Inilah Penyakit-penyatik Hati yang Menjangkiti Para Pendebat

DI ANTARA kita sudah tidak merasa asing dengan istilah debat, sementara agama kita (Islam), senantiasa mengingatkan adanya penyakit-penyakit hati yang menjangkiti pada pendebat. Bagaimana para ulama melihat masalah ini?

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوتُوا الجَدَلَ (رواه الترمذي (3253), 5/ 232, وقال: هذا حديث حسن صحيح

Artinya: Dari Abu Umamah ia berkata,”Rasulullah ﷺ bersabda,’Tidaklah tersesat suatu kaum setelah adanya petunjuk yang mana mereka di atasnya, kecuali ketika mereka disibukkan oleh perdebatan.” (Riwayat At Tirmidzi [3252], 5/232, dan ia berkata,”Hadits ini hasan shahih”).

Dari hadits di atas, nampaklah bahwasannya menyibukkan diri dalam perdebatan merupakan hal yang tercela. Dengan menyibukkan diri dalam perdebatan kebanyakan manusia lalai untuk mengamalkan ilmu.

Padahal tujuan ilmu untuk diamalkan, bukan untuk menunjukkan kehebatan dalam berdebat. Sedangkan Imam Al Auzai pernah berkata,”Jika Allah Ta’ala menghendaki keburukan kepada suatu kaum, maka Ia membuka kepada mereka pintu-pintu perdebatan dan mencegah mereka dari pangamalan.” (dalam Iqtdha`  Al Ilmi wa Al Amal, ha. 122).

Imam Al Ghazali menjelaskan bahwasannya perdebatan yang bertujuan untuk mengalahkan lawan debat dan membungkam mereka, juga dalam rangka pamer akan ilmu yang dimiliki, yang menyebabkan terjangkitnya beberapa penyakit hati, di antaranya:

Hasad

Pendebat, terkadang menang atau kalah. Terkadang ada yang memujinya, terkadang pujian diberikan untuk lawannya. Kondisi semacam ini bisa menimbulkan rasa hasad pada hatinya, menginginkan agar lawannya kehilangan nikmat, termasuk ilmu, kesempatan atau nikmat lainnya. (Ihya Ulumiddin, 1/169).

Takabbur dan Riya`

Mereka yang suka berdebat dengan tujun menonjolkan diri akan terjangkit penyakit takabbur. Dia akan berusaha merendahkan lawan debatnya, dan meninggikan dirinya sendiri di hadapan orang lain.

Kadang ia memberikan pernyataan bahwa lawannya bodoh, tidak paham atau memiliki sedikit ilmu. Di samping itu, penyakit riya` juga sering menjangkiti mereka, karena ingin menampakkan apa yang ia rasa sebagai kelebihan kepada manusia. (dalam Ihya Ulumiddin, 1/170).

Memuji Diri Sendiri

Pendebat sering kali menyanjung dirinya sendiri di saat berdebat. Kadang ia mengatakan, ”Saya menguasa ilmu ini…”, “Saya hafal hadits ini…” Hal itu dilakukan untuk mempromosikan apa yang ia sampaikan. (dalam Ihya Ulumiddin, 1/170).

Ghibah

Yang kadang tidak bisa dihindarkan dari pendebat yang didasari niat yang salah adalah menceritakan dan menyebarkan kelemahan dan kekurangan lawannya kepada pihak lain. Orang seperti itu terkadang menisbatkan lawan debatnya kepada kebodohan. Kedunguan serta minimnya pemahaman. (Ihya Ulumiddn, 1/172).

Tajassus (Mencari-cari Aib)

Mancari aurat manusia, sering kali dilakukan pendebat terhadap lawannya. Terkadang ia mencari informasi sampai ke negeri di mana lawannya tinggal, untuk mencari hal-hal buruk darinya, yang ia simpan pengetahuan itu untuk dijadikan bekal menjatuhkannya. (Ihya Ulumiddin, 1/173).

Nifaq

Yang dimaksud di sini adalah perbuatan dhahir pendebat yang bertentangan dengan apa yang ada di dalam hati. Pendebat biasanya basa-basi, memperlihatkan keramahan dan kegembiraan jika bertemu dengan lawannya, namun sejatinya dalam hatinya terbesit kebencian yang cukup besar. (dalam Ihya` Ulumiddin, 1/173, 174).

Bergembira dengan Kesalahan Orang Lain

Setiap orang yang berdebat untuk menonjolkan diri maka otomatis kesalahan yang menimpa lawan debatnya membuat orang itu senang. Padahal hakikat ilmu menumbuhkan kasih sayang. Imam Asy Syafi’i berkata,”Ilmu bagi orang-orang berakal dan orang-orang yang memiliki keutamaan adalah kasih sayang yang bersambung.” Sedangkan bagi mereka ilmu justru yang menyebabkan pemutusan persaudaraan. (dalam Ihya` Ulumiddin, 1/174).

Imam Asy Syafi’i juga berkata, “Ketika aku mendebat seseorang aku tidak menginginkan dia jatuh kepada kesalahan.” (Tawaliy At Ta’sis, hal. 65),

Di kesempatan lainnya, Imam Asy Syafi’i juga pernah berkata,“Aku berdebat tidak untuk menjatuhkan orang.” (Tahdzib Al Asma Wa Al Lughat, 1/66).

Sombong terhadap Kebenaran

Dan yang paling dimurkai dari perdebatan adalah, jika nampak olehnya kebenaran dari lisan lawan debatnya, maka ia berusaha untuk mengingkarinya dengan pengingkaran yang kuat. (Ihya Ulumiddin, 1/175)

Adalah Qadhi Ibnu Absin, di mana suatu saat ia berselisih dengan seorang ulama Al Faqih Muhammad bin Umar Bahraq. Perselisihan berlangsung lama hingga persoalan itu terkenal di kalangan masyarakat. Hingga akhirnya datanglah Qadhi Ibnu Absin kepada Al Faqih Bahraq dengan membawai kitab Raudhah Ath Thalibin karya Imam An Nawawi dan menunjukkan permasalahannya.

Setelah itu Al Faqih Bahraq akhirnya memilih meninggalkan pendapatnya dan mengikuti pendapat Qadhi Ibnu Absin kemudian beliau pun naik ke atas mimbar seraya menyampaikan,”Ketahuilah, bahwa sesungguhnya persoalan yang aku berselisih atasnya dengan Qadhi Ibnu Absin, aku mendapati kebenaran ada padanya.”

Al Allamah Abdul Qadir Al Aidrus menyatakan bahwa hal ini menunjukkan ketawadhuan Al Faqih Bahraq dan pengakuan beliau akan kebenaran, dan ini amatlah berat dilakukan kecuali bagi mereka yang memperoleh taufiq dari Allah. (Nur As Safir, hal. 79).*

HIDAYATULLAH

Kuningan Kekurangan Dai Pembina Mualaf

Pembinaan agama terhadap mualaf sangat penting untuk menguatkan akidah mereka.

Dai pembina mualaf di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat saat ini jumlahnya masih minim. Padahal, para mualaf membutuhkan pembinaan usai bersyahadat.

Ketua Program Mualaf Center Baznas (MCB) Kabupaten Kuningan, Suhro menyebutkan saat ini hanya memiliki dua dai pembina mualaf yang disebut dengan istilah ‘dai rawan akidah’. Kedua dai tersebut ditempatkan di Blok Cibunut, Desa Cirukem, Kecamatan Garawangi dan Desa/Kecamatan Subang.

Suhro menjelaskan, kedua dai itu bertugas membina para mualaf di kedua desa tersebut. Mereka pun diharuskan tinggal menetap agar lebih optimal dalam memberikan pembinaan dan penguatan akidah para mualaf.

KHAZANAH REPUBLKA

Ini Kalangan dari Etnis China yang Banyak Jadi Mualaf

Hanya sedikit etnis China pengusaha yang jadi mualaf.

Ketua Yayasan Haji Karim Oei dan juga Ketua Masjid Lautze, Ali Karim, mengatakan, kriteria mualaf etnis China di Indonesia berasal dari kelas pekerja. Hanya segelintir kecil saja yang berasal dari kelas pengusaha besar.

“Yang jadi mualaf (dari etnis China) itu kebanyakan kelas pekerja. Ada pengusaha, pengusaha besar ya, itu paling hanya satu dua (segelintir kecil),” kata Ali saat dihubungi Republika, Jumat (12/2).

Dia mengakui bahwa pertumbuhan populasi masyarakat Muslim beretnis China ini terus meningkat dengan kriteria yang berbeda jika dibandingkan dengan 10 atau 50 tahun lalu. Di era generasi ayahnya (Haji Karim Oei 1905-1988), Ali mengatakan bahwa populasi Muslim China berasal dari rentang usia yang relatif tua.

Biasanya, kata Ali, di masa lampau kriteria masyarakat Muslim China sudah terlalu berumur. Mereka yang telah pensiun itu pun, kata dia, sudah cukup kuat secara finansial dan kemudian mulai mencari-cari agama serta keyakinan yang mereka yakini dapat menemani akhir-akhir masa hidup mereka.

Namun demikian di masa kini, kata Ali, kriteria Muslim China dan juga para mualaf didominasi oleh kalangan usia pekerja dan mahasiswa. “Sekarang itu sudah banyak sekali mualaf dari kalangan mahasiswa, jadi banyak yang muda-muda justru yang jadi Islam,” kata Ali.

Pembina Masjid Lautze 2 Bandung Hernawan Mahfudz mengatakan, di Bandung pun mualaf etnis China didominasi dari kalangan pekerja. Rentang usia mereka, kata Hernawan, juga berasal dari kalangan muda di kelas pekerja dan mahasiswa.

KHAZANAH REPUBLIKA

Menghadapi Pelaku Maksiat, Bagaimana Sikap Kita?

Islam mengajarkan adab menghadapi pelaku maksiat

Dalam kehidupan orang-orang yang beriman, pasti akan menemui sebagian orang yang hidup dalam kemaksiatan. Namun seperti apa sikap yang harus dilakukan?

Dikutip dari laman Saaid pada Sabtu (27/2), yang diambil dari buku karya Imam Masjid Nabawi, Abdul Muhsin Bin Muhammad Al Qasim berjudul Langkah Pasti Menuju Bahagia, orang beriman hendaknya tetap berada dalam jalan ketaatan. Allah SWT berfirman:

اِنَّ الَّذِيۡنَ اتَّخَذُوا الۡعِجۡلَ سَيَنَالُهُمۡ غَضَبٌ مِّنۡ رَّبِّهِمۡ وَذِلَّـةٌ فِى الۡحَيٰوةِ الدُّنۡيَا‌ ؕ وَكَذٰلِكَ نَجۡزِىۡ الۡمُفۡتَرِيۡنَ “Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan (patung) anak sapi (sebagai sembahannya), kelak akan menerima kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebohongan. (QS Al-A’raf: 152).

Sementara itu, dalam sebuah hadits disebutkan, جُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي “Dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi siapa yang menyelisihi perkaraku.” (HR Bukhari). Allah SWT menyebutkan, orang yang taat mereka lebih dihargai dan dihormati:

وَلِلّٰهِ الۡعِزَّةُ وَلِرَسُوۡلِهٖ وَلِلۡمُؤۡمِنِيۡنَ “Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin.” (QS Al-Munafiqun: 8). 

Maka jika Anda orang yang beriman, janganlah memusuhi orang yang tidak taat kepada Allah SWT. Nasihati mereka dengan penuh kebijaksanaan dan kelemahlembutan. Selain itu juga tetap berdoa agar mereka mendapatkan hidayah dari-Nya.

Sumber: saaid

KHAZANAH REPUBLIKA

Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya (Bag. 3)

Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Mukmin adalah Cermin bagi Saudaranya (Bag. 2).

Bismillah wal hamdulillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du.

Pada penjelasan sebelumnya telah kami jelaskan sikap seorang mukin terhadap saudarnaya yang seiman: (1) memantulkan rupa dengan tampilan yang halus; (2) menampakkan rupa hanya saat kamu berada di depannya.

Pada artikel ini akan kami lanjutkan penjelasan beriktunya.

(Lanjutan) sikap seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman

Ketiga, jernih sehingga menampakkan aibmu dengan jelas, lalu “diam”

Diantara sifat cermin adalah jernih sehingga menampakkan aibmu dengan jelas, lalu “diam”, tanpa membesarkannya, tanpa mengecilkannya dan tanpa memperburuknya, demikian pula seorang mukmin terhadap saudaranya. Mengapa cermin bisa memantulkan gambar sesuatu yang ada dihadapannya?

Diantara sebab utamanya adalah kejernihan cermin, karena cermin yang tertutupi kotoran tidak bisa memantulkan gambar dengan sempurna atau bahkan tidak bisa memantulkan gambar sama sekali.

Demikianlah sosok seorang mukmin yang baik dalam menasehati saudaranya, seperti jernihnya cermin.

Hatinya bersih, tidak ada pendorong menasihati saudaranya kecuali rasa cinta dan sayang kepadanya, ikhlas karena Allah Ta’ala.

Tidak ada hasad, tidak ada khianat, tidak mengelabuinya dengan berpura-pura menasihati padahal bermaksud buruk, tidak menzaliminya, serta tidak merendahkannya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ، وَلَا يَخْذُلُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَا يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَاهُنَا، وَيُشِيرُ إلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ: دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

“Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya, tidak menzaliminya, tidak menelantarkannya, tidak menipunya, tidak merendahkannya, takwa ada disini – beliau mengisyaratkan kepada dadanya tiga kali.

Cukuplah seorang muslim dikatakan berbuat buruk jika merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatannya” (HR. Muslim).

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu pelayan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه

“Tidak sempurna keimanan wajib salah seorang diantara kalian sampai mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya sendiri” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’” (QS. al-Hasyr: 10).

Dengan demikian motivasi seorang muslim dalam menasihati saudaranya benar-benar ingin kebaikan untuk saudaranya, ikhlas mengharap rida Allah, tidak dengki, tidak menipunya, tidak mengkhianatinya, tidak menzaliminya, dan tidak menelantarkannya.

Sosok seorang mukmin yang baik dalam menasihati saudaranya, bukan hanya seperti jernihnya cermin, namun juga diam setelah menyampaikan nasihatnya kepada saudaranya seperti cermin yang diam setelah memantulkan gambar orang yang bercermin, tanpa membesarkannya, tanpa mengecilkannya dan tanpa memperburuknya.

Demikianlah seorang mukmin jika menasihati tidaklah menambah dengan memperbanyak celaan dan tidak pula merendahkan, dan tidak membesar-besarkan kesalahan saudaranya, apalagi sampai menjatuhkan kehormatannya dan menghinanya.

Cukuplah ia menasehatinya dengan lembut dan bijak serta memilih kata-kata yang paling baik dan sopan, tidak kasar dan disampaikan empat mata serta memilih waktu yang tepat agar saudaranya tersebut mudah menerima nasihatnya dan segera memperbaikinya, dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala,

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. adz-Dzariyat: 55).

Setelah ia menasihati lalu diam, tidak menambah dengan hal-hal yang melebihi kebutuhan dan melampaui batas.

Al-Fudhail Rahimahullah berkata,

المؤمِنُ يَسْتُرُ ويَنْصَحُ، والفَاجرُ يَهتِكُ ويُعيِّرُ

“Seorang mukmin itu menutupi (aib saudaranya) dan menasihatinya. Sedangkan pelaku maksiat membuka (aib saudaranya) dan mencelanya.”

Dalam kitab “Durusun wa mawaqif wa ‘ibar” [1], suatu saat Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah ditanya, “Wahai Syekh Abdul Aziz, saya tidak mengetahui seorang pun melainkan mencintaimu, baik kecil, besar, pria maupun wanita, dan ini adalah suatu hal yang mirip sesuatu yang disepakati (semua orang), apa rahasianya wahai Syekh?”

Syekh Bin Baz pun keberatan menjawabnya, namun penanya mendesak Syaikh Bin Baz agar menjawabnya. Akhirnya Syekh Bin Baz Rahimahullah menjawab, “Saya tidak mendapati dalam hatiku  dengki kepada seorang pun dari kaum muslimin, dan tidaklah saya mengetahui dua orang yang sedang ada pertengkaran kecuali saya bersegera memperbaiki hubungan antar keduanya.”

[Bersambung, in sya Allah]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id

Pengertian Kalalah dalam Hukum Waris Islam

Apakah pengertian Kalalah dalam hukum waris Islam? Berikut penjelasannya.

Dalam Alquran, kata kalalah disebutkan sebanyak dua kali. Berada dalam satu suroh, yakni Q.S an-Nisa ayat 12 dan 176.  Allah berfirman:

وَاِنۡ كَانَ رَجُلٌ يُّوۡرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امۡرَاَةٌ وَّلَهٗۤ اَخٌ اَوۡ اُخۡتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنۡهُمَا السُّدُسُ‌ ۚ فَاِنۡ كَانُوۡۤا اَكۡثَرَ مِنۡ ذٰ لِكَ فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِى الثُّلُثِ مِنۡۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ يُّوۡصٰى بِهَاۤ اَوۡ دَ يۡنٍ ۙ غَيۡرَ مُضَآرٍّ‌ ۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِ‌ ؕ وَاللّٰهُ عَلِيۡمٌ حَلِيۡمٌ.

wa ing kana rajuluy yụraṡu kalalatan awimraatuw wa lahu akhun au ukhtun fa likulli waḥidim min humas sudus, fa ing kanu  aksaro min zalika fa hum syurakau fis sulus mim ba’di waṣiyati yụṣa biha au dain gaira muḍarrin, waṣiyyatan minallah, wallāhu ‘alimun ḥalim

Artinya: Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.

Dan juga firman Allah dalam an-Nisa ayat 176:

يَسۡتَفۡتُوۡنَكَ ؕ قُلِ اللّٰهُ يُفۡتِيۡكُمۡ فِى الۡـكَلٰلَةِ‌ ؕ اِنِ امۡرُؤٌا هَلَكَ لَـيۡسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗۤ اُخۡتٌ فَلَهَا نِصۡفُ مَا تَرَكَ‌ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَاۤ اِنۡ لَّمۡ يَكُنۡ لَّهَا وَلَدٌ‌

Yastaftuunaka qulillaahu yaftiikum fil kalaalah; inimru’un halaka laisa lahuu waladunw wa lahuu ukhtun falahaa nisfu maa tarak; wa huwa yarisuhaaa il lam yakkul lahaa walad

Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak.

Lantas, apa itu pengertian Kalalah?

Pengertian Kalalah menurut Ibn Arabi

Menurut Ibn Arabi dalam kitab tafsir Ahkamul al-Qur’an, para ulama berbeda pendapat tentang kalalah.  Ibn Arabi berkata:

:وختلف العلماء فيالمراد بالكلالة على ثلاثة اقسام

الاول ; ان قوما اختاروا ان الكلالة  من لا ولد له ولا والد, وهو قول ابي بكر الصدي

Artinya: para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari Kalalah. Terdapat tiga pengertian tentang makna kalalah.

Pertama: pengertian kalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak dan orangtua. Ini adalah pendapat Abu Bakar as-Siddiq.

الثاني ; من لا ولد له وان كان له اب او اخوة

Artinya: Seorang yang tidak mempunyai anak, yang ada ayah dan saudari perempuan.

Selanjut Ibn Arabi berkata:

الثالث : وهو ان الكلالة المال

Artinya: pengertian Kalalah itu hanya harta waris saja.

Pendapat pertama dan kedua tampaknya lebih kuat untuk menjelaskan makna dari Kalalah. Hal itu bisa dilihat ketika Ibn Arabi menafsirkan Q.S an-Nisa ayat 176. Sang Syekh Akbar dari Andalusia menjelaskan:

مسماة

Artinya: Para ulama kita menjelaskan makna ayat ini (baca: an-Nisa ayat 176) adalah jika tidak ada bagi mayit itu anak laki-laki dan anak perempuan, maka ia mewarisi kalalah. Maka bagi saudari perempuannya setengah sebagaimana disebutkan.

Pengertian Kalalah  menurut Imam at-Thabari

Selanjutnya, Pengertian Kalalah Dalam Hukum Waris Islam,secara panjang lebar dijelaskan oleh Ibn Jarir at-Thabari dalam kitab Tafsir Thabari Jami’u al-bayan an Ta’wili al-Qur’an Ia berkata para ulama berbeda pendapat terkait makna kalalah.

هي ما خلا الوالد والولد

Artinya: orang yang meninggal tak mempunyai orang tua dan anak.

Selanjutnya ada pendapat tentang kalalah adalah orang yang tak punya anak . At-Thabari berkata:

و قال الاخرون; الكلالة ما دون الولد

Artinya: Para ulama yang lain mengatakan bahwa kalalah orang yang tak memiliki anak.

Pendapat selanjutnya ada juga yang mengatakan bahwa kalalah adalah orang yang tak mempunyai orangtua:

قال آخرون; الكلالة ما خلا الوالد

Artinya: Ulama lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kalalah adalah orang yang tak memiliki orang tua.

Ada juga ulama yang mengatakan pengertian  kalalah adalah harta warisan yang diwariskan si mayit, apabila ada saudara laki-laki atau saudara perempuan atau selain mereka, dan keadaan si mayit itu tak punya anak dan ayah.

Ibn Jarir berkata:

.الكلالة هيالوارثة الذين يرثون الميت, اذا كانوا اخوة او اخوات او غيرهم, اذا لم يكونوا ولدا ولا والدا

 Artinya: Kalalah itu harta warisanyang diwariskan diwariskan simayyit, apabila mereka itu ada saudara laki-laki atau saudara perempuan atau selalin mereka. Dan si mayit meninggal tanpa ada orangtua dan ayah.

Pada kesimpula akhir, at-Thabari   berkata bahwa makna kalalah adalah orang meninggal yang tidak meninggalkan ahli waris dari golongan ibu-bapak dan anak.

Kalalah dalam Kompilasi Hukum Islam

Sementara definisi kalalah  yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam adalah orang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak:  anak laki-laki atau anak perempuan, dan ayah pewaris telah wafat lebih dahulu dari pewaris.

Pasal 182 KHI mengatur bahwa:

Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ua mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian.

Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.

Demikianlah pengertian kalalah dalam hukum waris Islam.

BINCANG SYARIAH

Dimana Ibunda Nabi Yusuf as?

Mungkin kita heran mengapa dalam kisah Nabi Yusuf as tidak pernah disebutkan tentang ibunda beliau ? Kecuali sempat disinggung sedikit dalam sebuah ayat :

وَرَفَعَ أَبَوَيۡهِ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ

“Dan dia menaikkan kedua orang tuanya ke atas singgasana.” (QS.Yusuf:100)

Dan ibunda Yusuf as juga disinggung dalam mimpi Nabi Yusuf as ketika beliau bermimpi sebelas bintang, matahari dan bulan. Bulan yang dimaksud adalah ibunya.

Dan tidak ada lagi kisah ibunda Yusuf as kecuali dalam dua kisah ini. Padahal jika kita bayangkan, tentu kesedihan seorang ibu akan lebih besar dari kesedihan seorang ayah ketika kehilangan anaknya.

Jawaban singkatnya, bahwa ibu Yusuf as meninggal ketika melahirkan Benyamin, adik Nabi Yusuf as. Dan yang dilihat di dalam mimpi yang digambarkan sebagai bulan yang bersujud kepada beliau adalah ibu tiri yang mengasuhnya. Dan ia adalah ibu dari saudara-saudara yang berencana jahat kepadanya.

Istri Nabi Ya’kub ini memiliki hati yang baik, namun kasih sayangnya kepada anak kandungnya lebih besar sehingga walaupun ia bersedih ketika Yusuf as hilang tapi tidak sebanding dengan kesedihannya Nabi Ya’kub as.

Nah, dari ayat yang disebut di atas tadi kita dapat mengambil makna pemilihan kata yang sangat indah.

وَرَفَعَ أَبَوَيۡهِ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ

“Dan dia menaikkan kedua orang tuanya ke atas singgasana.” (QS.Yusuf:100)

Ayat ini menggunakan kalimat أَبَوَيه bukan kalimat وَالِدَيهِ.

Karena kata “abawaihi” artinya ayah dan ibu yang mengasihnya, sementara “walidaihi” memiliki arti ayah dan ibu yang melahirkannya atau yang bersambung secara nasab.

Kata “abawaihi” artinya dua orang tua tapi lebih dominan kepada ayah. Sementara kata “walidaihi” artinya juga kedua orang tua tapi lebih dominan kepada ibu karena kata ini diambil dari kata “wiladah”yang artinya kelahiran. Dan itu adalah sifat khusus bagi seorang ibu.

Dari sini kita dapat memahami firman Allah Swt.

وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ

“Dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak.” (QS.Al-Isra’:23)

Ayat ini menggunakan kata “walidaini” sebagai isyarat bahwa hak seorang ibu lebih besar dari hak seorang ayah untuk dijaga, diperhatikan dan disenangkan oleh anaknya.

Begitu indahnya bahasa Al-Qur’an dalam setiap pemilihan katanya.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Tiga Cara Mempertebal Keimanan

Dalam beragama, keimanan adalah pondasi utama. Orang-orang yang beriman (mukmin) ialah mereka yang meyakini ajaran agama yang dibawa Nabi Muhammad. sebuah hadis bahkan mengarahkan kepada kita untuk meninggalkan sesuatu yang membuat kita ragu menuju sebuah keimanan (al-yaqin).

عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ الحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَيْحَانَتِهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ. رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ، وَقاَلَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ.

(Diriwayatkan) dari Abi Muhammad Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kesayangannya radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku hafal (sebuah hadits) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tinggalkanlah yang meragukanmu lalu ambillah yang tidak meragukanmu.’” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’i. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih) [HR. Tirmidzi, no. 2518; An-Nasa’i, no. 5714. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih]

Salah sebuah kaidah fikih juga menjeaskan tentang prinsip keimanan dalam beragama. Sebagaimana yang sering kita dengar, “Sebuah keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan” (al-yaqinu la yuzalu bis syakki). Oleh karena itu, membangun sebuah keimanan dalam beragama sangat penting dilakukan. Apalagi di alam informasi yang serba ada dan kompleks ini. Memperkuat keyakinan dan mempertebal keimanan kita sebagai seorang muslim sangat diperlukan, lalu bagaimana caranya?

Sayyid Abdullah bin ‘Alawi bin Muhammad al-Haddad dalam kitab Risalatul Mu’awwanah menuturkan tiga cara mempertebal keimanan seseorang. Pertama, keimanan akan muncul jika seorang hamba mendengarkan dengan hati dan telinganya tentang tanda-tanda kebesaran Allah, kebenaran rasul-Nya, dan peristiwa di hari akhir yang berada dalam Al-Quran dan hadis.

Salah satu peristiwa yang menggambarkan ini ialah saat sahabat Umar mendengarkan lantunan ayat Al-Qur’an hingga terenyuh dan memeluk Islam. Kedalaman makna dan keindahan kalimatnya menunjukan bahwa Al-Qur’an bukanlah ciptaan manusia. Tidak mungkin seorang Muhammad yang ummi (tidak dapat membaca dan menulis) mampu merekayasa sebuah mahakarya semacam itu.

Kedua, seorang hamba akan semakin kuat keimanan atas agamanya saat melihat realitas alam yang telah diciptakan tuhan sebagai tanda-tanda keberadaan-Nya (ayat kauniyah). Langit, bumi, dan segala hal yang berada di dalamnya dapat menjadi petanda untuk memperkuat keimanan seorang hamba.

Para filsuf muslim telah meneladankan dengan kemampuan penalaran rasional dan ilmiah atas ralitas semesta, justru tidak membuat mereka meragukan kebesaran dan kebanaran Islam, melainkan semakin memperkokoh keimanan. Pada era inilah, justru Islam mengalami kemajuan pesat. Berkembangnya ilmu pengetahuan yang didasarkan pada observasi dan penghayatan alam semesta menghasilkan temuan-temuan ilmiah yang menjadi pilar kemajuan peradaban dunia.

Ketiga, melakukan secara terus menerus apa yang sudah diajarkan dalam agama. Hanya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya secara istiqomah (konsisten) akan menumbuhkan keimanan yang kuat terhadap agama. Jika ilmu dimulai dengan meragukan segala hal, mengobservasi dan meneliti, hingga menemukan kesimpulan yang meyakinkan maka agama dimulai dengan meyakini, kemudian mengamalkan apa yang menjadi ajaran agama, dan semakin kuat keimanan itu.

Para guru sufi biasanya mengajarkan ilmul yakin ini dengan cara yang ketiga. Dalam bahasa tasawuf, dikenal istilah riyadhoh yang merupakan latihan spiritual dengan mengamalkan ajaran agama secara lahir dan batin. Puncaknya, akan muncul sebuah keimanan yang sejati yang dalam bahasa imam al-Ghazali disebut dengan haqq al-yaqin (sebenar-benarnya keimanan).

Semoga kita semua tetap selalu diberikan taufiq dan hidayah-Nya agar senantiasa menjadi muslim yang terjaga keimanannya hingga akhir hayat. Amin.

BINCANG SYARIAH

Menuju Kesempurnaan Ibadah Shalat (Bag. 3): Najis dan Cara Menyucikannya

Baca pembahasan sebelumnya Menuju Kesempurnaan Ibadah Shalat (Bag. 2): Thaharah

Sebagaimana telah dikemukakan dalam artikel sebelumnya tentang thaharah. Maka penting pula bagi kita untuk mengetahui secara terperinci tentang jenis najis/kotoran yang mesti kita bersihkan serta bagaimana tata cara menyucikannya yang diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam sebagai syarat sahnya shalat.

Untuk memudahkan pemahaman kita Syaikh Sa’id membagi najis ke dalam beberapa macam sesuai dengan nash yang sahih, di antaranya :

  1. Air kencing dan kotoran manusia

Terdapat beberapa jenis najis dari air kencing dan kotoran manusia yang umum kita temui. Secara umum pula cara menyucikannya dilakukan dengan membasuh dan menghilangkannya. Adapula yang diperinci seperti bekas kencing anak laki-laki dan anak perempuan. Jenis najis/kotoran ini dapat disucikan dengan cara diperciki dan disiram dengan air saja pada bagian yang terkena tanpa harus dibasuh dan diperas dengan tangan. [1]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

بَول الغُلامِ يُنضَح وَبول الجَارِيةِ يُغْسَلُ و هَذَا مَا لَمْ يَطْعمَا فَإذَا طَعِمَا غُسِلَا جَمِيعًا

 “Bekas kencing anak laki-laki itu disucikan dengan diperciki, sedangkan bekas kencing anak perempuan dengan dicuci. Selama keduanya belum mengonsumsi makanan. Adapun bila sudah mengonsumsi makanan, harus dibasuh semuanya”. (HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

  1. Ujung Pakaian Wanita

Islam mengajarkan umatnya segala lini kehidupan, termasuk di antaranya adalah ajaran tentang adab berpakaian. Khusus untuk muslimah, diatur pula sedemikian rupa tata cara perpakaian agar terjaga dan terlindungi dari fitnah yang dapat mencelakai diri dan agamanya. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan tentang batasan pakaian wanita melalui fatwanya :

المشروع سترهما بالجوربين أو بإرخاء الثياب ، أرخت الثياب حصل المطلوب ولو ما كان هناك

“Disyariatkan menutup kedua kaki dengan kaus kaki atau dengan menjulurkan pakaian. Jadi pakaian dijulurkan hingga cukup untuk menutup kedua kaki jika tidak memakai kaus kaki”. [2]

Dengan demikian, pakaian wanita muslimah rentan terkena kotoran karena pakaian wanita disyariatkan untuk menutup kedua kakinya. Namun, kotoran tersebut akan secara otomatis disucikan oleh tanah di mana ia berjalan sebagaimana sabda Rasulullah shallallahualaihi wa sallam :

 يُطْهَرُ مَا بَعْدَهُ

 “Ia disucikan oleh tanah berikutnya” (HR. at-Tirmidzi, Abu Daud dan Ibnu Majah)

  1. Darah Haidh

Darah haidh juga termasuk dalam najis/kotoran yang mesti dibersihkan dengan cara mengusap dan membasuhnya dengan air. Rasulullah shallallahualaihiwasallam bersabda

 تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ وَتَنْضَحُهُ وَتصَلِّي فِيْهِ

 Menyikatnya, lalu menguceknya dengan air kemudian menyiramnya, dan baru setelah itu dibolehkan mengerjakan shalat dengan mengenakannya” (HR. Bukhari dan Muslim)

  1. Wadi, Madzi dan Mani

Ketiga jenis najis ini merupakan cairan yang keluar dari kemaluan manusia dengan sebab dan kondisi yang berbeda serta masing-masing jenis beda pula cara menyucikannya.

Wadi merupakan cairan putih, pekat dan agak keruh keluar setelah buang air kecil. Wadi dapat disucikan cukup dengan membersihkan kemaluan kemudian berwudhu [3].

Sementara madzi adalah cairan putih, tipis dan sedikit kental yang keluar pada saat bercumbu atau memikirkan hal yang berkaitan dengan aktivitas bersetubuh. Madzi dapat dibersihkan dengan dicuci dan disiram dengan air setapak tangan ke pakaian yang terkena. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

 فَلْيَغْسِلْ ذَكَرَهُ وَالْأُنْثَيَيْهِ وَلْيَتَوَضَّأّ وُضُوْءَهُ لِلصَّلَاةِ

 “Maka hendaklah ia mencuci kemaluannya dan kedua buah dzakarnya kemudian berwudhu seperti wudhunya untuk mengerjakan shalat” (HR. Bukhari dan Muslim)

Adapun mani merupakan cairan yang keluar beserta rasa nikmat. Perbedaan antara mani dan wadi serta madzi adalah bahwa mani adalah suci, sedangkan madzi dan wadi merupakan najis. Namun, mani adalah hadats besar yang mengharuskan seseorang untuk mandi sebelum melaksanakan sholat. Pada dasarnya mani ini adalah suci [4]. Namun disunnahkan untuk mencucinya dalam keadaan basah dan mengeruknya dalam keadaan kering [5].

  1. Kencing dan Kotoran Binatang yang Tidak Boleh Dimakan dagingnya adalah Najis

Kencing dan kotoran binatang yang boleh dimakan dagingnya adalah suci. Hal itu didasarkan pada riwayat adanya perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabat untuk meminum kencing unta [6]. Ibnu Hibban menukil keterangan Imam Abu Hatim,

“Para sahabat meletakkan sisa kotoran unta yang telah diperas, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendiamkan perbuatan mereka, dan tidak menyuruh mereka untuk mencuci bagian yang terkena kotoran di badan mereka, merupakan dalil bahwa kotoran hewan yang halal dimakan adalah suci”. [7]

Maka sebaliknya, kencing dan kotoran binatang yang tidak boleh dimakan merupakan najis yang mesti dibersihkan sebagaimana riwayat yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melarang beristijmar (bersuci dengan benda padat) dengan menggunakan kotoran, seraya bersabda : “Ini Najis” [8].

  1. Tiga Keadaan Najis yang terdapat di Pakaian, Badan atau Tempat ketika Shalat

Apabila di pakaian, badan atau tempat shalat terdapat najis. Maka terdapat tiga ketentuan [9]:

  1. Jika dia teringat adanya najis tersebut saat melakulan shalat, maka hendaklah ia melenyapkan atau membuang najis tersebut dengan syarat tidak terbuka auratnya. Shalatnya tetap sah.
  2. Jika najis tersebut tidak dapat dihilangkan dan adanya kekhawatiran akan terbukanya aurat. Agar dia menghentikan shalat, membersihkan najis tersebut dan mengulangi shalatnya.
  3. Jika telah selesai shalat kemudian dia baru teringat akan keberadaan najis tersebut maka shalatnya tetap sah.
  4. Khamr

Telah terang bagi kita sebuah ayat yang menyatakan bahwa khamr merupakan najis sebagaimana firman Allah Ta’ala :

 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

 “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung”. (QS. Al-Ma’idah : 90)

Khamr yang umum diketahui di masyarakat kita adalah minuman keras yang berbahan alkohol. Sementara hal yang dititikberatkan disini adalah parfum yang beralkohol yang banyak menjadi perbincangan alot karena keberadaannya yang familiar di tengah-tengah umat.

Wallahu’a’lam, mengambil faedah dari beberapa pendapat ulama tentang pemakaian parfum berbahan alkohol maka pendapat yang lebih berhati-hati adalah menahan diri untuk tidak menggunakan parfum yang beralkohol. Sebagaimana kita bisa melihat dewasa ini banyak beredar di pasaran parfum non alkohol yang kiranya lebih aman sebagai bentuk waro’ kita kepada ketetapan Allah Ta’ala.

Penulis: Fauzan Hidayat, S.STP., MPA

Artikel: Muslim.or.id

Saat Iman Sedang Lemah, Baca Doa Ini untuk Memperkuatnya

Ketika iman sedang lemah dan rapuh, maka cara untuk memperbaikinya adalah dengan cara melakukan taat kepada Allah dan memperbanyak membaca kalimat tahlil, yaitu laa ilaaha illallaah. Hal ini karena Nabi Saw pernah menyuruh para sahabatnya untuk memperbarui iman dengan memperbanyak membaca kalimat tahlil.

Selain itu, kita hendaknya juga membaca doa tajdid iman atau memperbarui iman dari Ibnu Arabi sebagaimana disebutkan dalam kitab kitab Majmu’ah Ahzab wa Awrad Al-Syaikh Al-Akbar Ibnu Arabi berikut;

بسم الله الرحمن الرحيم أمنت با لله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الأخر والبعث بعد الموت وبالقدر خيره وشره من الله تعالى والحساب والميزان والجنة والنار حق كلها والله تعالى واحد لا من طريق العدد ولكن من طريق انه لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا احد

Bismillaahir rohmaanir rohiim. Aamantu billaahi wa malaa-ikatihii wa rusulihii wal yaumil aakhiri wal ba’tsi ba’dal mauti wa bilqodari khoirihii wa syarrihii minallaahi ta’aalaa. Wal hisaabu wal miizaanu wal jannatu wan naaru haqqun kulluhaa. Wallaahu ta’aalaa waahidun laa min thoriiqil ‘adad wa laakin min thoriiqi annahuu lam yalid walam yuulad walam yakullahuu kufuwan ahad.

Dengan menyebut nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Saya beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, utusan-utusan-Nya, kebangkitan setelah mati, dan ketentuan baik dan buruk dari Allah. Hitungan amal, timbangan amal, surga dan neraka semuanya benar. Dan, Allah adalah Esa bukan dari cara berbilang, melainkan dari cara bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak sesuatu yang setara dengan Dia.

BINCANG SYARIAH