Rumah Tangga Kekurangan Seks Itu Berbahaya

ULAMA salaf mengajarkan, “Seseorang hendaknya menjaga tiga hal pada dirinya: Jangan sampai tidak berjalan kaki, agar jika suatu saat harus melakukannya tidak akan mengalami kesulitan; jangan sampai tidak makan, agar usus tidak menyempit; dan jangan sampai meninggalkan hubungan seks, karena air sumur saja bila tidak digunakan akan kering sendiri.”

Hubungan intim, menurut Ibnu Qayyim Al-Jauzi dalam Ath-Thibbun Nabawi (pengobatan ala Nabi), sesuai dengan petunjuk Rasulullah memiliki tiga tujuan: memelihara keturunan dan keberlangsungan umat manusia, mengeluarkan cairan yang bila mendekam di dalam tubuh akan berbahaya, dan meraih kenikmatan yang dianugerahkan Allah.

Hubungan intim menurut Islam termasuk salah satu ibadah yang sangat dianjurkan agama dan mengandung nilai pahala yang sangat besar. Karena jima dalam ikatan nikah adalah jalan halal yang disediakan Allah untuk melampiaskan hasrat biologis insani dan menyambung keturunan bani Adam.

Selain itu jima yang halal juga merupakan ibadah yang berpahala besar. Rasulullah SAW bersabda, “Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.” Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli istri kita?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)

Karena bertujuan mulia dan bernilai ibadah itu lah setiap hubungan seks dalam rumah tangga harus bertujuan dan dilakukan secara Islami, yakni sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW.

Muhammad bin Zakariya menambahkan, “Barangsiapa yang tidak bersetubuh dalam waktu lama, kekuatan organ tubuhnya akan melemah, syarafnya akan menegang dan pembuluh darahnya akan tersumbat. Saya juga melihat orang yang sengaja tidak melakukan jima dengan niat membujang, tubuhnya menjadi dingin dan wajahnya muram.”

Sedangkan di antara manfaat bersetubuh dalam pernikahan, menurut Ibnu Qayyim, adalah terjaganya pandangan mata dan kesucian diri serta hati dari perbuatan haram. Jima juga bermanfaat terhadap kesehatan psikis pelakunya, melalui kenikmatan tiada tara yang dihasilkannya.

 

MOZAIK

 

 

Sopir Ustaz Arifin Ilham Wafat

Kabar duka datang pagi ini dari keluarga Pimpinan Majelis Az-Zikra Ustadz Muhammad Arifin Ilham. Sopir Ustaz Arifin, yakni Dedi (36 tahun) wafat pada pukul 03.00 Jumat (30/6) dini hari. Berikut ini pesan instan Ustaz Arifin yang diterima Republika.co.id, Jumat (30/6).

Innalillahi wa innailaihi roojiuun.  Telah menghadap Allah jam 03 00 tadi malam sahabat kita tercinta fillah Dedi, supir Arifin di usia 36 tahun.

Almarhum dihiasi Allah dengan pribadi yang indah, sangat saleh, kalem, disiplin, bersih, jujur, tidak banyak bicara, murah senyum, khas dengan wanginya, penyayang, bertanggung jawab dan mudah akrab. 

Insya Allah husnul khatimah, wafat di hari Jumat mulia ini setelah sebulan penuh puasa Ramadhan. 

Allahumma ya Allah ampunilah seluruh dosa bang Dedi, maafkan seluruh kesalahan beliau, terimalah beliau di sisi-Mu dengan derajat yang mulia dan jadikanlah kuburan beliau rawdhoh mirroyaadhil jinnaani, taman di antara taman surga-Mu. Aamiin.

 

REPUBLIKA

Belajar Menyelesaikan Masalah dari Aisyah

Ummul Mukninin ‘Aisyah tumbuh besar di rumah Rasulullah nan suci. Hal ini sungguh merupakan anugerah yang sangat besar, karena setiap orang yang dididik langsung oleh Rasulullah pada dasarnya akan menjadi guru dan sekolah yang fenomenal.

Inilah yang benar-benar terjadi pada diri ibunda kita, ‘Aisyah. Nalar dan pemikirannya dipenuhi dengan konsepsi-konsepsi Islam. Tingkah laku dan sikap ‘Aisyah merupakan bentuk praktis dan implementasi dari konsep-konsep Islam. Maka tidak masuk akal jika ‘Aisyah melakukan suatu perbuatan yang menyalahi pemikiran, konsepsi dan tingkah laku yang sudah mendarah daging pada diri dan akalnya.

Sikap seperti ini bukan hanya ada pada diri ‘Aisyah saja, melainkan adalah corak tingkah laku yang ada pada diri sahabat Rasul secara umum. Di situ ditemukan adanya keharmonisan luar biasa antara pikiran dan tingkah laku, yang jarang sekali bertolak belakang dengan Al Quran.

‘Aisyah yang suci -putri dari sahabat Nabi yang jujur- ditimpa musibah paling besar yang mungkin menimpa perempuan bermartabat sepertinya. Ia dituduh berbuat zina. Alangkah berat ujian yang ia terima. Tuduhan itu tidak hanya beredar di kalangan terbatas keluarga dan sahabat dekat, tetapi beredar ke masyarakat dan dibumbui dengan sejumlah propaganda yang licik.

Istri seorang Rasul yang sangat disegani sekaligus dicinta oleh ummat dituduh telah melakukan zina. Zina yang dipandang sebagai aib dan dosa besar bagi setiap perempuan, terlebih jika dilakukan oleh istri Nabi, maka hal tersebut sungguh menjadi suatu masalah dan ujian yang berat bagi ‘Aisyah. Hanya orang dengan kepribadian matang, tangguh dan cerdas seperti ‘Aisyah yang dapat menanggung ujian tersebut dan mampu menemukan solusi sehingga dapat melewati cobaan dengan baik.

Apa yang dilakukan ‘Aisyah menghadapi persoalan rumit ini? Bagaimana dia menghadapi, melawan, dan mengalahkannya?

Tentu wanita muslimah di jaman sekarang pun dapat mengambil hikmah, meneladani sikap dan tindakan ‘Aisyah ketika menghadapi masalah dan ujian yang dihadapinya.

Masalah dan Cara Menghadapinya

Sebelum membahas lebih lanjut tentang sikap dan cara-cara ‘Aisyah dalam menyelesaikan masalah, ada baiknya mengulas sedikit mengenai definisi masalah.

Manusia hidup tentu akan bertemu dengan masalah. Hal tersebut seperti bagian dari skenario yang ditentukan ‎​اَللّهُ baik untuk pembelajaran maupun untuk menunjukkan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya.

Masalah dapat didefinisikan sebagai perasaan atau kesadaran tentang adanya suatu kesulitan yang harus dilewati untuk mencapai tujuan. Masalah juga dapat diartikan sebagai kondisi disaat kita berbenturan dengan realitas yang tidak diinginkan.

Tanpa sadar kadang masalah yang datang dapat menyita pikiran kita. Disinilah diperlukan sikap dan pengetahuan agar dapat menghadapi masalah dan menemukan solusi yang tepat dan tentunya tidak semakin menjerumuskan kepada masalah lain. Dan yang lebih utama, bagaimana bersikap dan bertindak menghadapi masalah sesuai dengan petunjuk yang diberikan Allah.

Terkadang untuk menyelesaikan masalah butuh waktu, namun terkadang masalah dapat selesai dengan cepat. Bagaimanakah ibunda ‘Aisyah menghadapi persoalannya kala itu?

Persoalan yang dihadapi ‘Aisyah adalah berita bohong. Para kaum munafik menyebarluaskan isu tentang kasus perzinaan ‘Aisyah dengan Shafwan bin Mu’aththal. Ketika pulang dari sebuah peperangan, ‘Aisyah terlambat dari rombongan. Ia pulang diantar Shafwan dan menaiki untanya. Setelah itu isu tentang perzinaan ini pun menyebar luas, laksana api yang dengan cepat membakar rerumputan kering.

Persoalan ‘Aisyah kala itu ada dua hal, pertama, ‘Aisyah mendapati dirinya sendirian karena sudah ditinggal rombongan pasukan. Kedua, ketika isu ini beredar di luar, ia tidak mengetahui bahkan tidak terlintas di dalam pikirannya sama sekali. Lantas apakah yang dilakukan ‘Aisyah untuk menghadapi dua persoalan tersebut?

Sadar Bahwa Tengah Menghadapi Masalah

Harus diketahui bahwa sebuah persoalan tidak akan berarti jika orang yang tertimpa atau memiliki hubungan dengan persoalan tersebut tidak menyadarinya. Begitu pun dengan ‘Aisyah, ia sadar betul akan adanya masalah yang sedang dihadapi. Ketika kembali dari mencari kalung yang hilang dan mendapati rombongan pasukan sudah pergi meninggalkannya, ‘Aisyah sadar kalau ia sedang dalam masalah. Ini persoalan pertama.

Sedangkan terhadap persoalan kedua, dimana ia dituduh melakukan zina, ‘Aisyah segera merasa kalau sedang ada masalah ketika diberitahu Ummu Misthah tentang isu yang sedang beredar di masyarakat. Pada awalnya ‘Aisyah tidak merasakan hal itu. Maka ia heran atas celaan Ummu Misthah terhadap anaknya, dan ia pun membelanya karena Misthah termasuk salah satu sahabat yang ikut dalam perang badar.

Menjaga Emosi dan Tetap Tegar

Ibunda kita ‘Aisyah mampu menahan emosinya di saat menghadapi persoalan yang menimpanya. Padahal situasi yang ia alami kala itu sangat mencekam. Tertinggal sendirian oleh rombongan pasukan di medan perang. Dan ia pun tetap dapat mengontrol dirinya ketika mendengar isu yang sesungguhnya dapat membuatnya tertekan. Tentu saja ‘Aisyah kaget dan limbung atas isu-isu yang tersebar luas menyangkut dirinya. Namun meskipun begitu, ‘Aisyah tetap sabar karena mengingat firman Allah,

“Maka hanya bersabar itulah yang terbaik (buatku). Dan kepada Allah saja memohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan. (Yusuf [12]:18)

Ketegaran hati yang dimiliki ‘Aisyah tercermin dengan selalu memohon perlindungan Allah melalui doa, shalat, zikir, berbaik sangka kepada Allah dan umat muslim yang terkait dengan isu tentang dirinya, serta mengharap datangnya kebaikan. Sisi keimanan secara umum juga sangat berpengaruh dalam hal ini, sehingga keimanan harus tetap dijaga pada setiap fase penyelesaian masalah.

Semua inilah yang dilakukan oleh ‘Aisyah. Meskipun isu-isu itu mampu membuat ‘Aisyah terpukul, tapi ia tetap tidak kehilangan akal sehat.

Terhadap persoalan pertama, ‘Aisyah menyimpulkan kalau rombongan pasukan memang sudah meninggalkannya, dan ia tertinggal sendirian. Hal ini membuat ‘Aisyah mengkhawatirkan diri sendiri kalau sampai meninggal dunia, mendapat musibah, atau mengalami tindak kekerasan. Sedangkan terhadap persoalan kedua, ‘Aisyah sudah menyimpulkan dan mengetahuinya. Isu yang beredar saat itu adalah ia dituduh berbuat zina. ‘Aisyah sudah memikirkan tuduhan tersebut dan konsekuensi yang mungkin timbul karenanya.

Memikirkan Solusi

‘Aisyah memikirkan solusi yang mungkin berguna untuk menyelesaikan persoalannya. Yang terbersit dalam benak ‘Aisyah waktu itu adalah sejumlah hal berikut:

1.Menyusul rombongan pasukan. Tapi ia tidak memiliki kendaraan, sedang malam sudah gelap dan ia pun rasanya tidak mungkin berjalan sendirian

2.Tetap berada di tempat semula sambil bersembunyi

3.Pergi ke tempat lain

4.Menunggu di tempat semula dengan harapan rombongan pasukan atau sebagian mereka akan kembali lagi ke tempat itu. Sebab apabila rombongan tahu kalau ia tidak ada, tentu mereka akan segera kembali ke tempat semula untuk mencari.

5.Mencari seseorang yang mungkin tertinggal dari rombongan seperti yang ia alami, atau menunggu seseorang yang mengikuti rombongan pasukan dari jauh.

Sedangkan terhadap persoalan kedua, yang terbersit pada benak ‘Aisyah adalah;

1.Membela diri

2.Menyerahkan hal itu kepada Rasul, sementara ia tetap berada di rumahnya. Namun sepertinya ‘Aisyah melihat kalau Rasulullah terpengaruh dengan isu tersebut, di samping isunya sudah menyebar luas di masyarakat

3.Pulang ke rumah bapak ibunya, bersabar dan menyerahkan semuanya kepada Allah

4.Menerapkan solusi paling tepat di antara solusi-solusi yang ada

Solusi

‘Aisyah memilih untuk tetap berada di tempat semula dengan harapan rombongan pasukan atau sebagian dari mereka kembali lagi untuk menjemput. Benar saja, Shafwan datang. Waktu itu, ‘Aisyah menyangka kalau Shafwan memang diutus rombongan untuk menjemputnya. Oleh karena itu, ‘Aisyah langsung menaiki unta Shafwan tanpa berbicara sedikit pun. Dan karena anggapan seperti ini juga, ‘Aisyah tidak pernah terbetik dalam pikirannya bakal ada isu-isu miring tentang dirinya. Sebab ia menyangka bahwa Shafwan memang diutus rombongan untuk mencari dan membawanya menyusul rombongan.

Sedangkan mengenai masalah tuduhan zina, ‘Aisyah meminta izin kepada Rasulullah untuk pulang ke rumah keluarganya. Sebab persoalan ini butuh kejelasan lebih lanjut selagi belum turun wahyu yang menjelaskannya. Selain itu, menghadapi persoalan semacam ini juga butuh kepala dingin agar bisa berpikir tenang. Kepulangan ‘Aisyah ke rumah orangtuanya mengandung banyak himah dan kecerdikan. Oleh karena itu, Rasul pun segera memenuhi keinginan ‘Aisyah tersebut.

 

ERA MUSLIM

Cucu Rasulullah SAW Ini Terkenal Ahli Sujud

TAHUN itu, tamatlah riwayat kekaisaran Persia. Yazdajird, kaisar terakhir Persi wafat di pengasingan, sementara seluruh harta, prajurit dan kerabat istana menjadi tawanan kaum muslimin. Semuanya diangkut ke Madinah al-Munawarah.

Kemenangan kaum muslimin itu menghasilkan tawanan yang berjumlah banyak, dari kalangan terhormat dan belum pernah penduduk Madinah melihat hasil ghanimah sebanyak dan begitu berharga seperti itu. Di antara para tawanan tersebut terdapat pula tiga orang putri Kaisar Yazdajird.

Orang-orang memperhatikan para tawanan tersebut dan beberapa saat kemudian sebagian mereka ikut membelinya, sedangkan bayarannya dimasukkan ke baitul maal kaum muslimin. Tidak ada lagi yang tertinggal selain para putri kaisar yang sangat jelita lagi masih belia.

Ketika ditawarkan untuk dijual, mereka semua tertunduk ke bumi merasa hina dan rendah. Air mata meleleh dari kedua pipi mereka.

Ali bin Abi Thalib merasa iba melihatnya dan berharap semoga orang yang akan membeli para putri itu adalah orang yang bisa menghargai martabat mereka dan sanggup memelihara mereka dengan baik, sebab Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kasihanilah para bangsawan yang terhina.”

Dengan segera beliau mendekati Amirul Mukminin Umar bin Khathab dan mengusulkan: “Para putri kaisar itu sebaiknya tidak diperlakukan seperti tawanan lainnya.” Umar radhiyallahu anhu berkata, “Engkau benar, tapi bagaimana caranya?” Ali berkata, “Umumkan harga mereka setinggi mungkin, lalu beri mereka kebebasan untuk memilih orang yang bersedia membayarnya.”

Saran Ali disetujui dan segera dilaksanakan oleh Umar. Putri yang pertama memilih Abdullah bin Umar, putri kedua memilih Muhammad bin Abu Bakar, sedangkan ketiga yang dipanggil dengan Syah Zinaan memilih Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, cucu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Tak lama setelah itu, putri yang ketiga langsung memeluk Islam dan bagus keislamannya. Sehingga dia beruntung dengan agama yang lurus, juga dimerdekakan dan dijadikan istri oleh Husein setelah tadinya berstatus budak. Setelah itu dia tanggalkan segala hal yang berkaitan dengan paganisme (penyembahan berhala) dan mengganti nama “Syah Zinan” yang berarti ratunya para wanita menjadi “Ghazalah.”

Ghazalah amat bahagia menjadi istri dari suami yang paling baik dan paling layak untuk mendapatkan putri raja. Sehingga tiada lagi yang dia cita-citakan selain mendapatkan karunia anak.

Beberapa waktu kemudian, Allah pun memuliakan beliau, tidak lama kemudian beliau dikaruniai seorang anak yang tampan. Beliau memberinya nama Ali, sama dengan nama kakeknya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu.

Hanya saja, kebahagiaan itu tak lama dirasakan Ghazalah. Ia segera memenuhi panggilan Rabb-nya akibat pendarahan terus-menerus sesudah melahirkan. Sehingga tidak ada kesempatan bagi beliau untuk bersenang-senang dengan anaknya.

Kini, anak tersebut dirawat oleh seorang budak wanita. Dia dicintai seperti darah dagingnya sendiri, dipelihara lebih baik daripada anaknya sendiri. Maka si kecil itu tumbuh tanpa mengenal ibu lain selain budak wanita itu.

Menginjak usia remaja, Ali bin Husein sangat tekun dan antusias menuntut ilmu. Madrasah pertama beliau adalah rumahnya sendiri, rumah yang paling mulia dan gurunya pun ayahandanya sendiri. Madrasah yang kedua adalah Masjid Nabawi asy-Syarif yang ramai dikunjungi sisa-sisa shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan generasi pertama tabiin.

Mereka begitu bersemangat mendidik para putra shahabat utama. Mengajari Kitabullah, fiqih, serta riwayat hadis-hadis nabi shallallahu alaihi wa sallam sesuai dengan target dan obyek yang ditujunya. Juga menceritakan tentang perjalanan dan perjuangan Rasulullah, tentang syair-syair Arab dan keindahannya. Mengisi hati mereka dengan kecintaan, takut, dan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Taala. Dan akhirnya mereka berhasil menjadi ulama yang mau beramal dan menjadi pembimbing bagi orang-orang yang mendapat petunjuk.

Hanya saja hati Ali bin Husein tidaklah terkait kepada sesuatu melebihi keterpautan hatinya terhadap Kitabullah. Tak ada hal lain yang lebih dikagumi sekaligus ditakuti daripada kalimat-kalimat, janji dan ancaman yang ada di dalamnya.

Jika ayat yang beliau baca menyebut-nyebut tentang surga, serasa terbang kerinduan beliau terhadapnya. Bila membaca ayat-ayat tentang neraka, gentar gemetar seakan melihat dan merasakan panas api di tubuhnya.

Memasuki usia dewasa, dia tumbuh menjadi seorang pemuda yang kaya ilmu dan ketaqwaan. Penduduk Madinah mendapatinya sebagai pemuda Bani Hasyim yang patut diteladani ibadah dan ketaqwaannya, terhormat, luas pengetahuan, dan ilmunya, mencapai puncak ibadah dan takwanya. Sampai-sampai setiap kali selesai wudhu terlihat wajahnya pucat pasi seperti orang ketakutan. Bila ditanya tentang hal itu beliau menjawab, “Duhai celaka, tidakkah kalian tahu, kepada siapa aku akan menghadap dan siapa yang akan aku ajak berbicara?”

Melihat kepribadian beliau tersebut, kaumnya memberikan julukan “Zainul Abidin” (Hiasan para ahli ibadah) dan julukan ini justru lebih dikenal daripada nama aslinya. Selain itu, karena sujud yang sangat lama, penduduk Madinah juga menyebutnya sebagai “as-Sajjad.” Dan karena jiwanya yang bersih, dijuluki pula dengan “Az-Zakiy.”

Zainul Abidin yakin bahwa sumsum ibadah adalah doa. Beliau sendiri paling gemar berdoa di tirai Kabah dengan doanya, “Wahai Rabb-ku, Engkau menjadikan aku merasakan rahmat-Mu kepadaku seperti yang kurasakan dan Engkau berikan nikmat kepadaku sebagaimana yang Engkau anugerahkan, sehingga aku berdoa dalam ketenangan tanpa rasa takut dan meminta sesuka hatiku tanpa malu dan ragu. Wahai Rabb-ku, aku berwasilah kepada-Mu dengan wasilah seorang hamba lemah yang sangat membutuhkan rahmat dan kekuatan-Mu demi melaksanakan kewajiban dan menunaikan hak-Mu. Maka terimalah doaku, doa orang yang lemah, asing dan tak ada yang mampu menolong kecuali Engkau semata, wahai Akramal Akramin”

Thawus bin Kaisan pernah melihat Zainul Abidin berdiri di bawah bayang-bayang Baitul Atiq (kabah), gelagapan seperti orang tenggelam, menangis seperti ratapan seorang penderita sakit dan berdoa terus-menerus seperti orang yang sedang terdesak kebutuhan yang sangat. Setelah Zainul Abidin selesai berdoa, Thawus bin Kaisan mendekat dan berkata,

Thawus: “Wahai cicit Rasulullah, kulihat Anda dalam keadaan demikian padahal Anda memiliki tiga keutamaan yang saya mengira bisa mengamankan Anda dari rasa takut.”

Zainul Abidin: “Apakah itu wahai Thawus?”

Thawus: “Pertama, Anda adalah keturunan Rasulullahshallallahu alaihi wa sallam. Kedua, Anda akan mendapatkan syafaat dari kakek Anda dan ketiga, rahmat Allah bagi Anda.”

Zainul Abidin: “Wahai Thawus, garis keturunanku dari Rasulullah tidak menjamin keamananku setelah kudengar firman Allah:

“…kemudian ditiup lagi sangkakala, maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka hari itu” (QS. Al-Kahfi: 99)

Adapun tentang syafaat kakekku, Allah Subhanahu wa Taala telah menurunkan firman-Nya:

“Mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (QS. Al-Anbiya: 28)

Sedangkan mengenai rahmat Allah, lihatlah firman-Nya:

“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Araf: 56)

Takdir Allah Subhanahu wa Taala menghendaki, ketakwaan Zainul Abidin benar-benar tak terlampaui orang lain. Kebijakannya, kedermawanannya dan sifat sebenarnya. Tak heran bila kisah hidupnya senantiasa menyemarakkan buku-buku sejarah dan mengharumkan lembar-lembarnya dengan keluhuran budinya. Di antaranya adalah riwayat dari Hasan bin Hasan:

Pernah terjadi perselisihan antara aku dengan putra pamanku, Zainul Abidin. Kudatangi dia tatkala berada di masjid bersama shahabat-shahabatnya. Aku memakinya habis-habisan, tapi dia hanya diam membisu sampai aku pulang. Malam harinya ada orang mengetuk pintu rumahku. Aku membukanya untuk melihat siapa gerangan yang datang. Ternyata Zainul Abidin. Tak aku sangsikan lagi, dia pasti akan membalas perlakuanku tadi siang. Namun ternyata dia hanya bicara, “Wahai saudaraku, bila apa yang Anda katakan tadi benar, semoga Allah Subhanahu wa Taala mengampuniku. Dan jika yang Anda katakan tidak benar, semoga Dia mengampunimu” Kemudian beliau berlalu setelah mengucapkan salam.

Merasa bersalah, aku mengejarnya dan berkata, “Sungguh, aku tak akan mengulangi kata-kata yang tidak Anda sukai.” Beliau berkata, “Saya telah memaafkan Anda.”

Kisah lain diceritakan oleh seorang pemuda Madinah meriwayatkan, “Ketika melihat Zainul Abidin keluar dari masjid, aku mengikutinya dan langsung memakinya. Ternyata hal itu membuat orang-orang marah. Mereka berkerumun hendak mengeroyok aku. Seandainya mereka benar-benar melakukannya, pastilah aku babak belur. Untunglah ketika itu Zainul Abidin berkata, “Biarkanlah orang ini.” Maka merekapun membiarkan diriku.

Melihat aku gemetar ketakutan, dia menatap dengan wajah bershahabat dan menenteramkan hati, lalu berkata, “Engkau telah mencelaku sejauh yang kamu ketahui, padahal apa yang tidak Anda ketahui lebih besar lagi. Adakah Anda memiliki keperluan sehingga saya bisa membantu Anda?”

Aku menjadi malu sekali dan tak bisa berkata apa-apa. Begitu melihat gelagatku, beliau memberikan baju dan uang seribu dirham. Sejak itu setiap kali melihatnya aku berkata, “Saya bersaksi bahwa Anda memang benar-benar keturunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”

Kisah berikutnya dituturkan oleh pembantunya sendiri, “Aku adalah pembantu Ali bin Husein. Suatu kali aku disuruh memenuhi salah satu kebutuhannya, tapi aku terlambat melakukannya. Begitu aku datang langsung dicambuk olehnya.

Aku menangis bercampur marah sebab dia tak pernah mencambuk siapapun sebelum itu. Aku berkata, “Allah Allah Wahai Ali bin Husein, mengapa tatkala Anda menyuruhku memenuhi keperluanmu, namun setelah kupenuhi Anda justru memukulku?”

Beliau terkejut lalu menangis mendengar kata-kataku. Lalu berkata, “Pergilah ke Masjid Nabawi, shalatlah dua rakaat kemudian berdoalah, Ya Allah, ampunilah Ali bin Husein.” Bila engkau mau melakukannya, engkau akan aku merdekakan.” Aku mengikuti kata-katanya. Aku shalat dan berdoa seperti yang dimintanya. Ketika kembali ke rumahnya, diriku telah menjadi orang yang bebas merdeka.”

Allah Subhanahu wa Taala memberikan karunia kekayaan yang melimpah kepada Zainul Abidin. Perdagangannya selalu untung dan tanah pertaniannya subur, dikelola para budaknya. Makin hari makin maju perdagangan dan pertaniannya semakin bertambah banyak hartanya.

Akan tetapi Zainul Abidin tidak bersenang-senang dengan kekayaannya itu. Sikapnya tidak berubah. Kekayaannya dimanfaatkan untuk membangun jalan kebaikan menuju akhirat. Begitulah, kekayaan menjadi indah di tangan hamba yang shalih. Di antara amal shalih yang beliau sukai adalah bersedekah dengan sembunyi-sembunyi.

Di saat malam mulai gelap, beliau memikul sekarung tepung di punggungnya, keluar menembus kegelapan malam ketika orang-orang tidur nyenyak. Beliau berkeliling ke rumah para fakir miskin yang tak suka menadahkan tangannya.

Tidak heran jika banyak orang miskin Madinah yang hidup tanpa mengetahui dari mana jatuhnya rezeki untuk mereka itu. Setelah Ali bin Husein wafat dan mereka tak lagi menerima rezeki-rezeki itu, barulah mereka menyadari siapakah gerangan manusia dermawan itu.

Sewaktu jenazah Zainul Abidin dimandikan, terlihat ada bekas hitam di punggungnya, sehingga bertanyalah mereka yang memandikannya: “Bekas apa ini?” di antara yang hadir menjawab, “Itu adalah bekas karung-karung tepung yang selalu dipikulnya ke seratus rumah di Madinah ini.” Setelah wafatnya Zainul Abidin, terputus sudah bantuan bagi fakir miskin itu.

Pembebasan budak secara besar-besaran yang dilakukan Zainul Abidin disebarkan oleh para perantau ke timur dan barat. Tingkah lakunya seakan seperti dongeng yang direkayasa dan banyaknya melebihi hitungan orang yang membilangnya.

Zainul Abidin biasa memerdekakan budak yang bekerja dengan baik sebagai imbalan untuk mereka. Beliau juga membebaskan budak yang terlanjur dipukul atau dianiaya sebagai tebusan. Diriwyatkan bahwa dia telah memerdekakan seribu orang budak dan tak pernah memakai tenaga seorang budak lebih dari satu tahun. Kebanyakan dari mereka dimerdekakan pada malam iedul Fithri, malam yang penuh berkah. Dimintanya mereka menghadap ke kiblat dan berdoa: “Ya Allah, ampunilah Ali bin Husein,” sebelum mereka pergi, beliau memberinya bekal dua kali lipat untuk berlebaran agar mereka merasakan kebahagiaan yang berlipat.

Beliau dicintai dan dihromati oleh segenap penduduk Madinah. Bila beliau berjalan menuju masjid atau kembali darinya, orang-orang selalu memperhatikannya dari tepi-tepi jalan.

Pernah Hisyam bin Abdul Malik yang sedang menjabat sebagai Amirul Mukminin datang ke Mekah untuk berhaji. Ketika beliau thawaf dan hendak mencium Hajar Aswad, para pengawal memerintahkan orang-orang supaya melapangkan jalan untuknya. Namun mereka tak mau minggir dan tak menghiraukan rombongan Amirul Mukminin, karena itu adalah rumah Allah Subhanahu wa Taala dan semua manusia adalah hamba-Nya.

Sementara itu dari kejauhan terdengar suara tahlil (laa ilaaha illallah) dan takbir, di tengah-tengah kerumunan terlihat seseorang berperawakan kecil, wajahnya bercahaya, nampak tenang, dan berwibawa. Dia mengenakan kain dan jubah, di dahinya tampak bekas sujud. Orang-orang berdiri berjajar, menyambut dengan pandangan penuh cinta dan kerinduan. Dia terus berjalan menuju Hajar Aswad kemudian menciumnya.

Seorang pengawalnya menoleh ke arah Hisyam: “Siapa orang yang dihormati sedemikian rupa oleh rakyat itu?” Hisyam berkata, “Aku tidak tahu.” Kebetulan di dekat situ hadir Farazdak, lalu dia berkata, “Barangkali Hisyam tidak kenal, tapi saya mengenalnya. Beliau adalah Ali bin Husein.” Selanjutnya dia bersyair:

Orang ini, bebatuan yang diinjaknya pun mengetahuinya

Tanah Haram dan Baitullah pun mengenalnya

Dialah putra terbaik di antara hamba Allah seluruhnya

Berjiwa takwa, suci, bersih, dan luasnya ilmunya

Dialah cucu Fathimah jika Anda belum mengenalnya

Cicit dari orang yang mana Allah menutup para Nabi dengannya

Pertanyaanmu “siapa dia” tak mengurangi ketenarannya

Orang Arab dan Ajam mengenal, meski kau tak mengenalnya

Kedua tangannya laksana hujan yang semua memanfaatkannya

Manusia membutuhkan uluran tangannya

Tak ada yang dikecewakan olehnya

Tiada pernah berkata “tidak” selain dalam tasyahudnya

Kalaulah bukan karena syahadah, niscaya hanya ada kata “ya”

Menyebarkan kebaikan di tengah manusia

Sirnalah kezhaliman, miskin, dan papa

Jika orang Quraisy melihatnya pastilah berkata:

Sampai setinggi itukah kemuliaannya?

Tertunduk mata karena malu kepadanya

Merasa kerdil melihat kehebatannya

Tak pernah lupa tersenyum tatkala berkata-kata

Di tangannya tergenggam tongkat yang harum aromanya

Dari tangan manusia cerdas hidung mencium bau wanginya

Keturunan Rasulullah dia asalnya

Alangkah mulia asalnya, akhlaknya, dan juga perangainya

Semoga Allah meridhai cicit dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ini dan beliau pun ridha. Sungguh beliau adalah potret manusia yang takut kepada AllahSubhanahu wa Taala baik tatkala sendiri maupun dalam keramaian, memenuhi jiwanya dengan ketakutan terhadap siksa Allah dan harapan akan limpahan pahala-Nya.

 

Sumber: Mereka adalah Para Tabiin, Dr. Abdurrahman Raat Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009

MOZAIK

Asep Nurhalim, Santri Desa yang Jadi Doktor di Turki

Asep Nurhalim, sosok yang ramah, smart, dan besar cintanya terhadap para guru. Itulah yang tergambar dalam benak saya, ketika teringat akan dirinya. Untuk para santri yang sezaman dengannya, sepertinya akan sepakat dengan apa yang saya pikirkan.

Keramahan yang tergambar dari air mukanya yang sumringah, masih tersirat di wajahnya. Alhamdulillah, di luar dugaan, setelah dua dekade tak berjumpa,Allah perkenankan kami untuk bertemu dua tahun yang lalu.

Kamipun bernostalgia dan berdiskusi seputar dakwah selama ini. Dari kesibukannya yang beliau jalani, dakwah sepertinya telah menyatu dengan dirinya. Hari-hari yang dilaluinya, tak lekang dengan menyampaikan pesan kebaikan. Dimanapun dia berada, bahkan ketika mengenyam pediidikan S3 di Istambulpun, ghiroh dakwahnya tak bisa tertahankan.

Suami dari teh Ninu Narulita yang merupakan alumni LIPIA Jakarta dan Universitas Ibnu Khaldun ini selama kuliah di Istambul University untuk program Sejarah Islam, dapat menyelesaikan semua mata kuliah jenjang doktoralnya dalam waktu cuma satu tahun. Menyelesaikan Yeterlilik Sinav pada semester ke-3 dengan IPK 3.63. Luar biasa…

Kiprahnya dalam menebar pesan Nabi, telah melekat bukan hanya di kalangan kampus IPB tempat beliau saat ini mengajar, akan tetapi ayah dari si kembar M Ziyad Ulhaq dan Muhammad izul haq ini kerap kali diundang oleh perkumpulan masyarakat Indonesia di Turki, bahkan oleh kalangan masyarakat Turki sendiri. Masjid Ismail Cami dan Numan Yacizi Cami di Sakarya merupakan masjid yang kerap kali mengundang dirinya berdakwah dan menajadikannya imam shalat dalam tiga tahun terakhir ini.

Sepak terjang seorang pemuda desa, yang lahir dari sebuah Desa Cikamplong Warungkiara, Kabupaten Sukabumi, tak dinyana kalau saat ini berkeliling Eropa untuk berdakwah. Selain Turki, Italia dan Belanda sudah dipijaknya. Sebagai sahabat selama mondok di Daarul Mutaallimin, tentunya secara pribadi saya merasa bangga dan penuh harap agar ustadz Asep Nurhalim dan keluarga selalu diberi kemudahan dan limpahan kasih sayang Allah Azza Wajalla.

*Penulis: Tiesna Sutisna, Pengusaha, tinggal di Kota Bandung. (kl/rol)

Ummu Fadhl, Wanita Pemberani Pembunuh Abu Lahab

WANITA yang satu ini bagai kuntum bunga berseri yang menghiasi akhlak Islam. Dialah Lubabah binti Al-Haris bin Bajir bin Hilaliyah.

Dia lebih di kenal dengan nama Ummu Fadhl. Dia adalah satu dari empat wanita yang dinyatakan keimanannya oleh Rasulullah. Wanita mulia yang memiliki kedudukan tinggi di kalangan para sahabat. Bahkan Rasulullah terkadang mengunjunginya dan tidur siang di rumahnya.

Ummu Fadhl masuk Islam sebelum hijrah. Dia termasuk wanita pertama yang memeluk Islam setelah Ummul Mukminin Khadijah R.A. Suaminya, Abbas paman Rasulullah SAW telah terlebih dulu menyatakan keimanannya dan sangat disegani oleh kaumnya. Allah mengaruniai enam orang anak dari hasil pernikahan mereka. Salah seorang anak lelakinya, Abdullah bin Abbas bertutur, “Aku dan ibuku termasuk orang-orang yang tertindas dari wanita dan anak-anak.” Namun demikian, tak seorang wanita pun yang telah melahirkan enam lelaki saleh yang pandai dan mulia.

Ummu Fadhl dikenal pula sebagai seorang wanita yang pemberani. Ia tak segan memerangi Abu Lahab, musuh Allah.

Dikisahkan bahwa ketika perang Badar, Abu Lahab tidak dapat ikut serta di dalamnya. Ia mewakilkannya kepada Ash bin Hisyam bin Mughirah. Memang, begitulah kebiasaan mereka manakala seseorang tidak dapat mengikuti suatu peperangan, ia akan mewakilkannya kepada orang lain.

Musibah menimpa orang-orang Quraisy pada Perang Badar. Mereka mengalami kekalahan besar. Allah telah menghinakan dan merendahkan mereka, termasuk Abu Lahab.

Suatu hari, Abu Rafi’, budak Rasulullah SAW yang juga pernah menjadi budak Abbas, tengah menekuni pekerjaannya. Ia adalah pembuat gelas yang dipahat dari bebatuan yang diperoleh dari sekitar sumur Zam-zam. Ketika itu ia tengah duduk-duduk bersama Ummu Fadhl. Tiba-tiba Abu Lahab berlari mendatangi mereka, kemudian duduk bersama mereka.

Ketika sedang duduk, tiba-tiba orang-orang berkata, “Abu Sufyan bin Harits telah datang dari Badar,” Abu Lahab berkata, “Suruh dia kemari! Aku telah menanti-nanti berita darinya.”

Kemudian duduklah Abu Sufyan, sementara orang-orang berdiri berkerumun di sekitarnya. “Saudaraku, beritakanlah bagaimana keadaan orang-orang dalam Perang Badar?” pinta Abu Lahab.

Abu Sufyan berkata, “Tatkala kami menjumpai mereka, tiba-tiba mereka menyerang pasukan kami tanpa henti. Pasukan kaum muslimin itu memerangi kami dan menawan kami sesuka hati mereka. Tatkala aku menghimpun pasukan, kami melihat sekelompok laki-laki yang berkuda hitam putih berada di tengah-tengah manusia, dan mereka tidak menginjakkan kakinya di tanah.”

“Demi Allah, itu adalah malaikat,” seru Abu Rafi’ sembari mengangkat batu yang berada di tangannya. Abu Lahab pun naik pitam, ia kepalkan tangannya dan memukul Abu Rafi’ dengan keras. Abu Lahab menarik dan membantingnya ke tanah. Kemudian mendudukan dan memukulinya kembali.

Ummu Fadhl pun bangkit mengambil sebuah tongkat dari batu dan memukul kepala Abu Lahab sampai mengakibatkan luka yang cukup parah. Ummu Fadhl berkata, “Aku telah melemahkannya sehingga harga dirinya jatuh.”

Beberapa saat kemudian, Abu Lahab bangkit dalam keadaan hina. Setelah itu ia hanya hidup selama tujuh malam hingga Allah menimpakan penyakit bisul yang menjadi penyebab kematiannya.

Begitulah perlakuan seorang wanita mukminah yang pemberani. Gugurlah kesombongan dan merosotlah kehormatan seorang lelaki musyrik karena keberaniannya. Alangkah bangganya sejarah Islam mencatat nama Ummu Fadhl sebagai teladan bagi para wanita yang telah dibina oleh Islam.

Ummu Fadhl wafat pada masa Khalifah Usman bin Affan sebagai sosok ibu salehah yang telah melahirkan tokoh semisal Abdullah bin Abbas yang berjuluk ‘Turjumanul Qur’an’ (yang ahli dalam hal tafsir Al-Qur’an). Jiwa kepahlawanannya memancar dari akidah yang benar. Maka muncullah keberanian yang mampu menjatuhkan musuh Allah yang paling keras permusuhannya itu.

 

Sumber: Ayat-Ayat Pedang oleh: Layla TM. Hal 25-28

MOZAIK.INILAHcom

Koneksi Wisata Halal dan Keuangan Syariah

Dalam kajian Bank Indonesia, dalam enam tahun terakhir  kontribusi sektor ekonomi berbasis sumber daya alam  seperti pertanian dan pertambangan menunjukkan  stagnansi bahkan cenderung turun terhadap ekonomi  NTB secara keseluruhan. Sementara sektor ekonomi  berbasis jasa menunjukkan tren kontribusi yang  meningkat. Kondisi itu menunjukkan adanya pergesaran  struktur ekonomi NTB dari sumber daya alam ke sektor  jasa.

Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi mengatakan, sistem keuangan eksploitatif harus dilawan karena sistem itu merugikan. Ekonomi syariah hadir dan membuka ruang ekonomi berkeadilan yang tak cuma untuk umat Islam, tapi semua manusia.

NTB secara sadar memutuskan untuk mengonversi BPD NTB menjadi bank syariah. Hal ini sebagai bagian penerapan konsep ekonomi syariah. Sebab, pria yang kerap disapa Tuan Guru Bajang itu menilai tidak ada gunanya sistem ekonomi syariah bila tidak institusi yang menjalankan konsep itu. Karena itu, tokoh yang akrab disapa Tuan Guru Bajang  itu melihat perlu ada sebanyak mungkin institusi keuangan syariah yang mudah diakses masyarakat NTB.

”Mengapa itu diperlukan? Karena meski masih tahap awal, dua tahun belakangan ini NTB jadi pionir segmen wisata halal,” kata Tuan Guru Bajang mengawali Rembuk Republik bertajuk Daya Dukung Sektor Keuangan Syariah dalam Mengembangkan Ekonomi Regional di Ballroom Islamic Center NTB, Mataram, Kamis (15/6).

Diskusi panel yang merupakan rangkaian Pesona Khazanah Ramadhan itu menampilkan nara sumber Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB Muhammad Firdaus, pengamat ekonomi syariah A Riawan Amin dan Kepala Bank Indonesia Perwakilan Nusa Tenggara Barat (NTB)  Prijono.

Tuan Guru Bajang mengemukakan, pariwisata halal ternyata jadi subsektor wisata yang membuka pariwisata NTB bisa berkembang lebih baik dari sebelumnya. Artinya, lanjut Tuan Guru Bajang, kebijakan mengadopsi nilai ketuhanan yang baik ternyata bisa memberi kemanfatan yang lebih baik dibanding sebelumnya.

“Itu mendorong kami untuk terus menyiapkan hal-hal yang diperlukan agar semakin banyak ruang kehidupan khususnya dalam sektor ekonomi yang berpondasi nilai ilahiah,” ungkap Tuan Guru Bajang.

Prioritas bersama
Ketua Asosiasi Pariwisata Islam Indonesia (APII) TGH Fauzan Zakaria Amin menjelaskan, baik wisata halal maupun keuangan syariah, keduanya mengaplikasikan nilai mulia, baik dari sektor riil maupun finansial. Adalah hal bagus bila para pelaku wisata halal mengakses sumber modal dari lembaga keuangan syariah.

Tapi, APII melihat ini belum terlalu diprioritaskan. Ke depan, akses permodalan dari lembaga keuangan syariah harus jadi prioritas bersama. “Saat ini prioritasnya adalah pembenahan. Karena jangan sampai sudah dapat anugerah wisata halal dunia, tapi fakta di lapangan tidak demikian,” kata Ustaz Fauzan.

Meski begitu, sudah ada pelaku industri wisata halal yang mengakses keuangan syariah. Tapi hal itu tidak bisa dipaksakan karena tiap pelaku punya pertimbangan.

Ia tidak meragukan semangat kebaikan yang sama dari pelaku industri wisata halal dengan industri jasa keuangan syariah. Di sisi lain, ia juga paham ada pertimbangan dari jasa keuangan syariah adalam penilaian kelaikan pembiayaan usaha dari pelaku industri halal. “Secara umum tidak bisa dipaksa, tapi bisa diajurkan. Ke depan memang harus jadi anjuran,” kata Ustaz Fauzan.

Di APII sendiri, ada beberapa catatan soal penggunaan jasa keuangan syariah. Pertama soal idealisme di mana semua unsur di APII sepakat yang terbaik adalah keuangan syariah.

Tentu, untuk laik mengakses pembiayaan syariah ada standar yang harus dipenuhi oleh pelaku industri halal sebagai calon nasabah pembiayaan. Sayangnya, saat jasa keuangan syariah belum bisa memenuhi kebutuhan itu, jasa keuangan konvensional yang membuka akses.

Catatan lain adalah soal layanan di mana layanan jasa keuangan konvensional dinilai masih lebih unggul. “Ke depan kami berharap bisa berjalan seiring karena nilai yang diusung sama,” kata Ustaz Fauzan.

Dalam State of Global Islamic Economy (SGIE) 2012-107 disebutkan, aset keuangan syariah global mencapai 2 triliun dolar AS pada 2015 di mana 1,451 triliun dolar AS di antaranya dikontribusikan dari perbankan syariah. Indonesia sendiri berada di urutan sembilan peta keuangan syariah global dengan aset 23 miliar dolar AS pada 2015.

Dalam laporan itu juga disebutkan, kesempatan besar pengembangan keuangan syariah adalah fokus yang kuat pada sektor riil. Meskipun, ini harus berhadapan fakta dengan masih lemahnya dukungan jasa keuangan syariah terhadap UKM.

Salah satu sektor riil yang menunjukkan pertumbuhan solid adalah wisata halal. SGIE 2016-2017 memprediksi, pada 2015 belanja Muslim dunia untuk wisata halal mencapai 151 miliar dolar AS. Pendapatan yang dihasilkan pelaku pariwisata halal pada periode yang sama diprediksi mencapai 24 miliar dolar AS. Wisata halal diprediksi akan tumbuh rata-rata 8,2 persen per tahun antara 2016-2021.

 

Oleh Fuji Pratiwi

REPUBLIKA

Istri Wajib Melindungi Suami dari Keburukan

AYAT 187 surah Al-Baqarah yang merupakan ayat terakhir dari rangkaian lima ayat shiyam, mengemukakan secara jelas salah satu ketetapan bagi orang yang sedang puasa, yaitu tidak boleh melakukan hubungan suami isteri.

Tentu saja larangan ini berlaku hanya pada saat yang ditetapkan bagi aktivitas puasa yaitu antara shubuh dengan maghrib. Di luar itu, Allah berfirman pada ayat ini: Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa, bercampur dengan isterimu.

Pernyataan ini kemudian dirangkai dengan kalimat yang sangat menarik: Mereka adalah pakaian bagimu (sekalian), dan kamu (sekaliannya) adalah pakaian bagi mereka.

Pakaian adalah sesuatu yang menutupi tubuh untuk menjaganya dari sengatan cuaca, melindungi dari sesuatu yang menggores menimbulkan luka, dan sekaligus memperindah pemakainya. Maka dengan ungkapan tadi Allah menandaskan kewajiban isteri untuk melindungi suaminya dari segala hal buruk yang mengganggu penampilannya di hadapan Allah maupun sesama manusia. Kewajiban yang sama juga meski diltunaikan oleh suami terhadap isterinya.

Ada dua gangguan yang berpotensi menerpa suami maupun isteri. Fitrah suami yang jujur dapat diganggu oleh nafsu serakah, sikap sederhana dapat disisihkan oleh keinginan bermegah mewah yang ditiupkan syaithan kepadanya.

Maka isteri harus memposisikan diri sebagai pengingat dan pelurus, dengan kata-kata maupun sikap yang maruf pantas menurut etika masyarakat. Begitu pula bila isteri cenderung kepada hal-hal yang tidak baik menurut Allah dan tidak pantas menurut lingkungan sosialnya, suami harus menjadi penjaganya dari bisikan-bisikan syaithan itu. Apa lagi suami ditetapkan Allah sebagai pemimpin rumah tangganya (QS 4:34).

Hakekat pemimpin adalah penanggung jawab; maka segala masalah yang terjadi dalam rumah tangga, suamilah yang pertama-tama akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah Swt.

Sungguh indah sekali Al-Quran ini. Ketika menyampaikan ketetapan hukum tentang puasa, diselipkan di dalamnya akhlak karimah dalam rumah tangga.

Sama halnya dengan ayat-ayat shiyam lainnya yang kita bicarakan beberapa hari terakhir ini. Dalam ayat 185 disampaikan fungsi Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia, penjelasan atas petunjuk itu, dan pemisah antara yang benar dengan yang salah.

Pada ayat 186 dikemukakan betapa dekat Allah Swt kepada orang-orang yang beriman, yang berarti dekat pula perlindungan-Nya, dan kebaikan-kebaikan-Nya yang tidak berbatas. Sungguh kami bersyukur kepada-Mu ya Allah, atas limpahan segala Kasih-Mu.[Sakib Machmud]

 

MOZAIK

Suami Larang Istri Berhijab, Ini Hukumannya

SELALU ada dalam kehidupan, seorang suami yang mana istrinya ingin mengenakan pakaian syari, ia malah menentangnya. Bagaimana posisi lelaki seperti itu dalam Islam?

Allah Subhanahu wa Taala telah memerintahkan para hamba-Nya yang beriman untuk memelihara diri dan keluarga mereka dari ancara api nereka, sebagaimana telah disebutkan dalam firmanNya,

“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Sementara itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun telah memikulkan tanggung jawab keluarga di pundak laki-laki, sebagaimana sabdanya,

“Dan laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan diminta pertanggunganjawab terhadap yang dipimpinnya.”

Sungguh tidak pantas seorang laki-laki memaksa isterinya untuk meninggalkan pakaian syari dan menyuruhnya mengenakan pakaian yang haram yang bisa menyebabkan timbulnya fitnah terhadap dirinya atau dari dirinya. Maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah terhadap dirinya dan keluarga dan hendaklah dia memuji Allah atas nikmat-Nya yang telah menganugerahinya wanita saleh itu.

Bagi sang istri, sama sekali tidak boleh mematuhinya dengan bermaksiat terhadap Allah, karena tidak boleh menaati makhluk dengan berbuat maksiat terhadap Khaliq.

 

Sumber: Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2, Darul Haq Cetakan VI 2010

MOZAIK

Perempuan Muslim tapi tak Berjilbab

ADA yang bertanya, “Bagaimana pandangan syariat dalam menyikapi istri yang enggan berhijab. Perlu diketahui bahwasanya para wanita di tempat kami umumnya tidak berhijab?”

Dijawab Ustadz sebagai berikut: Hendaklah seorang mukmin mengobatinya dengan hikmah. Hendaklah dia mendakwahi wanita tersebut supaya berhijab, menerangkan hukumnya, dan menerangkan wajibnya hijab, dan Allah telah memerintahkannya untuk berhijab.

Selain itu, hendaklah dia menerangkan bahwa jika wanita tersebut tidak memakainya, maka dia telah membiarkan auranya terbuka, dan akan menimbulkan fitnah. Segala sesuatu hendaklah diobati dengan hikmah, dan perkataan yang baik.

Allah Taala berfirman

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” (QS. Al-Ahzab : 53)

Hendaklah dia membacakan ayat tersebut, dan menerangkan kepadanya tentang hukum hijab.

Demikian juga firman Allah Taala :

“Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, (sampai akhir ayat” QS. An-Nuur : 31)

Demikian juga firman-Nya :

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu” (QS. Al-Ahzab : 59)

Dalil kewajiban hijab dalam Hadis dan hukum menutup wajah

Dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari Aisyah radhiyallaahu anha, bahwasanya dia berkata, “Ketika saya mendengar Shafwan ber-istirja (yaitu mengucapkan : -pent) dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam (yaitu peperangan Bani Musthaliq -pent), dimana di dalamnya muncul perkataan orang-orang yang gemar menuduh; saya menutup wajah saya. Dia telah mengenal saya, karena dia dahulu pernah melihat wajah saya sebelum turun perintah berhijab (yaitu perintah untuk menutup wajah)”.

Hadis tersebut menunjukkan bahwasanya menutup wajah merupakan perkara yang telah mereka terapkan setelah turunnya ayat yang memerintahkan berhijab. Hal ini (wajibnya menutup wajah -pent) lebih membersihkan hati, dan lebih bermanfaat. Selain itu, hal ini juga lebih menjauhkan diri dari keragu-raguan, dan kejelekan.

Penutup

Maka, hendaklah Anda, wahai hamba Allah, mengobati (mendakwahi -pent) istri Anda dengan perkataan yang baik, dengan cara yang baik; hingga istri Anda menjadi lurus (mau berhijab -pent), insyaAllah.[muslimahorid]

 

MOZAIK