Tafsir Ayatul Ahkam Surat Al-Baqarah 258-260: Kisah Nabi Ibrahim dan Namrud (1)

Al-Quran mengulas kisah Nabi Ibrahim Alaihissalam dan Raja Namrud, seorang raja diktator pertama dunia di Negeri Khaldea, Mesopotamia

Al-QURAN secara khusus mengulas kisah Nabi Ibrahim Alaihissalam dan Raja Namrud, seorang raja diktator pertama dunia di Negeri Khaldea, Mesopotamia.

Dalam berbagai catatan Mesopotamia kuno disebutkan nama penduduk Babilonia kuno dengan nama Khaldea Eugene Manna”. Itulah nama yang diberikan Uskup Metropolis Yaqob dalam ensiklopedinya yang berjudul Dalil Ar-Raghibin.

Buku ini merupakan Ensiklopedi Khaldea berbahasa Arab. Bahasa mereka dinamai Kaldasia, dan sebutan mereka secara geografis adalah Kalduyusa. Nama ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab menjadi Kaldan.

Jadi, Kaldan berarti raja-raja diktator. Raja mereka yang paling populer adalah Namrud. Negara ini merupakan negara yang pertama muncul sesudah mata banjir besar yang terjadi pada tahun 1881 SM. (Lihat kitab Dzakhirath Adzhan (jilid 2] karya Petrus Nasri, terbitan Darul Kitab Al-Arabi).

Sementara ibu kota negara mereka adalah Babilonia. Sedangkan nama mereka dalam kitab Perjanjian Lama adalah Kasdim atau Kashdim yang berarti para raja diktator atau para pembela.

Bangsa Yunani menyebut mereka Chaldaeans. Bangsa Khaldea kuno menjalankan pemerintahan dengan sistem kerajaan, mereke menjangkau wilayah yang sangat luas, dimulai dari bagian tengah dan selatan wilayah Mesopotamia, membentang hingga barat daya Iran sekarang, seluruh pantai Teluk dan pulau-pulaunya, terutama Pulau Dilmun atau Telmun (Bahrain sekarang) dan Pulau Failaka (sekarang bernama Kuwait).

Negeri Khaldea dahulu dinamai negeri laut karena memiliki banyak paya (lahan basah) dan danau.Kisah Nabi Ibrahim alaihissaalam dan Namrud dimuat dalam Surat Al-Baqarah 258-260;

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْ حَاۤجَّ اِبْرٰهٖمَ فِيْ رَبِّهٖٓ اَنْ اٰتٰىهُ اللّٰهُ الْمُلْكَ ۘ اِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّيَ الَّذِيْ يُحْيٖ وَيُمِيْتُۙ قَالَ اَنَا۠ اُحْيٖ وَاُمِيْتُ ۗ قَالَ اِبْرٰهٖمُ فَاِنَّ اللّٰهَ يَأْتِيْ بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِيْ كَفَرَ ۗوَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَۚ ٢٥٨

“Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya karena Allah telah menganugerahkan kepadanya (orang itu) kerajaan (kekuasaan), (yakni) ketika Ibrahim berkata, “Tuhankulah yang menghidupkan dan mematikan.” (Orang itu) berkata, “Aku (pun) dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Kalau begitu, sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur. Maka, terbitkanlah ia dari barat.” Akhirnya, bingunglah orang yang kufur itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS: Al-Baqarah [2]: 258-260).

Tewasnya Namrudz

Dalam ayat ini terdapat kisah Namrudz dan Nabi Ibrahim ‘Alaihi as-Sallam. Nama lengkap Namrudz adalah Namrudz bin Kaisy bin Kan’an bin Sam bin Nuh. Raja Babilonia yang membakar Nabi Ibrahim dengan api.

Ia mati karena nyamuk masuk ke dalam hidungnya dan tembus ke otaknya dia merasa kesakitan sekali, sampai menyuruh para crew nya memukul kepalanya  dengan benda keras supaya meredakan rasa sakit di kepalanya. Dia menderita sakit tersebut selama 40 hari lamanya, kemudian meninggal dunia.

Sebagian menyatakan dia adalah raja pertama di dunia, atau raja pertama yang sombong, otoriter dan kejam. Dikatakan bahwa raja di dunia ada kala itu ada empat: dua dari kalangan kafir, yaitu  Namrudz dan Bukhtansir. Sedangkan yang dua lagi dari kalangan Muslim, yaitu Nabi Sulaiman dan Dzulkarnain.

Terdapat beberapa riwayat tentang sebab terjadinya dialog antara Nabi Ibrahim dan Namrudz. Salah satunya diriwayatkan bahwa mereka pada perayaan hari raya keluar dari tempat ibadah mereka.

Masuklah Nabi Ibrahim ke tempat ibadah yang di dalamnya terdapat berhala-berhala. Nabi Ibrahim menghancurkan berhala-berhala tersebut kemudian dipanggil oleh Namrudz.

Maka terjadilah dialog tersebut. Peristiwa ini sebagiannya juga disebutkan Allah dalam firman-Nya, (QS. Al-Anbiya [21]: 51-72).

Raja Namrudz mengajukan pertanyaan kepada Nabi Ibrahim tentang tuhannya yang ia mengajak orang-orang untuk menyembahnya. Lalu Nabi Ibrahim menjawab, “Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan. Dia adalah Tuhan yang menciptakan kehidupan dan kematian.”

Lalu Namrudz yang sombong, angkuh dan orang yang pertama kali bersikap semena-mena mengingkari hal itu. Ia berkata; “Saya bisa menghidupkan sebagian orang yang diancam hukuman mati dengan memberi ampunan dan bisa mematikan sebagian yang lain dengan tetap melaksanakan hukuman mati atas mereka.”

Lalu Namrudz meminta dihadirkan dua orang lalu satunya diberi ampunan sedangkan yang satunya lagi ia bunuh. Lalu Namrudz juga menangkap empat orang dan memasukkan mereka semua ke dalam rumah tanpa memberi mereka makan dan minum untuk beberapa hari.

Kemudian  ia memberi makan dua dari keempat orang tersebut sehingga mereka berdua tetap hidup dan membiarkan dua lainnya tanpa makanan dan minuman sehingga mereka berdua mati.

Di sini Namrudz salah dalam memahami maksud Nabi Ibrahim. Maksudnya adalah menghidupkan sesuatu yang belum ada menjadi ada atau menghidupkan  yang sudah mati dan mematikan seluruh makhluk yang ada di bumi ini.

Tetapi Nabi Ibrahim tidak mau menyebut masalah itu lagi. Beliau menggunakan dalil lain yang tidak mungkin disalah artikan lagi.

Beliau menyatakan;

فَاِنَّ اللّٰهَ يَأْتِيْ بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ

“Allah menerbitkan  matahari dari timur, maka dia terbitlah dari barat.”

فَبُهِتَ الَّذِيْ كَفَرَ

“Maka terdiam dan bingunglah kafir tersebut.”

Ungkapan pada ayat di atas memberikan pemahaman bahwa yang menyebabkan Namrudz terdiam dan bingung adalah kekafirannya.

As-Suddi menyebutkan bahwa dialog dan perdebatan antara Namrudz dan Nabi Ibrahim terjadi setelah Nabi Ibrahim dibakar  dan selamat dari api. Sedangkan yang lain berpendapat bahwa Namrudz setelah kalah berdebat, dia memerintahkan kepada bala tentaranya untuk menangkap dan membakar Nabi Ibrahim, ini juga diungkapkan dalam  Surat al-Anbiya’,

 قَالُوْا حَرِّقُوْهُ وَانْصُرُوْٓا اٰلِهَتَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ فٰعِلِيْنَ

قُلْنَا يَا نَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَّسَلٰمًا عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ ۙ

“Mereka berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak berbuat. Kami (Allah) berfirman, “Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!” (QS. Al-Anbiya [21]: 68-69).*.*/Dr Ahmad Zain An-NajahPusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)

(BERSAMBUNG)

HIDAYATULLAH

BPKH dan Dana Haji Dinilai Perlu Audit Khusus

KPK mengingatkan persoalan serius dalam tata kelola penyelenggaraan ibadah haji. Ada tiga titik rawan korupsi, yaitu biaya akomodasi, konsumsi dan pengawasan. Lalu, soal penempatan dan investasi dana haji masih tidak optimal.

Anggota DPR RI, Fadli Zon menilai, temuan KPK itu serius dan pemerintah harus menindaklanjuti. Maka itu, ia menegaskan, jangan sampai masalah tata kelola penyelenggaraan ibadah haji, malah dialihkan tanggungannya kepada jamaah.

Ia mengingatkan, jamaah haji sudah menyetorkan uang ke bank selama belasan, bahkan 20 tahun lebih untuk berangkat haji. Namun, giliran mereka berangkat, tetap harus membayar sangat mahal karena pengelolaan dana umat tidak baik.

“Ini kan zalim namanya,” kata Fadli, Sabtu (28/1/2023).

Untuk itu, jalur investasi dan penempatan dana haji seharusnya diaudit khusus terlebih dulu, termasuk audit khusus ke Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Hal ini untuk mengetahui posisi keberlanjutan pengelolaan dana haji ke depan.

Jangan sampai jamaah haji yang sebagian besar hanya petani dan orang-orang kecil harus menanggung kesalahan dalam tata kelola keuangan haji pemerintah tersebut. Apalagi, Kemenag hanya menggunakan dalih prinsip istitha’ah atau kemampuan.

Kemudian, biaya yang harus dibayar oleh jemaah haji Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan jamaah haji Malaysia. Padahal, jumlah jamaah haji yang berasal dari Indonesia merupakan terbesar dunia. Jamaah reguler saja mencapai 203.320 orang.

Malaysia menetapkan biaya ke dua golongan B40 (Bottom 40) atau warga pendapatan 40 persen terbawah dan kategori Bukan B40 untuk selebihnya. Secara keseluruhan, biaya haji Malaysia dan Indonesia relatif sama yang berada di limit Rp 100 juta.

Namun, biaya yang harus dibayarkan jamaah B40 di Malaysia hanya sebesar MYR 10.980 atau Rp 38,59 juta. Sedangkan, jamaah yang tergolong Bukan B40 hanya membayar MYR 12.980 atau Rp 45,62 juta. Sisanya ditanggung lembaga Tabung Haji.

“Dengan jumlah jamaah yang besar, jika dikelola benar, mestinya akumulasi dana haji yang terkumpul bisa mendatangkan nilai manfaat besar untuk jamaah haji kita , bukan mendatangkan nilai manfaat untuk pihak lain sebagaimana ditengarai KPK,” ujar Fadli.

Dengan catatan-catatan tersebut, Fadli mengingatkan, tidak sepantasnya beban pembiayaan haji ditanggungkan sebesar-besarnya kepada calon jemaah haji. Yang mana, sudah menyetorkan uang dan mengendapkan saldonya di bank jauh-jauh hari.

Tidak bisa BPKH dan Kemenag mengajukan dalih keberlangsungan penyelenggaraan haji secara sepihak, tanpa ada audit investigasi yang menyeluruh terhadap pengelolaan dana haji selama ini. Walaupun, kenaikan biaya haji keniscayaan.

“Namun, besarannya pastilah tidak setinggi sebagaimana yang telah diusulkan oleh Kemenag dan BPKH,” kata Fadli. 

IHRAM

Apakah Boleh Menikah dengan Ibu Mertua Tiri?

Termasuk perkara yang kerap menjadi pertanyaan di tengah masyarakat adalah hukum pernikahan menantu dengan ibu mertua tirinya. Perkara ini sering terjadi kerancuan di tengah masyarakat terkait kebolehan menikah dengan ibu mertua tiri.

Untuk lebih mudah, berikut gambaran pernikahan menantu dengan ibu mertua tirinya. Misalnya, Budi menikah dengan Aisyah. Kemudian ayah Aisyah menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Aminah. Maka Aminah adalah ibu tiri Aisyah sekaligus ibu mertua tiri bagi Budi. Begitu Aminah bercerai dari ayahnya Aisyah, Apakah boleh Budi menikahi Aminah?

Menikahi ibu mertua tir hukumnya boleh. Tidak ada larangan dalam syariat untuk menikahi ibu mertua tiri karena ibu mertua tiri tidak termasuk mahram yang haram dinikahi. Untuk contoh di atas, Budi boleh menikah dengan Aminah karena di antara keduanya tidak ada hubungan nasab, susuan, ataupun kemertuaan (mushaharah) yang menjadikan keduanya mahram.

Hal ini sebagaimana keterangan dalam kitab Majmu’ Fatawa wa Maqaalat Mutanawwi’ah [21/16] berikut;

زوجة الأب لا تكون محرما لزوج ابنته من غيرها، وإنما المحرمية تكون لأم الزوجة بالنسبة إلى زوج ابنتها؛ لقول الله عز وجل في بيان المحرمات من النساء: {وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ} (1) وزوجة الأب ليست أما لابنته من غيرها

“Istri ayah (ibu tiri), bukanlah mahram untuk suami anak perempuan dari istri yang lainnya (suami anak perempuan tiri). Yang menjadi mahram untuk suami anak perempuannya adalah, ibu kandung istrinya.

Berdasarkan firman Allah di saat menjelaskan tentang perempuan-perempuan yang haram dinikahi; “Kemudian ibu (kandung) istri kalian…” sementara istrinya ayah bukanlah ibu (kandung) bagi anak perempuan dari istrinya yang lain.”

Bahkan boleh hukumnya poligami seorang perempuan dengan ibu tiri perempuan tersebut (ibu mertua tiri). Artinya dalam contoh di atas, Budi boleh menikahi Aminah dan Aisyah sekaligus. Budi tidak harus bercerai dulu dengan Aisyah untuk boleh menikah dengan Aminah.

Sebagaimana penjelasan Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarhul Muhadzab [16/226];

‌ويجوز ‌ان ‌يجمع ‌بين ‌المرأة ‌وبين ‌زوجة ‌ابيها لانه لا قرابه بينهما ولا رضاع

“Dan boleh mengumpulkan seorang perempuan dengan istri dari ayah perempuan (ibu mertua tiri) tersebut karena tidak ada hubungan kekerabatan dan persusuan di antara keduanya.”

Dengan demikian dapat diketahui bahwa ibu mertua tiri atau ibu tirinya istri tidak masuk dalam kategori ibu yang haram dinikahi. Ia boleh dinikahi oleh menantu tirinya dan bahkan dipoligami bersama anak perempuan tirinya.

Sekian penjelasannya, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH

Sudah Taubat Lalu Bermaksiat Lagi, Apakah Diterima Taubatnya?

Orang berbuat maksiat lalu taubat, kemudian bermaksiat lagi, kemudian taubat lagi. Apakah taubatnya diterima?

Pintu Taubat Dibuka Lebar

Sungguh Allah Ta’ala telah melapangkan dan melonggarkan serta memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada kita untuk bertaubat kepada-Nya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيْءُ النَّهَارِ ، وَبِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيْءُ اللَّيْلِ

Sungguh, Allah meluaskan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat dari hamba yang bermaksiat di siang hari. Dan Allah meluaskan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat dari hamba yang bermaksiat di malam hari” (HR. Muslim no.7165)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لمَ ْيُغَرْغِرْ

Sungguh Allah menerima taubat hamba-Nya selama nyawa belum sampai di kerongkongan” (HR. At Tirmidzi, 3880. Ia berkata: “Hadits ini hasan gharib”. Di-hasan-kan oleh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi).

Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga telah mengabarkan kepada kita kisah seorang lelaki yang telah membunuh 99 orang:

فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنَ تَوْبَةٍ فَقَالَ لاَ. فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ فَقَالَ نَعَمْ وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ

Lelaki tersebut ditunjukkan kepada seorang ahli ibadah, ia mendatanginya dan bertanya: ‘Aku telah membunuh 99 orang. Apakah aku masih bisa bertaubat?’. Ahli ibadah tadi berkata: ‘Tidak’. Lelaki tersebut pun membunuhnya hingga genaplah 100 orang. Kemudian ia bertanya kepada penduduk yang paling alim, dan ia pun ditunjukkan kepada seorang ulama. Ia kemudian bertanya: ‘Aku telah membunuh 100 orang. Apakah aku masih bisa bertaubat?’. Ulama tadi berkata: ‘Ya. Memangnya siapa yang bisa menghalangimu untuk mendapatkan taubat?’” (HR. Muslim, no.7184)

Maka siapakah yang bisa menghalangi anda dari taubat, saudaraku? Kesempatan selalu terbuka lebar!

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang Allah kehendaki” (QS. An Nisa: 48)

Bahkan dosa syirik! Ketika seorang musyrik bertaubat kepada Allah dan ia kembali ke jalan Allah Ta’ala, maka tidak ada yang dapat menghalangi ia dari Allah. Bahkan, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengabarkan bahwa orang musyrik dari kalangan ahlul kitab yang bertaubat, ia mendapat dua pahala dari taubatnya.

Mengulang Dosa Setelah Taubat

Memang demikianlah sifat dasar manusia, berbuat kesalahan tidak hanya sekali namun berkali-kali. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

Setiap manusia pasti banyak berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang sering bertaubat” (HR. Tirmidzi no.2687. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini gharib”. Di-hasan-kan Al Albani dalam Al Jami Ash Shaghir, 291/18).

Perhatikan dalam hadits ini digunakan kata خطاء yang artinya: banyak berbuat salah. Namun kata Nabi setelah itu, “sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang sering bertaubat”. Ini isyarat bahwa orang yang dosanya banyak, termasuk orang yang mengulang dosa yang sama setelah taubat, tetap akan diterima taubatnya.

Juga dalam sebuah hadits shahih disebutkan:

أإِنَّ عَبْدًا أَصَابَ ذَنْبًا فَقَالَ يَا رَبِّ إِنِّى أَذْنَبْتُ ذَنْبًا فَاغْفِرْ لِى فَقَالَ رَبُّهُ عَلِمَ عَبْدِى أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ فَغَفَرَ لَهُ ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ أَصَابَ ذَنْبًا آخَرَ وَرُبَّمَا قَالَ أَذْنَبَ ذَنْبًا آخَرَ فَقَالَ يَا رَبِّ إِنِّى أَذْنَبْتُ ذَنْبًا آخَرَ فَاغْفِرْ لِى قَالَ رَبُّهُ عَلِمَ عَبْدِى أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ فَغَفَرَ لَهُ ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ أَصَابَ ذَنْبًا آخَرَ وَرُبَّمَا قَالَ أَذْنَبَ ذَنْبًا آخَرَ فَقَالَ يَا رَبِّ إِنِّى أَذْنَبْتُ ذَنْبًا آخَرَ فَاغْفِرْ لِى فَقَالَ رَبُّهُ عَلِمَ عَبْدِى أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ فَقَالَ رَبُّهُ غَفَرْتُ لِعَبْدِى فَلْيَعْمَلْ مَا شَاءَ

Ada seorang hamba yang berbuat dosa lalu ia berkata: ‘Ya Rabbi, aku telah berbuat dosa, ampunilah aku’. Lalu Allah berfirman: ‘Hambaku mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa’. Lalu dosanya diampuni. Dan berjalanlah waktu, lalu ia berbuat dosa lagi. Ketika berbuat dosa lagi ia berkata: ‘Ya Rabbi, aku telah berbuat dosa lagi, ampunilah aku’. Lalu Allah berfirman: ‘Hambaku mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa’. Lalu dosanya diampuni. Dan berjalanlah waktu, lalu ia berbuat dosa lagi. Ketika berbuat dosa lagi ia berkata: ‘Ya Rabbi, aku telah berbuat dosa lagi, ampunilah aku’. Lalu Allah berfirman: ‘Hambaku mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa’. Lalu dosanya diampuni. Lalu Allah berfirman: ‘Aku telah ampuni dosa hamba-Ku, maka hendaklah ia berbuat sesukanya’” (HR. Bukhari no. 7068).

Dalam Fathul Baari dijelaskan Ibnu Hajar Al Asqalani berkata: “Makna dari firman Allah ‘Aku telah ampuni dosa hamba-Ku, maka hendaklah ia berbuat sesukanya‘ adalah: ‘Selama engkau selalu bertaubat setiap kali bermaksiat, Aku telah ampuni dosamu’”. Beliau juga membawakan perkataan Imam An Nawawi: “Jika seseorang berbuat dosa seratus kali, seribu kali, atau bahkan lebih banyak, dan setiap berbuat dosa ia bertaubat, maka taubatnya diterima. Bahkan jika dari ribuan perbuatan dosa tadi setelahnya ia hanya sekali bertaubat, taubatnya pun diterima” (Fathul Baari, 89/21).

Apakah Ini Kabar Gembira Untuk Ahli Maksiat?

Tentu ini bukan angin segar untuk terus berbuat maksiat. Karena seseorang bermaksiat hendaknya ia sadari bahwa belum tentu ia mendapatkan taufiq untuk bertaubat nasuha setelah maksiat dan belum tentu ia mati dalam keadaan sudah bertaubat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا

Sungguh setiap amal tergantung pada bagian akhirnya” (HR. Bukhari no. 6493).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

الرجلَ ليعمل الزمنَ الطويلَ بعمل أهلِ الجنَّةِ ، ثم يُختَمُ له عملُه بعمل أهلِ النَّارِ ، و إنَّ الرجلَ لَيعمل الزمنَ الطويلَ بعملِ أهلِ النَّارِ ثم يُختَمُ [ له ] عملُه بعمل أهلِ الجنَّةِ

Ada seseorang yang ia sungguh telah beramal dengan amalan penghuni surga dalam waktu yang lama, kemudian ia menutup hidupnya dengan amalan penghuni neraka. Dan ada seseorang yang ia sungguh telah beramal dengan amalan penghuni neraka dalam waktu yang lama, lalu ia menutup hidupnya dengan amalan penghuni surga” (HR. Al Bukhari no. 2898, 4282, Muslim no. 112, 2651).

Maka teruslah istiqamah menjauhi maksiat dan terus bertaubat kepada Allah, semoga kita dimatikan di atas kebaikan.

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Yulian Purnama

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/39299-sudah-taubat-lalu-bermaksiat-lagi-apakah-diterima-taubatnya.html

Apakah Taubat Harus Diumumkan?

Dalam artikel ini akan dibahas beberapa syarat taubat dan kondisi seperti apa taubat dianjurkan untuk diumumkan

Luasnya Kesempatan untuk Bertaubat

Sungguh Allah Ta’ala telah melapangkan dan melonggarkan serta memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada kita untuk bertaubat kepada-Nya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيْءُ النَّهَارِ ، وَبِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيْءُ اللَّيْلِ

“Sungguh, Allah meluaskan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat dari hamba yang bermaksiat di siang hari. Dan Allah meluaskan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat dari hamba yang bermaksiat di malam hari” (HR. Muslim no.7165)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لمَ ْيُغَرْغِرْ

“Sungguh Allah menerima taubat hamba-Nya selama belum yu-ghor-ghir” (HR. At Tirmidzi, 3880. Ia berkata: “Hadits ini hasan gharib”. Di-hasan-kan oleh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi)

Yu-ghor-ghir artinya ketika nyawa sudah sampai di kerongkongan. Itulah batas waktu terakhir yang Allah tidak menerima lagi taubat hamba-Nya.

Syarat-Syarat Taubat

Kebanyakan ulama menyebutkan syarat taubat minimalnya ada tiga:

  1. Al iqla’ (berhenti melakukan maksiat)
  2. An nadam (menyesal)
  3. Al ‘azm (bertekad untuk tidak mengulang lagi)

Orang yang melakukan tiga hal ini maka ia dianggap sudah bertaubat. Dan tiga syarat ini yang paling banyak disebutkan para ulama ketika menyebutkan syarat-syarat taubat. Umar bin Khathab radhiallahu’anhu mengatakan:

التَّوْبَةُ النَّصُوحُ أَنْ يَتُوبَ ثُمَّ لَا يَعُودَ إِلَى الذَّنْبِ، كَمَا لَا يَعُودُ اللَّبَنُ إِلَى الضَّرْعِ

“taubat nasuha adalah dengan tidak mengulang lagi dosa yang ia taubati, sebagaimana susu yang tidak akan masuk lagi ke perahannya”

Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan:

هِيَ أَنْ يَكُونَ الْعَبْدُ نَادِمًا عَلَى مَا مَضَى؛ مُجْمِعًا عَلَى أَلَّا يَعُودَ فِيهِ

“Taubat seorang hamba adalah dengan menyesal terhadap apa yang telah ia lakukan, ditambah dengan tekad untuk tidak melakukannya lagi”.

Al Qurthubi rahimahullah mengatatakan:

يَجْمَعُهَا أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ: الِاسْتِغْفَارُ بِاللِّسَانِ ، وَالْإِقْلَاعُ بِالْأَبْدَانِ ، وَإِضْمَارُ تَرْكِ الْعَوْدِ بِالْجَنَانِ ، وَمُهَاجَرَةُ سَيِّئِ الْإِخْوَانِ

“Taubat itu menggabungkan 4 hal: istighfar dengan lisan, berhenti melakukan maksiat dengan badan, bertekad untuk tidak kembali melakukannya dengan anggota badan, dan menjauhi teman-teman yang buruk”

[semua nukilan di atas dari Tafsir Al Baghawi, 8/169]

Haruskah Taubat Diumumkan?

Lalu apakah orang yang bertaubat dari suatu maksiat wajib mengumumkan taubatnya kepada orang banyak? Apakah mengumumkan taubat adalah salah satu syarat taubat?

Jumhur ulama mengatakan tidak wajib, bahkan yang utama adalah bertaubat secara sirr (tidak diumumkan). Karena dalil-dalil menunjukkan tidak disyaratkannya mengumumkan taubat. Allah ta’ala berfirman:

إِلاَّ مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ

“…kecuali orang yang bertaubat, dan beriman (dengan benar) dan beramal shalih, maka mereka akan digantikan keburukan-keburukan mereka dengan kebaikan-kebaikan” (QS. Al Furqan: 80).

Dalam ayat ini tidak disebutkan syarat mengumumkan taubat, namun Allah menjanjikan ampunan dan dosa-dosanya diganti dengan kebaikan.

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

النَّدَمُ تَوْبَةٌ

“Penyesalan itu taubat” (HR. Ahmad no.3568, Ibnu Majah no.4252, Al Baihaqi no.21067. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Menunjukkan bahwa inti dari taubat adalah penyesalan, walaupun tidak diumumkan kepada orang banyak sudah dianggap taubat.

Kondisi Dianjurkan Mengumumkan Taubat

Jika seseorang melakukan maksiat yang tersebar luas dan ia masyhur dikenal sebagai pelaku maksiat tersebut. Maka ketika itu hendaknya diumumkan.

Ibnu Rajab menjelaskan:

وجمهور العلماء على أن من تاب من ذنب فالأصل أن يستر على نفسه, ولا يقر به عند أحد، بل يتوب منه فيما بينه وبين الله عز وجل, روي ذلك عن أبي بكر، وعمر، وابن مسعود، وغيرهم، ونص عليه الشافعي, ومن أصحابه وأصحابنا من قال: إن كان غير معروف بين الناس بالفجور فكذلك، وإن كان معلنًا بالفجور مشتهرًا به فالأولى أن يقر بذنبه عند الإمام ليطهره منه

“Jumhur ulama mengatakan bahwa orang yang taubat asalnya hendaknya menyembunyikan taubatnya. Tidak menyampaikannya kepada siapapun. Namun ia simpan antara dia dengan Allah ‘azza wa jalla. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ibnu Mas’ud, dan sahabat yang lain. Asy Syafi’i juga menegaskan pendapat ini. Dan diantara ulama madzhab kami (Hambali) ada yang mengatakan: jika orang tersebut tidak dikenal sebagai ahli maksiat maka hendaknya ia sembunyikan taubatnya. Namun jika ia mengumumkan maksiatnya sehingga ia masyhur dikenal sebagai pelaku maksiat tersebut, maka yang lebih utama ia nyatakan taubatnya di depan imam untuk membersihkan namanya” (Fathul Bari, 1/61-62).

Intinya, taubat perlu diumumkan jika ada kebutuhan untuk membersihkan namanya dari maksiat yang pernah ia lakukan, agar kehormatannya terjaga. Namun jika tidak ada kebutuhan, yang lebih utama tidak mengumumkan taubatnya.

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/53589-apakah-taubat-harus-diumumkan.html

Tata Cara Salat Tobat

Setiap manusia berpotensi melakukan dosa baik kecil maupun besar. Akan tetapi, Allah ‘Azza Wajalla menunjukkan rahmat-Nya kepada kita semua, yaitu dengan membuka pintu tobat selebar-lebarnya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,

إنَّ اللَّهَ كَتَبَ كِتابًا قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الخَلْقَ: إنَّ رَحْمَتي سَبَقَتْ غَضَبِي، فَهو مَكْتُوبٌ عِنْدَهُ فَوْقَ العَرْشِ

Sesungguhnya Allah ‘Azza wajalla menetapkan satu ketetapan sebelum menciptakan makhluk yang berisi: sesungguhnya rahmat-Ku jauh melampaui kemurkaan-Ku. Dan itu tercatat di sisi-Nya di atas ‘arsy.” (HR. Bukhari no. 7554)

Termasuk dengan disyariatkannya salat tobat bagi mereka yang mengerjakan perbuatan dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar. Sebagaimana dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ، ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ : “وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Tidaklah seorang hamba melakukan dosa, kemudian bersuci dan salat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Allah, kecuali Allah pasti akan mengampuni dosanya. Kemudian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama membaca ayat,

وَالَّذِيْنَ اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْۗ وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗ وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلٰى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ

Demikian (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka (segera) mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya. Siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan apa yang mereka kerjakan (perbuatan dosa itu) sedangkan mereka mengetahui(nya).” (QS Ali Imran: 135).” (HR. Abu Dawud no. 1521)

Dalam hadis yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعًا (شك أحد الرواة) يُحْسِنُ فِيهِمَا الذِّكْرَ وَالْخُشُوعَ ، ثُمَّ اسْتَغْفَرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ ، غَفَرَ لَهُ

Barangsiapa berwudu dengan baik kemudian mengerjakan salat dua rakaat atau empat rakaat (perawi hadis ragu terhadap redaksi – komentar ini bukan bagian lafaz hadis) dengan memperbagus zikir dan khusyu, kemudian meminta ampunan kepada Allah, maka Allah akan mengampuninya.” (HR. Ahmad no. 26998)

Dan cara-cara mengerjakannya adalah sebagai berikut:

Pertama: Dikerjakan dalam rangka bertobat setelah melakukan perbuatan dosa.

Kedua: Salat tobat dikerjakan sebanyak dua rakaat sebagaimana salat sunah yang lain.

Ketiga: Disunahkan untuk dikerjakan secara sendirian, bukan berjemaah.

Keempat: Disunahkan beristigfar setelahnya dengan lafaz-lafaz istigfar yang datang dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama atau dengan kalimat yang mudah baginya untuk diucapkan.

Kelima: Dianjurkan bagi siapapun yang bertobat dari dosa untuk memperbanyak amalan kebaikan setelahnya.

Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kita agar senantiasa dan bersegera untuk bertobat kepada-Nya. Aamin

***

Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/82389-tata-cara-salat-taubat.html

4 Ayat Alquran tentang Keindahan Alam Semesta

ADA banyak ayat Alquran tentang keindahan alam semesta. Dalam penciptaan alam semesta ini, terdapat pola keindahan yang sangat elegan yang segala sesuatunya diatur oleh Sang Pencipta Tertinggi.

Berikut ayat Alquran tentang keindahan alam semesta tersebut:

1. Ayat Alquran tentang keindahan alam semesta: QS An Nahl ayat 5-6

وَلَكُمْ فِيهَا جَمَالٌ حِينَ تُرِيحُونَ وَحِينَ تَسْرَحُونَ

“Kamu memperoleh keindahan padanya ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika melepaskannya (ke tempat penggembalaan).”

Ayat ini mengemukakkan tentang keindahan dan manfaat hewan ternak.

2. Ayat Alquran tentang keindahan alam semesta: QS An Naml  ayat 60

أَمَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَأَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَنْبَتْنَا بِهِ حَدَائِقَ ذَاتَ بَهْجَةٍ مَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُنْبِتُوا شَجَرَهَا ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ يَعْدِلُونَ

“Apakah (yang kamu sekutukan itu lebih baik ataukah) Zat yang menciptakan langit dan bumi serta yang menurunkan air dari langit untukmu, lalu Kami menumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah (yang) kamu tidak akan mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah ada tuhan (lain) bersama Allah? Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran).” (QS  An Naml: 60)

Ayat ini mengemukakan tentang manfaat hujan yang bermanfaat untuk tanaman dan bunga, sehinga terlihat indah.

3. Ayat Alquran tentang keindahan alam semesta: QS As saffat ayat 6

إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ

Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit dunia (yang terdekat) dengan hiasan (berupa) bintang-bintang.” (QS As saffat: 6)

Ayat ini mengemukakan tentang penciptaan bintang untuk menghias langit agar indah

4. Ayat Alquran tentang keindahan alam semesta: QS al Mulk ayat 3-4

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا ۖ مَا تَرَىٰ فِي خَلْقِ الرَّحْمَٰنِ مِنْ تَفَاوُتٍ ۖ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَىٰ مِنْ فُطُورٍ.ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ

(Dia juga) yang menciptakan tujuh langit berlapis-Empat Dalil Alquran tentang Keindahan Alam Semesta

Ayat ini mengemukakan tentang langit berlapis-lapis yang diciptkan agar dunia seimbang. []

SUMBER: ABOUT ISLAM

8 Sebab Nabi Diutus di Tanah Arab

JIKA kita banyak membaca sejarah, maka kita akan menemukan bahwa nabi dan rasul yang terpilih banyak yang lahir dari Jazirah Arab. Lalu timbul pertanyaan, “Mengapa Arab?” “Mengapa tanah gersang dengan orang-orang nomad di sana dipilih menjadi tempat diutusnya Rasul terakhir ini?” Ya, apa sebab Nabi diutus di Tanah Arab?

Tidak sedikit umat Islam yang bertanya-tanya penasaran tentang hal ini. Mereka berusaha mencari hikmahnya. Ada yang bertemu. Ada pula yang meraba tak tentu arah.

Para ulama mencoba menyebutkan hikmah tersebut. Dan dengan kerendahan hati, mereka tetap mengakui hakikat sejati hanya Allah-lah yang mengetahui.

Para ulama adalah orang yang berhati-hati. Jauh lebih hati-hati dari seorang peneliti. Mereka jauh dari mengedepankan egoisme suku dan ras. Mereka memiliki niat, yang insya Allah, tulus untuk hikmah dan ilmu.

Zaid bin Abdul Karim az-Zaid dalam Fiqh as-Sirah menyebutkan di antara latar belakang diutusnya para rasul, khususnya rasul terakhir, Muhammad ﷺ, di Jazirah Arab adaalah:

1. Sebab Nabi Diutus di Tanah Arab: Jazirah Arab adalah tanah merdeka.

Jazirah Arab adalah tanah merdeka yang tidak memiliki penguasa. Tidak ada penguasa yang memiliki kekuasaan politik dan agama secara absolut di daerah tersebut. Berbeda halnya dengan wilayah-wilayah lain. Ada yang dikuasai Persia, Romawi, dan kerajaan lainnya.

2Sebab Nabi Diutus di Tanah Arab: Memiliki agama dan kepercayaan yang beragam.

Mereka memang orang-orang pagan penyembah berhala. Namun berhala mereka berbeda-beda. Ada yang menyembah malaikat. Ada yang menyembah bintang-bintang. Dan ada pula yang menyembah patung –ini yang dominan-.

Patung yang mereka sembah pun bermacam ragam. Setiap daerah memiliki patung jenis tertentu. Keyakinan mereka beragam. Ada yang menolak, ada pula yang menerima.

Di antara mereka juga terdapat orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dan sedikit yang masih berpegang kepada ajaran Nabi Ibrahim yang murni.

3. Sebab Nabi Diutus di Tanah Arab:  Kondisi sosial yang unik mungkin bisa dikatakan istimewa tatkala itu. Mereka memiliki jiwa fanatik kesukuan (ashabiyah).

Orang Arab hidup dalam tribalisme, kesukuan. Pemimpin masyarakat adalah kepala kabilah. Mereka menjadikan keluarga sendiri yang memimpin suatu koloni atau kabilah tertentu.

Dampak positifnya kentara saat Nabi ﷺ memulai dakwahnya. Kekuatan bani Hasyim menjaga dan melindungi beliau dalam berdakwah.

Apabila orang-orang Quraisy menganggu pribadi beliau, maka paman beliau, Abu Thalib, datang membela. Hal ini juga dirasakan oleh sebagian orang yang memeluk Islam. Keluarga mereka tetap membela mereka.

4. Sebab Nabi Diutus di Tanah Arab:  Jauh dari peradaban besar.

Mengapa jauh dari peradaban besar merupakan nilai positif? Karena benak mereka belum tercampuri oleh pemikiran-pemikiran lain.

Orang-orang Arab yang tinggal di Jazirah Arab atau terlebih khusus tinggal di Mekah, tidak terpengaruh pemikiran luar. Jauh dari ideologi dan peradaban majusi Persia dan Nasrani Romawi.

Bahkan keyakinan paganis juga jauh dari mereka. Sampai akhirnya Amr bin Luhai al-Khuza’I kagum dengan ibadah penduduk Syam. Lalu ia membawa berhala penduduk Syam ke Jazirah Arab.

Jauhnya pengaruh luar ini, membuat jiwa mereka masih polos, jujur, dan lebih adil menilai kebenaran wahyu.

5. Sebab Nabi Diutus di Tanah Arab:  Secara geografi, Jazirah Arab terletak di tengah dunia.

Memang pandangan ini terkesan subjektif. Tapi realitanya, Barat menyebut mereka dengan Timur Tengah. Geografi dunia Arab bisa berhubungan dengan belahan dunia lainnya.

Sehingga memudahkan dalam penyampaian dakwah Islam ke berbagai penjuru dunia. Terbukti, dalam waktu yang singkat, Islam sudah menyebar ke berbagai penjuru dunia. Ke Eropa dan Amerika.

6. Sebab Nabi Diutus di Tanah Arab: Mereka berkomunikasi dengan satu Bahasa yaitu bahasa Arab.

Jazirah Arab yang luas itu hanya memiliki satu bahasa untuk komunikasi di antara mereka, yaitu Bahasa Arab. Adapun wilayah-wilayah lainnya memiliki banyak bahasa. Saat itu, di India saja sudah memiliki 15 bahasa resmi (as-Sirah an-Nabawiyah oleh Abu al-Hasan an-Nadawi, Cet. Jeddah: Dar asy-Syuruq. Hal: 22).

Bayangkan seandainya di Indonesia, masing-masing daerah berbeda bahasa, bahkan sampai ratusan bahasa. Komunikasi akan terhambat dan dakwah sanag lambat tersebar karena kendala bahasa saja.

Dalam waktu yang lama, dakwah Islam mungkin belum terdengar ke belahan dunia lainnya karena disibukkan dengan kendala ini.

7. Sebab Nabi Diutus di Tanah Arab:  Banyaknya orang yang datang ke Mekah.

Mekah telah menjadi tempat istimewa sejak masa Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimassalam. Oleh karena itu, banyak utusan dari wilayah Arab lainnya datang ke sana.

Demikian juga jamaah haji. Pedagang. Para ahli syair dan sastrawan. Keadaan ini mempermudah untuk menyebarkan risalah kenabian.

Mereka datang ke Mekah, lalu kembali ke kampung mereka masing-masing dengan membawa berita risalah kerasulan.

8. Sebab Nabi Diutus di Tanah Arab: Faktor penduduknya.

Ibnu Khladun membagi bumi ini menjadi tujuh bagian. Bagian terjauh adalah kutub utara dan selatan. Inilah bagian yang ia sebut dengan bagian satu dan tujuh. Kemudian ia menyebutkan bagian dua dan enam. K

emudian bagian tiga dan lima. Kemudian menunjuk bagian keempat sebagai pusatnya. Ia tunjuk bagian tersebut dengan mengatakan, “wa sakanaha (Arab: وسكانها).

Penduduk Arab adalah orang-orang yang secara fisik proporsional; tidak terlalu tinggi dan tidak pendek. Tidak terlalu besar dan tidak kecil. Demikian juga warna kulitnya. Serta akhlak dan agamanya. Sehingga kebanyakan para nabi diutus di wilayah ini.

Tidak ada nabi dan rasul yang diutus di wilayah kutub utara atau selatan. Para nabi dan rasul secara khusus diutus kepada orang-orang yang sempurna secara jenis (tampilan fisik) dan akhlak. Kemudian Ibnu Khaldun berdalil dengan sebuah ayat:

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia…” (QS. Ali Imran: 110). (Muqaddimah Ibnu Khaldun, Cet. Bairut: Dar al-Kitab al-Albani. Hal: 141-142).

Karena pembicaraan pertama dalam ayat tersebut ditujukan kepada orang Arab, yakni para sahabat. Kemudian barulah umat Islam secara umum.

Secara realita, kita juga meyakini, memang ada bangsa yang unggul secara fisik. Contohnya ras Mongoloid. Sebuah istilah yang pernah digunakan untuk menunjuk karakter umum dari sebagian besar penghuni Asia Utara, Asia Timur, Asia Tenggara, Madagaskar di lepas pantai timur Afrika, beberapa bagian India Timur Laut, Eropa Utara, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Oseania. Memiliki ciri mata sipit, lebih kecil, dan lebih pendek dari ras Kaukasoid.

Ras Kaukasoid adalah karakter umum dari sebagian besar penghuni Eropa, Afrika Utara, Timur Tengah, Pakistan dan India Utara. Walaupun penelitian sekarang telah merubah steorotip ini. Namun hal ini bisa kita jadikan pendekatan pemahaman, mengapa Ibnu Khladun menyebut Timur Tengah sebagai “sakanaha”.

Artinya ada fisik yang lebih unggul. Mereka yang sipit ingin mengubah kelopak mata menjadi lebih lebar. Mereka yang pendek ingin lebih tinggi. Naluri manusia menyetujui bahwa Kaukasia lebih menarik. Atau dalam bahasa lain lebih unggul secara fisik.

Namun Allah Ta’ala lebih hikmah dan lebih jauh kebijaksanaannya dari hanya sekadar memandang fisik. Dia lengkapi orang-orang Kaukasia yang ada di Timur Tengah dengan perangai yang istimewa.

Hal ini bisa kita jumpai di buku-buku sirah tentang karakter bangsa Arab pra-Islam. Mereka jujur, polos, berkeinginan kuat, dermawan, dll. Kemudian Dia utus Nabi-Nya, Muhammad ﷺ di sana. []

ISLAMPOS

Naik Haji Lebih dari Sekali, Bagaimana Hukumnya?

SAHABAT mulia Islampos, ada kalangan muslim yang beruntung menunaikan haji hingga berkali-kali. Namun, bagimana sebenarnya hukum naik haji lebih dari sekali menurut syariat Islam?

Kita mengetahui bahwa ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima. Hukumnya wajib bagi setiap muslim yang mampu untuk menunaikannya. Itu artinya, tidak semua muslim mampu. Hanya orang-orang tertentu yang mampu naik haji.

Itu dikarenakan haji merupakan rangkaian ibadah yang tidak putus-putus, sehingga memerlukan kondisi fisik yang prima. Selain itu, waktu dan tempat pelaksanaan ibadah haji tidak sembarangan, yakni hanya dilakukan pada bulan haji dan bertempat di tanah suci Mekah, Arab Saudi.

Bagi muslim Indonesia, berangkat ke tanah suci memerlukan dana yang cukup besar, mengingat perjalanan dan akomodasi yang diperlukan. Biaya haji di Indonesia bahkan mencapai puluhan juta.

Kendati demikian, sejumlah muslim nyatanya mampu dan bisa menunaikan haji berkali-kali. Lantas, bagaimana hukumnya?

Rasulullah melakukan ibadah haji hanya satu kali seumur hidupnya. Maka, haji yang kedua, ketiga, dan seterusnya, dihukumi sunah. Kendati demikian, menurut pakar fikih asal Irak, Ibrahim Yazid An-Nakhai, hukum itu bisa berubah manakala ada atau tidak ada illat (alasan) yang mengikutinya. Kaidah usul fikih menyebutkan, hukum itu beredar (berlaku) sesuai dengan ada atau tidaknya illat.

Rasulullah pernah menangguhkan hukum rajam atas diri seorang pezina karena sedang hamil. Khalifah Umar bin Khattab pun pernah tidak menerapkan hukum potong tangan ketika seseorang yang mencuri karena keluarganya dalam keadaan miskin.

Dengan bersandar pada kaidah usul fikih di atas, menurut Ibrahim An-Nakhai, berhaji lebih dari sekali yang hukum asalnya sunah bisa menjadi makruh. Alasannya, apabila ada orang yang belum pergi haji dan ingin berangkat, namun gagal karena terbatasnya kuota, sementara di dalamnya ada orang yang sudah berhaji, maka hukumnya makruh.

Ulama yang juga budayawan, KH A Mustofa Bisri (akrab disapa Gus Mus), dalam bukunya Fiqh Keseharian Gus Mus, menyatakan, Al-Muta’addi Afdhalu min al-Qaashir (yang luas itu lebih baik daripada yang ringkas). Maksudnya, membantu fakir miskin, anak yatim, membangun lembaga pendidikan, dan lain sebagainya yang manfaatnya lebih luas, lebih afdhal (mulia) daripada berhaji untuk kedua kali atau lebih yang manfaatnya hanya untuk diri sendiri.

Tentu saja, memberi sedekah dan membangun lembaga pendidikan akan lebih besar manfaatnya (maslahah). Bahkan, andaikata dari setiap musim haji terdapat 10.000 orang yang sudah pergi haji dan uang BPIH minimal Rp 25 juta itu disumbangkan untuk kepentingan membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim dan lainnya, akan terkumpul dana dari haji setiap tahun sebesar Rp 250 miliar. Sebuah dana yang cukup besar untuk meningkatkan kesejahteraan anak yatim dan memberdayakan fakir miskin.

Pendapat senada juga diungkapkan Imam Malik. Menurut pencetus metode hukum fikih, Maslahah Mursalah ini, tiap maslahah merupakan pengkhususan (takhshih) dari keumuman hukum atau dalil yang qath’i (pasti) dan dzanny (yang meragukan) [Abu Zahrah, Usul Fiqh].

Rasulullah pun sering memerintahkan umatnya untuk membantu fakir miskin dan menyantuni anak yatim.

“Barangsiapa tidak mau memperhatikan urusan orang Muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka.”

Lebih tegas lagi, Rasulullah mengatakan, “Tidak termasuk orang yang beriman, orang yang tidur kekenyangan, sementara dirinya (mengetahui) ada tetangganya yang sedang kelaparan dan kekurangan.”

Dengan alasan ini, tentunya mengulang ibadah haji lagi sementara di sekitarnya atau di negeri ini masih banyak yang kekurangan, alangkah bijaknya andaikata bisa menggunakan dana untuk haji yang kedua atau lebih itu untuk kepentingan umat yang membutuhkan.

Demikian penjelasan para ulama terkait naik haji lebih dari sekali. []

SUMBER: IHRAM

Bekal Penting dalam menghadapi Usia Tua

Sesungguhnya manusia tidak mungkin bisa menghindari masa usia tua selama ia masih diberikan Allah kesempatan hidup di dunia. Kita berharap usia tua dengan perjalanan hidup yang semakin panjang membuat kita semakin memiliki kematangan jiwa sehingga semakin bijak dalam menyikapi kehidupan dunia yang sementara ini. mudah-mudahan juga, semakin tua seseorang, semakin berhati-hati dan tidak mudah terjebak dalam arus kehidupan dunia yang tidak baik.

Namun kenyataan menunjukkan, bahwa usia tua ternyata tidak menjamin seseorang memiliki kematangan jiwa, bahkan tidak sedikit orang tua yang lupa bahwa ia sudah tua sehingga masih saja melakukan penyimpangan, bahkan penyimpangan yang biasa dilakukan oleh anak muda. Karena itu, Rasulullah SAW mengingatkan kita tentang perkara-perkara yang harus diwaspadai pada usia tua. Nabi SAW bersabda:

قلب الشيخ شاب على حبّ اثنتين: طول الحياة وحبّ المال

Artinya: “Hati orang tua itu mudah mencintai dua hal; yaitu hidup yang panjang dan cinta harta” (HR. Muslim)

Dalam hadis lain, nabi SAW bersabda:

يكبر ابن آدم ويكبر اثنان: حبّ المال وطول العمر

Artinya: “Semakin tua manusia semakin besar pula padanya 2 perkara: yaitu cinta harta dan panjang umur” (HR. Bukhari-Muslim)

Berangkat dari kedua hadis tersebut, menjadi jelas bagi kita bahwa pada usia tua setiap kita hendaknya harus mewaspadai dan berhati-hati terhadap beberapa perkara yang diwanti-wanti oleh Rasulullah SAW, karena bisa jadi kecendrungan, kenginan dan kecintaan pada perkara-perkara inilah yang akan membuat seseorang melakukan penyimpangan di usia tuanya.

Pertama, cinta dunia. Menurut Imam al-Qurthubi Rahimahullah: “orang yang tua adalah orang yang telah melewati usia 40 tahun”. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah yang menjelaskan bahwa usia ummat beliau antara 60 hingga 70 tahun. Karena itu, siapa saja yang telah melewati usia 40 tahun berarti ia telah berada daham tahapan terakhir kehidupannya.

Pada dasarnya, siapa saja boleh menikmati kehidupan dunia ini, termasuk orang tua. Syaratnya, tidak boleh dengan menghalalkan segala cara dan tidak lupa kepada kewajiban yang harus kita tunaikan serta ketentuan yang harus ditaati. Hanya saja, masa tua yang akan dialami oleh setiap orang sangat berbeda dengan masa-masa muda dan remaja. Masa tua identik dengan penurunan kekuatan dan fungsi-fungsi organ tubuh yang menjadi ciri kuat tentang dekatnya ajak seseorang. Karena itu, aktifitas dan kesibukan seseorang dalam masa ini hendaknya lebih bersifat ukhrawi, banyak memikirkan perkara akhirat.

Sudah sepatutnya siapa saja yang telah memasuki masa tua, hendaknya lebih besar perhatiannya dengan ajaran-ajaran agama. Diharapkan pada masa tua telah terbentuk pada diri seseorang kemampuan yang besar untuk mengendalikan diri dari gejolak syahwat dan nafsu duniawi. Sudah seharusnya di masa usia tua kita lebih fokus pada perkara akhirat dan memperbanyak amal shaleh. Mengapa? Karena secara logika, orang yang sudah berusia tua, ia lebih dekat kepada kematian, karena telah banyak menghabiskan jatah usianya.

Kedua, Keinginan Panjang Umur. Setiap orang tidak dilarang memiliki keinginan panjang umur. Kita boleh berdoa minta umur yang panjang. Syaratnya, umur yang panjang itu dipergunakan untuk banyak melakukan kebaikan dan amal sholeh. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa orang-orang yang diberi umur panjang dan memanfaatkan umur yang panjang itu untuk melakukan kebaikan, sebagai manusia terbaik. Rasulullah SAW bersabda:

خير الناس من طال عمره وحسن عمله وشرّ الناس من طال عمره وساء عمله

Artinya: sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya, baik amalnya, dan seburuk-buruk manusia adalah yang panjang umurnya, buruk amalnya (HR. Ahmad)

Yang harus diwaspadai adalah bila seseorang menghendako umur yang panjang hanya karena kecintaannya yang berlebihan kepada dunia, enggan meninggalkan gemerlapnya dunia dan hanya memanfaatkan umur yang panjang itu dalam dosa dan kemaksiatan.

Kenyataan menunjukkan bahwa ternyata banyak orang tua yang menghendaki umur panjang namun lebih banyak dipergunakan untuk melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Kita tidak bisa mengelak kenyataan ini, masih ada di sekitar kita orang yang di usia tuanya masih suka berzina, korupsi, dan perbuatan dosa lainnya.

Ketiga, keinginan memiliki banyak harta. Memiliki harta yang banyak di usia tua sangat menyenangkan,, dan ini tidak dilarang agama. Asalkan harta itu diperoleh dengan cara yang halal dan dipergunakan untuk berbuat amal kebaikan. Hal ini yang perlu diwaspada sebagaimana yang telah disinggung dalam hadis Rasulullah SAW, ialah semakin tua malah semakin menumpuk-numpuk harta dan harta terebut hanya digunakan untuk berfoya-foya dan bermegah-megahan, bahkan digunakan untuk berbuat dosa. Allah Swt telah memperingatkan, jangan sampai harta yang kita miliki itu melalaikan kita dari ibadah dan ketaatan. Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُلْهِكُمْ اَمْوَالُكُمْ وَلَآ اَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ ۚوَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu membuatmu lalai dari mengingat Allah. Siapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang merugi.

Semakin tua usia hendaknya semakin sadar, bahwa sebentar lagi kita akan menghadap Allah. Kita akan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan kita di dunia. Kita akan mempertanggungjawabkan umur kita untuk apa dihabiskan, masa muda kita untuk apa dipergunakanm dan harta kita darimana kita dapatkan dan untuk apa kita gunakan. Akhirnya, semoga nasehat-nasehat ini menjadi kita sadar, agar semakin tua usia kita semakin matang dalam menghadapi dan menyikapi kehidupan dunia ini, dengan harapan semoga perjalanan hidup kita menjadi lebih baik. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin.

Wallahu A’lam

ISLAM KAFFAH