Kepada Siapa Saya Harus Bertanya?

ORANG ini sepertinya sudah buntu pikirannya setalah kesana-kemari mencari solusi masalah hidupnya dan ternyata tak pernah ada yang cocok sebagai solusi. Masalah hidupnya sebenarnya sangat klasik dan juga dialami banyak orang. Orang tuanya yang dahulunya terkenal sebagai orang paling kaya di desa kini jatuh bangkrut.

Sawah ladang yang menjadi simbol kekayaan orang desa satu persatu lepas dan kini sudah habis sama sekali. Orang kaya itupun kini terbaring di rumah sakit, anaknya pontang panting mencari hutangan demi merawat orang tuanya. Tak ada yang bernani memberikan hutangan karena hutang-hutang yang sebelumnya tidak ada yang terbayar.

Tidak selesai sampai di situ kisah deritanya. Tatangganya memusuhinya, ada yang mefitnah dan ada pula yang mencibir atau menghina. “Apa salahku? Mengapa hidupku menjadi begini?” Pertanyaan ini diulang-ulangnya dan berulang-ulang ditanyakannya kepada siapapun yang berjumpa tak ada yang menyangka nasibnya setragis ini. Membaca kejayaannya pada jaman dahulu yang sampai menjadikan keluarga ini sebagai “tuan desa,” seakan tak mungkin hancur secepat ini. Namun beginilah kisah dunia, sangat banyak kemungkinan bisa terjadi di luar dari duga dan sangka.

Adalah pelajaran berharga kepada kita agar tidak terlalu yakin dan percaya diri akan duga dan sangka kita sendiri dengan melupakan Allah yang Mahakuasa menentukan apapun yang Allah suka. Jawaban yang diterima orang itu saat berkeluh kepada setiap yang berjumpa dengannya adalah: “Sabar ya. Dunia memang sulit ditebak.” Jawaban lainnya adalah: “Entah ya, apa yang dimaui Allah.” Jawaban-jawaban begini membuatnya semakin bingung: “Lalu saya harus bagaimana? Haruskah saya mati sesangsara dan terhina?” Orang ini akhirnya juga bertaya kepada saya dengan pertanyaan yang sama. Lama tak saya jawab, karena saya masih menjadi jawaban apa yang harus saya sampaikan.

Teringatlah saya pada dawuh orang lama: “Kalau kamu mendapatkan masalah apapun dalam hidupmu, bertanyalah kepada SIAPA YANG PALING TAHU AKAN MASALAHMU.” Iya, kesalahan kita seringkali adalah bahwa saat kita punya masalah kita biasanya bertanya kepada setiap orang yang ada di dekat kita. Sementara orang yang ada di dekat kita itu bisa jadi juga sedang bingung dengan masalahnya sendiri. Bisa jadi nantinya, keluhannya akan mendapat jawaban keluhan, sehingga jalan pikirannya semakin runyam.

Guru saya memberikan syarah (penjelasan) akan dawuh orang lama tersebut di atas. Beliau berkata kepada saya: “Bertanyalah dan berkonsultasilah dengan YANG TAK PERNAH BINGUNG DAN GELISAH. Dialah ALLAH SWT. Di sanalah dan dari sanalah Anda akan mendapatkan jawaban pasti.” Saya terperangah dengan penjelasan beliau. Inilah yang saat ini jarang dilakukan oleh kebanyakan manusia. Guru saya kemudian melanjutkan dawuhnya: “Lalu, tanyakan pula masalahmu kepada ORANG YANG PALING TAHU TENTANG DIRIMU.” Saya terdiam lama, dan beliau juga terdiam lama sambil senyum-senyum. Saya bertanya pelan: “Siapakah yang paling tahu tentang saya, guruku?” Beliau menjawab: “DIRIMU sendiri yang paling tahu tentang dirimu.”

Beliau melihat ke atap-atap langgar sambing tersenyum. Sepertinya beliau sedang berdialog dengan seseorang. Saya tak paham, karena kita hanya berdua. Saya memecahkan keheningan dengan memberanikan bertanya sambil memijat betis beliau yang sedang selonjor: “Bagaimana cara atau teknik bertanya kepada Allah dan kepada diri sendiri yang paling tepat, guruku?” Langsung dijawabnya: “Tunggu jadwal buka puasa.” Saya pijat kuat-kuat saraf betisnya. Beliau setengah teriak sambil tertawa: “Ow sakit Cong.” Salam, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Rasulullah ﷺ Pun Menjilat Jarinya Setelah Makan

ADA beberapa hadis yang menyatakan seperti itu. Misalnya hadits riwayat Imam Muslim dari Anas bin Malik  berikut ini:

“Ketika Rasulullah   selesai menyantap suatu hidangan, beliau akan menjilati ketiga jarinya (yang digunakan untuk makan) .”

Anas  melanjutkan:

“Beliau juga bersabda, ‘Jika ada sebagian makanan milik seseorang di antara kalian jatuh, hendaknya ia mengambil makanan tersebut. Kemudian membersihkan kotorannya dan memakannya. Jangan biarkan sebagian makanan tersebut menjadi milik setan.’

Masih kata Anas:

Beliau memerintah kita untuk menghabiskan sisa sisa makanan yang masih ada di mampan atau piring dan bersabda, “Sungguh, kalian tidak tahu pada sebagian mana barakah makanan itu ada.”

Dari hadis di atas terkandung ada:

• Makan dengan tiga jari. Tidak disebutkan jari mana saja. Umumnya, jari yang dipakai makan adalah ibu jari, telunjuk dan jari tengah. Ini termasuk adab yang disenangi Rasulullah . Tetapi jangan dipaksakan bila tidak memungkinkan. Misalnya makannya berkuah.

• Menjilati jemari yang digunakan makan. Dilakukan setelah benar benar selesai menghabiskan seluruh hidangan.  Bukan di tengah tengah makan. Ini tidak baik dilakukan karena dapat menimbulkan rasa jijik hadirin.

• Imam Nawawi menjelaskan, setiap makanan yang dihidangkan terdapat barakah di dalamnya. Namun tidak diketahui pada bagian mana barakah itu ada. Bisa pada yang sudah dimakan. Bisa di jari. Bisa yang tersisa di piring. Bisa pula yang jatuh. Karenanya seyogyanya kita tidak menyia-.nyiakan barakah yang ada dalam makanan tersebut.

Secara medis sudah banyak yang meneliti makan pakai jari. Salah satunya adalah  dr. Charles Gerba dari University of Arizona, Amerika Serikat. Dia menjelaskan, makan menggunakan tangan dan menjilat jari jemari sesudahnya memiliki manfaat kesehatan. Asal sebelum makan, mencuci tangan terlebih dahulu. Ia mengakui bahwa di sela-sela jari manusia mengandung enzim Rnase.

Enzim Rnase berfungsi sebagai pengikat bakteri untuk menekan aktivitas bakteri ketika masuk bersamaan dengan makanan.

Selain manfaat tersebut, enzim ini juga berfungsi sebagai kekebalan tubuh manusia. Tangan yang setiap hari memegang benda-benda, dapat mendatangkan kuman dan bakteri disinilah enzim ini bekerja sebagai kekebalan tubuh manusia.*

*Dikutip dari Syarah Syamail oleh Syaikh Abdurazak bin Abdul Muchsin Al_badrun Badr

HIDAYATULLAH

Tawakalnya Seorang Mukmin

Tawakal adalah gabungan dari doa dan ikhtiar yang saling melengkapi.

Seorang sufi terkenal Ibrahim bin Adham (wafat 162 H) mempunyai seorang sahabat yang tak kalah zuhudnya dari beliau bernama Syaqiq al-Balkhi (wafat 194 H). Keseharian mereka tidak pernah lepas dari berpuasa, shalat, zikir, dan berniaga sebagai pemenuhan lahiriyah.

Suatu waktu, Syaqiq al-Balkhi berpamitan kepada sahabatnya tersebut untuk melakukan perjalanan niaga yang jarak tempuhnya sangat jauh dari tempat mereka tinggal. Sehingga, perbekalan pun disiapkan secukupnya.

Dalam setiap perjalanan, Syaqiq tidak pernah lupa untuk menunaikan kewajiban layaknya seorang mukmin. Hingga tibalah Syaqiq di sebuah tempat penuh dengan rerumputan hijau dan pepohonan yang menyejukkan mata. Beliau berhenti untuk singgah dan menunaikan keperluannya.

Tanpa sengaja beliau melihat seekor burung kecil kurus dan buta sendiri di peraduannya. Dalam hati ia berucap, “Dari manakah rezeki burung ini, sehingga sampai detik hari ini burung ini masih hidup?”

Tanpa disadari dan sedikit terkejut, tetiba datanglah seekor burung lainnya membawakan makanan lalu menyuapi burung buta tersebut sampai kenyang. Sekali lagi beliau berucap dalam hatinya, “Mahasuci Allah yang telah membagi rezeki secara adil, sehingga setiap makhluk-Nya merasakan anugerah nikmat-Nya.”

Peristiwa itu menjadikannya semakin yakin bahwa rezeki itu sudah ada yang mengatur tanpa harus ada usaha dan kerja keras. Akhirnya niat beliau untuk berniaga ke tempat yang dituju pun urung dilakukan. Dia putar arah untuk kembali ketempat tinggalnya dan akan lebih fokus untuk beribadah, mendekatkan diri kepada Sang Maha Pemberi Rezeki.

Sebelum memasuki kampung halamannya, Syaqiq bersua dengan sahabat karibnya Ibrahim bin Adham. Ia menceritakan apa yang ditemuinya di sepanjang perjalanan sehingga memutuskan untuk kembali dan berhenti berniaga. Kaget bercampur heran, itulah yang dirasakan Ibrahim bin Adham. Dengan wajah penuh keteduhan layaknya seorang alim dan sahabat yang mengingatkan, beliau elus pundak sahabatnya tersebut, dan beliau pun tersenyum dengan penuh rasa hormat.

Lalu beliau berucap, “Mahasuci Allah, wahai saudaraku Syaqiq, apakah engkau rida menjadi burung yang buta dan pesakitan yang selalu menunggu bantuan dari burung lainnya. Apabila dia datang, maka dia akan makan dan bila tidak dia akan mati kelaparan, kenapa wahai saudaraku? Apakah engkau tidak ingin dan rida memilih menjadi burung yang satunya lagi, dia terbang bebas dan sehat, tidak terbelenggu dengan apa pun dan dia bisa menjemput rezeki kapan pun dan dimana pun, kemudian memberikannya kepada siapa pun yang dia mau, dan apakah engkau tidak ingat wahai saudaraku dengan nasihat Nabi kita, bahwa tangan di atas itu jauh lebih baik dari tangan di bawah.”

Mendengar nasihat tersebut, Syaqiq al-Balkhi kemudian berdiri memeluk, mencium dahi dan tangan sahabatnya tersebut, seraya menitikkan air mata dia berucap, “Engkau adalah guruku, penasihatku dan sahabat yang selalu menuntunku kearah yang lebih baik, semoga Allah memperbanyak orang sepertimu wahai sahabatku.”

Hikmah yang bisa kita petik dari kisah di atas, bahwasannya tawakal adalah gabungan dari doa dan ikhtiar, satu dan lainnya saling melengkapi, ibarat seekor burung dia tidak bisa terbang dengan sempurna kecuali kedua sayapnya sehat dan berfungsi. Semoga kita semua digolongkan menjadi hamba Allah yang benar-benar bertawakal kepada-Nya.

OLEH RONI FAJAR V

KHAZANAH RRPUBLIKA

Fikih Puasa Syawal

Di antara rahmat Allah ta’ala bagi hamba-Nya adalah Ia mensyariatkan puasa Syawal setelah bulan Ramadan, agar mereka bisa mendapatkan keutamaan seperti puasa setahun penuh. Berikut ini pembahasan ringkas mengenai fikih puasa Syawal, semoga bermanfaat.

Hukum Puasa Syawal

Puasa Syawal hukumnya mustahab (sunah), berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر

Barangsiapa yang puasa Ramadan lalu mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia mendapat pahala puasa setahun penuh” (HR. Muslim no. 1164).

Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan:

صَوْمَ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ مُسْتَحَبٌّ عِنْدَ كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ

“Puasa enam hari di bulan Syawal hukumnya mustahab menurut mayoritas para ulama” (Al-Mughni, 3/176).

Dijelaskan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah (28/92): “Jumhur ulama dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah dan ulama Hanafiyah yang muta’akhir (kontemporer) berpendapat bahwa puasa enam hari di bulan Syawal setelah puasa Ramadan itu mustahab. Dan dinukil dari Abu Hanifah bahwa beliau berpendapat hukumnya makruh secara mutlak, baik jika dilaksanakan berurutan atau tidak berurutan. Dan dinukil dari Abu Yusuf (ulama Hanafi) bahwa beliau berpendapat hukumnya makruh jika berurutan, namun boleh jika tidak berurutan. Namun jumhur (mayoritas) ulama Hanafiyah muta’akhirin berpendapat hukumnya tidak mengapa. Ibnu Abidin (ulama Hanafi) dalam kitab At-Tajnis menukil dari kitab Al-Hidayah yang mengatakan: ‘Pendapat yang dipilih para ulama Hanafi muta’akhirin hukumnya tidak mengapa. Karena yang makruh adalah jika puasa Syawal berisiko dianggap sebagai perpanjangan puasa Ramadan, sehingga ini tasyabbuh terhadap Nasrani. Adapun sekarang, ini sudah tidak mungkin lagi’. Al-Kasani mengatakan: ‘Yang makruh adalah puasa di hari Id, lalu puasa lima hari setelahnya. Adapun jika di hari Id tidak puasa lalu besoknya baru puasa enam hari, ini tidak makruh, bahkan mustahab dan sunah’.”

Maka yang rajih adalah pendapat jumhur ulama yaitu puasa enam hari di bulan Syawal hukumnya mustahab (sunah) sebagaimana ditunjukkan oleh hadis.

Keutamaan puasa Syawal

Secara umum, semua keutamaan ibadah puasa juga terdapat dalam puasa Syawal. Mengenai keutamaan ibadah puasa, simak artikel tulisan kami “Ternyata Puasa Itu Luar Biasa”

Namun puasa Syawal memiliki keutamaan khusus, yaitu menyempurnakan ibadah puasa Ramadan sehingga senilai dengan puasa setahun penuh. sebagaimana disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

من صام ستَّةَ أيَّامٍ بعد الفطرِ كان تمامَ السَّنةِ من جاء بالحسنةِ فله عشرُ أمثالِها

Barangsiapa yang puasa enam hari setelah Idul Fitri, maka baginya pahala puasa setahun penuh. Barangsiapa yang melakukan satu kebaikan, baginya ganjaran sepuluh kali lipatnya

Dalam riwayat lain:

جعل اللهُ الحسنةَ بعشر أمثالِها ، فشهرٌ بعشرةِ أشهرٍ ، وصيامُ ستَّةِ أيامٍ بعد الفطرِ تمامُ السَّنةِ

Allah menjadikan satu kebaikan bernilai sepuluh kali lipatnya, maka puasa sebulan senilai dengan puasa sepuluh bulan. Ditambah puasa enam hari setelah Idul Fitri membuatnya sempurna satu tahun” (HR. Ibnu Majah no. 1402, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah no.1402 dan Shahih At-Targhib no. 1007).

Imam An-Nawawi mengatakan:

وَإِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا فَرَمَضَانُ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَالسِّتَّةُ بِشَهْرَيْنِ

“Pahala puasa Syawal seperti puasa setahun penuh. Karena satu kebaikan senilai dengan sepuluh kebaikan. Puasa Ramadan sebulan senilai dengan sepuluh bulan, dan puasa 6 hari senilai dengan dua bulan (60 hari)” (Syarah Shahih Muslim, 8/56).

Buah dari puasa Syawal

  • Puasa Syawal menyempurnakan pahala puasa Ramadan sehingga senilai dengan puasa setahun penuh.
  • Puasa Syawal dan puasa Sya’ban sebagaimana salat sunah rawatib sebelum dan sesudah salat, ia menyempurnakan kekurangan dan cacat yang ada pada ibadah yang wajib. Karena ibadah-ibadah wajib akan disempurnakan dengan ibadah-ibadah sunah pada hari kiamat kelak. Kebanyakan orang, puasa Ramadannya mengandung kekurangan dan cacat, maka membutuhkan amalan-amalan yang bisa menyempurnakannya.
  • Terbiasa puasa selepas puasa Ramadan adalah tanda diterimanya amalan puasa Ramadan. Karena ketika Allah menerima amalan seorang hamba, Allah akan memberikan ia taufik untuk melakukan amalan shalih selanjutnya. Sebagaimana perkataan sebagian salaf:ثواب الحسنة الحسنة بعدها“Balasan dari kebaikan adalah (diberi taufik untuk melakukan) kebaikan selanjutnya”Maka barangsiapa yang melakukan suatu kebaikan, lalu diikuti dengan kebaikan lainnya, ini merupakan tanda amalan kebaikannya tersebut diterima oleh Allah. Sebagaimana barangsiapa yang melakukan suatu kebaikan, namun kemudian diikuti dengan keburukan lainnya, ini merupakan tanda amalan kebaikannya tersebut tidak diterima oleh Allah.
  • Orang-orang yang berpuasa Ramadan disempurnakan pahalanya di hari Idul Fitri dan diampuni dosa-dosanya. Maka hari Idul Fitri adalah hari pemberian ganjaran kebaikan. Sehingga puasa setelah hari Idul Fitri adalah bentuk syukur atas nikmat tersebut. Sedangkan tidak ada nikmat yang lebih besar selain pahala dari Allah ta’ala dan ampunan dari Allah.

Tata cara puasa Syawal

Tata cara puasa Syawal secara umum sama dengan tata cara puasa Ramadan. Silakan simak tata cara puasa Ramadan pada artikel kami Ringkasan Fikih Puasa Ramadhan. Perbedaannya ada pada beberapa hal:

1. Boleh niat puasa setelah terbit fajar

Telah kita ketahui bersama bahwa disyaratkan untuk menghadirkan niat pada malam hari sebelum puasa, yaitu sebelum terbit fajar. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

من لم يبيِّتِ الصِّيامَ قبلَ الفَجرِ، فلا صيامَ لَهُ

Barangsiapa yang tidak menghadirkan niat puasa di malam hari sebelum terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya” (HR. An-Nasai no. 2331, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih An-Nasai)

Namun para ulama menjelaskan bahwa ini berlaku untuk puasa wajib. Adapun puasa nafilah (sunah) maka boleh menghadirkan niat setelah terbit fajar. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan hal tersebut. Sebagaimana dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha:

قال لي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، ذاتَ يومٍ

يا عائشةُ ! هل عندكم شيٌء ؟

قالت فقلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ما عندنا شيٌء

قال فإني صائمٌ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku pada suatu hari: ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini?)’. Aku menjawab: ‘wahai Rasulullah, kita tidak memiliki sesuatupun (untuk dimakan)’. Beliau lalu bersabda: ‘kalau begitu aku akan puasa’” (HR. Muslim no. 1154).

Imam An-Nawawi mengatakan:

وَفِيهِ دَلِيلٌ لِمَذْهَبِ الْجُمْهُورِ أَنَّ صَوْمَ النَّافِلَةِ يَجُوزُ بِنِيَّةٍ فِي النَّهَارِ قَبْلَ زَوَالِ الشَّمْسِ

“Hadits ini merupakan dalil bagi jumhur ulama bahwa dalam puasa sunah boleh menghadirkan niat di siang hari sebelum zawal (matahari mulai bergeser dari tegak lurus)” (Syarah Shahih Muslim, 8/35).

2. Tidak harus berurutan

Tidak sebagaimana puasa Ramadan, puasa Syawal tidak disyaratkan harus berurutan (mutatabi’ah) dalam pelaksanaannya. Boleh dilakukan secara terpisah-pisah (mutafarriqah) harinya. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan,

صيام ست من شوال سنة ثابتة عن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ويجوز صيامها متتابعة ومتفرقة ؛ لأن الرسول – صلى الله عليه وسلم – أطلق صيامها ولم يذكر تتابعاً ولا تفريقاً ، حيث قال – صلى الله عليه وسلم

من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال كان كصيام الدهر

أخرجه الإمام مسلم في صحيحه

“Puasa enam hari di bulan Syawal telah sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan boleh mengerjakannya secara mutatabi’ah (berurutan) atau mutafarriqah (terpisah-pisah). Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan puasa Syawal secara mutlaq (baca: tanpa sifat-sifat tambahan) dan tidak disebutkan harus berurutan atau harus terpisah-pisah. Beliau bersabda: ‘Barangsiapa yang puasa Ramadan lalu diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, ia mendapatkan pahala puasa setahun penuh‘ (HR. Muslim dalam Shahihnya)” (Majmu’ Fatawa wa Maqalah Mutanawwi’ah, 15/391).

3. Boleh membatalkan puasa dengan atau tanpa uzur

Dibolehkan membatalkan puasa nafilah (sunnah) baik karena suatu udzur syar’i maupun tanpa udzur. Berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu’anha,

دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم ذات يوم فقال : هل عندكم شيء ؟ فقلنا : لا ، قال : فإني إذن صائم ، ثم أتانا يوما آخر فقلنا : يا رسول الله أهدي لنا حيس ، فقال أرينيه فلقد أصبحت صائما ، فأكل

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suatu hari masuk ke rumah dan bertanya: ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan)?’. Aisyah menjawab: ‘tidak’. Beliau bersabda: ‘kalau begitu aku akan berpuasa’. Kemudian di lain hari beliau datang kepadaku, lalu aku katakan kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah, ada yang memberi kita hadiah berupa hayis (sejenis makanan dari kurma)’. Nabi bersabda: ‘kalau begitu tunjukkan kepadaku, padahal tadi aku berpuasa’. Lalu Nabi memakannya” (HR. Muslim no. 1154).

Juga berdasarkan hadis dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha, beliau bertanya:

لقدْ أفطرتُ وكنتُ صائمةً فقال لها أكنتِ تقضينَ شيئًا قالتْ لا قالَ فلا يضرُّكِ إنْ كانَ تطوعًا

Wahai Rasulullah, aku baru saja membatalkan puasa sedangkan tadi aku berpuasa, bolehkah? Nabi bertanya: ‘apakah itu puasa qadha?’ Aku menjawab: ‘bukan’. Nabi bersabda: ‘Jika demikian maka tidak mengapa, yaitu jika puasa tersebut puasa tathawwu’ (sunah)‘” (HR. Abu Daud no. 2456, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

إذا كان الصوم نافلة فله أن يفطر، ليس بلازم، له الفطر مطلقاً، لكن الأفضل ألا يفطر إلا لأسباب شرعية: مثل شدة الحر، مثل ضيف نزل به، مثل جماعة لزَّموا عليه أن يحضر زواج أو غيره يجبرهم بذلك فلا بأس

“Jika puasa tersebut adalah puasa sunah, maka boleh membatalkannya, tidak wajib menyempurnakannya. Ia boleh membatalkannya secara mutlak. Namun yang lebih utama adalah tidak membatalkannya kecuali karena sebab yang syar’i, semisal karena panas yang terik, atau badan yang lemas, atau ada orang yang mengundang ke pernikahan, atau hal-hal yang memaksa untuk membatalkan puasa lainnya, maka tidak mengapa.” (Sumber: www.binbaz.org.sa/noor/11778)

4. Bagi wanita hendaknya meminta izin kepada suaminya

Bila seorang wanita ingin mengerjakan puasa sunah, termasuk puasa Syawal, maka wajib meminta izin kepada suaminya terlebih dahulu atau ia mengetahui bahwa suaminya mengizinkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا يحِلُّ للمرأةِ أن تصومَ وزَوجُها شاهِدٌ إلَّا بإذنِه، ولا تأذَنْ في بيته إلا بإذنِه

Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya hadir (tidak sedang safar) kecuali dengan seizinnya. Dan tidak halal seorang wanita membiarkan orang lain masuk kecuali dengan seizin suaminya” (HR. Bukhari no. 5195).

Dan puasa yang dimaksud dalam hadis ini adalah puasa sunah, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا تصومُ المرأةُ وبعلُها شاهدٌ إلا بإذنِه غيرَ رمضانَ ولا تأذنْ في بيتِه وهو شاهدٌ إلا بإذنِه

Tidak boleh seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya hadir (tidak sedang safar) kecuali dengan seizinnya, jika puasa tersebut selain puasa Ramadan. Dan tidak boleh seorang wanita membiarkan orang lain masuk kecuali dengan seizin suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Sunan Abu Daud).

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:

قَوْلُهُ شَاهِدٌ أَيْ حَاضِرٌ قَوْلُهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْنِي فِي غَيْرِ صِيَامِ أَيَّامِ رَمَضَانَ وَكَذَا فِي غَيْرِ رَمَضَانَ مِنَ الْوَاجِبِ إِذَا تَضَيَّقَ الْوَقْتُ

“Sabda beliau [sedangkan suaminya hadir] maksudnya sedang tidak safar. [kecuali dengan seizinnya] maksudnya selain puasa Ramadan. Demikian juga berlaku pada puasa wajib selain puasa Ramadan jika waktunya sempit (maka tidak perlu izin, -pent.)”.

Beliau juga mengatakan:

وَفِي الْحَدِيثِ أَنَّ حَقَّ الزَّوْجِ آكَدُ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنَ التَّطَوُّعِ بِالْخَيْرِ لِأَنَّ حَقَّهُ وَاجِبٌ وَالْقِيَامُ بِالْوَاجِبِ مُقَدَّمٌ عَلَى الْقِيَامِ بِالتَّطَوُّعِ

“Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa hak suami lebih ditekankan bagi wanita daripada ibadah sunah. Karena menunaikan hak suami itu wajib dan wajib mendahulukan yang wajib daripada yang sunah” (Fathul Baari, 9/296).

Bolehkah mendahulukan puasa Syawal sebelum menunaikan hutang puasa?

Dalam masalah ini kami nukilkan penjelasan bagus dari Syaikh Abdul Aziz Ath-Tharifi dan ini pendapat yang lebih kami condongi dalam masalah ini:

“Para ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan dan kebolehan puasa sunah sebelum qadha puasa. Mereka khilaf (berselisih) dalam dua pendapat dan dua riwayat dari Imam Ahmad ada pada dua pendapat tersebut. Dan yang sahih hukumnya boleh.

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits sahih yang marfu’:

من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر

Barangsiapa yang puasa Ramadan lalu mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia mendapat pahala puasa setahun penuh” (HR. Muslim no. 1164).

Sabda beliau “…puasa Ramadan lalu mengikutinya…” dimaknai oleh sejumlah ulama kepada wajibnya menyempurnakan puasa Ramadan sebelum mengerjakan puasa sunah. Dan ini juga zahir perkataan dari Sa’id bin Musayyab yang dibawakan Al-Bukhari secara mu’allaq (tidak menyebutkan sanad secara lengkap), beliau berkata tentang puasa sunah sepuluh hari (bulan Dzulhijjah) sebelum qadha puasa Ramadan:

لا يصلح حتى يبدأ برمضان

Tidak dibenarkan kecuali diawali dengan (qadha) puasa Ramadan

Al-Baihaqi dan Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ats-Tsauri, dari Utsman bin Muhib, ia berkata: Aku mendengar Abu Hurairah ketika ditanya seseorang:

إن عليّ أياماً من رمضان أفأصوم العشر تطوعاً؟ قال: لا، ولم؟ إبدأ بحق الله ثم تطوع بعد ما شت

Saya memiliki beberapa hari hutang puasa Ramadan, bolehkah saya puasa sunah sepuluh hari? Abu Hurairah menjawab: tidak boleh. Orang tersebut bertanya: mengapa? Abu Hurairah menjawab: dahulukan hak Allah, kemudian baru kerjakan yang sunah semaumu“.

Dan diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha bahwa beliau menganggap hal itu makruh.

Dan diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, dari Sufyan, dari Hammad bahwa ia berkata:

سألت إبراهيم وسعيد بن جبير عن رجل عليه أيام من رمضان أيتطوع في العشر؟ قالا: يبدأ بالفريضة

Aku bertanya kepada Ibrahim bin Sa’id bin Jubair tentang seorang lelaki yang memiliki beberapa hari hutang puasa Ramadan, bolehkah ia puasa sunah sepuluh hari? Ibrahim bin Sa’id berkata: tidak boleh, dahulukan yang wajib.

Dan mengakhirkan qadha puasa Ramadan hingga bulan Sya’ban hukumnya boleh, berdasarkan perbuatan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu Salamah, ia berkata: aku mendengar Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

كان يكون عليَّ الصوم من رمضان فما أستطيع أن أقضي إلا في شعبان

Aku pernah memiliki hutang puasa Ramadan, dan aku tidak bisa menunaikannya hingga di bulan Sya’ban

Pendapat yang sahih adalah boleh mengakhirkan qadha puasa Ramadhan walaupun bukan karena darurat, dengan cacatan bahwa menyegerakannya lebih utama. Jika tanpa darurat saja boleh, tentu mengakhirkannya karena mengerjakan puasa Syawal lebih layak untuk dibolehkan. Dan ini adalah salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad rahimahullah. Dengan catatan, bahwa ulama sepakat bahwa yang lebih utama adalah mendahulukan qadha puasa dan melepaskan diri dari tanggungan. Dalam pandangan kami, inilah makna yang diinginkan oleh Abu Hurairah, Sa’id bin Musayyib, Atha, Sa’id bin Jubair, Ibrahim bin Sa’id pada riwayat-riwayat di atas.

Dan perlu dicatat juga, bahwa orang yang tidak puasa Ramadan karena suatu uzur maka ditulis baginya pahala puasa untuk hari yang ia tinggalkan tersebut walaupun ia belum menunaikan qadha puasanya. Karena orang yang terhalang karena suatu uzur itu dihukumi sebagaimana orang yang mengamalkan amalan yang sah. Sebagaimana dalam sebuah hadis:

إذا مرض العبد أو سافر كتب له ما كان يعمل وهو صحيح مقيم

Jika seorang hamba sakit atau sedang safar, maka ditulis baginya pahala amalan yang biasa ia lakukan dalam keadaan sehat dan tidak safar” (HR. Bukhari no. 2996).

Dan qadha puasa Ramadan waktunya luas, sedangkan puasa Syawal waktunya terbatas, sempit dan cepat berlalu” (Sumber: http://www.altarefe.com/cnt/ftawa/312).

Menggabung niat puasa Syawal dengan puasa lainnya

Masalah ini dikenal dalam ilmu fikih sebagai masalah tasyrik an niyyat atau tasyrik ibadatain fi niyyah (menggabung beberapa niat dalam ibadah). Ada tiga rincian dalam masalah ini, yaitu sebagai berikut:

فَإِنْ كَانَ مَبْنَاهُمَا عَلَى التَّدَاخُل كَغُسْلَيِ الْجُمُعَةِ وَالْجَنَابَةِ، أَوِ الْجَنَابَةِ وَالْحَيْضِ، أَوْ غُسْل الْجُمُعَةِ وَالْعِيدِ، أَوْ كَانَتْ إِحْدَاهُمَا غَيْرَ مَقْصُودَةٍ كَتَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ مَعَ فَرْضٍ أَوْ سُنَّةٍ أُخْرَى، فَلاَ يَقْدَحُ ذَلِكَ فِي الْعِبَادَةِ؛ لأِنَّ مَبْنَى الطَّهَارَةِ عَلَى التَّدَاخُل، وَالتَّحِيَّةُ وَأَمْثَالُهَا غَيْرُ مَقْصُودَةٍ بِذَاتِهَا، بَل الْمَقْصُودُ شَغْل الْمَكَانِ بِالصَّلاَةِ، فَيَنْدَرِجُ فِي غَيْرِهِ.

أَمَّا التَّشْرِيكُ بَيْنَ عِبَادَتَيْنِ مَقْصُودَتَيْنِ بِذَاتِهَا كَالظُّهْرِ وَرَاتِبَتِهِ، فَلاَ يَصِحُّ تَشْرِيكُهُمَا فِي نِيَّةٍ وَاحِدَةٍ؛ لأِنَّهُمَا عِبَادَتَانِ مُسْتَقِلَّتَانِ لاَ تَنْدَرِجُ إِحْدَاهُمَا فِي الأْخْرَى

“[1] Jika latar belakang pelaksanaan kedua ibadah tersebut karena sifatnya tadakhul (saling bertemu satu sama lain), sebagaimana mandi Jum’at dan mandi janabah (ketika dalam kondisi junub di hari Jum’at, -pent.), atau mandi janabah dan mandi haid, atau mandi Jum’at dan mandi untuk salat Id, atau [2] salah satu dari ibadah tersebut ghayru maqshudah bidzatiha (yang dituntut bukan dzat dari ibadahnya, -pent.) sedangkan ibadah yang lain adalah ibadah wajib atau sunah, maka ini tidak mencacati ibadah (baca: boleh). Karena landasan dari taharah memang at-tadakhul dan salat tahiyyatul masjid dan yang semisalnya yang dituntut bukan dzat dari ibadahnya, namun yang dituntut adalah mengerjakan shalat ketika masuk masjid (apapun salat itu, -pent.). Maka ibadah tersebut bisa masuk pada ibadah yang lain. Adapun [3] menggabungkan niat antara dua ibadah maqshudah bi dzatiha (yang dituntut adalah dzat ibadahnya), seperti menggabungkan salat zuhur dengan salat rawatib zuhur, maka tidak sah menggabungkan keduanya dalam satu niat, karena keduanya adalah dua ibadah yang berdiri sendiri, yang tidak bisa masuk antara satu dengan yang lain” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 12/24).

Maka dari kaidah ini bisa kita jawab permasalah-permasalahan berikut:

1. Menggabung puasa Syawal dengan qadha puasa

Hukumnya tidak boleh dan tidak sah, karena puasa Syawal dan qadha puasa Ramadan keduanya adalah ibadah yang maqshudah bi dzatiha. Keduanya adalah ibadah yang berdiri sendiri, sehingga tidak sah jika digabungkan dalam satu niat.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:

أما أن تصوم الست بنية القضاء والست فلا يظهر لنا أنه يحصل لها بذلك أجر الست، الست تحتاج إلى نية خاصة في أيام مخصوصة

“Adapun jika anda puasa Syawal dengan menggabung niat puasa qadha dan puasa Syawal, maka saya memandang puasa Syawalnya tidak sah. Karena puasa Syawal membutuhkan niat khusus dan membutuhkan hari-hari yang khusus” (Sumber: www.binbaz.org.sa/noor/4607).

2. Menggabung puasa Syawal dengan puasa ayyamul bidh

Hukumnya boleh dan sah. Karena puasa ayyamul bidh adalah ibadah yang ghayru maqshudah bidzatiha. Ketika seseorang melaksanakan puasa 3 hari dalam satu bulan, kapanpun harinya dan apapun jenis puasa yang ia lakukan (yang disyariatkan) maka ia sudah mendapatkan keutamaan puasa ayyamul bidh.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyatakan:

إذا صام ست أيام من شوال سقطت عنه البيض ، سواء صامها عند البيض أو قبل أو بعد لأنه يصدق عليه أنه صام ثلاثة أيام من الشهر ، وقالت عائشة رضي الله عنها : ” كان النبي صلى الله عليه وسلم يصوم ثلاثة أيام من كل شهر لا يبالي أصامها من أول الشهر أو وسطه أو آخره ” ، و هي من جنس سقوط تحية المسجد بالراتبة فلو دخل المسجد

“Jika seseorang berpuasa enam hari di bulan Syawal, gugur darinya tuntutan puasa ayyamul bidh. Baik ia puasa Syawal ketika al-bidh (ketika bulan purnama sempurna), sebelumnya atau setelahnya, karena ia telah berpuasa tiga hari dalam satu bulan. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berpuasa tiga hari setiap bulan, tanpa peduli apakah itu awal bulan atau tengah bulan atau akhirnya’. Ini sejenis dengan gugurnya tuntutan shalat tahiyatul masjid dengan mengerjakan salat rawatib jika seseorang masuk masjid” (Sumber: https://islamqa.info/ar/4015).

3. Menggabung puasa Syawal dengan puasa Senin-Kamis

Hukumnya boleh dan sah. Karena puasa Senin-Kamis adalah ibadah yang ghayru maqshudah bidzatiha. Karena puasa Senin-Kamis disyariatkan bukan karena dzatnya, namun karena diangkatnya amalan di hari itu sehingga dianjurkan berpuasa, apapun puasa yang dilakukannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إن الأعمال ترفع يوم الاثنين والخميس فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم

Sesungguhnya catatan amalan diangkat pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika catatan amalanku diangkat ketika aku sedang puasa” (HR. Ibnu Wahb dalam Al-Jami’, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1583).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan:

إذا اتفق أن يكون صيام هذه الأيام الستة في يوم الاثنين أو الخميس فإنه يحصل على أجر الاثنين بنية أجر الأيام الستة، وبنية أجر يوم الاثنين أو الخميس

“Jika puasa Syawal bertepatan dengan hari Senin atau Kamis, maka ia mendapatkan pahala puasa Senin-Kamis dengan niat puasa Syawal atau dengan puasa Senin-Kamis” (Fatawa Al-Islamiyah, 2/154).

Demikian pembahasan singkat mengenai fikih puasa Syawal. Semoga menjadi tambahan ilmu bagi kita semua, dan semoga Allah ta’ala memudahkan kita untuk mengamalkannya.

Wabillahi at-taufiq was-sadaad.

***

Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id

Referensi:

HSimak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/30930-fikih-puasa-syawal.html

Tidak Boleh Berbicara Tentang Agama Tanpa Ilmu

Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Apa nasihat Anda terhadap suatu kaum yang berdakwah kepada Allah Ta’ala, juga mengunjungi masyarakat dan mengajak mereka ke masjid, namun sebagian dari mereka tidak memiliki bekal ilmu syar’i sama sekali?

Jawaban:

Adapun jalan untuk memperbaiki kondisi masyarakat, maka pendapatku adalah dengan menempuh sarana-sarana yang sesuai, selama sarana tersebut tidak dilarang. Karena sarana-sarana tersebut pada asalnya tidak memiliki hukum tertentu. Akan tetapi, hukum sarana tersebut mengikuti hukum tujuan.

Adapun sarana yang hukumnya terlarang, maka tidak boleh ditempuh (diikuti). Seperti orang yang menjadikan tari-tarian (dansa) dan nyanyian (lagu) sebagai sarana untuk menarik manusia dan mendakwahi mereka menuju jalan Allah Ta’ala. Hal itu haram dan tidak ada manfaatnya. Hal ini karena Allah Ta’ala tidak akan menjadikan obat bagi umat ini melalui sesuatu yang diharamkan. 

Maka sarana apapun dalam dakwah kepada Allah Ta’ala itu diperbolehkan selama tidak terlarang (dalam syariat). Karena sarana-sarana itu pada asalnya bukanlah ibadah itu sendiri. Akan tetapi, sebagai jalan menuju tujuan yang diinginkan. Maka kondisi jamaah tersebut yang mengunjungi manusia (di rumah-rumah mereka, pent.), membacakan kepada mereka Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mudah bagi mereka, juga keluar berdakwah (khuruj) bersama mereka dengan tujuan untuk mengajarkan dan memberikan bimbingan kepada mereka, maka ini perkara yang baik tanpa perlu diragukan.

Adapun keadaan mereka yang berbicara dalam perkara agama tanpa ilmu, maka tidak boleh bagi manusia untuk berbicara tentang agama Allah Ta’ala tanpa ilmu. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf [7]: 33)

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’ [17]: 36)

Kemudian terkait dengan hal ini, saya juga ingin mengingatkan bahwa banyak dari para penceramah yang menyebutkan dalam nasihat atau ecramah mereka hadits-hadits yang tidak jelas, yaitu hadits-hadits yang bisa jadi statusnya dha’if (lemah) atau maudhu’ (palsu). Merka mengklaim bahwa mereka tidak akan bisa menarik (memikat) perhatian manusia kecuali dengan membawakan hadits-hadits tersebut. Ini adalah kekeliruan yang besar. Hal ini karena hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga dalam kitabullah (Al-Qur’an) itu sudah mencukupi dari hadits-hadits yang palsu (maudhu’) dan lemah (dha’if) tersebut.

[Selesai]

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56800-tidak-boleh-berbicara-tentang-agama-tanpa-ilmu.html

Tempat Minum Rasulullah ﷺ

RASULULLAH ﷺ tipe orang yang sangat sederhana. Dalam segala hal. Kesederhanaan beliau tercermin dalam pemakaian barang-barang keseharian. Contohnya tempat minum atau gelas. Imam Tirmidzi meriwayatkan hadis yang menggambarkan kesederhanaan itu.

Suatu ketika, kutip Tirmidzi, Anas bin Malik menunjukkan sebuah gelas kayu tebal yang dilingkari dengan besi dan berkata, “Ini adalah gelas Rasulullah SAW.”

Pada hadits di atas tergambar dengan jelas gelas yang digunakan oleh Nabi. Gelas itu terbuat dari kayu tebal dan dililit dengan besi. Gunanya besi itu untuk mempererat sambungan atau menutup celah sehingga tidak ada cairan yang merembes keluar. Anas bin Malik adalah pembantu yang sehari-hari melayani Rasulullah . Dia tahu betul keadaan gelas itu.

Syaik Abdurazaq bin Abdil Muhsin Al Badr, pensyarah kitabnya Imam Tirmidzi memberi catatan kaki: dalam sanad hadis di atas terdapat Husain bin Aswad Al-Baghdadi, seorang perawi yang shaduq.

Imam Bakhari dalam Ash-Shahih juga memberi gambaran betapa sederhananya tempat minum yang dipakai Nabi. Dari Ashim Al-Ahwal, ia berkata, “Aku pernah melihat mangkuk Nabi (yang) ada pada Anas bin Malik. Mangkuk tersebut sudah retak. Kemudian ia menyambungnya dengan perak.” Anas berkata, “Mangkuk ini sangat bagus terbuat dari kayu pilihan. Sungguh aku telah menuangkan minuman kepada Rasulullah  dengan mangkuk tersebut hingga sekian kali.”* Bambang S.

HIDAYATULLAH

Target Pasca Ramadhan

Munajat dan doa agar amalan diterima mesti terus dipanjatkan pasca Ramadhan

Ramadhan telah berlalu. Beragam kebaikan telah terlaksana di dalamnya. Hanya saja, kita tidak bisa memastikan diterima tidaknya amalan itu. Karena itu, munajat dan doa agar amalan diterima mesti terus dipanjatkan.

Ali bin Abi Thalib pernah berpesan, “Jadikanlah terkabulnya amalan lebih kalian prioritaskan dari beramal itu sendiri.” (Al-Ikhlas Wanniyah, Ibnu Abi Dunya, Atsar No 7).

Berdoa agar amalan dikabulkan adalah sunah para anbiya. Dalam Alquran dikisahkan tentang Nabi Ibrahim Alaihissalam. Pasca-menyelesaikan pembangunan Ka’bah bersama putranya, Ismail, ia segera berdoa, “Rabbanan taqabbal minna innaka antassamiul alim (wahai Tuhan kami, kabulkanlah dari kami amalan kami, sesungguhnya engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).” (Al-Baqarah: 127).

Doa pada ayat di atas sangat besar manfaatnya. Selain menjadi sebab terkabulnya amalan, doa ini juga bisa mengikis benih-benih ujub yang kerap muncul disebabkan prestasi kebaikan yang kita lakukan. Ujub karena torehan kebaikan adalah sumber keburukan. Jika ini terjadi, tentu sangat fatal dan berbahaya. Bukankah iblis dijangkiti oleh keangkuhan hingga meremehkan Adam dan enggan bersujud kepadanya hanya karena merasa lebih hebat dan senior dalam kebaikan.

Selain berdoa (agar amalan terkabul) kita juga diperintahkan memperbanyak istighfar setelah menuntaskan kebaikan. Istighfar tidak saja berkaitan dengan dosa dan keburukan. Setelah melakukan kebaikan, kita juga diperintahkan istighfar.

Dalam shahih Muslim, Tsauban Radhiallahuanhu berkata, “Nabi Shallallahualaihi wasallam setelah shalat mengucapkan istighfar tiga kali.”

Hikmah dari istighfar ini adalah untuk menutupi kekurangan dalam amalan yang kita lakukan. Saat shalat, misalnya, secara lahiriah kita memang sedang melakukan kebaikan. Tapi, kekhusyukan yang merupakan ruh shalat terkadang tidak hadir secara maksimal.

Inilah bentuk kekurangan yang membutuhkan istighfar. Demikian pula dalam puasa dan ibadah yang lain, tidak luput dari kekurangan. Diterimanya amalan adalah target lanjutan setelah menuntaskan kebaikan. Target ini mesti dicapai. Sebab, hanya amalan yang dikabulkan yang akan menambah perolehan pahala.

Selain menambah pahala, amalan yang dikabulkan akan melahirkan efek positif dalam keseharian. Efek paling mencolok tentunya adalah akitivitas kebaikan yang terus berlanjut. Baik amalan berkaitan ibadah mahdhah, seperti puasa, membaca Alquran, shalat malam, atau ibadah ghaira mahdhah semisal sedekah, membantu sesama, dan lainnya.

Apalagi di tengah pandemi Covid-19 yang belum berlalu, tingkat kebutuhan kita akan eksisnya nilai kebaikan warisan Ramadhan sangat-sangat tinggi. Karena eksisnya kebaikan adalah sumber solusi dan sebab turunnya pertolongan Allah.

Ramadhan boleh berakhir, tapi kebaikan pantang berhenti. Bulan Syawal dan bulan-bulan setelahnya adalah momen pembuktian berhasil tidaknya kita di bulan Ramadhan. Karena itu, mari kuatkan azam kita untuk mempertahan kan kebaikan pasca-Ramadhan.

Semoga Allah menganugrahi kita keistiqamahan. Amin ya Rabbal Alamin.

Oleh Ahmad Rifai

KHAZANAH REPUBLIKA

Istiqamah Setelah Ramadhan

بسم الله الرحمن الرحيم

Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu, dan bulan Ramadhan yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan berlalu sudah. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang celaka karena tidak mendapatkan pengampunan dari Allah Ta’ala selama bulan Ramadhan, sebagaimana yang tersebut dalam doa yang diucapkan oleh malaikat Jibril ‘alaihissalam dan diamini oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni (oleh Allah Ta’ala )1.

Salah seorang ulama salaf berkata: “Barangsiapa yang tidak diampuni dosa-dosanya di bulan Ramadhan maka tidak akan diampuni dosa-dosanya di bulan-bulan lainnya”2.

Oleh karena itu, mohonlah dengan sungguh-sungguh kepada Allah Ta’ala agar Dia menerima amal kebaikan kita di bulan yang penuh berkah ini dan mengabulkan segala doa dan permohonan ampun kita kepada-Nya, sebagaimana sebelum datangnya bulan Ramadhan kita berdoa kepada-Nya agar Allah Ta’ala  mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan hati kita kita dipenuhi dengan keimanan dan pengharapan akan ridha-Nya. Imam Mu’alla bin al-Fadhl berkata: “Dulunya (para salaf) berdoa kepada Allah Ta’ala (selama) enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar Dia menerima (amal-amal shalih) yang mereka (kerjakan)”3.

Lalu muncul satu pertanyaan besar dengan sendirinya: Apa yang tertinggal dalam diri kita setelah Ramadhan berlalu? Bekas-bekas kebaikan apa yang terlihat pada diri kita setelah keluar dari madrasah bulan puasa?

Apakah bekas-bekas itu hilang seiring dengan berlalunya bulan itu? Apakah amal-amal kebaikan yang terbiasa kita kerjakan di bulan itu pudar setelah puasa berakhir?

Jawabannya ada pada kisah berikut ini:

Imam Bisyr bin al-Harits al-Hafi pernah ditanya tentang orang-orang yang (hanya) rajin dan sungguh-sungguh beribadah di bulan Ramadhan, maka beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang sangat buruk, (karena) mereka tidak mengenal hak Allah kecuali hanya di bulan Ramadhan, (hamba Allah) yang shaleh adalah orang yang rajin dan sungguh-sungguh beribadah dalam setahun penuh”4.

Demi Allah, inilah hamba Allah Ta’ala  yang sejati, yang selalu menjadi hamba-Nya di setiap tempat dan waktu, bukan hanya di waktu dan tempat tertentu.

Imam Asy-Syibli pernah ditanya: Mana yang lebih utama, bulan Rajab atau bulan Sya’ban? Maka beliau menjawab: “Jadilah kamu seorang Rabbani (hamba Allah Ta’ala  yang selalu beribadah kepada-Nya di setiap waktu dan tempat), dan janganlah kamu menjadi seorang Sya’bani (orang yang hanya beribadah kepada-Nya di bulan Sya’ban atau bulan tertentu lainnya)”5.

Maka sebagaimana kita membutuhkan dan mengharapkan rahmat Allah Ta’ala di bulan Ramadhan, bukankah kita juga tetap membutuhkan dan mengharapkan rahmat-Nya di bulan-bulan lainnya? Bukankah kita semua termasuk dalam firman-Nya:

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيد}

Hai manusia, kalian semua butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).

Inilah makna istiqamah yang sesungguhnya dan inilah pertanda diterimanya amal shaleh seorang hamba. Imam Ibnu Rajab berkata: “Sesungguhnya Allah jika Dia menerima amal (kebaikan) seorang hamba maka Dia akan memberi taufik kepada hamba-Nya tersebut untuk beramal shaleh setelahnya, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka (ulama salaf): Ganjaran perbuatan baik adalah (taufik dari Allah Ta’ala  untuk melakukan) perbuatan baik setelahnya. Maka barangsiapa yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia mengerjakan amal kebaikan lagi setelahnya, maka itu merupakan pertanda diterimanya amal kebaikannya yang pertama (oleh Allah Ta’ala), sebagaimana barangsiapa yang mengerjakan amal kebakan, lalu dia dia mengerjakan perbuatan buruk (setelahnya), maka itu merupakan pertanda tertolak dan tidak diterimanya amal kebaikan tersebut”6.

Oleh karena itulah, Allah Ta’ala  mensyariatkan puasa enam hari di bulan Syawwal, yangkeutamannya sangat besar yaitu menjadikan puasa Ramadhan dan puasa enam hari di bulan Syawwal pahalanya seperti puasa setahun penuh, sebagaimana sabda Rasululah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh7.

Di samping itu juga untuk tujuan memenuhi keinginan hamba-hamba-Nya yang shaleh dan selalu rindu untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan puasa dan ibadah-ibadah lainnya, karena mereka adalah orang-orang yang merasa gembira dengan mengerjakan ibadah puasa. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan (besar): kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu Allah8.

Inilah bentuk amal kebaikan yang paling dicintai oleh AllahTa’ala dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Ta’ala  adalah amal yang paling terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit9.

Ummul mu’minin ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika mengerjakan suatu amal (kebaikan) maka beliau Shallallahu’alaihi Wasallam akan menetapinya”10.

Inilah makna istiqamah setelah bulan Ramadhan, inilah tanda diterimanya amal-amal kebaikan kita di bulan yang berkah itu, maka silahkan menilai diri kita sendiri, apakah kita termasuk orang-orang yang beruntung dan diterima amal kebaikannya atau malah sebaliknya.

{فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ}

Maka ambillah pelajaran (dari semua ini), wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat” (QS al-Hasyr: 2).

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 6 Ramadhan 1433 H

 —

1 HR Ahmad (2/254), al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad” (no. 644), Ibnu Hibban (no. 907) dan al-Hakim (4/170), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani.

2 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 297).

3 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 174).

4 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 313).

5 Ibid.

6 Kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 311).

7 HSR Muslim (no. 1164).

8 HSR al-Bukhari (no. 7054) dan Muslim (no. 1151).

9 HSR al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no. 783).

10 HSR Muslim (no. 746).

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthani, MA.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/10042-istiqamah-setelah-ramadhan.html

Apakah Rasulullah Membatalkan Perjanjian Damai dengan Yahudi?

Di awal kedatangannya di Madinah, Rasulullah langsung mengikat perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi. Di antara perjanjian tersebut tertuang dalam Watsiqotul Madinah atau Piagam Madinah. Namun tidak sampai dua tahun beliau tinggal di Madinah, beliau memerangi dan mengusir Yahudi Bani Qainuqa’ dari kota tersebut. Kemudian diikuti Bani Nadhir dan Bani Quraizah. Apakah Nabi membatalkan perjanjian damai dan suka berperang seperti yang banyak dituduhkan pembenci Islam? Ataukah justru orang Yahudi yang membatalkan perjanjian damai tersebut?

Di antara alasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat perjanjian damai dengan orang Yahudi karena sifat mereka yang culas. Perjanjian menjadi ikatan untuk mereka. Agar tidak terlalu berani membuat makar dan konspirasi. Namun ternyata perjanjian itu tak terlalu berpengaruh bagi mereka. Mereka berperan sebagai tetangga buruk. Berusaha menyakiti dan memberikan keraguan kepada kaum muslimin terhadap kebenaran yang mereka yakini. Rasulullah menyikapi gangguan mereka dengan sabar. Hingga mereka melakukan kesalahan yang tak bisa lagi disikapi dengan diam. Rasulullah pun mengambil sikap tegas dengan memerangi mereka.

Yahudi Bani Qainuqa’

Kabilah Bani Qainuqa adalah kabilah pertama dari orang-orang Yahudi yang membatalkan perjanjian damai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak lama setelah mengikat perjanjian, pada bulan Syawwal tahun ke-2 H, mereka batalkan perjanjian itu. artinya tidak sampai dua tahun. Dada mereka begitu sempit untuk menampung kebencian yang mereka pendam terhadap kaum muslimin.

Mereka batalkan perjanjian damai dengan mengganggu kehormatan seorang wanita muslimah di Pasar Bani Qainuqa’. Lalu mereka keroyok seorang laki-laki muslim yang membelanya hingga muslim tersebut terbunuh. Tentu saja ini bukan masalah ringan. Rasulullah pun membuat perhitungan dengan mereka.

Bukannya merasa bersalah, orang-orang Yahudi malah berkata kepada Rasulullah, “Wahai Muhammad, janganlah kamu terpedaya oleh dirimu karena telah membunuh orang-orang Quraisy (di Badar). Mereka tidak berpengalaman dan tidak mengetahui taktik perang. Sungguh jika engkau memerangi kami. Kau akan tahu bahwa kami adalah ksatria. Dan engkau tidak pantas menandingi kami.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengepung mereka di benteng mereka selama 15 malam. Akhirnya mereka ketakutan. Dan berhasil ditaklukkan tanpa peperangan. Mereka pun diusir dari Kota Madinah. Mereka pergi menuju Syam.

Yahudi Bani Nadhir

Setelah pengkhianatan Bani Qainuqa’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melebarkan masalah. Beliau tidak menghukum orang-orang Yahudi dari kabilah lainnya. Padahal potensi pengkhianatannya sama. Inilah keadilan Islam dan kaum muslimin.

Namun, kebaikan Rasulullah ini tak berarti di mata para Yahudi. Setelah kekalahan di Perang Uhud dan terbunuhnya para sahabat Nabi di peristiwa Ar-Rjai’ dan Bi’ru Ma’unah, orang-orang Yahudi yang awalnya takut membuat makar, kembali muncul nyalinya. Pada tahun ke-4 H bulan Rabiul Awal, Yahudi Bani Nadhir membatalkan perjanjian damai dengan kaum muslimin. Mereka mencoba melakukan pembunuhan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. namun beliau mendapat wahyu dari Malaikat Jibril. Sehingga bocorlah konspirasi busuk yang mereka buat.

Pencobaan pembunuhan ini artinya upaya membatalkan perjanjian damai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Muhammad bin Maslamah radhiallahu ‘anhu kepada Bani Nadhir. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan, “Pergilah menemui Yahudi Bani Nadhir dan katakana kepada mereka, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku menemui kalian untuk menyampaikan pesan: Kalian harus keluar dari negeriku (Madinah). Kalian telah melanggar perjanjian yang telah aku buat bersama kalian. Karena kalian bertekan untuk mengkhianatiku. Aku beri tempo waktu kepada kalian selama sepuluh hari. Siapapun yang masih terlihat setelah itu, akan aku penggal lehernya’.”

Kemudian tokoh munafik, Abdullah bin Ubay Ibnu Salul, menggembosi orang Yahudi Bani Nadhir. Ia menjanjikan ada 2000 pasukan yang siap menolong Yahudi. Naiklah percaya diri orang-orang Yahudi. Mereka tak lagi takut dengan tenggat waktu yang diberikan Rasulullah.

Rasulullah mengepung mereka selama 15 malam. Dan bantuan dari orang-orang munafik tak kunjung datang. Mereka menyerah dan meminta jaminan keselamatan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun sudah melebihi batas waktu dan menantang perang, Nabi tetap kabulkan permintaan mereka. Akhirnya, mereka pun pergi dari Kota Madinah menuju Khaibar.

Yahudi Bani Quraizhah

Dua kabilah besar Yahudi telah terbukti berkhianat dengan pelanggaran berat. Namun Rasulullah tetap tidak memperlebar masalah. Beliau tetap izinkan satu kabilah besar tersisa, Bani Quraizhah, untuk tetap tinggal di Madinah.

Ternyata, Bani Quraizhah melakukan pengkhianatan yang jauh lebih besar dari dua kabilah Yahudi sebelumnya. Sebelumnya Bani Qainuqa’ membunuh seorang muslim. Bani Nadhir mencoba membunuh Nabi. Dan Bani Quraizhah jauh lebih mengerikan.

Ketika Kota Madinah dikepung 10.000 pasukan sekutu, orang-orang Yahudi Bani Quraizhah yang tinggal di dalam kota membatalkan perjanjian. Mereka bersekutu memerangi kaum muslimin dari dalam. Artinya, bukan hanya mengancam nyawa satu orang. Atau hanya mengancam nyawa Nabi. Tapi mereka bisa menyebabkan penduduk Madinah terbantai semuanya. Padahal menurut perjanjian, jika kota Madinah diserang musuh, penduduk kota bahu-membahu melindungi negeri mereka. Ternyata mereka malah melakukan kebalikannya. Mereka bersekutu dengan musuh yang jumlahnya besar, yang sedang mengepung di luar.

Ini adalah pengkhianatan besar. Karena itu, setelah selesai menghadapi Pasukan Ahzab, Rasulullah langsung menyerang mereka. Berbeda dengan Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir yang mendapat maaf dari Nabi, semua laki-laki Bani Quraizhah yang telah balig dihukum mati oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara perempuan dan anak-anaknya diusir.

Yahudi Khaibar

Yahudi Khaibar bersekutu dengan tokoh-tokoh Bani Nadhir seperti: Huyai bin Akhtab, Kinanah bin Abi al-Haqiq, dan Hawdzah bin Qais. Merekalah tokoh-tokoh Yahudi yang melobi Quraisy. Bersekutu menyerang Madinah di Perang Ahzab. Mereka juga berangkat menuju Ghatafan, menjanjikan setengah dari panen mereka kalau mau bersektu di Perang Ahzab. Padahal orang-orang Ghatafan tidak ada masalah dengan Madinah.

Karena alasan inilah Nabi dan para sahabat menyerang Khaibar.

Penutup

Dari tulisan singkat ini, terbantahlah syubhat dari para pembenci Islam yang menuduh Nabi Muhammad itu penyulut peperangan. Pembatal perjanjian. Haus darah. Dll. Padahal apa yang beliau lakukan adalah sebagai respon dari kezaliman. Peperangan beliau lakukan setelah toleransi, maaf, dan belas kasihan tak berarti lagi bagi orang-orang jahat itu.

Sumber:
– Ghazawat ar-Rasul Durus wa ‘ibar wa fawaid oleh Ali Muhammad ash-Shalabi

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6475-apakah-rasulullah-membatalkan-perjanjian-damai-dengan-yahudi.html

Apakah Tinta Hitam Cumi Haram?

Beredar viral di sosial media bahwa hukum makan tinta cumi adalah haram, karena cairan tersebut dianggap darah. Hal ini dengan membawa pendapat salah satu ulama. Tentu ini membuah heboh, terutama pecinta cumi dan restoran seafood, mengingat tinta cumi tidak bisa dipisahkan secara total dari cumi. Apakah benar haram?

Jawabannya: Tentu tidak, daging cumi dan tintanya halal

Dengan alasan:

Pertama:

Cumi termasuk hewan laut dan jelas dalam hadits bahwa hewan laut itu halal, bahkan bangkainya juga halal

Dalam hadis,

هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” [Silsilah Al Ahadits Al Shahihah no. 480]
Apabila bangkainya saja halal, maka apa yang terkandung di dalam bangkai tersebut juga halal. Jadi tinta hitam cumi yang berada di dalam cumi juga halal

Kedua:

Ada dalil lainnya, yaitu cumi termasuk hewan buruan laut. Hewan buruan laut itu hukum asalnya halal.

Allah berfirman,

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ

dihalalkan bagimu buruan laut dan makanan yang ada di laut” (QS. Al Maidah: 96)

Hukum asal hewan buruan laut adalah halal, termasuk tinta hitam cumi, apabila ingin mengatakan “itu” haram, maka harus membawakan dalil yang membuatnya keluar dari hukum asalnya yaitu halal

Ketiga:

Apabila beralasan bahwa tinta cumi itu adalah asalnya darah. Ini juga tidak tepat, karena darah hewan laut halal. Ikan memiliki darah, apakah darah ikan haram? Tentu tidak.

Keempat:

Apabila ada pendapat ulama, maka kita perlu menimbang dengan dalil dan pendapat ulama yang lainnya, serta kita perlu mencari pendapat yang rajih dan lebih kuat. Dalilnya jelas mengatakan bahwa cumi itu halal karena hewan laut, bahkan telah menjadi bangkai saja tetap halal.

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK

Catatan: berikut nukilan pendapat ulama yang menyatakan bahwa tinta hitam cumi haram. Dalam Bughyah al-Mustarsyidin:

الذي يظهر أنّ الشيء الأسود الذي يوجد في بعض الحيتان وليس بدم ولا لحم نجس, إذ صريح عبارة التحفة أنّ كلّ شيء في الباطن خارج عن أجزاء الحيوان نجس, ومنه هذا الأسود للعلّة المذكورة إذ هو دم أو شبهة

“Cairan hitam yang ditemukan pada sebagian makhluk laut dan bukan merupakan daging ataupun darah dihukumi najis. Sebab teks dalam kitab Tuhfah menegaskan bahwa sesungguhnya setiap sesuatu yang berada di bagian dalam adalah sesuatu yang bukan termasuk dari juz (juz/organ) hewan dan dihukumi najis, termasuk cairan hitam ini, karena alasan yang telah dijelaskan. Sebab cairan hitam ini sejatinya adalah darah atau serupa (dengan darah).”  (Syekh Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 15).

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56762-apakah-tinta-hitam-cumi-haram.html