Menjemput Harapan dengan Penuh Kesabaran

JALAN-jalan menuju harapan akan dilalui dengan penuh kesabaran, begitulah tabiat orang beriman. Mereka meyakini bahwa jalan yang dilalui bagian dari skenario Ilahi. Sampainya pada harapan tak sedikit kan bertemu dengan ujian yang akan semakin menangguhkan. Sebelum Allah memberikan kemenangan, sebelum Allah memberikan kemuliaan, yang tidak diberikan kecuali kepada orang-orang mulia yang Allah pilih, karena telah teruji, dan jujur dalam jihadnya.

Mungkin kita tidak menyadarinya kalau sesungguhnya kita sedang meniti jalan menuju kemuliaan. Allah telah menyediakan bilik surga yang khusus disediakan untuk para hambaNya yang lolos ujian. Mungkin kita pernah mengalami masa-masa sulit ketika kita sedang bersenandung ikhtiar dalam kebaikan? Sebaliknya menjadi aneh, ketika kita dengan ringan kaki begitu mudahnya bila bersentuhan dengan keburukan.

Sebagai muslim, tentu kita meyakini kebenaran akan janji Allah Ta’ala dalam Alquran yang menyatakan, “Sesungguhnya setelah kesulitan pasti ada kemudahan”. Dia nyatakan itu sampai diulang dalam QS 94:5-6. Pengulangan bukan lantaran Allah tidak bisa dipegang janjinya, tetapi justru dengan cara Allah ingin membesarkan hati manusia ketika bersahabat dengan kesusahan dan kesulitan.

“Man Jadda, wa jada”; siapa yang tekun penuh kesungguhan pasti ia berhasil, demikian salah satu peribahasa Arab yang kita dengar sejak kita masa kanak-kanak. Tekun yang berarti kita sejatinya kita merenda semua potensi dan kemampuan yang dimiliki secara maksimal untuk mengatasi segala rintangan dengan kerja keras dan kerja cerdas secara optimal terus-menerus.

Sunatullah yang boleh jadi sering kita alami. Semakin kita tekun, semakin banyak kemudahan dan energi positif yang menyebar pada lingkungan. Ya sebut saja sebagai “keberuntungan”. Jadi, mari kita biasakan bercermin pada suara hati, karena dia yang paling jujur.

Bukankah saat kita melakukan semua tindakan kebaikan dengan sepenuh hati, termasuk mengatasi berbagai ujian yang merintanginya, segalanya menjadi begitu nikmat dan indah, bukan? Dan, sebaliknya saat kita melakukan berbagai tindakan keburukan, ada suara hati yang sesungguhnya menolak, bukan?

Hasrat jiwa yang menggelora untuk membersamai anugerah akal dan hati secara maksimal demi kebaikan akan terasa menggetarkan diri, demikian pesan seorang ahli tasawuf. Getaran ini bakal mampu menggerakkan berbagai tindakan nyata dalam kehidupan, terlebih lagi saat kita mampu menaklukkan segala yang merintanginya.

Keep spirit! [Ustadz Umar Hidayat, M.Ag]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2341591/menjemput-harapan-dengan-penuh-kesabaran#sthash.fwwkT6Mc.dpuf

Ulama Eropa Bolehkan Nikah Beda Agama, MUI Tidak!

FATWA yang dikeluarkan di suatu tempat oleh para ulama biasanya memang disesuaikan dengan kondisi real di lapangan. Sifatnya tidak selalu harus bersifat universal dan baku. Namun sangat mungkin untuk disesuaikan dengan keadaan lokal serta bersifat situasional. Terutama untuk masalah yang juga masih ada perselisihan di antara para ulama dalam hukumnya.

Misalnya fatwa boikot pruduk tertentu yang dikeluarkan oleh banyak ulama di Timur Tengah, sebelumnya pasti sudah dibahas tentang efektifitas dan dampaknya oleh para ulama. Sehingga begitu fatwa itu dikeluarkan, efeknya memang terasa. Namun belum tentu bila MUI di Indonesia mengeluarkan fatwa yang sama, akan menghasilkan hal yang sedahsyat di negeri sana.

Adapun masalah larangan nikah beda agama yang dikeluarkan MUI, tentu saja tidak sekedar dikeluarkan begitu saja. Pastilah sebelumnya sudah dibahas latar belakang, antisipasi dan dampak-dampak yang akan terjadi. Sehingga meski tidak terlalu mirip dengan apa yang dipegang oleh jumhur ulama, namun fatwa itu bisa agak sedikit lebih tetap untuk kondisi sosial agama di negeri kita. Jumhur ulama memang menghalalkan pernikahan beda agama, asalkan yang laki-laki muslim dan yang perempuan wanita ahli kitab (baca: Nasrani atau Yahudi). Adapun bila yang laki-laki bukan muslim dan yang wanita muslimah, hukumnya haram.

Di luar jumhur ulama, ada juga pendapat lain yang berbeda, tentu saja setelah dilihat manfaat dan mudaratnya. Salah satunya ketika Khalifah Umar melihat ada semacam kecenderungan para sahabat untuk ‘berlomba’ menikahi wanita ahli kitab, sehingga muncul dampak fitnah di tengah wanita muslimah. Sehingga beliau pernah berkirim surat kepada salah satu bawahannya yang isinya perintah untuk menceraikan istrinya yang wanita ahli kitab.

Tentu saja khalifah bukan mau melawan ayat Alquran yang secara tegas membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab. Namun saat itu beliau melihat gelagat yang kurang baik di dalam tubuh umat Islam dengan adanya pernikahan yang hukum asalnya halal itu. Kira-kira hal itulah yang bisa kita rasakan dari fatwa MUI yang mengharamkan nikah beda agama. Meski dengan latar belakang yang sedikit berbeda.

Mengapa Diharamkan?

Sebagaimana kita tahu bahwa Indonesia menjadi sasaran kristenisasi sejak masa penjajahan Belanda. Angka grafik pertumbuhan penduduk yang beragama Kristen terus naik. Salah satu metode pemurtadan yang paling efektif ternyata lewat pernikahan beda agama. Di mana banyak pemuda dan pemudi muslim yang menikah dengan pasangan beda agama, tapi akhirnya anak-anak mereka menjadi non muslim.

Di sisi lain banyak sekali orang yang sekarang beragama Kristen, namun ketika diurutkan ke silsilah orang tua dan kakek neneknya, ternyata beragama Islam. Ini suatu bukti bahwa nikah beda agama di Indonesia justru kontra produktif. Bukannya berhasil meng-Islamkan orang kafir, justru orang-orang yang sudah muslim malah jadi murtad.

Maka wajar bila MUI merasa bertanggung-jawab untuk menahan laju grafik kemurtadan ini dengan melarang pernikahan beda agama secara keseluruhannya. Sebab meski laki-laki muslim menikahi wanita Kristen, kenyataannya yang kalah justru yang laki-laki, sehingga dengan mudah dia menjual iman dan agamanya, sekedar untuk bisa tetap mempertahankan istrinya yang kafir itu.

Fatwa Itu Tidak Berlaku di Eropa

Kenyataan yang sebaliknya justru terjadi di Eropa. Grafik laju pertumbuhan penduduk muslimin di sana mengalami laju yang tak terbendung. Bahkan boleh dibilang menjadi semacam ledakan jumlah penduduk yang muslim. Sampai-sampai para penguasa barat cemas melihat kenyataan ini.

Salah satu faktornya sudah bisa anda duga,yaitu karena adanya pernikahan campur antar agama. Data kependudukan membuktikan bahwa banyak sekali wanita Eropa yang menikah dengan pria muslim. Lalu anak-anak mereka memenuhi Islamic Center yang juga tumbuh menjamur di sana. Bahkan para wanita Perancis, Jerman, Inggris telah masuk ke pola trend kehidupan untuk menikah dengan pria muslim asal Timur Tengah, tidak sedikit dari mereka yang kemudian masuk Islam, memakai jilbab dan membangun rumah tangga Islami.

Trend yang terjadi di Eropa ini juga mulai menular ke benua lain seperti Amerika dan Australia. Di kedua peradaban barat itu kini sudah tidak asing lagi kita temukan wanita bule yang memakai jilbab dan bersuamikan laki-laki muslim yang sukses dalam kehidupannya. Maka alangkah tidak bijaksana bila para ulama di Eropa mengeluarkan fatwa model MUI di negeri kita. Sebab nikah beda agama di Eropa identik dengan proses Islamisasi yang luar biasa dahsyat. Sebaliknya, nikah beda agama di Indonesia identik dengan pemurtadan.

Di sini kita harus sedikit cerdas dalam menilai dan menganalisa situasi sosial masyarakat. Wallahu a’lam. Wassalamu ‘alaikum, warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc.]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2341567/ulama-eropa-bolehkan-nikah-beda-agama-mui-tidak#sthash.lMa8Ddvf.dpuf

Muliakanlah Akhlak dengan Baca Alquran

SYEKH Abdul Aziz bin Baz mengatakan, di antara prasyarat yang mengantarkan pada akhlak Islami adalah memperbanyak membaca Alquran serta mentadabburi maknanya.

Setelah itu bersungguh-sungguh untuk berperilaku dengan akhlak yang sebagaimana Allah Ta’ala sebutkan dalam Alquran mengenai sifat-sifat para hamba-Nya yang saleh. Hal ini dapat mengantarkan kita pada akhlak yang mulia.

Demikian juga hendaknya memperbanyak duduk bersama orang-orang baik dan berakrab-akrab dengan mereka. Juga dengan memperbanyak membaca hadis-hadis saheh dari Nabi Shallallahualaihi Wasallam yang menunjukkan tentang akhlak mulia.

video_syiar_islam

Demikian juga hendaknya banyak membaca kisah-kisah orang terdahulu dalam kitab-kitab sirah nabawiyyah dan sejarah Islam, yaitu membaca bagaimana sifat dan akhlak orang-orang saleh di masa itu. Semua hal ini dapat mengantarkan kita pada akhlak yang mulia dan beristiqamah di atasnya.

Namun sebab yang paling besar adalah Alquran. Dengan banyak membacanya serta mentadaburi maknanya dengan benar-benar menghadirkan hati yang penuh keinginan tulus untuk berakhlak mulia ketika membaca Alquran dan mentadaburi-nya. Inilah hal terbesar yang bisa mengantarkan kepada akhlak mulia, dengan juga memberi perhatian yang serius terhadap hadis-hadis saheh dari Nabi Shallallahualaihi Wasallam tentang akhlak mulia. []

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2342307/muliakanlah-akhlak-dengan-baca-alquran#sthash.3mfoAAeW.dpuf

Alasan Warga Kuba Memilih Islam

Hajji Isa sebelumnya bernama Jorge Elias Gil Viant. Pria asli Kuba yang berprofesi sebagai seniman ini mengatakan komunitas Muslim di Kuba masih sangat muda. Sebagian besar adalah pelajar dan pekerja.

Pelajar Muslim biasanya berasal dari Afrika, Sahara barat, Yaman, Palestina dan negara Arab lain. Peran mereka cukup besar di tahun 1990an. Beberapa waktu kemudian banyak imigran dari Pakistan muncul.

Menurut Isa, asimilasi kultur ini membuat komunitas Muslim di beberapa wilayah jadi beda karakteristik. Seiring dengan hal ini, lebih banyak penduduk Kuba berpindah agama menjadi Muslim.

Efek beruntun berakhir pada semakin dikenalnya Islam di wilayah. Aktivitas Muslim dalam perdagangan bisnis membuat komunitas semakin berkembang. Seorang warga Kuba yang juga berpindah agama jadi Muslim, Hassan Jan memulai usaha kecilnya di rumah.

Ia menerima jasa print dokumen di ruang tamunya. “Ini jadi ladang baru bagi Muslim untuk membantu secara ekonomi, juga untuk membantu mendukung perkembangan Muslim,” kata Isa.

Namun hal ini bukan tidak menemui penghalang. Tantangan terbesar adalah kurangnya pemahaman penduduk Kuba terhadap Islam. Apalagi media selalu menampilkan sisi buruk seperti serangan teroris.

Sehingga persepsi terhadap Muslim pun sudah banyak disalahkan. Hajjii Jamal tidak ingin membiarkannya. Jamal adalah seorang pengemudi taksi di Santiago. Sebelumnya ia adalah seorang Kristiani.

“Saya anggota gereja Baptist, saya tahu banyak soal kristiani,” kata dia. Hidupnya berubah saat ia berkenalan dengan seorang Muslim Kuba. Mereka mulai banyak berdiskusi. Jamal kemudian diberi Alquran dan diminta membacanya.

Ia mengaku bisa melihat logika dan kemurnian di dalamnya. Sejak saat itulah ia tertarik pada Islam. Jamal menjadi mualaf pada 2009. Keputusan ini tidak mudah. Keluarganya menentang. Ia bahkan diusir.

Namun ibunya kemudian melunak. Ibu Jamal mulai mengundang teman-teman Muslimnya untuk makan bersama di rumah. “Ia masih belum terima Islam, tapi ia menerima Muslim dan menyiapkan makanan untuknya,” kata Jamal.

Jamal adalah satu dari sekitar 100 Muslim di Santiago. Ia mencoba berinteraksi dengan otoritas dan populasi di Kuba. Ia memperlihatkan dirinya sebagai contoh Muslim yang sebenarnya.

“Kami mencoba menjadi contoh paling baik yang merepresentasikan Islam,” kata Jamal. Ia mengatakan kebebasan beragama dihormati dalam Undang-Undang Kuba. Masalahnya kadang pada implementasi di masing-masing wilayah.

Shabana, istri Isa juga mengaku keluar rumah untuk memberi gambaran soal Islam. Banyak orang bertanya soal kerudung yang ia gunakan. Penduduk mau tidak mau beradaptasi dan mulai menghargai.

 

sumber: Republika Online

Di Saat ‘Toleransi’ Dipertanyakan

“Pak, teman-teman pada bertanya dan kecewa. Kok Bapak nampaknya sekarang kurang memperlihatkan toleransi?”.

Itulah penggalan pesan singkat seorang teman, teman yang saya anggap dekat, bahkan selama ini mempromosikan dan bangga dengan kerja-kerja saya dalam membangun hubungan ‘antaragama’. Intinya, beliau dan teman-teman dekatnya, kecewa berat dengan beberapa pernyataan saya, baik di media maupun di tulisan-tulisan yang pernah dimuat oleh media sosial.

Mendengar kekecewaan itu, saya kemudian bertanya pada diri sendiri. Benarkah saya tidak toleran? Benarkah toleran itu artinya sejalan dengan kepentingan orang lain? Benarkah bahwa toleransi itu tidak berhak menyuarakan apa yang dianggap benar jika berseberangan dengan pihak lain?

Saya kemudian teringatkan oleh ayat-ayat Alquran, sejarah perjalanan umat ini, hingga kepada realita abad modern. Sesungguhnya siapa yang paling toleran di antara manusia?

Kekhawatiran saya adalah terjadi dogmatisasi bahwa toleran itu adalah mendukung kepentingan kelompok tertentu. Bukan kelompok yang berseberangan, walau kebenaran berpihak kepada kelompok seberang itu.

Atau dogmatisasi yang seolah mengatakan membela kelompok sendiri, walau benar, adalah bentuk intoleran.

Ayat-ayat toleransi Alquran seolah kembali ditampilkan depan mata saya. Ayat per ayat kembali mengingatkan bahwa bersikap toleran itu bukan sekadar isu sosial, bahkan bukan sekadar isu legal dan moral. Tapi merupakan bagian dari keimanan itu sendiri.

Pertama, kalaupun umat ini diperintah mendakwahkan agama ini, tapi kewajiban itu sebatas pada kewajiban ‘tabligh’ (penyampaian). Ini karena memang hidayah ada sepenuhnya di tangan Allah. “Allah memberikan hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki”.

Kedua, umat ini meyakini bahwa keyakinan itu adalah kata hati yang paling dalam. Oleh karenanya, ‘iman’ harus tumbuh secara alami dalam hati. Pemaksaan itu adalah antitesis dari iman. Maka Alquran menegaskan: “tiada paksaan dalam agama”.

Ketiga, umat ini meyakini bahwa kebebasan itu adalah “Godly guaranteed” (pemberian dan jaminan Tuhan). Oleh karenanya, kebebasan, termasuk kebebasan dalam memilih keyakinan adalah hak dasar. Di sinilah Islam menghormati pilian setiap orang: “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.

Keempat, umat ini meyakini bahwa keragaman itu adalah ‘sunnatullah‘ (hukum Allah) yang baku. Hingga kapan pun keragaman akan selalu ada, dan dalam segala aspeknya, termasuk keyakinan. Oleh karenanya, hadirnya agama lain tidak perlu dilihat sebagai ancaman: “Kalau Allah berkehendak, niscaya Allah menjadikan kamu satu umat (kelompok manusia”.

Praktik Rasul SAW

Segera setelah pindah dan menetap di Madinah, Rasulullah SAW melakukan berbagai kebijakan, baik secara internal (umat) maupun secara umum (penduduk Madinah).

Salah satu di antaranya adalah dalam kapasitas beliau sebagai pemimpin Madinah (sebagai negara baru) adalah pembentukan konstitusi negara yang dikenal dalam sejarah sebagai ‘Piagam Madinah’. Piagam Madinah sekaligus dikenal dalam sejarah sebagai konstitusi sipil pertama dalam sejarah manusia.

Terlepas dari konten konstitusi itu, barangkali yang paling menarik sekaligus diterima sebagai kenyataan yang membanggakan adalah bahwa proses pembentukannya ternyata bukan ketetapan rasul seorang. Bahkan bukan komunitas Muslim sebagai komunitas mayoritas saat itu. Tapi, melibatkan seluruh komponen masyarakat Madinah sebagai share holders, termasuk Yahudi, Kristen, bahkan Arab musyrik sekalipun.

Sehingga, tidak mengherankan bahwa salah satu pasal terpanjang dalam konstitusi itu adalah jaminan hak-hak minoritas yang tinggal di tengah-tengah mayoritas Muslim.

Sebagai jaminan pribadi sekaligus jaminan iman, Rasulullah SAW kemudian bersabda: “barangsiapa yang menyakiti kelompok non-Muslim minoritas, maka saya akan menjadi musuhnya di hari kiamat”.

Tentu kekaguman kita tidak saja pada proses dan konten dari Piagam Madinah itu. Tapi, juga pada konteks waktu dan tempat di mana Piagam itu dibentuk. Awal abad ketujuh dan padang pasir Arabia. Mungkinkah sebuah konstitusi yang highly civilized dibuat?

Benar kata sebagian ahli tafsir bahwa Muhammad (SAW) membawa pemikiran dan perubahan yang jauh melampaui zamannya. Di mana diakui pula bahwa penerus-penerus beliau memang belum siap untuk meneruskan peradaban itu.

Sejarah umat

Sepeninggal rasul alam semesta, Muhammad SAW, para sahabat lalu thobiin dan penerus mereka mengambil amanah kepemimpinan itu. Toleransi rasul bahkan ketika kembali masuk Makkah dengan kekuatan tentaranya tetap dilanjutkan.

Kita kenal bahwa di saat rasul masuk kembali ke tanah kelahirannya setelah terusir selama kurang dari 13 tahun, Beliau memberikan public amnesty  kepada kaum yang pernah mengusirnya. Tidak satu kata pun yang terlontar dari mulut beliau memerintahkan penduduk Makkah untuk menerima Islam sebagai agama mereka.

Dari zaman Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali (radhiyallahu anhum), bahkan penerus mereka dari kalangan thabi’in dan murid-murid mereka (thabi’i at-thaabi’in), senantiasa menjaga toleransi ini sebagai amanah “iman”.

Dan sejujurnya, inilah pula fakta-fakta besar yang hingga kini masih kita dapatkan di dunia modern. Bandingkan sebagai misal saja, di negara-negara yang dulu dikuasai oleh Kristen, lalu kini dikuasai oleh dunia Islam. Insya Allah karena amanah iman itulah Anda niscaya masih menemukan gereja-gereja yang tetap utuh terjaga. Anda bisa dapati itu misalnya di negara-negar yand saat dikenal dengan nama Syaam (Suriah, Jordan, Palestina dan Lebanon).

Sebaliknya, jika Anda melakukan kunjungan ke negara-negara yang dulu dikuasai oleh Islam, lalu saat ini dikuasai oleh Kristen, masihkah ada masjid-masjid megah yang pernah dibangun di masa keemasan Islam itu? Anda akan temukan kalau tidak dijadikan gereja sudah pasti menjadi museum atau bahkan tempat-tempat kemaksiatan seperti night club.

Intinya adalah bagi saya toleransi itu adalah amanah iman dan sejarah. Oleh karenanya, komitmen saya kepada tolerasi tidak bisa dipertanyakan. Mempertanyakan toleransi saya kepada agama lain sama dengan mempertanyakan iman itu sendiri.

Kejujuran dalam toleransi

Saya kembali berpikir tentang toleransi itu sendiri. Kok rasanya ada yang salah dalam menempatkan toleransi. Atau mungkin ada pemaksaan defenisi tentang toleransi itu sendiri. Atau ada dogmatisasi tentang makna toleransi.

Seolah jika saya membela apa yang saya anggap benar, dan kebetulan kebenaran itu barada di pihak umat Islam, itu bukan toleransi. Tapi intoleransi yang seolah mengoyak hak orang lain.

Saya sangat yakin bahwa semua nilai yang kita bangun dan junjung itu harus terbangun di atas nilai-nilai ‘kebenaran dan keadilan’ (shidqan wa adlan). Toleransi yang dibangun di atas ketidakjujuran, tapi kepalsuan lewat pemaksaan persepsi dengan kekuatan media dan sebagainya, pada akhirnya melahirkan kepura-puraan.

Akibat dari toleransi kepura-puraan ini adalah mudahnya hilang nilai-nilai tolerasi pada sikap manusianya di saat teruji. Pada tingkatan tertentu sebagian masyarakat Amerika saat ini sedang teruji. Bahwa, selama ini, Amerika tidak saja menjamin kebebasan beragama. Tapi juga mempromosikannya ke berbagai penjuru dunia.

Yang parah pula adalah ketika toleransi dipahami secara tidak adil. Toleransi kita hormati di saat berpihak pada kita. Ketika toleransi itu memang harus berpihak kepada orang lain, maka dengan mudah dialihkan menjadi intoteransi. Di sini pun terjadi ‘kemunafikan’ besar dalam toleransi.

Maka toleransi, sebagaimana konsep-konsep lainnya, mutlak bebas batas. Artinya, tidak dimaksudkan hanya untuk sebagian. Tapi untuk keseluruhan.

Ketika orang lain berdemo atas ketidaksetujuan mereka atas sesuatu, itu adalah ekspresi kebebasan dalam ruang lingkup demokrasi. Tapi, di saat umat Islam melakukan demo karena menuntut hak, mereka melakukan intoleransi. Bahkan, dianggap berbahaya dan makar.

Yang lebih runyam, dengan kehebatan propaganda yang didukung oleh media dan corporates, mereka mampu membalik konsep-konsep itu. Toleransi menjadi intoleransi. Dan intoleransi boleh berbalik menjadi “kebebasan ekspresi”.

Itu dunia yang penuh sandiwara dan kemunafikan!

 

Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation & Muslim Foundation of America

================

sumber:Republika oline

Bahaya Lisan (Afatul Lisan)

Afatul lisan adalah dua ungkapan kata yang memiliki arti bahaya lidah. Hal ini, bukan berarti lidah selalu membawa mudhorat bagi manusia, karena lidah juga bermanfaat bagi manusia. Dengan lidah, seseorang dapat berbicara dan menyampaikan maksud yang diinginkan. Namun, harus disadari pula, bahwa betapa banyak orang yang tergelincir karena lidahnya, akibat ketidakmampuan pemilik lidah menjaga dari ucapan dan kata-kata yang keluar dari lidah tersebut.

Karena itu, sangatlah urgen dalam kehidupan seorang Muslim memahami bahaya dari lisan sebagaimana juga memahami akan manfaat lisan tersebut. Dua hal penting yang sering diingatkan Islam kepada kita-manusia- adalah menjaga dan memelihara dengan baik lidah dan tingkah laku.

Rasulullah SAW berpesan kepada kita semua yaitu: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Qiyamat hendaklah berkata yang baik atau diam.” Pesan ini menekankan tentang pentingnya menjaga tutur kata, tidak mengucapkan hal yang buruk dan menyakiti hati, karena bertutur sembarang tanpa pikir akan membawa kepada krisis lain yaitu permusuhan, kekacauan bahkan pertumpahan darah.

Kasus Ahok menjadi salah satu bukti ketika lisan tidak dijaga. Apalagi, ada agenda setting yang sudah ditata jauh sebelumnya dengan tujuan menistakan, mengadu domba, mengilpiltrasi dan lain-lain. Akhirnya, negeri ini bergoyang  gara-gara lisan Ahok begitu bebas mengeluarkan steatmen yang membuat umat Islam ‘terbangun dari tidurnya’.

Maka, dengan menjaga lidah dan tutur kata, dapat dipastikan akan terjalinnya kehidupan yang tenteram, damai, dan sejahtera di tengah masyarakat sepanjang masa. Dalam konteks inilah, Rasulullah SAW berpesan supaya menjaga lidah dan tingkah laku agar tidak mengganggu dan melampaui batas atau menyentuh hak dan muruah(wibawa) orang lain.

Allah SWT berfirman: “Pada hari ketika lidah, tangan dan kaki menjadi saksi atas mereka terhadap apa-apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. 24:24). Dalam hadis disebutkan:  “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka yang jaraknya lebih jauh antara timur dan barat”. (Muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah)

Lidah juga merupakan sarana mempermudah manusia menyampaikan maksud yang diinginkan kepada orang yang diajak bicara sehingga dengan itu orang yang diajak bicara akan memahami maksud dari orang tersebut. Jika lisan tidak ada, maka seseorang akan sulit berbicara dan menyampaikan sesuatu yang diinginkan kecuali dengan bahasa isyarat. Nabi SAW telah bersabda: “Barang siapa mampu menjaga apa yang terdapat antara dua janggut dan apa yang ada di antara dua kaki, maka aku jamin dia masuk surga. (Muttafaq ‘alaih, dari Sahl bin Sa’ad)

Bila seseorang telah mengerti bahwa ia akan dihisab dan dibalas atas segala ucapan lidahnya, maka dia akan tahu bahaya kata-kata yang diucapkan lidah, dan dia pun akan mempertimbangkan dengan matang sebelum lidahnya dipergunakan. Allah berfirman: “Tidak ada satu ucapan pun yang  diucapkan, kecuali di dekatnya ada malaikat Raqib dan ‘Atid.” (QS.Qoof: 18)

Menuju surga cepat dengan lisan, menuju neraka pun cepat dengan lisan. Lisan bagai ‘jaring’ kalau menjaringnya baik akan mendapatkan hasil yang baik. Sebaliknya, jika tidak, hasilnya akan sedikit dan melelahkan. Kata orang, lidah tidak bertulang, maka lebih senang mengatakan apa-apa tanpa berpikir. Bahaya lidah ini sebenarnya besar sekali. Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, “Tiada akan lurus keimanan seorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tiada akan lurus hatinya, sehingga lurus pula lidahnya. Dan seorang hamba tidak akan memasuki syurga, selagi tetangganya belum aman dari kejahatannya.”

Allah telah memberikan batasan tentang pembicaraan agar arahan pembicaran kita bermanfaat dan berdampak terhadap sesama, sebagaimana firman-Nya:  “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi shadaqah atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (Annisa :114). Allahu ‘alam Bi Shawab…..

Oleh: Umar Yusuf SSosI,
Kepala Departemen Baitul Maal Yayasan Babussalam Al-Muchtariyah

 

sumber: Republika Online

Hanzhaliyyah, Sahabat Rasul yang Suka Menyendiri

IBNU Hanzhaliyyah RA, sahabat Nabi SAW yang tinggal dan menghabiskan usianya di Damaskus setelah wafatnya Rasulullah SAW. Ia seorang sahabat yang suka menyendiri, jarang sekali ia duduk-duduk bersama manusia.

Pengecualiannya hanya ketika salat berjemaah di masjid. Setelah selesai salat dan berzikir, ia memilih untuk pulang dan tinggal di rumahnya sampai waktu salat berikutnya.

Suatu ketika, selesai salat dan akan pulang ke rumahnya, ia melalui tempat tinggal Abu Darda, sahabat Nabi SAW yang juga tinggal di Damaskus. Abu Darda yang sedang bersama sahabatnya, Basyir at Taghlaby, menyapa dan berkata kepadanya, “Wahai Ibnu Hanzhaliyyah, sampaikanlah satu kalimat yang bermanfaat kepada kami dan tidak merugikan kamu.”

Sebagai seorang sahabat penyendiri, tentulah Ibnu Hanzhaliyyah tidak suka menonjolkan diri. Karena itu ia memilih untuk menceritakan suatu peristiwa bersama Rasulullah SAW. Ia menceritakan bahwa beliau pernah mengirim suatu pasukan ke suatu tempat. Setelah pulang dan berkumpul bersama di majelis Nabi SAW, salah seorang anggota pasukan berkata kepada teman di sebelahnya, “Bagaimana pendapatmu, ketika kami sedang berhadapan dengan musuh, salah seorang dari kami berkata: Rasakanlah tikaman dariku!! Aku adalah pemuda Ghiffar.”

Teman yang diajaknya bicara berkata, “Menurut pendapatku, orang itu telah hilang pahalanya.”

Tetapi teman lainnya yang mendengar pembicaraan itu ikut berkata, “Menurut pendapatku tidak apa-apa orang itu berkata seperti itu (ia tetap memperoleh pahala).”

Dua orang yang berbeda pendapat ini saling berdebat dengan argumen masing-masing, sehingga Nabi SAW kemudian menengahinya dan bersabda, “Subhanallah (Maha Suci Allah), tidak apa-apa, ia tetap mendapat pahala dan tetap terpuji (di sisi Allah).”

Abu Darda tampak gembira sekali mendengar cerita Ibnu Hanzhaliyyah itu, dan berkata, “Engkau mendengar sendiri keterangan itu dari Rasulullah SAW!!”

“Ya,” Kata Ibnu Hanzhaliyyah memastikan.

Tetapi Abu Darda masih mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, seolah-olah minta “keberkahan” hadis yang diterima oleh Ibnu Hanzhaliyyah tersebut, dan ia tetap mengiyakannya.

Pada hari dan kesempatan yang lain yang hampir sama, Ibnu Hanzhaliyyah melewati rumah Abu Darda, dan seperti sebelumnya, Abu Darda yang sedang bersama sahabatnya, Basyir at Taghlaby, menyapanya, “Wahai Ibnu Hanzhaliyyah, sampaikanlah satu kalimat yang bermanfaat kepada kami dan tidak merugikan kamu.”

Ibnu Hanzhaliyyah singgah dan berkata kepada Abu Darda, “Rasulullah SAW bersabda kepada kami : Orang yang memberi belanja kepada kudanya (yang dipergunakan untuk berjihad di jalan Allah), seperti orang yang membentangkan tangannya dengan shadaqah (yakni, dermawan), dan bukan orang yang menggenggamkan tangannya (yakni orang yang kikir)..!!”

Sikap Abu Darda yang seperti sebelumnya juga terulang ketika ia mendengar hadis ini dari Ibnu Hanzhaliyyah.

Pada hari dan kesempatan yang lain lagi, Ibnu Hanzhaliyyah melewati rumah Abu Darda, dan seperti sebelumnya, Abu Darda yang sedang bersama sahabatnya, Basyir at Taghlaby, menyapanya, “Wahai Ibnu Hanzhaliyyah, sampaikanlah satu kalimat yang bermanfaat kepada kami dan tidak merugikan kamu.”

Ibnu Hanzhaliyyah singgah dan berkata kepada Abu Darda, “Rasulullah pernah bersabda : Sebaik-baiknya orang adalah Khuraim al Usaidy, seandainya ia tidak berambut panjang dan ia tidak memanjangkan kainnya hingga melebihi mata kaki. Setelah mendengar sabda Nabi SAW ini dari salah seorang temannya, Khuraim mengambil pisau dan memotong rambutnya hingga dua telinganya, dan ia menaikkan kainnya hingga pertengahan kedua betisnya.”

Setelah selesai mendengar hadis ini, Abu Darda bersikap seperti sebelum-sebelumnya.

Pada hari dan kesempatan yang berbeda lagi, Ibnu Hanzhaliyyah melewati rumah Abu Darda, dan seperti kejadian sebelumnya, Abu Darda yang sedang bersama sahabatnya, Basyir at Taghlaby, menyapanya, “Wahai Ibnu Hanzhaliyyah, sampaikanlah satu kalimat yang bermanfaat kepada kami dan tidak merugikan kamu.”

Ibnu Hanzhaliyyah singgah dan berkata kepada Abu Darda, “Nabi SAW berpesan kepada kami : Sesungguhnya kamu sekalian akan kembali kepada saudara-saudaramu, maka perbaikilah kendaraanmu dan baguskanlah pakaianmu, sehingga seolah-olah kamu merupakan tahi lalat di tengah-tengah manusia. Karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang kotor, baik dalam pakaian atau dalam hal perkataan.”

Sekali lagi Abu Darda bersikap seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya. []

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2342062/hanzhaliyyah-sahabat-rasul-yang-suka-menyendiri#sthash.NLrQnXPH.dpuf

Jadikanlah Sabar dan Salat Sebagai Penolong Setia

MANUSIA dalam hidupnya tidak akan bisa hidup sendiri. Selalu membutuhkan hal yang lain untuk menghidupkan hidupnya. Bayangkan saja bila di dunia ini hanya ada anda seorang, tidak ada hewan, tumbuhan, semua putih. Apa menariknya?

Dalam hidup, manusia juga tidak pernah lepas dari yang namanya masalah. Masalah inilah yang kadang membuat kita saling terhubung antara stau dengan yang lain. Banyak orang yang merasa tidak membutuhkan orang lain saat bahagia. Punya banyak uang, bisa pergi kemana-mana dan lain sebagainya. Namun bagaimana bila ada masalah? Tabiat manusia seringnya langsung mencari teman begitu punya masalah. Menumpahkan apapun yang menyesak dan menyentak hati. Berbagi rasa kepada orang lain.

Tabiat manusia pula, setiap masing-masing kita punya masalah yang berbeda. Tidak jarang, saat kita susah payah datang kepada orang berniat untuk berbagi keresahan, justru yang terjadi adalah orang tersebut yang berbagi keresahan kepada kita. Alhasil, masalah kita bukan hilang, namun justru malah bertumpuk. Begitulah bila datang kepada manusia yang sama-sama punya masalah.

Allah sudah memberikan solusi atas masalah-masalah kita. Penolong setia yang pasti selalu ada bila kita mau memanggilnya. Apakah itu?

“Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”. (Al-Baqarah: 45-46)

Nah, sabar dan salat. Dua itu saja sudah cukup untuk menjadi penolong setia kita. Mungkin banyak dari kita yang menganggap kalau berbagi cerita kepada sahabat itu nyata dihadapan kita, sedangkan bila curhat kepada Allah, itu seolah kita tidak berinteraksi. Di sini, ada kekhusyukan yang belum diraih. Sehingga masih menganggap Allah itu tidak melihat kita. Buang jauh-jauh pikiran itu. Allah itu lebih dekat dari urat nadi kita sendiri.

Allah tidak seperti manusia yang hanya bisa memberi nasihat dan menenangkan. Allah lebih dari itu. Allah akan memberikan bantuan yang nyata dan segera. Bukankah Allah yang menguasai segalanya? Maka mari mulai sekarang jadikan sabar sebagai penolong utama. Berhenti menyebar aib masalah kita kepada orang lain yang jelas-jelas punya masalah beraneka rupa.[]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2339041/jadikanlah-sabar-dan-salat-sebagai-penolong-setia#sthash.eBjFKqsb.dpuf

Rumah Tangga Mau Bahagia, Ikuti 10 Nasihat Ini

BANYAK pasangan suami istri ingin bahagia kehidupan rumah tangganya, namun mereka justru merasa terjauhkan darinya.

Bahkan tidak sedikit pasangan baru, dengan cepat mereka kehilangan kebahagiaan seiring berakhirnya bulan madu.

Syaikh Muhammad Al Khady, pakar keluarga dan cinta, memberikan sejumlah nasihat untuk mencapai rumah tangga bahagia. Berikut ini 10 di antara nasihatnya yang ia tulis dalam buku Renew Your Marriage:

– Bertakwa kepada Allah adalah dasar bagi kebahagiaan

– Jadikan pasangan hidup Anda sebagai penolong dalam menunaikan ketaatan kepada Allah

– Usir setan dari rumah Anda dengan banyak mengingat Allah

– Berdoalah kepada Allah agar Dia memenuhi rumah tangga Anda dengan cinta kasih hingga terwujud sakinah dalam kehidupan pernikahan

– Perbarui pernikahan Anda dengan senantiasa melakukan komunikasi efektif antara Anda dan pasangan

– Kebahagiaan adalah nikmat yang harus diusahakan

– Jangan jadikan pertengkaran dalam pernikahan menguasai Anda. Cari pemecahan dan solusi secepatnya agar tak meninggalkan pengaruh buruk bagi pernikahan Anda.

– Berusahalah selalu di samping pasangan Anda sebagaimana Anda berharap ia berada di samping Anda. “Jadilah Ali untuknya dan ia akan menjadi Fatimah untuk Anda”

– Ingatlah selalu hadis Rasulullah: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling berbuat baik bagi keluarganya”

– Banyaklah berdoa agar Allah mengkaruniakan kebaikan dan kebahagiaan dan menghindarkan Anda serta pasangan dari keburukan. [ Bersamadakwah]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2341600/rumah-tangga-mau-bahagia-ikuti-10-nasihat-ini#sthash.yeUm7Rzk.dpuf

Inilah Ciri Seorang Mukmin yang Kuat

BILA ada yang kuat, tentunya ada yang lemah. Kedua sifat ini selalu ada berpasangan dalam kehidupan dunia. Demikian pula pada kehidupan di masyarakat. Di dalamnya akan ditemukan keberagaman masing-masing individu.

Muncul pertanyaan, siapakah sebenarnya mukmin yang kuat itu? Apakah setiap mukmin pasti kuat?

Kekuatan yang dikehendaki ada pada setiap diri manusia-cita-cita, kemauan yang tinggi, semangat yang membara dan kepercayaan diri yang menyala-harus didukung dengan jasmani yang kuat. Tetapi, jika jasmani kuat tapi jiwanya kosong, maka semangat akan meredup, kemauan melemah, bercita-cita rendah, dan tak berilmu, hal itu tidak termasuk mukmin yang kuat.

Mukmin kuat adalah seseorang yang memiliki semangat membaja untuk menyempurnakan diri dengan ilmu yang bermanfaat dan selalu mengimplemetasikan pada amal saleh. Dengannya, ia mampu menyempurnakan orang lain dengan cara menasihati dalam kebajikan dan kesabaran.

Karenanya, kekuatan seorang mukmin mutlak digunakan untuk mencapai kehidupan yang hakiki. Tentunya, kata “kuat” tidak sebatas pada materi belaka, namun yang terpenting adalah mendapatkan kekuatan yang meliputi beberapa aspek berikut:

Memaksimalkan keikhlasan

Memurnikan ibadah hanya kepada Allah Swt merupakan tuntutan atas setiap muslim. Orang mukmin akan senantiasa memaksimalkan dirinya dalam menggapai ridha Allah Taala. Allah Taala akan menolong hamba-Nya yang berbuat ikhlas dalam setiap gerak, maupun yang terbesit dalam hati. Jadi, “kekuatan” yang diberikan Allah Swt kepada hamba-Nya adalah memkasimalkan keikhlasan dalam beribadah.

Bahkan, Allah Swt menunjukkan kekuatan tersebut sebagai representasi nyata adanya kekuatan yang diberikan oleh Allah Swt dan diperuntukkan bagi orang yang mengikhlaskan ibadah mereka kepada Allah Swt.

Menjaga yang wajib dan menghidupkan yang sunah

Termasuk dalam pembuka kekuatan adalah penjagaan kita terhadap hal-hal yang diwajibkan Allah Swt. Meskipun terasa berat untuk mengamalkannya, namun ingatlah bahwa pertolongan Allah Swt akan datang saat kita memiliki kekuatan untuk menolong syariat-Nya. Penegakan syariat dimulai dari sendiri, saat ini juga, dan dalam hal-hal terkecil yang telah diwajibkan oleh Allah Swt.

Bercerminlah pada diri sendiri saat menunaikan shalat wajib lima waktu, berzakat, dan amalan-amalan lain yang telah diwajibkan oleh Allah Swt; apakah kita memiliki kekuatan untuk melakukan semuanya sehingga Allah Swt pun akan memberikan balasan kekuatan yang lebih besar dalam menjalankan kewajiban di dunia ini?

Melepaskan diri dari kekuatan selain Allah Swt

Sebagian manusia ada yang merasa bahwa dirinyalah yang paling kuat sedunia, tidak ada yang menandinginya dalam hal apa pun. Ingatlah, sekuat-kuat makhluk, masih ada yang lebih kuat, yaitu Zat Yang Mahakuat. Segala daya dan upaya yang dimiliki manusia tidak lain datangnya dari Allah Swt. Manusia tak kuasa mendatangkan kekuatan pada dirinya tanpa kuasa-Nya. Sehingga tidak pantas bagi seorang mukmin yang meminta kekuatan kepada selain Allah Swt melalui memelihara tuyul, menyembah jin, melakukan ritual-ritual yang tidak diajarkan dalam Islam, dan lain-lain.

Merasa diri lebih kuat dapat menimbulkan sifat takabur yang menyebabkan dirinya tercampak dalam api neraka. Rasa takabur itu dapat mengikis kesadaran bahwa kekuatan itu hanya dari Allah Taala.

Menghiasi diri dengan hal yang bermanfaat

Melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat memberikan potensi besar untuk bermalas-malasan dan membuang waktu belaka. Kemalasan menjadi musuh bagi kekuatan. Sehingga seorang mukmin tidak memiliki daya untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat. Jika kita menelisik sejenak, sesungguhnya hal yang bermanfaat itu dapat menimbulkan semangat menggelora dalam jiwa setiap mukmin. Faktanya, segala sesuatu yang bermanfaat pasti mempunyai nilai, entah bagi diri sendiri maupun orang lain. Adanya nilai inilah merupakan salah satu faktor penyubur semangat. Sehingga semangat pun keluar dan menumbuhkan kekuatan bagi diri seorang mukmin.

Senantiasa menuntut ilmu

Ilmu dan nasihat adalah kebutuhan abadi yang wajib dimiliki seorang mukmin. Tatkala seorang mukmin merasa tidak membutuhkan keduanya, maka diindikasikan imannya melemah. Ketika hati sedang gundah gulana, pikiran sedang karut marut, maka ilmu dan nasihat merupakan obat penenang bagi dirinya. Ketika jalan yang dilalui sulit tanpa pelita menyala dan jalan terjal menghadang, maka ilmu adalah lentera dan penunjuk jalan kebaikan. Karena itu, kekuatan pun akan didatangkan Allah Swt bagi orang yang senantiasa memperbarui dirinya dengan nasihat kebaikan dan ilmu yang bermanfaat dari-Nya. [Bersamadakwah]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2342050/inilah-ciri-seorang-mukmin-yang-kuat#sthash.JEuHzZlL.dpuf