Ini Komentar Netizen Terkait Pernyataan Rasis Rossignol

Pernyataan Menteri Hak-Hak Perempuan Prancis Laurence Rossignol yang menyamakan Muslimah berjilbab dengan tindakan perbudakaan memicu reaksi keras di media sosial dan mengundang petisi untuk memintanya mundur.

Dilansir Aljazirah, berikut sejumlah komentar keras para netizen.

“Apa obsesi Prancis dengan jilbab. Ini cukup sederhana, serahkan semua pada perempuan untuk memutuskan dan berhenti mempolitisasi itu,” ujar akun Twitter @Nomad_LDN.

“Menteri Prancis #LaurenceRossignol: jilbab wanita Muslim seperti “negro mendukung perbudakan”. Malu jika Presiden tak memecatnya,” kata akun Twitter @yasserlouati.

“@RMCinfo @laurossignol Saya mengenakan jilbab dan saya wanita yang bebas, kuat dan intelektual, kamu, terlalu dengan ketidaktahuanmu,” ujar akun Twitter @MtiriHajer.

“Saya tak punya cukup kata-kata untuk mengekspresikan rasa jijik dan kemarahan saya pada hal-hal bodoh, rasis, tak benar dan fanatik yang Laurence Rossignol katakan,” kata akun Nocole C.

“Sudah beberapa jam seorang menteri Prancis menggunakan kata N dalam siaran langsungnya di radio dan televisi. Masih belum ada pernyataan dari @fhollande dan @manuelvalls,” kata Aida Alami.

Sebuah petisi diluncurkan menyerukan menteri itu untuk mengundurkan diri pascakomenter rasisnya. Hanya beberapa jam setelah diluncurkan, petisi telah mengumpulkan lebih dari 10 ribu tanda tangan.

 

sumber:Republika Online

Samakan Penggunaan Jilbab dengan Perbudakan, Menteri Prancis Diminta Mundur

Pernyataan Menteri Hak-Hak Perempuan Prancis Laurence Rossignol yang menyamakan Muslimah berjilbab dengan tindakan perbudakaan, memicu reaksi keras di media sosial dan mengundang petisi untuk memintanya mundur. Dilansir Aljazirah, berikut sejumlah komentar keras para netizen:

“Apa obsesi Prancis dengan jilbab. Ini cukup sederhana, serahkan semua pada perempuan untuk memutuskan dan berhenti mempolitisasi itu,” ujar akun Twitter @Nomad_LDN.

“Menteri Prancis #LaurenceRossignol: jilbab wanita Muslim seperti “negro mendukung perbudakan”. Malu jika Presiden tak memecatnya,” kata akun Twitter @yasserlouati.

“@RMCinfo @laurossignol Saya mengenakan jilbab dan saya wanita yang bebas, kuat dan intelektual, kamu, terlalu dengan ketidaktahuanmu,” ujar akun Twitter MtiriHajer.

“Saya tak punya cukup kata-kata untuk mengekspresikan rasa jijik dan kemarahan saya pada hal-hal bodoh, rasis, tak benar dan fanatik yang Laurence Rossignol katakan,” kata akun Nocole C.

“Sudah beberapa jam seorang menteri Prancis menggunakan kata N dalam siaran langsungnya di radio dan televisi. Masih belum ada pernyataan dari @fhollande dan @manuelvalls,” kata Aida Alami.

Sebuah petisi diluncurkan menyerukan menteri itu untuk mengundurkan diri pascakomenter rasisnya. Hanya beberapa jam setelah diluncurkan, petisi telah mengumpulkan lebih dari 10 ribu tanda tangan.

 

sumber: Republika Online

Bolehkah Orangtua Mandi Bersama Anak?

Bagaimana hukumnya orangtua mandi bersama anak yang usianya masih kecil? Misalnya, anak usia balita atau belum sekolah?

Mari kenali batasan aurat di hadapan anak

Dalam Islam, ada batasan-batasan aurat seorang wanita yang boleh dan tidak boleh dinampakkan. Batasan aurat wanita di depan mahramnya, sesama wanita, dan anak kecil yang belum mengerti aurat wanita adalah sebatas tempat-tempat perhiasannya, yaitu kaki sampai bawah betis (tempat perhiasan gelang kaki), tangan sampai lengan (tempat perhiasan cincin dan gelang lengan) dan kepala sampai leher (tempat perhiasan anting dan kalung). Hal ini dipahami dari firman Allah ta’ala,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita mereka, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31).

Sedangkan batasan aurat laki-laki adalah antara pusar hingga lutut, jadi pusar dan lutut bukanlah termasuk aurat. Ini merupakan pendapat jumhur ulama’. Jadi paha seorang laki-laki baligh adalah aurat, sehingga sebaiknya seorang laki-laki (ayah) juga jangan menampakkan pahanya dengan menggunakan celana yang di atas lututnya sehingga pahanya terlihat.

Berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُضْطَجِعًا فِى بَيْتِى كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ أَوْ سَاقَيْهِ فَاسْتَأْذَنَ أَبُو بَكْرٍ فَأَذِنَ لَهُ …
(‘Aisyah berkata), “Pada suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berbaring di rumah saya dengan membiarkan kedua pahanya atau kedua betisnya terbuka. Tak lama kemudian, Abu Bakar minta izin kepada Rasulullah untuk masuk ke dalam rumah beliau ….”

Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan, salah seorang ulama besar mengatakan dalam karyanya Al-Muntaqa,“Seorang wanita tidak diperbolehkan mengenakan pakaian mini di depan anak-anaknya dan mahramnya, dan tidak diperbolehkan memperlihatkan auratnya di depan mereka kecuali bagian anggota tubuh yang biasa terbuka yang tidak dapat menimbulkan fitnah. Pakaian mini bagi seorang wanita hanya boleh dipakai di depan suaminya saja.”

Tidak boleh menyingkap/membuka aurat di hadapan anak-anak yang sudah mumayyiz (sudah dapat membedakan sesuatu yang baik dan buruk). Sebab, Allah Ta’ala telah memerintahkan kaum mukminin untuk memerintahkan mereka yang belum baligh di dalam keluarga agar izin terlebih dahulu sebelum masuk kamar (orang tua) dalam tiga waktu, sebagaimana firman Allah yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kalian miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kalian, meminta izin kepada kalian tiga kali (dalam satu hari), yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah shalat Isya’. (Itulah) tiga ‘aurat bagi kalian. Tidak ada dosa atas kalian dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kalian, sebahagian kalian (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kalian. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nur: 58)

Inilah tiga waktu yang Allah perintahkan agar kita memerintahkan anak-anak kecil untuk izin terlebih dahulu padanya. Dan itu merupakan waktu-waktu seorang berpakaian seadanya.

Ibnu Asyur rahimahullah berkata dalam tafsirnya “At-Tahrir wat Tanwir “, “Ini merupakan waktu-waktu anggota keluarga menanggalkan pakaian mereka (yaitu berpakaian seadanya), maka buruk sekali jika anak-anak melihat aurat mereka. Pemandangan tersebut akan terus terekam di benak sang anak. Sebab, hal itu bukan perkara biasa yang ia lihat. Karenanya, wajib anak-anak dididik untuk menutup aurat agar menjadi akhlak dan kebiasaan mereka jika sudah besar.”

Bagaimana dengan pendidikan seks untuk anak?

Pendapat saya pribadi, saya lebih sepakat untuk tidak menjadikan acara “mandi bersama” sebagai cara untuk mengajarkan perbedaan organ-organ antara laki-laki dan perempuan pada anak-anak. Masih ada cara lain yang lebih baik dan lebih tepat untuk mereka. Beberapa di antaranya adalah :

  • Melalui buku / ensiklopedia. Umumnya, buku-buku pengetahuan tentang pengenalan anggota badan telah disensor atau diedit sedemikian rupa sehingga menjadi lebih edukatif untuk anak-anak. Dan lebih mudah untuk menjelaskan masing-masing anggota badan pada anak.
  • Melatih anak untuk bisa membersihkan diri sendiri setelah mereka mampu. Misalnya, usia 4 tahun sudah bisa diajari untuk bisa cebok setelah BAK. Dan usia 5 tahun bisa diajari cebok sendiri setelah BAB.
  • Mengajari anak bahwa selain orangtua dan pengasuh, mereka tidak boleh membuka atau memperlihatkan alat kelamin mereka pada orang lain. Ajari juga mereka bahwa orang lain tidak boleh menyentuh mereka pada tempat-tempat tersebut.
  • Mengajari perbedaan alat kelamin tersebut dari melihat adik bayi yang sedang dimandikan. Namun tetap dijelaskan bahwa setelah besar, mereka harus menutupnya. Tidak boleh memperlihatkannya pada teman atau orang lain. Ajari juga untuk selalu memakai pakaian di kamar, bukan sambil berlarian di luar rumah. Sebaiknya larang juga mereka untuk melihat saat teman mereka BAK, atau sebaliknya.

 

Wallahu a’lam bis shawab

 

 

 

Diambil dari Fiqih Wanita

Sumber :

  • http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/manakah-aurat-lelaki.html
  • http://islamqa.info/id/102187
  • http://nasihatonline.wordpress.com/2013/03/01/batasan-usia-anak-kecil-melihat-aurat-besar-orang-tuanya/

Mengambil Harta Suami Tanpa Izin, Bolehkah?

Apakah boleh seorang istri mengambil harta suaminya tanpa ijin? Bagaimana bila suaminya adalah seorang yang pelit dalam memberikan nafkah? Bolehkah mengambil darinya harta untuk keperluan hidup sehari-hari dan kebutuhan anak-anak tanpa ijinnya? Apakah ini sama dengan mencuri? 

Nah, terkait dengan mengambil harta suami tanpa ijin, berikut ini ada beberapa fatwa ulama mengenainya :

س‏ :‏ أنا زوجة  وزوجي يرفض الإنفاق علي أو إعطائي مالا لأنفقه على أولادي، وعندما ينتهي ما معي من مال آخذ من ماله بدون علمه لحاجتي إليه وحاجة أولادي، فهل علي إثم‏؟

Pertanyaan : Saya adalah seorang istri, dan suami saya tidak memberikan nafkah pada saya dan anak-anak saya. Terkadang kami mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya, untuk kebutuhan saya dan anak-anak saya. Apakah saya berdosa karenanya?

ج  ‏:‏  إذا كان الواقع كما ذكرت من أنك تأخذين لحاجتك وحاجة أولادك جاز لك أن تأخذي بالمعروف ما يكفي لحاجتك وحاجة أولادك‏,‏ لما ثبت أن زوجة أبي سفيان قالت‏:‏ صحيح البخاري النفقات ‏(‏5049‏)‏، صحيح مسلم الأقضية ‏(‏1714‏)‏، سنن النسائي آداب القضاة ‏(‏5420‏)‏، سنن أبو داود البيوع ‏(‏3532‏)‏، سنن ابن ماجه التجارات ‏(‏2293‏)‏، مسند أحمد بن حنبل ‏(‏6/206‏)‏، سنن الدارمي النكاح ‏(‏2259‏)‏‏.‏ يا رسول الله‏:‏ إن أبا سفيان رجل شحيح، وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لا يعلم، فقال صلى الله عليه وسلم‏:‏ خذي ما يكفيك ويكفي ولدك بالمعروف‏.‏ وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم‏.‏

اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

 Jawaban : 

Jika situasinya adalah seperti yang Anda sebutkan tadi, yaitu Anda mengambil untuk kebutuhan Anda dan anak-anak Anda, maka boleh bagi Anda untuk mengambilnya (tanpa sepengetahuan suami Anda) sebanyak yang Anda butuhkan dan anak-anak Anda butuhkan dengan cara yang baik (yaitu tidak berlebihan, secukupnya saja – pent). Sebagaimana ada riwayat¹  (dari ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha) bahwa istri Abu Sufyan yakni Hindun binti ‘Utbah mengadu kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia tidak memberiku (nafkah) yang mencukupiku dan anak-anakku, kecuali apa yang kuambil darinya tanpa sepengetahuannya,”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda : “ambillah dari hartanya dengan cara yang baik sebanyak yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu,”.

Hanya Allah-lah Pemberi petunjuk.²

Jadi dari jawaban di atas, diperbolehkan bagi seorang istri untuk mengambil harta suaminya tanpa ijin bila suaminya pelit dan tidak memberikan nafkah secara cukup, padahal suaminya mampu. Hal ini tidak sama dengan mencuri, dan tidak berdosa karenanya, karena apa yang diambil adalah hak istri dan anak-anaknya. Dengan catatan, mengambilnya pun harus sesuai dengan kadar kebutuhan, tidak berlebih-lebihan, tidak untuk berfoya-foya. Dan alangkah lebih baiknya bila hal semacam ini dikomunikasikan terlebih dahulu dengan baik antara suami-istri. Yaitu, istri sebaiknya mengingatkan suaminya untuk tidak lalai, tidak pelit dalam memberikan hak istri dan anak-anaknya. Dengan demikian ada amar ma’ruf nahi munkar di antara keduanya. Namun bila sudah diingatkan, suami tetap melalaikan hak istri dan anak-anaknya, maka diperbolehkan mengambil hartanya tanpa ijin. Wallahu a’lam.

 

 

Keterangan :

1. صحيح البخاري النفقات ‏(‏5049‏)‏، صحيح مسلم الأقضية ‏(‏1714‏)‏، سنن النسائي آداب القضاة ‏(‏5420‏)‏، سنن أبو داود البيوع ‏(‏3532‏)‏، سنن ابن ماجه التجارات ‏(‏2293‏)‏، مسند أحمد بن حنبل ‏(‏6/206‏)‏، سنن الدارمي النكاح ‏(‏2259‏)‏‏

2. Lajnah Daimah lil buhuts al-ilmiyyah wal ifta’, yang diketuai oleh Syaikh Ibnu Baaz, Fatwa No 17612

 

 

Diambil dari Fiqih Wanita

Sumber :

Membaca Al Quran Saat Haid

Pertanyaan :

Bolehkah seorang wanita yang sedang haid atau nifas membaca Al-Qur’an dengan melihat mushaf serta menyentuh mushaf? Terutama jika ada hajat atau kebutuhan seperti wanita ini adalah seorang pelajar yang menghafal Al-Qur’an (ia takut hafalannya lupa) atau seorang guru yang mengajarkan Al-Qur’an?

Ada beberapa pendapat ulama yang masyhur tentang masalah membaca Al-Qur’an dan menyentuh mushaf bagi wanita yang sedang haid dan nifas.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin berpendapat bahwa boleh bagi seorang wanita yang sedang haid dan nifas membaca Al-Qur’an karena suatu hajat atau kebutuhan seperti wanita yang menghafal Al-Qur’an atau wanita yang mengajarkan Al-Qur’an.

Akan tetapi, beliau berpendapat apabila membacanya untuk mendapatkan pahala, maka afdhalnya atau yang lebih utama adalah meninggalkannya. Karena sebagian ulama berpendapat bahwa wanita yang sedang haid tidak boleh membaca Al-Qur’an.

Sedangkan dalam madzhab Abu Hanifah dan dari riwayat yang masyhur dari madzhab Syafi’i dan Ahmad (lihat kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21/459), dikatakan bahwa tidak mengapa wanita yang haid membaca Al-qur’an.

Pendapat ini juga diperkuat oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla (1/77-78), beliau mengatakan bahwa wanita haid dan nifas boleh membaca Alqur’an, bersujud, menyentuh mushaf, dan berdzikir kepada Allah.

 

Wallahu A’lam

 

 

Diambil dari Fiqih Wanita

Sumber :

  • Fiqhus Sunnah Lin-Nisaa’ karya Kamal bin As-Sayyid Salim
  • ٥٢ سؤالاًَ عن أحكام الحيض في الصلاة والصيام والحج والاعتمار

 

Menuliskan Basmalah dalam Kartu Undangan

Pertanyaan:

Apa hukumnya menuliskan basmalah pada kartu undangan, semisal undangan pernikahan? Lalu bagaimana hukumnya jika membuang kartu undangan bertuliskan basmalah itu ke tempat sampah atau tempat kotor lainnya? Mengingat biasanya jika sudah tidak terpakai, kartu undangan tersebut dibuang begitu saja. Terimakasih.

Jawaban:

Sudah menjadi hal yang lumrah dalam budaya kita, manakala kita membuat atau mendapatkan undangan dari seorang Muslim, dan dalam undangan tersebut dimulakan dengan ucapan tasmiyah (yakni : “bismillah” – pen). Belakangan, muncul pertanyaan sebagaimana yang sudah disebutkan di atas. Bukankah biasanya undangan yang sudah tidak terpakai itu dibuang ke tempat sampah? Lalu bagaimana dengan kalimat “bismillah” yang tertuliskan dalam dalam kartu tersebut?

Pertama, patut kita ketahui bahwa sesungguhnya menuliskan ucapan tasmiyah atau basmalah atau kalimat “bismillah” dalam permulaan surat ataupun undangan itu memiliki dalil syar’i. Jadi, hal ini bukan lagi merupakan lumrahnya saja, melainkan disyariatkan oleh agama.

Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كُل أَمرذِي بَال لَايُبدَأُ فيهِ بسمِ اللهِ فَهُوَ أَبتَرُ

“Setiap segala urusan penting yang tidak dimulai dengan basmalah maka akan terputus.”

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mencontohkan kita, bagaimana beliau memulai surat-surat beliau dengan menyebutkan nama Allah. Jadi, tidak mengapa, jika seseorang membuat surat undangan dan menuliskan kalimat basmalah untuk memulainya.

Sedangkan bagi yang menerima undangan tersebut, hendaknya ia tidak membuang undangan tersebut di tempat sampah atau tempat hina lainnya. Jika sudah tidak terpakai, kita bisa membakarnya atau dipendam di tempat yang baik. Sebagaimana dahulu Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu membakar mushaf-mushaf yang sudah tidak terpakai.

Wallahu a’lam. 

 

 

Diambil dari Fiqih Wanita

Sumber: Al-Fatawa Kitab Dakwah 2/213 oleh Syaikh bin Baz & http://asysyariah.com/kertas-bertuliskan-ayat-al-quran/

Gambar : http://site4funs.com/desktop-wallpapers/lataest-wallpaper-of-bismillah-1702/

Berbaik Sangka kepada Allah

Al-Harits Al-Muhasibi berkata, “Wahai diri, berdoalah, dan merasa malu kepada-Nya, karena engkau terlalu lama tidak memiliki rasa malu kepada-Nya.”

Wahai Tuhanku, siapa lagi yang mendengarkan betapa besar kelemahanku, dan siapa lagi yang telah melihat begitu buruknya derajatku. Maka, hanya kepadaMu-lah aku mengadu, dan hanya kepadaMu aku meminta pertolongan, meski yakin bahwa aku tak pantas untuk Engkau beri pertolongan dan Engkau lepaskan dari kepedihanku. Akan tetapi, Engkaulah yang patut memberikan kelapangan kepadaku, dan mengasihi kelemahanku (maskanati), karena pengetahuanku bahwa tidak ada yang memiliki hak memberikan pertolongan kepadaku selain Engkau, yang amat mendorong keputusasaanku untuk mendapatkan jalan keluar, kecuali dari sisiMu.

Harapanku kepadaMu, agar Engkau mengabulkan doaku dan mengentaskanku dari keterpurukanku. Sehingga, harapanku tidak sia-sia… Dan segerakanlah mewujudkan harapanku, karena keberanianku untuk mengajukan permintaan, tidak lain (karena) apa yang telah Engkau karuniakan kepadaku dengan marifat tentang keberadaanMu yang Agung, rahmatMu yang luas dan rasa ibaMu terhadap orang-orang yang lemah sebelum aku; juga pengetahuan akan orang-orang yang telah Engkau ubah derajatnya, dari beban berat dosa, banyaknya kesalahan-kesalahan, dan perbuatan-perbuatannya yang buruk.

Selamatkanlah aku, wahai Yang Maha menyelamatkan, dan kasihilah aku, wahai Yang Maha Pengasih. Karena aku, pada hari ini, berada dalam kemakmuran pada kehidupan duniaku ini, bersaman dengan buruknya kelakuanku pada segi keagamaanku.

Padahal telah dekat kepadaku sirnanya kehidupan; keterpurukanku dalam kepedihan yang susul menyusul, bencana yang bertubi-tubi dan kesedihan-kesedihan yang berlipat-lipat, berupa tibanya sang maut dan kesusahannya, dengan kecemasan yang genting (khathr) apakah yang kelak menimpa padaku adalah maaf dan pengampunan dosa (ghufran) dariMu, atau justru kemurkaan (sukhth) atas perbuatan-perbuatan maksiat (ishyan) yang telah kulakukan.

Kemudian persinggahan dalam kubur, dengan himpitan tanah, pertanyaan dari dua malaikat dan masa tinggal yang cukup lama di alam Barzakh. Kemudian dikumpulkan, dan semuanya disingkap.

Jika aku menjumpai-Mu, sementara keadaanku masih tetap seperti ini, maka betapa panjang kesedihanku di dalam kubur, dan betapa mengerikannya hari kebangkitan yang akan kujalani. Kemudian, perasaan yang selalu mencemaskan kalbuku ialah tatkala Engkau tidak segera menyelamatkanku di dunia. Sehingga menggantikan apa saja yang membuatMu marah dengan apa saja yang membuatMu ridha kepadaku.

Jika penyelamatan dari sisi-Mu atas kecemasan itu tidak aku dapatkan, kebinasaan demi Allah pasti tidak akan pernah putus sampai waktu perjumpaan denganMu, serta kehinaan di Hari Kebangkitan (an-Nasyr).

Betapa terasingnya diriku pada Hari Kiamat, betapa panjang penyesalan dan keputusasaanku, betapa lamanya tangisanku di Hari Kiamat, dan di dalam neraka ditawan terhalang dari indahnya berada di sisiMu dan penglihatan (an-nazhr) akan kemuliaan-Mu.

Aku begitu berharap meskipun Engkau menangguhkan pertolonganMu kepadaku agar Engkau tidak meninggalkanku karena buruknya kondisi spiritual (hal)-ku, hingga Engkau berbelas menyegerakan jalan keluar dan perubahan kondisiku. Maka, aku memohon kepadaMu, demi WajahMu yang Maha Mulia, KeperkasaanMu atas segala sesuatu, demi IradahMu yang mesti terlaksana dalam semua Yang Engkau kehendaki, demi sifatMu Yang Awwal yang tidak bermula, dan sifat baqa-Mu yang tak pernah berakhir, agar Engkau membuka tirai yang menyelimutiku dan tidak menyiksaku betapapun besar dosaku, betapapun banyak maksiat yang kulakukan, dan sedikitnya rasa malu yang ada padaku. [ ]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2280835/berbaik-sangka-kepada-allah#sthash.vKf0HBFQ.dpuf

Hindari Dramatisasi yang Mempersulit Diri

PERMASALAHAN yang terjadi dalam hidup kita adalah hasil dari dramatisasi yang kita lakukan sendiri. Kita lebih banyak merasakan penderitaan sebagai akibat dari buatan kita sendiri, kekhawatiran kita sendiri, kepanikan kita sendiri.

Ternyata kesemua itulah yang membuat kita menjadi merasa tertekan dan terbebani. Padahal, jika kita sikapi dengan kepala dingin, pikiran jernih dan hati yang lapang, kita tidak akan merasa kerepotan menghadapi segala kenyataan yang terjadi pada hidup kita.

Sebagai contoh misalnya, seseorang yang merasakan sakit pinggang. Kemudian, dia memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter. Sebelum berangkat, ia bercerita pada temannya tentang apa yang sedang dirasakannya itu. Ia sampaikan segala kekhawatiran jika seandainya yang ia derita adalah penyakit ginjal, maka ia akan menghadapi risiko pengobatan dan perawatan yang tidak sederhana dan mahal. Bahkan, ia pun menceritakan kegelisahannya seandainya ternyata ia harus mengalami gagal ginjal dan menjalani cuci darah, dan seterusnya, dan sebagainya.

Semakin orang ini menceritakan ketakutan dan kekhawatirannya, maka semakin terbebanilah ia, semakin streslah ia. Beban yang datang disebabkan ketakutan-ketakutan yang ia hadirkan sendiri dari perkiraan atau dugaannya sendiri. Padahal ia sama sekali belum menjalani pemeriksaan kesehatan oleh dokter. Hal seperti inilah yang banyak terjadi pada diri manusia, yang kemudian menimbulkan penderitaan jiwa di dalam diri mereka sendiri.

Maka, kendalikanlah diri sebisa mungkin agar terhindar dari sikap mendramatisir masalah yang sedang terjadi. Janganlah larut di dalam jebakan-jebakan sikap yang mempersulit diri sendiri. Karena sikap-sikap seperti itulah yang akan semakin memperbesar kesulitan dan penderitaan di dalam diri.

Allah Swt. di dalam Al Quran,“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengankadar kesanggupannya..”(QS. Al Baqarah [2] : 286).

Maha Suci Allah Swt dari perbuatan dzalim terhadap hamba-hamba-Nya. Tidak ada ketetapan-Nya yang di luar batas kesanggupan hamba-hamba-Nya. Kesemuanya sudah terukur. Tidak ada yang berat dan tidak ada yang tidak bisa dihadapi. Adapun yang berat adalah karena kita kurang ilmu dan kurang iman dalam menghadapi kenyataan yang terjadi pada diri kita, sehingga kita keliru dalam menyikapi apa yang Allah Swt tetapkan kepada diri kita.

Jadi saudaraku, hidup ini bagaikan siang dan malam. Kita siap menghadapi siang karena kita tahu persis apa yang akan kita lakukan pada siang hari. Kita pun tidak panik saat malam menjelang karena kita tahu apa yang akan kita lakukan di waktu malam.

Bahkan, tidak jarang kita sangat mendambakan malam segera datang karena kita tahu akan ada manfaat yang akan kita peroleh di waktu malam. Demikian juga, tidak jarang kita menanti-nanti datangnya waktu siang karena tahu bahwa ada hal menyenangkan yang akan didapat di waktu siang.

Memang benar, tidak jarang babak kehidupan yang menimpa kita terasa berat dan getir. Tapi itu sama sekali bukan alasan bagi kita untuk mendramatisir keadaan kemudian merasa beralasan untuk tenggelam dalam kesedihan, seolah kemalangan adalah nasibnya. [*]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2273465/hindari-dramatisasi-yang-mempersulit-diri#sthash.aynnBvPq.dpuf

Menjaga Salat Melancarkan Rezeki

Orang yang meninggalkan salat telah melakukan dosa yang sangat besar.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya pembeda antara seseorang dengan kesyirikan atau kekafiran adalah meninggalkan salat.”

Orang yang meninggalkan salat bukanlah orang yang bertakwa kepada Allah. Allah subhaanahu wa taaala menyebutkan kaitan yang erat antara salat dan rezeki seseorang di dalam ayat berikut, Allah subhaanahu wa taaala berfirman:

“(131) Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal. (132) Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami-lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS Thaha: 131-132).

Ayat tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa orang yang mengerjakan salat kemudian memiliki kesabaran yang kuat ketika mengerjakannya, maka dia akan diberikan rezeki oleh Allah tanpa bersusah payah mencarinya. Dan ini adalah ganjaran bagi orang yang bertakwa kepada Allah subhanahu wa taala.

Di dalam kisah Nabi Syuaib alaihissalaam, Allah subhaanahu wa taaala menyebutkan, perkataan Nabi Syuaib setelah kaumnya memahami bahwa salatlah yang menahan diri beliau untuk melakukan perbuatan mungkar:

Syuaib berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika Aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya Aku dari pada-Nya rezki yang baik (patutkah Aku menyalahi perintah-Nya)?” (QS Huud: 88).

Nabi Syuaib alaihissalam menjelaskan kepada mereka bahwa dengan salat dan penjelasan yang nyata dari Rabb-nya, maka Allah memberikan kepadanya rezeki yang baik dan halal. Berbeda dengan apa yang mereka lakukan. Mereka sibuk mencari harta-harta haram.

Akan tetapi, sebagian orang tidak mempercayai adanya kaitan yang erat antara salat dengan rezeki seseorang. Ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh kaum Nabi Syuaib alaihissalaam:

“Wahai Syuaib! Kami tidak paham banyak hal dari apa yang kamu katakan.” (QS Huud: 91).

Hal ini dikarenakan terikatnya hati-hati mereka dengan dunia lebih besar daripada keterikatan mereka dengan salat.

Bertaubat dari meninggalkan salat

Orang-orang yang belum bisa mengerjakan salat lima waktu sudah sepantasnya bertaubat kepada Allah dengan segera. Sesungguhnya Allah subhaanahu wa taaala Maha Mengampuni hamba-hambanya yang bertaubat kepada-Nya.

Di antara hal-hal yang dapat meleburkan dosa adalah mengerjakan salat lima waktu. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu bahwasanya dia mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Bagaimana menurut kalian jika di depan pintu seorang di antara kalian terdapat sungai yang setiap hari dia mandi di dalamnya. Apakah akan tersisa kotoran di tubuhnya?” Para sahabat menjawab, “Tidak tersisa kotoran sedikit pun di tubuhnya.” Beliau berkata, “Seperti itulah salat lima waktu, Allah bisa menghapuskan dosa-dosa dengannya.”

Allah subhaanahu wa taaala menjanjikan rezeki yang berlimpah untuk orang-orang yang mau bertaubat kepada Allah subhanahu wa taala. Allah subhaanahu wa taaala berfirman:

“(10) Maka aku katakan kepada mereka: Mohonlah ampun kepada Tuhanmu! Sesungguhnya dia adalah Maha Pengampun, (11). Niscaya dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, (12) Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS Nuuh: 10-12). []

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2283975/menjaga-salat-melancarkan-rezeki#sthash.p2CVlLzz.dpuf

Rezeki Tertahan karena Maksiat

Dosa yang dilakukan seseorang dapat berpengaruh terhadap rezeki yang Allah berikan kepadanya. Allah menahan rezeki orang-orang yang berbuat maksiat.

Allah subhaanahu wa taaala berfirman: “Jikalau penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi.” (QS Al-Araf : 96)

“Dan sekiranya ahli kitab beriman dan bertakwa, tentulah kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah kami masukkan mereka kedalam surga-surga yang penuh kenikmatan. Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al-Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhan-nya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka.” (QS Al-Ma-idah: 65-66)

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS Ath-Thalaq: 2-3)

Ayat-ayat di atas menunjukkan kaitan yang besar antara rezeki seseorang dengan ketakwaannya kepada Allah subhanahu wa taala. Orang yang berbuat maksiat kepada Allah bukanlah orang yang bertakwa kepada-Nya. []

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2283974/rezeki-tertahan-karena-maksiat#sthash.nkh65yhH.dpuf