Ini Permintaan di Malam Lailatul Qadar

Suatu ketika, Aisyah RA pernah bertanya kepada Nabi SAW, ”Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?” Beliau menjawab, “Katakanlah (pintalah): Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ ”Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Menarik redaksi pada doa di malam lailatul qadar tersebut. Dalam doa itu, Allah disapa dengan ‘Afuwun. Bukan Ghafur. Imam al-Ghazali, seperti dikutip M Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, membedakan keduanya. Al-’Afuw mengandung makna menghapus, mencabut akar sesuatu, membinasakan, dan sebagainya.

Sedangkan al-Ghafur berarti menutup, sesuatu yang menutup pada hakikatnya tetap wujud, hanya tidak terlihat, sedangkan yang dihapus, hilang, kalaupun tersisa, paling bekasnya saja. Orang yang mendapatkan maafnya Allah akan terhapus dosa-dosanya. Adakah kebahagiaan yang lebih tinggi dalam hidup ini selain memperoleh ampunan dan maaf Allah SWT?

Dalam kitab Bustanul Khatib diceritakan, sufi kenamaan, al-Hasan Al-Bashri (wafat 110 H) didatangi seseorang yang mengeluhkan paceklik dan kekeringan, maka beliau menasihati, “Beristighfarlah.” Lalu, datang lagi orang lain mengadukan kemiskinannya, beliau menasehati, “Beristighfarlah.” Kemudian datang lagi orang mengadukan masalah sedikitnya anak, sang sufi berpesan, “Beristighfarlah.”

Salah satu muridnya bertanya, “Mengapa istighfar menjadi solusi?” Hasan al-Bashri menjawab, “Tidakkah kamu membaca firman Allah SWT dalam surah Nuh ayat 10-12: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai’.”

Orang yang mendapat ampunan dan maafnya Allah SWT juga akan terhindar dari siksa api neraka sehingga ia masuk dalam surga. (QS Ali Imran [3]: 133). Bahkan Allah SWT mengurungkan azabnya tatkala di suatu negeri masih terdapat orang yang beristighfar (QS al-Anfal [8]: 33).

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, umat Islam mesti memperbanyak istighfar agar Allah SWT tak menurunkan azab yang sifatnya menyeluruh akibat kezaliman yang dilakukan segelintir orang (QS al-Anfal [8]: 25).

Maka jadikanlah Ramadhan ini sebagai bulan muhasabah, mengingat kembali banyaknya dosa yang telah kita lakukan, sehingga mendorong kita untuk memohon ampunan Allah SWT.

Yahya bin Muadz berkata, “Siapa saja beristighfar dengan lisan, tetapi hatinya masih terikat dengan maksiat, masih berniat untuk kembali, serta mengulang dosa setelah bulan Ramadhan maka puasanya ditolak. Dan pintu diterimanya amal menjadi tertutup di hadapan wajahnya.

Hal ini juga pernah diungkapkan Ibn ‘Athaillah al-Sarkandi dalamBuhtaj al-Nufus,Orang bermunajat mohon ampun kepada Allah tetapi masih tenggelam dalam maksiat laksana seseorang yang sakit lalu meminta obat ke dokter dan meminumnya, tetapi ia membiarkan ular menggigit tubuhnya.

Selagi masih di sepuluh terakhir Ramadhan, mari kita tingkatkan kualitas ibadah kita dengan puasa, shalat malam, tadabbur Alquran, sedekah, iktikaf, dan tentu perbanyak istighfar, dengan harapan kita bertemu dengan malam lailatur qadar.

Jika saja kita gagal meraih ampunan Allah, Rasullullah bersabda, “Sungguh sangat terhina dan rendah seseorang yang datang kepadanya Ramadhan kemudian bulan tersebut berlalu sebelum diampuni untuknya (dosa-dosanya).” (HR Tirmidzi).

Maka senantiasalah mengajukan satu permintaan di setiap malam Ramadhan, “Allahumma innaka ‘afuwwun karim tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’.Amin.

 

 

Oleh: Muhammad Kosim

Republika Online

Waspadalah dengan Nafsu Syahwat dan Nafsu Belanja

NAFSU syahwat memang membahayakan jika diumbar dan dilepas begitu saja tanpa kendali. Karena itulah maka kita disekolahkan di madrasah Ramadlan yang menuh hikmah ini.

Cobalah renungkan dawuh Syekh yahya bin al-Warraq yang saya kutip dari kitan “Al-Zuhd al-Kabiir” karya al-Bayhaqi berikut ini:”Barang siapa merelakan anggota tubuhnya melakukan secara bebas perintah nafsu syahwatnya, maka dia sungguh telah menanam pohon penyesalah dalam hatinya.”

Kita harus rajin selalu mengecek jalur yang dilalui nafsu syahwat itu, maka kita akan terjaga dari penyesalan yang berkepanjangan. Semoga Allah senantiasa mengampuni apa yang telah berlalu dri kita berupa melencengnya jalan yang dilalui oleh nafsu syahwat kita. Nafsu syahwat beragam macamnya, tidak hanya masalah seksual melainkan juga keinginan-keinginan berlebih yang tak wajar.

Di bagian akhir Ramadlan ini, berhati-hatilah dengan “nafsu berbelanja.” Sewajarnya saja. Kalau biasa berbagilah dengan mereka yang tak memiliki apapun untuk dibelanjakan. Ada seorang ibu yang menyesal sekali karena nafsu belanjanya begitu besar. Karena besarnya discount pakaian yang ditawarkan toko-toko besar, dia memborong banyak baju, termasuk 5 potong baju untuk suaminya lengkap dengan 5 potong celana.

Tak salah memang, karena uangnya adalah dari suami dan membeli sesuatu untuk suami. Suaminya kaget melihat baju dan celana yang dibeli itu yang warnanya hitam semua. Suaminya bertanya dengan setengan marah dan penasaran: “Mama, kok hitam semua?” Isterinya menjawab: “Papa, yang discount cuma yang item saja, warna lain gak didiscount. Ada pengumumannya ‘discount all ITEM'”

Suaminya marah: “All item itu artinya semua barang Ma, bukan hitam. Hitam itu bahasa Inggrisnya black.” isterinya menyesal sekali karena nafsu belanjanya jauh lebih besar dari pengetahuan bahasa Inggrisnya. Senyum dulu, salam, AIM. [*]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2306579/waspadalah-dengan-nafsu-syahwat-dan-nafsu-belanja#sthash.GXrxwRle.dpuf

Ilmu Memahami Alquran

Alquran adalah kitab suci umat Islam. Segala tuntunan untuk berperilaku sudah termaktub dalam Alquran. Para ulama pun mencoba membuat sebuah ilmu untuk memahami lebih dalam kandungan ayat-ayat dalam Alquran. Ilmu tersebut disebut ulumul Quran.

Dalam ulumul Quran, diuraikan secara terperinci tentang berbagai hal yang berhubungan dengan ilmu dan penafsiran Alquran. Seperti metode dan bentuk penafsiran Alquran, hubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya, termasuk sejarah tentang cara penerimaan wahyu tersebut oleh Rasulullah SAW, hingga proses pengodifikasiannya. 

Kendati menjabarkan berbagai ilmu tentang Alquran, penulisan ulumul Quran tidak dilakukan pada masa yang sama ketika Alquranditurunkan. Alquran ditulis dan dikumpulkan secara resmi pada masa Khalifah Utsman bin Affan RA. Sedangkan, penulisan ulumul Quran dilakukan selepas periode tersebut.

Hal ini karena pada masa awal Islam, pengetahuan mengenai seluk-beluk Alquran dan hal-hal yang berkaitan dengannya belum ditulis dan disusun dalam bentuk buku. Pengetahuan tersebut masih tersimpan dalam hati para sahabat Nabi Muhammad SAW.

Ketika itu, para sahabat Nabi pun belum merasa perlu untuk menuliskan pengetahuan tentang Alquran. Hal ini disebabkan dua hal. Pertama, adanya larangan Nabi Muhammad untuk menuliskan sesuatu, selain Alquran. Kedua, bila memang ditemukan berbagai masalah yang berkaitan dengan Alquran, para sahabat cukup menanyakan hal tersebut langsung kepada Nabi.

Akhirnya, selepas wafatnya Nabi Muhammad, penulisan Alquran pun mulai dilakukan. Kekhalifahan Utsman bin Affan yang mulanya merintis pekerjaan ini.

Pada masa tersebut, usaha penulisan Alquran dengan mushaf yang baik dan benar sedang dicanangkan. Karena itu, untuk mempermudah pekerjaan tersebut, disusunlah suatu ilmu yang mengatur metode penulisan mushaf Alquran, yang disebut ilm ar-rasm al-Qurani atau ilm ar-rasm al-Utsmani.

Pekerjaan tersebut pun dilanjutkan pada masa Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib RA. Pada masa ini, dibentuk suatu ilmu yang membahas uraian kedudukan kata dalam Alquran. Ilmu tersebut diberi nama ilm i’rab Alquran.

Sedangkan pada masa Bani Umayyah, perhatian para sahabat mulai diarahkan untuk menyebarkan ulumul Quran dengan cara periwayatan dan pengajaran secara lisan. Usaha ini dipandang sebagai rintisan untuk melakukan penulisan ulumul Quran. Usaha yang sama dilakukan pula pada periode awal Dinasti Abbasiyah.

Penulisan ulumul Quran yang sesungguhnya mulai dilakukan pada abad kedua Hijriyah. Pada masa itu, cabang ilmu Alquran yang pertama mendapat perhatian para ulama adalah ilmu tafsir. Usaha ini ditandai dengan disusunnya berbagai kitab tafsir oleh para ulama pada masa tersebut.

Pada abad ketiga Hijriyah, beberapa ulama mulai menulis kitab ulumul Quran dengan objek pembahasan yang berbeda-beda. Al-Madini (234 Hijriyah), misalnya, menyusun buku tentang sebab turunnya Alquran.

Selain itu, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (224 Hijriyah) juga menyusun buku tentang nasikh dan mansukh dalam Alquran. Lalu, Muhammad bin Ayyub ad-Daris yang menyusun buku tentang Makkiyah (yang turun di Makkah) dan Madaniyyah (turun di Madinah).

Penulisan ulumul Quran terus berlanjut pada masa-masa berikutnya. Objek pembahasannya pun mulai beragam. Di antaranya, tentang majas dalam Alquran, hal-hal yang bersifat umum dalam Alquran, serta kata sulit dalam Alquran.

Dan, saat ini telah cukup banyak kitab ulumul Quran yang beredar serta selalu dijadikan rujukan. Dari sekian banyak kitab yang telah diterbitkan, kitab al-Burhan fi Ulum Alquran  karya Imam Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi asy-Syafii dan kitab Al-Itqan fi Ulum Alquran karya Imam Jalaluddin karya as-Suyuti asy-Syafii, merupakan dua kitab ulumul Quran yang paling cukup dikenal.

Ulama-ulama Indonesia juga memberikan perhatian besar dalam mengkaji dan mengembangkan ilmu Alquran. Mencakup persoalan tafsir dan hal-hal lain yang berkaitan dengan seluk-beluk Alquran.

Buku yang membahas ulumul Quran sudah cukup banyak ditulis ulama Indonesia. Antara lain, buku Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir karya Hasbi ash-Shiddieqy. Hingga 1994, buku tersebut telah beberapa kali dicetak ulang.

Selain itu, ada pula buku berjudul Membumikan Alquran karya  Muhammad Quraish Shihab, yang diterbitkan pada 1992. Dalam buku tersebut, ia tidak hanya menguraikan perihal ulumul Quran dan tafsirnya, tetapi juga mencantumkan persoalan-persoalan kontemporer yang dibingkai menurut visi Alquran.

Bahkan, Pemerintah Daerah DKI Jakarta pun pernah menyusun buku ulumul Quran berseri berjudul Ilmu-Ilmu Alquran. Seri pertama buku itu telah diterbitkan oleh Biro Mental Spiritual DKI, Proyek Peningkatan Lembaga Bahasa dan Ilmu Alquran DKI Jakarta pada 1994. ed Hafiz Muftisanny

Rasulullah SAW Selalu Menjaga Lidah dari Berkata Kotor

Imam Nawawi dalam kitabnya, Riyadlush Shalihin mengungkapkan, Rasulullah SAW senantiasa menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan buruk, menyimpang dan menjaga lisan dari berkata kotor, dusta, gosip, dan mengadu domba.

Sebaliknya, ungkap Imam Nawawi, Rasulullah SAW mengingatkan orang yang berpuasa sebaiknya menyibukkan tubuh dan lisannya untuk kebaikan, dengan cara membaca ayat-ayat suci Alquran serta berzikir, terutama ketika sedang berpuasa.

Imam Nawawi kemudian mengungkapkan hadis yang bersumber dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Di saat seseorang di antara kalian berpuasa, maka jangan berkata kotor dan menyimpang. Jika ada seseorang yang memakinya atau memukulnya, hendaklah ia (orang yang berpuasa) mengucapkan, ”Sesungguhnya saya sedang berpuasa.” Hadis Muttafaqun alaihi.

Bahkan, menurut Imam Nawawi, Rasulullah SAW mengancam seseorang yang berpuasa tetapi tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan bohong, maka puasa seseorang tersebut tidak akan mendapatkan pahala sama sekali.

Imam Nawawi mengutip hadis Rasulullah SAW yang bersumber dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan bohong dan melakuka kebohongan, maka Allah SWT tidak membutuhkan dia meski meninggalkan makan dan minum.” Hadis riwayatBukhari.

Menurut Imam Nawawi, termasuk arti puasa adalah meninggalkan makan, minum dan hubungah seksual di siang hari, yang pada hakikatnya hal-hal tersebut bersifat lahiriah. Juga meninggalkan kebohongan, ghibah, berkata kotor, perilaku yang buruk dan bergunjing yang pada dasarinya hal tersebut bersifat batiniah.

 

 

Republika Online

Jangan Biarkan Ramadhan Berlalu Begitu Saja

Ramadhan disebut sebagai Syahrul Jud, bulan kedermawanan. Rasulullah SAW bersedekah dan lebih sering lagi bersedekah di bulan Ramadan. Sedekah di bulan Ramadan lebih besar pahalanya dibandingkan dengan sedekah yang sama yang dilaksanakan di bulan selain Ramadan.

Sedekah sunah yang dilakukan di bulan Ramadan mendapat pahala seperti sedekah wajib yang dilakukan di luar Ramadan. Sedekah wajib di bulan Ramadan mendapat pahala 70 kali lipat dibandingkan sedekah wajib yang sama yang dilakukan di luar Ramadhan.

Slogan tiada hari tanpa sedekah harus menjadi tekad dan amalan setiap Muslim di bulan Ramadhan. Harta adalah anugerah Allah yang harus disyukuri. Harta juga harus dipertanggungjawabkan. Semakin banyak harta seorang semakin panjang proses hisabnya nanti.

Harta juga bisa menjadi fitnah (ujian) keimanan yang cenderung menjadikan seseorang menjadi arogan dan sombong karena memiliki kekayaan yang banyak. Islam juga mengajarkan bahwa harta hendaknya menjadi bekal ibadah kepada Allah SWT. Pesan Alquran “berjuanglah kalian dengan harta kalian dan dengan diri kalian”.

Seorang Muslim diperintahkan oleh Allah untuk bekerja keras, agar bisa ibadah harta secara maksimal. Allah SWT sangat menghargai orang-orang yang suka memberi “tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah”. Seorang Muslim yang banyak memberi pasti lebih unggul daripada Muslim lain yang banyak diberi.

Kerja keras mencari nafkah itu ibadah, jihad, amal soleh, dan kifarat penghapus dosa. Rizki yang paling berkah adalah rizki yang diperoleh dengan keringat sendiri. Demikian pesan Nabi SAW. Usaha mencari nafkah selain harus ditempuh dengan cara yang halal juga dipesankan oleh Alquran agar kekayaan itu jangan terkonsentrasi pada sekelompok kecil orang-orang yang kaya saja.

Orang yang sudah wajib zakat tapi tidak mengeluarkannya dapat dikatakan sebagai perampok yang oleh Alquran Surat Al Ma’un disebut sebagai pendusta agama. Allah SWT memberikan jaminan bahwa tidak akan ada orang menjadi miskin karena zakat dan tidak akan ada orang menjadi sengsara gara-gara zakat. Yang ada justru sebaliknya dengan zakat harta yang ada menjadi tambah barokah dan zakat itu bisa menjadi kifarat penghapus dosa.

Ekonomi kapitalisme yang dapat mengkonsentrasikan kekayaan menumpuk pada sekelompok kecil orang-orang kaya tidak sesuai dengan Islam. Untuk terciptanya pemerataan kekayaan atau lebih tepatnya menghindari adanya penumpukan kekayaan tersebut pada sekelompok kecil masyarakat, selain diciptakan suatu aturan yang dapat mendukung pemerataan kekayaan dan dilarang segala macam usaha monopoli, dilarang terjadinya usaha mendapatkan kekayaan dalam bentuk riba, maisir, penimbunan, ghoror.

Pun ditetapkan bahwa dalam kekayaan seseorang yang sudah mencapai nisab (85 gram Emas atau 1 ton padi untuk tanaman), di dalamnya terdapat harta yang menjadi hak-hak mustahik zakat sebanyak 2,5 persen, atau 5 persen atau 10 persen atau 20 persen yang mesti diberikan kepada fakir, miskin, sabilillah, ibnu sabil, amilin, mualaf, dan ghorimin.

Oleh karena itulah, orang yang mengeluarkan zakat bukan seorang dermawan. Sebab zakat yang diberikannya bukan miliknya, melainkan milik mustahik zakat yang dititipkan oleh Allah kepada muzzaki atau pemegang titipan dari Allah yang harus diberikan kepada mustahik tersebut.

Begitu pentingnya zakat, Khalifah Abu Bakar Siddik pernah bersumpah akan memerangi orang yang tidak zakat walaupun mereka melakukan shalat. Sumpahnya yang terkenal itu Wallohi Lauqotilannas Man Farrogo Bainasholah Wazzakat. Demi Allah saya akan tetap berperang dengan orang-orang yang memisahkan shalat dan zakat. Alquran sendiri memberikan wewenang kepada penguasa untuk merampas harta orang-orang kaya yang tidak mengeluarkan zakatnya.

Selain zakat, ada bentuk-bentuk ibadah harta lainnya seperti sedekah, infak, fidyah, kifarat, hibah, nafkah, dll. Intinya adalah pengeluaran harta dari seseorang kepada orang lain yang secara hukum ada yang bernilai wajib sepeti zakat dan ada yang bernilai wajib atau sunat seperti infak, sedekah, dan lain-lain.

Ramadhan adalah saat yang paling tepat untuk menyalurkan harta kepada orang-orang yang berhak menerimanya, baik langsung kepada yang bersangkutan atau melalui lembaga-lembaga yang menangani zakat, infak, sedekah tersebut yang betul-betul amanah, tepercaya. Karena Ramadan adalah bulan kedermawanan.

oleh: Manajemen Sinergi Foundation

 

sumber: Republika Online

Munajat Pagi

Pagi merupakan awal aktivitas kita. Kesegaran udara pagi, tidak saja baik untuk badan, tetapi juga sangat baik untuk ruhani kita. Pagi menjadi waktu yang utama bagi setiap Muslim untuk berzikir danbermunajat kepada Allah SWT.

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar An-Nawawiyah menyebutkan bahwa zikir siang (an-nahar) yang paling utama adalah di waktu pagi usai Subuh. Bahkan, di antara doa dan zikir Nabi Muhammad SAW yang paling banyak adalah berzikir di waktu pagi, selain juga waktu sore.

Ini menunjukkan bahwa pagi merupakan waktu yang baik untuk mengawali hari dengan bermunajat kepada Allah SWT. Sebab, doa akan berpengaruh terhadap perilaku kita. Di antara doa yang dimunajatkan Nabi Muhammad SAW di waktu pagi adalah doa yang diriwayatkan Ummu Salamah.

Ia meriwayatkan bahwa tatkala pagi, Rasulullah SAW berdoa:Allahumma inni as-aluka ‘ilman naafi’an wa rizqan thayyiban wa ‘amalan mutaqobbalan (Ya Allah, sungguh aku mohon kepada Engkau ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima). (HR Ibnu Majah).

Doa yang dimunajatkan Nabi Muhammad SAW di atas berisi tiga permohonan yang sangat penting digapai oleh setiap Muslim. Pertama, ilmu yang bermanfaat (‘ilman nafi’an). Siapapun kita, terutama yang sedang menuntut ilmu, tentu sangat menginginkan kemanfaatan ilmunya.

Ilmu yang bermanfaat tidak sekadar ilmu yang banyak, tetapi lebih dari itu, pengetahuan yang diperoleh dapat memberikan kemanfaatan bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat bahkan bangsa dan agamanya.

Kemanfaatan ilmu itu dapat diukur seberapa besar kebaikan ilmu dapat dirasakan oleh diri dan orang lain. Bukan ilmu yang merusak dan menyengsarakan umat, apapun dalih dan profesinya.

Kedua, rezeki yang baik (rizqan thayyiban). Hampir setiap kita, di saat pagi tiba, diawali untuk mencari rezeki. Dan, ajaran Nabi SAW adalah bagaimana kita mencari rezeki yang baik.

Tentu saja, rezeki yang baik adalah yang diambil melalui cara dan proses yang benar dan dibelanjakan dengan jalan yang benar pula. Cara-cara haram, seperti korupsi, hanya akan menjauhkan diri kita dari keberkahan rezeki dan kebaikan nikmat.

Ketiga, amal perbuatan yang diterima oleh Allah SWT (‘amalan maqbulan). Menurut ulama, kriteria aktivitas amal kita dapat diterima oleh Allah adalah amal perbuatan itu benar (ash-shawab) dan dilandasi dengan keikhlasan (al-ikhlash).

Jika kita menginginkan amal baik diterima oleh Allah SWT, maka kita harus mendasarkan amal kita dengan parameter kebenaran dan keikhlasan. Semoga hari kita senantiasa dinaungi ilmu, rezeki, dan amal yang baik sebagaimana yang dimunajatkan Nabi SAW di waktu pagi.

 

 

Oleh: Ahmad Munir / Republika Online

Puasa dan Keteguhan Jiwa

ALLAH Ta’ala berfirman, “Hai orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS al-Baqarah: 183)

Firman Allah itu menegaskan hikmah puasa yang dapat menyehatkan jiwa manusia. Namun, faedah dan pengaruh yang sangat baik itu tidak akan pernah kita rasakan kecuali jika kita menjalankan ibadah puasa sesuai dengan tuntunan syariat dan memahami hakikat manusia.

Apakah manusia semata-mata tubuh yang tegak dan bentuk yang sempurna? Ataukah manusia merupakan sekumpulan sistem, sel, daging, darah, tulang dan jaringan saraf?

Sesungguhnya, kita merupakan perpaduan antara aspek fisikal dan mental, jansmani dan ruhani, atau lahir dan batin. Manusia merupakan kelembutan Ilhai dan mutiara ruhani yang sangat mulia, yang berakal, berfikir, merasa, dan mencecap.

Allah Ta’ala menciptakan kita dari tanah liat, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka dari tanah liat.” (QS Al-Shaffat: 11). Kemudian ruh ditiupkan kepadanya, “Ketika telah Kusempurnakan penciptaannya dan Kutiupkan ruh-Ku kepadanya maka duduklah kalian bersujud kepadanya.” (QS al-Hijr: 29)

Sebagai makhluk hidup yang diberi akal oleh Allah, kita dianugerahkan kebutuhan jasmani dan kebutuhan ruhani. Kita tidak boleh hanya mementingkan kebutuhan jasmani dan mengabaikan kebutuhan ruhani. Kita juga harus mencukupi makanan ruhani sehingga kita terhindar dari kesesatan, kejahatan, dan penyimpangan.

Makanan ruhani akan mendisplinkan dan menyucikan jiwa. Puasa dapat menumbuhkan kedekatan kepada Allah swt. Orang yang dekat kepada Allah, atau merasa senantiasa diawasi oleh Allah, niscaya jiwanya akan disucikan karena selalu melakukan ketaatan dan manjauhi kemaksiatan.

Puasa mendisplinkan jiwanya untuk terus mendekati Allah Yang Maha Suci. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Puasa adalah Perisai.” (HR.Muslim).

Setiap muslim berusaha memanfaatkan semua waktunya selama berpuasa untuk menjalani ketaatan dan semakin mendekati Allah dengan membaca Alquran, mendirikan salat, menunaikan zakat, memberi sedekah, dan selalu berbuat baik kepada sesama.

Dengan begitu, secara bertahap jiwanya semakin suci, luhur, mulia, dermawan, sabar, taat, selalu ingat kepada Allah Ta’ala, dan selalu bersyukur atas semua nikmat yang dianugerahkan oleh Allah kepada kita.

 

[Chairunnisa Dhiee]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2305424/puasa-dan-keteguhan-jiwa#sthash.ADt96fiX.dpuf

Inilah Tiga Waktu Mustajab Berdoa di Bulan Ramadan

RAMADAN adalah waktu yang tepat untuk memperbanyak doa. Ayat tentang puasa dalam surat Al Baqarah yang langsung dilanjutkan dengan ayat tentang doa mengisyaratkan hal ini.

Secara khusus, ada tiga waktu di setiap hari selama bulan Ramadan yang merupakan waktu-waktu mustajab untuk berdoa. Berdoa di waktu-waktu ini, insya Allah lebih mudah dikabulkan Allah.

Sepertiga malam terakhir

Pada hari-hari biasa, sepertiga malam yang terakhir juga merupakan waktu mustajabah untuk berdoa. Di bulan Ramadan, berdoa di waktu ini lebih mudah bagi banyak orang karena umumnya waktu ini adalah waktu sahur.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Rabb kita Tabaraka wa Taala turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lantas Allah berfirman, “Siapa saja yang berdoa kepadaKu, niscaya akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepadaKu, niscaya Aku beri. Siapa yang meminta ampunan kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Sepanjang waktu puasa

Yakni sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Sebagaimana sabda Rasulullah:

“Tiga orang yang doanya tidak tertolak: (pertama) orang yang berpuasa sampai ia berbuka” (HR. Ahmad; shahih lighairihi)

Saat berbuka

Perbanyak doa saat berbuka karena waktu ini juga waktu mustajabah untuk berdoa.

“Sesungguhnya doa orang yang berpuasa ketika berbuka tidaklah tertolak.” (HR. Ibnu Majah; hasan)

Jangan sia-siakan tiga waktu ini. Setiap hari selama Ramadan.

[Bersamadakwah]
– See more at: http://ramadhan.inilah.com/read/detail/2306212/inilah-tiga-waktu-mustajab-berdoa-di-bulan-ramadan#sthash.sIiZ8j9R.dpuf

Ini Hukum Meninggalkan Puasa Ramadan

APABILA kita sudah memahami bahwa puasa Ramadan merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun Islam, bahkan ia masuk dalam perkara yang pastinya semua orang sudah tahu.

Oleh karena itu, siapa mengingkari kewajibannya akan menjadi kafir, yaitu kita berurusan dengannya seperti berurusan dengan orang murtad. Lalu dia diminta untuk bertobat, jika dia bertobat maka tobatnya diterima, namun sekiranya enggan, maka dijatuhkan hukuman bunuh sekiranya dia telah lama memeluk agama Islam dan tidak tinggal berjauhan dari para ulama.

Jika dia sudah tahu kewajibannya tanpa mempersoalkan kewajiban puasa, namun dia berkata, “Aku tahu wajib, tetapi aku tidak mau berpuasa,” maka dia tergolong dalam golongan yang fasik,[1] bukannya kafir.

Golongan ini mestilah dicegah oleh pemerintah dengan diperintahkan mereka menahan makan dan minum supaya mereka juga seolah-olah berpuasa sekalipun hanya sekadar luarnya saja.[Ustaz Syihabuddin Ahmad, Lc/Fimadani]

[1] Golongan yang tidak diterima persaksiannya, serta dia tidak boleh menjadi wali perkawinan anak perempuannya sendiri, atau mewakili perkawinan manapun.

 

– See more at: http://ramadhan.inilah.com/read/detail/2305772/ini-hukum-meninggalkan-puasa-ramadan#sthash.81ByIwoa.dpuf

Dahulukan Qadha Puasa Ramadan atau Puasa Syawal?

ADA pertanyaan terkait puasa enam hari di bulan Syawal setelah Hari Raya Idul Fitri. Apakah seorang wanita muslimah sebaiknya memulai puasa qadha sebanyak hari puasa yang ditinggalkannya karena haid, kemudian barulah dia mengerjakan puasa enam hari (bulan Syawal, pen.) atau bagaimana seharusnya?

Jawabannya, alhamdulillah. Jika dia (wanita muslimah tersebut, pen.) ingin memperoleh pahala yang telah disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

“Barang siapa yang berpuasa Ramadan (secara penuh, pen) kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka itu senilai dengan puasa selama setahun.” (HR. Muslim, no. 1984)

Maka, seorang wanita muslimah seharusnya menyempurnakan puasa Ramadannya terlebih dahulu, baru kemudian dia melanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal, agar sejalan dengan hadis dan supaya dia bisa meraih pahala yang disebutkan dalam hadis tersebut.

Adapun dari segi boleh atau tidaknya, wanita muslimah mengakhirkan qadha puasa Ramadan, adalah sesuai dengan kemampuannya, sebelum bulan Ramadan berikutnya tiba. []

Keterangan Syaikh Muhamad bin Shaleh al-Munajed
Sumber: http://islamqa.com/ar/ref/4082

***
artikel muslimah.or.id
Penerjemah: Tim Penerjemah Muslimah
Murajaah: Ust Ammi Nur Baits

Sumber: https://muslimah.or.id/2339-mendahulukan-qadha-puasa-ramadhan-atau-puasa-syawal.html
– See more at: http://ramadhan.inilah.com/read/detail/2306274/dahulukan-qadha-puasa-ramadan-atau-puasa-syawal#sthash.070OY4PG.dpuf