Tabarruk Kepada Jasad Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

Dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ أَتَى مِنًى، فأتَى الجَمْرَةَ فَرَمَاهَا، ثُمَّ أَتَى مَنْزِلَهُ بمِنًى وَنَحَرَ، ثُمَّ قالَ لِلْحَلَّاقِ: خُذْ، وَأَشَارَ إلى جَانِبِهِ الأيْمَنِ، ثُمَّ الأيْسَرِ، ثُمَّ جَعَلَ يُعْطِيهِ النَّاسَ. [وفي رواية]: فَقالَ في رِوَايَتِهِ، لِلْحَلَّاقِ هَا وَأَشَارَ بيَدِهِ إلى الجَانِبِ الأيْمَنِ هَكَذَا، فَقَسَمَ شَعَرَهُ بيْنَ مَن يَلِيهِ، قالَ: ثُمَّ أَشَارَ إلى الحَلَّاقِ وإلَى الجَانِبِ الأيْسَرِ، فَحَلَقَهُ فأعْطَاهُ أُمَّ سُلَيْمٍ. وَأَمَّا في رِوَايَةِ أَبِي كُرَيْبٍ قالَ: فَبَدَأَ بالشِّقِّ الأيْمَنِ، فَوَزَّعَهُ الشَّعَرَةَ وَالشَّعَرَتَيْنِ بيْنَ النَّاسِ، ثُمَّ قالَ: بالأيْسَرِ فَصَنَعَ به مِثْلَ ذلكَ، ثُمَّ قالَ: هَا هُنَا أَبُو طَلْحَةَ؟ فَدَفَعَهُ إلى أَبِي طَلْحَةَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai di Mina. Beliau lalu datang ke Jamratul ‘Aqabah lalu melakukan jumrah. Kemudian beliau pergi ke tempatnya di Mina, dan menyembelih hewan kurban di sana. Sesudah itu, beliau berkata kepada tukang cukur, ‘Cukurlah rambutku!’ Sembari memberi isyarat ke kepalanya sebelah kanan dan kiri. Lalu, beliau memberikan rambutnya kepada orang banyak.” Dalam riwayat lain: “Sembari memberi isyarat ke arah kepala bagian kanannya seperti ini. Lalu, beliau membagi-bagikan rambutnya kepada mereka yang berada di sekitar beliau. Setelah itu, beliau memberi isyarat kembali ke arah kepala bagian kiri, lalu tukang cukur itu pun mencukurnya. Lalu, beliau pun memberikan rambut itu kepada Ummu Sulaim.” Adapun dalam riwayat Abu Kuraib, ia menyebutkan, “Tukang cukur itu pun memulainya dari rambut sebelah kanan seraya membagikannya kepada orang-orang, baru pindah ke sebelah kiri dan juga berbuat seperti itu. Kemudian beliau bersabda, ‘Ambilah ini wahai Abu Thalhah.’ Akhirnya beliau pun memberikannya kepada Abu Thalhah.” (HR. Muslim no. 1305)

Penjelasan hadis

Hadis di atas dan hadis semisalnya sering dijadikan sebagai dalih untuk melakukan tabarruk (ngalap berkah) kepada jasad atau bekas-bekas orang saleh. Seperti ulama, ustaz, kiai, habib, wali, dan orang saleh secara umum.

Tidak diragukan lagi bahwa memang Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam itu pada tubuhnya dan benda-benda yang pernah beliau gunakan, itu semua mengandung keberkahan. Keberkahan ini sama besarnya seperti berkahnya perbuatan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Ini sebagai tanda bahwa Allah memuliakan semua nabi dan rasul-Nya ‘alaihis shalatu wassalaam. Oleh karena itulah, para sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ber-tabarruk (mencari keberkahan) dari tubuh Nabi shallallahu ’alaihi wasallam serta dari benda-benda yang pernah beliau gunakan semasa hidupnya. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam pun membolehkan perbuatan tersebut dan tidak mengingkarinya, sebagaimana dalam hadis di atas.

Para sahabat juga ber-tabarruk dengan ludah dan keringat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Al-Hakam radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ‘Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi berkata,

واللَّهِ إنْ رَأَيْتُ مَلِكًا قَطُّ يُعَظِّمُهُ أصْحَابُهُ ما يُعَظِّمُ أصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مُحَمَّدًا؛ واللَّهِ إنْ تَنَخَّمَ نُخَامَةً إلَّا وقَعَتْ في كَفِّ رَجُلٍ منهمْ، فَدَلَكَ بهَا وجْهَهُ وجِلْدَهُ، وإذَا أمَرَهُمُ ابْتَدَرُوا أمْرَهُ، وإذَا تَوَضَّأَ كَادُوا يَقْتَتِلُونَ علَى وَضُوئِهِ، وإذَا تَكَلَّمَ خَفَضُوا أصْوَاتَهُمْ عِنْدَهُ، وما يُحِدُّونَ إلَيْهِ النَّظَرَ تَعْظِيمًا له

Demi Allah, tidak pernah aku melihat raja yang diagungkan sebagaimana pengagungan para sahabat Nabi kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Demi Allah, tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meludah, kecuali pasti akan jatuh di telapak tangan salah seorang dari sahabatnya, kemudian orang itu pun menggosokkan ludah Nabi kepada wajah dan kulitnya. Dan bila Nabi memberi suatu perintah kepada mereka, mereka pun bergegas melaksanakan perintah beliau. Dan apabila beliau hendak berwudu, para sahabatnya hampir berkelahi karena berebut sisa wudu Nabi. Bila Nabi berbicara, mereka merendahkan suara mereka di hadapan Nabi. Dan mereka tidak pernah menajamkan pandangan kepada Nabi, sebagai bentuk pengagungan mereka terhadap Nabi.” (HR. Bukhari no. 2731)

Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha berkata,

أنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَأْتِيهَا فَيَقِيلُ عِنْدَهَا فَتَبْسُطُ له نِطْعًا فَيَقِيلُ عليه، وَكانَ كَثِيرَ العَرَقِ، فَكَانَتْ تَجْمَعُ عَرَقَهُ فَتَجْعَلُهُ في الطِّيبِ وَالْقَوَارِيرِ، فَقالَ النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: يا أُمَّ سُلَيْمٍ ما هذا؟ قالَتْ: عَرَقُكَ أَدُوفُ به طِيبِي

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah datang ke rumah Ummu Sulaim untuk tidur siang di sana. Maka, Ummu Sulaim pun menghamparkan karpet kulit agar Nabi tidur di atasnya. Ternyata, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidur, beliau banyak berkeringat. Ummu Sulaim pun mengumpulkan keringat beliau dan memasukkannya ke dalam tempat minyak wangi dan botol-botol. Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Wahai Ummu Sulaim, Apa ini?” Ummu Sulaim menjawab, “Ini adalah keringatmu yang aku campur dengan minyak wangiku.” (HR. Muslim no.2332)

Dan hadis-hadis lainnya yang sahih, yang menunjukkan bahwa para sahabat ber-tabarruk kepada jasad dan bekas-bekas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Juga generasi salaf setelah mereka, ber-tabarruk dengan benda-benda yang pernah beliau gunakan. Seorang ulama tabi’in, Muhammad bin Sirin rahimahullah, beliau menyimpan rambut Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia pun berkata,

لأن تكون عندي شعرة منه أحب إلي من الدنيا وما فيها

Aku memiliki sehelai rambut Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Itu lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya.” (HR. Bukhari no. 170)

Ini semua menunjukkan bahwa tabarruk yang mereka lakukan sama sekali tidak mengandung sesuatu yang dapat mencacati tauhid uluhiyyah ataupun tauhid rububiyyah.

Dan bolehnya ber-tabarruk kepada jasad dan peninggalan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, “Para ulama sepakat tentang disyariatkannya ber-tabarruk kepada asar (peninggalan) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan para ulama yang menulis sirah, syamail (keutamaan-keutamaan), dan hadis Nabi, telah memaparkan berbagai hadis yang menunjukkan tabarruk-nya para sahabat yang mulia terhadap asar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan berbagai bentuknya.” (Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 70/10)

Namun, minimalnya ada dua poin penting dalam masalah ini:

Pertama

Tabarruk dengan benda-benda peninggalan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika dilakukan oleh orang-orang zaman sekarang, sulit dipastikan validitas benda-benda tersebut bahwa benar itu milik beliau. Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah mengatakan, “Kita ketahui bersama bahwa asar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa pakaian, rambut, benda bekas pakai beliau, itu semua telah sirna dimakan waktu. Dan tidak ada yang bisa memastikan keberadaan benda-benda tersebut secara pasti di zaman sekarang. Jika demikian adanya, maka ber-tabarruk dengan asar Nabi di zaman sekarang, menjadi pembahasan yang tidak memiliki poin. Dan sudah menjadi perkara yang ada di tataran teori saja. Sehingga masalah ini tidak perlu diperpanjang.” (At-Tawasul Anwa’uhu wa Ahkamuhu, hal. 144)

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan, “Bahwasanya tidak mungkin lagi untuk memastikan bahwa rambut yang diklaim ini adalah benar rambut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun yang disebutkan sebagian orang, bahwa rambut Nabi sekarang ada di Majma’ Al-Atsar Mesir, ini tidak benar. Dan yang paling penting adalah asar Nabi yang maknawi, yaitu syariat beliau. Adapun asar yang sifatnya fisik, ia adalah asar yang dicintai oleh hati. Namun, yang lebih penting lagi untuk diperhatikan adalah atsar syar’i (yaitu ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam).” (Durus Syaikh Ibnul Utsaimin, 11: 64)

Kedua

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam telah membolehkan para sahabat ber-tabarruk kepada beliau sebagaimana diterangkan di atas. Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah boleh ber-tabarruk dengan cara yang sama kepada orang-orang saleh selain Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam?

Tidak ada satu perkataan pun dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam yang memerintahkan umatnya untuk ber-tabarruk kepada para sahabatnya ataupun orang-orang yang selain sahabat Nabi. Baik ber-tabarruk dengan jasad maupun dengan bekas-bekas peninggalan mereka. Tidak pernah sedikit pun Rasulullah mengajarkan hal tersebut. Demikian juga, tidak ada satu pun riwayat yang dinukil dari para sahabat bahwa mereka ber-tabarruk kepada orang selain Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, baik ketika masa Rasulullah masih hidup, apalagi ketika beliau sudah wafat. Tidak ada riwayat yang menceritakan bahwa para sahabat ber-tabarruk kepada sesama sahabat Nabi yang termasuk As-Sabiquun Al-Awwalun (orang-orang yang pertama kali memeluk Islam) misalnya, atau kepada Khulafa Ar Rasyidin (padahal mereka adalah sahabat Nabi yang paling mulia), atau ber-tabarruk kepada sepuluh orang sahabat yang sudah dijamin surga, atau kepada yang lainnya.

Imam Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitab beliau Al-I’tisham, beliau menjelaskan masalah ini dengan panjang lebar, “Para sahabat radhiyallahu ’anhum, setelah wafatnya Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, tidak ada seorang pun di antara mereka yang melakukan perbuatan itu (ber-tabarruk) kepada orang setelah Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Padahal sepeninggal beliau, tidak ada manusia yang lebih mulia dari Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ’anhu, karena beliaulah pengganti Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Namun, para sahabat tidak pernah ber-tabarruk kepada Abu Bakar. Tidak pernah pula ber-tabarruk kepada Umar bin Khattab, padahal Umar bin Khattab adalah manusia yang paling mulia setelah Abu Bakar. Tidak pernah pula ber-tabarruk kepada Utsman bin Affan, tidak pernah pula ber-tabarruk kepada Ali, tidak pernah pula ber-tabarruk salah seorang dari sahabat Nabi pun. Padahal merekalah orang-orang yang paling mulia dari seluruh umat. Dan tidak diketahui adanya satu riwayat pun yang sahih bahwa mereka ber-tabarruk kepada selain Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dengan salah satu dari cara yang disebutkan (maksudnya ber-tabarruk dengan rambut, baju, atau sisa air wudu, atau semacamnya). Para sahabat Nabi hanya mencukupkan diri mereka dengan meneladani perbuatan, perkataan, jalan hidup yang mereka ambil dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Ini semua menunjukkan bahwa para sahabat bersepakat (ijma) untuk meninggalkan perbuatan tersebut.” (Al-I’tisham, 2: 8-9).

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, “Ber-tabarruk dengan bekas-bekas peninggalan orang-orang saleh tidaklah dibolehkan. Hal itu hanya dibolehkan khusus terhadap Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Karena Allah memang telah menjadikan jasad dan kulit beliau mengandung keberkahan. Adapun orang lain tidak bisa di-qiyas-kan kepada beliau, karena dua alasan:

Pertama, para sahabat tidak pernah melakukan hal tersebut terhadap orang lain selain Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Andai perbuatan itu baik, tentu para sahabat Nabi-lah yang sudah terlebih dahulu melakukannya.

Kedua, menutup jalan menuju kesyirikan. Karena ber-tabarruk kepada bekas-bekas peninggalan orang saleh selain Nabi shallallahu ’alaihi wasallam mengantarkan kepada ghuluw dan ibadah kepada selain Allah. Sehingga wajib untuk dicegah.” (Fathul Bari [3: 130], [1: 144] yang di-ta’liq oleh Syaikh Ibnu Baaz)

Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

***

Penulis: Yulian Purnama

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/83179-tabarruk-kepada-jasad-nabi.html

Cara Menjadi Muslim Terbaik Menurut Rasulullah

Menjadi Muslim terbaik pasti menjadi dambaan setiap orang yang menganut agama Islam. Oleh karena itu, mereka hanya bisa berusaha untuk senantiasa melakukan perintah ajaran Islam dan menjauhi apa yang dilarang. Namun, sebenarnya terdapat hadis yang menunjukkan cara menjadi Muslim terbaik menurut Rasulullah saw.

Di dalam literatur hadis setidaknya ada dua teks hadis yang secara gamblang menyebutkan cara menjadi Muslim terbaik sebagaimana berikut.

Pertama, memberikan makanan dan mengucapkan salam untuk orang yang dikenal maupun tidak dikenal. Teks hadis ini diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin Amru.

أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  أَيُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ ؟ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ. رواه البخاري ومسلم وابو داود والنسائي وابن ماجة.

Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw., “Islam bagaimanakah yang terbaik?” Beliau menjawab, “Hendaknya engkau memberi makanan, dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal maupun tidak engkau kenal.” (H.R. Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, An-Nasai dan Ibnu Majah).

Berdasarkan teks hadis tersebut menunjukkan bahwa, muslim terbaik menurut Rasulullah saw. adalah yang membiasakan memperlakukan orang lain dengan baik. Yakni ia yang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Rasulullah saw.  menggambarkan seorang Muslim yang tidak pelit untuk membagi makanan yang ia miliki kepada orang lain, baik ketika menjamu tamu, mengadakan tasyakuran atau berbagi dengan kaum duafa, fakir, dan miskin.

Selain itu, Rasulullah saw. juga mengapresiasi umat Muslim yang mau menyebarkan kedamaian kepada siapapun, baik yang ia kenal maupun tidak. Di dalam teks hadis tersebut beliau menggambarkan Muslim terbaik adalah yang tidak enggan mengucapkan salam kepada koleganya maupun bukan. Imam At-Thibi mengatakan bahwa menyebarkan salam merupakan faktor pendorong timbulnya rasa cinta. Dan rasa cinta itu simbol dari sempurnanya iman seseorang. Dan menyebarkan salam yang dapat menimbulkan rasa cinta itu dapat mendorong timbulnya rasa cinta antarsesama muslim. Dan hal tersebut dapat mengokohkan persatuan agama Islam.

Muslim terbaik itu bukan muslim yang gengsi menyapa sesama Muslim lainnya baik satu partai maupun beda partai, baik satu pendapat maupun berbeda. Bukan pula yang ada masalah atau gesekan sedikit langsung emosi, tidak mau saling sapa dan duduk bersama. Kalau dengan sesama saudara Muslimnya seperti itu, apalagi kepada saudara yang tidak seiman. Maka sekali lagi, Muslim terbaik menurut Rasulullah saw. adalah yang mau menyebarkan salam atau kedamaian baik kepada yang ia kenal maupun tidak.

Kedua, Muslim terbaik adalah yang ucapan dan tindakannya tidak menyakiti orang lain. Hal ini sebagaimana riwayat Abu Musa r.a. sebagai berikut

قَالُوا يا رَسُولَ اللهِ أَيُّ الإِسْلامِ أَفْضَلُ قَالَ: مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسانِهِ وَيَدِهِ أخرجه البخاري.

Mereka bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, Islam bagaimanakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Orang yang lisan dan tangannya selamat (tidak menyakiti) orang-orang Muslim lainnya.” (HR. Al-Bukhari).

Pernyataan Rasulullah saw. di dalam teks kedua ini juga masih seputar ranah sosial, di mana Rasulullah saw. memberikan apresiasi kepada umatnya yang bisa menjaga ucapan dan tindakannya sebagai umat Muslim terbaik.

Demikianlah Muslim terbaik menurut Rasulullah saw. yakni mereka yang mau membagi makanannya, menyebarkan salamnya kepada orang yang dikenal maupun tidak, serta mereka yang dapat menjaga lisan dan tindakannya untuk tidak menyakiti hati orang lain. Jadi, Muslim yang terbaik bukanlah Muslim yang hanya mementingkan ibadah individualnya, tetapi Muslim yang dapat memberikan cinta dan manfaat kepada orang lain. Semoga kita dapat menjadi Muslim terbaik menurut Rasulullah saw. ini. Aamiin. Wa Allahu A’lam bis Shawab.

BINCANG SYARIAH

KH Ali Yafie; Pencetus Konsep Fikih Lingkungan

Kaum Nahdliyin dan masyarakat Indonesia sedang berduka dengan wafatnya Anregurutta Prof. Dr. KH Ali Yafie, sosok ahli fikih yang pemikirannya mewarnai wacana keagamaan di ranah domestik. Sebagaimana para kyai lainnya yang menggaungkan diskursus fikih sebagai kajian tersendiri, Al-maghfurlah KH Ali Yafie juga andil dalam dinamika manifestasi konsep fikih. Beliau mempromosikan kajian terkait fikih lingkungan, atau yang dalam nomenklatur fikih disebut dengan Fiqh al-bi’ah.

KH Ali Yafie termasuk salah satu tokoh yang menggagas dan menyuarakan kesadaran lingkungan dari sudut pandang fikih. Beliau menyuarakan urgensi lingkungan melalui karyanya yang terbit pada tahun 1995 dengan judul Menggagas Fikih Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah. Kemudian, kajian fikih lingkungan ini beliau jadikan diskursus tersendiri pada tahun 2006 dengan menuliskannya pada buku yang berjudul Merintis Fikih Lingkungan hidup.

Kyai Ali Yafie semakin masif memprogandakannya dalam tersebut, bahkan beliau membuat gebrakan baru dalam bidang hukum Islam. Dalam buku ini, Kyai Ali mengembangkan konsep Maqashid Asy-Syari’ah atau Cum Maghza. Beliau menambah 1 komponen maqasid yang awalnya ada 5, yakni menjaga agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta (kulliyat al-khamsah).

Sehingga bukan lagi al-kulliyat al-khams, sebab beliau menambahnya dengan memasukkan hifdz al-bi’ah, yakni perlindungan terkait lingkungan hidup. Tentunya ini menjadi gebrakan baru, Kyai Ali memandang bahwa tidak kalah penting juga untuk menjaga keberlangsungan lingkungan ini. Atau bahkan bisa naik menjadi lingkungan yang sehat, sehingga keadaan ini menunjang terpenuhinya kulliyat al-khamsah.

Pemikiran ini bermula dari kegelisahan Kyai Ali yang dalam pembacaannya, wacana lingkungan hidup  tidak dibahas dan dikaji secara khusus dalam bab tersendiri, melainkan tersebar di beberapa bagian dalam pokok- pokok bahasan literatur fikih, padahal kesadaran atas lingkungan ini sangat urgent sekali.

Oleh Kyai Ali Yafie, Fikih lingkungan didefinisikan dengan “Hukum perilaku yang bertanggung jawab atas persoalan perilaku manusia yang berguna untuk mengatur kehidupan bersama sehingga kemaslahatan dapat terwujud yang berorientasi pada misi konservasi dan restorasi lingkungan”.

Dalam pandangan kyai Ali Yafie, sumber daya alam seperti  air, tanah dan udara sangat diperhatikan oleh Islam  untuk kelestarian semua makhluk hidup. Bahkan dijadikan sebagai sarana penting yang sangat menentukan bagi kesempurnaan iman seseorang, yaitu banyaknya ibadah yang berkaitan dengan air.

Maka dari itu, jika lingkungan hidup tidak terpelihara atau bahkan rusak, maka tentu bahayanya akan menimpa pada semua komponen dasar kehidupan, yaitu keselamatan jiwa, keharmonisan keagamaan, perlindungan kekayaan, keturunan, dan kehormatan, dan kesehatan akal.

Oleh karenanya, Kyai Ali menambahkan Hifdz al-Bi’ah (pemeliharaan lingkungan) sebagai salah satu komponen dalam konsep cum maghza atau Maqasid al-syariah, yakni maksud dirumuskannya ajaran Islam.Kyai Ali Yafie menegaskan bahwa Hukum pelestarian lingkungan hidup adalah fardlu kifayah, yakni kewajiban kolektif.

Artinya, semua orang baik individu maupun kelompok dan perusahaan bertanggung jawab terhadap pelestarian lingkungan hidup, dan harus dilibatkan dalam penanganan kerusakan lingkungan hidup. Pemerintah sebagai pengemban rakyat lebih bertanggung jawab dan menjadi pelopor atas kewajiban ini.

Selain itu, pemerintah juga memiliki seperangkat kekuasaan untuk menggerakkan kekuatan menghalau pelaku kerusakan lingkungan. Kewajiban masyarakat adalah membantu pemerintah dalam menyelesaikan masalah lingkungan.

Fikih lingkungan hidup berupaya menyadarkan manusia yang beriman supaya menginsyafi bahwa masalah lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab manusia dari amanat yang diembannya untuk memelihara dan melindungi alam yang dikaruniakan Sang Pencipta Yang Maha Pengasih dan Penyayang sebagai hunian tempat manusia dalam menjalani hidup di bumi.

Kini diskursus Fikih lingkungan semakin marak diperbincangkan,  terhitung sejak tahun 1995 yang mana Kyai Ali yafie mulai menyuarakan urgensi diskursus ini.  Di Indonesia sendiri pernah diadakan kajian bersama dalam Indonesia Forest and Media campaign (INFORM), sebuah pertemuan untuk menggagas  fiqh al-bi‘ah, yang dilaksanakan di Pesantren di Lido, Sukabumi, tahun 2004.

Sebelumnya, Mujiono Abdillah pada tahun 2002, menulis tentang fiqh lingkungan. Dan yang relatif baru, Mudhofir Abdullah menulis buku al-Qur’an dan konservasi lingkungan, dan banyak lagi karya ilmiah yang tersebar dalam bentuk makalah, tesis maupun disertasi.

A. Qadir Gassing mengangkat tema Fiqih Lingkungan: Telaah Kritis tentang Penerapan Hukum Taklifi dalam pengelolaan Lingkungan Hidup” dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya dalam Bidang Hukum Islam pada UIN Alauddin Makassar pada tahun 2005.  Di samping itu, beliau juga menulis buku fikih lingkungan dengan judul Etika Lingkungan dalam Islam dan  Perspektif hukum Islam tentang lingkungan hidup

Pada intinya, diskursus fikih lingkungan yang digaungkan oleh Kyai Ali Yafie ini berorientasi pada pemeliharaan lingkungan dan menjaganya dari kerusakan dan kepunahan. Maka dari itu, mari kita tingkatkan rasa kesadaran diri atas pentingnya menjaga lingkungan. Bukan hanya untuk kita, namun juga anak turun kita yang kelak menjadi pemegang tongkat estafet khalifah fi al-ardh.

Amat begitu besar pahala kyai Ali Yafie yang berusaha menyadarkan pentingnya pemeliharaan lingkungan, terima kasih kyai, Semoga Allah SWT memberi balasan yang terbaik. Al-fatihah..

BINCANG SYARIAH

Jalani Ibadah dengan Penuh Keikhlasan

Umat Muslim, termasuk yang berada di Brunei Darussalam, diingatkan untuk menjalani ibadah dengan penuh keikhlasan. Hal ini disampaikan Pejabat Pembinaan Agama Pusat Dakwah Islam, Muhammad Nazir bin Haji Othman.

“Ikhlas merupakan sikap terpuji yang sangat dituntut dalam Islam. Sikap munafik tidak diterima oleh Allah SWT,” kata dia dikutip di Borneo Bulletin, Senin (27/2/2023).

Orang yang bertakwa dan menjalankan kewajiban agama dengan hati yang ikhlas, untuk mendapatkan berkah dari Allah SWT tanpa pamer, disebut akan memperoleh kebahagiaan di urusan dunia dan akhirat. Hal itu ia sampaikan dalam ceramah Malam Munajat di Balai Keagamaan Kampong Sibut, Kecamatan Temburong, Sabtu (25/2/2023).

Lebih lanjut, ia menyebut seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan keikhlasan, akan mendapat pertolongan dari Allah swt ketika menghadapi kesulitan. Tidak hanya itu, Muslim tersebut juga akan mendapat pahala yang berlipat ganda dan menjadi ukuran agar setiap amalannya diterima.

Kegiatan Malam Munajat ke-76 diselenggarakan oleh Kementerian Agama (Kemenag). Hadir di lokasi pelindung Masjid Al-Ameerah Al Hajjah Maryam, Pehin Orang Kaya Lela Pahlawan Mayor Jenderal (Purn) Dato Paduka Seri Haji Mohd Jaafar bin Haji Abdul Aziz.

Pengurus Takmir Masjid Al-Ameerah Al-Hajjah Maryam, Masjid Hassanal Bolkiah Kampung Mentiri, Santri dan Staf Pengajar Sekolah Arab Sultan Haji Hassanal Bolkiah (SASHHB), Persatuan Mualaf Baru (PESAT) Kecamatan Temburong dan Jamaah Keagamaan Kampong Sibut  Hall juga disebut ikut hadir. Turut ambil bagian adalah jamaah dari 100 masjid, surau dan balai serta tenaga kerja Kemenag.

Siswa kelas 9 SASHHB, Abdul Matin bin Zulnorein, di momen itu memimpin pengajian Sayyidul Istighfar, Surah Al-Fatihah dan Surah Yaasiin. Acara juga diisi dengan pembacaan Doa Munajat, Asmaa Ul-Husna dan Doa Allah Peliharakan Sultan dan Negara Brunei Darussalam.  

Sumber:https://borneobulletin.com.bn/muslims-reminded-to-perform-religious-deeds-with-sincerity/

Jamaah Haji dan Umroh Dianjurkan untuk Banyak Sedekah

Dalam kitab Mausuu’atul Aadaab Islamiyah yang ditulis oleh Syekh Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, sedekah merupakan amal yang sangat dicintai Allah, mendatangkan keridhaan-Nya, dan mencegah kemarahan-Nya. Maka dari itu, selayaknya jamaah haji memperbanyak sedekah sesuai dengan kemampuannya untuk mendapat pahala.

Selain itu, juga perlu memberikan sedekah kepada teman seperjalanan. 

“Di dalam memberikan nafkah kepada teman seperjalanan terdapat pahala yang besar dari Allah. Di samping itu akan menciptakan perasaan gembira dan kasih sayang di antara mereka. Maka seharusnya dia meniatkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk pamer,’’ papar Syekh Sayyid Nada.

Bertakwa kepada Allah berarti mentaati apa yang Dia perintahkan dan menjauhi apa yang Dia larang dalam segala urusan dan pada setiap waktu. Hendaknya jamah haji selalu muraqabah (merasa diawasi oleh Allah) serta menjauhi segala perkara yang mendatangkan kemurkaan Allah. Dalam hatinya seharusnya juga selalu mengaharapkan rahmat-Nya dan takut kepada kemurkaan-Nya

sumber : Dok Republika

Optimalkan Ibadah Di Bulan Sya’ban

Bulan Sya’ban adalah bulan yang terletak setelah bulan Rajab dan sebelum bulan Ramadhan. Bulan ini memiliki banyak keutamaan. Ada juga ibadah-ibadah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisinya dengan memperbanyak berpuasa di bulan ini sebagai persiapan menghadapi bulan Ramadhan. Bulan ini dinamakan bulan Sya’ban karena di saat penamaan bulan ini banyak orang Arab yang berpencar-pencar mencari air atau berpencar-pencar di gua-gua setelah lepas bulan Rajab. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan:

وَسُمِّيَ شَعْبَانُ لِتَشَعُّبِهِمْ فِيْ طَلَبِ الْمِيَاهِ أَوْ فِيْ الْغَارَاتِ بَعْدَ أَنْ يَخْرُجَ شَهْرُ رَجَبِ الْحَرَامِ وَهَذَا أَوْلَى مِنَ الَّذِيْ قَبْلَهُ وَقِيْلَ فِيْهِ غُيْرُ ذلِكَ.

“Dinamakan Sya’ban karena mereka berpencar-pencar mencari air atau di dalam gua-gua setelah bulan Rajab Al-Haram. Sebab penamaan ini lebih baik dari yang disebutkan sebelumnya. Dan disebutkan sebab lainnya dari yang telah disebutkan.” (Fathul-Bari (IV/213), Bab Shaumi Sya’ban)

Adapun hadits yang berbunyi:

إنَّمَا سُمّي شَعْبانَ لأنهُ يَتَشَعَّبُ فِيْهِ خَيْرٌ كثِيرٌ لِلصَّائِمِ فيه حتى يَدْخُلَ الجَنَّةَ.

Sesungguhnya bulan Sya’ban dinamakan Sya’ban karena di dalamnya bercabang kebaikan yang sangat banyak untuk orang yang berpuasa pada bulan itu sampai dia masuk ke dalam surga.” (HR Ar-Rafi’i dalam Tarikh-nya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Maudhu’, ” dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 2061)

Hadits tersebut tidak benar berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Banyak orang menyepelekan bulan ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hal tersebut di dalam hadits berikut:

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ، قَالَ: ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ.

Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata, “Ya Rasulullah! Saya tidak pernah melihat engkau berpuasa dalam satu bulan di banding bulan-bulan lain seperti engkau berpuasa di bulan Sya’ban ?” Beliau menjawab, “Itu adalah bulan yang banyak manusia melalaikannya, terletak antara bulan Rajab dan Ramadhan. Dia adalah bulan amalan-amalan di angkat menuju Rabb semesta alam. Dan saya suka jika amalanku diangkat dalam keadaan saya sedang berpuasa”. (HR An-Nasai no. 2357. Syaikh Al-Albani menghasankannya dalam Shahih Sunan An-Nasai)

Amalan-amalan apa yang disyariatkan pada bulan ini?

Ada beberapa amalan yang biasa dilakukan oleh Rasulullah dan para as-salafush-shalih pada bulan ini. Amalan-amalan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Memperbanyak puasa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak puasa pada bulan ini tidak seperti beliau berpuasa pada bulan-bulan yang lain.

عَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ, فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya dia berkata, “Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sampai kami mengatakan bahwa beliau tidak berbuka, dan berbuka sampai kami mengatakan bahwa beliau tidak berpuasa. Dan saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa dalam sebulan kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada bulan Sya’ban.” (HR Al-Bukhari no. 1969 dan Muslim 1156/2721)

Begitu pula istri beliau Ummu Salamah radhiallahu ‘anha mengatakan:

مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلاَّ شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ.

“Saya tidak pernah mendapatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali bulan Sya’ban dan Ramadhan.” (HR An-Nasai no. 2175 dan At-Tirmidzi no. 736. Di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasai)

Ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hampir berpuasa Sya’ban seluruhnya. Para ulama menyebutkan bahwa puasa di bulan Sya’ban meskipun dia hanya puasa sunnah, tetapi memiliki peran penting untuk menutupi kekurangan puasa wajib di bulan Ramadhan. Seperti shalat fardhu, shalat fardhu memiliki shalat sunnah rawatib, yaitu: qabliyah dan ba’diyah. Shalat-shalat tersebut bisa menutupi kekurangan shalat fardhu yang dikerjakan. Sama halnya dengan puasa Ramadhan, dia memiliki puasa sunnah di bulan Sya’ban dan puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal. Orang yang memulai puasa di bulan Sya’ban insya Allah tidak terlalu kesusahan menghadapi bulan Ramadhan.

2. Membaca Al-Qur’an

Membaca Al-Qur’an mulai diperbanyak dari awal bulan Sya’ban , sehingga ketika menghadapi bulan Ramadhan, seorang muslim akan bisa menambah lebih banyak lagi bacaan Al-Qur’an-nya. Salamah bin Kuhail rahimahullah berkata:

كَانَ يُقَالُ شَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ الْقُرَّاءِ

“Dulu dikatakan bahwa bulan Sya’ban adalah bulan para qurra’ (pembaca Al-Qur’an).” Begitu pula yang dilakukan oleh ‘Amr bin Qais rahimahullah apabila beliau memasuki bulan Sya’ban beliau menutup tokonya dan mengosongkan dirinya untuk membaca Al-Qur’an. (Lathaiful-Ma’arif libni Rajab Al-Hanbali hal. 138)

3. Mengerjakan amalan-amalan shalih

Seluruh amalan shalih disunnahkan dikerjakan di setiap waktu. Untuk menghadapi bulan Ramadhan para ulama terdahulu membiasakan amalan-amalan shalih semenjak datangnya bulan Sya’ban , sehingga mereka sudah terlatih untuk menambahkan amalan-amalan mereka ketika di bulan Ramadhan. Abu Bakr Al-Balkhi rahimahullah pernah mengatakan:

شَهْرُ رَجَب شَهْرُ الزَّرْعِ، وَشَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ سُقْيِ الزَّرْعِ، وَشَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرُ حَصَادِ الزَّرْعِ.

“Bulan Rajab adalah bulan menanam, bulan Sya’ban adalah bulan menyirami tanaman dan bulan Ramadhan adalah bulan memanen tanaman.” Dan dia juga mengatakan:

مَثَلُ شَهْرِ رَجَبٍ كَالرِّيْحِ، وَمَثُل شَعْبَانَ مَثَلُ الْغَيْمِ، وَمَثَلُ رَمَضَانَ مَثَلُ اْلمطَرِ، وَمَنْ لَمْ يَزْرَعْ وَيَغْرِسْ فِيْ رَجَبٍ، وَلَمْ يَسْقِ فِيْ شَعْبَانَ فَكَيْفَ يُرِيْدُ أَنْ يَحْصِدَ فِيْ رَمَضَانَ.

“Perumpamaan bulan Rajab adalah seperti angin, bulan Sya’ban seperti awan yang membawa hujan dan bulan Ramadhan seperti hujan. Barang siapa yang tidak menanam di bulan Rajab dan tidak menyiraminya di bulan Sya’ban bagaimana mungkin dia memanen hasilnya di bulan Ramadhan.” (Lathaiful-Ma’arif libni Rajab Al-Hanbali hal. 130)

4. Menjauhi perbuatan syirik dan permusuhan di antara kaum muslimin

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan mengampuni orang-orang yang tidak berbuat syirik dan orang-orang yang tidak memiliki permusuhan dengan saudara seagamanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ, فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ, إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ.

Sesungguhnya Allah muncul di malam pertengahan bulan Sya’ban dan mengampuni seluruh makhluknya kecuali orang musyrik dan musyahin.” (HR Ibnu Majah no. 1390. Di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah)

Musyahin adalah orang yang memiliki permusuhan dengan saudaranya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga secara khusus tentang orang yang memiliki permusuhan dengan saudara seagamanya:

تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلاَّ رَجُلاً كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا.

Pintu-pintu surga dibuka setiap hari Senin dan Kamis dan akan diampuni seluruh hamba kecuali orang yang berbuat syirik kepada Allah, dikecualikan lagi orang yang memiliki permusuhan antara dia dengan saudaranya. Kemudian dikatakan, ‘Tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai. Tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai. Tangguhkanlah kedua orang ini sampai keduanya berdamai’” (HR Muslim no. 2565/6544)

Oleh karena itu sudah sepantasnya kita menjauhi segala bentuk kesyirikan baik yang kecil maupun yang besar, begitu juga kita menjauhi segala bentuk permusuhan dengan teman-teman muslim kita.

5. Bagaimana hukum menghidupkan malam pertengahan bulan Sya’ban?

Pada hadits di atas telah disebutkan keutamaan malam pertengahan bulan Sya’ban. Apakah di-sunnah-kan menghidupkan malam tersebut dengan ibadah? Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

وَصَلَاةُ الرَّغَائِبِ بِدْعَةٌ مُحْدَثَةٌ لَمْ يُصَلِّهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ، وَأَمَّا لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَفِيهَا فَضْلٌ، وَكَانَ فِي السَّلَفِ مَنْ يُصَلِّي فِيهَا، لَكِنَّ الِاجْتِمَاعَ فِيهَا لِإِحْيَائِهَا فِي الْمَسَاجِدِ بِدْعَةٌ وَكَذَلِكَ الصَّلَاةُ الْأَلْفِيَّةُ.

“Dan shalat Raghaib adalah bid’ah yang diada-adakan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat seperti itu dan tidak ada seorang pun dari salaf melakukannya. Adapun malam pertengahan di bulan Sya’ban, di dalamnya terdapat keutamaan, dulu di antara kaum salaf (orang yang terdahulu) ada yang shalat di malam tersebut. Akan tetapi, berkumpul-kumpul di malam tersebut untuk menghidupkan masjid-masjid adalah bid’ah, begitu pula dengan shalat alfiyah.” (Al-Fatawa Al-Kubra (V/344))

Jumhur ulama memandang sunnah menghidupkan malam pertengahan di bulan Sya’ban dengan berbagai macam ibadah. Tetapi hal tersebut tidak dilakukan secara berjamaah. (Lihat: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah (XXXIV/123))

Sebagian ulama memandang tidak ada keutamaan ibadah khusus pada malam tersebut, karena tidak dinukil dalam hadits yang shahih atau hasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pernah menyuruh untuk beribadah secara khusus pada malam tersebut. Hadits yang berbicara tentang hal tersebut lemah.

6. Bagaimana hukum shalat alfiyah dan shalat raghaib di malam pertengahan bulan Sya’ban ?

Tidak ada satu pun dalil yang shahih yang menyebutkan keutamaan shalat malam atau shalat sunnah di pertengahan malam di bulan Sya’ban . Baik yang disebut shalat alfiyah (seribu rakaat), dan shalat raghaib (12 rakaat). Mengkhususkan malam tersebut dengan ibadah-ibadah tersebut adalah perbuatan bid’ah. Sehingga kita harus menjauhinya. Apalagi yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Mereka berkumpul di masjid, beramai-ramai merayakannya, maka hal tersebut tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam An-Nawawi mengatakan tentang shalat Ar-Raghaib yang dilakukan pada Jumat pertama di bulan Rajab dan malam pertengahan bulan Sya’ban:

وَهَاتَانِ الصَّلاَتَانِ بِدْعَتَانِ مَذْمُومَتَانِ مُنْكَرَتَانِ قَبِيحَتَانِ ، وَلاَ تَغْتَرَّ بِذِكْرِهِمَا فِي كِتَابِ قُوتِ الْقُلُوبِ وَالإْحْيَاءِ

“Kedua shalat ini adalah bid’ah yang tercela, yang mungkar dan buruk. Janganlah kamu tertipu dengan penyebutan kedua shalat itu di kitab ‘Quutul-Qulub’ dan ‘Al-Ihya’’. (Al-Majmu’ lin-Nawawi (XXII/272). [13] HR Ibnu Majah no. 1388. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Sanadnya Maudhu’,” dalam Adh-Dha’ifah no. 2132)

7. Bagaimana hukum berpuasa di pertengahan bulan Sya’ban ?

Mengkhususkan puasa di siang pertengahan bulan Sya’ban tidak dianjurkan untuk mengerjakannya. Bahkan sebagian ulama menghukumi hal tersebut bid’ah. Adapun hadits yang berbunyi:

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا.

Apabila malam pertengahan bulan Sya’ban, maka hidupkanlah malamnya dan berpuasalah di siang harinya.”13

Maka hadits tersebut adalah hadits yang palsu (maudhu’), sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Akan tetapi, jika kita ingin berpuasa pada hari itu karena keumuman hadits tentang sunnah-nya berpuasa di bulan Sya’ban atau karena dia termasuk puasa di hari-hari biidh (ayyaamul-biid/puasa tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan hijriyah), maka hal tersebut tidak mengapa. Yang diingkari adalah pengkhususannya saja. Demikian beberapa ibadah yang bisa penulis sebutkan pada artikel ini. Mudahan kita bisa mengoptimalkan latihan kita di bulan Sya’ban untuk bisa memaksimalkan ibadah kita di bulan Ramadhan. Mudahan bermanfaat. Amin.

Daftar Pustaka

  1. Al-Khulashah fi Syarhil-Khamsiin Asy-Syamiyah. ‘Ali bin Nayif Asy-syahud. Darul-Ma’mur.
  2. At-Tibyan li Fadhail wa Munkarat Syahri Sya’ban. Nayif bin Ahmad Al-Hamd.
  3. Sya’ban, Syahrun Yaghfulu ‘anhu Katsir minannas. Abdul-Halim Tumiyat. www.nebrasselhaq.com
  4. Dan sumber-sumber lain yang sebagian besar telah dicantumkan di footnotes.

Penulis: Ustadz Said Yai Ardiansyah, Lc., M.A.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/21581-optimalkan-ibadah-di-bulan-syaban.html

Inilah Doa Ketika Turun Hujan

Salah satu waktu mustajab doa adalah saat turun hujan. Inilah doa turun hujan sesuai sunnah yang bisa kita amalkan.

Allah ‘Azza Wajalla menjadikan hujan sebagai bentuk rahmat untuk makhluk-Nya. Allah ‘Azza Wajalla berfirman,

وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ

Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (QS. Al-Hajj: 5)

Hujan tersebut merupakan salah satu dari tanda-tanda kekuasaan Allah ‘Azza Wajalla. Seorang penyair pernah mengatakan,

فيا عجباً كيف يعصي الإله *** أم كيف يجحده الجاحد

وفـي كل شـيءٍ له آيـة *** تدل عـلى أنه واحـد

Sungguh mengherankan jika ada yang bermaksiat atau ingkar kepada Allah. Padahal di setiap hal di alam semesta ini terdapat tanda bahwasanya Dialah satu-satunya Zat yang berhak dan wajib disembah.”

Oleh karenanya, seorang muslim harus mengisi kesempatan dan nikmat tersebut dengan ketaatan kepada-Nya, berupa doa yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama ketika turun hujan.

Doa ketika turun hujan

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,

أنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ إذَا رَأَى المَطَرَ، قالَ: اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا

Bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama ketika turun hujan, beliau membaca doa,

اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا

Allahumma shayyiban naafi’an

(Ya Allah turunkanlah hujan yang memberikan manfaat).” (HR. Bukhari no. 1032)

Ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menginginkan kebaikan untuk umatnya. Oleh karenanya, beliau banyak berdoa kebaikan untuk mereka, di antaranya agar Allah menurunkan hujan yang memberikan manfaat bukan hujan yang menjadi petaka.

Doa ketika hujan reda

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Zaid bin Khalid Al-Juhaniy radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memimpin salat Subuh di Hudaibiyah setelah malam sebelumnya turun hujan. Ketika beliau menghadap jamaah sembari berkata, “Tahukah kalian, apa yang dikatakan oleh Rabb kalian?” Para sahabat pun menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Rabb kalian mengatakan,

أصْبَحَ مِن عِبادِي مُؤْمِنٌ بي وكافِرٌ، فأمَّا مَن قالَ: مُطِرْنا بفَضْلِ اللهِ ورَحْمَتِهِ فَذلكَ مُؤْمِنٌ بي كافِرٌ بالكَوْكَبِ، وأَمَّا مَن قالَ: مُطِرْنا بنَوْءِ كَذا وكَذا فَذلكَ كافِرٌ بي مُؤْمِنٌ بالكَوْكَبِ.

“Pada pagi hari, di antara hambaKu ada yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan ’Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah), maka dialah yang beriman kepadaku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan ‘Muthirna binnau kadza wa kadza’ (Kami diberi hujan karena sebab bintang ini dan ini), maka dialah yang kufur kepadaku dan beriman pada bintang-bintang.” (HR. Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71)

Semoga di musim hujan kali ini, kita dimudahkan untuk mengamalkan salah satu dari sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama di atas. Aaamiin

Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/79607-doa-ketika-turun-hujan.html

Nabi Muhammad SAW Sosok Pemimpin yang Sempurna Jiwa dan Raga

Nabi Muhammad SAW adalah seorang pemimpin dan komandan tertinggi bagi umat Islam, bahkan bagi semua manusia. Rasulullah SAW memiliki perawakan badan yang bagus, jiwa yang sempurna, akhlak yang mulia, ciri-ciri yang menawan, sifat-sifat terhormat yang mampu menawan hati dan membuat jiwa manusia tunduk kepadanya.

Perawakan dan penampilan Nabi Muhammad SAW benar-benar sempurna. Tidak seorangpun yang menyamai penampilan Rasulullah SAW. Ditambah lagi dengan kemuliaan, kecerdasan, kebaikan, keutamaan, amanah, kejujuran, dan segala hal yang baik ada pada diri beliau. Bahkan, musuh pun mengakui hal ini.

Terlebih lagi rekan-rekan dan orang-orang yang mencintai Nabi Muhammad SAW, tidak ada satu kata pun yang dinyatakan seseorang kecuali pasti mengakui kebenaran semua ini. Keadaan orang-orang yang memusuhi Nabi Muhammad SAW tidak mampu menguasai diri mereka karena terpengaruh perkataan atau sabda Rasulullah SAW.

Sebagai contoh, Abu Jahal pernah berkata, “Wahai Muhammad, kami tidak mendustakan dirimu, tapi kami mendustakan apa yang engkau bawa.”

Dari perkataan Abu Jahal ini dapat diketahui, ia juga mempercayai Nabi Muhammad SAW yang jujur atau tidak pernah berdusta. Utbah bin Abu Lahab yang berbuat jahat kepada Nabi Muhammad SAW ketakutan dengan ucapan Nabi Muhammad SAW, ia meyakini ucapan dan doa Rasulullah SAW pasti terjadi. 

Utbah bin Abu Lahab yakni akan tertimpa musibah karena ucapan Nabi Muhammad SAW. Ketika Utbah bin Abu Lahab pergi ke Syam, ia berpapasan dengan singa.

Ia berkata, “Demi Allah singa itu pasti akan mencaplok aku, sementara Muhammad ada di Makkah.” Benar saja, singa itu tidak memangsa orang lain, malah memangsa Utbah bin Abu Lahab.  

Sedangkan para sahabat dan rekan-rekan Rasulullah SAW menempatkan Nabi Muhammad SAW di dalam ruh dan jiwanya, cinta tulus tercurah kepada beliau layaknya air yang tercurah ke daratan rendah, dan jiwa mereka tertarik kepada beliau seperti besi yang ditarik magnet. Di antara pengaruh cinta yang tulus ini, mereka tidak peduli sekalipun leher harus putus atau dicopot secara paksa atau kaki terkena duri.

Dikutip dari Sirah Nabawiyah yang ditulis Syekh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, diterjemahkan Kathur Suhardi, diterbitkan Pustaka Al-Kautsar, 2012.

ISLAM DIGEST

Penjelasan tentang Ka’bah yang Perlu Diketahui Jamaah Haji

Di era Nabi Ibrahim Alaihissalam, beliau membangun kembali Kabah yang telah rata dengan tanah. Letak Kabah yang dibangun Nabi Ibrahim tepat di lokasi Kabah yang dibangun oleh Nabi Adam Alaihissalam.

Tinggi Kabah 14 meter, panjang dari arah Multazam 12,84 meter, panjang dari arah Hijir Isma’il 11,28 meter, antara Rukun Yamani dan Hijir Isma’il 12,11 meter dan antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad 11,5 meter.

Setiap Muslim boleh menziarahi Kabah. Orang yang menetap di sekitar Kabah disebut jiwarullah (tetangga Allah), sedangkan orang yang hanya berkunjung atau jamaah haji disebut dhuyufullah (tamu Allah).

Kabah merupakan tempat pertobatan di Bumi yang diperuntukkan bagi seluruh manusia, sehingga Kabah tidak boleh dimiliki oleh siapapun, oleh negara manapun. Kabah tidak boleh diperjualbelikan. Kaum Muslimin memiliki hak yang sama terhadap Kabah, baik mereka yang tinggal di sekitar Kabah maupun pendatang atau orang yang hanya sekadar lewat.

Kabah merupakan tempat suci, tempat berkumpul yang aman, untuk beribadah kepada Allah SWT dalam bentuk thawaf, i’tikaf, ruku’ dan sujud.

Kabah tidak boleh dikotori dengan kemusyrikan. Di sekitar Kabah tidak boleh terjadi tindak kejahatan. Siapa pun yang berada di sekitar Kabah dilarang memiliki niat jahat, apalagi melakukan tindak kejahatan yang nyata. Larangan ini dimaksudkan agar di sekitar Kabah tercipta kedamaian, ketenteraman, dan kebebasan manusia melaksanakan kegiatan ibadah.

Memandang Kabah termasuk ibadah. Karena itu memandang kubus raksasa hitam ini menjadikan hati tenteram, jiwa terasa aman, terlindungi dari segala gangguan dan ketakutan. Memandang Kabah bisa menimbulkan rasa haru dan kagum.

Namun demikian, tidak boleh membentuk pola pikir yang menjurus pada kemusyrikan, misalnya jadi lebih mengagungkan Kabah ketimbang Allah SWT. Melihat Kabah perlu dibarengi dengan kekaguman terhadap kebesaran Allah SWT melalui zikir dan doa yang dibaca dalam hati dan lisan.

Dengan demikian, melihat Kabah bukan tertuju pada bangunannya, tapi kepada Allah SWT, dengan meyakini bahwa objek sesembahan bukan Kabah itu sendiri melainkan Allah Sang Pemilik Kabah.

Penjelasan soal Kabah ini dijelaskan dalam buku Tuntunan Manasik Haji dan Umroh yang dipublis Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) Kementerian Agama, 2020.

IHRAM

Doa Setelah Azan

Azan memiliki kedudukan yang mulia dalam syariat Islam. Bagaimana doa setelah adzan yang bisa kita amalkan? Berikut penjelasannya.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan tentang hal ini dalam beberapa hadis. Di antaranya adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَا يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ، وَلَا إِنْسٌ، وَلَا شَيْءٌ، إِلَّا شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَـة

Tidaklah kumandang azan yang didengar oleh jin, manusia, ataupun yang lain, kecuali semua akan menjadi saksi di hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 574, An Nasa’iy no. 640, dan Malik no. 138)

Dan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِى النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا

Seandainya semua orang tahu tentang keutamaan azan dan saf pertama, kemudian mereka tidak mendapatkannya kecuali dengan mengundi, niscaya mereka akan mengundinya.” (HR Bukhari no. 615 dan Muslim no. 437)

Doa setelah adzan

Selain anjuran untuk mengikuti lafaz azan muazin sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,

إذا سَمِعتُم المؤذِّنَ فقُولوا مثلَ ما يقولُ

Jika kalian mendengar azan, maka ucapkanlah sebagaimana ucapan muazin.” (HR. Muslim no. 384)

Kita juga disunahkan untuk membaca doa setelah adzan yang dikumandangkan muazin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ، حَلَّـتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa yang setelah selesai mendengar azan kemudian berdoa dengan,

Allahumma rabba haadzihid da’watit taammah, wasshalaatil qaaaimah, aati muhammadanil wasiilata wal fadhiiilata, wab’atshu maqaaman mahmuuda alladzii wa’adtah

(Ya Allah, Pemilik seruan yang sempurna ini dan sholat yang ditegakkan, anugerahkanlah kepada Nabi Muhammad; wasilah (kedudukan yang tinggi di surga) dan keutamaan (melebihi seluruh makhluk), dan bangkitkanlah beliau dalam kedudukan terpuji (memberi syafa’at) yang telah Engkau janjikan)

Maka, ia berhak mendapatkan syafaatku kelak di hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 579)

Demikianlah, doa yang selayaknya tidak ditingalkan seorang muslim ketika mendengar azan. Lebih-lebih menyibukkan diri untuk mengobrol hal yang tidak penting padahal ada sebaik-baik seruan yang tengah dikumandangkan.

Semoga Allah Ta’ala memberkahi kita semua.

Penulis: Muhammad Nur Faqih, S.Ag.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/79609-doa-setelah-adzan.html