Shalat Sunnah Sambil Berbaring, Padahal Mampu Berdiri, Sahkah Shalatnya?

Shalat sunah berbeda dengan shalat wajib dalam pelaksanaannya. Salah satu titik perbedaan dari keduanya, adalah kewajiban untuk berdiri. Jika menunaikan shalat wajib, maka berdiri bagi yang mampu merupakan rukun shalat. Jika, sengaja duduk atau berbaring dalam shalat, padahal ia mampu berdiri, maka shalatnya tidak sah.

Namun dalam shalat sunnah sebaliknya. Tidak ada kewajiban untuk berdiri, sekalipun ia mampu. Itulah titik perbedaan shalat sunnah dan fardu. Di samping itu, shalat sunnah juga bisa dikerjakan dalam keadaan telentang atau berbaring. Sekalipun orang yang shalat itu mampu untuk duduk. Itu keringanan hukum, sekalipus pembeda dengan shalat wajib.

Bolehnya shalat sambil berbaring, diungkapkan oleh Syaikh Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in.  Shalatnya dianggap sah meskipun tak berdiri atau duduk. Berikut teks pembahasan shalat sunnah dalam keadaan berbaring dalam kitab Fathul Mu’in berikut;

فيجوز له أن يصلي النفل قاعدا ومضطجعا مع القدرة على القيام أو القعود، ويلزم المضطجع القعود للركوع والسجود

Artinya; Shalat sunnah sambil duduk dan berbaring dibolehkan walaupun mampu berdiri dan duduk. Akan tetapi, bagi orang yang berbaring diharuskan duduk ketika rukuk dan sujud.

Menurut Ibnu hajar Al Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarh al Minhaj, bahwa ketika shalat sunnah dalam keadaan telentang, seyogianya orang shalat tersebut berbaring ke arah kanan. Hal ini lebih ashah (baik). Ibnu Hajar berkata;

وللقادر التنفل ) ولو نحو عيد ( قاعدا ) إجماعا ولكثرة النوافل ( وكذا مضطجعا ) والأفضل كونه على اليمين ( في الأصح)

Artinya; Dan untuk orang yang mampu melaksanakan shalat sunah, seumpamanya shalat Ied, boleh dalam keadaan duduk, ini ijma’ ulama, dan ini bagi kebanyakan shalat-shalat sunnha. Dan demikian juga dalam kedaan berbaring (juga boleh), dan saat shalat berbaring ia lebih baik menghadap kanan, ini lebih utama.

BINCANG SYARIAH

3 Kondisi Ini Wanita Dilarang Gunakan Parfum Kecantikan

Larangan penggunaan parfum untuk menjaga kehormatan perempuan

 Parfum menjadi salah satu barang wajib bagi kebanyakan orang untuk meningkatkan kepercayaan diri. Entah untuk memikat lawan jenis, memberikan kesan baik atau alasan lain. 

Namun ternyata dalam Islam ada batasan penggunaan parfum bagi para wanita seperti yang dijelaskan dalam hadist Nabi Muhammad SAW. 

Berikut tiga batasan penggunaan parfum bagi wanita yang dijelaskan dalam Ensiklopedi Fiqih Wanita karya Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim: 

Pertama, ketika ihram 

Wanita dilarang untuk memakai parfum atau minyak wangi saat sedang menjalankan ihram. Larangan ini sebenarnya juga berlaku bagi pria yang dilarang menggunakan parfum di baju atau tubuhnya. Larangan ini dijelaskan langsung oleh Nabi Muhammmad SAW melalui sabdanya yang artinya:

ولا ثوبًا مَسَّه الزعفرانٌ ولا وَرْسٌ “Dan janganlah kalian memakai sesuatu yang dioleskan (minyak wangi) ja’faran atau wars.” (HR Bukhari).  

Menurut Abu Malik Kamal, hikmah dilarangnya minyak wangi bagi wanita yang sedang ihram adalah karena wewangian merupakan salah satu daya tarik untuk melakukan jima. Hal ini dapat memicu gairah dan dapat merusak ihram.

Kedua, ketika berkabung 

Dalam sebuah hadits, Ummu Habiibah RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

عَنْ أُمّ عَطِيَّةَ، ” نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا تَمَسَّ طِيبًا إِلَّا أَدْنَى طُهْرِهَا إِذَا طَهُرَتْ نُبْذَةً مِنْ قُسْطٍ وَأَظْفَارٍ “. قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ: الْقُسْطُ وَالْكُسْتُ مِثْلُ الْكَافُورِ وَالْقَافُور 

Dari Ummu ‘Athiyyah, dia berkata : “Nabi SAW melarang memakai wewangian (saat berkabung) kecuali di akhir masa sucinya (dari haid). Jika ia telah suci, dia boleh memakai qusth (sejenis kayu yang wangi) dan minyak wangi adhfar.” (HR Bukhari).

Telah dijelaskan dalam pembahasan jenazah bahwa seorang wanita yang sedang berkabung dilarang mengenakan minyak wangi dan yang lainnya. 

Adanya pengecualianbagi wanita haid adalah untuk sekedar menghilangkan aroma tak sedap selepas haid dengan cara mengusap bekas darahnya, bukan bermaksud untuk berhias dengan memakai wewangian  

Ketiga, ketika keluar rumah

Abu Malik Kamal menjelaskan, seorang wanita tidak boleh menggunakan minyak wangi saat keluar rumah. Walaupun wanita itu berniat memakai minyak wangi untuk suaminya. Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ الْأَشْعَرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ 

Dari (Abu Musa) Al Asyari, dia berkata, “Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian, lalu melewati satu kaum agar mereka mencium baunya, maka ia adalah pezina.” (HR Abu Daud) 

Larangan ini bahkan berlaku bagi wanita yang berjalan menuju masjid. Rasulullah SAW bersabda: 

عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَتْ: قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ، فَلَا تَمَسَّ طِيبًا “

Dari Zainab istri Abdullah, dia berkata : Rasulullah SAW pernah bersabda kepada kami, “Jika salah satu kalian, para muslimah, mau pergi ke masjid maka janganlah dia memakai wewangian.” (HR Muslim).

KHAZANAH REPUBLIKA

Mengapa Pakai Software Bajakan Dilarang Menurut Islam?

Menggunakan software yang bukan open source sangat rawan

Berbagai jenis peranti lunak (software) kini semakin mudah ditemukan. Bahkan di sejumlah toko daring peranti lunak bajakan atau hasil menyalin dari yang aslinya bisa didapatkan dengan harga sangat murah. Tetapi bolehkah seorang Muslim memakai software bajakan? 

Penceramah yang juga pendiri dan pimpinan Quantum Akhyar Institut, Ustadz Adi Hidayat menjelaskan pada prinsipnya tindak penggandaan ilegal untuk tujuan komersial atas suatu karya yang diikat hak cipta adalah perbuatan yang melanggar hukum positif serta dilarang syariat. 

Dalam hukum positif di Indonesia terdapat Undangan-Undang Hak Cipta yang juga mengatur tentang larangan melakukan plagiat, memperbanyak dan menyebarluaskan karya orang lain tanpa izin. Di mana orang yang melanggar undang-undang tersebut maka akan terancam sanksi kurungan penjara dan juga denda.  

Menurut Ustadz Adi Hidayat bila terdapat aturan seperti halnya UU Hak Cipta yang menjadi dasar larangan menggunakan software bajakan, atau pun tindak penggandaan ilegal untuk tujuan komersial maka setiap Muslim harus tunduk terhadap aturan atau hukum yang telah disepakati itu.

Ini sesuai dengan kaidah fiqih yang diambil dari hadits Nabi Muhammad SAW yang menerangkan bahwa orang-orang Islam itu diikat lewat syarat-syarat yang disepakati.  

Selain itu tindak penggandaan ilegal, plagiat, dan menyebarkan atas karya orang lain untuk tujuan komersial merupakan tindakan yang batil. 

Sementara mencari rezeki, keuntungan, dari jalan yang batil dilarang dalam Islam. Ini sebagaimana dijelaskan dalam Alquran: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Mahapenyayang kepadamu.” (QS An Nisa ayat 29).  

“Jadi kalau memang ada satu ketentuan, ada hak ciptanya, ngga boleh kemudian diperbanyak, dibajak, diperjualbelikan, maka dilarang pula secara syariat kita mengerjakan demikian dan bisa menghasilkan unsur dosa di dalamnya,” kata Ustadz Adi Hidayat dalam kajian daringnya beberapa waktu lalu.  

Kendati demikian menurut Ustadz Adi terhadap peranti lunak yang terbuka atau open source atau dibuat untuk dapat diakses publik dengan cuma-cuma maka diperbolehkan untuk menggunakannya.  

Sementara itu menurut Ustadz Adi dalam kondisi tertentu semisal peranti lunak tersebut sangat dibutuhkan untuk hajat hidup orang banyak atau bahkan dapat menopang kehidupan bernegara semisal untuk kepentingan pendidikan,

sementara masyarakat tidak dapat mengaksesnya karena adanya monopoli salah satu pihak maka dalam kondisi seperti ini diperbolehkan memperbanyak peranti lunak tersebut. Sementara perbuatan memonopoli kebutuhan publik sehingga sulitnya masyarakat untuk mengaksesnya merupakan perbuatan yang dilarang dalam Islam.    

Karena itu Ustadz Adi Hidayat mengatakan hal ini juga dibahas dalam fiqih nawazil. Sehingga diperbolehkan menggunakan atau memperbanyak peranti lunak yang bajakan sepanjang hajatnya sangat dibutuhkan masyarakat luas, yang tidak bisa  atau tidak ada kesanggupan mengakses pada yang peranti utama dan bukan untuk diperjualbelikan.  

“Jadi kesimpulannya jika itu (peranti lunak) open source maka itu dibolehkan (digunakan). Jika tidak open source maka dilihat apalah itu menjadi hajat hidup orang banyak yang sekiranya bisa digunakan untuk kepentingan pribadi bukan untuk diperjualbelikan. Kalau diperjualbelikan maka kembali kepada hukum-hukum asalnya,” katanya. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Melakukan Shalat di Saat Jam Kerja

Salah satu cara seseorang untuk mendapatkan penghasilan adalah dengan cara bekerja. Namun, karena jadwal kerja yang padat membuat sebagian orang kesulitan untuk melakukan ibadah shalat di luar jam kerja. Lantas, bagaimanakah hukum melakukan shalat di saat jam kerja?

Seorang karyawan tidak boleh melakukan aktivitas lain pada jam kerja. Aktivitas seorang karyawan itu harus sesuai kebijakan-kebijakan kantor. Ini Sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir juz 4, halaman 275,

عن رافع بن خديج قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : المسلمون عند شروطهم فيما أحل

Dari Rafi’ ibn Khodij yang mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Kaum Muslimin wajib mematuhi kesepakatan yang mereka buat selagi halal menurut syariat.”

Imam Abdurrouf Al-Munawi dalam kitab Faidul Qadir, juz 6 halaman 453 memberi keterangan  lebih lanjut mengenai hadis diatas. Menurutnya, segala syarat yang kantor tetapkan itu seluruh karyawan harus melaksanakannya selama tidak berkaitan dengan perkara yang haram menurut syariat. Sebagaimana dalam penjelasan beliau berikut ini,

المسلمون عند شروطهم فيما أحل بخلاف ما حرم فلا يجب بل لا يجوز الوفاء به

Kaum Muslimin wajib mematuhi kesepakatan yang mereka buat selagi halal menurut syariat. Bila menyepakati hal yang dilarang, maka hukumnya tidak wajib, bahkan tak boleh memenuhinya.

Meskipun demikian, apabila di dalam kontrak kerja itu terdapat klausul bahwa karyawan harus bekerja 8 jam sehari bukan berarti dia harus menghabiskan waktu 8 jam untuk senantiasa bekerja. Hal ini karena tidak mungkin karyawan itu kerja terus menerus tanpa makan, minum, ke toilet dan lainnya.

Rasanya tidak seperti itu yang terjadi selama ini. Biasanya kedua belah pihak sama-sama tahu dan mafhum, bahkan tidak mungkin manusia bekerja tanpa makan dan minum selama 8 jam berturut-turut. Pasti ada toleransi yang bisa karyawan dan kantor sepakati bersama.

Demikian juga halnya dengan shalat, seharusnya ada toleransi yang bisa tersepakati antara karyawan dengan perusahaannya. Mengingat kebutuhan untuk shalat sama halnya dengan kebutuhan untuk makan, minum dan sekedar ke toilet.

Syekh Sulaiman Al Bujairimi dalam kitab Hasyiah Bujairimi ‘Ala Syarhil Minhaj, juz 3, halaman 174 menyebutkan bahwa waktu-waktu shalat fardu, bersuci, serta waktu makan dan buang air tidak termasuk dalam jam kerja.  Sebagaimana dalam keterangan beliau berikut,

وأوقات الصلوات الخمس وطهارتها وراتبتها وزمن الأكل وقضاء الحاجة مستثناة من الإجارة فيصليها بمحلة أو بالمسجد إذا استوى الزمان في حقه وإلا تعين محله والاستئجار عذر في ترك الجمعة والجماعة

Artinya : “ Waktu-waktu shalat lima waktu, bersuci, shalat rawatib, serta waktu makan dan buang air tidak termasuk dalam jam kerja, maka ia diperbolehkan untuk shalat di suatu tempat atau di masjid jika waktunya sama dengan haknya, sebaliknya  jika ada perbedaan waktu maka dia diharuskan shalat di tempatnya, aktifitas bekerja dapat dijadikan udzur untuk meninggalkan shalat jum’at dan salat berjamaah. ”

Karyawan mendapat dispensasi untuk melakukan shalat fardu. Ini karena shalat fardu itu kewajiban setiap muslim. Pihak kantor harus memberi waktu luang kepada karyawannya untuk melaksanakan shalat fardu.

Tetapi, seseorang karyawan tidak boleh melaksanakan shalat sunnah jika harus meninggalkan kewajibannya di kantor terkecuali telah mendapat izin dari pihak kantor.

Sebagaimana keterangan dalam Darul Ifta Mesir berikut,

إذا تعارض الواجب والمستحب لزم تقديم الواجب، وقيام العاملين والموظفين بما أنيط بهم من مهام وتكاليف هو أمر واجب التزموا به بموجب العقد المبرم بينهم وبين جهة العمل، فانصرافه وتشاغله عنه -ولو بالعبادة المستحبة- حرامٌ شرعًا؛ لأنه تشاغلٌ بغير واجب الوقت، ما لم يكن ذلك مسموحًا به في لوائح العمل؛

Jika terjadi pertentangan antara perkara wajib dan sunnah, maka perkara wajib harus kita  dahulukan. Melaksanakan tugas bagi karyawan terhadap segala hal yang merupakan tanggung jawabnya adalah hal wajib yang menyebabkan mereka terikat berdasarkan kontrak yang dibuat antara mereka dan majikan. Jika mereka beralih kepada aktivitas lain sekalipun dengan melaksanakan ibadah Sunnah maka hukumnya haram selama belum ada toleransi dari pihak yang berwenang

Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa karyawan dapat dispensasi untuk melakukan shalat fardu. Pihak kantor harus memberi waktu luang kepada karyawannya untuk melaksanakan shalat fardu.

Tetapi, seseorang karyawan tidak boleh melaksanakan shalat sunnah jika harus meninggalkan kewajibannya di kantor terkecuali telah mendapat izin dari pihak kantor.

Demikian. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Peringatan Alquran untuk Orang-Orang Munafik

Dalam Surah An-Nisa Ayat 138, Alquran memberi kabar atau pesan kepada orang-orang munafik. Bahwa mereka akan mendapatkan siksa yang pedih akibat kemunafikannya.

بَشِّرِ الْمُنٰفِقِيْنَ بِاَنَّ لَهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًاۙ

Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (QS An-Nisa: 138).

ۨالَّذِيْنَ يَتَّخِذُوْنَ الْكٰفِرِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَ ۗ اَيَبْتَغُوْنَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَاِنَّ الْعِزَّةَ لِلّٰهِ جَمِيْعًاۗ

(yaitu) orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Ketahuilah bahwa semua kekuatan itu milik Allah. (QS An-Nisa: 139)

Dalam penjelasan Tafsir Ringkas Kementerian Agama, ayat 138 ini menerangkan, sampaikanlah berita sebagai ejekan dan kecaman kepada orang-orang munafik, wahai Nabi Muhammad, bahwa bagi mereka di akhirat kelak siksaan yang pedih. Bahkan mereka akan berada pada tingkat yang paling rendah, buruk, dan berat dari neraka Jahanam sebagai balasan dari perbuatan mereka.

Ayat 138 dalam Tafsir Kementerian Agama menerangkan, orang-orang munafik sangat tercela karena sikap mereka yang selalu berubah-ubah, dan tidak sesuai ucapannya dengan perbuatannya. Pada saat berkumpul dengan orang-orang Mukmin, mereka menampakkan keimanannya dan menyembunyikan kekufurannya. 

Sebaliknya apabila bertemu dengan orang-orang kafir, mereka menampakkan kekafirannya dan menyembunyikan keimanannya. Mereka benar-benar akan mendapat siksaan yang pedih.

Ayat 139 dalam penjelasan Tafsir Ringkas Kementerian Agama menerangkan, walau mengaku beriman, mereka sebenarnya tetap dalam keadaan kufur dan menyembunyikannya. Salah satu buktinya ialah bahwa mereka adalah orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya, yakni pemimpin-pemimpin, teman-teman penolong serta pendukung meraka. Hal itu dilakukan dengan meninggalkan orang-orang Mukmin, yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan iman yang mantap.

Mereka seharusnya menjadikan orang Mukmin itu auliya mereka, tetapi hal itu tidak mereka lakukan. Apakah mereka yaitu orang-orang munafik mencari kekuatan di sisi mereka yakni orang-orang kafir untuk memberikan pertolongan dan dukungan kepada mereka? Ketahuilah, wahai Muhammad dan orang-orang yang beriman, bahwa apa yang mereka lakukan itu merupakan hal yang sia-sia karena semua kekuatan itu milik Allah.

IHRAM

Hukum Berjual-Beli dan Menggunakan Produk Non-Muslim

Kita telah ketahui bersama bahwa berjual-beli, sewa-menyewa, kerjasama bisnis, semua ini bagian dari perkara muamalah yang hukum asalnya mubah (boleh). Lalu, bagaimana jika kegiatan ini semua dilakukan dengan non muslim?

Hukum asal muamalah adalah mubah

Terdapat kaidah fiqhiyyah yang ditetapkan para ulama yang berbunyi,

الأصل في المعاملات الإباحة

“Hukum asal muamalah adalah mubah.”

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8)

Syekh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Allah Ta’ala tidak melarang perbuatan baik dan menyambung silaturahmi (kepada non muslim). Demikian juga, Allah tidak melarang membalas kebaikan dengan cara yang ma’ruf (baik), serta tidak melarang berbuat adil kepada kaum musyrikin, baik mereka adalah karib-kerabat ataupun bukan. Selama bukan dalam keadaan yang membuat non muslim tersebut wajib diperangi dan non muslim tersebut bukanlah orang-orang yang mengusir mereka dari negerinya. Maka, tidak mengapa bagi kaum muslimin untuk menyambung tali silaturahmi dengan kerabat yang non muslim. Karena menyambung tali silaturahmi adalah perbuatan yang tidak ada keharaman di sana dan tidak ada mafsadah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman tentang orang tua yang musyrik jika anaknya seorang muslim,

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفً

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik!” (QS. Luqman: 15) (Taisir Karimirrahman, hal. 856).

Maka, berjual-beli, sewa-menyewa, kerjasama bisnis, atau menggunakan produk non muslim, semua ini jika dilakukan terhadap non muslim, juga hukum asalnya mubah (boleh).

Rasulullah pun dahulu berjual beli dan berbisnis dengan non muslim

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bermuamalah dengan orang musyrikin. Dari Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata,

واستأجَرَ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وأبو بكر رجلًا مِن بني الدِّيلِ ، هاديًا خِرِّيتًا ، وهو على دينِ كفارِ قريشٍ ، فدفعا إليه راحلتيهما ، وواعداه غارَ ثورٍ بعدَ ثلاثَ ليالٍ ، فأتاهما براحلتَيْهما صبحَ ثلاثٍ

“Rasulullah dan Abu Bakar menyewa seorang dari Bani Ad-Dail dari Bani Adi bin Adi sebagai penunjuk jalan. Padahal ketika itu, ia masih beragama dengan agama orang kafir Quraisy. Lalu, Nabi dan Abu Bakar menyerahkan unta tunggangannya kepada orang tersebut dan berjanji untuk bertemu di gua Tsaur setelah tiga hari.  Lalu, orang tersebut pun datang membawa kedua unta tadi pada hari ke tiga pagi-pagi.” (HR. Bukhari no. 2264)

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun melakukan muamalah-muamalah di atas dengan non muslim. Dari Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata,

أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم اشتَرى طعامًا من يَهودِيٍّ إلى أجلٍ ، ورهَنه دِرعًا من حديدٍ

“Nabi shallallahu ’alaihi wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan berhutang, lalu beliau menggadaikan baju perang besinya kepada orang tersebut.” (HR. Bukhari no. 2068)

Hadis ini jelas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam pun berjual-beli dengan non muslim bahkan menggunakan produk non muslim. Tentu saja selama produk tersebut halal dan baik.

Nabi shallallahu ’alaihi wasallam pun melakukan kerjasama bisnis dengan non muslim. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَعْطَى رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خَيْبَرَ اليَهُودَ: أَنْ يَعْمَلُوهَا ويَزْرَعُوهَا، ولَهُمْ شَطْرُ ما يَخْرُجُ منها

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kesempatan kepada kaum Yahudi di Khaibar, sehingga mereka dapat bekerja mengolah lahan dan menanaminya. Dan mereka mendapatkan sebagian dari hasil panennya.” (HR. Bukhari no. 2285, Muslim no. 1551).

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,

لا مانع من معاملته في البيع والشراء والتأجير ونحو ذلك، فقد صح عن رسول الله عليه الصلاة والسلام أنه اشترى من الكفار عباد الأوثان، واشترى من اليهود وهذه معاملة، وقد توفي عليه الصلاة والسلام، ودرعه مرهونة عند يهودي في طعام اشتراه لأهله

“Tidak ada larangan untuk bermuamalah jual-beli, sewa-menyewa, atau muamalah lainnya (dengan non muslim). Terdapat dalam hadis sahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli barang dari orang-orang kafir penyembah berhala, juga membeli barang dari orang Yahudi, dan ini semua perkara muamalah. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat dalam keadaan baju besi beliau tergadaikan kepada orang Yahudi, ketika membeli makanan sebagai nafkah untuk keluarga beliau.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 6 hal. 285).

Ringkas kata, berbisnis dengan non muslim hukum asalnya boleh. Tentunya selama bisnis yang dilakukan itu halal, tidak terdapat riba, gharar, maisir, dan perkara-perkara yang diharamkan syariat.

Bolehkah melayani non muslim?

Namun, memang terdapat khilaf di antara ulama tentang muamalah berupa khidmah (pelayanan) yang dilakukan seorang muslim kepada non muslim. Jumhur (mayoritas) ulama melarangnya. Mereka berdalil dengan ayat,

وَلَن يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

“Dan sama sekali Allah tidak pernah memberi jalan bagi orang kafir untuk menguasai orang beriman.” (QS. An Nisa: 141)

Dijelaskan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, “Para fuqaha sepakat bolehnya seorang kafir memberikan  khidmah (pelayanan) kepada seorang muslim. Demikian juga, para fuqaha sepakat bolehnya seorang muslim disewa untuk orang kafir dalam suatu pekerjaan yang mu’ayyan fi dzimmah (spesifik dan ada batas temponya). Seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah, menanami lahan, dan semisalnya. Namun, para ulama khilaf tentang hukum khidmah (pelayanan) yang dilakukan seorang muslim kepada orang kafir. Baik dengan akad ijarah (sewa), akad i’arah (pinjam-meminjam), atau akad lainnya.

Mazhab Hanafiyyah berpendapat hal tersebut hukumnya dibolehkan. Karena akad-akad tersebut termasuk akad mu’awadhah (saling menguntungkan), sehingga dibolehkan sebagaimana jual-beli. Namun, dimakruhkan jika mengandung unsur khidmah (pelayanan) kepada orang kafir. Karena khidmah itu bentuk perendahan diri.

Adapun mazhab Malikiyah, disebutkan oleh Ibnu Rusyd bahwa seorang muslim disewa untuk melayani orang Nasrani atau Yahudi, ini ada empat macam. Ada yang boleh, ada yang makruh, ada yang mahzhur, dan ada yang haram.

Pertama, yang boleh adalah jika seorang muslim melakukan pekerjaan untuk orang kafir di rumah si muslim tersebut. Seperti seorang yang memproduksi suatu barang yang dikonsumsi masyarakat secara umum.

Kedua, yang makruh adalah jika orang kafir mendominasi seorang muslim dalam suatu pekerjaan atau muamalah, namun orang kafir tersebut tidak punya otoritas untuk mengaturnya. Seperti seorang muslim yang berhutang kepada orang kafir, atau orang seorang muslim bekerjasama musaqah (merawat lahan) milik orang kafir.

Ketiga, yang mahzhur (terlarang) adalah jika seorang muslim disewa untuk melakukan pekerjaan untuk orang kafir yang orang kafir ini punya otoritas untuk mengaturnya. Seperti seorang muslim menjadi pembantu di rumah orang kafir.

Keempat, yang haram adalah jika seorang muslim disewa untuk melakukan pekerjaan yang diharamkan, seperti mengolah khamr, menggembala babi, dan semisalnya. Untuk jenis ini, akadnya batal sebelum ia bekerja. Jika sudah terlanjur mendapat gaji, maka wajib disedekahkan untuk orang miskin.

Mazhab Syafi’iyyah berpendapat haramnya seorang muslim memberikan pelayanan kepada orang kafir jika secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung, seperti mengucurkan air cuci tangan untuk orang kafir, membawakan sandal untuk dipakai orang kafir, membersihkan kotoran pada badan dan pakaiannya, atau semisal itu. Secara tidak langsung, contohnya seperti seorang muslim diutus untuk mengurus suatu kebutuhan orang kafir (yang mubah). Dihukumi haram dalam rangka menjaga kaum muslimin dari perendahan dan penghinaan. Namun, makruh hukumnya meminjamkan dirinya atau menyewakan dirinya untuk melayani orang kafir, selama orang kafir tersebut tidak memiliki otoritas untuk mengaturnya.

Mazhab Hambali dalam riwayat yang sahih menyatakan haramnya seorang muslim disewa untuk melayani orang kafir atau meminjamkan dirinya untuk melayani orang kafir. Karena dalam kondisi ini, terdapat unsur pengekangan seorang muslim di bawah kendali orang kafir dan juga unsur perendahan diri di depan orang kafir.” (diringkas dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz 19 hal. 46).

Ringkasnya, wallahu a’lam, jika muamalah seorang muslim terhadap non muslim berupa pelayanan kepada mereka, perlu kita bagi menjadi tiga macam:

Pertama, jika itu berupa pelayanan yang spesifik, ada batas temponya, tidak ada unsur perendahan diri, serta tidak dikuasai penuh oleh orang kafir, maka ulama sepakat bolehnya.

Kedua, jika bukan termasuk pada poin 1, namun bukan dalam perkara haram, maka hukumnya makruh. Lebih utama bagi seorang muslim untuk tidak melakukannya. Namun, andaikan ia melakukannya, tidak ada dosa baginya.

Ketiga, jika pelayanan yang dilakukan dalam perkara haram, maka ulama sepakat akan haramnya.

Demikian penjelasan ringkas mengenai berjual-beli dan menggunakan produk non muslim, semoga bermanfaat. Wabillahi at-taufik was sadaad.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/69088-hukum-berjual-beli-dan-menggunakan-produk-non-muslim.html



Peristiwa Penghimpitan di Alam Kubur

Ahlusunah mengimani bahwa di alam kubur akan terjadi peristiwa ضغطة /dhoghthoh/ (penghimpitan). Ini didasari oleh beberapa hadis yang sahih, diantaranya:

Pertama, hadis dari Aisyah Radhiallahu’anha, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ لِلْقَبْرِ ضَغْطَةً وَلَوْ كَانَ أَحَدٌ نَاجِيًا مِنْهَا نَجَا مِنْهَا سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ

“Sesungguhnya di alam kubur akan terjadi penghimpitan. Andaikan ada orang yang selamat darinya, maka sungguh Sa’ad bin Mu’adz akan selamat darinya” (HR. Ahmad [6/55], disahihkan Al Albani dalam as-Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no.1695).

Kedua, hadis dari Abdullah bin Umar Radhiallahu’anhu, bahwa bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda ketika Sa’ad bin Mu’adz Radhiallahu’anhu meninggal,

هَذَا الَّذِي تَحَرَّكَ لَهُ الْعَرْشُ وَفُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَشَهِدَهُ سَبْعُونَ أَلْفًا مِنْ الْمَلَائِكَةِ لَقَدْ ضُمَّ ضَمَّةً ثُمَّ فُرِّجَ عَنْهُ

“Lelaki ini membuat Arsy berguncang, dan akan dibukakan baginya pintu-pintu langit, dan ia akan dipersaksikan oleh 70 Malaikat sebagai orang yang baik. Namun ia mengalami penghimpitan di alam kubur kemudian terlepas darinya” (HR. An Nasa’i no.2055, disahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa’i).

Ketiga, hadis dari Abu Ayyub Al Anshari Radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda ketika ada seorang anak kecil yang meninggal,

لَوْ أَفْلَتَ أَحَدٌ مِنْ ضَمَّةِ القَبْرِ لَأَفْلَتَ هَذَا الصَبِيُّ

“Andaikan ada orang yang selamat dari penghimpitan di alam kubur, sungguh anak ini akan selamat” (HR. Ath Thabarani dalam Mu’jam Al Kabir [4/121], disahihkan Al Albani dalam as-Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 2164).

Siapa saja yang mengalami penghimpitan?

Ulama sepakat bahwa orang kafir dan munafik pasti akan mengalami penghimpitan. Sebagaimana dalam hadis dari Al Barra’ bin ‘Azib Radhiallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda tentang orang kafir dan munafik,

وَيُضَيَّقُ عَلَيْهِ قَبْرُهُ حَتَّى تَخْتَلِفَ فِيهِ أَضْلَاعُهُ

“… kemudian kuburnya pun menghimpitnya hingga remuk tulang-tulangnya” (HR. Abu Daud no. 4753, Ahmad no.17803, disahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Kemudian, jumhur ulama mengatakan bahwa para Nabi dan Rasul ‘Alaihimussalam tidak mengalami penghimpitan di alam kubur. As Suyuthi Rahimahullah mengatakan,

والمعروف أن الأنبياء لا يضغطون

“Pendapat yang makruf, para Nabi tidak mengalami penghimpitan” (Syarhus Shudur bi Syarhi Haalil Mauta wal Qubur, karya As Suyuthi, halaman 114).

Al Munawi Rahimahullah mengatakan,

وأقول: استثناؤه الأنبياء ظاهر، وأما الأولياء فلا يكاد يصح؛ ألا ترى إلى جلالة مقام سعد بن معاذ وقد ضم

“Saya katakan, pendapat yang mengecualikan para Nabi dari terkena penghimpitan adalah pendapat yang kuat. Adapun mengecualikan para wali, maka ini pendapat yang tidak tepat. Tidakkah anda lihat bagaimana Sa’ad bin Mu’adz saja yang kedudukannya tinggi tetap mengalami penghimpitan?!” (Faidhul Qadir, 5/313).

Adapun orang-orang beriman selain para Nabi dan Rasul, maka ada khilaf yang kuat di tengah ulama apakah mereka mengalami penghimpitan ataukah tidak? Sebagian ulama mengatakan bahwa para auliya’ (orang-orang saleh) tidak mengalami penghimpitan di alam kubur. Namun pendapat yang kuat (sebagaimana disebutkan Al Munawi) adalah bahwa orang-orang beriman selain para Nabi dan Rasul, mereka semua mengalami penghimpitan tanpa terkecuali. Sebagaimana zahir dari hadis Aisyah Radhiallahu’anha. Oleh karena itu, Ibnu Abi Mulaikah Rahimahullah, seorang tabiin, beliau berkata,

ما أجير من ضغطة القبر ولا سعد بن معاذ الذي منديل من مناديله خير من الدنيا وما فيها!

“Tidak ada yang selamat dari penghimpitan, bahkan Sa’ad bin Mu’adz saja tidak selamat. Padahal satu sapu tangan beliau itu lebih baik daripada dunia dan seisinya!” (Diriwayatkan dalam kitab Az Zuhd karya Hannad bin as-Sarri [1/125]).

Bahkan anak kecil yang belum terkena beban syariat saja terkena penghimpitan sebagaimana dalam hadis Abu Ayyub Radhiallahu’anhu.

Bagaimana bentuk penghimpitan yang dialami orang-orang beriman?

Walaupun orang-orang beriman mengalami penghimpitan di alam kubur, namun bentuknya berbeda dengan yang dialami orang-orang kafir dan munafik. Ada dua pendapat ulama dalam masalah ini.

Pertama, penghimpitan yang mereka rasakan adalah penghimpitan maknawi, yang berupa rasa takut dan gelisah. Bukan penghimpitan kubur secara hakiki. Abu Bakar At Taimi Rahimahullah mengatakan,

كان يقالُ: إن ضمَّةَ القبرِ إنَّما أصلُها أن الأرض أُمُّهم، ومنها خلقُوا، فغابُوا عنها الغيبةَ الطويلةَ، فلما رَدُّوا إليها أولادَها، ضمَّتهم ضمَّ الوالدةِ التي غابَ عنها ولدُها

“Para ulama mengatakan, bentuk penghimpitan di alam kubur itu pada asalnya karena bumi bagaikan ibu bagi manusia. Di sana mereka diciptakan, kemudian tiba-tiba ia tidak lagi berada di bumi untuk waktu yang lama. Ketika anak-anak bumi ini dikembalikan kepadanya, maka ia merasakan kesempitan sebagaimana sempitnya seorang ibu yang kehilangan anaknya” (Tafsir Ibnu Rajab, 2/373).

Kedua, penghimpitan yang mereka rasakan adalah penghimpitan hakiki, namun hanya sebentar. Al Munawi Rahimahullah mengatakan,

المؤمن الكامل ينضم عليه ثم ينفرج عنه سريعًا، والمؤمن العاصي يطول ضمه ثم يتراخى عنه بعد، وأن الكافر يدوم ضمه، أو يكاد أن يدوم

“Seorang mukmin yang sempurna imannya, akan mengalami penghimpitan, kemudian dengan cepat segera dilepaskan. Sedangkan seorang mukmin yang ahli maksiat akan diperlama penghimpitannya. Sedangkan penghimpitan orang kafir akan selamanya dihimpit atau hampir selamanya” (Faidhul Qadir, 2/168).

Kapan terjadi penghimpitan di dalam kubur?

Penghimpitan di alam kubur terjadi sebelum pertanyaan dua malaikat. Ar Ramli Rahimahullah mengatakan,

وضمة القبر للميت قبل سؤال الملكين

“Penghimpitan di alam kubur terjadi sebelum pertanyaan dua Malaikat” (Fatawa Ar Ramli, 6/33).

Al Muzanni Rahimahullah dalam Syarhus Sunnah beliau berkata,

ثمَّ هم بعد الضغطة فِي الْقُبُور مساءلون

“Kemudian mereka setelah mengalami penghimpitan, mereka akan ditanya (oleh malaikat)” (Syarhus Sunnah lil Muzanni, poin ke 10).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah juga menjelaskan,

الأحاديث الصحيحة تدل على أن الرجل إذا سأله الملكان وأجاب بالصواب فسح له في قبره، فإن صح الحديث فالمعنى أنه أول ما دخل ضمه القبر ثم فسح له

“Hadis-hadis sahih menunjukkan bahwa seseorang ketika ia berhasil menjawab pertanyaan dua malaikat di dalam kubur dengan benar, maka akan dilapangkan kuburnya. Jika hadis tentang penghimpitan itu sahih, maka maknanya, pertama kali ia masuk ke dalam kubur, ia akan dihimpit oleh kubur, kemudian akan dilapangkan (setelah menjawab pertanyaan)” (Liqa Babil Maftuh, 17/36).

Wallahu a’lam. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita al qauluts tsabit di kehidupan dunia, di alam kubur, dan melindungi kita dari azab kubur.

(Diringkas dari penjelasan Syaikh Abdullah bin Abduh Nu’man Al Awadhi dan Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahumallah).

Penyusun: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/69086-peristiwa-penghimpitan-di-alam-kubur.html

Ibadah Haji Pengorbanan untuk Allah SWT

Haji merupakan rangkaian ibadah yang sarat pengorbanan kepada Allah SWT. Ibadah haji selain ibadah rohaniah, badaniah, dan maliyah (jiwa, raga, dan harta), ia juga ibadah yang sarat akan nilai-nilai luhur; pengorbanan, pemberian, dan kesungguhan.

“Mereka yang telah melakukan perjalanan haji pasti mengerti makna pengorbanan, makna pemberian, dan makna kesungguhan yang terbingkai indah dalam rasa syukur kepada Allah Ta’ala,” tulis H. Rustam Koly, Lc., MA dalam tulisnya Haji dan Pengorbanan.  

Pada saat ibadah haji, sehingga yang tampak darinya adalah kesungguhan dalam menempa diri ke arah yang lebih baik. Betapa tidak, harta, keluarga, dan handai tolan serta kampung halaman ia tinggalkan demi mendekatkan diri kepada Allah serta mengharapkan karuniaNya, di saat banyak dari manusia tidak mendapatkannya. 

Mengapa Harus Berkorban? 

Pengorbanan adalah bumbu utama kehidupan, tanpanya hidup ini hambar tanpa rasa, sama halnya dengan cinta. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pengorbanan adalah bukti cinta dan cinta membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan yang tulus memberikan nuansa kebahagiaan tersendiri, yang tidak dapat diukur dengan nilai materi, terlebih demi seseorang yang spesial dan istimewa dalam hidup yang hanya sekali. Melalui pengorbanan manusia mengikis sifat kikir dan egois dalam diri yang hanya akan menyesakkan dada karena bertentangan dengan fitrah nurani.  

“Oleh sebab ini Allah mengukur kadar cinta manusia terhadapNya melalui pengorbanan, sejak umat Nabi Adam AS hingga umat Nabi Muhammad SAW,” katanya. 

Pada sejarah panjang perjalanan manusia, pengorbanan dan penebusan diri merupakan karakter tertinggi manusia-manusia pilihan, bahkan ia tergolong sifat terpuji yang dikhususkan oleh Allah bagi hambahambapilihanNya.  

Ada tiga macam bentuk pengorbanan, di antaranya pertama pengorbanan jiwa dan raga, kedua pengorbanan harta dan ketiga pengorbanan keluarga. 

Tentang hal ini Allah SWT dalam At-Taubah 111 berfirman yang artinya:

 “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri danharta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh.” Dalam surah lain Ali Imran ayat 92 Allah SWT berfirman yang artinya:  

“Kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan kebajikan yang sempurna sehingga kamu menafkahkan dari sesuatu yang kamu cintai,sesungguhnya Allah pasti mengetahuinya.” 

At-Taubah ayat 24 Allah SWT berfirman yang artinya: “Katakanlah: “Jika ayah, anak, saudara, istri, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah, 

RasulNya, dan dari berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya.” Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”

IHRAM

Penghasilan Bekerja sebagai Youtuber, Apa Hukumnya

MEDIA sosial saat ini merukan salah satu platform paling berpengaruh di dunia.  Berbagai pihak termasuk kalangan dai, artis, dan orang yang punya keahlian khusus menjadikan sosial media seperti Youtube, IG, Facebook dan sejenisnya selain bisa dijadikan sebagai sarana yang efektif untuk berbagi ilmu dan informasi, juga bisa dibuat sebagai profesi yang dapat menghasilkan uang puluhan juta bahkan miliaran rupiah.

Profesi Youtuber sendiri mengarah pada orang yang sengaja membuat konten video di Youtube untuk menarik penonton (viewer). Tujuan youtuber dari mulai sekadar berbagi informasi hingga tujuan mendapatkan uang dari iklan Youtube.

Akun Youtube dan media sosial lainya adalah alat media (wasilah). Sedangkan hukum memanfaatkanya tergantung pada penggunaanya.

لِلْوَسَائِل حُكْمُ الْمَقَاصِدِ

“Hukum sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan dituju.”

Oleh karenanya, berprofesi sebagai Youtuber bisa jadi tergolong aktivitas yang mulia dan menuai pahala jika konten yang disebarkan ke sosial media berupa sesutau yang positif, seperti menyeru kebajikan (ma’ruf), mencegah yang dilarang (munkar), motifasi ibadah, mempererat silaturahim dan konten positif lainnya. Begitupun sebaliknnya, aktivitas profesi youtuber bisa menjadi terlarang (haram) jika konten yang disebarkan ke sosial media memuat atau menuai sesuatu yang negatif, seperti menyebarkan berita bohong (hoax), ujaran kebencian (hate speech), menghasud, memfitnah, dan konten lainya yang dapat mencederai dirinya ataupun orang lain.

لَا خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ اِلَّا مَنْ اَمَرَ بِصَدَقَةٍ اَوْ مَعْرُوْفٍ اَوْ اِصْلَاحٍۢ بَيْنَ النَّاسِۗ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا

“Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kami akan memberinya pahala yang besar.” (QS An Nisaa’ [4]: 114).

Rasulullah ﷺ bersabda:

إنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ، يَنْزِلُ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kalimat tanpa dipikirkan terlebih dahulu, dan karenanya dia terjatuh ke dalam neraka sejauh antara Timur dan Barat.” (HR Muslim)

وقَدْ كَثُرَ في هذا الزَّمانِ التَّساهُلُ في الكَلامِ حَتَّى إنَّهُ يَخْرُجُ مِنْ بَعْضِهِمْ ألْفاظٌ تُخْرِجُهُمْ عن الإسْلامِ، ولا يَرَوْنَ ذٰلك ذَنْبًا فَضْلًا عن كَوْنِهِ كُفْرًا

“Pada zaman ini benar-benar telah banyak peremehan terhadap suatu perkataan, sehingga keluar dari sebagian orang kata-kata yang dapat mengeluarkan mereka dari Islam, dan mereka tidak menyangka bahwa itu dosa apalagi kekufuran”. (Abdullah bin Husain bin Tohir Ba Alawi Al-Hadhrami Al-Syafi’i, Sullam at-Taufiq, hlm. 9)

Bagi pegiat sosial media termasuk para youtuber dalam bermuamalah di sosial media hendaknya dapat menjadikan Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 sebagai panduan. Terdapat beberapa poin ketentuan hukum yang diatur dalam Fatwa MUI terkait hukum bagi pegiat sosial.

Pertama, memproduksi menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi tentang hoaks, ghibah, fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram.

Kedua, mencari-cari informasi tentang aib, gosip, kejelekan orang lain atau kelompok hukumnya haram kecuali untuk kepentingan yang dibenarkan secara syar’i. Ketiga, memproduksi dan/atau menyebarkan konten/informasi yang bertujuan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak hukumnya haram.

Keempat, menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke publik, seperti pose yang mempertontonkan aurat, hukumnya haram. Kelima, aktivitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoaks, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram.

Zakat

Menjadi Youtuber bisa disebut sebagai bentuk profesi yang penghasilannya jutaan bahkan miliaran rupiah. Sebuah profesi yang penghasilannya sampai batas minimum untuk wajib zakat (nishab) bisa dikenakan wajib zakat.

Dalam telaah fikih kontemporer yang dimaksud dengan zakat penghasilan atau zakat profesi (al-mal al-mustafad) adalah zakat yang dikenakan pada setiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, yang mendatangkan penghasilan uang yang halal dan sudah memenuhi nishab, seperti penghasilan yang diperoleh olehAparat Sipil Negara (ASN), upah, jasa, advokat, seniman serta pendapatan lain yang diperoleh dari pekerjaan yang halal lainnya.

Kewajiban zakat profesi mendasari pada ayat Al-Quran yang bersifat umum yang mewajibakan semua jenis harta untuk dikeluarkan zakatnya,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ

“Wahai orang-orang yang beriman nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu …” (QS Al Baqarah [2]: 267).

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”(QS At Taubah: 103)

Dari Hakim bin Hizam RA dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, “Tangan atas lebih baik daripada tangan bawah. Mulailah (dalam membelanjakan harta) dengan orang yang menjadi tanggung jawabmu. Sedekah paling baik adalah yang dikeluarkan dari kelebihan kebutuhan. Barang siapa berusaha menjaga diri (dari keburukan), Allah akan menjaganya. Barang siapa berusaha mencukupi diri, Allah akan memberinya kecukupan’.” (HR: Bukhari)

“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Sedekah hanyalah dikeluarkan dari kelebihan/kebutuhan. Tangan atas lebih baik daripa-da tangan bawah. Mulailah (dalam membelanjakan harta) dengan orang yang menjadi tanggung jawabmu.” (HR: Ahmad).

Hukum zakat profesi menurut ulama kontemporer seperti Syekh Muhammad Abu Zahra, Syekh Abdul Wahhab Khallaf, Syekh Yusuf Al Qaradhawi, Syekh Wahbah Az-Zuhaili hukumnya wajib. Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2003 menegaskan bahwa zakat penghasilan dari sebuah profesi hukumnya wajib.

وَالْمُقَرَّرُ فِيْ الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ أَنَّهُ لَا زَكَاةَ فِي الْمَالِ الْمُسْتَفَادِ حَتَّى يَبْلُغَ نِصَاباً وَيَتِمَّ حَوْلاً

“Ketetapan dalam 4 madzhab bahwa tidak ada kewajiban zakat dalam harta penghasilan kecuali mencapai satu nishab dan sempurna satu tahun.” (Syekh Wahbah Az Zuhayli, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz III, hlm 1949).

Semua bentuk penghasilan yang halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nishab(batas minimum untuk wajib zakat) dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram. Adapun kadar zakat penghasilan adalah 2,5 persen. Contoh misalnya, jikahari ini misalnya harga emas pergramnya Rp900 ribu, maka nominal itu dikalikan 85 gram=Rp76,500,000.

Angka Rp.76,500,000 tersebut merupakan jumlah nishab dari zakat profesi, dan 2,5 persen dari jumlah tersebut merupakan kadar zakat profesi yang wajib dikeluarkan, yaitu sebesar Rp. 1,912,500.  Dari gambaran contoh diatas dapat dipahami, jika penghasilan profesi yotuber 1 miliar, maka 25 persen dari Rp1 miliar sebesar Rp25 juta dan begitu seterusnya cara mengeluarkan zakatnya.

Pengeluaran zakat penghasilan dapat dikeluarkan pada saat menerima jika sudah cukup nishab. Tetapi jika tidak mencapai nishab, maka semua penghasilan dikumpulkan selama satu tahun.

Zakat profesi bagi Youtuber Muslim Indonesia bisa diberikan melalui Baznas, Laz dan lembaga amil zakat lainya yang profesional, amanah dan akuntabel. Manfaat dana zakat, infak dan sedekah yang dikelola Baznas dan Laz akan sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan fakir miskin, kebutuhan sarana keagamaan, dan kegiatan sosial lainnya.*/ KH Abdul Muiz AliWakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI, laman MUI.or.id

HIDAYATULLAH

Hikmah Larangan Shalat bagi Wanita Haid

Perlu kita ingat kembali bahwa perempuan memiliki keistimewaan yang tak dimiliki oleh laki-laki, yakni perempuan memiliki kebiasaan haid. Dalam bahasa medis, haid disebut menstruasi. Haid merupakan salah satu tanda baligh seorang perempuan. Dan perlu disadari, bahwa menurut medis terdapat banyak manfaat di dalam haid. Apa hikmah larangan shalat bagi wanita haid?

Pada masa-masa haid kaum perempuan diberi perlakuan khusus dalam menjalankan syariat. Sebab, haid merupakan salah satu kodrat seorang perempuan yang telah ditrntukan oleh allah swt. satu di antara perlakuan khusus yang diberikan oleh syariat adalah gugurnya kewajiban shalat bagi perempuan yang sedang haid.

Di dalam kajian ilmu fikih klasik maupun kontemporer disebutkan bahwa haid secara bahasa adalah mengalir. Sedangkan secara istilah haid adalah darah yang keluar dari pangkal rahim perempuan ketika berumur (minimal) Sembilan tahun. Paling sedikitnya haid adalah satu hari satu malam dan paling banyaknya haid adalah lima belas hari. Sementara, pada umumnya seorang perempuan haid selama 6 sampai 7 hari.

Menurut pakar ilmu kesehatan, menstruasi adalah pendarahan uterus secara periodik dan siklus yang normal terjadi pada wanita yang puber dan disertai dengan pelepasan dinding rahim (endometrium) yang berisi pembuluh darah. Siklus ini merupakan proses organ reproduksi perempuan ketika tidak mengalami masa kehamilan. Menurut bidang kesehatan, siklus menstruasi pada umumnya adalah 28 hari, dengan lama menstruasi sekitar 4 sampai 6 hari. Disebutkan juga bahwa jumlah darah yang keluar ketika haid rata-rata sebanyak 20-60 mililiter.

Allah Ta’ala telah menyinggung perempuan haid di dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah,

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah, “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhi diri dari wanita pada waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS. Al-Baqarah: 222)

Ayat di atas memberikan isyarat bahwa ketika masa haid seorang suami tidak boleh berhubungan badan (bersenang-senang) dengan istrinya di tempat keluarnya darah, karena darah dan tempat keluarnya darah merupakan hal yang kotor. Berhubungan badan diperbolehkan kembali ketika istri telah selesai dari masa haid.

Larangan Bagi Perempuan Haid Menurut Ilmu Kesehatan

Berikut merupakan beberapa larangan bagi wanita yang sedang menstruasi berdasarkan ilmu kesehatan:

Pertama, menurut dokter Jaime Melissa Knopman, MD. Menurutnya, pada masa menstruasi wanita dilarang melakukan waxingWaxing ialah usaha wanita agar tubuh terlihat mulus dan bersih. Hal ini dikarenakan ketika menstruasi, reseptor rasa sakit lebih tinggi dan kulit lebih sensitif.

Kedua, wanita menstruasi dilarang melakukan hubungan seksual tanpa ada pengaman. Hal ini dikarenakan darah menstruasi merupakan media yang mudah untuk membuat virus dan bakteri masuk kedalam tubuh. Oleh karenanya, penularan penyakit HIV berpotensi lebih tinggi selama periode menstruasi.

Ketiga, tidur terlalu malam. Tidur yang cukup bagi perempuan yang haid itu penting. Ketika tidur terlalu malam, akan meningkatkan hormon stres kortisol (hormon yang dihasilkan ketika seseorang merasakan stres) sehingga menyebabkan hormon di dalam tubuh menjadi tidak seimbang. Hal ini akan berakibat buruk bagi orang yang sedang menstruasi, seperti darah yang keluar tidak lancar.

Hikmah Larangan Shalat bagi Wanita Haid

Dalam pandangan fikih, terdapat beberapa hal yang dilarang bagi wanita yang sedang haid, yakni larangan melakukan shalat, puasa, I’tikaf, menyentuh mushaf dan berhubungan badan. Dari beberapa larangan syariat terhadap wanita yang sedang haid tersebut, penulis akan menitik fokuskan pembahasan pada larangan melakukan shalat bagi wanita yang sedang haid. Ada rahasia apakah di balik larangan shalat bagi wanita haid, padahal shalat merupakan ritual ibadah yang harus dilakukan oleh ummat Islam setiap harinya? Berikut penjelasannya.

Wanita haid dilarang melakukan shalat, karena shalat yang mereka lakukan tidak akan sah. Hal ini dikarenakan mereka tidak memenuhi satu syarat yang harus dipenuhi dalam shalat, yaitu bersihnya anggota badan dari najis dan kotoran. Sebagaimana pada ayat yang telah disebutkan di atas, bahwa darah haid dan tempat keluarnya darah merupakan kotoran yang tidak bisa dibawa kedalam shalat. Tidak hanya itu, bagi wanita haid juga tidak diperintahkan untuk mengganti shalat yang tertinggal.

Syaikh Ali bin Ahmad Al-Jurjawi dalam kitabnya Hikmah At-Tasyri’ Wa Falsafatuhu menyebutkan bahwa terdapat tiga hikmah di balik gugurnya kewajiban shalat bagi perempuan yang sedang menstruasi/haid, sebagaimana berikut:

Pertama, sulitnya melakukan bersesuci ketika haid, karena darah haid keluar terus menerus dan tidak diketahui kapan berhentinya. Oleh karena itu, shalat tidak diwajibkan karena akan mempersulit perempuan yang haid untuk membersihkan darah dan tempat keluarnya secara terus menerus.

Kedua, adanya kasih sayang dari syariat kepada perempuan yang sedang haid. Hal ini bisa kita lihat dari aturan tidak adanya kewajiban untuk melakukan qadha’ atas shalat yang ia tinggalkan ketika haid. Sebab, jika ia harus melakukan qadha’ atas setiap shalat yang ia tinggalkan ketika ia haid, maka tentu waktunya akan banyak dihabiskan untuk melakukan qadha’ shalat, sementara di sisi lain banyak kemaslahatan yang mestinya ia lakukan.

Berbeda halnya dengan puasa, seorang perempuan yang haid tetap diperintahkan untuk melakukan qadha’ atas setiap puasa yang ia tinggalkan. Hal ini dikarenakan kewajiban puasa hanya dilakukan selama satu tahun sekali. Oleh karena itu, perempuan yang haid tetap harus mengganti puasa yang ditinggalkannya, karena mudah dan tidak akan menghabiskan banyak waktu.

Ketiga, perempuan haid dianjurkan untuk bersedekah ketika masa haid. Hal ini dalam rangka untuk menutupi ibadah yang mereka tinggalkan ketika haid.

Hikmah di atas menunjukkan bahwa betapa besarnya perhatian agama terhadap kesulitan yang dirasakan oleh kaum perempuan ketika haid. Oleh karena itu, agama memberikan rukhsah (dispensasi) bagi mereka kaum perempuan agar mereka tidak merasa kesulitan dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. dalam Al-Qur’an Allah berfirman,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ

Dan Ia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al-Hajj: 78)

Walhasil, dapat disimpulkan bahwa agama Islam selalu mempunyai jalan keluar agar ummatnya tidak merasa kesulitan. Jika perkara yang dilakukan oleh ummat terlalu luas, maka Islam memberikan peluang untuk mempersempit. Sedangkan, jika perkara yang dilakukan itu terlalu sempit, maka Islam memberikan hak kepada ummatnya untuk memperluas. Hal ini bertujuan agar tidak menjadi beban yang berat bagi mereka dan memudahkan ummat Islam dalam menjalankan perintah dan larangan dari allah dan Rasulnya. Wallahua’lam.

BINCANG SYARIAH