Telaah Hadis 73 Golongan dalam Islam

Saat menelisik hadis tentang 73 golongan dalam Islam, kita akan menemukan beberapa fakta yang agaknya selama ini belum diketahui khalayak muslim. Pertama, banyak sekali ulama yang meriwayatkan hadis ini dan jalur periwayatannya (tharîq)berbeda-beda. Kedua, berbagai riwayat hadis tersebut berbeda-beda dalam menggunakan redaksi lafaz. Tidak hanya berbeda, bahkan ada riwayat yang saling bertolak belakang redaksi lafaznya. Ketiga, sebab dua hal tersebut pada akhirnya ulama berbeda-beda pendapat tentang kesahihan hadis 73 golongan dalam Islam.

Saat diundang ke stasiun televisi Mesir CBC Egypt, Syekh Ali Jum’ah yang merupakan sosok Mufti Besar Mesir di tahun 2003-2013, Dewan Ulama al-Azhar Mesir, juga salah satu cendekiawan muslim terkemuka di Mesir saat ini, menuturkan bahwa para ulama hadis menyebutkan ada persoalan idrâj dalam hadis ini. Idrâj sendiri merupakan istilah dalam ilmu hadis yang merujuk pada tambahan lafaz yang diyakini berasal dari si perawi hadis sebagai bentuk penjelasan dari lafaz atau makna hadis. Oleh karenanya, dalam persoalan hadis 73 golongan dalam Islam ini kita perlu memahaminya dengan cermat sehingga tidak menginterpretasikan hadis ini ke makna yang tidak dimaksudkan.

Bunyi awal hadis yang diriwayatkan dari Sahabat Muawiyah bin Abi Sufyan tersebut adalah sebagai berikut.

أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً

“Ketahuilah, sesungguhnya umat sebelum kalian dari Ahli Kitab terbagi menjadi 72 kelompok.”

Hadis ini ingin menegaskan bahwa umat agama samawi sebelum Islam terpecah menjadi 72 kelompok. Menurut Syekh Ali Jum’ah, hal ini adalah sebuah fenomena yang wajar. Kita tahu bahwa masing-masing umat dianugrahi kitab suci oleh Allah SWT; kaum Yahudi berupa Taurat dan kaum Nasrani berupa Injil. Lantas mereka memiliki pemahaman ataupun penafsiran yang berbeda-beda terhadap ayat per ayat dari kitab suci mereka tersebut. Hal ini dikatakan wajar sebab manusia pun diciptakan oleh Allah SWT. dengan daya pikir yang berbeda beda. Serta kondisi sosial setiap penganut yang berbeda-beda pada akhirnya menuntut setiap kelompok untuk menginterpretasikan kitab suci sesuai dengan konteks sosial di wilayahnya.

Syekh Ali Jum’ah mengungkapkan bahwa hadis di atas adalah redaksi yang benar-benar asli dan telah terbukti kesahihannya. Adapun redaksi hadis setelahnya masuk dalam persoalan idrâj di kalangan ulama hadis. Sehingga masih banyak pertentangan di antara ulama akan kesahihan bunyi hadis setelahnya. Berikut bunyi lanjutan hadis di atas.

افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة، وافترقت النصارى على اثنتين وسبعين فرقة

“Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, sedangkan Kaum Nasrani terpecah menjadi 72 golongan.”

Sebagaimana yang telah saya ulas di atas, perpecahan tersebut dilatarbelakangi perbedaan penafsiran setiap kelompok terhadap kitab suci mereka. Begitu pun yang terjadi kepada kaum Yahudi yang terbagi menjadi 71 golongan. Kemudian, alasan mengapa kaum Nasrani terbagi menjadi 72 golongan adalah sebab 71 golongan orang Yahudi tersebut pada akhirnya masuk ke Nasrani saat Nabi Musa AS. diutus. Sehingga jumlah kelompok Nasrani sama persis sebagaimana 71 kelompok kaum Yahudi. Dan ditambah satu kelompok yang mengaku mengikuti ajaran Nabi Isa AS. secara murni. 

Adapun Syekh Ali Jum’ah sendiri mengamini pendapat yang menegaskan bahwa redaksi hadis kedua ini merupakan tambahan lafaz yang berasal dari perawi hadis sebagai penjelas redaksi hadis pertama. Demikian juga bunyi hadis setelahnya. Yakni,

وستفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة

“Dan umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu kelompok.”

Apalagi pada lafaz كلها في النار إلا واحدة, menurut keterangan Imam Syaukani, jumhur ulama hadis telah memverifikasi kedhaifan redaksi tersebut. Bahkan Imam Ibnu Hazm mengatakan bahwa redaksi tersebut merupakan hadis maudhu’. Adapun dalam kitab al-Tafriqah bayn al-Îman wa al-Zindiqah, Imam al-Ghazali justru mencatat hadis tersebut dengan redaksi كلها في الجتة إلا فرقة.

Di akhir siarannya tersebut, Syekh Ali Jum’ah mengingatkan terkait hadis 73 golongan umat Islam dan yang selamat hanya satu golongan, jika ada muballigh yang mengatakan hadis tersebut sahih, maka yang dimaksud adalah penggalan pertama hadis yang berbunyi أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً. Sedangkan redaksi setelahnya masih banyak pertentangan di antara ulama hadis. Adapun Syekh Ali Jum’ah sendiri mengamini pendapat yang mengatakan bahwa redaksi hadis setelahnya adalah penjelasan dari perawi hadis tentang teks asli hadis ini.

(Sumber: Siaran Syekh Ali Jum’ah di stasiun televisi Mesir CBC Egypt)

BINCANG MUSLIMAH

Ingin Qadha Puasa Selama 7 Hari Berturut-turut, Apakah Cukup Niat Puasa di Malam Pertama Saja?

Di antara perkara yang terkadang ditanyakan oleh sebagian masyarakat adalah mengenai hukum niat berpuasa di malam pertama saja ketika hendak qadha puasa secara berturut-turut.

Misalnya, seseorang hendak melakukan qadha puasa Ramadhan selama 7 hari secara berturut-turut, apakah cukup baginya berniat melakukan puasa qadha di malam pertama saja?

Menurut para ulama, di antara syarat sah puasa wajib, termasuk Ramadhan, adalah melakukan niat setiap malam, dan tidak cukup hanya melakukan niat di malam pertama saja. Niat puasa wajib harus dilakukan setiap malam, baik puasa wajib tersebut berupa ada’ maupun qadha.

Oleh karena itu, jika seseorang hendak melakukan qadha puasa Ramadhan, maka dia wajib melakukan niat puasa setiap malam, baik dia hendak melakukan qadha puasa Ramadhan tersebut secara berturut-turut atau tidak.

Jika di malam tertentu dia tidak melakukan niat, atau hanya mencukupkan pada niat malam pertama saja, maka qadha puasanya dinilai tidak sah.

Ini sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad Shaleh Al-Munajjid berikut;

تبييت النية من الليل شرط لكل صوم واجب على الراجح من قولي أهل العلم ، قضاءً كان ذلك الصيام أو أداءً. ويدل على ذلك قول النبي صلى الله عليه وسلم: مَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ. وفي لفظ للنسائي: مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

وذهب جمهور الفقهاء إلى أنه تجب النية لكل يوم ، ولا تجزئ النية أول شهر رمضان ، أو أول الصوم المتتابع لجميع الأيام .وذهب المالكية إلى أن نية واحدة تكفي في الصوم الواجب تتابعه كرمضان ، أما الصوم الذي لا يجب فيه التتابع كالقضاء فلا بد من نية مستقلة لكل يوم

Melakukan niat di waktu malam bagi tiap-tiap puasa adalah wajib menurut pendapat yang unggul dari kalangan para ulama, baik puasa tersebut berupa qadha maupun ada’. Ini berdasarkan hadis Nabi Saw;

Barangsiapa belum niat untuk melakukan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya. Di dalam hadis riwayat Imam Al-Nasa-i disebutkan; Barangsiapa yang belum berniat puasa di malam hari, maka tidak ada puasa baginya.

Kebanyakan ulama fikih berpendapat bahwa wajib berniat puasa untuk tiap hari puasa, dan tidak cukup berniat di awal Ramadhan, dan di awal puasa yang berturut-turut untuk semua hari.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa satu niat saja cukup di dalam puasa yang wajib dilakukan berturut-turut seperti puasa Ramadhan. Adapun puasa yang tidak wajib berturut-turut, seperti puasa qadha, maka harus berniat satu persatu untuk setiap hari puasa. 

BINCANG SYARIAH

Saat Sholat Kaki Bergerak, Batalkah?

Syekh Mahmud Salaby, anggota Lembaga Fatwa Mesir, seperti dilansir Masrawy,mengatakan bahwa seseorang itu dituntut untuk fokus dan khusyuk dalam sholat, dan tidak melakukan gerakan-gerakan  seperti orang yang tidak sholat. 

Syekh Mahmud Salaby mejelaskan bahwa para ulama mengatakan mengatakan banyak bergerak dalam sholat akan membatalkan sholat. Sebagian ulama berpendapat bahwa sholat menjadi batal dengan tiga kali gerakan secara berturut-turut. 

Dan sebagian ulama berpendapat bahwa batal sholatnya seseorang karena gerakan-gerakan yang menjadikan orang yang sholat itu bila dilihat oleh orang lain menyangkanya bahwa dia sedang tidak sholat.  

Akan tetapi Syekh Mahmud Salaby mengatakan apabila orang yang sholat itu tidak mampu mengendalikannya (maksudnya ada bagian tubuh bergerak diluar kontrol karena gangguan syaraf seperti Tardive dyskinesia) maka sholatnya tetap sah.  

IHRAM

20 Mutiara Keindahan Bahasa dalam Al-Fatihah (Bag. 2)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Pada artikel sebelumnya telah kami jelaskan tiga keindahan bahasa dalam Al-Fatihah, diantaranya:

1. Keindahan maknanya

2. Keindahan akar bahasanya

3. Keindahan statusnya sebagai nama Allah yang teragung

Pada tulisan ini kami akan melanjutkan penjelasan delapan keindahan Al-Qur’an.

Keempat, bentuk pujian yang tertinggi dan menyeluruh untuk Allah Ta’ala semata (Al-Mubaalaghah fits Tsanaa’)

Diantara mutiara keindahan bahasa dalam Al-Fatihah adalah terdapat bentuk pujian yang tertinggi dan menyeluruh untuk Allah Ta’ala semata.

Hal ini didapatkan dengan menerjemahkan alif lam  pada {ٱلۡحَمۡدُ} sebagai alif lam lilistighraaq. Sehingga kita dapat mengartikannya sebagai alif lam yang memiliki cakupan menyeluruh dan meliputi segala bentuk pujian serta syukur yang sempurna dari semua aspek.

Semua pujian dan syukur yang sempurna dikhususkan hanya untuk Allah Ta’ala. Hal tersebut merupakan hak Allah Ta’ala karena hanya Allah Ta’ala yang berhak mendapatkannya. Keistimewaan dan hak Allah Ta’ala ini didapatkan dari makna huruf lam yang ada pada {لِلَّهِ}. Lam disini adalah lilistihqaq wal ikhtishash [1] yang menunjukkan makna hak dan pengkhususan.

Disamping itu, {ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ} adalah kalimat yang diawali isim (jumlah ismiyyah) yang menunjukkan faedah pujian yang sempurna dan dilakukan secara terus-menerus untuk Allah Ta’ala semata [2].

Kelima, terdapat berbagai kandungan seruan (talwiinul khithaab)

Pada {ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ} zhahir-nya adalah kalimat berita bahwa Allah Tabaraka wa ta’ala memuji diri-Nya. Namun, maksud  {ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ} sebenarnya adalah perintah kepada hamba-Nya untuk mengucapkan {ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ}. Hal itu dikarenakan dalam berita {ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ} terkandung pengajaran untuk hamba Allah Ta’ala agar mereka memuji-Nya.

Keenam, rahasia pengkhususan kepemilikan Allah terhadap hari pembalasan

مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ

“Pemilik Hari Pembalasan” (QS. Al-Fatihah: 4).

Allah adalah pemilik segala sesuatu, termasuk hari-hari di dalamnya. Namun, di dalam Al-Fatihah dikhususkan bahwa Allah adalah pemilik hari pembalasan. Rahasianya ada beberapa kemungkinan berikut ini:

Pertama, untuk mengagungkan hari tersebut dan menampakkan kengeriannya.

Kedua, menampakkan hanya Allah yang maha memiliki dengan kepemilikan yang hakiki. Pada hari pembalasan itu tidak ada lagi perbedaan antara kepemilikan raja dan rakyat biasa. Seluruh kepemilikan makhluk sirna. Yang tersisa di sana adalah iman dan amal saleh.

Ketujuh, faedah sifat lafaz “Allah” (At-Taqyiid bin Na’ti)

Allah Ta’ala berfirman,

ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ (2) ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ (3) مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ (4)

“(2) Segala pujian kesempurnaan hanya bagi Allah, Tuhan Pemelihara seluruh alam (3) Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (4) Pemilik Hari Pembalasan” (QS. Al-Fatihah: 2-4).

Kandungan beberapa ayat ini menunjukkan bahwa Allah disifati dengan empat sifat, yaitu:

Pertama, tuhan yang memelihara seluruh alam;

Kedua, tuhan yang Maha Pengasih;

Ketiga, tuhan yang Maha Penyayang; dan

Keempat, pemilik hari pembalasan.

Kedelapan, pendahuluan dan pengakhiran (At-Taqdiim wat Ta’khiir)

Dalam ayat {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين} terdapat pendahuluan sesuatu yang pada asalnya di akhirkan.

Susunan {إِيَّاكَ نَعْبُدُ} pada asalnya adalah {نعبدك}, dengan mengakhirkan obyek {ك} setelah kata kerjanya {نعبد}. Namun, dalam ayat yang mulia ini susunan kalimatnya dibalik, yaitu obyek {إِيَّاك} didahulukan sebelum kata kerjanya {نَعْبُدُ}.

Demikian pula {إِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} pada asalnya adalah {نستعين بك}, dengan mengakhirkan obyek {ك} setelah kata kerjanya {نستعين}. Namun, dalam ayat yang mulia ini susunan kalimatnya dibalik, yaitu obyek {إِيَّاك} didahulukan sebelum kata kerjanya {نَسْتَعِينُ}. Hal ini menunjukkan faedah pembatasan dan pengkhususan yang diterjemahkan sebagai, “Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah” dan “Hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan”.

Di dalam pembatasan ini terdapat dua rukun tauhid, yaitu meniadakan sesembahan selain Allah (nafi’) dan menetapkan satu-satunya sesembahan yang berhak disembah adalah Allah (itsbat). Inilah hakikat tauhid.

Hanya kepada Allah Ta’ala seluruh peribadatan ditujukan. Tidak boleh mempersembahkan apa pun ibadah kepada selain-Nya. Begitu juga halnya isti’anah (memohon pertolongan) yang termasuk ibadah. Oleh karena itu, wajib memohon pertolongan (isti’anah) hanya kepada Allah Ta’ala saja.

Disamping terdapat faedah pembatasan dan pengkhususan, dalam ayat ini juga terdapat faedah pengagungan dan perhatian besar. Biasanya bangsa Arab itu mendahulukan sesuatu yang terpenting sehingga layak diagungkan dan diperhatikan dengan sebesar-besarnya.

Kesembilan, rahasia pendahuluan ibadah daripada isti’anah

Dalam {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} terdapat pendahuluan ibadah daripada isti’anah. Faedanya antara lain:

Pertama, isti’anah dibutuhkan dalam setiap ibadah.

Kedua, mendahulukan hak Allah (mendapatkan persembahan ibadah) daripada hak makhluk.

Ketiga, mendahulukan tujuan (ibadatullah) sebelum sarana (isti’anah billah).

Keempat, mendahulukan ibadah secara umum daripada ibdah khusus (isti’anah billah).

Kesepuluh, rahasia pengulangan {إِيَّاكَ} pada ayat {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}

Pada ayat ini terdapat dua kata kerja yang berbeda sehingga masing-masing membutuhkan penegasan dan perhatian. Pengulangan {إِيَّاكَ} pada ayat ini mengandung dua faedah, yaitu:

Pertama, penegasan kekhususan Allah atas hak-Nya disembah dan hak-Nya tempat meminta pertolongan (isti’anah).

Kedua, kenikmatan dalam bermunajat kepada Allah dan menyeru kepada-Nya dengan mengulangnya hingga dua kali.

Kesebelas, rahasia penyebutan kata kami pada ayat {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}

Pada ayat {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} disebutkannya kata kami. Konteks kalimat ini adalah menampakkan penghambaan dan rasa butuh kepada Allah Ta’ala. Selain itu, ayat ini menampakkan pengakuan bahwa diri seorang hamba membutuhkan penyembahan kepada-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, dan meminta hidayah-Nya. Tentulah dalam kondisi ini yang cocok seorang hamba menyatakan kami daripada saya.

Lebih cocok seorang hamba menyatakan bahwa, “Kami, seluruh makhluk adalah hamba-Mu & ciptaan-Mu, kami semua menyembah-Mu semata dan memohon pertolongan kepada-Mu saja”. Tidaklah pantas seorang hamba dalam kondisi ini mengatakan, “Hanya saya saja hamba-Mu dan ciptaan-Mu, saya menyembah-Mu semata dan memohon pertolongan kepada-Mu saja”.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/73267-20-mutiara-keindahan-bahasa-dalam-al-fatihah-bag-2.html

Nasihat Ulama Agar Negara Terhindar dari Malapetaka

Semua negara pastinya mendambakan ketenangan, kenyamanan dan keselamatan dari segala hal termasuk malapeta dan bencana. Karena dengan demikian ia akan dikatakan sebagai negara yang sukses dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Namun untuk mewujudkan impian diatas tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu usaha dan kerja keras untuk mengatur serta memanajnya. Ada beberapa macam orang yang perlu dijadikan fokus untuk diperhatikan dan dijaga agar tetap berada dijalur yang benar serta tidak keluar batas.

Imam al-Qurtubi dalam karya tafsirnya al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an mengatakan bahwa untuk menjadi negara yang aman serta selamat dari malapetaka, setidaknya harus terwujud empat orang yang harus berjalan sebagaimana fungsinya. Berikut penjelasan tentang empat orang tersebut,

قال الإمام شمس الدين أبو عبد الله محمد بن أحمد بن أبي بكر بن فرح الأنصاري الخزرجي القرطبي (المتوفى : 671 هـ) رحمه الله تعالى في الجامع لأحكام القرآن :

وَقِيلَ : كُلُّ بَلْدَةٍ يَكُونُ فِيهَا أَرْبَعَةٌ فَأَهْلُهَا مَعْصُومُونَ مِنَ الْبَلَاءِ : إِمَامٌ عَادِلٌ لَا يَظْلِمُ ، وَعَالِمٌ عَلَى سَبِيلِ الْهُدَى ، وَمَشَايِخُ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحَرِّضُونَ عَلَى طَلَبِ الْعِلْمِ وَالْقُرْآنِ ، وَنِسَاؤُهُمْ مَسْتُورَاتٌ لَا يَتَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Setiap Negara yang didalamnya terdapat empat macam orang ini maka akan selamat dari bencana dan musibah: pertama, pemimpin yang adil dan tidak dholim.  Kedua, ulama’ yang konsisten dijalan kenenaran. Ketiga, pendidik yang selalu mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran serta senantiasa meberikan motivasi belajar keilmuan khususnya al-Qur’an. Keempat, wanita yang selalu menjaga busana ( tidak umbar aurat)”

BINCANG SYARIAH

Benarkah Hukum Bekerja di Perusahaan Rokok Haram, Seperti Kata Ustadz Khalid Basalamah?

Ceramah Ustadz Khalid Basalamah kembali viral di media sosial. Yang terbaru, Ustadz Khalid Basalamah menyebutkan bahwa hukum bekerja di perusahaan rokok adalah haram.

Lewat video yang diupload di akun Youtube Lentera Islam, pada 12 Juli 2016, Ustadz Khalid ditanya tentang hukum kerja di perusahaan rokok. Simak kutipan ceramahnya;

Hukum kerja di perusahaan rokok? Siapa yang jawab nih. Haram hukumnya, semua pemerintah, semua dokter, semua ulama mengharamkan rokok. Bagaimana caranya kita bilang halal. Enggak bisa. Dari sisi mana halalnya coba? ” begitu ujar ustadz Khalid Basalamah, dikutip dari Lentera Islam.

Lantas benarkah klaim dan fatwa hukum  terkait haram bekerja di pabrik rokok tersebut?

Membantah Argumen Ustadz Khalid Basalamah

Menurut sebagian kalangan, bekerja di pabrik adalah haram hukumnya, sebab ada kebatilan di sana. Jika demikian, maka jalan tol juga haram Li ghairi dzatihi (haram karena faktor eksternal, bukan materinya atau dzatnya yang haram).

Sebab dana yang dipakai untuk pembanguna tol itu sedikit banyak berasal dari pajaknya rokok, maka jika hukum kerja di pabrik rokok adalah haram, maka ini juga akan berimbas pada status kehalalannya uang yang di dapat darinya.

Yang bekerja di sana pun amat sangat banyak, maka jika difatwakan demikian, niscaya akan terjadi fenomena pengangguran massal.

Mungkin mereka yang berpandangan demikian, berasal dari hukum merokok itu sendiri, yang mana mereka menghukuminya haram, sehingga berimbas pada hukum bekerja di tempat ini. Maka dari itu, mari kita runtut dari awal hukumnya.

Perlu diketahui, bahwasanya hukum rokok itu masih diperselisihkan para ulama. Ada yang berpendapat makruh, mubah, haram dan bahkan sunnah. Semua hukum tersebut bergantung pada poros illatnya. Hukum merokok diperinci oleh para ulama’ sebagaimana redaksi berikut:

(قوله ولا بيع لا منفعة فيه) قيل منه الدخان المعروف لانه لا منفعة فيه بل يحرم استعماله لان فيه ضررا كبيرا وهذا ضعيف وكذا القول بانه مباح والمعتمد انه مكروه بل قد يعتريه الوجوب كما اذا كان يعلم الضرر بتركه وحينئذ فبيعه صحيح وقد تعتريه الحرمة كما اذا كان يشتريه بما يحتاجه لنفقة عياله او تيقن ضرره.

“Dan tidak sah jual beli yang tidak ada manfaatnya, maka ada yang berpendapat bahwa rokok itu termasuk komoditas yang tidak sah jual belinya, karena termasuk barang yang tidak ada manfaatnya.

Bahkan haram mengkonsumsinya, karena adanya dampak negatif yang didapat darinya, namun ini adalah pendapat yang lemah (dlo’if), sebegitu juga pendapat yang menyatakan bahwa rokok itu halal, pendapat ini juga dianggap dloif.

Menurut pendapat yang mu’tamad (yang bisa dibuat pegangan) yaitu makruh, bahkan bisa menjadi wajib, jika tahu kalau meninggalkan rokok bisa berdampak negatif pada dirinya (semisal mengurangi tingkat fokus dalam pekerjaan atau lainnya), maka jika demikian, niscaya jual beli rokok tadi hukumnya sah.

Hanya saja, terkadang hukumnya rokok tadi bisa menjadi haram, contohnya seperti membeli rokok dengan uang yang seharusnya untuk menafkahi keluarganya atau ada keyakinan jika merokok akan langsung berdampak negatif pada dirinya”. (Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah Al-Bajuri I/343 cetakan Al-Hidayah Surabaya)

Memandang hukum rokok yang beragam, maka tidak bisa serta merta dijustifikasi bahwa bekerja di pabrik rokok itu haram. Syekh Ahmad Mamduh (Salah satu anggota Dar Al-Ifta’ Al-Misriyyah) mengatakan bahwa hukum bekerja di pabrik rokok itu boleh, sebab DIM menganut pada pendapat ulama’ yang mengatakan bahwa hukum rokok itu makruh.

Karena hukum rokok itu beragam, maka kita bisa mengikutinya sesuai kondisi yang kita alami. Yang pada akhirnya ini juga berimbas pada hukum bekerja di pabrik rokok. Namun ada satu kaedah penting yang baiknya kita mengetahuinya, Syaikh Al-Azhar Imam Al-Baijuri mengatakan:

من ابتلى بشيء مختلف فيه, فليقلد من أجاز

“Barang siapa yang diuji (dihadapkan) dengan perkara yang hukumnya masih diperselisihkan, maka seyogyanya ia mengikuti ulama’ yang memperbolehkannya”.

Maka sudah jelaslah mengenai hukum bekerja di perusahaan rokok, karena suatu hal yang masih diperselisihkan hukumnya itu tidak boleh diingkari, niscaya silahkan saja mengikuti pendapat yang sesuai dengan kondisinya.  Al-Aqil thabib nafsihi wa amiri nafsihi, orang yang berakal itu adalah dokter bagi dirinya sendiri, serta pemegang kendali bagi segala urusannya. Wallahu A’lam bi Al-Shawab.

BINCANG SYARIAH

Metode Rukyat Atau Hisab yang Didahulukan dalam Menetapkan Puasa Ramadhan

Untuk mengetahui pergantian bulan, dari satu bulan ke bulan lainnya,  Kaum Muslimin mengenal 2 metode dalam mengetahuinya, yaitu metode Rukyat (melihat bulan) dan Hisab (perhitungan). Terlebih dalam konteks bulan Ramadhan, sebab ini terkait puasa. Rasulullah SAW sendiri sebenarnya sudah memberikan panduan dalam mengetahuinya, beliau SAW bersabda; 

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: «لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ»

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda “janganlah kalian berpuasa, kecuali kalian telah melihat hilal (bulan). Dan janganlah kalian berbuka, hingga kalian juga melihatnya. Namun jika hilalnya tertutupi, maka kira-kirakanlah”. (Sahih Muslim  II/759)

Secara leksikal, Rasulullah memerintahkan kita menggunakan pendekatan Ru’yat, bukan Hisab. Namun Imam Al-Nawawi, selaku komentator hadis ini, menjelaskan bahwasanya ada berbagai redaksi yang beredar, yang mana berimplikasi pada interpretasinya. Di antaranya adalah sebagai berikut;

“Dalam riwayat lain ada tambahan Faqdiru Lahu Tsalatsina (maka kira-kira kaulah sampai tanggal 30, yakni Istikmal), kemudian dalam riwayat lain menggunakan redaksi fain ghamma alaikum fasumu tsalatsina yauman (jika hilal tertutupi mendung, maka puasalah kalian sampai hari ke 30), dan masih banyak lagi riwayat lain. 

Hanya saja ulama’ berbeda pendapat mengenai makna dari Faqdiru lahu, ada yang berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah dipersempit dan dikira-kirakan sesuai kondisi awan. Ini adalah pendapatnya Imam Ahmad bin Hambal dan ulama lainnya yang memperbolehkan puasa di malam yang mendung di bulan Ramadhan. 

Sedangkan menurut Ibnu Suraij, Mutharrif bin Abdillah, Ibnu Quthaibah dan lainnya, makna Faqdiru adalah dikira-kirakan dengan menggunakan metode Hisab. Adapun Imam Malik, Imam Syafii, dan mayoritas ulama’ berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah dikira-kirakan dengan menyempurnakan puasa sampai tanggal 30. 

Dan menurut Imam Al-Marizi, Sabda Nabi Saw yang berbunyi Faqdiru lahu itu dimaksudkan pada penyempurnaan puasa sampai tanggal 30, yang demikian adalah interpretasi dari mayoritas ahli fikih. Dan mereka beranggapan bahwa sabda Nabi SAW tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan perkiraannya ahli hisab.” (Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim ,VII/189)

Jadi terdapat perbedaan di kalangan ulama’ mengenai pendekatan apa yang digunakan dalam penentuan masuknya bulan puasa, dalam literatur fikih juga disebutkan mengenai hal demikian. Dijelaskan:

وفي مغني الخطيب ما نصه: (فرع) لو شهد برؤية الهلال واحد أو اثنان واقتضى الحساب عدم إمكان رؤيته. قال السبكي: لا تقبل هذه الشهادة، لأن الحساب قطعي والشهادة ظنية، والظن لا يعارض القطع. وأطال في بيان رد هذه الشهادة، والمعتمد قبولها، إذ لا عبرة بقول الحساب.

Dalam kitab Mughni Al-Muhtaj karya Syekh Khatib Al-Syirbini terdapat sebuah pembahasan “ketika ada 1 atau 2 orang yang melihat hilal, sedangkan menurut pendekatan Hisab, hilal itu tidak mungkin dilihat, maka menurut Imam Al-Subki, persaksian orang tadi tidak bisa diterima. 

Sebab pendekatan Hisab itu sifatnya qat’i (pasti), sedang sifat dari Ru’yat itu dzanni (praduga), dan perkara yang dzanni itu tidak bisa mengalahkan yang qat’i. Syekh Khatib Al-Syirbini membahas penolakan persaksian orang tadi dengan panjang lebar dalam kitabnya, namun menurut pendapat yang mu’tamad, persaksian orang tadi bisa diterima, sebab perkataannya ahli hisab itu tidak dianggap. (I’anah al-Thalibin, II/243)

Dalam kitab lain dijelaskan bahwasanya “Menurut Ibnu Rif’ah dalam kitab Al-kifayah, informasi dari Ahli hisab atau nujum itu dianggap cukup sebagai pertanda masuknya bulan puasa. 

Pendapat ini diafirmasi oleh Imam Al-zarkasyi dan Imam Al-Subki, dan Syekh Muzajjad dalam kitabnya yang berjudul Al-I’ab, berpedoman pada pendapat ini. Hanya saja, ketika hasil dari Hisab dan Ru’yat bertentangan, maka yang diamalkan adalah hasil dari rukyat, yang demikian adalah pendapat semua ulama’ fikih”. (Bughyat Al-Mustarsyidin, h. 227)

 Bahkan Syekh Ibrahim Al-Baijuri berpendapat bahwasanya tidak wajib puasa, ketika yang mengabarkannya adalah ahli hisab atau nujum. (Hasyiyah Al-Baijuri,II/402)

Jadi demikianlah silang pendapat yang terjadi dalam kalangan ahli fikih. Menggunakan metode rukyat lebih didahulukan oleh Mayoritas ahli fikih, dengan bertendensi pada Hadis di atas.

Adapun dalam konteks Indonesia, maka cukup bagi kita untuk mengikuti sidang isbat dari Kementrian Agama. Apapun hasilnya, kita boleh mengikutinya. Sekian, penjelasan terkait metode rukyat dan hisab. semoga bermanfaat. Allahumma Barik lana Fi Rajaba Wa Sya’bana Wa Ballighna Ramadhana, Amin Ya Rabb.

BINCANG SYARIAH

Menyambut Bulan Suci Ramadhan

Segala puji bagi Allah, Rabb alam semesta. Shalawat dan salam kepada nabi dan rasul yang paling mulia, Muhammad bin ‘Abdillah, serta kepada keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du,

Tulisan ini ditujukan untuk semua muslim yang akan bertemu dengan bulan Ramadhan dalam keadaan sehat wal afiat, agar dapat memanfaatkan bulan tersebut dalam ketaatan pada Allah Ta’ala. Semoga melalui tulisan ini dapat menjadi sarana untuk membangkitkan semangat di dalam jiwa seorang mukmin dalam beribadah kepada Allah di bulan yg mulia ini. Maka penulis memohon kepada Allah Ta’ala agar diberikan taufik dan jalan yang lurus serta menjadikan amal ini ikhlas hanya karena mengharap Wajah-Nya Yang Mulia semata. Dan semoga Allah mencurahkan shalawat atas junjungan kita, Muhammad, dan kepada keluarganya serta seluruh sahabatnya.

Bagaimanakah Seharusnya Kita Menyambut Ramadhan?

Pertanyaan: Apa saja cara-cara yang benar untuk menyambut bulan yang mulia ini?

Seorang muslim seharusnya tidak lalai terhadap momen-momen untuk beribadah, bahkan seharusnya ia termasuk orang yang berlomba-lomba dan bersaing (untuk mendapatkan kebaikan) di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ )المطففين : 26)

“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berloma-lomba.” (QS. Al-Muthaffifiin:26)

Maka bersemangatlah wahai saudara-saudara muslim dalam menyambut Ramadhan dengan cara-cara yang benar sebagaimana berikut ini:

1. Berdo’a agar Allah mempertemukan dengan bulan Ramadhan dalam keadaan sehat dan kuat, serta dalam keadaan bersemangat beribadah kepada Allah, seperti ibadah puasa, sholat dan dzikir.

Telah diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa dia berkata, adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki bulan Rajab, beliau berdoa,

اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان

“Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban serta pertemukanlah kami dengan Ramadhan.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani).

Catatan: Syaikh Al-Albani rahimahullah mendhaifkan hadits ini dalam kitab Dha’if al-Jaami‘ (4395) dan tidak mengomentarinya dalam kitab Al-Misykaah.

Demikian juga generasi terbaik terdahulu (as-salaf ash-shalih) berdoa agar Allah menyampaikan mereka pada bulan Ramadhan dan menerima amal-amal mereka.

Maka apabila telah tampak hilal bulan Ramadhan, berdoalah pada Allah:

الله أكبر اللهم أهله علينا بالأمن والإيمان والسلامة والإسلام , والتوفيق لما تحب وترضى ربي وربك الله

“Allah Maha Besar, ya Allah terbitkanlah bulan sabit itu untuk kami dengan aman dan dalam keimanan, dengan penuh keselamatan dan dalam keislaman, dengan taufik agar kami melakukan yang disukai dan diridhai oleh Rabbku dan Rabbmu, yaitu Allah.” (HR. At-Tirmidzi dan Ad-Darimi, dishahihkan oleh Ibnu Hayyan)

2. Bersyukur pada Allah dan memuji-Nya atas dipertemukannya dengan bulan Ramadhan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Adzkaar,

“Ketahuilah, dianjurkan bagi siapa saja yang mendapatkan suatu nikmat atau dihindarkan dari kemurkaan Allah, untuk bersujud syukur kepada Allah Ta’ala, atau memuji Allah (sesuai dengan apa yg telah diberikan-Nya).”

Dan sesungguhnya di antara nikmat yang paling besar dari Allah atas seorang hamba adalah taufiq untuk melaksanakan ketaatan. Selain dipertemukan dengan bulan Ramadhan, nikmat agung lainnya adalah berupa kesehatan yang baik. Maka ini pun menuntut untuk bersyukur dan memuji Allah Sang Pemberi Nikmat lagi Pemberi Keutamaan dengan nikmat tersebut. Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak dan pantas bagi keagungan Wajah-Nya dan keagungan kekuasaan-Nya.

3. Bergembira dan berbahagia dengan datangnya bulan Ramadhan.

Telah ada contoh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau dahulu memberi berita gembira pada para sahabatnya dengan kedatangan Ramadhan. Beliau bersabda,

جاءكم شهر رمضان, شهر رمضان شهر مبارك كتب الله عليكم صيامه فيه تفتح أبواب الجنان وتغلق فيه أبواب الجحيم… الحديث

“Telah datang pada kalian bulan Ramadhan, bulan Ramadhan bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan atas kalian untuk berpuasa didalamnya. Pada bulan itu dibukakan pintu-pintu surga serta ditutup pintu-pintu neraka….” (HR. Ahmad)

Dan sungguh demikian pula as-salaf ash-shalih dari kalangan sahabat dan tabi’in, mereka sangat perhatian dengan bulan Ramadhan dan bergembira dengan kedatangannya. Maka kebahagiaan manakah yang lebih agung dibandingkan dengan berita dekatnya bulan Ramadhan, moment untuk melakukan kebaikan serta diturunkannya rahmat?

4. Bertekad serta membuat program agar memperoleh kebaikan yang banyak di bulan Ramadhan.

Kebanyakan dari manusia, bahkan dari kalangan yang berkomitmen untuk agama ini (beragama Islam), membuat program yang sangat serius untuk urusan dunia mereka, akan tetapi sangat sedikit dari mereka yang membuat program sedemikian bagusnya untuk urusan akhirat. Hal ini dikarenakan kurangnya kesadaran terhadap tugas seorang mu’min dalam hidup ini, dan lupa atau bahkan melupakan bahwa seorang muslim memiliki kesempatan yang banyak untuk dekat dengan Allah untuk mendidik jiwanya sehingga ia bisa lebih kokoh dalam ibadah.

Di antara program akhirat adalah program menyibukkan diri di bulan Ramadhan dengan ketaatan dan ibadah. Seharusnya seorang muslim membuat rencana-rencana amal yang akan dikerjakan pada siang dan malam Ramadhan. Dan tulisan yang anda baca ini, membantu anda untuk meraih pahala Ramadhan melalui ketaatan pada-Nya, dengan ijin Allah Ta’ala.

5. Bertekad dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh pahala di bulan Ramadhan serta menyusun waktunya (membuat jadwal) untuk beramal shalih.

Barangsiapa yang menepati janjinya pada Allah maka Allah pun akan menepati janji-Nya serta menolongnya untuk taat dan memudahkan baginya jalan kebaikan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْراً لَهُمْ )محمد : 21(

“Maka seandainya mereka benar-benar beriman pada Allah, maka sungguh itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad:21)

6. Berbekal ilmu dan pemahaman terhadap hukum-hukum di bulan Ramadhan.

Wajib atas seorang yang beriman untuk beribadah kepada Allah dilandasi dengan ilmu, dan tidak ada alasan untuk tidak mengetahui kewajiban-kewajiban yang diwajibkan Allah atas hamba-hamba-Nya. Di antara kewajiban itu adalah puasa di bulan Ramadhan. Sudah sepantasnya bagi seorang muslim belajar untuk mengetahui perkara-perkara puasa serta hukum-hukumnya sebelum ia melaksanakannya (sebelum datang bulan Ramadhan), agar puasanya sah dan diterima Allah Ta’ala.

فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ) الأنبياء :7(

“Maka bertanyalah pada orang-orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya’:7)

7. Wajib pula bertekad untuk meninggalkan dosa-dosa dan kejelekan, serta bertaubat dengan sungguh-sungguh dari seluruh dosa, berhenti melakukannya serta tidak mengulanginya lagi.

Karena bulan Ramadhan adalah bulan taubat. Barangsiapa yang tidak bertaubat di dalamnya, maka kapankah lagi ia akan bertaubat? Allah Ta’ala berfirman,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ) النور : 31(

“Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.” (QS. An-Nur: 31)

8. Mempersiapkan jasmani dan rohani dengan membaca dan menelaah buku-buku serta tulisan-tulisan, serta mendengarkan ceramah-ceramah islamiyah yang menjelaskan tentang puasa dan hukum-hukumnya, agar jiwa siap untuk melaksanakan ketaatan di bulan Ramadhan.

Demikian pulalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersiapkan jiwa-jiwa para sahabat untuk memanfaatkan bulan ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat bersabda pada akhir bulan Sya’ban,

جاءكم شهر رمضان … إلخ الحديث

“Telah datang pada kalian bulan Ramadhan…(sampai akhir hadits).” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i).[1]

9. Mempersiapkan dengan baik untuk berdakwah kepada Allah Ta’ala di bulan Ramadhan, melalui:

Menghadiri pertemuan-pertemuan serta bimbingan-bimbingan dan menyimaknya dengan baik agar dapat disampaikan di masjid di daerah tempat tinggal. Menyebarkan buku-buku kecil, tulisan-tulisan serta nasehat-nasehat tentang hukum yang berkaitan dengan Ramadhan kepada orang-orang yang shalat serta masyarakat sekitar.

Menyiapkan “hadiah Ramadhan” sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Hadiah tersebut dapat berupa paket yang didalamnya terdapat kaset-kaset dan buku kecil, yang kemudian pada paket tersebut dituliskan “hadiah Ramadhan”. Memuliakan fakir dan miskin dengan memberi sedekah serta zakat untuk mereka.

10.Menyambut Ramadhan dengan membuka lembaran putih yang baru, yang akan diisi dengan:

Taubat sebenar-benarnya kepada Allah Ta’ala. Ta’at pada perintah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta meninggalkan apa yang dilarangnya.

Berbuat baik kepada kedua orang tua, kerabat, saudara, istri atau suami serta anak-anak. Berbuat baik kepada masyarakat sekitar agar menjadi hamba yang shalih serta bermanfaat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أفضل الناس أنفعهم للناس

“Seutama-utama manuia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”[2]

Demikianlah seharusnya seorang muslim menyambut Ramadhan, seperti tanah kering yang menyambut hujan, seperti si sakit yang membutuhkan dokter untuk mengobatinya dan seperti seseorang yang menanti kekasihnya.

“Ya Allah pertemukanlah kami dengan bulan Ramadhan dan terimalah amalan kami sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

***

Khalid bin ‘Abdirrahman ad-Durwaisy

Sumber: http://saaid.net/mktarat/ramadan/22.htm


[1] Hal ini disebutkan dalam Lathoif Al Ma’arif (kitab karya Ibnu Rajab Al-Hambali-ed).
[2] Dalam lafadz lain disebutkan,

أحب الناس إلى الله أنفعهم للناس

“Manusia yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (Hadits shahih dishahihkan Syaikh Al-Bani dalam Al-Hadits Ash-Shahihah No.906 -red)

Penerjemah: Ummu Ahmad Juwita Laila Ramadhan
Murojaah: Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/1003-menyambut-bulan-suci-ramadhan.html

Fatwa Ulama: Apakah Zakat dan Sedekah hanya Khusus di bulan Ramadan?

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pertanyaan:

Apakah zakat dan sedekah hanya khusus di bulan Ramadan?

Jawaban:

Sedekah tidak hanya khusus di bulan Ramadan, bahkan sedekah itu dianjurkan dan disyariatkan di semua waktu. Adapun zakat itu wajib atas manusia (kaum muslimin) untuk mengeluarkannya ketika haulnya sudah sempurna dan tidak menunggu bulan Ramadan, kecuali jika bulan Ramadan itu sudah dekat. Misalnya ketika haulnya itu jatuh di bulan Sya’ban, kemudian menunggu sampai sampai bulan Ramadan, maka hal ini tidaklah mengapa. Adapun jika haul zakatnya itu di bulan Muharam, maka tidak boleh menunda sampai bulan Ramadan. Akan tetapi, boleh mempercepat penunaiannya di bulan Ramadan yang datang sebelum bulan Muharam, ini tidak masalah. Adapun menunda (sampai terlambat) dari waktu yang wajib, maka hal ini tidak diperbolehkan.

Hal ini karena kewajiban yang dikaitkan dengan sebab tertentu, maka wajib ditunaikan ketika sebab itu ada dan tidak boleh ditunda darinya. (Alasan lain), seseorang tidak bisa menjamin -ketika dia menunda-nunda penunaian zakat dari waktunya- apakah dia masih hidup sampai bulan tertunda yang dia inginkan. Bisa jadi dia meninggal dunia, sehingga kewajiban zakat itu masih menjadi tanggungannya. Ahli warisnya bisa jadi tidak mengeluarkan zakatnya atau ahli warisnya tidak mengetahui kalau dia memiliki tanggungan zakat. Atau alasan-alasan lain yang dikhawatirkan menimpa seseorang ketika dia meremehkan penunaian zakat sehingga dia pun menjadi terhalang dari mengeluarkan zakat.

Adapun sedekah, sedekah itu tidak memiliki waktu yang khusus (tertentu). Maka, sepanjang tahun boleh bersedekah. Akan tetapi, manusia mencari agar sedekah dan zakat mereka bertepatan dengan bulan Ramadan, karena ketika itu adalah waktu yang mulia, waktu untuk berbuat kedermawanan dan kemuliaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, terutama di bulan Ramadan ketika bertemu Jibril ‘alaihis salaam dan mengajarkan Al-Qur’an kepada beliau.

Akan tetapi, perlu dipahami bahwa keutamaan zakat atau sedekah di bulan Ramadan adalah keutamaan yang berkaitan dengan waktu. Jika tidak ada keutamaan lain yang melebihi keutamaan waktu tersebut, maka waktu tersebut lebih utama dibandingkan waktu yang lainnya. Adapun jika terdapat kutamaan lain yang melebihi keutamaan dari sisi waktu, misalnya ketika orang-orang miskin lebih butuh di waktu lain di luar bulan Ramadan, maka tidak selayaknya seseorang menunda sedekah sampai menunggu bulan Ramadan. Akan tetapi, hendaknya dia melihat waktu atau masa ketika orang-orang miskin itu lebih mendapatkan manfaat dari sedekah kita sehingga kita pun bersedekah di waktu tersebut.

Biasanya, orang-orang miskin itu lebih butuh ketika di luar bulan Ramadan dibandingkan ketika di bulan Ramadan. Hal ini karena selama bulan Ramadan, banyak yang mengeluarkan zakat dan bersedekah sehingga kebutuhan mereka pun tercukupi dan terpenuhi dari zakat atau sedekah yang diberikan. Akan tetapi, mereka sangat butuh di bulan-bulan lainnya. Masalah ini hendaknya diperhatikan oleh seseorang dengan tidak menjadikan keutamaan waktu itu selalu lebih dari keutamaan yang lain.

***

@Rumah Kasongan, 16 Sya’ban 1443/ 19 Maret 2022

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/73557-fatwa-ulama-apakah-zakat-dan-sedekah-hanya-khusus-di-bulan-ramadan.html

Menangis ketika Ditinggal Mati

Ditinggal mati kerabat, sahabat, dan orang-orang yang dicintai memang bisa menimbulkan kesedihan yang teramat dalam. Akan tetapi, sebagai seorang mukmin, kita wajib menerima segala ketetapan Allah Ta’ala tersebut. Sehingga, kita pun terhindar dari sikap marah, jengkel, dan tidak rida dengan takdir tersebut. Meskipun demikian, sebagai manusia biasa, wajar saja jika kita ingin menangis meneteskan air mata sebagai tanda sedihnya hati kita dengan berpulangnya kerabat atau sahabat yang kita cintai. Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

شَهِدْنَا بِنْتًا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ عَلَى القَبْرِ، قَالَ: فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَدْمَعَانِ، قَالَ: فَقَالَ: «هَلْ مِنْكُمْ رَجُلٌ لَمْ يُقَارِفِ اللَّيْلَةَ؟» فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ: أَنَا، قَالَ: «فَانْزِلْ» قَالَ: فَنَزَلَ فِي قَبْرِهَا

Kami menyaksikan pemakaman putri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Dia (Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu) berkata, “Dan saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di sisi liang lahat.” Dia (Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu) berkata, “Lalu aku melihat kedua mata beliau mengucurkan air mata.” Dia (Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu) berkata, “Maka beliau bertanya, “Siapakah di antara kalian yang malam tadi tidak berhubungan (dengan istrinya)?” Abu Thalhah berkata, “Aku.” Beliau berkata, “Turunlah engkau ke lahat!” Dia (Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)  berkata, “Maka, beliau pun ikut turun ke dalam kuburnya.” (HR. Bukhari no. 1285)

Terdapat beberapa faedah yang dapat diambil dari hadis di atas sebagaimana penjelasan berikut ini.

Faedah pertama

Hadis di atas menunjukkan bolehnya menangis ketika ada saudara atau kerabat atau sahabat yang meninggal dunia dengan syarat tangisan tersebut tidak diiringi dengan meninggikan suara, merobek-robek kerah baju, atau menampar-nampar pipi, dan sejenisnya. Karena perbuatan tersebut menunjukkan keluh kesah, rasa marah, jengkel, dan tidak rida dengan takdir yang telah Allah Ta’ala tetapkan dan juga merupakan perbuatan (ciri khas) orang-orang jahiliah terdahulu.

Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ، أَوْ شَقَّ الْجُيُوبَ، أَوْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

Bukan dari golongan kami siapa yang menampar-nampar pipi, merobek-robek kerah baju, dan menyeru dengan seruan jahiliah (meratap).” (HR. Bukhari no. 1294 dan Muslim no. 103)

Dari sahabat ‘Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Ketika Sa’ad bin Ubadah sedang sakit, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguknya bersama ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Saad bin Abu Waqqash, dan ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhum. Ketika beliau menemuinya, beliau mendapatinya sedang dikerumuni oleh keluarganya. Beliau bertanya,

قَدْ قَضَى

Apakah ia sudah meninggal?

Mereka menjawab, “Belum, wahai Rasulullah.”

Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menangis. Ketika orang-orang melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menangis, mereka pun turut menangis.

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَلاَ تَسْمَعُونَ إِنَّ اللَّهَ لاَ يُعَذِّبُ بِدَمْعِ العَيْنِ، وَلاَ بِحُزْنِ القَلْبِ، وَلَكِنْ يُعَذِّبُ بِهَذَا – وَأَشَارَ إِلَى لِسَانِهِ – أَوْ يَرْحَمُ، وَإِنَّ المَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ

Tidakkah kalian mendengar bahwa Allah tidak mengazab dengan sebab tangisan air mata, tidak pula dengan sebab hati yang bersedih, namun Dia mengazab dengan ini.” Lalu beliau menunjuk lidahnya, atau dirahmati (karena lisan itu) dan sesungguhnya mayat itu diazab disebabkan tangisan keluarganya kepadanya.” (HR. Bukhari no. 1304 dan Muslim no. 924)

Bolehnya menangis ketika ditinggal mati kerabat juga ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditinggal mati putranya, Ibrahim. Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi Abu Saif Al-Qaiyn yang (istrinya) telah mengasuh dan menyusui Ibrahim (putra Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil Ibrahim dan menciumnya.

Setelah itu, pada kesempatan yang lain, kami mengunjunginya, sedangkan Ibrahim telah meninggal. Hal ini menyebabkan kedua mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berlinang air mata. Lalu ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu berkata kepada beliau, “Mengapa Anda menangis, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,

يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ

Wahai Ibnu ‘Auf, sesungguhnya ini adalah rahmat (tangisan kasih sayang).

Beliau lalu melanjutkan dengan kalimat yang lain dan bersabda,

إِنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، وَالقَلْبَ يَحْزَنُ، وَلاَ نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ

Kedua mata boleh mencucurkan air mata, hati boleh bersedih, hanya kita tidaklah mengatakan, kecuali apa yang diridai oleh Rabb kita. Dan kami dengan perpisahan ini wahai Ibrahim pastilah bersedih.” (HR. Bukhari no. 1303 dan Muslim no. 2315)

Faedah kedua

Kandungan hadis di atas menunjukkan bahwa yang sesuai dengan sunah adalah orang yang menurunkan jenazah perempuan ke liang lahat adalah laki-laki yang pada malam harinya tidak berhubungan badan dengan istrinya, meskipun laki-laki tersebut adalah laki-laki ajnabi (laki-laki yang bukan mahram). Karena dalam hadis di atas, Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang menurunkan jenazah putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke dalam lahat, padahal beliau bukan mahram bagi putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadis tersebut menunjukkan bolehnya bagi laki-laki untuk memasukkan jenazah perempuan ke dalam kuburnya, karena laki-laki lebih kuat untuk mengerjakan hal itu dibandingkan perempuan.“ (Fathul Baari, 3: 159)

Faedah ketiga

Hadis tersebut menunjukkan bahwa adanya nasihat atau ceramah ketika memakamkan jenazah tidaklah dituntunkan secara terus-menerus setiap kali memakamkan jenazah. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di samping makam dan tidak memberikan ceramah nasihat kepada sahabat yang ikut hadir. Yang dikenal atau tersebar (ma’ruf) dari sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah beliau lebih banyak diam serta menyibukkan diri dengan merenung dan memikirkan kondisi ketika itu (kematian). Demikianlah di antara petunjuk salaf setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan cukuplah kematian itu sebagai sebaik-baik peringatan dan nasihat. (Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 3: 274 dan Ahkaamul Maqaabir, hal. 398)

Akan tetapi, jika dalam kondisi tersebut ada di antara hadirin yang berilmu menyampaikan sedikit nasihat ringkas (singkat) yang berisi tentang motivasi agar manusia menyiapkan diri menghadapi kematian, memperingatkan bahwa kematian itu sangat dekat dengan kita, juga mengingatkan bahwa amal akan dihisab pada hari kiamat, tentu ini juga sebuah kebaikan. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah tidak menjadikan hal semacam ini sebagai suatu kebiasaan.

Hal ini sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami pernah berada di dekat kuburan Baqi’ Al-Ghorqad. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi kami, lalu beliau duduk. Kami pun ikut duduk di dekat beliau. Beliau membawa sebuah tongkat kecil yang dengan tongkat itu beliau memukul-mukul permukaan tanah dan mengorek-ngoreknya, seraya berkata,

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ، مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ إِلَّا كُتِبَ مَكَانُهَا مِنَ الجَنَّةِ وَالنَّارِ، وَإِلَّا قَدْ كُتِبَ شَقِيَّةً أَوْ سَعِيدَةً

Tidak ada seorang pun dari kalian dan juga tidak satu pun jiwa yang bernafas, melainkan telah ditentukan tempatnya di surga atau di neraka dan sudah ditentukan jalan sengsaranya atau bahagianya.” (HR. Bukhari no. 1362 dan Muslim no. 2647)

Faedah keempat

Hadis tersebut menunjukkan bolehnya duduk di samping makam ketika memakamkan jenazah, dengan syarat bahwa hal itu tidak membuat sempit orang-orang yang sedang memakamkan jenazah atau merusak makam yang ada di sekitarnya. Hal ini ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan dari sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu di atas.

***

@Rumah Kasongan, 1 Sya’ban 1443/ 4 Maret 2022

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/73416-menangis-ketika-ditinggal-mati.html