Saat Merasa Banyak Dosa, Bacalah Istighfar Sahabat Umar Ini

Ada banyak manfaat membaca bacaan istigfar atau meminta ampun kepada Allah. Bahkan Nabi Saw meskipun dosa-dosanya sudah diampuni oleh Allah, masih senantiasa mengulang bacaan istighfar. Setiap hari beliau tak pernah melewatkan membaca istighfar, dan menganjurkan kepada umatnya untuk senantiasa membacanya setiap hari. Begitu juga dengan para sahabatnya, mereka senantiasa memperbanyak membaca istighfar. Bahkan di antara mereka ada yang memiliki redaksi atau bacaan istighfar sendiri. Misalnya, istighfar sahabat Umar bin Al-Khaththab.

Sahabat Umar memiliki bacaan istighfar sebagai berikut;

اَللَّهُمَّ اَسْتَغْفِرُكَ لِذَنْبِيْ وَاَسْتَهْدِيْكَ لِمَرَاشِدِ أَمْرِيْ وَاَتُوْبُ اِلَيْكَ فَتُبْ عَلَيَّ اِنَّكَ اَنْتَ رَبِّيْ

Allohumma astagfiruka lidzanbii wa astahdiika limaroosyidi amrii wa atuubu ilaika fatub ‘alayya innaka anta robbii.

Ya Allah, aku memohon ampu kepada-Mu atas dosaku, aku memohon petunjuk kepada-Mu pada kebenaran-kebenaran urusanku, dan aku bertaubat kepada-Mu, maka terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau adalah Tuhanku.

Doa istighfar sahabat Umar ini terdapat dalam kitab Al-Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah sebagai berikut;

عن الركين عن ابيه عن عمر انه قال: اَللَّهُمَّ اَسْتَغْفِرُكَ لِذَنْبِيْ وَاَسْتَهْدِيْكَ لِمَرَاشِدِ أَمْرِيْ وَاَتُوْبُ اِلَيْكَ فَتُبْ عَلَيَّ اِنَّكَ اَنْتَ رَبِّيْ

Dari Rakin, dari bapaknya, dari Umar, bahwa beliau berucap: Allohumma astagfiruka lidzanbii wa astahdiika limaroosyidi amrii wa atuubu ilaika fatub ‘alayya innaka anta robbii (Ya Allah, aku memohon ampu kepada-Mu atas dosaku, aku memohon petunjuk kepada-Mu pada kebenaran-kebenaran urusanku, dan aku bertaubat kepada-Mu, maka terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau adalah Tuhanku).

BINCANG SYARIAH

Hukum Sprei Berbahan Sutra

Bagaimana hukum lelaki tidur di sprei yang berbahan sutera campuran. Karena istrinya baru beli sprei yang ada campuran sutra?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Terdapat hadis dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

نَهَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لُبْسِ الْحَرِيرِ وَالدِّيبَاجِ وَأَنْ نَجْلِسَ عَلَيْهِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk memakai sutera atau duduk di atas kain sutera. (HR. Bukhari 5837)

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,

قوله ” وَأَنْ نَجْلِسَ عَلَيْهِ” وهي حجة قوية لمن قال بمنع الجلوس على الحرير وهو قول الجمهور

Keterangan Hudzaifah, “Kita dilarang duduk di atas sutera” merupakan dalil yang sangat kuat bagi pendapat yang melarang duduk di atas sutera. Dan ini merupakan pendapat jumhur ulama.

Kemudian al-Hafidz membawakan keterangan riwayat yang lain,

وقد أخرج بن وهب في جامعه من حديث سعد بن أبي وقاص قال لأن أقعد على جمر الغضا أحب إلي من أن أقعد على مجلس من حرير

Dan diriwayatkan oleh Ibnu Wahb dalam Kitab Jami’nya dari hadis Sa’d bin Abi Waqqash, bahwa beliau mengatakan, “Duduk di atas bara api, lebih aku sukai dari pada duduk di atas majlis dari sutera.” (Fathul Bari, 10/292).

Bahkan an-Nawawi menegaskan bahwa lelaki tidak boleh menggunakan kain sutera untuk pemanfaatan apapun. Dalam al-Majmu, beliau mengatakan,

يحرم على الرجل استعمال الديباج والحرير في اللبس والجلوس عليه والاستناد إليه والتغطي به واتخاذه سترا وسائر وجوه استعماله ولا خلاف في شئ من هذا إلا وجها منكرا

Haram bagi lelaki untuk menggunakan sutera, baik digunakan sebagai baju, atau duduk di atasnya atau bersandar dengan sutera atau berselimut dengan sutera atau menggunakannya untuk penutup muka atau penggunaan lainnya. Dan tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini, selain salah satu pendapat yang mungkar dalam madzhab Syafi’iyah. (al-Majmu’, 4/435)

Termasuk di antaranya adalah larangan tidur di atas sutera.
Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,

اتفق الفقهاء على جواز افتراش النساء للحرير. أما بالنسبة للرجال فذهب جمهور المالكية والشافعية والحنابلة إلى تحريمه

Ulama sepakat, wanita dibolehkan untuk tidur di atas sutera. Sementara untuk lelaki, menurut jumhur ulama – Malikiyah, Syafiiyah, dan Hambali berpendapat hukumnya haram. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 5/278)

Berdasarkan keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa penggunaan sutera bagi lelaki untuk tujuan apapun, hukumnya terlarang.

Bagaimana Jika Campuran?

Jika kain yang dijadikan seprei bahannya ada campuran sutera. Bagaimana hukumnya?
Terdapat hadis yang menegaskan bolehnya menggunakan kain sutera sebagai campuran, namun tidak lebih dari luas 4 jari.

Dari Abu Utsman an-Nahdi, beliau mengatakan,
Datang sepucuk surat dari Umar, dan ketika itu kami bersama Uthbah bin Farqad di Azerbaijan. Isi suratnya,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الحَرِيرِ إِلَّا هَكَذَا ، وَأَشَارَ بِإِصْبَعَيْهِ اللَّتَيْنِ تَلِيَانِ الإِبْهَامَ

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menggunakan sutera, kecuali hanya sekian. Beliau berisyarat dengan dua jari setelah jempol.

Abu Utsman berkomentar,

فِيمَا عَلِمْنَا أَنَّهُ يَعْنِي الأَعْلاَمَ

Yang kami pahami, yang beliau maksudkan adalah fungsi campuran sutera itu hanya untuk corak kain. (HR. Bukhari 5828 & Muslim 2069)

Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan,

الْأَعْلَامُ : هُوَ مَا يَكُونُ فِي الثِّيَابِ مِنْ تَطْرِيفٍ وَتَطْرِيزٍ وَنَحْوِهِمَا

Corak kain (al-A’lam) adalah hiasan yang menempel di kain, seperti bordiran. (Fathul Bari, 10/286).

Sementara itu, disebutkan dalam riwayat lain, bahwa Umar pernah berkhutbah,

نَهَى نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لُبْسِ الْحَرِيرِ إِلَّا مَوْضِعَ إِصْبَعَيْن ، أَوْ ثَلَاثٍ ، أَوْ أَرْبَعٍ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengenakan sutera kecuali untuk luas 2 jari, 3 jari, atau 4 jari. (HR. Muslim 2069).

Demikian.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

KONSULTASI SYARIAH

Serial Kutipan Hadits: Sesama Muslim itu Bersaudara

Sekarang sedang marak gerakan sedekah subuh. Bentuknya adalah seseorang menyerahkan sedekah saat hendak shalat subuh. Bisa tepat di waktu adzan memasukkan uang ke kotak infak di rumah atau saat ke masjid ketika shalat subuh. Apakah ini dibenarkan?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Bersedekah termasuk amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut sedekah sebagai burhan (bukti). Karena sedekah merupakan bukti iman seseorang terhadap adanya hari kiamat. Dalam hadis dari Abu Malik al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالصَّلاَةُ نُورٌ وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ

Shalat adalah cahaya, sedekah itu burhan, dan sabar itu sinar. (HR. Muslim 556 & Ahmad 22902)

Dalil-dalil tentang sedekah yang kami ketahui, berisi motivasi untuk bersedekah, dan itu bersifat umum, artinya tidak menyebutkan waktu khusus untuk bersedekah.

Bagaimana dengan sedekah subuh?

Kami tidak menjumpai satupun dalil dalam al-Quran maupun hadis yang menyebutkan istilah ‘sedekah subuh’. Lalu apakah ada anjuran untuk bersedekah di waktu subuh?

Terdapat sebuah hadis yang menganjurkan untuk bersegera dalam bersedekah.

Hadisnya menyatakan,

بَاكِرُوا بِالصَّدَقَةِ، فَإِنَّ الْبَلَاءَ لَا يَتَخَطَّى الصَّدَقَةَ

“Segeralah untuk bersedekah sepagi mungkin, karena bencana tidak bisa melangkahi sedekah.”

Hadis ini secara makna menunjukkan anjuran untuk mensegerakan sedekah. Bisa juga dipahami sebagai anjuran untuk bersedekah sepagi mungkin. Hanya saja, hadis ini statusnya sangat lemah.

Hadis ini diriwayatkan at-Thabrani dalam Mu’jam al-Ausath dan statusnya dhaif jiddan (lemah sekali). Ada perawi yang bernama Sulaiman bin Amr an-Nakha’i dan dia pemalsu hadis. (al-Maudhu’at, 2/153).

Kemudian ada hadis shahih yang semakna, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا ، وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

Setiap datang waktu pagi yang dialami para hamba, ada 2 malaikat yang turun, yang satu berdoa: “Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Sementara yang satunya berdoa, “Ya Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang kikir.” (HR. Bukhari 1442 & Muslim 2383).

Hanya saja hadis ini tidak menunjukkan anjuran untuk mengkhususkan sedekah di waktu subuh. Hadis ini hanya menyebutkan bahwa ada 2 malaikat yang berdoa di waktu pagi, bagi orang yang bersedekah di hari itu. Sehingga tidak hanya berlaku bagi orang yang sedekah di waktu subuh.

Dan terdapat riwayat yang lain bahwa ada 2 malaikat yang berdoa dengan kalimat yang sama saat matahari terbenam. Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَا آبَتْ شَمْسٌ قَطُّ إِلَّا بُعِثَ بِجَنْبَتَيْهَا مَلَكَانِ يُنَادِيَانِ يُسْمِعَانِ أَهْلَ الْأَرْضِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ: اللهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، وَأَعْطِ مُمْسِكًا مَالًا تَلَفًا

Tidaklah matahari terbenam kecuali diutus 2 malaikat yang mengiringinya. Malaikat itu berdoa, didengar oleh seluruh penduduk bumi kecuali jin dan manusia: “Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq. Dan berikanlah kehancuran bagi orang yang kikir harta.” (HR. Ahmad 21721 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)

Kesimpulannya, anjuran untuk bersedekah berlaku umum, tidak hanya di waktu subuh. Sehingga kita bisa bersedekah kapanpun, di manapun.

Demikian.

Allahu  a’lam

Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

KONSULTASI SYARIAH

Madinah Ditetapkan WHO Sebagai Kota Tersehat di Dunia

Jika Anda pernah mengunjungi Madinah dan berziarah ke kota suci ini, tentu Anda akan merasakan kenyamanan. Tidak hanya lantaran ada faktor makam Rasulullah SAW dan para sahabat di kota itu, tetapi juga karena faktor kebersihan yang terjaga. 

Nah, kabar baik untuk Madinah. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengakui Kota Madinah di Arab Saudi sebagai salah satu kota tersehat di dunia. Akreditasi itu diperoleh setelah tim dari WHO melakukan kunjungan, dan menyebut kota tersebut memenuhi semua standar global yang diperlukan.

Kota Madinah diyakini sebagai kota pertama dengan populasi lebih dari 2 juta penduduk, yang diakui di bawah program kota sehat milik WHO. Sebanyak 22 badan pemerintah, komunitas, amal dan relawan membantu mempersiapkan akreditasi WHO.

Dilansir di Arab News, Ahad (24/1), program terpadu yang dijalankan di kota ini untuk akreditasi WHO meliputi kemitraan strategis dengan Universitas Taibah. Kerja sama dilakukan guna mencatat persyaratan pemerintah pada sebuah platform elektronik untuk membantu tinjauan WHO.

WHO juga merekomendasikan agar universitas memberikan pelatihan kepada instansi kota nasional lainnya yang berminat mengikuti program kota sehat.

Sebuah komite yang diketuai Presiden Universitas Taibah, Dr Abdul Aziz Assarani, disebut mengawasi 100 anggota. Anggota ini mewakili 22 badan pemerintah, sipil, amal dan sukarelawan.

Sejumlah kriteria telah disiapkan sebelumnya, termasuk dengan tujuan memenuhi target yang ditetapkan oleh Proyek Strategi Wilayah Madinah dan peluncuran program “Kota Manusiawi”.

“Kota yang sehat adalah kota yang terus-menerus menciptakan dan meningkatkan lingkungan fisik dan sosialnya, serta memperluas sumber daya komunitas, yang memungkinkan penduduknya saling mendukung satu sama lain dalam menjalankan semua fungsi kehidupan dan berkembang secara maksimal,” kata WHO. 

Sumber: https://www.arabnews.com/node/1797346/saudi-arabia  

IHRAM

Daripada Idolakan Habib yang Pemarah, Mending Idolakan Nabi yang Peramah

Sebagian masyarakat Muslim Nusantara akhir-akhir ini menggandrungi dan mengidolakan sosok habib, ulama, dan ustaz yang pemarah, suka mencaci maki dan melaknati, provokatif, mendoakan orang lain celaka, dan menebarkan kebencian kepada sesama anak bangsa. Mereka seakan-akan terbuai oleh ceramah-ceramah idola mereka yang seringkali berisi luapan kemarahan, caci maki, laknat, provokasi, dan kebencian. Sehingga mereka lupa terhadap sosok agung dan idola utama yang harus senantiasa digandrungi dan dijadikan panutan oleh sekalian umat Islam dalam sepanjang masa.

Sosok agung dan idola utama sekalian umat Islam tersebut adalah Rasulullah saw. yang penyayang, peramah, pemaaf, dan penebar rahmat. Beberapa sifat luhur Rasulullah saw. ini disebutkan dalam hadis (lihat Imam al-Gazali, Ihya’ Ulum ad-Din dan ta‘liq hadis oleh Imam al-‘Iraqi, penerbit Dar Ibn Hazm, 2005: 840 & 847-849). Makanya Rasulullah saw. merupakan suri teladan bagi sekalian manusia dalam menjalani kehidupan (baik dalam beragama, berkeluarga, bermasyarakat, maupun bernegara). Sebab, beliau memang memiliki keluhuran budi pekerti atau akhlak yang (bahkan) dipuji oleh Pemilik semesta, Allah ‘azza wa jalla (al-Ahzab (33): 21 dan al-Qalam (68): 4).

Dalam hal ini, Allah Sendiri yang mendidik pribadi Rasulullah saw. dengan al-Qur’an. Makanya ketika Sa‘d bin Hisyam bertanya tentang akhlak Rasulullah saw., maka Sayyidah ‘Aisyah ra. menjawab bahwa akhlak Rasulullah saw. adalah al-Qur’an. Setelah itu, Allah mendidik umat manusia dengan Rasulullah saw. Oleh karena itu, Rasulullah saw. bersabda secara tegas: “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia” (Ihya’ Ulum ad-Din, hlm. 838).

Salah satu contoh pendidikan Allah kepada Rasulullah saw. dengan al-Qur’an adalah: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh (al-A‘raf (7): 199)” dan “Sesungguhnya Allah Menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia Melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan (an-Nahl (16): 90)” (hlm. 838).

Di sisi lain, Allah mengutus Rasulullah saw. untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam, sebagaimana diabadikan dalam al-Anbiya’ (21): 107. Menurut Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki, ayat ini menegaskan bahwa Rasulullah saw. diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, seperti: seluruh manusia (baik Muslim, non Muslim, maupun munafik; baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak), binatang, dan seluruh makhluk Allah (Muhammad saw. al-Insan al-Kamil, 2007: 113).

Oleh karena itu, tidak heran apabila Rasulullah saw. bersabda: “sesungguhnya aku diutus sebagai rahmat.” Dalam hal ini, Syekh Muhammad Tahir-ul-Qadri menulis secara khusus hadis-hadis yang berkaitan dengan rahmat (kasih-sayang) Rasulullah saw., baik kepada golongan jin, manusia, binatang, maupun tumbuhan (lihat Muhammad the Merciful, hlm. 138-384 & 35).

Adapun rahmat dan keramahan Rasulullah saw. kepada manusia meliputi semua golongan, seperti: perempuan, bayi, anak-anak, pemuda, orang lemah, orang miskin, orang fakir, janda, anak yatim, budak, pembantu, orang sakit, orang yang sudah meninggal, orang Badui, orang bodoh, pengemis, orang durhaka, pendosa, orang munafik, orang yang memusuhi dan melawan Nabi saw., orang kafir, para penyembah berhala, dan warga negara non Muslim (hlm. 138-384). Wa Allah A‘lam wa A‘la wa Ahkam…

BINCANG SYARIAH

Janganlah Kebencian Membuat Kita Berlaku tak Adil

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا  “Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka).” (QS Al-Maidah: 2)

Petikan dari ayat kedua surat Al-Maidah ini rasanya istimewa sekali. Allah SWT menegur para sahabat agar tidak berlaku aniaya kepada orang-orang yang mereka benci.  

Konteksnya di masa itu orang musyrikin Makkah memang sangat keterlaluan, karena menghasung hak-hak kaum Muslimin untuk bisa berkunjung ke Baitullah Masjidil Haram. 

Namun bersama dengan kebencian itu, justru Allah SWT menegur para sahabat agar berlaku adil kepada orang yang dibenci.  

Larangan ini jelas sulit untuk dikerjakan. Kepada orang yang kita benci, kok kita malah dilarang berlaku zalim. Padahal seharusnya, kalau kita mengikuti nafsu, mumpung dia pernah bikin gara-gara sama kita, lalu kita punya kesempatan balas dendam, maka bisa-bisa saja kita zalimi.  

Orang yang kita benci itu enaknya kan kita musuhi bersama-sama, atau setidaknya kita rampas uangnya, bisa juga kita bikin dia ketakutan, atau bisa juga kita intimidasi.    

Ternyata perbuatan macam itulah yang justru dilarang Allah. Benci boleh, tapi berlaku zalim kepada yang kita benci ternyata malah dilarang.   

Sebagian para ahli tafsir mufassirin menceritakan bahwa turunnya ayat ini terkait dengan awal mula terjadinya Perjanjian Hudaibiyah.

Nabi SAW dan 1.500 sahabat berpanas-panas melintasi padang pasir menuju ke Baitullah dalam rangka umroh. Ternyata baru sampai di Hudaibiyah, rombongan umroh dihadang dan tidak boleh masuk ke Makkah. 

Akhirnya Nabi SAW dan para sahabat gagal total masuk Makkah, dan terpaksa bertahallul dan sembelih hadyu hanya di luar Kota Makkah. Siapa yang tidak kesal ditolak masuk ke kampung halaman sendiri. 

Maka setelah ditanda-tanganinya Perjanjian Hudaibiyah itu, ada beberapa kaum musyrikin yang terlihat hendak menunaikan umroh. Saat itu ada sebagian sahabat usul agar umat Islam menghalangi mereka pergi umroh. Lalu turunlah ayat ini.  

Pelajaran dari ayat ini buat saya pribadi mengajarkan bahwa bermusuhan itu harus profesional dan adil, tidak asal sradak-sruduk seenak berok. 

Oleh : Pengasuh Rumah Fiqih, Ustads Ahmad Sarwat Lc, MA

KHAZANAH REPUBLIKA

Alquran adalah Obat

Setiap peyakit ada obatnya maka apabila obatnya tepat maka sembuhlah penyakit itu

اْلحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيْدًا أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلهَ إِلاَّاللَّهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ: فَيَا عِبَادَ اللَّهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اتَّقُوْا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ، وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.

Hadirin Jama’ah jum’ah rahimakumullah

Dalam khutbah jum’at ini marilah kita bersyukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan  karunianya  sehingga  kita  dapat  melaksanakan  jama’ah  shalat  jum’at.  Dan  marilah  kita tingkatkan  pula  kuwalitas  iman  dan  taqwa  kita  kepada  Allah  SWT  agar  kita  mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan hidup ini atas dasar petunjuk Al Qur’an yang mengandung pelajaran, rahmad dan obat penyembuh dari segala penyakit yang ada di dalam dada.

Berbicara tentang Al-Qur’an sebagai obat penyembuh tentu sangat berkaitan erat degan suatu penyakit tertentu. Jika ditelaah beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang berbicara tentang penyakit dan pengobatannya dapat dijelaskan dalam beberapa hal sebagai berikut, yaitu;

Pertama, penyakit Jasmani atau Fisik Manusia. Penyakit jasmani merupakan penyakit yang menyerang pada organ tubuh manusia yang bersifat jasmaniyah seperti penyakit kanker, jantung, ginjal, lambung, darah tinggi, kolesterol, asam urat, triglesirida, diabetes dan segala penyakit yang dirasakan oleh            manusia yang bersifat fisik atau jasmani, baik yang menyangkut pada organ dalam manusia maupun pada organ tubuh yang  nampak dari luar, baik yang bisa dideteksi secara langsung maupun harus dengan alat tegnologi medis.

Penyakit yang bersifat jasmani ini jika dilacak di dalam beberapa Hadits Nabi Muhammad SAW pada umumnya menggunakan istilah daa’in yang berarti penyakit sedangkan obat yang diperlukan untuk pengobatanya biasa menggunakan istilah dawaa’un. Sebagaimana dalam sebuah Hadits dari Jabir  RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَِإذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الداءِ بَ رَأَ بِِإذْنِ الل وِ عَز وَجَل )رواه مسلم(

“Setiap peyakit ada obatnya maka apabila obatnya tepat maka sembuhlah penyakit itu dengan ijin Allah Azza wa Jalla (HR. Muslim)”

Terkait dengan beberapa penyakit tersebut, Al Qur’an lebih banyak berbicara tentang langkah-langkah preventifnya atau pencegahan. Misalnya dalam QS Al-Baqarah 168

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلٗا طَيِّبٗا وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٌ

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Atau agar kebugaran tubuh terjaga, maka mengkonsumsi madu adalah pilihan yang baik. Madu lebah adalah salah satu obat penyembuh berbagai macam penyakit yang hingga sekarang ini madu lebah masih sangat relevan untuk digunakan sebagai pengobatan yang sangat baik (QS. An Nahl: 69)

ثُمَّ كُلِي مِن كُلِّ ٱلثَّمَرَٰتِ فَٱسۡلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلٗاۚ يَخۡرُجُ مِنۢ بُطُونِهَا شَرَابٞ مُّخۡتَلِفٌ أَلۡوَٰنُهُۥ فِيهِ شِفَآءٞ لِّلنَّاسِۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ

kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.

Hadirin Jama’ah jum’ah rahimakumullah

Kedua, penyakit Rahani (Hati). Penyakit rahani (hati) merupakan penyakit yang menyerang pada rahani (hati) manusia yang ada di dalam dada, seperti penyakit iri, dengki, ria’, ujub, sombong, munafiq, khawatir, resah, gelisah, was-was, bimbang, ragu dan sebagainya. Penyakit rohani ini di dalam Al-Qur’an biasa disebut dengan istilah mariidhun, sedang jenis obat yang dipakai untuk menyemuhkannya biasa di sebut dengan Syifaa’un dan cara pengobatannyapun tentu sangat berbeda dengan penyakit jasmani. (Al Baqarah : 10)

فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضٗاۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمُۢ بِمَا كَانُواْ يَكۡذِبُونَ

Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.

Bagi seorang mu’min tentu sangat meyakini bahwa Al Qur’an merupakan obat penawar penyakit rahani yang manjur dan sangat relevan sepanjang zaman, apa lagi zaman modern sekarang ini umat manusia banyak mengalami gangguan psikologis sebagai akabiat kekeringan ruhani, keresahan jiwa dan kegalauan hati, maka Al Qur’an merupakan jawaban alternatif untuk mengatasinya. (QS. Yunus : 57)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَتۡكُم مَّوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَشِفَآءٞ لِّمَا فِي ٱلصُّدُورِ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.

Pemahaman Al-Qur’an sebagai obat dilakukan dengan cara membaca, menelaah dan merenungkan kandungan Al Qur’an seraya megambil pelajaran untuk menjadi petunjuk dan pedoman hidup sehingga kita mampu memahami hakekat dan makna kehidupan ini. Dalam kondisi tertentu kita bisa menjadikan Al-Qur’an sebagai lafadz do’a dan dzikir guna penyembuhan penyakit rahani dan kejiwaan manusia baik dilakukan oleh si pasien sendiri maupun melalui perantara orang lain yang professional dibidangnya.

Hadirin Jama’ah jum’ah rahimakumullah

Ketiga, hubungan Ketenangan Rahani Terhadap Penyakit Jasmani

Ketenangan hati manusia sangat erat berhubungan dengan kesehatan jasmani, karena semakin sehat ruhani manusia akan berdampak pada kesahatan jasmaninya, dengan kata lain penyakit ruhani bisa menimbulkan berbagai macam penyakit jasmani. Sebagaimana dalam sebuah Hadits Nabi dari Nu’man bin Yasir, bahwa Rasulullah SAW bersabda;

ِإن ِف اْلَسَدِ مُضْغَةً ِإذَا صَلَحَتْ صَلَحَ اْلَسَدُ كُلُّوُ وَِإذَا فَسَدَتْ فَسَدَ اْلَسَدُ كُلُّوُ أَالَ وَىِيَ الْقَلْبُ )رواه البخاري و مسلم(

“Ketahulilah bahwa di dalam tubuh (manusia) ada mudghoh jika itu sehat maka sehat pula organ tubuhnya dan jika ia sakit maka sakit  pula organ  tubuhnya yang lain, ingatlah hal itu adalah qolbu (hati) (HR.Bukhari dan Muslim)”

بَارَكَ اللَّهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأَيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتُهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَقُلْ رَّبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ

Khutbah Kedua

اْلحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلهَ إِلاَّاللَّهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ: فَيَا عِبَادَ اللَّهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اتَّقُوْا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Hadirin Jama’ah jum’ah rahimakumullah

Dengan uraian yang kami sampaikan di atas memberikan pemahaman bagi kita semua bahwa

Pertama, penyakit menurut jenisnya bisa dikelompokkan menjadi dua yaitu penyakit jasmani dan penyakit ruhani. Penyembuhan penyakit jasmani dilakukan dengan memeriksakan kepada dokter, sedang penyakit rahani bisa dilakukan dengan penyembuhan spiritual seraya mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ritual ibadah sesuai petunjuk Al Qur’an.

Kedua, dalam jangka waktu tertentu penyakit ruhani bisa berdampak pada penyakit jasmani, tetapi tidak semua penyakit jasmani disebabkan karena faktor penyakit ruhani, tetapi karena faktor usia, sebab faktor usia lanjut biasanya secara metabolisme organ tubuhnya sudah mengalami perubahan.

Ketiga, Allah menurunkan penyakit sekaligus dengan obatnya, hal ini menjadi pendorong kepada umat Islam untuk bereksperimn dan mengadakan penelitian untuk menemukan obat penyembuh bagi suatu penyakit, tentu juga termasuk covid 19 yang hingga kini belum ditemukan obat penawarnya.

Demikian khutbah jum’at yang dapat kami sampaikan mudah-mudahan menambah keyakinan dan keimanan kita kepada Allah SWT, dan kita termasuk hamba yang diberi kesehatan oleh Allah baik sehat jasmani maupun rahani kita, Amiin.

اْلحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ.

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِميْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ والْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ فَيَاقَاضِيَ الْحَاجَاتِ.

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْئَلُكَ عِلْمًا نَفِعًا وَرِزْقًا وَاسِعًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Oleh M Jindar Wahyudi, Ketua PD Muhammadiyah, Kab. Boyolali

KHAZANAH REPUBLIKA

Mengalah Demi Meraih Keridhaan Orang Tua

Sebagai anak kita diwajibkan untuk mengalah demi meraih keridhaan orangtua, meskipun hal tersebut terkadang berat,

karena;

– Terkadang orangtua tidak paham seperti apa yang kita maksud

– Terkadang orangtua tidak sependapat dengan pendapat kita

– Terkadang orangtua memaksakan pendapat mereka terhadap kita

– Terkadang orangtua terlalu berlebihan dalam memprotek anak meskipun anaknya sudah dewasa dan menikah

– Terkadang orangtua masih menganggap kita anak kecil padahal kita sudah dewasa dan berkeluarga

– Terkadang kita sebagai anak yang harus dituntut memahami orangtua bukan orangtua yang memahami anaknya.

Coba perhatikan hadits berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى جِئْتُ أُرِيدُ الْجِهَادَ مَعَكَ أَبْتَغِى وَجْهَ اللَّهِ وَالدَّارَ الآخِرَةَ وَلَقَدْ أَتَيْتُ وَإِنَّ وَالِدَىَّ لَيَبْكِيَانِ. قَالَ « فَارْجِعْ إِلَيْهِمَا فَأَضْحِكْهُمَا كَمَا أَبْكَيْتَهُمَا ».

Artinya: “Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Seseorang pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya datang ingin berjihad bersamamu, mencari wajah Allah dan (nikmat/surga) di kehidupan akhirat, dan sesungguhnya kedua orangtua benar-benar menangis. Beliau bersabda: “Kembalilah kepada keduanya, buatlah mereka berdua tertawa sebagaimana kamu telah membuat mereka menangis.” HR. Ibnu Majah.

SOBAT…

SEMOGA SETELAH INI KITA LEBIH MENGALAH DEMI MENGGAPAI RIDHA ORANGTUA, ASALKAN HAL TERSEBUT BUKAN TAAT DALAM KEMASIATAN ATAU MENINGGALKAN KEWAJIBAN KEPADA ALLAH TA’ALA.

Ditulis oleh Ahmad Zainuddin

14 Dzulhijjah 1434H, Dammam Arab Saudi.

Al-Qahhâr, Allah Yang Maha Menundukkan

Nama terbaik Allah SwT yang menunjukkan kebesaran-Nya adalah al-Qahhâr

Nama terbaik Allah SwT yang menunjukkan kebesaran dan keperkasaan-Nya adalah al-Qahhâr. Kata “al-Qahhâr” merupakan bentuk superlative (mubâlaghah) dari Qâhir, yang berarti: perkasa, sangat kuat dan dahsyat, sehingga berkuasa dalam menjinakkan dan menundukkan segala sesuatu demi suatu tujuan tertentu.

Manusia yang mengimani Allah sebagai al-Qahhâr harus bersikap rendah hati, tidak arogan dan sombong, karena segala sesuatu yang ada di alam raya ini berada dalam genggaman kekuasaan-Nya. Namun, tidak sedikit manusia yang bersifat angkuh, berlaku diktator dan sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaannya. Seharusnya, dengan memahami hakikat al-Qahhâr, hamba menyadari sepenuh hati pentingnya menyerah, tunduk, dan patuh kepada Allah, karena Dialah Pencipta dan Pengatur langit dan bumi berikut isinya

Menyerah, tunduk, dan patuh kepada Allah adalah jalan iman dan Islam (istislâm) yang benar dan lurus. Komitmen teologis (tauhid ubudiyah) tersebut idealnya membuat hamba selalu memohon perlindungan kepada Al-Qahhâr dan menyerahkan segala tipu daya (makar) musuh-musuh Islam, ketika mereka membenci, antipati, dan bermakar menghancurkan Islam. Oleh karena itu, umat Islam harus meyakini bahwa Allah itu sebaik-baik pembalas tipu daya orang-orang kafir yang memusuhi Islam.

Selain maha menundukkan kehidupan dunia, al-Qahhâr juga Penguasa hari kiamat dan hari pembalasan. Di akhirat kelak, Allah Maha Menundukkan semua makhluk, termasuk manusia, sehingga Dia berkuasa menghidupkan kembali semua manusia dan mengumpulkannya di padang Mahsyar. “(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka (manusia) berkumpul (di Padang Mahsyar) menghadap Allah Yang Maha Esa, Mahaperkasa.” (QS Ibrahim[14]: 48). Jika semua manusia akan kembali kepada Allah, dan akan dihidupkan dan dibangkitkan dari kematiannya di akhirat untuk dimintai pertanggung jawabannya terhadap amal perbuatannya selama hidup di dunia, maka setiap harus memiliki kesadaran eskatologis, kesadaran akan pentingnya percaya bahwa hari akhir itu ada, sedangkan penguasanya adalah Allah, yang juga Maha Mengumpulkan, Menghisab dan Mengadili semua manusia.

Kesadaran eskatologis ini mestinya dapat menyadarkan hamba untuk mempersiapkan bekal terbaik untuk kehidupan akhirat  dengan trilogi iman, ilmu, dan amal shalih sekaligus  sinergi iman, islam, dan ihsan yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena akuntabilitas pengadilan Allah di akhirat itu tidak dapat diintervensi dan dikalahkan oleh siapapun. Al-Qahhar itu pemegang supremasi pengadilan dan pembalasan di akhirat yang membuat semua manusia bertekuk lutut di hadapan-Nya. Karena itu, ketundukan yang paling indah adalah tunduk secara totalitas kepada al-Qahhar dengan mendekatkan diri kepada-Nya.

Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah.

KHAZANAH REPUBLIKA