Berbagi Kabar Gembira, Mengapa Sangat Dianjurkan Agama?

Ka’ab bin Malik ra, salah seorang sahabat yang dikenal piawai merangkai syair dan berdebat itu, pernah mendapat hukuman berupa pengasingan. Ia dikucilkan oleh seluruh warga Madinah selama 40 hari. Sanksi itu ia peroleh lantaran pengakuannya yang jujur kepada Rasulullah, bahwa ia tidak ikut pergi berperang saat peristiwa Tabuk terjadi.

Ketidakikutsertaannya itu bukan atas sebab yang diperbolehkan oleh syariat, selama perang berkecamuk, ia tidak melakukan aktivitas apa pun, selain berdirim diri di rumah. “Ketika aku duduk seperti yang telah disebutkan Allah, jiwaku terasa sempit dan bumi yang kupijak seakan tidak kukenali,” ucapnya dalam sebuah riwayat. Hukuman yang ia jalani, dirasakannya berat, ia pun bersungguh-sungguh menuju pertaubatan.

Di suatu fajar, betapa gembiranya sosok yang berasal dari suku Khazraj itu. Ia mendengar berita gembira, meski samar. Suara itu ia dengar dari ketinggian bukit Sala’ yang menyuruhnya bergembira, bahwa Rasulullah telah memberitahukan pertaubatannya telah diterima oleh Allah. Kurang yakin pada informasi tersebut, ia pun lantas bergegas menghadap Rasulullah dengan segala keterbatasan. Bahkan dikisahkan, ia sempat meminjam dua helai pakaian kala itu.

Sepanjang perjalanan, orang-orang menemuinya secara berkelompok. Mereka mengucapkan selamat atas diterimanya taubat. Sesampainya di Masjid Nabawi, ia mendapati Rasulullah sedang duduk dikelilingi sahabat lainnya. Thalhah bin Ubaidillah berdiri lalu menyalaminya sembari memberikan ucapan selamat. Rasulullah menyerukan ke Ka’ab agar bergembira di hari yang paling baik tersebut. “Bukan dariku, melainkan dari Allah,” titah Rasulullah dengan menampakkan wajah yang berseri-seri.

Kabar gembira serupa, meski dalam konteks dan kasus berbeda, juga diterima oleh orang-orang terdekat Rasulullah. Kabar gembira pernah diterima oleh Khadijah, berupa rumah di surga yang terbuat dari mutiara. Istri termuda Rasulullah, Aisyah, memperoleh berita gembira saat Allah SWT membebaskannya dari hadits al ifki, fitnah tentang perselingkuhan yang pernah dituduhkan  padanya, padahal tudingan itu sama sekali tidak benar. Selain mereka berdua, sahabat Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, dan Bilal bin Rabah, pernah mendapat kehormatan dengan berita-berita gembira dari Rasulullah.

Bisyarah, atau kabar gembira sesuai dengan arti harfiahnya. Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah, Ibnu Faris menyebutkan arti kata itu bermakna terlihatnya sesuatu dengan indah. Bisa pula berarti member kabar gembira. Hal yang sama juga ditekankan oleh ar-Razi, secara umum, arti kata bisyarah digunakan untuk kabar baik. Jika kata tersebut dimaksudkan untuk keburukan dalam sebuah ayat, biasanya akan selalu disertai dengan keterangan tertentu, misal, ayat ke-21 surah Ali Imran.

Dalam Ensiklopedia Akhlak Muhammad, Mahmud al-Mishri menjelaskan, membiasakan diri untuk membawa kabar gembira untuk orang sekitar termasuk dari kesempurnaan iman. Menyebarkan berita gembira tersebut di antara amal baik yang mendatangkan kebahagiaan kepada Muslim lainnya. Dalam sebuah riwayat oleh Thabrani, dijelaskan bahwa manusia yang paling disukai allah adalah manusia yang paling bermanfaat dan amal yang paling disukai Allah adalah kamu mendatangkan kebahagiaan kepada Muslim.

Dalam Islam, anjuran menyampaikan kabar gembira tersebut sangat ditekankan. Berbagi kabar gembira kepada orang lain-sekalipun dalam praktiknya, sering kali penerimaan orang berbeda- memiliki manfaat yang banyak. Berbagi berita gembira mampu melapangkan dada dan membahagiakan hati, selain pula dapat menjadi ciri iman dan keislaman yang  baik, memperkuat tali silaturahim antara pemberi dan penerima kabar, serta dapat mendatangkan ketenangan dan meningkatkan kualitas spiritual.

Anjuran menyampaikan berita gembira tersebut tersurat dari amar-amar, atau perintah yang banyak termaktub berulang-ulang, baik dalam Alquran ataupun hadis. Banyak ayat Alquran yang berisi bisyarah yang ditujukan kepada hamba-hambanya. Salah satunya ialah ayat berikut: “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah-nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku.” (QS. Az-Zumar [39] : 17).

Tidak hanya Alquran, hadis-hadis pun tak sedikit memuat kabar gembira untuk umat. Di antaranya, kabar gembira yang tertera dalam hadis riwayat Abu Dawud dan Turmudzi. Dalam hadis tersebut Rasulullah meminta agar memberikan kabar gembira akan cahaya yang sempurna di hari kiamat kepada orang-orang yang berjalan dalam kegelapan menuju masjid.

Akhlak para nabi

Memberi kabar gembira adalah bagian dari sifat para nabi dan rasul. Allah mengutus mereka sebagai penyampai risalah sekaligus berita gembira tentang nikmat bila mereka menjawab ajakan tersebut. Allah SWT berfirman: “Mereka Kami utus selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS an-Nisaa’ [4] : 165).

Aktivitas berbagi bisyarah juga termasuk unsur tak terpisahkan dari akhlak Rasulullah SAW. Allah mengutusnya dengan kebenaran dan ditunjuk sebagai pembawa berita gembira. “Dan, Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.”

Kisah Dua Laki-Laki yang Meninggal dalam Keadaan Sholat

Salah seorang sahabat yang dikenal banyak beribadah. Disebutkan dalam riwayat setiap malam dia keluar dan memandang langit lalu bertafakur. Setelah itu pulang ke rumah dan sujud kepada Allah subhaanahu wa ta’aala. (Hilyatu Al-Auliya, 2/29)

Diriwayatkan dari Ismail bin Ubaidullah, dia berkata, ”Ketika Abu Al Khusyani dan Ka’ab duduk di antara kami, tiba-tiba Abu Tsa’labah berkata, ’Hai Abu Ishaq, tidaklah seorang hamba menghabiskan hidupnya untuk beribadah kepada Allah, kecuali Allah akan memenuhi segala kebutuhan hidupnya’.”

Khalid Muhammad Al Kindi -ayah Ahmad bin Khalid AI Wahbi mendengar Abu Zahrah berkata: Aku mendengar Abu Zahiriyah berkata: Aku mendengar Abu Tsa’labah berkata, ’Aku pernah memohon kepada Allah agar tidak mencekikku sebagaimana aku melihat kalian tercekik’.” (Hilyatu AI-Auliya, 2/3 I )

Seorang putrinya tiba-tiba terbangun dari tidur dan merasa ayahnya sudah meninggal. ”Bunda, di mana ayah?” ibunya menjawab, ”Di mushola.” Putrinya memanggil ayahnya tapi tak ada jawaban. Ayahnya ditemukan sedang sujud dan sudah wafat.

Kisah lain, tentang Musa bin Abu Musa Al-Asy’ari. Saat Musa beserta rombongan Al-Asbahani, ayah dan ibunya termasuk dalam rombongan itu melakukan perjalanan.

Mendadak ada seorang kafir berdiri di benteng pertahanan Abdullah bin Qais. Panah itu menancap di tubuh Musa bin Abu Musa ketika ia dalam kondisi sholat. Meski tampak kesakitan, tapi Musa tetap berusaha menyempurnakan sholatnya. Sampai pada gerakan sujud, ia sujud dalam waktu yang panjang. Ternyata itulah sujud terakhirnya. Musa meninggal dalam keadaan sujud.

Orang-orang menghampirinya dan perlahan mencabut anak panah yang tertancap di tubuhnya. Usai dibersihkan, dimandikan dan disholatkan, mereka menguburkannya bersama luka dan pakaiannya. [Thabaqaat al Muhadditsiin 1/239).

BERSAMA DAKWAH

Akhlak Mulia Mengantarkan ke Surga

DIRIWAYATKAN dari Abu Hurairahradhiyallahu anhu, beliau berkata:Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang sebab paling banyak yang mengakibatkan orang masuk surga? Beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlaq mulia.” Beliau juga ditanya tentang sebab paling banyak yang mengakibatkan orang masuk neraka, maka beliau menjawab, “Mulut dan kemaluan.”.(HR. Tirmidzi, dia berkata:Hadits hasan shahih.).

Akhlak mulia adalah ibadah yang agung, yang pahalanya sangat luar biasa. Mungkin bagi banyak orang yang mengamalkan akhlaq mulia, tidak menyadari betul ia mendapatkan pahala atas amal akhlak mulianya. Seakan-akan berakhlak mulia tidak berbeda dengan jika seseorang membaca Al Quan, atau berpuasa sunnah Senin dan Kamis, dan amalan lainnya, sangat mungkin ia menyadari bahwa ia mendapatkan pahala atas amalannya.

Padahal Allah Maha Tahu dan Maha Adil. Tatkala seseorang tersenyum ramah kepada saudara muslim, atau seorang suami bertutur kata lembut kepada isterinya, atau mungkin seorang ayah yang membelai kepala anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, itu semua adalah akhlak mulia yang mendatangkan pahala bagi pelakunya. Dan pahala, dengan rahmat Allah, akan mengantarkan pemiliknya kepada surga.

Nabi Muhammad shalallaahu alaihi wasallam sendiri diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak. Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya hanyalah aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik” (HR. Al-Bukhari, Ahmad, dan Hakim).

Innamaadalam hadits di atas bermakna membatasi, yakni dengan terjemahan hanyalah. Hal ini menunjukkan agama kita sangat menaruh perhatian terhadap akhlak. Terbukti dengan bertaburnya hadits Nabi shalallaahu alaihi wasallam yang berbicara tentang akhlak. Sebut saja hadits-hadits yang dihimpun Imam Bukhari dalam Kitab al Adabul Mufrab.

Dalam kitab Riyadlush Shalihin yang disusun oleh Imam Nawawi pun banyak bertebar hadits tentang adab. Begitu pula tentunya Kitabullah, Al Quran, banyak sekali kita temukan perintah Allah berkaitan dengan akhlak. Sebagai contoh adalah firman Allah Azza Wa Jalla, Serta ucapkanlah kata-katayang baik kepada manusia”.(al-Baqarah: 83). Dan, “Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang lebih baik (benar)”.(al-Isra: 53)

Lebih jelas lagi Nabi shalallaahu alaihi wasallam mengatakan tentang iman yang sempurna bagi seorang mukmin. Sabda beliau shalallaahu alaihi wasallam, “Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang akhlaknya paling baik di antara mereka, dan yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada isteri-isterinya. (HR. At-Tirmidzi (no. 1162), Ahmad (II/250, 472), Ibnu Hibban (at-Taliqaatul Hisaan alaa Shahiih Ibni Hibban).

Usia dan waktu kita di dunia ini tidak lama. Hanya dalam hitungan puluh tahun. Sangat langka manusia yang hidup dalam hitungan abad. Oleh karenanya kita harus memilah dan memilih amalan yang kita sanggup melakukannya. Sebab tak semua amalan yang ada dalam agama kita, akan dapat kita amalkan.

Tentu ada keterbatasan kemampuan dan ilmu sehingga kita tidak dapat mengamalkan satu dan banyak amalan lain. Mari tebarkan akhlak mulia kepada sekitar kita. Semoga Allah mempertemukan kita di surgaNya kelak bersama atau dekat dengan Nabi shalallaahu alaihi wasallam.

Allahu Alam.

 

INILAH MOZAIK

Bencana: Antara Fenomena Alam dan Iman

Sambungan artikel PERTAMA

Dalam hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah dan Abu Said r.a. kedua mereka berkata bahwa Rasulullah pernah bersabda : “Tiada sesuatu yang mengenai seorang mukmin berupa penderitaan atau kelelahan, atau kerisauan hati dan pikiran melainkan itu semua akan menjadi penebus dosa bagi orang tersebut.” ( Hadis riwayat Bukhari dan Muslim).

Bencana alam dan musibah itu  merupakan ujian keimanan berlandaskan pada hadis dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa pada suatu hari Rasulullah bertanya kepada para sahabat : “Apakah kamu termasuk orang yang beriman ? Sahabat yang mendengar pertanyaan itu semuanya  terdiam, dan tiba-tiba Umar bin Khattab menjawab : Ya Rasulullah, benar, kami ini orang yang beriman. Rasulullah bertanya lagi : “Apakah tanda kamu termasuk orang yang beriman ?. Sahabat segera menjawab : Tanda kami beriman ialah kami bersyukur jika mendapat nikmat, kami sabar jika mendapat musibah dan kami ridha dengan segala takdir dan ketentuan Allah.“(Hadis Riwayat Thabrani).

Oleh sebab itu,  dapat dikatakan bahwa iman itu mempunyai dua sendi, yaitu yakin dan sabar. Sebagaimana  dikatakan oleh Syahar bin Hausyab bahwa : “ Sesuatu yang paling sedikit yang diberikan kepada kamu adalah yakin dan sabar “. Artinya di dalam melihat sesuatu kejadian kita meyakini bahwa iu semua datang dari Allah dengan penuh kebaikan dan rahmatNya, oleh sebab itu kita harus menghadapinya bencana dan musibah itu dengan penuh kesabaran, sebab jika kita sabar dalam menghadapi  musibah dan bencana tersebut maka kita akan mendapatkan pahala, mendapatkan ampunan dosa, dan juga mendapatkan kenaikan pangkat dan kedudukan di depan Allah subhana wa ta’ala.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata dalam pidatonya;  “ Apa yang dianugerahkan Allah kepada seorang hamba daripada nikmat, lalu dicabutnya nikmat tersebut, dan kita menghadapinya  dengan sabar maka apa yang digantikan Allah tersebut (sabar) lebih utama daripada nikmat yang dicabutNya sebab pahala sabar itu merupakan pahala yang tidak terhingga “ kemudian dia membaca ayat : “Sesungguhnya  orang yang sabar itu akan disempurnakan Allah ganjaran pahala atas kesabaran tersebut dengan balasan  pahala yang tiada terhingga. “ (QS: az Zumar: 10).

Bencana membuat kita ingat kepada Allah atas segala dosa, kemaksiatan , kesombongan diri kita di depan Allah, dan bayangkan jika masyarakat yang berdosa tersebut dibiarkan dalam kemaksiatan maka bencana iman, bencana akidah akan lebih berbahaya bencana alam, sebab bencana alam hanya  berdampak kepada  kerugian dunia saja, sedangkan bencana iman dan agama akan memberikan kerugian di dunia dan akhirat yang merugikan kita untuk selama-lamanya. Oleh sebab itu, Khalifah Umar bin Khattab jika mendapat bencana alam, maka dia berkata : “ Tidaklah aku mendapat bencana melainkan ada padanya empat nikmat : (1) Bencana itu bukan bencana yang merusak agamaku, (2) Tiada terjadi bencana yang lebih besar daripadanya (3) Dengan bencana , aku mendapatkan sikap redha kepada takdirNya (4) Dengan bencana, aku bersabar dan mendapatkan pahala dari bencana tersebut.

Demikianlah pandangan muslim terhadap musibah dan bencana alam yang terjadi, dimana bencana alam dan musibah itu dapat menjadi sebuah peringatan Tuhan atas dosa dan kemaksiatan yang dilakukan, dan disisi lain, bencana alam juga  merupakan ujian keimanan bagi seorang hamba. Bagi mereka yang berdosa, musibah itu merupakan peringatan, sedang bagi mereka yang tidak berdosa, maka musibah itu merupakan ujian iman, dan kematian mereka merupakan kematian yang mulia, syahid dan itu lebih baik daripada hidup bergelimang dengan maksiat dan dosa.  Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari setiap musibah dan bencana yang terjadi. Fa’tabiru Ya Ulil albab.*

 

Oleh: Dr Muhammad Arifin Ismail, Penulis, Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Kuala Lumpur – Malaysia periode 2011 – 2013

HIDAYATULLAH

Bencana: Antara Fenomena Alam dan Iman

BANYAK orang berkata bahwa bencana alam itu adalah hanya sebuah bencana yang harus terjadi sebab bencana alam seperti gempa dan lain lain, itu merupakan sebuah proses dari fenomena alam itu sendiri, tanpa ada hubungan dengan perbuatan manusia atau takdir Tuhan. Ini merupakan pendapat dan pemahaman bencana alam dari pandangan sekuler atau pemahaman orang yang tidak percaya dengan kewujudan dan kekuasaan Tuhan (paham Atheis ) yang banyak diikuti oleh masyarakat pada dewasa ini.

Ada lagi yang berpendapat bahwa bencana alam itu sebagai tanda marahnya alam terhadap manusia, sehingga untuk memadamkan kemarahan alam tersebut, diperlukan sesajen (sajian khas untuk alam)  dan memberikan sesuatu sebagai persembahan kepada alam, seperti memberikan kepala sapi, kepada laut atau gunung, dan lain sebagainya. Ini adalah pandangan orang yang masih terpengaruh dengan ajaran animisme atau dinamisme dan merupakan perbuatan syirik.

Dalam pandangan hidup  Islam, setiap apapun yang terjadi di atas permukaan bumi  semuanya tidak terlepas dari takdir dan perbuatan Tuhan, sebagaimana firman Allah:

وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ

“Dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata “ Lauhul Mahfudh.“ (QS: Al An’am : 59) .

Oleh sebab itu, sebagai seorang mukmin kita harus meyakini bahwa setiap  bencana dan musibah adalah perbuatan Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Disamping itu kita juga meyakini bahwa dalam setiap bencana atau musibah dan apa saja yang  terjadi itu merupakan takdir ilahi yang mempunyai maksud dan tujuan tertentu sebab tidak ada kejadian di muka bumi ini terjadi dengan sia-sia tanpa kebaikan dan tujuan tertentu.

“Dan (ingatlah) bahwa  Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta segala yang ada di antaranya, secara main-main. (QS. Al Anbiya/21 : 16 / QS. ad Dukhan/44 : 38).

Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada sesuatu kejadian yang terjadi tanpa ada maksud dan tujuan yang dimaksudkan oleh Allah Subhana wa taala. Berarti dalam konsep Islam, tidak ada sesuatu yang terjadi karena kebetulan, tetapi semua tejadi dengan takdir Tuhan. Demikian pula dengan setiap bencana alam yang terjadi, baik itu gempa, banjir, dan lain sebagainya, semua itu terjadi dengan takdir Tuhan yang memiliki maksud dan tujuan tertentu, bukan sekedar kejadian alam semata-mata.

Setiap bencana alam merupakan takdir Ilahi, dan segala takdir yang terjadi merupakan perbuatan Tuhan yang Maha Mengetahui, dan Maha Bijaksana. Berarti dalam setiap bencana yang terjadi terdapat kebaikan dan rahmat Ilahi.

Oleh sebab itu Rasulullah ﷺ melarang umatnya untuk mencaci maki  taqdir seperti musibah atau kejadian apapun yang telah terjadi, sebagaimana dinyatakan dalam hadis : “Janganlah kamu menuduh Allah dengan suatu tuduhan yang tidak baik pada setiap kejadian yang sudah ditaqdirkanNya“. (Hadis Riwayat Imam Ahmad ).

Bencana alam atau musibah  juga dapat merupakan peringatan Allah kepada manusia agar segera kembali kepadaNya.

فَلَمَّا نَسُواْ مَا ذُكِّرُواْ بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُواْ بِمَا أُوتُواْ أَخَذْنَاهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ

Pada waktu mereka lupa atas apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami akan bukakan bagi mereka semua pintu-pintu segala sesuatu, dan apabila mereka bergembira dengan apa ( nikmat ) yang datang kepada mereka, Kami akan ambil apa yang telah Kami berikan tersebut, dan mereka akan gagal sepenuhnya. “ (QS. Al An’am : 44 ).

 

Peringatan Allah berupa bencana dan musibah itu dapat terjadi disebabkan manusia telah lupa dengan perdoman hidup sehigga manusia berbuat dosa dan kemaksiatan tanpa mengingat perintah dan laranganNya. .“Dan tidaklah suatu musibah itu terjadi, melainkan akibat perbuatan manusia itu sendiri. “ (QS. An Nisa : 79 ). Dalam ayat  lain dinyatakan, “Maka apa saja musibah dan bencana yang menimpa kamu itu semua merupakan perbuatan kamu sendiri, dan Allah telah memaafkan sebagian besar dari kesalahan kamu. “ (QS al Syura : 30 ).

Bencana dan musibah itu sebagai peringatan Tuhan kepada sekelompok manusia yang melakukan kemaksiatan, kedzaliman, dan dosa-dosa lainnya. Tetapi musibah itu terjadi bukan hanya kepada mereka yang berbuat dosa dan dzalim, tetapi juga kepada semua orang dan masyarakat, baik yang berbuat dosa atau tidak berbuat dosa.

وَاتَّقُواْ فِتْنَةً لاَّ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمْ خَآصَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan takutlah kamu kepada bencana yang akan terkena bukan saja kepada orang yang dzalim diantara kamu, dan ketahuilah Allah itu maha keras dalam memberikan balasan. “ (QS. al Anfal : 25 ).

Oleh sebab itu, dapat kita katakan bahwa bagi orang yang berbuat dosa, maka bencana alam itu merupakan peringatan Tuhan, sedangkan bagi orang yang tidak berbuat dosa, maka bencana itu merupakan ampunan dosa  dan  peluang pahala.

Ada yang berkata bahwa jika bencana alam itu merupakan azab dan peringatan bagi orang yang bermaksiat dan berdosa, mengapa ada orang yang berdosa di tempat lain tidak mendapat bencana, malah mereka hidup terus dalam kesenangan. Bagi orang yang berbuat dosa tetapi tidak terkena bencana maka itu merupakan suatu “istidraj”, sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran.

فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِم بِعِلْمٍ وَمَا كُنَّا غَآئِبِينَ

Dan orang yang mendustakan ayat-ayat Kami maka kami akan biarkan mereka ( istidraj ) dalam pendustaan tersebut sehingga suatu saat Kami akan beri balasan atas perbuatan mereka itu  tanpa mereka sadar atas kesalahan mereka tersebut. “ (QS. al A’raf : 7 ).

 

Mereka yang berbuat maksiat dan kedzaliman, tetapi Tuhan biarkan dan tidak diberi peringatan sampai suatu saat terakhir nanti Tuhan berikan balasan langsung. Sedang bagi orang yang melakukan kemaksiatan dan diberi peringatan dengan musibah dan bencana,  berarti Allah masih sayang kepada mereka, masih mengajak mereka agar kembali kepadaNya dengan bencana dan musibah yang ditakdirkannya.

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang yang  berkata : Sesungguhnya kami ini adalah milik Allah dan kembali kepadaNya “Inna lillahi wa inna ilahi rajiun. “ (QS. al Baqarah : 155-156).

Oleh itu dapat dikatakan bahwa musibah itu memiliki dua sisi. Pada suatu sisi, musibah itu merupakan peringatan Tuhan atas perbuatan manusia, sedangkan disisi yang lain musibah itu merupakan ujian keimanan agar kita bersabar, dan dalam kesabaran itu terdapat pahala dan kebaikan bagi manusia.

Allah telah berfirman: “

“Kami jadikan kebaikan dan keburukan itu untuk menjadi ujian bagi kamu. “ (QS. Al Anbiya : 35 ). << (Bersambung)>>

 

Oleh: Dr Muhammad Arifin Ismail

HIDAYATULLAH

Tidak Ada yang kebetulan dalam Hidup

Kita yang sering kita mengucapkan tanpa sengaja, seolah-olah hidup tidak jelas juntrungan.Padahal, hadirnya saya, Anda dan kita semua  di suatu tempat bukanlah sebuah kebetulan.

Ini pula yang menjadi keyakinan saya setiap kali mengunjungi Masjidil Haram. Berjalan di antara tiang tiangnya yang megah, bersandar di salah satu pojok, berjalan dan berlari dari Safa dan Marwah, thawaf-mengelilingi 7 kali putaran Baitullah, hingga berebut untuk sekedar menumpahkan tangis di depan multazam dan puncaknya diberi kesempatan mencium Hajar Aswad.

Itu bukan sebuah kebetulan! Bahwa setiap detik berlalu, Allah Azzawajalla menghendaki ada di mana kita saat itu, sedang apa, bertemu siapa. Tentu hal ini jangan menjadi alasan ketika berbuat maksiat menjadi sebuah justifikasi bahwa semua terjadi atas kehendakNYA.

Tidak ada perbuatan mungkar yang diperintahkan oleh Allah. Tapi hukum dan ketentuanNYA akan berlaku saat syarat dan kondisi dipenuhi sesuai apa yang telah digariskanNYA.

Apa yang dialami Ali Al Awadhi di tahun 1941 adalah bagian dari kehendakNYA yang berlaku khusus. Dan termasuk kejadian yang sangat unik dan tidak pernah terjadi lagi sesudahnya.

Pria asal Bahrain itu menjadi terkenal setelah sebuah kamera menangkapnya melakukan tawaf (mengelilingi Ka’bah), saat banjir menyebabkan Ka’bah dikepung air.

Gambar-gambar dokumen 77 tahun yang lalu yang pernah dimuat Koran Arab menunjukkan ketinggian air lebih dari satu meter, di depan Maqam Ibrahim.

Dikabarkan, ketika itu Kota Makkah mengalami hujan deras berhari-hari dan terus menerus tiada henti. Toko-toko, kendaraan, binatang ternak, hingga manusia tersapu banjir.  Di sekitar Baitullah adalah dataran yang paling rendah maka wajar jika air hujan mengalir dan Masjidil Haram kebanjiran.

Tempat Sa’i hingga setinggi dada. Baitullah sendiri terendam hingga ketinggian air mencapai 6 kaki.  Semua menyingkir dan mencari tempat perlindungan. Lalu di sinilah kekhususan kisah Al Awadhi  yang melegenda.

Saat itu usianya masih remaja dan masih berstatus sebagai pelajar. Al Awadhi  sendiri  saat itu rakyatnya dikenal sebagai nelayan. Kemampuan berenang Al Awadhi  tidak diragukan. Saat Masjidil  Haram banjir dan tergenang air hujan, Al Awadhi  yang berhajat hendak tawaf tidak pantang mundur.

Al Awadhi  memulai thawafnya bukan dengan berjalan atau berlari tapi berenang. Beberapa kawannya mencoba mengikuti tapi semuanya tidak mampu menyelesaikan thawaf seperti AL Awadhi  hingga sempurna 7 putaran thawaf dengan berenang di kedalaman air 6 kaki.

Sungguh pun demikian, Al Awadhi  sebenarnya takut melanjutkan thawaf karena para polisi keamanan melarangnya. Apalagi dengan ancaman senjata. Al Awadhi  juga sempat dicurigai hendak mencuri batu hajar Aswad.

Qadarullah, Awadhi  akhirnya satu-satunya jamaah yang thawaf sambil berenang dalam sejarah hingga hari ini. Ini menjadi sesuatu yang teramat istimewa.

Bayangkan, jika setiap hari ribuan kaki mengelilingi Baitullah maka pada hari itu hanya Al Awadhi  yang diperkenankan Allah thawaf mengelilingi Baitullah, sendirian. Seolah hari itu adalah spesial baginya dan bagi umat Islam lainnya sepanjang zaman.

Pemandangan thawaf dengan berenang adalah bentuk ibadah yang sangat langka. Dalam sejarah, Makah telah banyak mengalami banjir besar, tetapi menurut sejarawan, tidak pernah ada kasus seseorang jamaah mau-maunya berenang, kecuali  kasus Al Awadhi.

“Saya adalah seorang pelajar di Makkah pada saat ketika kota suci itu menyaksikan hujan lebat selama hampir satu minggu tanpa henti sepanjang siang dan malam, mengakibatkan banjir bandang menyapu semua bagian kota suci. Saya melihat beberapa orang, kendaraan dan hewan hanyut oleh banjir bandang dan beberapa rumah dan toko tergenang, ” ujar Al Awadhi mengatakan kepada televisi Al-Rai Kuwait pada 2013.

“Saya memiliki perasaan sukacita dan ketakutan yang bercampur saat mengelilingi Ka’bah. “Saya mengalami sukacita memiliki kesempatan besar untuk melakukan ibadah dengan cara yang unik di sisi lain perasaan ketakutan bahwa polisi mungkin menembak saya dari senapannya karena tidak menaati dia, tetapi kemudian saya menemukan bahwa tidak ada peluru di pistolnya,” ujarnya dikutip Tribune.PK.

Al-Quran mengatakan;

ى يُدَبِّرُ الأَمْرَ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لَعَلَّكُم بِلِقَاء رَبِّكُمْ تُوقِنُونَ

“..Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.” [QS: Ar Rad: 2]

 

Dalam surat lain Allah Subhanahu Wata’ala juga mengatakan;

أَتَى أَمْرُ اللّهِ فَلاَ تَسْتَعْجِلُوهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Telah pasti datangnya ketetapan Allah, maka janganlah kamu minta agar disegerakan datangnya.” [QS: An Nahl:1]

Apa yang menjadi buah tafakur soal cerita ini adalah bukan siapa Al Awadhi , darimana asalnya, umur berapa, gaya apa berenangnya. Bukan itu. Toh ia sudah meninggal pada tahun 2015 lalu.

Fokus dari kejadian ini adalah, semakin kuat menghadapi ujian, istiqamah pada ketaatan, lurusnya niat serta berani mengambil resiko tentu akan membuahkan hasil bahwa kita adalah hamba Nya yang terpilih. Seperti Al Awadhi. Sebab hidup bukanlah sebuah kebetulan.*/Bang Jay (MakkahBackpaker)

 

HIDAYATULLAH

Mari Bersama ke Taman Surga!

UNTUK menikmati keindahan taman Surga, tak mesti menunggu terlebih dahulu ke negeri akhirat. Oke memang taman Surga di akhirat adalah bagian dari Surga haqiqi, namun menurut sabda nabi, di dunia ini ada yang disebut taman Surga.

Suatu ketika, Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu mendengar Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ

“Jika kamu melewati taman-taman Surga, maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya,”Apakah taman-taman Surga itu?” Beliau menjawab,”Halaqah-halaqah (kelompok-kelompok) dzikir.” (HR. Tirmidzi)

Perhatikan diksi yang dipakai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Halaqah-halaqah (lingkaran-lingkaran majlis) zikir disebut beliau sebagai taman Surga. Bila umatnya melihat forum-forum seperti itu, maka segeralah singgah dengan nyaman di kelompok itu, karena sejatinya itu bagian dari taman Surga.

Kata “farta’u” secara bahasa berarti seorang penggembala membiarkan gembalaannya dengan nyaman di padang rumput untuk menikmatinya. Maka, majelis semacam ini tentu saja mengandung hal-hal yang menyejukkan bagaikan taman Surga. Tidak ada saling caci; saling kutuk; saling hina dengan mejelis lain –yang masih dalam koridor Ahlus Sunnah– yang sebenarnya sama-sama memeluk Islam.

Ketika mengemukakan hadits tersebut, Ibnu Qayyim dalam kitab “Miftaah Daar al-Sa’aadah” (1/118) bahwa Allah memiliki malaikat-malaikat khusus yang berkeliling mencari halaqah-halaqah zikir. Ketika mereka sudah menjumpainya, maka mereka segera berbaris dengan sangat rapi. Tentu saja, bukan hanya berbaris yang dilakukan, tapi juga mendoakan dan memintakan rahmat Allah atas mereka.

Ini sesuai dengan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

إنَّ للهِ تَعَالَى مَلائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أهْلَ الذِّكْرِ ، فِإِذَا وَجَدُوا قَوْمَاً يَذْكُرُونَ اللهَ – عَزَّ وَجَلَّ ، تَنَادَوْا : هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ ، فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِم إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا

“Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling jalan-jalan mencari ahli dzikir. Jika mereka menemukan satu kaum yang sedang mengingat Allah, mereka berseru, ‘Marilah kalian menuju kebutuhan kalian.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Lalu para malaikat itu mengelilingi mereka dengan sayap-sayapnya sampai langit dunia.” (HR. Bukhari, Muslim)

Lantas, apakah yang dimaksud dengan halaqah tersebut adalah sebatas majelis zikir? Menyitir pendapat Atha’, yang disebutkan oleh al-Khatib dalam kitab “al-Faqīh wa al-Mutafaqqih” bahwa maksudnya adalah majelis –yang di dalamnya terkandung masalah– halal-haram seperti urusan jual-beli, puasa, shalat, sedekah, nikah talak, haji dan lain sebagainya.

Membaca penjelasan dari Atha’, halaqah zikir yang disebut oleh nabi sebagai taman Surga, tidak menutup kemungkinan juga menyangkut majelis ilmu. Buktinya, ada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang terdapat dalam kitab “al-Mu’jam al-Ausath” karya Thabrani Rahimahullah:

إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا ، قَالُوْا : يَارَسُوْلَ اللَّهِ ، وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ ؟ قَالَ : مَجَالِسُ الْعِلْمِ . (الطبرانى)

“Apabila kamu melewati taman-taman Surga, minumlah hingga puas. Para sahabat bertanya,”Ya Rasulullah, apa yang dimaksud taman-taman Surga itu?” Nabi  menjawab,”majelis-majelis ta’lim.” (HR. Al-Thabrani)

Pada hadits tersebut, yang dimaksud dengan taman Surga adalah juga majelis ilmu. Majelis semacam ini tidak berlebihan jika disebut sebagai taman Surga. Karena di dalamnya terkandung aktivitas yang subtansinya adalah mengingat Allah, mempelajari syariat-syariatNya dan berbagai aktivitas baik yang berkaitan dengannya.

Dalam suatu hadits bahkan bukan hanya malaikat yang mendoakan mereka; penduduk langit, penduduk bumi, semut dan ikan di lautan pun juga turut mendoakan mereka yang berada dalam mejelis yang disebut nabi sebagai taman Surga. Sabda beliau:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ

“Sesungguhnya Allah,para malaikat Nya,penduduk langit dan bumi sampai pun semut di sarangnya dan ikan di lautan turut mendoakan kebaikan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.”  (HR. Tirmidzi)

Menurut keterangan lain, yang masuk dalam kategori taman Surga adalah masjid Nabawi. Sebagaimana sabda beliau:

مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ وَمِنْبَرِي عَلَى حَوْضِي

“Diantara rumahku dan mimbarku adalah taman-taman sorga, dan mimbarku diatas Telaga Haudh.” (HR. Bukhari)

Tidak menutuk kemungkinan juga masjid-masjid Allah secara umum sebagaimana sabdanya: “Tidaklah suatu kaum berkumpul disalah satu rumah dari rumah-rumah Allah, membaca Al-Qur`an dan mempelajarinya bersama-sama kecuali  akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat dan dikelilingi oleh para malaikat, kemudian Allah akan  menyebut-nyebut mereka di antara mereka yang berada di sisi Allah.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Dari beberapa hadits tersebut, sedikit banyak pembaca bisa mendapat pencerahan, bahwa setiap kumpulan yang di dalamnya berisi kegiatan yang mengingat Allah, saling belajar mengenai ayat-ayat Allah dan kegiatan baik lainnya adalah bagian dari Taman Surga yang perlu disinggahi. Artinya didukung dan diikuti selama tidak menyalahi petunjuk Allah dan nabi.

Namun, sekali lagi, yang menjadi catatan penting, karena itu disebut taman Surga, maka seyogianya kegiatan di dalamnya adalah kegiatan yang menyejukkan, mendamaikan, membuat harmoni antara muslim yang satu dengan muslim yang lain karena pada hakikatnya mereka adalah saudara. Karena, Surga bukan hak kelompok muslim tertentu, semua muslim berhak mendapatkan Surga asal sesuai dengan koridor syariat. Jadi, mari bersama ke taman Surga.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Surga Tempat Pedagang Jujur

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: « التَّاجِرُ الأَمِينُ الصَّدُوقُ الْمُسْلِمُ مَعَ الشُّهَدَاءِ – وفي رواية: مع النبيين و الصديقين و الشهداء –  يَوْمَ الْقِيَامَةِ » رواه ابن ماجه والحاكم والدارقطني وغيرهم

“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah  bersabda, “Seorang pedagang Muslim yang jujur dan amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang syahid pada hari kiamat (di Surga).”

HR Ibnu Majah (no. 2139), al-Hakim (no. 2142) dan ad-Daraquthni (no. 17), dalam sanadnya ada kelemahan, akan tetapi ada hadits lain yang menguatkannya, dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, HR at-Tirmidzi (no. 1209) dan lain-lain.*

HIDAYATULLAH

Jalan Masuk Setan ke Dalam Diri Manusia

SETAN adalah musuh yang nyata.
Maka perangilah setan itu.

Bagaimana cara memerangi setan?
Dengan cara memahami dan mengetahui jalan-jalan setan masuk ke dalam diri.

Apa jalan-jalan setan itu?
Ialah mazmumah atau sifat-sifat buruk dalam diri.

Sebagai contoh ialah sifat hasad atau dengki.
Ketika seseorang dengki pada orang lain, ia akan buruk sangka.
Buruk sangka bisa mendatangkan dosa ghibah (menggunjing) bahkan namimah (adu domba).

Lebih jauhnya lagi adalah membuat tuduhan palsu atau memfitnah.
Lebih jauhnya lagi dosa lahir menyakiti, mencelakakan bahkan menghabisi nyawa orang lain.

Bakhil juga termasuk mazmumah dalam diri.
Bagaimana cara mendidik diri dari sifat bakhil?
Hendaklah memberi di saat susah dan senang. Di waklu lapang dan sempit.
Di waktu miskin dan kaya. Di saat berlebih dan kekurangan.

Jika memberi di saat berlimpah rezki itu cari fadhilat atau pahala.
Tapi memberi di saat rasa diri sedang kekurangan dan juga memerlukan, maka di dalamnya ada didikan.
Didikan untuk nafsu, nafsu memang tidak suka kesusahan.
Namun itulah cara mendidiknya

 

INILAH MOZAIK

Kebanyakan Orang-orang Saleh Punya Firasat Tajam

DICERITAKAN bahwa Imam Syafii dan Muhammad bin al-Hasan pernah melihat seorang laki-laki. Imam Syafii berkata, “Sesungguhnya lelaki itu adalah seorang tukang kayu.” Sedangkan Muhammad bin al-Hasan berkata, “Sesungguhnya lelaki itu adalah seorang pandai besi.”

Lantas keduanya bertanya kepada lelaki tersebut tentang profesinya. Lalu di menjawab, “Dulu saya seorang pandai besi dan saya sekarang tukang kayu.”

Seorang laki-laki dari ahli Alquran bertanya kepada seorang ulama, lalu sang ulama berkata kepadanya, “Duduklah, sungguh saya mencium dari perkataanmu bau kekufuran.” Setelah itu, lelaki tersebut dimimpikan memeluk agama Nasrani waliyadzu billah. Lantas ditanyakan kepadanya, “Apakah engkau hafal sebagian dari Alquran?” Dia menjawab, “Saya tidak hafal Alquran kecuali hanya satu ayat, yaitu firman Allah Subhanahu wa Taala: “Orang kafir itu kadang-kadang (nanti di akhirat) menginginkan, sekiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang muslim.” (QS. Al-Hijr: 2)

Abu Said al-Kharraz berkata, “Saya pernah melihat seorang lelaki fakir di Masjidil Haram. Dia tidak memiliki apa-apa selain pakaian untuk menutupi auratnya, lalu saya menghindar dan menyingkir darinya. Lantas dia berfirasat tentang aku dan berkata:

“Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 235)

Saya pun menyesal atas tindakanku tersebut dan saya beristighfar. Lalu dia berkata,

“Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Asy-Syura: 25) []

Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1

INILAH MOZAIK