Doa tidak Ada yang Disia-siakan

DOA adalah ibadah yang bisa mengantarkan kita kepada kedekatan dengan Allah SWT. Ketika doa diijabah, semestinya membuat kita sadar itu merupakan karunia Allah. Jika belum diijabah, maka doa menjadi perisai dari berputus asa.

Maka yang terpenting dari sebuah doa bukan doa itu sendiri, tapi suasana hati kita yang benar-benar memurnikan tauhid, dan kita menyadari betapa lemahnya kita, tanpa pertolongan-Nya mustahil kita mampu menjalani hidup ini. Seorang yang berdoa dengan baik adalah ia yang berhasil menemukan posisi yang paling tepat bagi seorang hamba, sebagaimana hal-hal berikut:

Merasa lemah tiada daya dan upaya, hanya Allah tempat satu-satunya memohon Yang Maha Perkasa, yang akan mengijabah hajatnya, tiada yang lain.

Merasa diri miskin tidak mempunyai apa pun, termasuk tidak memiliki diri ini. Sedangkan Allah SWT pemilik semua kekayaan.

Merasa sangat membutuhkan Allah, tidak ada lagi yang bisa menolong selain Allah. Tidak pernah hati ini bercabang mengharap-harap kepada selain Allah SWT. Saat berdoa hati kita merasa tidak tahu, bodoh, tidak mengerti dan hanya Allah satu-satunya yang Maha Tahu jalan keluar, ilmu, rezeki, dan pertolongan orang lain tidak ada yang bisa menjadi jalan, tanpa izin-Nya. Selanjutnya, mestinya hal itu bukan hanya pada waktu berdoa saja, melainkan menjadi bagian dari sikap hidup kesehariannya.

Ada orang yang merasa berkedudukan di sisi Allah. Seakan-akan ia sudah saleh, suci dan mulia, gara-gara dia memakai penampilan agamis. Maka akan menjadi hijab/penghalang bagi dirinya kepada Allah. Semestinya diri ini merasa kotor dan hina.

“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”. QS An-Najm:32

Masalah doa bukan hanya masalah redaksi doanya. Karena ada yang membaca sekali diijabah dan yang membaca ribuan kali tidak saja diijabah. Mengapa hal demikian terjadi, tentu di antaranya hatinya masih belum bulat, ia masih bersandar pada selain Allah SWT.

Memang doa itu bisa mengubah dari takdir satu ke takdir yang lain. Allah-lah yang memiliki takdir. Namun ada catatan pula di Lauhul Mahfudz, bahwa bila dia berdoa dengan sepenuh keyakinan, maka aka nada catatan takdirnya, demikian pun bila lalai dalam doanya, akan nada catatan takdir lainnya. Tidak ada yang luput dan baru, karena ada di Lauhul Mahfudz jauh sejak kita dilahirkan ke dunia. Tetap ada rangkaian takdirnya dengan detail di lauhul mahfudz. Namun tugas kita adalah berusaha.

Dengan demikian, yang terpenting bagi kita bukan terkabulnya doa, tapi dengan doa itu kita benar-benar menjadi hamba Allah. Perintah Allah adalah untuk menjadi mengabdi, bersih tauhid. berjiwa bulat hanya kepada Allah. Perkara dikasih, itu bonus, agar makin tambah keimanan kita. Perkara ijabah Allah Maha Kuasa. “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada diri-Ku.” (Hadis Qudsi). Maka berbaik sangka kepada Allah dengan kepatuhan, itu syaratnya.

Jangan ragukan dengan ijabahnya dari Allah atas doa-doa kita. Hal itu sudah janji Allah. Pasti diijabah, walau waktu, cara, bentuknya bisa tidak sesuai dengan yang dimohonkan.

Doa tidak ada yang disia-siakan. Dari sebuah hadis disebutkan Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya doa dan musibah itu berada diantara langit dan bumi saling bertempur dan doa itu dapat mengalahkan musibah sebelum musibah itu turun.” (diriwayatkan Imam Atthabrani dalam kitab al-Ausath (2498).

Mana yang dapat mengalahkan, apa doa yang menang sehingga bisa menghindarkan musibah. Dengan memeriksa dosa-dosa diri dan menguatkan ibadah, maka itu menjadikan energi doa semakin besar. Yang paling penting juga dari unsur ibadah doa ini adalah melahirkan ketulusan dan silaturahmi.

Bagaimana keikhlasan itu? Allah Yang Maha Menyaksikan mengetahui persis keadaan setiap hambanya, dari mulai latar belakang keluarga, ilmu, lingkungan, lahirnya, karena Allah Yang menentukan. Allah Mengetahui persis.

Sementara, di antara manusia, ada yang diketahuinya hanya persoalan-persoalan duniawi belaka. Tatkala membutuhkan keperluan duniawinya, tetap ia memintanya hanya kepada Allah walaupun hanya untuk urusan dunia. Ia pun berhasil menaikan keimanannya dengan berlanjut kepada keyakinan bahwa ia tidak ragu terhadap jaminan Allah. Ia sudah naik lagi setahap menjadi orientasinya mengejar pahala Allah. Karena itu, ia menyukai segala hal yang terkait dengan pahala. Selanjutnya, ia pun semakin menyadari bahwa ia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah dengan mencari rida-Nya.

Inti dari doa adalah benar-benar bisa menjadikan diri kita jadi hamba sejati, agar ngepas, kita sebagai hamba, Allah sebagai Tuhan. Doa itu ruhul ibadah. Bila seseorang rajin berdoa hatinya menjadi kerut, terasa hamba yang tidak punya apa-apa, bodoh; memohon kepada Allah Yang Maha Kuasa, satu-satunya yang bisa menolong, dan makin bulat makin lumpuh kepada Allah SWT, itulah saat-saat terbaik berdoa kepada Allah. Sebaliknya, jika hati tidak merasa makin mengkerut, la haula quwwata illa billah, maka tidak akan diperoleh tujuan dari ibadah doa itu sendiri. []

Alicia Brown Temukan Hidayah di Rumah Sakit

“Aku bagai lahir kembali, bebas dari segala sesuatu. Segala dosa yang menjerat dan semua hal yang telah terjadi di dalam hidupku, tak penting lagi,” ucap Alicia, tepat sehari setelah ia memeluk Islam.

Berjilbab rapi, wajahnya cerah bak mentari terbit. Senyumnya pun mengembang laksana bunga mekar di pagi hari. Melihat binar wajahnya, tak akan ada yang menyangka bahwa ia memiliki sederet catatan hitam dalam hidupnya.

Alicia Brown, wanita asal Texas, AS, tersebut menemukan cahaya hidayah setelah bertahun-tahun kekacauan melanda hidupnya. Ia terjerumus dalam kubangan dosa. Alkohol, narkoba, hingga seks bebas menjadi teman hidupnya. Mengapa ia lakukan semua itu? Alicia memang ingin merusak hidup yang sangat ia benci. Ia sangat membenci dirinya, membenci segala sesuatu di sekitarnya.

Dunia gelap membelenggu Alicia setelah musibah melanda keluarganya. Orang tuan Alicia bercerai. Saat itu, usianya baru 10 tahun. Terpaksa, Alicia tinggal dengan ayah yang sangat membencinya dan sangat ia benci. Caci-maki menjadi kalimat rutin yang ia dengar dari sang ayah setiap hari selama enam tahun.

“Ayah sangat kejam kepadaku dan adik laki-lakiku. Dia tak terlalu kejam pada adik perempuanku, tapi dia benar-benar kejam padaku, sangat kejam. Mungkin karena aku mengingatkannya pada ibuku,” tutur Alicia.

Di usia 16 tahun, Alicia pindah ke rumah kakek neneknya. Namun terlambat, karena didikan kejam sang ayah, saat itu Alicia telah benar-benar diselimuti kebencian. Ia pun mulai merusak hidupnya dengan kesenangan semu. Ia memulai gaya hidup merusak diri.

“Aku membenci diriku dan semua yang ada di sekitarku.  Aku ingin melakukan apapun yang bisa untuk menyakiti diri sendiri. Aku coba narkoba, alkoho, dan seks bebas.”

Setahun dengan gaya hidup itu, Alicia tak merasa batinnya terpuaskan. Ketika usianya 17 tahun, ia tinggal dengan sang ibu. Alicia sempat berpikir, tinggal dengan ibu mungkin bisa membuatnya berbenah diri. Tapi rupanya, Alicia telah terjatuh sangat dalam pada jerat dunia hitam. Ia tak bisa lepas bahkan terus memburuk dari hari ke hari.

Di sekolah menengah atas, ia bertemu dengan seorang pria. Ia lalu tinggal bersama pria itu selama bertahun-tahun tanpa ikatan pernikahan. Lagi-lagi Alicia berharap itu menjadi kehidupan baru yang membentangkannya kesempatan untuk berubah. Celakanya, pasangan Alicia pun memiliki kebiasaan sama. Ia peminum dan pecandu.

Masalah pun kian rumit ketika Alicia hamil. “Awalnya, itu tak terlalu masalah. Setidaknya, kami memiliki seseorang untuk saling dimiliki. Tapi, saat bayiku lahir, ketika itulah pacarku dan ayahnya benar-benar menjadi pecandu berat,” kisahnya.

Hari demi hari, keuangan keluarga ini kian menipis digerogoti alkohol dan narkoba. Beruntung, kehadiran si jabang bayi membuat Alicia tersadar bahwa ia harus menghentikan kecanduannya demi tumbuh kembang sang buah hati. Sementara, kekasihnya tak mau peduli. Dia tetap saja menjadi pecandu narkoba. Karena kesal, Alicia pun meninggalkan kekasihnya yang juga ayah biologis putrinya.

Hari-hari pertemuan Alicia dengan hidayah Islam kian dekat. Hal itu bermula ketika putri kecilnya divonis menderita sindroma Guillain-Barre, suatu kelainan berupa sistem kekebalan tubuh yang menyerang saraf pusat. Akibatnya, penderita mengalami pelemahan otot dan tak mampu bergerak.  Tak pelak, anaknya harus dirawat di rumah sakit.

Saat di rumah sakit menemani putrinya itulah, Alicia berkenalan dengan beberapa Muslimin, salah satunya bernama Hayat. Dari Hayat, ia mulai mengenal agama Islam. Alicia pun banyak mengajukan pertanyaan tentang Islam pada kenalan barunya ini.

Ketika kondisi putrinya membaik dan boleh dirawat di rumah, Alicia tetap menjaga kontak dengan Hayat. Jelas sekali, Alicia mulai tertarik dengan Islam. Ia pun menyadari bahwa banyak orang mendapat informasi yang salah tentang Islam. “Aku pikir banyak orang mengira bahwa itu (Islam) seperti agama Hindu. Aku pun tadinya berpikir, Islam merupakan agamanya orang Timur Tengah.”

Alicia memang buta sama sekali tentang Islam. Sejak kecil ia dibesarkan di tengah keluarga yang jauh dari agama. Meski mengaku sebagai Kristen, keluarga Alicia sangat jarang ke gereja. “Mereka Kristen Baptis, tapi kami tipe keluarga yang tidak pergi ke gereja secara teratur,” ujarnya.

Sejak bertemu Hayat, Alicia baru mengetahui bahwa Islam berasal dari akar yang sama dengan agama yang dianutnya. Namun, berangkat dari perenungan dan diskusi panjangnya dengan beberapa Muslimin, Alicia mulai mendapat kejelasan arah yang harus ia tuju. Ya, arah yang jelas itu adalah Islam.

NamunAlicia tak serta-merta berislam. Alicia sangat takut karena selama ini ia meyakini bahwa mengatakan Yesus bukan anak Allah merupakan sebuah penghujatan. Sementara, penghujatan merupakan dosa tak terampuni. “Artinya, Anda akan masuk neraka,” tuturnya.

Diakui Alicia, selama ini pun ia telah bergelimang dosa. Hanya saja, dalam keyakinannya, itu bukan dosa yang tak terampuni. Dicekam kebingungan dan ketakutan, Alicia setiap malam senantiasa menengadahkan tangan, berdoa meminta petunjuk. “Ya Allah, tolong beri petunjuk. Petunjuk yang jelas untuk mengetahui bahwa inilah jalan yang harus hamba tuju.’”

Suatu hari, Alicia bertemu ibunda Hayat, Hana. Ia membacakan ayat Alquran. Alicia tak ingat ayat apa yang dibaca saat itu. Yang pasti, di ayat tersebut Yesus berkata, “Saya bukan anak Tuhan.”  Kemudian, di akhir ayat, kata Alicia, disebutkan, “Untuk setiap pencari petunjuk, terdapat petunjuk dari dirinya sendiri. Bagiku ini sungguh luar biasa. Aku pun menangis karena merasa ini merupakan petunjuk untukku.”

Setelah mendapat petunjuk yang jelas dari ayat Alquran itu, Alicia tak ragu lagi untuk memeluk Islam. Jalan hidup baru sebagai Muslimah pun terbentang.

Islam membuka lembaran hidup baru bagi Alicia. Ia benar-benar meninggalkan dunia hitamnya, bertaubat, dan memperbaiki diri. Tak pernah ia merasakan kebahagiaan, kecuali setelah memeluk Islam. “Aku benar-benar merasakan kasih dan dukungan.”

Selama ini, Alicia hidup dalam suramnya dunia. Ia yang sebelumnya senantiasa berselimut dosa, kini merasakan iman yang begitu menyegarkan. Belenggu ketakutan dan kecemasan pun serta-merta lenyap. Ia bagai terlahir kembali.

“Aku benar-benar merasa jauh lebih baik. Aku merasa beban berat telah diangkat. Aku pun bisa bernapas lebih lega dari sebelumnya,” ungkapnya.

Jika sebelum berislam teman setianya adalah alkohol, narkoba, dan seks bebas, kini Alicia hanya bersandar kepada Allah. Alquranlah yang menjadi teman setianya sehari-hari. Ia sangat suka membaca Alquran. Baginya, kitab suci umat Islam ini sangat memesona.

“Alquran terasa begitu asli dan mudah dipahami,” katanya.

 

Oase Republika

Kewajiban Minta Maaf Pelaku Hoaks kepada Objek yang Difitnah

Pimpinan Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, KH Muhammad Hasan Mutawakil Alallah, menyatakan penyebaran hoaks merupakan dosa besar dalam perspektif agama.

Dia mengatakan, penyebaran hoaks guna menjatuhkan lawan politik merupakan cara yang tidak sehat.

“Hoaks itu mengancam juga keutuhan NKRI, kebersamaam, keragaman berakibat melemahnya kedaulatan rakyat, kewibawaan rakyat dan ini berlangsung terus,” kata Kiai Muhammad Hasan Mutawakil Alallah di Probolinggo, Ahad (27/1).

Pernyataan itu disampaikan Kiai Muhammad Hasan Mutawakil Alallah saat menerima kunjungan safari kebangsaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ke Jawa Timur. Safari dipimpin oleh Sekretaris Jendral PDIP Hasto Kristiyanto dan Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat.

Kiai Muhammad Hasan kemudian mengimbau masyarakat ataupun pendukung pasangan calon manapun untuk menghindari penyebaran hoaks.

Dia mengatakan, ada tanggungjawab moral yang harus dipertanggunggjawabkan kelak di sisi Allah atas penyebaran hoaks tersebut.

“Di samping harus minta maaf juga kepada yang dirasani, yang dijelekkan,” katanya.

Kiai Muhammad Hasan menegaskan, penyebaran hoaks tidak dibenarkan dan tak diperbolehkan dalam ajaran agama apapun.

Penyebaran kabar bohong merupakan perbuatan tercela dan tidak baik dalam arti interaksi sosial dengan sesama masyarakat.

Secara terpisah, saat Harlah ke-73 Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa menyatakan pihaknya menginisiasi dilakukannya deklarasi anti hoaks, anti fitnah, dan anti ghibah.

“Kalau anti hoaks, anti ujaran kebencian itu kan sanksinya di UU ITE. Tapi kalau ditambah lagi anti fitnah anti ghibah, ghibah itu bergunjing. Itu artinya ada sanksi yang bersifat spiritual,” katanya.

Oleh karena itu, ia berharap semuanya membangun diri secara produktif, pola pikir juga pola pikir konstruktif dan pola pikir positif.

“Saya rasa itu akan menjadi bagian dari fondasi untuk menjadi bangsa yang besar kokoh kuat dan berkemajuan,” katanya.

Hadir pada kesempatan itu Ketua Panitia Penyelenggara Harlah Muslimat NU ke-73 Yenny Wahid, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dan Gubernur DKI Anies Baswedan.

Rasulullah SAW Sosok Penyayang Binatang

Suatu saat, imam Bukhari melakukan rihlat li thalab al hadits, perjalanan dengan misi utama men cari hadis-hadis yang ter se bar di daerah-daerah yang jauh. Ia menempuh jarak ratusan ki lo meter untuk mengambil riwayat hadis tertentu dari seorang perawi.

Setibanya di lokasi, ia mendapati perawi yang ia tuju itu sedang beranjak memberi makan kudanya di sebuah ember. Padahal, imam Bukhari melihat secara kasat mata, ember tersebut kosong, tak ada makanan sama sekali. Tampaknya, pe rawi yang bersangkutan bermaksud mempermainkan dan menipu kudanya.

Mengetahui hal itu, imam Bukhari lantas membatalkan niat mengambil riwayat dari perawi tersebut. Perlakuannya terhadap kuda itu menunjukkan sikap tak jujur. Bukhari pun beranggapan, bila pada binatang saja ia berbohong maka tak menutup kemungkinan berbuat hal yang sama kala meriwayatkan hadis. Kisah ini menunjukkan dua hal sekaligus, yaitu kehati-hatian periwayatan hadis dan etika memperlakukan binatang.

Islam meletakkan kaidah-kaidah bagaimana bersikap yang adil dan laik kepada binatang. Hal ini karena, pada dasarnya, satwa memiliki hak yang sama seperti makhluk Allah yang lain. Hak untuk hidup dan eksis sebagai bagian tak terpisahkan dari alam semesta. Termasuk, hak mendapatkan perlakuan baik. Etika-etika tersebut secara langsung dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Nabi Muhammad adalah sosok penyayang binatang.

Keteladanan yang ditunjukkan Rasulullah mendobrak paradigma dan tradisi yang berlaku di masyarakat Arab jahiliyah. Mayoritas bangsa Arab di masa itu terkenal dengan kebengisan dan penyiksaan berlebihan terhadap hewan. Seperti banyak dikisahkan dalam buku sejarah Arab kuno, mereka kerap memasang cincin di leher unta, mencabuti bulu, dan memotong ekor. Bahkan, tak jarang mereka mengambil daging atau bagian tertentu dari tubuh hewan untuk dimasak. Tindakan itu berlangsung saat hewan dalam kondisi hidup dan sadar. Rasulullah pun melarang perilaku buruk mereka.

Secara garis besar, tuntunan yang diberikan Rasulullah ialah hendaknya hindari menyiksa dan menyakiti hewan. Nabi SAW melarang orang membebani hewan terlalu lama dan melampaui batas kemampuannya. Sebagaimana tertulis dalam hadis, “Jangan jadikan punggung hewan-hewanmu sebagai kursimu.” Rasulullah pun meminta agar tidak memberikan cap tanda pengenal pada binatang di mukanya. Melainkan, di bagian-bagian tubuh binatang yang tak terlalu lunak.

Rasulullah menyerukan agar tidak mengganggu keberlangsungan hidup binatang. Hal ini, terlihat saat Rasulullah meminta sahabat mengembalikan telur burung yang baru meretas. Selain memberikan kesempatan hidup, Rasulullah berpandangan bahwa mengambil telur-telur itu bisa menyakiti induk mereka.

Rambu-rambu itu terus disampaikan Ra sulullah kepada para sahabat. Nabi SAW menasihati mereka agar bersikap lembut dan bertimbang rasa, bahkan saat hendak me nyembelih hewan. Islam mengajarkan, proses penyembelihan berlangsung dengan cepat dan tidak menyakitkan. Hal ini bisa ditempuh dengan menyembelih di sekitar leher, tepatnya di saluran nafas, mempertajam pisau, dan tidak memperlihatkan pengasahan alat pemotong itu di depan hewan yang hendak disembelih.

Rasulullah melarang pula membunuh hewan tanpa alasan yang jelas. Larangan ini terlihat jelas di sebuah riwayat. Hadis itu menegaskan bahwa barang siapa membunuh binatang, walaupun hanya seekor burung pipit atau binatang yang lebih kecil tanpa maksud jelas maka Allah akan meminta pertanggungjawaban sang pelaku.

Bentuk empati Rasulullah terhadap hewan diwujudkan pula dengan memberikan pelayanan terbaik. Salah satunya ialah memberikan makanan secara langsung, tanpa diwakilkan pada orang lain. Hal itu kerap dikerjakan oleh Rasulullah. Suatu ketika, Nabi pernah meninggalkan para sahabat di suatu majelis untuk memberi minum seekor kucing dengan sebuah wadah. Rasulullah pun memegang sendiri tempat minum itu sampai hewan itu tak lagi merasa haus.

Berbagai tuntutan tersebut, dimaknai, dipahami, dan dilaksanakan secara baik oleh para sahabat. Terkait pembantaian binatang tanpa sebab, misalnya, larangan yang digariskan Rasulullah tersebut diimplementasikan maksimal oleh Abu Bakar RA. Hadis tersebut dijadikan sebagai landasan peraturan bagi para tentara Muslim yang berangkat ke Suriah. Ia dengan tegas menyeru membunuh domba, sapi, atau unta kecuali untuk tujuan memperoleh makanan.

Contoh pekerti luhur Rasulullah terhadap binatang juga mengilhami sahabat lainnya. Adalah Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi SAW, yang menasihati orang-orang supaya bersikap baik terhadap binatang-binatang, tak terkecuali hewan pengangkut. Ia berpesan, “Berbaik hatilah pada binatang-binatang pengangkut; jangan lukai mereka dan jangan muati mereka dengan beban yang melebihi kemampuan mereka.”

Apresiasi dan sanksi

Tiap tindakan baik atau buruk yang dilaku kan seseorang terhadap binatang akan mendapat balasan. Perlakuan jahat dan tak mengenakkan kepada hewan akan dicatat sebagai keburukan yang bisa mengantarkannya mendapat siksa di neraka kelak. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, Rasulullah bersabda, “Seorang perempuan disiksa akibat kucing yang ia kurung, tanpa dikasih makan atau minum karena terkurung. Ia pun tak membiarkannya mencari makan sendiri dari alam luar.” (HR. Bukhari Muslim)

Demikian sebaliknya, apresiasi diberikan oleh Allah SWT bagi mereka yang berbuat baik terhadap binatang dan menghindari tindakan apa pun yang dapat melukai mereka. Dalam sebuah riwayat Abu Hurairah RA disebutkan bahwa seorang laki-laki pernah melihat anjing sedang menjulurkan lidahnya akibat kehausan.

Karena merasa iba, ia pun mengambil sepatu yang ia gunakan dan menuangkan air di dalamnya untuk memberi minum anjing. Lelaki itu pun mendapat ampunan atas perbuatannya itu. Dan, Rasulullah menegaskan bahwa se tiap perlakuan baik yang diperuntukkan bagi makhluk hidup di dunia akan berbalas pa hala, demikian pula sebaliknya. (HR Bukhari Muslim).

Nomor Porsi Jemaah Wafat Bisa Dilimpahkan, Ini Aturannya

Jakarta (Kemenag) — Kementerian Agama tahun ini kembali memberlakukan kebijakan pelimpahan nomor porsi bagi jemaah wafat. Kebijakan ini kali pertama diterapkan tahun lalu, melalui Keputusan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor 174 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelimpahan Nomor Porsi Jemaah Haji Reguler yang Meninggal Dunia.

Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri Muhajirin Yanis mengaku kebijakan tersebut dilanjutkan karena mendapatkan sambutan cukup baik dari masyarakat. Untuk itu, Yanis berharap publik bisa memahamai aturan dan persyaratannya dengan cermat.

“Pelimpahan nomor porsi ini hanya bagi jemaah haji  yang wafat setelah ditetapkan berhak melunasi BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) atau akan berangkat pada tahun berjalan,” kata Yanis di ruang kerjanya, Jakarta, Selasa (22/01).

Kementerian Agama akan merilis jemaah yang berhak melunasi BPIH 1440H/2019M setelah ada ketetapan kuota haji dan besaran biaya haji. Jika setelah diumumkan, ada jemaah yang wafat, maka nomor porsinya bisa dilimpahkan kepada yang berhak. Batas akhir proses pelimpahan nomor porsi jemaah wafat adalah pemberangkatan kloter terakhir dari Tanah Air pada musim haji tahun berjalan.

“Pelimpahan nomor porsi bukan warisan. Namun, mereka yang dapat menggantikan atau menerima pelimpahan nomor porsi jemaah wafat harus keluarga baik istri, suami, anak, atau menantu,” tegasnya.

Ketentuan lainnya, lanjut Yanis, dalam proses pengajuan pelimpahan nomor porsi jemaah wafat, pihak keluarga harus melampirkan sejumlah dokumen, yaitu: surat kematian, bukti setoran awal BPIH, surat kuasa pelimpahan, surat tanggung jawab mutlak, bukti identitas. “Mereka yang akan menerima pelimpahan, minimal berusia 18 tahun atau sudah menikah,” ujarnya.

“Persyaratan yang sudah lengkap diajukan ke Kemenag Kabupaten/Kota untuk diveifikasi dan diajukan ke Kanwil Kemenag Provinsi. Pihak Kanwil lalu akan membuat rekomendasi untuk diusulkan persetujuan dari Direktur Jenderal,” imbuh mantan Sekretaris Ditjen PHU ini.

Setelah disetujui Dirjen PHU, jemaah penerima limpahan nomor porsi harus datang ke Subdit Pendaftaran dan Pembatalan Haji Reguler untuk proses pendaftaran dan input data biometrik. “Berikutnya nanti akan diterbitkan SPPH (Surat Permohonan Pergi Haji) baru sebagai pengganti dengan menggunakan nomor porsi jemaah yang wafat,” tandasnya.

Yanis menambahkan, jemaah yang menerima pelimpahan porsi tidak otomatis berangkat haji pada tahun berjalan itu juga. Sebab, keberangkatan itu juga disesuaikan dengan kesiapan jemaah untuk berangkat haji. Selain itu, keberangkatan juga bergantung pada ketersediaan waktu penyiapan dokumen perjalanan haji.

“Jika tidak berangkat tahun berjalan, proses keberangkatannya bisa dipersiapkan pada tahun berikutnya,” ujarnya.

Sejak kali pertama diberlakukan pada 2018, Subdit Pendaftaran dan Pembatalan Jemaah Haji Reguler mencatat terdapat 563 orang yang mengajukan pelimpahan nomor porsi. Sementera pada musim haji 1439H/2018M, Kemenag sudah memberangkatkan 166 orang. Sisanya, jika memungkinkan akan diberangkatkan tahun ini atau tahun berikutnya.  (Ditjen PHU)

Mukmin Bukan Tukang Laknat dan Berkata Keji

AKHIR-AKHIR ini kebiasaan melaknat (mengutuk) banyak merebak di tengah-tengah masyarakat, baik yang tua maupun yang muda, laki-laki maupun wanita, dewasa maupun anak-anak, sehingga didapati seseorang melaknat anaknya, saudaranya, tetangganya, bahkan melaknat kedua orangtuanya dengan mengatakan, “Terlaknatlah kedua orangtuaku atau terlaknatlah ibuku, aku akan melakukan ini dan ini (seperti terkutuk bapakku jika aku tidak melakukan ini dan ini).” Biasanya dipakai untuk mengancam atau menantang.

Tidak diragukan lagi ucapan seperti itu adalah ucapan keji dan mungkar yang tidak mendatangkan rida Allah , seperti dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (al-Fajr: 14)

Dan firman Allah: “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik, sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka.” (Al-Isra: 53)

Dan beberapa hadis Nabi yang melarang hal tersebut di antaranya: Hadis Abu Dawud Tsabit bin ad-Dhahak berbunyi: “Melaknat seorang mukmin adalah seperti membunuhnya.” (Mutafaqun alaihi)

Hadis dari Abu Hurairah berbunyi: “Tidak pantas bagi seorang shiddiq (orang yang mengikuti kebenaran) menjadi tukang laknat.” (HR Muslim)

Dan Hadis dari Abu Darda berbunyi: “Tukang-tukang laknat tidak akan menjadi pemberi syafaat dan pemberi kesaksian pada hari kiamat.” (HR Muslim)

Hadis Abdullah bin Masud berbunyi: “Seorang mukmin bukanlah tukang cela dan tukang laknat dan bukanlah orang yang suka berkata keji lagi kotor.” (HR Tirmidzi) ; Hadis ini dicantumkan oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab beliau Shahih Jami Tirmidzi no 610 dan Silsilah Hadits Shahih no 320

Di dalam Silsilah Hadis Sahih tercantum sebuah hadis yang berbunyi: “Apabila sebuah laknat terucap dari mulut seseorang, maka ia (laknat itu) akan mencari sasarannya. Jika ia tidak menemukan jalan menuju sasarannya, maka ia akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.”

Hakikat laknat adalah menjauhkan sesuatu dari rahmat Allah. Seseorang yang melaknat berarti telah menyatakan bahwa sesuatu telah dijauhkan dari rahmat Allah, padahal itu termasuk perkara gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Maka perbuatan seperti ini termasuk berdusta dan mengada-ada atas nama Allah.

Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Dahulu kala ada dua orang Bani Israil yang bersaudara. Salah seorang di antara keduanya sering berbuat dosa, sedangkan yang lain tekun beribadah. Yang tekun beribadah selalu mendapati saudaranya berbuat dosa, ia berkata, Tahanlah dirimu dari perbuatan dosa! Pada suatu hari, ia melihat hal serupa, ia berkata, Tahanlah dirimu. Saudaranya berkata, Biarkan aku bersama Rabbku! Apakah engkau diutus sebagai pengawasku? Maka ia pun berkata kepada saudaranya tersebut, Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu atau demi Allah, Allah tidak akan memasukkanmu ke dalam surga. Kemudian ruh keduanya dicabut, lalu bertemu kembali di hadapan Allah Rabbul Alamin. Allah berkata kepada yang tekun beribadah, Apakah engkau mengetahui tentang Aku? Atau apakah engkau berkuasa atas apa yang ada ditangan-Ku? Kemudian Allah berkata kepada saudaranya, Masuklah ke dalam surga dengan rahmat-Ku. Dan Allah berkata kepadanya, Seret ia ke neraka!'”

Abu Hurairah berkata, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, orang tersebut telah mengatakan sebuah kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya.” (HR Abu Dawud dengan sanad hasan) Cobalah perhatikan kalimat yang diucapkan oleh seorang ahli ibadah tadi ternyata lebih besar daripada dosa yang dilakukan saudaranya, karena ia berani bersumpah atas nama Allah. Hanya Allah sajalah yang dimintai pertolongan-Nya. Merupakan musibah besar jika seseorang berani melaknat ibunya. Para sahabat sempat menganggap mustahil perbuatan seperti itu, lalu Rasulullah menjelaskan maksudnya kepada mereka, yaitu dengan mencela ayah ibu orang lain hingga orang tersebut mencaci ayah ibunya.(Muttafaqun alaihi)

Mengelola Ucapan, Sulitkah?

Husain menyampaikan pertanyaan kepada ayahnya, Ali bin Abu Thalib, tentang kakeknya, Muhammad SAW. Ia ingin tahu bagaimana perilaku kakeknya saat berada di luar rumah. Ali, sahabat yang juga menantu Nabi Muhammad, menggambarkan sejumlah hal kepada putranya tersebut.

Menurut dia, Rasulullah selalu menjaga lidah atau ucapannya dan tak berbicara kecuali yang penting. Dia juga berlaku santun dan lemah lembut terhadap orang lain. Di kesempatan lain, Ali berujar pula pada anak laki-lakinya itu bahwa sang kakek tidak pernah mencela.

Rasul selalu dapat mengelola ucapannya dengan baik. Pernyataan yang keluar dari dirinya merupakan hal-hal baik dan tak menyakitkan. Mengenai ucapan yang elok ini, Amr Khaled, dai dan motivator asal Mesir, menggolongkannya sebagai akhlak baik.

Dalam karyanya, Buku Pintar Akhlak, dia menggambarkan kebangkrutan yang akan menimpa seorang Muslim akibat perangai buruk. Ia menuturkan, Rasul menanyakan kepada para sahabatnya, apakah mereka tahu siapa yang dianggap sebagai orang-orang yang bangkrut? Mereka serempak menjawab bahwa mereka yang bangkrut adalah orang-orang yang tanpa uang dan harta.

Namun, jawabannya bukan itu. Menurut Mu hammad, yang bangkrut di antara umatnya adalah mereka yang pada hari kiamat membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun, mereka pernah mencela dan mencaci orang, memakan harta orang, memukul, dan menumpahkan darah orang. Orang yang berpahala itu kemudian harus memberikan pahala amal baik nya kepada orang yang pernah menjadi objek perilaku buruknya.

Yusuf al-Qaradhawi, cendekiawan Muslim, mengatakan banyak hadis yang menekankan agar seorang Muslim hatihati dengan ucapannya. “Barang siapa yang beriman kepada Allah, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.

” Ia mengutip hadis mutafaq alaih dari Abu Hurairah dan Abu Syuraih. Hadis lain menyebutkan, Allah memberikan rahmat kepada orang yang berkata baik lalu mendapatkan keuntungan atau diam lalu selamat. Al-Qaradhawi me ngatakan, ucapan dari seseorang berpotensi mengandung bahaya sehingga mendatangkan kesalahan.

Imam al-Ghazali telah menghitung ada 20 bencana akibat ucapan yang berpangkal pada lidah, antara lain, berdusta, gibah atau membicarakan orang lain, adu domba, bersaksi palsu, sumpah palsu, berbicara tak berguna, dan menghina orang lain. Di sisi lain, al-Qaradhawi mengingatkan, orang yang banyak cakap akan banyak juga berbuat kesalahan. Pembicaraannya ke mana-mana dan akhirnya menjadi gibah dan mengumbar cela orang lain. Oleh karena itu, hadis Rasulullah menyebutkan keselamatan terletak pada sikap diam.

Tetapi, ini tak berarti manusia harus mengunci mulutnya agar tidak berbicara sama sekali. Tidak demikian, melainkan seseorang hendaknya mengucapkan katakata yang baik saja serta diridhai Allah. “Jadi, sebaiknya kita memelihara pembicaraan dan jangan mengumbar ucapan membahayakan,” katanya.

Mukmin yang merasa diawasi Allah, ujar al-Qaradhawi, mesti memahami setiap ucapan merupakan amalan yang kelak dihisab. Maka, ia tergerak hanya mengeluarkan ucapan sarat makna. Tak mengutuk, termasuk dalam kepiawaian seseorang dalam mengendalikan ucapannya.

Dalam buku Rasulullah, Manusia tanpa Cela disebutkan, Rasulullah adalah satu-satunya manusia yang tidak pernah mengucapkan kutukan kepada manusia, binatang, dan makhluk lainnya, kecuali kepada setan dan iblis, musuh manusia. Seorang laki-laki mendatangi beliau dan meminta wasiat. Lalu dijawab, “Saya berwasiat kepadamu agar tidak menjadi pengutuk.” Aisyah menyampaikan cerita lain. Saat suaminya, Muhammad, mendengar Abu Bakar mengutuk sebagian budaknya, ia segera menoleh kepada sahabatnya itu.

Muhammad menegurnya dan meminta agar Abu Bakar tak berbuat demikian lagi. Setelah itu, Abu Bakar memerdekakan budaknya dan ia mendatangi Rasulullah serta berjanji tak akan mengulangi perbuatan tersebut. Muadz bin Jabbal pun menyampaikan informasi bahwa Rasulullah melarang seorang Muslim mencaci maki saudara Muslimnya, durhaka kepada imam yang adil, serta mencela orang yang telah meninggal dunia.