Islam, bukan Kristen Agama Terbesar di Dunia

Jumlah orang Kristen yang mengimani prinsip dasar Kekristenan (Yesus sebagai Tuhan atau Anak Tuhan, Injil kitab Ilahi) terus menurun setiap hari, sementara Islam terus naik

Oleh: Dr. Javed Jamil

JIKA ANDA bertanya kepada siapa pun atau Google agama apa terbesar di dunia? Jawabannya adalah Kristen diikuti oleh Islam.

Tetapi sebenarnya populasi Muslim yang percaya pada dasar-dasar Islam jauh lebih besar daripada populasi orang Kristen yang percaya pada prinsip dasar Kristen. Pew Center menunjukkan 2,2 miliar orang Kristen (32% dari populasi dunia), 1,6 miliar Muslim (23%), 1 miliar orang Hindu (15%), hampir 500 juta orang Buddha (7%) dan 14 juta orang Yahudi (0,2%) di seluruh dunia pada 2010. Jelas, ini adalah angka yang sedikit lebih tua.

Wikipedia memberikan persentase berikut dari agama utama:

Namun sementara jumlah umat Islam yang teguh memegang teguh dasar-dasar agama mereka (Satu Tuhan, Muhammad Nabi Terakhir, Al-Qur’an Kitab Allah, Akhirat) terus bertambah, jumlah orang Kristen yang percaya pada prinsip-prinsip dasar kekristenan terus turun setiap hari.

Menariknya, sementara umat Islam sangat percaya bahwa Yesus lahir sebagai keajaiban ilahi dari Bunda Maria (Maryam, red), sejumlah besar orang Kristen akan menolak atau meragukan hal ini.

Menurut sebuah artikel berjudul “Mayoritas Orang Amerika Menganggap Yesus adalah Guru yang Hebat” (PRNewswire), menulis; “Sebuah survei baru mengungkapkan bahwa 52 persen orang dewasa Amerika percaya bahwa Yesus adalah seorang guru yang hebat dan tidak lebih.” Padahal kekristenan di Amerika lebih kuat daripada di benua Eropa dan Australia.

Sebuah artikel berjudul “Christianity as default is gone’: the rise of a non-Christian Europe” by Harriet Sherwood” (Kekristenan telah hilang’: kebangkitan Eropa non-Kristen) oleh Harriet Sherwood yang diterbitkan di Guardian mengatakan:

“Pawai Eropa menuju masyarakat pasca-Kristen telah diilustrasikan secara gamblang oleh penelitian yang menunjukkan bahwa mayoritas anak muda di belasan negara tidak mengikuti suatu agama. Survei terhadap anak berusia 16 hingga 29 tahun menemukan bahwa Republik Ceko adalah negara paling tidak religius di Eropa, dengan 91% dari kelompok usia tersebut mengatakan bahwa mereka tidak memiliki afiliasi agama. Antara 70% dan 80% dewasa muda di Estonia, Swedia, dan Belanda juga mengkategorikan diri mereka sebagai non-religius.”

Sebuah artikel tentang situasi di Australia berjudul “Kebanyakan anak muda Australia terbuka untuk mengubah pandangan agama mereka” mengatakan:

“Perusahaan riset Australia McCrindle baru-baru ini merilis sebuah penelitian berjudul The Changing Faith Landscape in Australia, yang menunjukkan bahwa 46% orang Australia “diidentifikasi dengan agama Kristen”. Selanjutnya, 13% mendefinisikan diri mereka sebagai orang beriman yang tidak berafiliasi; 33% responden mengatakan mereka ateis atau agnostik; dan 6% menganut agama lain.

Mengenai usia, “orang Australia yang lebih muda cenderung tidak mengidentifikasi diri dengan agama Kristen daripada rekan mereka yang lebih tua”. Hampir tiga perempat (73%) generasi tertua masih menganggap diri mereka Kristen sementara hanya 38% responden Generasi Z yang mengatakan demikian.”

Sebaliknya, umat Islam menunjukkan komitmen yang lebih besar terhadap agama mereka. Bahkan hal ini terus meningkat.

Sebuah artikel tentang Muslim di Amerika, “Non-Belief: An Islamic Perspective – Secularism and Nonreligion” oleh K Sevinç (2018) mengatakan, “Tingkat orang yang berian pada Tuhan adalah 94,5% dan mereka yang mengidentifikasi diri sebagai Muslim adalah 97%”.

Hal yang sama berlaku di seluruh dunia Muslim, di mana mayoritas Muslim (95-99%) dapat dengan mudah ditemukan memiliki keyakinan yang teguh pada Allah, Muhammad dan Al-Quran.

Jika hanya 40-50% (bahkan kurang di banyak bagian termasuk Eropa) dari apa yang disebut dunia Kristen bahkan tidak percaya kepada Yesus seperti yang ditentukan dalam agama Kristen, mengapa jumlahnya masih dihitung di atas 2,3 miliar?

Yang benar adalah bahwa jumlah orang Kristen menurut iman tidak lebih dari 1,3 miliar. Sama sekali tidak ada alasan untuk meragukan bahwa Islam adalah agama terbesar di dunia, dan persentasenya diperkirakan akan terus meningkat setidaknya dalam satu dekade mendatang.

Menurut The New York Times, diperkirakan 25% Muslim Amerika adalah mualaf. Di Inggris, sekitar 6.000 orang masuk Islam per tahun dan, menurut artikel bulan Juni 2000 di Survei Bulanan Muslim Inggris, mayoritas mualaf baru di Inggris adalah wanita.

Menurut The Huffington Post, “pengamat memperkirakan bahwa sebanyak 20.000 orang Amerika masuk Islam setiap tahun.”

Ketika sampai pada alasan mengapa Islam berkembang? Para ahli Barat mencoba menggambarkannya terutama akibat mereka memiliki lebih banyak anak.

Pertama, banyak orang memeluk Islam pasti jauh lebih banyak daripada ke agama lain. Kedua, jika tingkat kesuburan Muslim sedikit lebih tinggi, alasannya sederhana.

  1. Sistem kekeluargaan masih kuat dalam masyarakat Muslim, sedangkan sistem tersebut telah hancur total di dunia Kristen atau Barat.
  2. Muslim jauh lebih kecil kemungkinannya untuk melakukan aborsi daripada yang lain, karena mereka menganggapnya sebagai dosa. Di sisi lain, di Amerika dan Eropa, sebagian besar kehamilan berakhir dengan aborsi yang diinduksi.

Organisasi Hak Asasi Manusia tidak peduli dengan genosida harian yang terjadi di seluruh dunia tanpa henti, mengakibatkan pembunuhan lebih dari 70 juta anak yang belum lahir setiap tahun. Di India,

Umat ​​Islam perlu mengatakan kepada dunia bahwa dukungan terhadap pergaulan bebas, homoseksualitas dan aborsi atas nama “Kebebasan Memilih” tidak lain adalah dukungan untuk membongkar dan menghancurkan umat manusia di muka bumi, baik secara fisik maupun makna moral dan sosialnya.

Jika tren saat ini berlanjut, akan tiba saatnya lebih cepat daripada nanti ketika kelangsungan hidup umat manusia akan berada dalam bahaya. Mereka yang mendukung dan mempraktekkan praktek-praktek ini hampir tidak dapat mengklaim beradab.

Lalu apa lagi yang bisa diharapkan di dunia, yang didominasi oleh apa yang saya sebut “Fundamentalisme Ekonomi” dan di mana kepentingan kehidupan, kesehatan, dan perdamaian hanyalah sekunder dari kepentingan pasar.

Tapi media yang didominasi Barat akan terus memberikan angka yang salah tempat karena ini cocok untuk mereka. Jika mereka menunjukkan ini, itu tidak berarti bahwa mereka memiliki kecintaan terhadap agama Kristen.

Hanya karena mereka berpikir bahwa kekristenan dalam nama dan bukan dalam bentuk spiritual dan moral bukanlah ancaman bagi sistem mereka yang mengkomersialkan semua praktik yang dianggap tidak bermoral oleh sebagian besar agama. Mereka lebih takut pada Islam karena merasa konsep larangan fundamental lebih tegas dalam Islam

Perlu saya tekankan di sini bahwa jika kekristenan kehilangan sinar kemilaunya membuat saya khawatir. Kekristenan perlu serius tentang mengapa ia kalah dari ideologi ateis dunia?

Saya telah berdebat selama beberapa dekade bahwa tantangan bagi agama di dunia saat ini tidak datang dari satu sama lain, tetapi dari kekuatan anti-agama yang mendominasi dunia; dan agama-agama perlu bersatu untuk menghadapi ancaman ini daripada saling berperang.*

Penulis seorang cendiawan berbasis di India dan Ketua Studi & Penelitian Islam, Universitas Yenepoya, Mangalore. Ia menulir buku “A Systematic Study of the Holy Qur’an”, “Economics First or Health First?” , “Justice Prisoned”, Muslim Vision of Secular India: Destination & Road-map”, “Muslim Most Civilized, Yet Not Enough” dan karya lainnya antara lain “The Devil of Economic Fundamentalism” dan “The Killer Sex”, artikel dimuat di laman siasat.com, ini adalah pandangan diungkapkan bersifat pribadi

HIDAYATULLAH

Siapakah Pemegang Kunci Ka’bah?

Kunci Ka’bah disimpan rapi dalam sebuah tas bersulam emas di atasnya tertulis “Allah memerintahkanmu untuk melakukan tugasmu demi orang-orang”

MESKIPUN Masjidil Haram dan Ka’bah kini berada dalam pengawasan pemerintah Arab Saudi, namun tahukah Anda, pemegang kunci Ka’bah adalah Utsman bin Talha, keturunan Suku Al-Syaibah.

Sebelum memeluk Islam, Utsman pernah menolak keinginan Rasulullah ﷺ untuk memasuki Ka’bah. Setelah penaklukan Makkah, Sahabat Ali bin Thalib membawa kunci Ka’bah dari Utsman bin Talha, penjaga Ka’bah.

Begitu itu terjadi, Allah menurunkan surat Al-Quran dan memberi pesan kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk mengembalikan kunci itu kepada pemiliknya yang berhak.

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ”

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.” (Surah An-Nisa 4:58)

Nabi Muhammad kemudian memerintahkan Ali bin Thalib untuk mengembalikan kunci tersebut kepada Utsman bin Talha dan meminta maaf atas kesalahan tersebut.  Sebelumnya, wali aslinya adalah cucu dari Qusai Bib Kilab Bin Murrah.

Sebelumnya, wali aslinya adalah cucu dari Qusai Bin Kilab Bin Murrah. Utsman bin Thalhah heran, bagaimana penakluk Makkah mengembalikan kunci kepadanya padahal ia bukan seorang muslim.

Ali Ibn Thalib kemudian memberitahunya, Allah ingin dia yang menyimpan kunci Ka’bah. Mendengar itu, Utsman bin Thalhah akhirnya memeluk Islam dan hingga kini, dan Bani Syaiba tetap menjadi penjaga kunci Ka’bah.

Oleh karena itu, mereka bertugas menjaga tempat suci, termasuk membuka dan menutup pintu Ka’bah, merawat dan mencuci Kishwah, kain besar yang menutupi Ka’bah.

Menurut Anda seperti apa kunci Kuil itu? Inilah penampakanya.

Gemboknya saja terbuat dari nikel, dilapisi emas 18 karat dengan panjang 35 sentimeter. Kuncinya disimpan dalam tas hijau dengan sulaman emas di atasnya dengan kutipan tertulis di atasnya: “Allah memerintahkanmu untuk melakukan tugasmu demi orang-orang.”* (astro)

HIDAYATULLAH

Orang yang Berbohong ketika Puasa Boleh Makan Minum?

Pertanyaan:

Saya mendengar bahwa orang yang berbohong ketika puasa maka puasanya sia-sia. Lalu apakah orang yang berbohong ketika puasa setelah itu boleh makan dan minum?

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Pertama, berbohong tidak membatalkan puasa. Namun memang berbohong itu bisa membatalkan pahala puasa, sebagaimana maksiat-maksiat lainnya. Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَن لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ والعَمَلَ به والجَهْلَ، فليسَ لِلَّهِ حاجَةٌ أنْ يَدَعَ طَعامَهُ وشَرابَهُ

“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan amalan dusta serta kejahilan (maksiat), maka Allah tidak butuh amalan ia meninggalkan makan atau minum.” (HR. Al-Bukhari no. 6057)

Dalam hadits yang lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

الصِّيَامُ جُنَّةٌ فلا يَرْفُثْ ولَا يَجْهلْ، وإنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ

“Puasa adalah perisai. Maka janganlah berkata buruk dan janganlah berbuat kejahilan (maksiat). Jika ada orang yang memerangimu atau mencelamu maka katakanlah: saya sedang puasa, saya sedang puasa.” (HR. Al-Bukhari no.1894, Muslim no.1151)

Penulis kitab Aunul Ma’bud menjelaskan:

قال بن بطال: لَيْسَ مَعْنَاهُ أَنَّهُ يُؤْمَر بِأَنْ يَدَع صِيَامه وَإِنَّمَا مَعْنَاهُ التَّحْذِير مِنْ قَوْل الزُّور وَمَا ذُكِرَ مَعَهُ … وَقَالَ اِبْن الْمُنِير : بَلْ هُوَ كِنَايَة عَنْ عَدَم الْقَبُول. وَقَالَ اِبْن الْعَرَبِيّ : مُقْتَضَى هَذَا الْحَدِيث أَنْ لا يُثَاب عَلَى صِيَامه 

“Ibnu Bathal mengatakan, “Bukan berarti orang yang berdusta diperintahkan untuk meninggalkan puasanya. Namun maknanya adalah peringatan keras agar tidak berdusta dan tidak melakukan maksiat.” … Ibnul Munir mengatakan, “Perintah dalam hadits ini bermakna kiasan untuk menyatakan tidak diterimanya amalan puasa orang yang demikian.” Ibnul Arabi mengatakan: “Konsekuensi dari hadits ini adalah orang yang demikian tidak mendapatkan pahala puasa”” (Aunul Ma’bud, 6/488 – 489)

Maka orang yang berbohong ketika sedang puasa tidak serta-merta membatalkan puasa, namun pahalanya berkurang atau hangus. Dan andaikan berbohong membatalkan puasa, maka maksiat-maksiat lain juga membuat puasa batal. Karena dalam hadits di atas tidak hanya disebutkan berbohong saja.

Adapun hadits:

خمس تفطر الصائم ، وتنقض الوضوء : الكذب ، والغيبة ، والنميمة ، والنظر بالشهوة ، واليمين الفاجرة

“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Jauraqani di Al-Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al-Maudhu’at (1131). Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al-Maudhu’at (1131) dan juga Al-Albani dalam Silsilah Adh-Dhaifah (1708).

Kedua, orang yang berbohong ketika sedang puasa, tetap wajib melanjutkan puasanya sampai matahari tenggelam. Jika ia berbuka sebelum waktunya maka ia melakukan dosa besar lainnya, setelah dosa berbohong. Sebagaimana hadits dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, 

بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِى رَجُلاَنِ فَأَخَذَا بِضَبْعَىَّ فَأَتَيَا بِى جَبَلاً وَعْرًا فَقَالاَ لِىَ : اصْعَدْ فَقُلْتُ : إِنِّى لاَ أُطِيقُهُ فَقَالاَ : إِنَّا سَنُسَهِّلُهُ لَكَ فَصَعِدْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِى سَوَاءِ الْجَبَلِ إِذَا أَنَا بَأَصْوَاتٍ شَدِيدَةٍ فَقُلْتُ : مَا هَذِهِ الأَصْوَاتُ قَالُوا : هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ ، ثُمَّ انْطُلِقَ بِى فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٌ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا قَالَ قُلْتُ : مَنْ هَؤُلاَءِ قَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ

“Ketika aku sedang tidur, tiba-tiba ada dua laki-laki yang mendatangiku. Keduanya memegangi kedua lenganku, kemudian membawaku ke sebuah gunung terjal. Keduanya berkata kepadaku: “naiklah!”. Aku menjawab: “Aku tidak mampu”. Keduanya berkata, “Kami akan memudahkannya untukmu”. Maka aku naik. Ketika aku berada di tengah gunung itu, tiba-tiba aku mendengar suara-suara yang keras, sehingga aku bertanya: “Suara apa itu?”. Mereka menjawab, “Itu teriakan penduduk neraka”. Kemudian aku dibawa ke tempat lain, tiba-tiba aku melihat sekelompok orang digantung terbalik dengan urat-urat kaki mereka sebagai ikatan. Ujung-ujung mulut mereka sobek dan mengalirkan darah. Aku bertanya, “Mereka itu siapa?” Keduanya menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum waktunya”. (HR. Ibnu Hibban no.7491, dishahihkan Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Shahih Ibnu Hibban)

Hadits ini adalah ancaman keras bagi orang yang berbuka sebelum waktunya. Maka orang yang terlanjur berbohong ketika puasa tidak boleh makan dan minum. Ia tetap wajib melanjutkan puasanya hingga tenggelam matahari. 

Dan wajib baginya untuk bersegera bertaubat kepada Allah atas kebohongan yang ia lakukan. Jika ia bertaubat dengan taubat nasuha, maka insyaAllah pahala puasanya akan kembali. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

التائبُ من الذنبِ كمن لا ذنبَ لهُ

“Orang yang bertaubat dari suatu dosa, maka ia sama dengan orang yang tidak melakukan dosa tersebut.” (HR. Ibnu Majah, no.4250, dihasankan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah)

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/41837-orang-yang-berbohong-ketika-puasa-boleh-makan-minum.html

Hukum Berbuka Puasa Bersama di Masjid

Pertanyaan:

Apa hukum ifthar jama’i (berbuka bersama) di Masjid? Benarkah acara seperti ini termasuk bid’ah? Syukran atas penjelasannya.

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in, amma ba’du.

Pertama, yang dimaksud dengan berbuka bersama yang ada di masyarakat kita adalah adanya sebagian kaum yang memiliki kelebihan harta kemudian bersedekah dari hartanya untuk menyediakan hidangan berbuka puasa kepada orang-orang secara gratis. Inilah shuratul masalah (gambaran masalah) dari pembahasan hukum berbuka puasa bersama. 

Jika demikian, maka apa yang dilakukan oleh para dermawan tersebut sudah sesuai dengan anjuran Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:

من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا

“Orang yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya” (HR. At-Tirmidzi no.807, ia berkata: “hasan shahih”).

Sehingga ini adalah perbuatan yang utama di bulan Ramadhan.

Kedua, dahulu para salaf bersemangat untuk berbagi makanan berbuka dan makan bersama ketika berbuka puasa. Abu as-Sawwar al-Adawiy radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Nabi dari Bani ‘Adi, beliau mengatakan:

كان رجالٌ مِن بني عدي يصلُّون في هذا المسجد، ما أفطر أحدٌ منهم على طعامٍ قطُّ وحده، إن وجد مَن يأكل معه أكل، وإلَّا أخرج طعامه إلى المسجد، فأكله مع النَّاس، وأكل النَّاس معه

“Dahulu para lelaki dari Bani ‘Adi biasa shalat di Masjid ini. Dan tidak ada di antara mereka yang berbuka puasa sendirian sama sekali. Jika mereka dapati ada orang di Masjid, ia akan berbuka puasa bersamanya. Namun jika tidak ada orang di Masjid, ia akan keluar dari Masjid membawa makanan buka puasanya, lalu memakannya bersama orang-orang di luar Masjid. Dan orang-orang pun makan bersamanya” (Al-Karam wal Juud, karya Al-Barjalani hal. 53).

Di antara pelajaran dari kisah ini adalah bahwa para salaf bersungguh-sungguh untuk memberikan makanan berbuka puasa kepada orang lain dan mereka gemar makan bersama-sama, termasuk juga berbuka puasa bersama-sama.

Ketiga, tidak ada masalah pada kegiatan berbuka bersama dengan makna di atas, baik tempatnya di Masjid, atau di rumah, atau di restoran, atau di tempat lainnya. Hukumnya asalnya boleh.

Demikian juga jika beberapa orang ada di suatu tempat tanpa ada janji untuk bertemu sebelumnya dan mereka bersama-sama berbuka puasa di tempat tersebut. Ini pun tidak ada masalah di dalamnya, hukum asalnya boleh.

Yang dilarang oleh sebagian ulama adalah jika acara berbuka puasa bersama dijadikan sebagai ritual ibadah khusus. Bentuknya adalah setiap orang membawa makanan masing-masing atau membeli makanan masing-masing, kemudian membuat janji untuk bertemu di suatu tempat untuk berbuka bersama, kemudian terdapat urutan acara tertentu. Inilah yang diingkari oleh sebagian ulama.

Syaikh DR. Shalih Al-Fauzan ditanya:

نحن شباب مَنَّ الله علينا بصيام يوم وإفطار يوم وإفطارنا يكون جماعياً بدون إلزام لأحد، وطعام الإفطار يكون بالمشاركة لكي نكسب أجر بعضنا، فهل هذا جائز وإن كان لا يجوز فما العلة؟

“Kami para pemuda yang dimudahkan untuk puasa Daud. Terkadang kami berbuka puasa secara bersama-sama tanpa paksaan. Dan makanan berbuka puasa didapatkan dari patungan. Apakah ini diperbolehkan? Jika tidak boleh apa alasannya?”.

Syaikh DR. Shalih Al-Fauzan menjawab:

هذا محدث، هذا محدث، الإفطار الجماعي، والصيام الجماعي، وقيام الليل الجماعي كما يفعله بعض الشُّباب هذا كلّه مُحْدَث، لا أصل له. فكلٌّ يُفطر في مكانه، وفي بيته إلا إذا كان واحد يبذل فطوراً للَّصائمين، تحضر وتُفطِر معهم، مِن مُحسنٍ من المحسنين يعمل إفطار؛ فهذا لا بأس. أمَّا أنَّكم تتعمَّدون الجماعي تعمُّدًا؛ فهذا لا أصل له

“Ini perbuatan baru dalam agama. Ini perbuatan baru dalam agama. Yaitu berbuka puasa bersama, lalu shalat malam bersama, sebagaimana yang dilakukan sebagian pemuda. Ini perbuatan baru dalam agama, tidak ada asalnya. Hendaknya setiap orang berbuka puasa sendiri-sendiri pada tempatnya masing-masing dan di rumahnya. 

Adapun jika ada salah seorang yang menyediakan makanan berbuka untuk orang-orang yang puasa. Mereka diundang lalu disediakan makanan berbuka puasa yang berasal dari donatur, maka ini tidak mengapa. Adapun jika mereka bersengaja membuat janji untuk berbuka puasa bersama-sama maka ini tidak ada asalnya”.

(Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=LjNyHyYxv2Y).

Syaikh DR. Shalih Al-Fauzan juga menjelaskan dalam fatwa yang lain:

هذا شيء لم يعمله السلف، أنهم كانوا يتقصدون الاجتماع على الإفطار في رمضان ولا في غيره.

أما إذا كان الغرض من هذا هو من أجل أن يفطر عنده الفقراء والمحتاجون، يعرضون الإفطار في المسجد من أجل المحتاجين والفقراء؛ فلا بأس. أما إذا كانوا يجتمعون هم وحدهم، ويقولون هذا فيه فضيلة، هذا ليس من عمل السلف. فإذا كانوا معتكفين في المسجد، إذا كانوا معتكفين في المسجد فلا بأس أنهم يجتمعون على الإفطار أو على العشاء، لا بأس

“Berbuka puasa bersama yang seperti itu tidaklah pernah dilakukan oleh para salaf. Yaitu mereka bersengaja untuk berkumpul dalam rangka berbuka bersama di bulan Ramadhan, atau di bulan yang lain. 

Adapun jika tujuannya adalah untuk memberi makanan berbuka untuk orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, kemudian dihidangkan makanan berbuka di Masjid untuk orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, ini tidak mengapa. Adapun jika mereka berkumpul dan berkelompok untuk berbuka puasa, dan mengatakan bahwa perbuatan ini ada keutamaannya, maka ini bukan amalan salafus shalih

Adapun jika mereka sedang i’tikaf di Masjid, lalu berbuka puasa bersama, maka tidak mengapa mereka berkumpul untuk bersama-sama makan malam, tidak mengapa.”

(Sumber: https://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/7548)

Siapa yang mendengar dan membaca fatwa di atas dengan teliti akan mendapati bahwa Syaikh Shalih Al-Fauzan tidak melarang ifthar jama’i (buka puasa bersama) di Masjid jika tujuannya adalah memberi makanan kepada orang-orang yang berpuasa. Namun yang beliau larang adalah jika ifthar jama’i dijadikan sebagai suatu ritual ibadah khusus. 

Demikian juga Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’, mereka membolehkan ifthar jama’i selama tidak dijadikan sebagai ritual ibadah khusus. Mereka ditanya:

سمعت من بعض الإخوة أن الإفطار الجماعي – أكان ذلك في شهر رمضان أو في صيام النافلة – بدعة. فهل هذا صحيح؟

“Saya mendengar dari sebagian ikhwah bahwa ifthar jama’i baik di bulan Ramadhan atau di luar bulan Ramadhan adalah termasuk bid’ah. Apakah benar demikian?”.

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ menjawab:

لا بأس بالإفطار جماعيًا في رمضان وفي غيره، ما لم يعتقد هذا الاجتماع عبادة؛ لقوله تعالى: ﴿لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا﴾ [النور: 61] ، لكن إن خيف بالإفطار جماعيًا في النافلة الرياء والسمعة؛ لتميز الصائمين عن غيرهم كره لهم بذلك.

Ifthar jama’i tidak masalah, baik di bulan Ramadhan ataupun di luar bulan Ramadhan. Selama tidak diyakini bahwa perkumpulan tersebut sebagai suatu ritual ibadah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya) : “Tidak mengapa kalian makan bersama-sama ataupun sendiri-sendiri” (QS. An-Nur: 61). Namun jika dikhawatirkan dengan adanya ifthar jama’i menjadi ajang riya’ dan sum’ah sehingga terbedakan orang yang puasa sunnah dengan yang tidak puasa, maka ini hukumnya makruh”.

(Fatawa Al-Lajnah, edisi ke 2, jilid 9 hal.34-35, no. 15616).

Fatwa Majlis Islami lil Ifta’ di Palestina juga menjelaskan:

يجوز الإفطار  الجماعي بشرط عدم الإختلاط بين الرّجال والنساء الأجنبيات – غير المحارم – فإن كان هنالك اختلاط بين الرّجال والنساء فيحرم المشاركة في مثل هذه الإفطارات

“Dibolehkan ifthar jama’i dengan syarat tidak bercampur-baur antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram. Jika ada campur-baur antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram maka diharamkan untuk ikut serta dalam acara tersebut” (Fatwa Majlis Islami lil Ifta’, no.13461).

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/41888-hukum-berbuka-puasa-bersama-di-masjid.html

Bolehkah Langsung Beranjak setelah Shalat Selesai?

Pertanyaan:

Bolehkah ketika sudah selesai shalat, setelah salam, kita langsung berdiri dan pergi? Tanpa mengamalkan dzikir setelah shalat? Misalnya ketika buru-buru karena ada keperluan. 

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Shalat diakhiri dengan salam. Setelah salam, seseorang dihalalkan untuk melakukan aktivitas-aktivitas lainnya karena shalat telah selesai. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مِفتاحُ الصَّلاةِ: الطُّهورُ، وتحريمُها: التَّكبيرُ، وتحليلُها: التَّسليمُ

“Pembuka shalat adalah thaharah, yang menandai diharamkannya (semua gerakan dan perkataan selain gerakan dan perkataan shalat) shalat adalah takbir, dan yang menghalalkannya adalah salam” (HR. Abu Daud no. 61, At-Tirmidzi no. 3, Ibnu Majah no. 275, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).

Sehingga boleh saja setelah salam ia langsung berdiri, atau membuka handphone, atau berbicara dengan orang di sebelahnya, atau aktivitas-aktivitas lainnya.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan:

فالأولى أن يصبروا حتى ينصرف إليهم، هذا هو الأولى، ولكن لو قاموا قبل ذلك فالظاهر أنه لا حرج

“Yang lebih utama para makmum bersabar (tidak pergi) sampai imam berbalik kepada mereka. Ini yang lebih utama. Namun, jika makmum berdiri sebelum imam berbalik, maka dalam pendapat yang tepat, itu tidak mengapa” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, hal. 937)

Namun tentunya yang lebih utama adalah tidak langsung pergi namun melanjutkan dengan membaca dzikir-dzikir setelah shalat. Dari Tsauban radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، إذَا انْصَرَفَ مِن صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا وَقالَ: اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَامِ

“Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam jika selesai shalat, beliau beristighfar 3x, lalu membaca doa: /Allahumma antas salaam wa minkas salaam tabaarakta yaa dzal jalaali wal ikroom/ (Ya Allah Engkau-lah as-Salam, dan keselamatan hanya dari-Mu, Maha Suci Engkau wahai Dzat yang memiliki semua keagungan dan kemulian)” (HR. Muslim no. 591).

Dan lebih utama untuk tidak beranjak dari tempat ia mengerjakan shalat, untuk berdzikir di tempat tersebut. Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ الَّذِي صَلَّى فِيهِ ، مَا لَمْ يُحْدِثْ ، تَقُولُ : اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ

“Para Malaikat bershalawat kepada salah seorang di antara kalian, selama ia tetap berada di tempat shalatnya dan tidak berhadats. Malaikat berdoa: Ya Allah ampunilah dia, Ya Allah rahmatilah dia” (HR. Al-Bukhari no.445, Muslim no. 649).

Al-Baihaqi rahimahullah membawakan hadits ini dalam bab:

باب الترغيب في مكث المصلي في مصلاه لإطالة ذكر الله تعالى في نفسه

“Bab motivasi bagi orang yang shalat untuk berdiam di tempat shalatnya (setelah shalat) untuk memperbanyak dzikir kepada Allah sendiri-sendiri” (Sunan Al-Kubra, 2/185).

Demikian juga, berdzikir sejenak dan tidak langsung pergi setelah salam, dalam rangka memberi kesempatan bagi para jama’ah wanita untuk keluar masjid terlebih dahulu. Sehingga dapat mengurangi resiko fitnah (godaan) wanita jika jama’ah laki-laki bertemu dengan jama’ah wanita. 

Dalam hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ قَامَ النِّسَاءُ حِينَ يَقْضِي تَسْلِيمَهُ ، وَيَمْكُثُ هُوَ فِي مَقَامِهِ يَسِيرًا قَبْلَ أَنْ يَقُومَ . قَالَ : نَرَى – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ ذَلِكَ كَانَ لِكَيْ يَنْصَرِفَ النِّسَاءُ قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُنَّ أَحَدٌ مِنْ الرِّجَالِ

“Biasanya ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam selesai salam, maka para wanita segera berdiri untuk pergi. Sedangkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berdiam di tempatnya sebentar sebelum berdiri untuk beranjak. Abu Hurairah berkata: Menurut kami -wallahu a’lam- itu dilakukan agar para wanita bisa pergi sebelum salah seorang jama’ah laki-laki melihat mereka” (HR. Al-Bukhari no.875). 

Kesimpulannya, boleh saja seseorang langsung berdiri untuk pergi setelah salam dalam shalat. Namun yang lebih utama adalah berdiam sejenak di tempatnya untuk memperbanyak dzikir setelah shalat.

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/41923-bolehkah-langsung-beranjak-setelah-shalat-selesai.html

Al-Qur’an adalah Sumber Ketenangan Hati

Dalam hidup kita pasti pernah merasakan kegundahan, kegalauan, dan kesedihan. Betapa banyak problematika hidup yang kita lalui terkadang membuat hati kita tidak tenang. Was-was terhadap masa depan, khawatir tentang suatu keadaaan, sedih atas musibah, dan gundah gulana ketika menghadapi masalah. Demikianlah realitas kehidupan, banyak kejadian yang membuat hati kita tidak tenang. Ketahuilah saudaraku, obat dari semua ini ada dalam Al-Qur’an. Ketenangan hati adalah dambaan setiap insan. Allah menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber untuk mendapat ketenangan hati.

Fungsi Allah menurunkan Al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاء لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.“ (QS. Yunus: 57)

Dalam ayat yang mulia ini, setidaknya Allah Ta’ala menyebutkan 4 fungsi Al-Qur’an, yaitu: mau’idzah (nasihat) dari Rabb kita, syifa’ (penyembuh) bagi penyakit hati, huda (sumber petunjuk), dan rahmat bagi orang beriman.

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Di dalam Al-Qur’an terdapat peringatan tentang amalan yang menyebabkan murka Allah dan berdampak mendapat hukuman-Nya. Di dalamnya terdapat peringatan agar kita menjauhinya disertai penjelasan dampak buruk dan kerusakan yang ditimbulkan karenanya.

Al-Qur’an ini merupakan penyembuh bagi penyakit hati, baik berupa penyakit syahwat yang menghalangi manusia untuk tunduk kepada syariat, maupun penyakit syubhat yang mengotori keyakinan akidah.

Di dalam Al-Qur’an juga terdapat nasihat, motivasi, peringatan, janji, dan ancaman yang akan menimbulkan perasaan harap dan sekaligus takut di hati para hamba. Jika muncul dalam perasaannya motivasi untuk beramal kebaikan dan rasa takut untuk berbuat kemaksiatan, perasaan itu akan terus bisa tumbuh tumbuh. Hal ini karena orang tersebut selalu mengulang mengkaji makna Al-Qur’an, sehingga akan mendorong dirinya untuk lebih mendahulukan perintah Allah daripada keinginan nafsunya. Pada akhirnya, dia akan menjadi hamba yang lebih mencari rida Allah daripada nafsu syahwatnya sendiri.

Demikian pula berbagai penjelasan dan dalil yang ada dalam Al-Qur’an telah Allah sebutkan dengan sangat jelas dan gamblang. Hal ini akan menghilangkan setiap syubhat yang menghalangi kebenaran masuk dalam dirinya sehingga hatinya pun berada pada puncak derajat keyakinan dalam menerima kebenaran. Ketika hati itu sehat dan bebas dari penyakit, keadaannya akan diikuti oleh seluruh anggota badannya. Seluruh anggota badan akan jadi baik disebabkan baiknya hati dan akan menjadi rusak disebabkan rusaknya hati.

Al-Qur’an merupakan hidayah dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Yang dimaksud hidayah adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya. Rahmat merupakan dampak dari kebaikan dan kebajikan, dan balasan kebaikan di dunia maupun di akhirat, bagi mereka yang dibimbing olehnya. Hidayah adalah sarana yang paling penting, dan rahmat merupakan tujuan dan keinginan yang paling lengkap. Namun, tidak akan mendapat hidayah dan mendapat rahmat, kecuali orang beriman. Jika telah mendapat hidayah dan terwujud rahmat, maka kebahagiaan dan kemakmuran, keuntungan dan kesuksesan, kegembiraan dan kesenangan akan tercapai. (Taisir Karimi Ar-Rahman)

Al-Qur’an adalah sumber ketenangan hati

Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah, hati menjadi tenteram.“ (QS. Ar-Ra’du: 28)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah, membaca Kitabullah, dan saling mengajarkan satu dan lainnya, melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikeliling para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya.” (HR. Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,

تِلْكَ السَّكِينَةُ تَنَزَّلَتْ بِالْقُرْآنِ

Ketenangan itu datang karena Al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Allah Ta’ala berfirman,

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.“ (QS. Al-Isra’: 82)

Berpaling dari Al-Qur’an adalah sumber kesengsaraan

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.“ (QS. Thaha: 124)

Syekh Abu Bakar Al-Jazaairy rahimahulah menjelasakan, “(Dan barangsiapa berpaling dari mengingat-Ku), yaitu tidak mau beriman dengan Al-Qur’an dan mengamalkannya, maka ia akan memperoleh balasan dari Allah, baginya kehidupan yang sulit, yaitu berupa kesulitan yang menyempitkan jiwanya. Dan dia tidak merasa puas dan bahagia walaupun rezekinya luas. Di alam kubur dia akan merasakan kesempitan. Dan dia sengsara sepanjang hidup di alam barzakh. Dan dia akan dikumpulkan pada hari kiamat dalam keadaan buta. Dia tidak memiliki hujjah dan tidak memiliki penglihatan untuk menuntunnya.” (Aisaru At-Tafasiir)

Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menyebutkan bahwa para ulama ahli tafsir berpendapat  bahwasanya kehidupan yang sempit (مَعِيشَةً ضَنكاً) bagi orang yang berpaling dari Al-Qur’an bersifat umum, mencakup kesempitan kehidupan dunia berupa kekhawatiran, kecemasan, dan rasa sakit yang merupakan siksaan yang dirasakan di dunia, kesempitan di alam barzakh, dan juga kesempitan di alam akhirat. (Taisir Karimi Ar-Rahman)

***

Penulis: Adika Mianoki

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/83971-al-quran-adalah-sumber-ketenangan-hati.html

4 Ulama Membolehkan Mencicipi Masakan Saat Puasa Ramadhan

Dalam Islam, seorang yang berprofesi sebagai koki atau juru masak, maka diperkenankan oleh hukum untuk mencicipi makanan yang dimasaknya. Dalam persoalan ini, terdapat beberapa pendapat ulama yang membolehkan mencicipi masakan saat puasa Ramadhan.

Ulama Membelohkan Mencicipi Masakan Saat Puasa Ramadhan

Pertama, menurut Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa mencicipi makanan atau minuman saat puasa tidak membatalkan puasa, kecuali jika seseorang sampai menelannya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali;

مجرد تذوق الطعام أو الشراب لا يبطل الصوم إلا إذا ابتلعه الصائم

“Mencicipi makanan atau minuman tidak membatalkan puasa, kecuali jika sampai menelannya.” (Ihya Ulumuddin, Jilid 2, halaman 38)

Kedua, menurut Imam Malik bahwa mencicipi makanan atau minuman saat puasa tidak membatalkan puasa, kecuali jika seseorang sampai menelannya dengan sengaja. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Muwatta karya Imam Malik,

“مجرد التذوق للطعام أو الشراب لا يبطل الصوم إلا إذا ابتلعه الصائم بقصد

“Mencicipi makanan atau minuman tidak membatalkan puasa, kecuali jika seseorang sampai menelannya dengan sengaja.” (Al-Muwatta, Jilid 1, halaman 154)

Ketiga, kebolehan mencicipi masakan juga dikatakan oleh Imam Abu Hanifah. Ia berpendapat bahwa mencicipi makanan atau minuman saat puasa tidak membatalkan puasa, asalkan tidak sampai menelannya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mabsut karya Imam Abu Hanifah;

 مجرد التذوق للطعام أو الشراب لا يبطل الصوم إلا إذا ابتلعه الصائم

“Mencicipi makanan atau minuman tidak membatalkan puasa, kecuali jika sampai menelannya.” (Al-Mabsut, Jilid VI, halaman 243)

Keempat, Syekh Abul Hasan, Syarh Shahihil Bukhari, menjelaskan seorang yang berpuasa diperbolehkan oleh hukum untuk mencicipi makanan. Dengan demikian, seorang yang memperbuat itu tidak membatalkan puasa. Berikut penjelasan Syekh Abul Hasan Al-Bakri Al-Qurthubi:

 وَأَمَّا ذَوْقُ الطَّعَامِ لِلصَّائِمِ، فَقَالَ الْكُوْفِيُوْنَ: إِذَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ لَا يُفْطِرُهُ، وَصَوْمُهُ تَامٌ

 Artinya, “Adapun mencicipi makanan bagi orang yang puasa, maka ulama Kufah mengatakan  “jika makanan tersebut tidak sampai masuk tenggorokan  atau tertelan, maka tidak membatalkan, dan puasanya sempurna.

BINCANG SYARIAH

Dalil Membaca Surat Al-Takatsur hingga Al-Nas Saat Tarawih

Berikut ini artikel dalil membaca surat Al-Takatsur hingga Al-Nas saat tarawih.  Pasalnya, di beberapa masjid dan mayoritas musala, imam shalat Tarawih membaca surat Al-Takatsur hingga Al-Nas di setiap rakaat pertama shalat tarawih dan di rakaat keduanya membaca surat al-Ikhlas. 

Fenomena ini sunnah, namun menjadi Khilaful Afdhal bagi mereka yang hafal Al-Qur’an, karena pada dasarnya di Ramadhan ini dianjurkan untuk mengkhatamkan Al-quran. 

Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abi Bakar Syatha menjelaskan;

والحاصل الذي يظهر من كلامهم أن الوارد قراءة القرآن كله بالتجزئة المعلومة، فهو الأولى والأفضل، وأن غير ذلك خلاف الأولى والأفضل، سواء قرأ سورة الإخلاص أو غيرها، في كل الركعات أو في بعضها، الأخير منها أو الأول، وسواء كررها ثلاث أو لا. فما يعتاده أهل مكة من قراءة قل هو الله أحد في الركعات الأخيرة، وقراءة ألهاكم إلى المسد في الركعات الأول، خلاف الأفضل. وكذلك ما يعتاده بعضهم من قراءة جزء كامل في ست عشرة ركعة وتكرير قل هو الله أحد في الباقي. ثم رأيت عبارة بعض المتأخرين ناطقة بما قلناه، ونصها: وفعلها بالقرآن في جميع الشهر بأن يقرأ فيها كل ليلة جزءا أفضل من تكرير سورة الرحمن أو هل أتى على الإنسان أو سورة الإخلاص بعد كل سورة من التكاثر إلى المسد كما اعتاده أهل مصر اه. ومعلوم أن محل ذلك كله إذا كان يحفظ القرآن كله أو يحفظ بعضه. ويقرأ على ترتيب المصحف مع التوالي، فإن لم يحفظ إلا سورة واحدة فقط، الإخلاص أو غيرها، أتى بما حفظه ويبعد في حقه أن يقال أنه خلاف الأفضل والأولى، فتدبر.

“Walhasil dari keterangannya para ulama bisa diambil kesimpulan bahwasanya yang dianjurkan dalam shalat Tarawih adalah membaca Al-quran secara keseluruhan dengan metode Tajzi’ (pembagian bacaan agar bisa khatam) yang sudah jamak diketahui, dan inilah yang lebih utama dan afdol. 

Sehingga yang selainnya itu dihukumi khilaful Aula atau afdol, baik membaca surat al-ikhlas atau yang lainnya di setiap rakaat atau di sebagiannya yang akhir atau yang awal, dan juga dari mengulanginya sejumlah tiga kali atau tidak. Maka yang menjadi tradisi penduduk Mekah, yakni mereka membaca surat al-ikhlas di setiap rakaat yang akhir dan membaca surat At-takasur sampai Al-lahab di rakaat pertama ini dihukumi khilaful afdol. 

Demikian pula yang dilakukan oleh sebagian dari mereka, yang mana mereka membaca satu juz secara sempurna di 16 rakaat dan mengulangi membaca surat al-ikhlas di sisanya salat tarawih. 

Kemudian aku melihat keterangan dari Sebagian ulama mutaakhirin yang mana mereka berpendapat bahwasanya membaca Al-Qur’an setiap juz di keseluruhan bulan Ramadhan ini lebih utama daripada mengulangi membaca surat Ar-rahman, Al-Insan dan surat Al Ikhlas setelah setiap surat dari At-takasur hingga Al-lahab sebagaimana tradisinya penduduk Mesir. 

Hanya saja perlu diketahui bahwasanya yang demikian ini adalah dalam konteks orang yang hafal Al-quran atau sebagiannya, sehingga ia dianjurkan untuk membaca mushaf secara runtut dan sempurna

Adapun jika hanya hafal surat Al-ikhlas saja atau surat yang lainnya, maka ia boleh membacanya sebab tidak hafal Al-Qur’an maka tidak dikenai hukum khilaful afdol atau khilaful aula.” (I’anah al-Thalibin, Juz 1 Halaman 307) 

Fenomena ini disunnahkan agar supaya tidak menyibukkan diri dengan menghitung jumlah rokaat, sebab dengan membaca runtut dari surat Al-Takatsur ini menjadi pertanda atas capaiannya terhadap jumlah rokaat. 

Salah seorang ulama Hanafi, Ibnu Abidin menyatakan;

وَفِي التَّجْنِيسِ: وَاخْتَارَ بَعْضُهُمْ سُورَةَ الْإِخْلَاصِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ، وَبَعْضُهُمْ سُورَةَ الْفِيلِ: أَيْ الْبُدَاءَةَ مِنْهَا ثُمَّ يُعِيدُهَا، وَهَذَا أَحْسَنُ لِئَلَّا يَشْتَغِلَ قَلْبُهُ بِعَدَدِ الرَّكَعَاتِ. قَالَ فِي الْحِلْيَةِ: وَعَلَى هَذَا اسْتَقَرَّ عَمَلُ أَئِمَّةِ أَكْثَرِ الْمَسَاجِدِ فِي دِيَارِنَا إلَّا أَنَّهُمْ يَبْدَءُونَ بِقِرَاءَةِ سُورَةِ التَّكَاثُرِ فِي الْأُولَى وَالْإِخْلَاصِ فِي الثَّانِيَةِ، وَهَكَذَا إلَى أَنْ تَكُونَ قِرَاءَتُهُمْ فِي التَّاسِعَةَ عَشَرَ بِسُورَةِ تَبَّتْ وَفِي الْعِشْرِينَ بِالْإِخْلَاصِ اهـ زَادَ فِي الْبَحْرِ: وَلَيْسَ فِيهِ كَرَاهَةٌ فِي الشَّفْعِ الْأَوَّلِ مِنْ التَّرْوِيحَةِ الْأَخِيرَةِ بِسَبَبِ الْفَصْلِ بِسُورَةٍ وَاحِدَةٍ لِأَنَّهُ خَاصٌّ بِالْفَرَائِضِ كَمَا هُوَ ظَاهِرُ الْخُلَاصَةِ وَغَيْرِهَا. اهـ.  

“Dalam kitab At-tajnis dijelaskan bahwasanya Sebagian ulama itu memilih untuk membaca surat Al-ikhlas atau Al-fil di setiap rakaatnya salat tarawih, yakni mereka membacanya di Rokaat yang pertama dan kedua. Yang demikian ini adalah bagus, karena dengan hal tersebut Ia tidak disibukkan dengan menghitung jumlah rakaatnya. 

Dan dalam kitab Al-hilyah dijelaskan bahwasanya amaliah para imam di banyak masjid itu membaca surat At-takasur hingga Al-lahab di rokaat pertama, kemudian di rakaat yang kedua itu di membaca surat al-ikhlas”. (Hasyiyah Ibnu Abidin, Juz 2 Halaman 47) 

Sehingga tradisi yang berlaku ini tidak bisa dihukumi Khilaful Aula atau Khilaful Afdhal, sebab kebanyakan Imam Musholla ini tidak hafal Al-Quran. Adapun tradisi Membaca surat  Al-A’la dan Al-Kafirun di Sholat Witir yang pertama, dan membaca Al-Ikhlas, Al-Falaq dan Al-Nas pada saat sholat witir yang terakhir. 

Ini juga merupakan sebuah kesunnahan yang dianjurkan, sebagaimana dalam hadis riwayat Imam Nasa’i dan Ibnu Majah  disebutkan: 

رواه النسائي وابن ماجة: سُئِلَتْ ‏عَائِشَةُ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ ‏ ‏بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ يُوتِرُ رَسُولُ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏قَالَتْ كَانَ ‏ ‏يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى ‏ ‏بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى ‏ ‏وَفِي الثَّانِيَةَ ‏ ‏بِقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ‏ ‏وَفِي الثَّالِثَةِ ‏ ‏بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ‏ ‏وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ.

“Sayyidah Aisyah pernah ditanyai, “Apa yang dibaca Rasulullah ketika witir?” Beliau menjawab “Rasulullah SAW membaca surat sabbihisma rabikal a’la  di rakaat pertama, dan membaca Al-Kafirun di rakaat kedua. Sedang di rakaat ketiga, beliau membaca surat Al-Ikhlas dan Mu’awidzatain” (I’anah al-Thalibin, Juz 1 Halaman 290)

Dengan demikian, tradisi yang sudah mengakar di masyarakat Islam Nusantara ini memiliki landasan yang kuat. Sehingga jangan diingkari apalagi ditentang, semoga bermanfaat. 

Demikian penjelasan dalil membaca Surat Al-Takatsur hingga Al-Nas saat Tarawih. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Editor: Zainuddin Lubis

BINCANG SYARIAH

Meningkatkan Kualitas Puasa

BAGI setiap orang beriman, bulan Ramadhan adalah ibarat tamu agung yang harus disambut dengan persiapan yang matang dan penuh rasa senang. Mengapa demikian?

Karena bulan Ramadhan memiliki keistimewaan dan keutamaan yang tidak terdapat pada bulan-bulan lain. Rasulullah SAW saat memberi kabar gembira kepada para sahabatnya tentang kedatangan bulan Ramadhan, bersabda: “Telah datang pada kalian bulan Ramadhan. Bulan yang diberkahi. Allah telah mewajibkan atas kalian berpuasa di dalamnya. Pada bulan itu pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang tidak memperoleh kebaikannya, maka ia tidak memperoleh apa-apa.” (HR Ahmad dan Nasa’i)

Rasulullah SAW menggambarkan Ramadhan sebagai bulan yang penuh berkah dan maghfirah (ampun¬an dari Allah) masa turunnya rahmat Allah secara melimpah, sekaligus ladang perlombaan untuk berbuat baik bagi setiap orang yang beriman. Karena itulah, maka sepatutnya kaum mukmin bergembira dan menyiapkan diri sebai-baiknya untuk menyambut bulan rahmat tersebut.

Pahala puasa yang tanpa batas

Ibadah paling utama pada bulan Ramadhan adalah puasa. Dibanding ibadah-ibadah utama lainnya, seperti shalat, zakat, dan haji, ibadah puasa terbilang unik karena tidak terlihat secara lahir. Puasa adalah ibadah yang sangat pribadi. Hanya Muslim yang melaksanakannya dan Allah saja yang tahu seperti apakah puasanya itu. Karena itu, pahala ibadah puasa ini diistimewakan Allah SWT.

Hadis-hadis yang menyebut keistimewaan pahala puasa antara lain adalah sabda Rasulullah SAW: “Allah berfirman: ‘Setiap amal manusia adalah untuknya, kecuali puasa. Puasa tersebut adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya…” (Mutaffaq ‘Alaih).

Rasulullah SAW juga bersabda: “Semua amalan Bani Adam (manusia) akan dilipatgandakan. Satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipatnya. Namun Allah berfirman: ‘Kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya,..” (HR Muslim).

Mengenai keutamaan ibadah puasa, Nabi SAW ber¬sabda: “Siapa yang berpuasa Ramadhan dengan didasari keimanan dan hanya mengharap pahala dan ridha Allah semata (ihtisab), maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Tidak hanya itu, puasa juga akan memberi syafaat (pertolongan) pada hari kiamat kelak kepada orang yang berpuasa. Rasulullah SAW bersabda: “Puasa dan al-Qur’an akan memberi syafaat kepada hamba pada hari kiamat. Puasa berkata: ‘Wahai Tuhanku, aku telah menghalanginya makan, minum dan syahwatnya pada siang hari, maka perkenankanlah aku memberi syafaat baginya.’ Sementara al-Qur’an berkata : ‘Aku telah menghalanginya tidur pada malam hari, maka perkenankanlah aku memberi syafaat untuknya.” (HR Ahmad).

Dengan segala keistimewaan dan keutaan seperti yang diutarakan di atas, lantas bagaimanakan puasa ideal yang dapat mengantarkan orang yang berpuasa kepadanya? Dalam Ihya ‘Ulum ad-Din, Hujjatul Islam al-Ghazali membagi orang yang berpuasa menjadi tiga kelompok dengan tingkatannya masing-masing, yaitu puasa awam (shaum al-‘awam), puasa orang istimewa (shaum al-khawash) dan puasa orang yang sangat istimewa (shaum khawash al-khawash).

Puasanya awam (shaum al-‘awam)

Menurut al-Ghazali, puasa awam adalah tingakatan puasa yang paling rendah. Pasalnya, dalam puasanya tersebut seorang Muslim hanya menahan dirinya dari makan, minum, dan berhubungan suami-istri. Namun di luar itu, sikap, tingkah laku, perbuatan, perkataan dan gerak gerik yang dilakukannya selama berpuasa masih belum dipuasakannya. Dia berpuasa, tapi tidak mampu menjaga lisannya untuk tidak berbohong, menipu, menggunjing, mengumpat atau membicarakan aib orang lain. Dia pun tidak mampu menjaga matanya untuk tidak melihat apa yang dilarang Allah SWT. Dia berpuasa, tapi masih mencuri (korupsi) dan melakukan tindakan keji lainnya.

Singkatnya, seorang Muslim berpuasa, namun dia tidak mampu menjaga anggota badannya untuk tidak melakukan hal-hal yang sia-sia dan bermaksiat kepada Allah SWT. Padahal, di antara adab puasa ialah menahan pandangan dari yang haram, dan menjaga lisan dari menggangu orang lain berupa perkataan yang haram, makruh, atau perkataan yang tidak berguna, serta men¬jaga seluruh anggota badannya dari perbuatan dosa.

Puasa orang istimewa (shaum al-khawash)

Puasa orang istimewa adalah tingkatan puasa yang lebih tinggi dari puasa awam. Sebab, pelakunya tidak hanya menahan diri dari makan, minum dan syahwat, melainkan juga memelihara seluruh panca indra dan anggota tubuhnya dari perbuatan maksiat dan dosa (kaffu al-jawarih ‘an al-atsam). Mereka mampu mempuasakan mata, telinga, tangan, kaki, hidung dan indera yang lain dari larangan Allah. Mereka juga berusaha untuk tidak berkata bohong, menggunjing, ghibah, dan perbuatan lain¬nya, yang dapat mengurangi nilai puasa mereka.

Puasa tingakatan ini juga disebut puasanya orang-orang shalih (shaum ash-shalihin). Menurut al-Ghazali, puasa tingkatan ini tidak akan dicapai secara sempurna kecuali setelah melewati enam perkara sebagai prasayaratnya. Pertama, menahan pandangan dari segala hal yang dicela dan dimakruhkan. Kedua, menjaga lidah dari perkataan yang sia-sia, berdusta, mengumpat, berkata keji, dan mengharuskan berdiam diri, menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah serta membaca al-Qur’an. Ketiga, menjaga pendengaran dari kata-kata yang tidak baik. Keempat, mencegah anggota tubuh yang lain dari perbuatan dosa. Kelima, tidak berlebih-lebihan dalam berbuka, hingga perutnya kekenyangan. Keenam, hatinya senantiasa diliputi rasa cemas (khauf) dan harap (raja) karena tidak diketahui apakah puasanya itu diterima atau tidak oleh Allah SWT.

Puasa orang yang sangat istimewa (shaum khawash al-khawash)

Tingkatan tertinggi adalah puasanya orang yang sangat istimewa (shaum khawash al-khawash) yaitu, mereka yang selain berhasil mencapai tingkat kedua, juga mampu memuasakan hatinya dari segala keinginan yang hina dan segala pikiran duniawi, serta mencegah secara total dari memikirkan sesuatu selain Allah SWT (shaum al-qalbi ‘an al-himam al-duniyah wa al-afkar al-dun¬yawiyah wakaffahu ‘amma siwa Allah bi al-kulliyyah). Menurut al-Ghazali, tingkatan puasa yang ketiga ini adalah tingkatan puasa para Nabi, Shiddiqqin, dan Muqarrabin.

Orang-orang yang telah mencapai level ini adalah mereka yang senantiasa merasa diawasi Allah. Mereka telah mencapai derajat al-ihsan, karena beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah atau merasa diawasi Allah. Dengan begitu, mereka pun terjaga dari maksiat, dosa dan perkara-perkara yang dimurkai Allah, sekecil apapun itu.

Mari mengevaluasi puasa kita

Berdasarkan penjelasan tiga tingkatan puasa di atas, semestinya kita mengevaluasi kualitas ibadah puasa yang selama ini kita jalankan. Memang benar, dengan mencapai tingkat pertama, puasa kita telah sah secara fiqih dan gugurlah kewajiban berpuasa kita. Namun, kita masih terancam dengan hadis Nabi SAW: “Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR Ahmad).

Siapakah mereka yang dengan berpuasa hanya men¬¬dapat¬kan rasa haus dan dahaga? Hadis lain men¬jelas¬kan: “Siapa yang berpuasa tapi tidak meninggalkan per¬kataan dusta tapi malah melakukannya, maka Allah tidak memandang perlu ia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR Bukhari).

Juga Sabda Rasulullah SAW: “Lima perkara yang menggugurkan puasa adalah perkataan dusta, ghibah, mengadu domba, melihat dengan syahwat, dan persaksian palsu.” (HR ad-Dailami).

Mengenai hukum orang yang berpuasa tapi tidak mampu menjaga dirinya dari dusta dan perbuatan yang dilarang Allah lainnya, seperti yang diterangkan dalam hadis di atas, para ulama memandang hal tersebut meruasak nilai puasa tapi tidak membatalkannya. Ibnu Hajar al-`Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan, “Mayoritas ulama membawa makna larangan ini pada pengharaman, sedangkan batalnya puasa hanya dikhususkan dengan makan, minum dan jima’ (hubungan suami istri).”

Mula ‘Ali al-Qari menyatakan dalam Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, “Orang yang berpuasa seperti ini sama keadaannya dengan orang yang berhaji, yaitu pahala pokoknya (ashlu) tidak batal, tapi kesempurnaan pahala tidak dia peroleh. Orang semacam ini akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang dia lakukan.” Jadi, puasanya tetap sah, namun dia tidak mendapatkan ganjaran yang sempurna di sisi Allah.

Alhasil, bila puasa kita masih berada pada tingkatan pertama, maka kita harus berusaha lebih keras lagi untuk meningkatkan kualitas puasa yang kita lakukan, sehingga dapat naik ke tingkatan kedua.

Selanjutnya kita berusaha dan berdoa lagi supaya mencapai tingkatan ketiga. Dengan demikian, dengan izin Allah, kita mampu untuk merasakan manisnya iman dan Islam dari ibadah yang kita lakukan. Semoga ibadah puasa yang kita lakukan mampu menaikkan derajat kita menjadi orang yang bertakwa (muttaqin) dan karenanya kita memperoleh pahala yang besar, keridhaan, ampunan, dan rahmat dari Allah SWT. Amin. Wallahu a’lam bish shawwab.*

Oleh Asep Setiawan el-Banjary
Mahasiswa Pascasarjana ISID Gontor

HIDAYATULLAH

Puasa dan Fitrah Manusia

Puasa bukan sekedar riyadhah (latihan), akan tetapi jihad (perang), perang melakukan pembebasan jiwa dengan cara mengendalikan anggota tubuh manusia

Oleh: Dr. Kholili Hasib

SEGALA jenis peribadatan (ubudiyah) sejatinya tidak lain bentuk khidmah seorang hamba (‘abd) kepada Allah Swt.

Manusia dalam pandangan agama Islam disebut ‘abd (hamba), yaitu istilah yang menunjukkan statusnya, keharusan tunduk kepada Tuhan. Karena Allah Swt adalah Tuhan Pemilik apa yang ada di alam. 

Termasuk ‘abd itu adalah milik Tuhan. Maka, kewajiban-kewajiban yang ditunaikan oleh ‘abd adalah khidmat. Sebagaimana seorang budak/hamba sahaya yang berkewajiban melayani tuannya.

Oleh sebab itu, seorang ‘abd harus menyadari sepenuhnya tentang status dirinya ini.  Seorang ‘abd tidak memiliki sifat-sifat ketuhanan.

Tetapi memiliki pertalian dengan sifat ketuhanan. Salah satu syarat seorang ‘abd untuk memiliki kesadaran yang sempurna adalah ia harus bersifat shidiq  (sungguh-sungguh).

Shidiq  itu tidak ada syak dan rayb (keraguan) dalam melaksanakan khidmat. Pengkhidmatan kepada Allah Swt hamba yang shidiq  tidak dipengaruhi oleh manusia lain atau alam.

Maka, ia tidak peduli celaan dan pujian manusia. Tidak terpikat oleh keindahan dunia. Hidup semata-mata berkhidmat.

Tetapi godaan paling sulit dalam berkhidmat secara shiddiq itu berasal dari jiwa manusia itu sendiri. Biang semua jenis kerusakan manusia itu tidak lain adalah hawa nafsu.

Syahwat sesungguhnya salah satu sifat basyariyah manusia. Justru syahwat diperlukan oleh manusia.

Syahwat  tidaklah dicela oleh agama, tetapi yang tercela adalah syahwat berlebihan melampaui batas. Syahwat yang melampaui batas itu oleh Imam al-Ghazali disebut hawa.

Secara umum, dalam diri manusia terdapat dua sifat yang menjadi quwwah (potensi) jiwa. Pertama, potensi natiqah (berakal) dan kedua, potensi hewani. Dua potensi ini selalu bersaing untuk saling menguasai. Syahwat dinamakan hawa ketika potensi hewani berhasil menguasai potensi natiqah-nya.

Kesenangan (sa’adah) potensi hewani adalah makan, minum, istirahat, dan seks. Maka, ada syahwat makan, syahwat minum dan syahwat seks.

Kesesangan dan syahwat ini merupakan sifat basyariyah  manusia. Maka, agar kesenangan itu tidak menjadi hawa, maka syahwat itu harus dikendalikan.

Pengkhidmatan secara shiddiq memiliki pertalian erat dengan pengendalian potensi natiqah atas potensi hewani. Semua bentuk khidmat  – yang dilakukan secara shiddiq – tidak lain agar potensi ini senantiasa di bawah kendali potensi natiqah.

Semua ubudiyah seorang ‘abd dilakukan secara ikhlas apabila syahwat itu dalam kendali penuh potensi natiqah. Akan tetapi, pengendalian potensi natiqah atas potensi hewani itu memerlukan latihan, istilahnya riyadhatu an-nafs (oleh jiwa).

Salah satu jenis ibadah yang cukup lengkap mendidik jiwa dengan riyadhah, melatih syahwatnya adalah ibadah puasa. Secara bahasa, shoum (puasa) bermakna kaffu (menahan).

Secara istilah ibadah puasa itu mengandung fungsi yang strategis bagi jiwa. Kaffu itu berarti memiliki fungsi pengendalian atau pembebasan.

Jiwa yang baik adalah jiwa yang telah menjalani pembebasan dari sifat-sifat buruk hewani.  Imam al-Ghazali menjelaskan filosofi hakikat puasa, yaitu menahan perut, kelamin, mulut, telinga, tangan, mata, kali dan seluruh anggota tubuh.

Jadi bukan hanya menahan perut dan kelamin saja. Semua anggota tubuh dibebaskan dari hawa yang dikendalikan oleh potensi hewani itu dengan cara puasa.

Maka, kita harus memahami bahwa puasa bukan sekedar riyadhah (latihan), akan tetapi jihad (perang). Peperangan untuk melakukan pembebasan jiwa dengan cara mengendalikan anggota tubuh manusia. Maka, disinilah ada pertalian erat antara dzahir dan batin manusia.

Batin manusia (yaitu jiwa) dapat dibebaskan setelah dzahir manusia itu dikendalikan dengan baik. Ketika dzahir manusia di bawah kendali potensi natiqah maka batin manusia akan menjadi batin yang merdeka (bebas).

Dengan pemahaman ini, maka sejatinya orang beriman itu sejatinya orang yang bebas. Bukan orang yang terkekang atau terpenjara.

Sebaliknya orang kafir atau ahli maksiat sejatinya orang yang terpenjara, terkekang, dan tidak merdeka. Khidmat dengan bentuk-bentuk ubudiyah adalah kegiatan pembebasan. Bukan aktifitas yang terpenjara.

Maksiat dan inkar kepada hukum Tuhan justru merupakan kegiatan yang tidak bebas menjadikan jiwanya dipenjara.

Bagi orang kafir atau ahli maksiat, pengkhidmatan seorang ‘abd adalah kegiatan yang tidak bebas. Logika ini justru sesat.

Karena, pengkhidmatan itu bebas dari pengaruh kekuatan hawa nafsu.Sedangkan kekufuran dan kemaksiatan itu sedang dalam dekapan hawa nafsu.

Dalam kekufuran jiwa manusia dilarang-larang untuk tidak beribadah, dilarang untuk berakhlak mulya. Jadi dalam kekufuran banyak sekali larangan-larangan. Ironinya, larangan-larangan itu menyeret manusia menjadi berjiwa hewan.

Supaya manusia itu tidak berjiwa hewan, maka ia harus berjihad dan berriyadhah. Puasa ini membunuh sifat-sifat liar hewani penuh hawa, mencabut sifat-sifat buruk manusia agar jiwanya sadar hakikat dirinya yang suci yang pernah berjanji di “alam alastu” untuk beriman kepada Allah Swt.

Sebagaimana firman Allah Swt:

وَ اِذۡ اَخَذَ رَبُّكَ مِنۡۢ بَنِىۡۤ اٰدَمَ مِنۡ ظُهُوۡرِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَ اَشۡهَدَهُمۡ عَلٰٓى اَنۡفُسِهِمۡ‌ ۚ اَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡ‌ ؕ قَالُوۡا بَلٰى‌ ۛۚ شَهِدۡنَا ‌ۛۚ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا يَوۡمَ الۡقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنۡ هٰذَا غٰفِلِيۡنَ

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (QS: Al-A’raf: 172).

Puasa bisa bermakna melatih hamba untuk menjadi yang fitri, yaitu jiwa yang mentaati undang-undang Allah Swt sesuai dengan tujuan dasar penciptaan manusia di muka bumi. Fitrah manusia bermakna sifat yang merujuk kepada perilaku yang bersesuaian dengan tujuan penciptaan.

Jiwa dan pikiran yang Islami -yaitu yang bersih- selalu patuh dan tunduk kepada syariat Allah Swt, beradab, bermoral dan terbebas dari kekuasaan nafsu untuk membenci agama. Jiwa dan pikiran yang patuh kepada-Nya terisi nilai-nilai suci, tiada nilai lain kecuali nilai Islam dan kebenaran.

Jika seorang ‘abd percaya bahwa Allah Swt itu wujud, maka sangat mungkin ia percaya bahwa di sana ada arti dan tujuan hidup. Jika ia konsisten, ia akan percaya bahwa sumber nilai moral bukanlah berdasarkan kesepakatan manusia tapi merujuk kepada kehendak Allah Swt dan Allah merupakan nilai tertinggi.

Karena itu, ia menjadi orang yang bertakwa dengan sebenarnya. Dalam al-Qur’an, manusia bertakwa itu manusia yang paling mulia (QS. 49:13).  Jadi, orang bertakwa itu adalah orang mukmin yang kondisi pikiran dan jiwanya merasakan kehadiran Allah Swt di mana saja ia berada. Wallahu a’lam bisshowab.*

Penulis adalah dosen UII Dalwa

HIDAYATULLAH