakan bagian penting dari diri seseorang yang juga diakui dalam ajaran Islam.

Pembahasan ini tentunya bukan hati dalam artian organ tubuh, tapi sesuatu dalam diri yang menyimpan segala bentuk perasaan seseorang. 

Dilansir dari Elbalad, pendakwah Islam, Syekh Ramadan Abdel Muiz, mengatakan Rasulullah SAW menempatkan hati sebagai bagian yang terpenting yang dapat memengaruhi gerak-gerik seseorang. 

Dalam sebuah hadits, hati bahkan menjadi penyebab hancurnyauUmat Islam dalam suatu masa. Rasulullah SAW bersabda:   

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا ». فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِى قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ . فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهَنُ قَالَ  حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ 

Artinya: “Dari Tsauban, dia berkata bahwa Rasulullah ﷺ  bersabda, “Hampir saja para umat (yang kafir dan sesat, pen) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkumpul menghadapi makanan dalam piring”. Kemudian seseorang bertanya,”Katakanlah wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah berkata,”Bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagai sampah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian ’wahn’. Kemudian seseorang bertanya,”Apa itu ’wahn’?” Rasulullah berkata,”Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Dawud). 

Selain membahas tentang pentingnya menjaga hati, Syekh Muiz juga menjelaskan ada beberapa jenis hati. Beberapa di antaranya adalah: 

• Hati yang bersih 

Hati yang bersih merupakan milik orang-orang yang tidak membuka sedikitpun celah pada ketidakbenaran. Mereka adalah orang-orang yang selalu berupaya tunduk kepada Allah ﷻ dan sunah Nabi-Nya. 

Hati yang bersih ini dimiliki oleh banyak golongan, seperti hati orang-orang yang bertakwa, hati orang-orang yang diberi petunjuk, hati yang tenang dan hati yang senantiasa hidup dengan mengingat-Nya. 

• Hati yang mati 

Hati yang mati merupakan hati yang jauh dengan Rabb-nya. Maksiat atau perbuatan yang dilarang Allah ﷻ telah menutupi hatinya sehingga bisa sekeras batu bahkan lebih dari itu. 

Hati-hati ini adalah milik orang-orang dengan golongan seperti, orang-orang yang hatinya sakit karena berbuat syirik kepada Allah, orang-orang yang hatiya buta karena tidak mau melihat kebenaran Allah ﷻ, hati terganggu yang tidak menyadari penciptanya dan jauh dari Alquran dan hati pendosa yang menerobos larangan Allah ﷻ tanpa rasa takut. 

Ada juga hati yang keras yang tidak berupaya untuk melunakkan diri sebesar apapun kebenaran telah diperlihatkan. Kemudian ada juga hati yang sesat atau orang-orang yang menyimpang dari kebenaran.

KHAZANAH REPUBLIKA

Menag: Per 1 Desember 2021, Penerbangan Indonesia Bisa Langsung ke Saudi

Jeddah (Kemenag) — Kunjungan kerja Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ke Arab Saudi berbuah manis. Otoritas penerbangan Arab Saudi telah memperbarui aturan penerbangan internasionalnya. Terhitung 1 Desember 2021, penerbangan dari Indonesia bisa langsung menuju ke Arab Saudi.

Menag Yaqut Cholil Qoumas menyambut baik aturan baru yang diterbitkan otoritas penerbangan Arab Saudi, General Authority of Civil Aviation (GACA), tertanggal 25 November 2021. 

“Alhamdulillah, jelang kepulangan kunjungan kerja dari Arab Saudi, saya mendapat informasi resmi bahwa mulai pukul satu dini hari, pada Rabu 1 Desember 2021, warga Indonesia sudah diperbolehkan masuk ke Arab Saudi tanpa perlu melalui negara ke-3 selama 14 hari,” terang Menag di Bandara Internasional King Abdul Aziz Jeddah, jelang kepulangannya ke Indonesia, Kamis (25/11/2021) malam.

“Tidak lagi ada persyaratan booster, namun  tetap harus mematuhi protokol kesehatan (prokes) dengan menjalani karantina institusional selama lima hari. Ini harus dipatuhi dan menjadi perhatian bersama,” sambungnya.

Selain Indonesia, kata Menag, ada lima negara lain yang juga sudah mendapat izin masuk Saudi, yaitu: Pakistan, Brazil, India, Vietnam, dan Mesir.

Larangan terbang atau suspend diberlakukan oleh Arab Saudi terhadap Indonesia dan sejumlah negara lainnya sejak Februari 2021. Ketentuan ini sempat diperbarui pada akhir Agustus 2021. Penerbangan dari Indonesia diperbolehkan langsung ke Saudi, tetapi hanya dikhususkan bagi orang-orang yang memiliki izin tinggal di Arab Saudi, baik mukimin atau ekspatriat. 

“Semoga ini juga akan menjadi kabar baik buat jemaah umrah Indonesia yang sudah tertunda keberangkatannya sejak Februari 2021. Semoga jemaah Indonesia bisa segera mengobati kerinduannya untuk ke Tanah Suci. Namun, harus disiplin protokol kesehatan sesuai ketentuan Arab Saudi,” pesannya.

Gus Menteri, sapaan akrab Menag Yaqut, mengapresiasi respons cepat dari otoritas Arab Saudi atas sejumlah pembahasan yang dilakukannya beberapa hal ini di Jeddah dan Makkah, baik dengan Menteri Urusan Agama Islam, Dakwah, dan Penyuluhan Syekh Abdullatif bin Abdulaziz, Gubernur Makkah Khalid bin Faisal Al Saud, maupun Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi H.E Tawfiq F. Al-Rabiah.

“Dalam tiap kesempatan, saya sampaikan kepada mereka tentang kesiapan Indonesia dalam penyelenggaraan umrah di masa pandemi. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Bersama tim Kemenag sudah saya minta untuk menyusun skenario dan teknis penyelenggaraan yang akan dibahas bersama dengan Wakil Menteri Urusan Haji dan Umrah Kerajaan Saudi Arabia Dr. Abdulfatah Suliman Hashat bersama jajarannya,” tutur Menag.

Apresiasi juga disampaikan Menag atas sambutan Menteri Urusan Agama Islam, Dakwah, dan Penyuluhan Syekh Abdullatif bin Abdulaziz. Menag tiba di Arab Saudi pada 19 November 2021 dan disambut oleh Syekh Abdullatif di Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah. Kepulangan Gus Menteri pada 25 November melalui bandara yang sama juga diantar langsung oleh Syekh Abdullatif.

Menurut Konjen RI di Jeddah, Eko Hartono, sambutan ini sangat luar biasa. “Kedatangan Gus Menteri mendapat sambutan luar biasa. Sebab, kedatangannya langsung disambut Menteri Urusan Agama Islam. Demikian juga kepulangannya, langsung diantar Syekh Abdullatif,” ujar Konjen RI di Jeddah, Eko Hartono.

(Humas)

Perpustakaan Masjid Nabawi Perkaya Pengetahuan Pengunjung

Perpustakaan Masjid Nabawi merupakan salah satu tempat penting yang selalu ingin dikunjungi oleh para pengunjung masjid. Fasilitas umum ini disediakan, berafiliasi dengan Kepresidenan Umum untuk Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Keberadaan perpustakaan ini dianggap sebagai kesempatan untuk memperoleh keterampilan dan keahlian, serta memperkaya pengetahuan melalui beragam buku dalam lebih dari 21 bahasa.

Dilansir di Riyadh Daily, Selasa (30/11), perpustakaan ini menampung sekitar 180.000 buku dan sekitar 71 klasifikasi. Jumlah paling atas adalah buku-buku tentang biografi kenabian dengan 86 judul, serta sisanya seputar administrasi dan departemen khusus lainnya.

Untuk menambah kenyamanan pengunjung, Kepresidenan Urusan Dua Masjid Suci menyiapkan administrasi perpustakaan pintar digital pintar. Keberadaannya diresmikan pasca transformasi digital global.

Administrasi perpustakaan di Masjid Nabawi disebutkan menyediakan beberapa komputer dengan e-book tertentu yang dimuat di perangkat tersebut.

Direktorat Jenderal Urusan Masjid Nabawi mengalokasikan lokasi untuk perpustakaan ini di bagian atas barat laut perluasan kedua Saudi. Akses menuju tempat ini dapat ditemui melalui eskalator di Gerbang 10.  

Sumber:

http://alriyadhdaily.com/article/ce2819053b7d4aaabcb8960157f30c7c

IHRAM

Temukan buku2 pengetahuan Islam secar digital di aplikasi ini!

Orang yang Sudah Tua Namun Kurang Adab, Apakah Tetap Wajib Dihormati?

Pertanyaan:

Apakah wajib bagi kita menghormati orang yang lebih tua, meskipun kurang adabnya?

Jawaban:

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله، وصحبه، أما بعد

Islam telah mengajarkan kita untuk menghormati dan menghargai orang yang lebih tua. Dalam Sunan Abi Dawud dari Abi Musa al-Asy’ari Radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahualaihi wasallam bersabda,

إن من إجلال الله: إكرام ذي الشيبة المسلم، وحامل القرآن غير الغالي فيه، والجافي عنه، وإكرام ذي السلطان المقسط

“Sesungguhnya termasuk pengagungan kepada Allah adalah memuliakan orang yang sudah beruban lagi muslim, memuliakan ahli Qur’an dengan tidak berlebihan dan tidak menyepelekannya, dan memuliakan para pemimpin yang berbuat adil” (HR. Abu Daud no.4843, dihasankan oleh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Sunan Abu Daud).

Dalam kitab Aunul Ma’bud disebutkan penjelasan hadis ini,  “’memuliakan orang yang sudah beruban lagi muslim’ maksudnya penghormatan terhadap orang yang lebih tua dalam Islam dilakukan dengan cara memuliakannya dalam setiap majelis, memperlakukannya dengan lemah lembut,  bersimpati padanya, dan (perbuatan baik) semisalnya. Semua perilaku ini termasuk pengagungan kepada Allah karena kemuliannya (orang tua tersebut -pent.) di sisi Allah.”

Adapun dalam Sunan at-Tirmidzi dari Anas bin Malik Radhiallahuanhu berkata, “Seorang lelaki tua datang kepada Nabi Shallallahu alaihi wasallam lantas orang-orang memperlambat untuk memperluas jalan untuknya, maka Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda,

ليس منا من لم يرحم صغيرنا،ويوقّر كبيرنا

‘Bukan termasuk dari golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil kami dan tidak menghormati orang tua (orang dewasa) kami’” (HR. At Tirmidzi no.1921. Dihasankan oleh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Syarhus Sunnah [3452]).

Apabila orang tua tersebut tidak memiliki adab dan muru’ah, tidak berhak untuk dimuliakan dengan model pemuliaan kepada orang tua saleh yang akhlaknya baik. Namun demikian, tetap wajib bagi kita untuk menjaga kehormatannya sebagai orang yang lebih tua, memperlakukannya dengan baik serta berlemah lembut kepadanya.

Begitu juga apabila orang tua tersebut justru berpaling menuju kefasikan dan perbuatan keji, atau melakukan kezaliman di muka bumi, maka ia tidak berhak mendapatkan kemuliaan.

Sebagaimana disebutkan dalam kitab Husnu At-Tanabbuh Lima Waroda Fi At-Tasyabbuh, “Maksud dari ‘al-kabir‘ disini bukan lah orang-orang yang hidup bermewah-mewah atau para pemberontak yang zalim. Namun (al-kabir) merupakan para ulama yang mengamalkan ilmunya, pemimpin yang adil, orang-orang saleh, dan orang-orang tua (lanjut usia) dari kaum muslimin.”

Wallahu a’lam.

***

Sumber : Dewan Fatwa Islamweb

Penerjemah : Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/70616-orang-yang-sudah-tua-namun-kurang-adab-apakah-tetap-wajib-dihormati.html

Hukum yang Berkaitan dengan Kondisi Junub

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pertanyaan:

Apakah hukum yang berkaitan dengan kondisi junub (janabah)?

Jawaban:

Hukum-hukum yang berkaitan dengan kondisi junub adalah sebagai berikut:

Pertama, orang yang junub diharamkan mendirikan salat, baik salat wajib (salat fardu) maupun salat sunah, termasuk juga salat jenazah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu …

sampai dengan firman-Nya,

وَإِن كُنتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُواْ

“… dan jika kamu junub, maka mandilah!” (QS. Al-Maidah: 6)

Kedua, orang yang junub diharamkan tawaf di Baitullah. Karena tawaf di Baitullah itu sama dengan berdiam diri (menetap) di masjid. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُباً إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. (Jangan pula hampiri masjid) sedangkan kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An-Nisa’: 43)

Ketiga, diharamkan baginya untuk menyentuh mushaf Al-Qur’an [1]. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لا يمس القران إلا طاهر

Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an, kecuali orang yang suci.” (HR. Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 534)

Keempat, diharamkan untuk berdiam diri (menetap) di masjid, kecuali setelah berwudu. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُباً إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. (Jangan pula hampiri masjid) sedangkan kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An-Nisa’: 43)

Kelima, diharamkan baginya membaca Al-Qur’an sampai mandi (mandi junub) (meskipun tanpa mushaf, pent.) [2]. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan Al-Qur’an kepada para sahabat selama tidak dalam kondisi junub. (HR. Abu Dawud no. 229, At-Tirmidzi no. 146, An-Nasa’i no. 265, Ibnu Majah no. 594)

Ini adalah lima hukum yang terkait dengan orang yang sedang junub. [3]

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki: [1] Pendapat beliau rahimahullah ini sebagaimana pendapat jumhur (mayoritas) ulama dalam masalah ini, termasuk imam madzhab yang empat. [2] Pendapat beliau rahimahullah ini sebagaimana pendapat jumhur (mayoritas) ulama dalam masalah ini. Sedangkan sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa orang yang junub boleh membaca Al-Qur’an. [3] Diterjemahkan dari kitab Fataawa Arkaanil Islaam, hal. 298-299-384, pertanyaan no. 160.

Sumber: https://muslim.or.id/70634-hukum-yang-berkaitan-dengan-kondisi-junub.html

Argumentasi Islam Tidak Mengajarkan Paham Radikalisme dan Terorisme

Islam sebagai finalisasi agama yang diturunkan Allah merupakan penyempurna risalah-Nya dari sejak mula diturunkan. Dengan demikian, Islam adalah syamil, tinggi dan luhur. Tidak satu agama dan keyakinan yang melampauinya. Ia sebagai agama yang paling benar seperti disampaikan langsung oleh Allah dalam al Qur’an.

Sejatinya, Islam tidak perlu dibela dari tuduhan-tuduhan yang dilekatkan kepadanya. Seperti radikalisme dan terorisme. Kesempurnaan agama Islam dibela atau tidak tetap saja tidak berubah. Akal sehat akan dengan mudah memahami ajaran-ajaran Islam yang menebarkan kasih sayang, peduli kemanusiaan dan keadilan. Ini tidak bisa dipungkiri.

Argumentasi bahwa Islam tidak mengajarkan radikalisme dan terorisme ditulis oleh Muhammad bin Ibrahim Alhamdi dalam  karyanya Qishshah al Basyariah. Menurutnya, tuduhan Islam sebagai penyebab radikalisme dan terorisme adalah mengada-ada. Karena, Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang (rahmat), keramahan dan toleransi. Kalaupun terpaksa menghunus pedang dari sarungnya untuk jihad fi sabilillah, itu seperti dipan di ruang dokter yang berfungsi untuk menyembuhkan penyakit pasien.

Menghunus pedang adalah sebagai upaya untuk membela diri dan menyadarkan manusia dari kekeliruannya. Kalau musuh menyerang, maka tidak ada jalan lain kecuali menghunus pedang.

Jihad dalam Islam bukan mengalirkan darah dan penghilang nyawa. Jihad hanya bertujuan untuk menegakkan hukum-hukum Allah dan menunjukkan manusia kepada jalan penghambaan yang sebenarnya; menyembah Allah. Tujuannya supaya manusia menjadi mulia.

Umat Islam adalah umat terbaik dari umat yang lain. Sebagai umat terbaik, selalu bersungguh-sungguh menjalankan perintah Allah yang diantaranya adalah menolong manusia. Dalam posisi kuat umat Islam menjadi rahmat dan memberlakukan hukum secara adil. Tidak mengintimidasi, menindas dan apalagi memerangi.

Sejarah telah membuktikan hal ini. Disetiap belahan bumi yang dikuasai oleh umat Islam pasti kecemerlangan melingkupi wilayah tersebut. Kedamaian dan perlindungan terhadap hak-hak manusia tanpa melihat agama masing-masing berjalan dengan sempurna. Lihatlah, seperti pada masa khulafaur rasyidin, pada setiap peperangan bukankah mereka tidak membunuh orang tua, anak-anak dan kaum wanita?

Ini semua karena mereka meneladani Nabi. Di saat orang-orang yang sebelumnya memusuhi bahkan melakukan intimidasi dan kekerasan kepada beliau, tapi setelah mereka berhasil dilumpuhkan Nabi tidak melakukan intimidasi dan kekejaman yang sama seperti yang mereka lakukan sebelumnya. Nabi memaafkan.

Negeri-negeri taklukan Islam tidak dibumihanguskan. Umat Islam bahkan tidak berani menebang pohon karena akan merusak lingkungan. Rumah-rumah tempat ibadah agama lain juga tidak dihancurkan. Apalagi membunuh musuh yang telah menyerah. Mereka tidak pernah membuat syarat masyarakat negeri taklukan harus menganut agama Islam. Mereka tetap bebas memeluk agama yang diyakini sebelumnya. Kalaupun kemudian mereka berbondong-bondong memeluk agama Islam itu karena akhlak mulia yang diteladankan oleh umat Islam.

Inilah sekelumit argumentasi Muhammad bin Ibrahim Alhamdi sebagai kontra narasi terhadap opini yang menyudutkan agama Islam sebagai agama teroris dan mengajarkan paham radikal. Dalam kitab ini ia menjelaskan dengan sangat lugas tentang ajaran-ajaran agama Islam yang universal. Menghargai perbedaan, mengedepankan toleransi, kedamaian dan keramahan. Kesimpulannya, radikalisme dan terorisme bukan ajaran Islam.

ISLAM KAFFAH

Kriminalisasi Ulama adalah Logika yang Menyesatkan Umat

Tidak butuh waktu yang cukup lama, ketika salah satu tokoh agama ditangkap karena terkait hukum istilah ini kriminalisasi ulama segera meluncur. Istilah menggelinding untuk menyesatkan opini masyarakat tentang penegakan hukum yang semestinya ditegakkan di negara hukum.

Istilah ini sangat berbahaya terhadap umat. Apa bahayanya?

Pertama, istilah ini muncul sebagai proses pembentukan opini di tengah masyarakat tentang ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum. Bagi kelompok ini hukum yang tidak menguntungkan bagi mereka harus ditolak, namun jika menguntungkan harus terus didukung dengan aksi-aksi yang berjilid-jilid di tengah lapangan.

Isu kriminalisasi ulama sejatinya bertujuan untuk membangun dan mengajak ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum. Dan ini sangat berbahaya. Ketika masyarakat tidak percaya proses hukum, ada alternatif yang akan segera mereka tawarkan, yakni penegakan hukum Syariah.

Kedua, isu kriminalisasi ulama untuk bertujuan membangun emosi publik untuk membenci bahkan dalam kadar tertentu mendelegitimasi kebijakan pemerintah. Isu ini ingin menggiring emosi masyarakat terutama umat Islam tentang persepsi negara atau pemerintah yang anti Islam.

Logika ini sangat berbahaya karena menggiring umat Islam untuk tidak patuh terhadap kepemimpinan yang ada. Logika khawarij melalui pembangkangan akan mudah terjadi dan chaos mudah meledak di tengah masyarakat yang marah.

Ketiga, isu kriminalisasi ulama ingin menabur rasa keterancaman umat dari bahaya yang sangat mencekam. Dalam kasus ini, seolah umat Islam secara keseluruhan sedang mengalami ancaman besar dan sedang ditindas.

Karena itulah, tidak ada pilihan bagi umat Islam untuk menegakkan keadilan. Negara sedang tidak berpihak dengan sistem yang menindas umat. Karena itulah, pilihan utama adalah melawan pemimpin dan merombak tatanan sistem yang ada.

Mari kita jernihkan logika yang amburadul ini agar tidak mudah membodohi masyarakat. Bagaimanapun penegakan hukum mutlak ditegakkan di negara yang berdasarkan hukum. Semua warga negara berkedudukan sama di hadapan hukum, termasuk aparat pemerintah, politisi, hingga ulama sekalipun. Jika ada warga negara yang tersangkut dengan hukum bukan berarti ada kriminalisasi pejabat, kriminalisasi politisi dan kriminalisasi ustadz, ulama dan sebagainya.

Karena itulah, isu kriminalisasi ulama hanya bentuk penggiringan opini yang sengaja untuk membodohi masyarakat. Tidak ada desain besar negara untuk melakukan kriminalisasi seperti yang dipersepsikan kepentingan politik tertentu. Bahkan Negara memberikan fasilitas dan penghargaan terhadap organisasi ulama yang memang mempunyai peran penting dalam membangun bangsa. Banyak para ulama yang tercatat sebagai pahlawan negeri ini. Banyak organisasi ulama dan keagamaan yang berjasa bagi negeri ini dan tidak tersangkut paut dengan hukum.

Mereka yang sedang tersangkut dengan kasus hukum bisa berstatus terduga, tersangka, dan terpidana apapun label yang melekat dalam dirinya. Penegakan hukum bukan ranah politik yang dilakukan penguasa. Bahkan Presiden pun tidak bisa melakukan intervensi terhadap proses hukum yang berjalan. Inilah alam demokrasi yang mendistribusi kewenangan dan kekuasaan tidak bertumpu pada satu sektor kekuasaan.

Selanjutnya, masyarakat harus dijernihkan bahwa sesungguhnya penghargaan terhadap umat Islam di Indonesia luar biasa. Tidak ada pengekangan keyakinan, ibadah, dan muamalah yang semua sudah difasilitasi negara sejak lama.

Begitu pula, ulama dan tokoh Islam di negeri memiliki peran penting dalam membangun bangsa ini dan terus berbakti buat agama dan negara. Semuanya berjalan dalam kerangka ajaran Islam yang rahmatan lil alamin yang terus berdakwah tanpa berbenturan dengan semangat kebangsaan.

Lalu, ulama mana yang dikriminalisasi atau sebenarnya memang oknum ulama yang berbuat kriminal?

Jika ada isu kriminalisasi ulama berarti itu sebagai bagian cara bagaimana mereka tidak ingin tersentuh hukum dengan apapun tindakan yang dilakukan. Jika ada isu kriminalisasi ulama berarti mereka sedang membangun dan membentuk opini yang membodohi masyarakat untuk tidak percaya terhadap proses hukum dan tidak percaya negara yang dianggap memusuhi umat. Solusinya bagi mereka adalah sistem tatanan baru berdasarkan Syariah.

ISLAM KAFFAH

Berbagai Istilah dalam Madzhab Syafii yang Harus Dipahami

Ada beberapa istilah dalam madzhab Syafii yang mesti dipahami oleh para pelajar madzhab Syafii:

  1. Al-jadiid: pendapat Imam Syafii saat beliau di Mesir (Kitab Al-Umm).
  2. Al-qadiim: pendapat Imam Syafii saat beliau di Irak.
  3. Azhar: jika kuat ikhtilaf dari dua pendapat atau beberapa pendapat dari Imam Syafii.
  4. Masyhur: jika lemah ikhtilaf dari dua pendapat atau beberapa pendapat dari Imam Syafii.
  5. Al-ashoh: jika kuat ikhtilaf.
  6. Ash-shahih: jika lemah ikhtilaf.
  7. Qiila: pandangan (wajhun) yang dhaif (lemah).
  8. Ala al-mu’tamad: yang paling kuat dari beberapa pendapat yang ada.
  9. An-nash: dari perkataan Imam Syafii, inilah pendapat terkuat dari ikhtilaf dalam madzhab. Kebalikannya adalah pendapat yang dhaif yang tidak diamalkan.

Referensi:

Al-Imta’ bi Syarh Matan Abu Syuja’ fi Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Hisyam Al-Kamil Hamid. Penerbit Darul Manar. hlm. 12.

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/30823-berbagai-istilah-dalam-madzhab-syafii-yang-harus-dipahami.html

Masjid Lumpur Umayyah Berumur 1.300 Tahun Ditemukan di Irak

Sebuah masjid berusia sekitar 1.300 tahun ditemukan di Irak. Penemuan ini terjadi dalam sebuah misi penggalian British Museum bekerja sama dengan tim lokal Irak.

Masjid lumpur ini disebut masuk dalam penemuan arkeologi yang langka dan penting di Irak. Masjid tersebut dibangun pada 679 M ketika dinasti Umayyah memerintah dunia Islam.

Dilansir di Al Araby, Ahad (28/11), bangunan ibadah itu ditemukan di daerah Al-Rifai, Provinsi Dhi Qar, di bagian selatan negara itu. Dengan lebar delapan meter dan tinggi lima meter, masjid ini memiliki mihrab kecil, ceruk di dinding masjid yang menunjukkan arah sholat untuk seorang imam. Bangunan ini mampu menampung sekitar 20 jamaah.

Hasil temuan ini hanya mampu mengidentifikasi beberapa sisa-sisa masjid, mengingat bangunannya ditemukan setelah mengalami erosi. “Masjid terletak di tengah kota permukiman. Hal ini dianggap sebagai salah satu penemuan penting karena berasal dari awal munculnya Islam,” kata Direktur Departemen Investigasi dan Penggalian Irak Ali Shalgham, dikutip dari Aljazirah.

Penemuan ini juga dikatakan sangat signifikan mengingat misi penggalian sebelumnya telah berkontribusi menemukan sedikit informasi dalam mengungkap periode awal Islam.

Provinsi Dhi Qar dikenal dengan situs arkeologinya, termasuk kota kuno Ur, yang dikunjungi Paus Fransiskus selama kunjungannya ke Irak awal tahun ini. Dalam sebuah wawancara dengan saluran berita lokal, Kepala Departemen Benda Purbakala Dhi Qar Amar Abdel Razaaq meminta pemerintah berikutnya menjadikan wilayah ini sebagai ibu kota arkeologi Irak.

“Jumlah wisatawan asing dan lokal untuk musim ini meningkat dua kali lipat dan ini merupakan peluang untuk dimanfaatkan,” kata Razaaq. 

https://english.alaraby.co.uk/news/1300-year-old-umayyad-mud-mosque-discovered-iraq

IHRAM