Keajaiban Berbicara

Anak yang masih menyusu itu kemudian berkata, Bapakku adalah fulan, tukang gembala. Allah SWT Sang Maha Pencipta punya kekuasaan mutlak.

Kekuasaan-Nya dapat melampaui akal manusia. Betapa banyak hal yang di luar akal manusia terjadi di bumi ini. Semua itu terjadi hanya dengan Allah melontarkan kalimat, Kun fa ya kun. Terjadi maka terjadilah.

Sejarah merekam bayi-bayi bisa berbicara. Paling terkenal adalah Isa binti Maryam.

Kaum Bani Israil menyindir Maryam yang hamil tanpa memiliki suami.

Mereka berkata, `Ayahmu sekali-kali bukanlah seorang pezina yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina’ (QS Maryam:28). Maryam hanya diam. Tangannya menunjuk bayi mungil di pangkuannya. Sikap itu disambut tawa kaum Bani Israel.

Mereka heran bagaimana orang dewasa bisa berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan? Dengan izin Allah, Isa dapat berbicara.

Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Alkitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada. Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunai kan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia (pun) tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. (QS Maryam: 30-32).

Begitulah kalimat yang meluncur dari mulut Isa. Aidh Al-Qarni menjelaskan, berdasarkan satu riwayat, Isa dapat berbicara dengan suara yang fasih, jelas, dan lucu.

Dia berbicara dalam waktu tiga hari.

Sosok kedua yakni teman Juraij. Dalam bukunya, Sentuhan Spiritual Aidh Al Qarni, syekh kenamaan dari Saudi itu menceritakan, Juraij adalah lelaki Bani Israil yang gemar beribadah. Ia selalu melaksanakan shalat, zikir, dan berdoa kepada Allah SWT.

Ia membangun satu tempat untuk menyepi agar bisa beribadah kepada Tuhannya.

Satu hari, ibunya datang saat Juraij sedang shalat. Ibunya berkata, Wahai Juraij.

Juraij pun membatin, Ya Tuhan, shalatku atau ibuku. Dia bingung apakah harus menghentikan shalatnya untuk menjawab ibunya atau terus melaksanakan shalat tanpa memutuskannya. Ia lantas memilih untuk meneruskan shalatnya. Ibunya pun pergi meninggalkan Juraij.

Esok harinya, ibunya kembali mendatangi Juraij. Hanya, Juraij ketika itu masih dalam keadaan shalat. Ibunya berkata, Wahai Juraij. Juraij kembali berkata, Ya Tuhan, ibuku atau shalatku! Dia pun meneruskan shalatnya. Ibunya kembali pergi. Kejadian ini kembali terulang keesokan harinya.

Ibu Juraij datang ketika Juraij sedang larut dalam shalat. Juraij kembali memutuskan untuk meneruskan shalat. Sang ibu rupanya kesal. Dia pun berdoa kepada Allah, Ya Allah, jangan matikan dia sampai melihat muka wanita pelacur. Ibunya berdoa kepada Allah agar Juraij menyaksikan muka wanita-wanita pezina sebelum mencabut nyawa anaknya. Setelah berdoa, ibunya kemudian pergi.

Orang- orang Bani Israil kembali menggunjingkan Juraij dan ibadahnya. Mereka membenci Juraij dan tidak menginginkan kecuali kemesuman, kefasikan, dan pelacuran. Mereka meninggalkan hijab. Perempuan bergumul dengan lelaki sehingga zina merajalela. Allah pun melaknat mereka dan menja dikan sebagian di antaranya monyet dan babi. (QS al-Maidah:13).

Orang-orang Bani Israil kemudian berupaya untuk memfitnah Juraij. Lantas, seorang perempuan cantik mendatangi mereka dan berkata, Jika kalian ingin, aku akan memfitnahnya untuk kalian. Wanita itu berusaha untuk menggoda Juraij.

Namun, Juraij mengabaikannya. Pelacur itu tak kehilangan akal.

Dia mendatangi seorang penggembala dan membawanya ke tempat ibadah Juraij.

Pelacur itu menggoda penggembala itu sampai menggauli dirinya hingga hamil.

Setelah anak yang dikandungnya lahir, pelacur itu berkata, Anak itu dari Juraij.

Orang-orang Bani Israil pun mendatangi Juraij dan memintanya untuk turun.

Mereka menghancurkan pertapaannya dan memukulinya. Juraij heran sambil berkata, Ada apa ini? Juraij dituding berzina sambil membawa anak pelacur itu. Juraij berkata, Biarkan aku sampai selesai shalat. Usai beribadah, ia mendatangi anak itu.

Juraij menekan bagian perutnya sambil berkata, Wahai anak kecil, siapakah bapakmu? Anak yang masih menyusu itu kemudian berkata, Bapakku adalah fulan, tukang gembala. Keajaiban lainnya yang ditukil dari riwayat Imam Bukhari.

Seorang ibu yang menyusui anaknya melihat lelaki sedang melintas dengan kuda.

Dia begitu gagah dengan tubuh dan pakaiannya. Ibu anak itu kemudian berkata, Ya Allah, jadikan- lah anakku seperti orang ini. Tiba-tiba anak itu melepas susu dan memandang ibunya.

Kemudian, dia berkata, Ya Allah, jangan Engkau jadikan aku seperti dia! Tak cukup dengan itu, ibu itu melihat seorang perempuan yang sedang dipukuli orang banyak.

Mereka menuduh perempuan itu sebagai pezina dan pencuri.

Wanita itu hanya berkata, Cukuplah Allah sebagai penolong kami dan Allah adalah sebaik-baiknya pelindung. Ibu itu pun kembali berdoa, Ya Allah, jangan Engkau jadikan anak ku seperti wanita itu. Anak itu kembali melepas susunya dan memandang ibu nya. Dia berkata, Ya Allah, jadikan aku seperti dia!

Anak yang disusui itu berkata, lelaki yang melintas tersebut adalah orang zalim.

Maka, aku berkata, Ya Allah, jangan jadikan aku seperti dia. ‘ Anak itu juga berkata, wanita yang dipukuli itu bukan pezina dan bukan pencuri. `Maka aku berkata, `Ya Allah, jadikan aku seperti dia.

Bukan hanya bayi, beberapa hadis meriwayatkan ada binatang yang berbicara.

Dalam sahih Bukhari Muslim, dikisahkan ada seorang penggembala yang berada di dekat kambingnya, menyerangnya. Serigala itu mengambil seekor kambing.

Maka, sang penggembala itu memintanya sampai ia dapat menyelamatkan kambing itu dari serigala.

Serigala itu menoleh kepadanya dan berkata, Siapa (yang akan) memburunya pada hari pemburuan, hari di mana tidak ada penggembala baginya kecuali aku.

‘Penggembala itu berkata, `Maha suci Allah, serigala dapat berbicara’.

Allah pun bisa membuat benda-benda ti dak bergerak dapat berbicara.

Dalam shahih Bukhari, Jabir berkata, Masjid Rasulullah diatapi dengan pelepah kurma.

Apabila Nabi berkhotbah, dia berdiri di atas pelepah kurma itu. Ketika dibuatkan mimbar untuknya dan beliau (berkhotbah) di atasnya, kami mendengar suara seperti suara tangisan sampai Nabi datang dan meletakkan tangannya di atas pelepah kurma.

Suara itu pun berhenti.

Aidh Al Qarni mengungkapkan, kisah tersebut membuktikan jika Allah adalah Zat yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Dia bisa membuat pohon merintih, serigala berbicara, hingga bayi berkata. Kisah ini juga membuktikan betapa Allah akan mem bela para utusan dan kekasih-Nya, orang-orang saleh dan para dai.

Ketiga, Allah akan menghancurkan musuh-musuh-Nya. Kemudian, Aidh al Qarni menambahkan, faktor terpenting adalah per-buatan bukan harta, jabatan atau keturunan. Wallahu a’lam.

 

REPUBLIKA

Sabar, Anugerah Terbesar

RASULULLAH saw berkata, “Seseorang tidak diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih lapang melebihi sabar.”

Percayakah Anda pada Rasulullah saw? Anda pasti akan menjawab, “Tentu saja. Saya tidak mengerti pertanyaan Anda?” Tapi bahasa perilaku Anda mengatakan sebaliknya. Anda justru mengatakan, “Mobil dengan model terbaru adalah hal terbaik yang saya miliki,” atau, “Saya memiliki kekayaan di mana-mana.” Atau kebanggaan lain, seperti, “Saya bekerja di satu perusahaan yang sangat bergengsi.”

Sungguh pemberian termegah dan sesuatu terbaik yang Anda miliki adalah kesabaran. Sabar adalah pemberian terbaik dan anugerah terbesar. [amru muhammad khalid]

 

INILAH MOZAIK

Meninggalkan Shalat, Apa Hukumnya?

Setiap umat Islam diwajibkan untuk mendirikan shalat lima waktu. Hal ini ditegaskan dalam Alquran surah Al-Baqarah [2]: 43). Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku-lah beserta orang-orang yang ruku. (QS Al-Baqarah [2]: 43).

Perintah serupa juga diterangkan dalam surah Al-Baqarah [2]: 83, 110, Al-Isra [17]: 78, Al-Ankabut [29]: 45, Yunus [10]: 87, Thaha [20]: 14, ar-Ruum [30]: 31, Luqman [31]: 17, Al-Ahzab [33]: 33. Dan masih banyak lagi perintah kewajiban mendirikan shalat yang disebutkan dalam Alquran.

Nabi Muhammad SAW juga menegaskan kewajiban setiap Muslim untuk melaksanakan shalat lima waktu. Ibnu Abbas berkata, Ketika Abu Sufyan menceritakan tentang Heraklius kepadaku, ia berkata, ‘Nabi Muhammad SAW menyuruh kami mendirikan shalat, berlaku jujur, dan menjaga diri dari segala sesuatu yang terlarang.

Bahkan, waktu shalat lima waktu itu juga telah disebutkan dalam Alquran dan hadis Nabi SAW. Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (QS Al-Isra [17]: 87).

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS An-Nisa [4]: 103).

Waktu Zhuhur ialah jika matahari telah condong (ke barat) dan bayangan seseorang sama dengan tingginya selama waktu Ashar belum tiba, waktu Ashar masuk selama matahari belum menguning, waktu shalat Maghrib selama awan merah belum menghilang, waktu shalat Isya hingga tengah malam, dan waktu shalat Shubuh semenjak terbitnya fajar hingga matahari belum terbit. (HR Muslim).

Nash-nash d iatas menunjukkan bahwa mendirikan shalat lima waktu itu hukumnya wajib bagi setiap pribadi Muslim dan telah ditentukan waktunya. Mereka wajib melaksanakannya setiap saat dan dalam keadaan apapun.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS Ali Imran [3]: 190-191).

Walaupun perintah shalat itu hukumnya wajib, namun sebagian umat Islam ada juga yang meninggalkan shalat lima waktu. Baik karena lupa ataupun sengaja. Lupa karena kesibukannya dalam bekerja sehingga sampai lupa waktu, ketiduran, atau karena ada hal tertentu yang menyebabkan seseorang tidak boleh melakukannya, seperti haid dan nifas.

Tapi ada juga yang meninggalkan shalat karena kesengajaan. Misalnya, karena tidak tahu tata caranya, belum memahami hukum Islam secara benar, atau pun karena malas. Bagaimanakah hukumnya orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja?

Dalam Alquran, orang yang dengan sengaja meninggalkan shalat, hukumnya dosa. Bahkan, ada ulama yang menghukuminya dengan kafir. Mengapa demikian? Sebagaimana pernah disampaikan Rasulullah SAW, bahwa yang membedakan orang Islam dengan kafir adalah shalatnya. Berdasarkan hal ini, maka para ulama menetapkan, bahwa orang yang dengan sengaja meninggalkan shalat bisa dihukumi dengan kafir.

Dari Jabir bin Abdullah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: Yang membedakan Muslim dengan kafir adalah meninggalkan shalat. (HR Ahmad, Muslim dan Ashabus Sunan, kecuali An-Nasai).

Dari Buraidah berkata, Rasulullah SAW bersabda, Janji setia di antara kami dengan mereka adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkan shalat maka dia adalah kafir. (HR Ahmad dan Ashabus Sunan).

Dari Abdullah bin Amr dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau pada suatu hari mengingatkan tentang shalat dan berkata: Barangsiapa yang menjaga shalat, maka ia akan mendapatkan cahaya, petunjuk dan keselamatan di Hari Kiamat, dan barangsiapa yang tidak menjaga shalatnya, maka dia tidak akan mendapatkan cahaya, petunjuk dan keselamatan, dan pada Hari Kiamat dia akan bersama Qarun, Firaun, Haman, dan Ubay bin Khalaf.(Diriwayatkan oleh Ahmad, Ath-Thabrani dan Ibnu Hibban dengan sanad yang baik)

Karena dianggap kafir, maka sebagian ulama menghukumi boleh dibunuh. Imam Syafii dan Ahmad menyatakan, orang yang meninggalkan shalat maka dia harus bertobat. Dan apabila tidak mau bertobat, maka harus dibunuh.

Abu Bakar Ath-Tharthusyi sebagaimana dikutip Syekh Kamil Muhammad Uwaidah, dalam Fikih Muslimah, menyebutkan, Menurut Imam Malik, wanita yang meninggalkan shalat (tanpa alasan yang jelas, Red), harus diingatkan dengan keras, selama masih ada waktunya. Dan apabila ia mengerjakannya maka ia akan diampuni, dan jika menolak hingga waktunya telah berlalu, maka ia harus dibunuh.

Sedangkan Syekh Muhammad Kamil sendiri berpendapat, tidak mesti harus dibunuh, namun ia wajib diingatkan. Menurutnya, hadis di atas masih ada yang memperdebatkannya, terutama berkaitan dengan berapa kali si pelaku meninggalkannya.

Dalam sebuah riwayat, Sufyan Ats-Tsauri, Imam Malik, dan Ahmad berkata, Dengan meninggalkan satu kali shalat, seseorang perempuan Muslim dapat dikenai sanksi dibunuh. Demikian pula menurut mazhab Syafii. Barangsiapa meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja, maka ia telah terlepas dari tanggung jawab Allah, (HR Ahmad dari Muadz bin Jabal). Wallahu A’lam.

 

REPUBLIKA

Meninggalkan Shalat, Wajibkah Qadha?

Mendirikan ibadah shalat lima waktu merupakan kewajiban setiap umat Islam yang sudah dewasa (mukallaf). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS An-Nisa [4]: 103).

Dalam ayat lain Allah berfirman; Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku.” (QS Al-Baqarah [2]: 43).

Selain kedua ayat di atas, masih banyak penegasan Allah dalam Alquran yang memerintahkan umat Islam untuk mendirikan shalat. Misalnya, sebagaimana terdapat dalam surah Al-Baqarah [2]: 83, 110, Al-Isra [17]: 78, Al-Ankabut [29]: 45, Yunus [10]: 87, Thaha [20]: 14, ar-Ruum [30]: 31, Luqman [31]: 17, Al-Ahzab [33]: 33.

Shalat lima waktu hukumnya wajib. Orang yang mengerjakannya akan mendapat pahala dan bagi yang meninggalkannya berdosa. Karena sesungguhnya, shalat itu merupakan puncak dari segala ibadah.

Islam dibangun di atas lima perkara yaitu bersyahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji (bila mampu), dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umar RA).

Namun, bagaimana bila tidak sengaja meninggalkannya? Misalnya karena tertidur? Atau terpaksa meninggalkan karena ada larangan untuk mengerjakannya, seperti haid dan nifas?

Dalam masalah ini, terdapat beberapa pendapat ulama. Ada yang mengatakan, orang yang tidak sengaja meninggalkan shalat, maka dia harus menggantinya di waktu yang lain. Namun, ada juga yang berpendapat, dia tidak wajib menggantinya.

Munculnya pendapat diatas, berdasarkan beberapa dalil yang dipahami oleh para ulama. Di antaranya, berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW. Diangkat pena (hukum, red) itu dari tiga hal, anak kecil hingga dia balig (dewasa), orang gila hingga dia berakal (sembuh), dan orang yang tertidur hingga dia bangun.”

Mengapa anak kecil dibebaskan dari hukum? Sebab, dia belum dewasa dan dianggap belum mempunya cukup akal untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Begitu juga orang yang gila, mereka tidak memahami lagi apa yang dikerjakan. Sedangkan orang yang tertidur, dianggap tidak mengetahui ketentuan hukum.

Dalam hadis lainnya, disebutkan, bahwa suatu hari Siti Aisyah RA (istri Rasulullah SAW), bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai haid. Dan karena hal itu, dia terpaksa tidak melaksanakan puasa. Saat itu, Rasul memerintah Aisyah untuk mengganti puasanya di hari yang lain dan tidak diperintahkan untuk mengganti atau meng-qadha shalat. Ketika kami mengalami haid, kami diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha shalat.”

Berdasarkan keterangan inilah, para ulama berselisih pendapat mengenai ada atau tidaknya qadha dalam shalat. Namun demikian, karena shalat itu merupakan kewajiban, maka secara umum ulama sepakat, bahwa seseorang yang ketinggalan shalat fardhu, maka  wajib meng-qadha shalatnya. Baik shalat yang ditinggalkannya itu karena sengaja, lupa, tidak tahu, maupun karena ketiduran.

Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah SAW bersabda: Apabila salah seorang dari kalian tertidur hingga luput dari mengerjakan satu shalat atau ia lupa, maka hendaklah ia menunaikan shalat tersebut ketika ia ingat.” (HR Muslim). Siapa lupa dari mengerjakan satu shalat maka hendaklah ia kerjakan shalat tersebut ketika ingat.”

Sedangkan bagi perempuan yang haid atau nifas, mereka tidak berkewajiban mengganti shalatnya walaupun waktunya luas. Sedangkan puasa yang ditinggalkan olehperempuan yang haid atau nifas, wajib membayarnya pada waktu yang lain atas sejumlah waktu puasa yang ditinggalkan.

Mazhab Hanafi menyatakan, wajib qadha atas orang yang hilang akalnya karena benda yang memabukkan dan diharamkan, seperti arak. Sedangkan orang yang hilang akalnya karena pingsan atau gila, maka kewajiban qadha shalat itu menjadi gugur dengan dua syarat.

Pertama, pingsan atau gilanya berlangsung terus sampai lebih dari lima kali waktu shalat. Sedangkan kalau hanya lima kali shalat atau kurang dari itu, maka wajib qadha. Kedua, tidak sadar selama masa pingsan atau gilanya itu pada waktu shalat, kalau ia sadar dan belum shalat, maka wajib qadha atasnya.

Mazhab Maliki berpendapat; orang gila atau pingsan tidak wajib qadha. Sedangkan orang yang mabuk, apabila itu disebabkan oleh barang haram maka ia wajib qadha, dan jika disebabkan oleh barang halal, seperti minum susu asam lalu mabuk, maka tidak wajib qadha.

Mazhab Hanbali berpendapat; orang yang pingsan dan mabuk karena benda haram, wajib qadha, sedangkan orang gila tidak wajib. Mazhab Syafii menyatakan; orang gila tidak wajib qadha, apabila gilanya itu menghabiskan seluruh waktu shalat (dalam satu hari). Begitu pula orang yang pingsan dan orang yang mabuk; jika pingsan dan mabuknya itu bukan disebabkan oleh minuman keras yang diharamkan, mereka tidak wajib meng-qadha shalatnya. Kalau tidak karena persoalan tersebut, maka dia wajib mengganti shalatnya.

Sedangkan mazhab Imamiyah berpendapat; orang yang mabuk karena minuman keras yang diharamkan wajib mengganti shalarnya secara mutlak, baik ia meminumnya dengan sadar atau tidak sadar, terpaksa atau dipaksa. Sedangkan orang yang gila dan pingsan, tidak wajib qadha. Demikian penjelasan Muhammad Jawwad Mughniyah dalam Al-Fiqh ‘ala al-madzahib al-khamsah.

 

REPUBLIKA

Islam, Agama Fitrah (2)

DARI keterangan hadis qudsi di atas jelaslah bahwa pada hakikatnya kita diciptakan oleh Allah dalam kondisi berpegang teguh pada agama, berada pada fitrah Allah. Tetapi, tipu daya setanlah yang kemudian memalingkan kita dari ajaran agama kita. Setan telah memperdaya kita untuk mengingkari Allah, dengan menjadikan selain Allah sebagai tuhan. Ada di antara umat manusia yang kemudian kembali kepada fitrah agamanya. Ada pula yang tetap berada pada kesesatan dan kekufuran.

Satu hal yang harus kita sadari bersama adalah bahwa selama hayat masih di kandung badan, selalu ada kesempatan untuk kembali kepada agama, kembali kepada Tuhan. Tuhan sangat senang jika ada hamba-Nya yang telah lama berkelana, mengembara mengarungi kehidupan ini, serta jauh dari-Nya, kemudian dia kembali ke jalan-Nya.

Seperti halnya orangtua yang telah lama ditinggal anaknya pergi merantau kemudian kembali pulang ke pangkuannya. Bahkan, kasih sayang Tuhan kepada hamba-hamba-Nya jauh melebihi kasih sayang orangtua kepada anak-anaknya.

Alangkah sayangnya, jika kesempatan hidup di dunia yang hanya sekali, tidak dimanfaatkan untuk menjalani fitrah kemanusiaan, yaitu memeluk erat agama, mendekatkan diri kepada Tuhan, menjadi hamba-hamba-Nya yang dikasihi dan dicintai-Nya. Betapa malangnya diri ini, jika hidup di dunia ini yang hanya sementara, diisi dengan amal yang sia-sia, yang hanya akan membawa kita pada penyesalan tiada tara di akhirat kelak.

Mari kembali kepada fitrah kita, yaitu fitrah untuk beragama, fitrah untuk selalu dekat dengan Tuhan, fitrah untuk menjadi hamba-hamba yang dikasihi dan dicintai-Nya. Dengan tetap pada fitrah itu, maka kita semua berharap semoga kelak, ketika Tuhan mengambil kita untuk kembali kepada-Nya, Tuhan akan memanggil dengan panggilan mesra:

“Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diradai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS.Al-Fajr [89]:27-30) [didi junaedi]/selesai.

INILAH MOZAIK

Islam, Agama Fitrah (1)

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptkan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruhm [13]: 30)

PADA hakikatnya, setiap manusia lahir ke dunia ini dengan membawa fitrah berupa keyakinannya kepada agama (Islam). Demikian ditegaskan oleh para ulama tafsir, ketika menjelaskan tentang maksud ayat di atas.

Seiring berjalannya waktu, maka fitrah yang sudah Allah tetapkan tersebut, akan tetap atau berubah bergantung pada kondisi lingkungan di mana manusia itu berada.

Nabi Muhammad saw menegaskan, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah)–beragama Islam–, maka bergantung kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya seorang Yahudi, Nasruni atau Majusi.”

Dari keterangan hadis di atas jelaslah bahwa setiap manusia dilahirkan dalam kondisi beragama (Islam). Agama itu fitrah yang sudah ada sejak manusia lahir, bahkan ketika mereka masih berada di alam rahim. Demikian ditegaskan dalam ayat lain.

Begitu melekatnya fitrah berupa agama ini di dalam diri manusia, maka meski seseorang larut dalam pelukan nafsu duniawi, yang seringkali melenakannya dari ajaran agama, atau bahkan melupakannya pada Tuhan, pada saat tertentu akan muncul kerinduan dalam dirinya untuk kembali kepada agama, kembali kepada Tuhannya.

Jika seseorang menuruti kata hatinya untuk kembali kepada Tuhannya, kepada ajaran agamanya, maka sangat mungkin pintu hidayah akan terbuka lebar baginya. Namun sebaliknya, jika ia lebih memperturutkan hawa nafsunya, tidak mengindahkan kata hatinya, maka dia akan semakin terjerumus pada kesesatan dan gelimang dosa.

Az-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya al-Kasysyaf menjelaskan ayat di atas dengan mengutip sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menyatakan, “setiap hamba-Ku aku ciptakan dalam keadaan lurus (berpegang teguh pada ajaran agama), kemudian setan telah melencengkannya dari agamanya, serta menyuruhnya untuk menyekutukan-Ku dengan yang lainnya.” [didi junaedi]/bersambung…

 

INILAH MOZAIK

Ketika Amal tak Cukup Untuk Menerangi Alam Kubur

KEMATIAN adalah sesuatu yang pasti terjadi dalam hidup kita, karena itu sudah menjadi salah satu fase kehidupan.

Ketika jasad telah masuk ke dalam kubur, dan jasad kita telah tertutup rapih di dalam tanah, maka saat itulah kita mulai memasuki alam Barzah atau alam kubur. Di mana ketenangan atau pun kegelisahan kita di dalamnya itu tergantung amal kita saat ini.

Ketika amal tak cukup untuk menerangi alam kubur, di sanalah siksa kubur mulai terasa. Lalu, apa saja penyebab dari siksa kubur itu? Siksa kubur memiliki beberapa faktor penyebab, di antaranya sebagaimana yang disebutkan dalam hadis berikut:

Dari Ibnu Abbas, beliau berkata bahwa Nabi pernah melewati dua kuburan, kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya penghuni kubur sedang disiksa, keduanya tidak disiksa dalam masalah yang berat, salah satunya karena tidak menjaga dari air kencing, adapun yang kedua dia suka mengadu domba.”

Lalu Rasulullah SAW mengambil pelepah kurma yang masih basah dan membelahnya menjadi dua dan menancapkan pada masing-masing kubur satu buah. Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, kenapa engkau lakukan ini?” Beliau menjawab, “Agar diringankan siksa keduanya selama belum kering.”

Dalam hadis tersebut menjelaskan kepada umatNya tentang sebagian faktor penyebab azab kubur yaitu meremehkan najisnya air kencing dan namimah.

Al-Hafidz Ibnu Rajab berkata, “Sebagian ulama menyebutkan rahasia di balik pengkhususan air kencing dan namimah sebagai faktor siksa kubur, yaitu karena alam kubur adalah rumah utama menuju kampung akhirat.”

Kemaksiatan yang akan diberi balasan besok pada hari kiamat ada dua macam: Hak Allah SWT dan hak hamba. Hak Allah SWT pertama kali yang diadili adalah shalat, sedang hak hamba adalah darah.

Ada pun Barzah adalah tempat untuk mengadili perantara dua hak tersebut. Perantara shalat adalah suci dari hadas dan najis, sedangkan perantara pertumpahan darah adalah namimah dan mencela kehormatan. Jadi, di alam Barzah dimulai untuk membalas kedua perantara tersebut. [ ]

Sumber: 1001 Siksa Alam Kubur, Karya: Ust. Asan Sani ar Rafif, Penerbit: Kunci Iman

 

INILAH MOZAIK

Nissa Sabyan Dianugerahi Sebagai Penyanyi Muda Inspiratif

Penyanyi bergenre gambus yang kerap menyanyikan lagu religi, Nissa Sabyan mendapat penghargaan sebagai penyanyi muda muda inspiratif. Penghargaan tersebut dianugerahkan kepada Nissa saat Puncak Anugerah Syiar Ramadhan 1439 H/ 2018 di Auditorium Perpustakaan NasionaI pada Kamis (28/6). Namun, Nissa berhalangan hadir untuk menerima penghargaan tersebut.

Anugerah Syiar Ramadhan diberikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), MajeIis UIama Indonesia (MUI) dan Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Kemenpora). Penghargaan diberikan kepada program-program siaran Ramadhan di televisi yang sehat, berkualitas dan selaras dengan regulasi penyiaran.

Komisioner KPI Pusat Bidang Pengawasan Isi Siaran, Nuning Rodiyah mengatakan, pihak yang menjadi pemenang atau masuk dalam nominasi bisa menjadi contoh bagi yang lain. “Ke depan seluruh pemenang, baik nominasi ini bisa menjadi contoh,” kata Nuning disela-sela acara Puncak Anugerah Syiar Ramadhan, Kamis (28/6).

Di Puncak Anugerah Syiar Ramadhan ada tujuh kategori program siaran yang diniIai oleh KPI dan MUI sebagai program siaran terbaik selama Ramadhan. Di antaranya kategori Reality Show, Sinetron dan Filos, Ceramah, Pencarian Bakat, ‎Wisata Budaya, Talkshow dan Kultum.

Penghargaan juga diberikan kepada lima kategori pengisi acara terbaik di televisi. Di antaranya kategori Host Muda Inspiratif, Dai Muda Inspiratif, Grup Musik/ Penyanyi Muda Inspiratif, Aktor Muda lnspiratif dan Televisi Inspirasi Pemuda Indonesia. Penghargaan ini secara khusus diberikan oleh Kementerian Pemuda dan Olah Raga.

Berikut tujuh program siaran terbaik yang mendapat Anugerah Syiar Ramadhan 2018:

1. Kategori Program Reality Show dimenangkan acara Menjemput Berkah di Trans 7

2. Kategori Program Sinetron dimenangkan acara Tiada Hari yang tak Indahdi SCTV

3. Kategori Program Ceramah Terbaik dimenangkan acara Damai Indonesiaku Spesial Ramadhan di TV One

4. Kategori Program Pencarian Bakat dimenangkan acara Hafidz Indonesiadi RCTI

5. Kategori Program Wisata Budaya dimenangkan acara Jazirah Islam di Trans 7

6. Kategori Program Talk Show dimenangkan acara Tafsir Al-Mishbah di Metro TV

7. Kategori Program Kultum dimenangkan acara Mutiara Hati di SCTV

Berikut lima kategori pengisi acara terbaik di televisi yang diberikan Kementerian Pemuda dan Olah Raga dalam rangka Anugerah Syiar Ramadhan 2018:

1. Kategori Host Muda Inspiratif dimenangkan Gita Savitri Devi dalam acara Muslim Travelers di NET TV

2. Kategori Dai Muda Inspiratif dimenangkan Ilyasa Wijaya Kusimah dan Alyasa Wijaya Kusuma dalam acara Aksi-Aksi di Indosiar

3. Kategori Grup Musik/ Penyanyi dimenangkan Nissa Sabyan

4. Kategori Aktor Muda lnspiratif dimenangkan Alfie Alfandy

5. Kategori Televisi Syiar Ramadhan dimenangkan Trans 7

 

REPUBLIKA

Program Siaran yang Baik Jangan Hanya Saat Ramadhan

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), MajeIis UIama Indonesia (MUI), dan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) memberikan penghargaan kepada program siaran dan pengisi acara televisi terbaik. Penghargan tersebut diberikan dalam Puncak Anugerah Syiar Ramadhan 1439 H/ 2018 di Auditorium Perpustakaan Nasional, Kamis (28/6).

Komisioner KPI Pusat Bidang Pengawasan Isi Siaran Nuning Rodiyah berharap semua pemenang nominasi siaran televisi terbaik bisa menjadi contoh bagi yang lain. Ia berharap tayangan-tayangan yang baik tidak hanya ada di bulan Ramadhan. “Kami berharap tayangan di luar Ramadhan mengikuti pola yang ada saat Ramadhan,” kata Nuning saat koferensi pers di Auditorium Perpustakaan Nasional, Kamis (28/6).

Ia menyampaikan, KPI, MUI dan Kemenpora meminta lembaga penyiaran menambah kuantitas dan kualitas program religi pada bulan Ramadhan tahun depan. Lembaga penyiaran yang belum punya program dakwah diharapkan tahun depan punya program dakwah lebih dari satu program.

Deputi II Kemenpora Bidang Pengembangan Pemuda Asrorun Niam Sholeh mengatakan, akan mengikhtiarkan untuk memperbanyak stimulasi kanal-kanal kegiatan positif bagi generasi muda. Sebab, sebanyak 62 juta penduduk Indonesia berusia muda. Jumlah tersebut setara dengan 26 persen total populasi Indonesia.

“Mereka tunas-tunas bangsa yang perlu difasilitasi dengan berbagai ruang positif untuk kepentingan artikulasi hal-hal untuk pengembang minat bakat,” ujarnya.

Oleh karena itu, Asrorun menjelaskan, Kemenpora bersama MUI dan KPI bergabung untuk memberikan apresiasi Anugerah Syiar Ramadhan. Tujuannya untuk memberikan rekognisi bagi anak-anak muda yang memiliki inovasi dan kreativitas. Juga agar anak-anak yang kreatif bisa menjadi teladan publik.

Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi (Infokom) MUI Masduki Baidlowi mengungkapkan, sangat bagus jika kalangan milenial bisa terlibat dan masuk dalam kegiatan penyiaran religi di lembaga penyiaran. Sesuai harapan Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin, kerja sama MUI, KPI, dan Kemenpora bisa dilanjut pada tahun-tahun berikutnya.

“Yang paling pokok (melalui) kegiatan Anugerah Syiar Ramadhan agar industri penyiaran itu makin dekat berdialog dengan kita semuanya,” ujarnya.

Ia berharap semuanya bisa mencapai konten penyiaran yang sejalan dengan ajaran-ajaran agama, terutama ajaran agama Islam, tetapi industri penyiaran tetap menguntungkan. Ini agar bisa berjalan seiring antara industri penyiaran dan konten-konten siaran yang baik.

 

REPUBLIKA

Perbedaan Tanpa Membunuh Akal Sehat

 

Tidak sedikit di antara kita yang menjadi pengagum berat dari seorang tokoh, bahkan mengultuskannya. Kekaguman kita terhadapnya terkadang berlebih-lebihan, bahkan melampaui akal sehat.

Diagungkannya tokoh itu layaknya manusia setengah dewa, tanpa salah. Apa yang dikatakannya, meski hanya berdasar nalarnya saja sudah dianggap sebagai kebenaran…

Bahkan terkadang para pengagumnya itu menambah-nambahkan “kesaktian” tokoh itu. Tanpa sadar dia telah menjadi juru bicara yang baik, sekalipun tanpa diminta. Dia mengabdikan dirinya agar sang tokoh lebih dikenal.

Fenomena ini muncul di tengah-tengah komunitas tertentu, oleh banyak sebab. Saya tidak sedang membahas sebab-sebab yang melatarbelakanginya…

Tulisan ini dimaksudkan untuk menggugah kesadaran, bahwa mengagung-agungkan tokoh berlebih-lebihan (taklid), tidak baik. Taklid itu pada dasarnya adalah penguasaan seseorang atas diri seseorang. Pikiran jadi terbelenggu. Maka pikiran dikondisikan seolah kebenaran cuma milik sang tokoh.

Penguasaan akal pikiran atas seseorang, inilah awal dari kejumudan. Dalil-dalil dan konvensi yang ada sudah tidak lagi jadi panutan. Taklid itu sejatinya pembunuh akal sehat.

Ibnul Qayyim al-Jauziyah, adalah murid utama Ibnu Taimiyah. Apa kata beliau tentang Sang Guru itu, dan itu agar beliau terbebas dari taklid terhadapnya?

“Aku mencintai Guruku, Ibnu Taimiyah. Tapi aku lebih mencintai suara kebenaran (al-haq).”

Ibnul Qayyim mampu menjaga jarak subyektivitas pada Sang Guru, yang itu tidak boleh keluar dari pemahaman kebenaran… Karenanya, Ibnul Qayyim mampu keluar dari “bayang-bayang” kebesaran Sang Guru. Dia “berselancar” di samudera ilmu tak bertepi…

Berpuluh karya besar dihasilkannya. Bahasan dari karya-karya yang dihasilkannya itu, hampir tidak bersentuhan dengan karya-karya Sang Guru. Dan, itu mustahil bisa dimiliki murid yang cuma bertaklid pada Sang Guru.

Fenomena memprihatinkan

Ahlus-Sunnah mengenal empat madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Perbedaan yang ada di antara keempat madzhab itu hanya pada masalah-masalah khilafiyah furu’iyah.

Tidak ada satu dari para Imam Madzhab itu yang mengklaim bahwa cuma madzhabnya sajalah yang paling benar. Mereka senantiasa mengajarkan pada murid-muridnya untuk tidak taklid pada madzhab yang dibawanya…

Mereka sepakat mengatakan, apabila ditemukan pendapat dari madzhab lain yang dianggap benar, maka tinggalkanlah pendapatku. Ada semacam pameo di antara mereka, mengagungkan kebenaran ketimbang mempertahankan pendapatnya.

Pada fenomena kekinian, pada masyarakat kita akhir-akhir ini, muncullah sikap yang mempertahankan pendapat madzhabnya pada masalah-masalah khilafiyah berlebihan, dan itu jauh dari keinginan para Imam Pendiri Madzhab.

Perang pendapat yang saling mengecilkan, menafikan, dan menganggap kelompoknya yang bermadzhab tertentu sajalah yang paling benar. Perbedaan khilafiyah yang tidak prinsip dibesar-besarkan melebihi kewajiban adanya persatuan di kalangan umat Islam (ukhuwah Islamiyah)…

Kewajiban diabaikan, dan tidak prinsip berkenaan dengan masalah-masalah khilafiyah, dianggap seolah satu keharusan untuk dipaksakan. Itu tampak dipicu oleh elit masing-masing pihak yang menganggap madzhab yang dianutnya paling baik dan benar…

Mainstream di negeri ini bermadzhab Syafi’i. Tapi, siswa-siswa yang belajar di Timur Tengah khususnya yang menganut madzhab Hanbali, saat balik dari menimba ilmu itu mereka merasa “wajib” menyampaikan apa saja yang dipelajarinya dengan tidak melihat “kebiasaan” yang sudah ada di negeri ini berabad lampau. Di sinilah persoalan “persinggungan” itu dimulai.

Belajar dari toleransi Imam Ahmad 

Persinggungan soal qunut dan tidak qunut dalam shalat Subuh menjadi perdebatan yang tidak produktif, tapi justru menodai marwah madzhab yang ada. Madzhab Syafi’i mensunnahkan adanya qunut pada shalat Subuh, tapi tidak pada madzhab Hanbali.

Maka dalil memakai qunut dan tidak memakainya tidak lagi dipelajari sebagaimana mestinya, dipelajari sebagaimana seharusnya. Karenanya, perbedaan pendapat itu semestinya tidak sampai menjadi saling merendahkan antarpengikut madzhab…

Memakai qunut dan tidak memakainya, itu punya dalilnya masing-masing, dan karenanya tidak disikapi dengan, yang tidak memakai itu lawan dan yang memakai itu kawan, atau sebaliknya…

Bahkan lebih ekstrem lagi, perbedaan khilafiyah ini sampai pada olok-olok menganggap yang satu keluar dari sunnah, sehingga salam pun tidak dijawab, sakit tidak dijenguk, dan bahkan wafat pun enggan untuk menshalatkan.

Hal-hal itu tentu tidak terjadi di masa saat para Imam Madzhab dan murid utamanya itu hidup, khususnya di kehidupan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka berdua saling menghormati pendapat masing-masing dengan hujjahnya, dan karenanya tidak saling merendahkan satu dengan lainnya.

Apa pemicu fenomena munculnya kelompok madzhab yang mengecilkan madzhab lainnya di luar kelompoknya itu? Bisa jadi mereka tidak benar-benar kenal akan madzhab yang dipilihnya, apakah mereka mengenal dengan baik kitab masterpiece karya Imam Syafi’i, al-Umm, bagi mereka yang bermadzhab Syafi’i. Dan apakah mereka mengenal kitab Sunnan Imam Ahmad, dan terutama mengenal sikap keteladanan dan toleransi yang dimiliki Imam Ahmad berkenaan dengan perbedaan khilafiyah?

Jika mengaku bermadzhab tertentu, tapi tidak mengenal kitab-kitab induk dari para Imam Madzhab, dan kitab-kitab rujukan lainnya dari ulama penganut madzhab yang ada dengan baik, maka mustahil kita bisa memahami dengan benar ajaran-ajarannya yang saling menguatkan.

Satu contoh kisah yang patut diteladani… Imam Ahmad berpendapat, bahwa Qabliyah Maghrib (shalat dua rakaat sebelum shalat Maghrib) itu sunnah. Namun pengakuan murid-muridnya mengatakan bahwa tidak sekali pun di antara para muridnya yang pernah melihat Imam Ahmad melakukan Qabliyah Maghrib di masjid…

Dan bertanyalah salah seorang di antara muridnya, mengapa Sang Guru mensunnahkan Qabliyah Maghrib, tapi tidak pernah sekali pun dia melakukannya?…

“Saya tidak ingin karena pendapat saya yang bersifat khilafiyah, nantinya akan menjadi perdebatan, atau bahkan perselisihan di antara umat Islam.”… Saat itu di Baghdad, tempat Imam Ahmad bermukim, mainstream penduduknya menganut madzhab Hanafi, yang tidak mensunnahkan Qabliyah Maghrib.

Begitulah sikap Imam Ahmad yang lebih mengutamakan semangat ukhuwah meski meninggalkan pendapatnya yang bersifat sunnah, yang diperselisihkan kesunnahannya oleh madzhab lainnya. Dalam konteks di atas, dianggap tidak sunnah oleh madzhab Hanafi.

Menekan ego yang diajarkan Imam Ahmad di atas, untuk sebuah kemaslahatan yang lebih besar, mestinya menjadi pijakan kita untuk tidak mempermasalahkan hal-hal yang tidak prinsip dalam beragama. Persatuan umat (ukhuwah) mestinya diposisikan di atas hal-hal yang bersifat khilafiyah furu’iyah.

Siapa bilang Imam Ahmad itu Imam paling puritan di antara Imam lainnya? Imam Ahmad puritan pada hal yang menyangkut akidah, tapi dia Imam paling toleran untuk masalah yang bersifat khilafiyah.

Banyak contoh keteladanan dan sikap toleransi yang diajarkan dan diamalkan oleh Imam Ahmad, sampai pada hal-hal yang kecil. Ada kisah menarik, untuk menyudahi artikel ini… Ada seorang muridnya yang pergi ke Makkah. Sepulangnya sang murid dengan bangga memakai pakaian penduduk Makkah. Imam Ahmad yang melihatnya, memanggilnya, “Apakah kamu berbangga dengan pakaian yang kamu pakai (penduduk Makkah) itu? Cepat tanggalkan pakaianmu, dan ganti dengan pakaian lainnya (pakaian yang biasa dikenakan penduduk Baghdad)!”… Subhanallah.

Oleh: Ady Amar, Pemerhati Sosial Keagamaan

REPUBLIKA