Pecinta Seni asal Inggris Masuk Islam karena Al-Quran

Sebastian Van’t Hoff adalah seorang dosen. Dia saat ini tinggal di Oxford, Inggris. Dirinya mempelajari sejarah seni dan merupakan pecinta seni.

Menurut situs volzin.nu, Van’t Hoff aktif dalam gerakan antaragama dan menjadi manajer pusat retret multiagama Loudwater Farm. Van ‘t Hoff seringkali menulis tentang perjumpaan dengan sesama manusia, Islam, seni dan budaya.

Di Facebook, pria yang juga pemilik galeri itu menceritakan bagaimana pertemuannya dengan Islam dan alasan sehingga akhirnya memilih untuk menjadi masuk Islam dan menjadi mualaf.

“Saya masuk Islam sekitar empat puluh tahun yang lalu. Alasannya, saya terharu sampai menitikkan air mata membaca Al-Qur’an dan Sirah; Saya tahu saya sedang membaca kebenaran,” tulisnya.

Van’t Hoff mengaku pada saat itu ia memiliki beberapa kenalan Muslim dan merasakan bahwa mereka “memiliki sesuatu”.

“Pada masa itu saya juga memiliki beberapa rekan dan teman Muslim. Saya sangat menyukai mereka dan merasakan bahwa mereka ‘memiliki sesuatu’. Saya sangat merasakannya di rumah mereka. Ada kemurnian dan kedamaian di rumah-rumah ini di mana orang mengarahkan diri mereka kepada Tuhan lima kali sehari,” imbuh Van’t Hoff. Selain itu, ia menyukai kebersihan yang diajarkan oleh Islam.

“(Saya juga menyukai kebersihan saat melepas sepatu saat memasuki rumah.) Belakangan saya menyadari perasaan yang sama di masjid yang seringkali seperti oasis di kota yang sibuk. Saya menyukai “perasaan Muslim” yang bersih ini,” ujarnya kagum.

Menariknya, meski memiliki beberapa teman Muslim, Van’t Hoff mengungkapkan bahwa mereka tidak pernah berbicara tentang Islam dengannya dan dirinya pun tak pernah bertanya kepada mereka.

“Perilaku merekalah yang menyentuh saya dan membuat saya merasakan cinta kepada mereka,” aku Van’t Hoff.

Ketertarikannya kepada Islam terutama adalah karena Al-Quran, kitab yang diturunkan Allah untuk umat manusia. Hal tersebut tidak lepas dari kesukaan Van’t Hoff dalam membaca.

“Saya seseorang yang mengambil pengetahuan melalui membaca, saya selalu suka membaca. Itulah mengapa membaca Al-Qur’an adalah alasan utama saya tertarik pada Islam. Saya tidak suka ceramah dan khotbah dan tentunya bukan seseorang yang mencoba meyakinkan saya tentang sesuatu. Salah satu keajaiban Al-Qur’an adalah bahwa bahkan dengan terjemahan yang buruk (jelas, tidak ada yang bisa melampaui bahasa Arab yang luar biasa yang terkandung di dalamnya) Al-Qur’an masih dapat menggerakkan orang dan membawa mereka lebih dekat kepada Tuhan,” ungkap Van’t Hoff.*

HIDAYATULLAH

Bolehkah Qadha Puasa Ramadhan di Hari Jum’at?

Seringkali kita mendengar mengenai kemakruhan untuk melaksanakan puasa di hari jum’at. Hal ini menyebabkan beberapa orang tidak mengqadha puasanya yang tertinggal di bulan Ramadhan pada hari Jum’at dan memilih untuk puasa di hari berikutnya. Lantas, bolehkah qadha puasa ramadhan di hari jum’at?

Dalam literatur kitab fikih, dijumpai beberapa keterangan yang menjelaskan mengenai kewajiban untuk menyegerakan qadha puasa Ramadhan yang tertinggal. Kewajiban ini harus didahulukan dari pelaksanaan puasa sunnah, karena merupakan perintah yang wajib dikerjakan.

Sebagaimana dalam kitab I’anah at-Thalibiin, juz 4, halaman 294 berikut,

وعبارة الزواجر الحادي عشر أي من شروط التوبة التدارك فيما إذا كانت المعصية بترك عبادة ففي ترك نحو الصلاة والصوم تتوقف صحة توبته على قضائها لوجوبها عليه فورا وفسقه بتركه كما مر فإن لم يعرف مقدار ما عليه من الصلوات مثلا  قال الغزالي تحرى وقضى ما تحقق أنه تركه من حين بلوغه

Artinya : “Redaksi dalam kitab az-Zawaajir, mengenai urutan yang ke sebelas dari syarat-syaratnya taubat adalah mengqadha ibadah, yakni apabila maksiat yang dilakukan akibat meninggalkan ibadah di masa silam, maka dalam meninggalkan shalat dan puasa misalnya, untuk dapat mengabsahkan taubatnya, dia harus mengqadha terlebih dahulu karena mengqadhanya diwajibkan sesegera mungkin dan dihukumi fasik bila ditinggalkan seperti keterangan yang telah lewat.

Bila tidak diketahui jumlah yang wajib ia qadha seperti dalam kasus shalat misalnya, maka menurut al-Ghazali wajib baginya meneliti dan mengqadha yang telah nyata ia tinggalkan mulai masa balighnya.”

Seseorang yang melakukan qadha puasa Ramadhan di hari jum’at juga dihukumi sah dan terbebas dari kewajiban. Tetapi, menurut pendapat yang sohih apabila seseorang mengqadha puasanya di hari jum’at saja, tanpa melakukan puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, maka dihukumi makruh. 

Sebagaimana dalam kitab Nurul Lum’ah fi Khashaishil Jum’ah berikut,

الصحيح من مذهبنا وبه قطع الجمهور كراهة صوم الجمعة منفردا، وفي وجه أنه لا يكره إلا لمن لو صامه منعه من العبادة وأضعفه 

Artinya, “Pendapat yang shahih dari mazhab kita, yakni Syafi’i dan ini merupakan pendapat jumhur ulama bahwa puasa hari Jumat saja dihukumi makruh apabila tidak diikuti dengan puasa sebelum dan sesudahnya. Menurut sebagian ulama puasa di hari jum’at saja tidak makruh kecuali bagi orang yang terhalang ibadahnya lantaran puasa dan dapat melemahkan tubuhnya.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa seseorang yang melakukan qadha puasa Ramadhan di hari jum’at dihukumi sah dan terbebas dari kewajiban. Tetapi, apabila seseorang mengqadha puasanya di hari jum’at saja, tanpa melakukan puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, maka dihukumi makruh. 

Demikian penjelasan mengenai bolehkah qadha puasa ramadhan di hari jum’at. Semoga bermanfaat. Waallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Kapan Waktu yang Tepat untuk Puasa Syawal?

Puasa Syawal adalah puasa sunnah yang dilakukan pada bulan Syawal, yaitu bulan setelah Ramadlan. Lantas kapan waktu yang tepat untuk puasa Syawal?

Tak bisa dipungkiri, puasa Syawal merupakan puasa sunnah yang banyak digemari oleh umat muslim, dikarenakan mereka sudah terbiasa berpuasa di bulan sebelumnya. Hingga menganggap puasa ini sebagai puasa lanjutan dari puasa Ramadlan.

 عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا رواه ابن ماجه والنسائي ولفظه :

Dari Tsauban maula (pembantu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang melakukan puasa enam hari setelah hari raya ‘Idul Fithri, maka, itu menjadi penyempurna puasa satu tahun. [Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya].

Pelaksanaan bisa dimulai dari setelah hari raya Idul Fitri, yaitu 2 Syawal. Dan berakhir pada akhir bulan Syawal. Berdasarkan hadits tersebut, puasa Syawal dilakukan selama enam hari. Enam hari tersebut dilakukan selama bulan Syawal, tidak berlaku pada bulan setelah Syawal.

Imam Nawawi rahimahullah memberikan keterangan dalam Syarh Shahih Muslim, bahwa para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhal (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut sehari setelah Idul Fitri.

Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan. Karena seperti itu pun disebut menjalankan puasa enam hari Syawal setelah Ramadhan.

Begitupun dengan Syaikh Muhammad bin rasyid Al-Ghafily yang menyebutkan senada dengan keterangan di atas. Beliau menyebutkan bahwa yang lebih utama adalah memulai puasa Syawal sehari setelah Idul Fithri.

Ini demi kesempurnaan dan menggapai keutamaan. Hal ini supaya mendapatkan keutamaan puasa segera mungkin sebagaimana disebutkan dalam dalil sebelumnya. Namun, sah-sah saja puasa Syawal tidak dilakukan di awal-awal bulan Syawal karena menimbang mashalat yang lebih besar.

Allah Ta’ala pun berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqarah: 286)

Dari berbagai keterangan di atas, para ulama sepakat dan tidak ada perbedaan jika permulaan waktu untuk puasa Syawal adalah pada tanggal 2 Syawal, yaitu hari setelah perayaan Idul Fitri. Tidak harus di tanggal 2 Syawal, melainkan ini merupakan hari pertama diperbolehkannya melaksanakan puasa sunnah Syawal.

Adapun batas akhirnya adalah pada akhir bulan Syawal. Jadi bagi siapa yang belum bisa melakukan lansung dari setelah hari raya Idu Fitri, ia masih ada kesempatan berpuasa hingga akhir bulan Syawal.

Demikian penjelasan kapan waktu yang tepat untuk puasa Syawal? Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Jamaah Umroh Harus Penuhi 4 Syarat Ini untuk Bawa Zamzam

Jamaah tidak boleh memasukkan botol Zamzam ke dalam bagasi.

Bandara Internasional King Abdulaziz (KAIA) di Jeddah, Arab Saudi telah menetapkan empat syarat yang harus dipatuhi jamaah umroh jika mereka ingin membawa air Zamzam bersama mereka.

KAIA mengatakan dalam infografik bahwa jamaah haji dan umroh yang kembali ke negaranya tidak boleh memasukkan botol Zamzam ke dalam bagasi yang dikirim. Mereka harus membawanya ke dalam pesawat yang mereka tumpangi.

Dilansir di Saudi Gazette, Jumat (28/4/2023), diberitakan operasi pengiriman membutuhkan pembelian Zamzam dari titik penjualan utama dan hanya botol lima liter yang diperbolehkan. Setiap jamaah umroh yang berangkat dengan penerbangan internasional diperbolehkan membawa satu botol Zamzam, dengan syarat menunjukkan bukti pendaftaran umroh melalui aplikasi Nusuk.

Sebelumnya, Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi telah menegaskan bahwa syarat mendapatkan izin untuk melakukan umroh tetap wajib bagi para peziarah setelah Ramadhan. Mereka yang ingin melakukan umroh harus mendaftar melalui aplikasi Nusuk atau aplikasi Tawakkalna.

Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi juga tetap memberlakukan persyaratan bebas Covid-19. Selain itu, menyatakan peziarah umroh akan dapat berpindah antara Makkah dan Madinah dan di seluruh kota Arab Saudi setelah mereka tinggal.

Perlu disebutkan Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi sebelumnya telah menetapkan tanggal 10 Syawal sebagai tanggal terakhir bagi peziarah domestik untuk membayar angsuran ketiga dan terakhir dari reservasi haji mereka.

Angsuran akhir berjumlah 40 persen dari biaya yang ditentukan untuk paket yang disetujui selama musim haji ini. Kementerian mengatakan status reservasi akan dikonfirmasi saat menyelesaikan semua cicilan pada waktu yang ditentukan.

Tercatat reservasi akan dibatalkan jika cicilan tidak selesai. Penerbitan izin resmi akan dimulai pada tanggal 15 Syawal, sesuai dengan 5 Mei.

IHRAM

Didiklah Anak Seperti Ini Agar tak Dzalim

Cara Mendidik Anak dalam Islam agar tak dzalim

Islam bukan saja agama yang identik dengan ibadah individual antara sang hamba dengan Allah saja, lebih dari itu umat Islam juga diajarkan mengenai menjalin hubungan terhadap manusia dan alam semesta. Untuk itu dibutuhkan pendidikan yang baik dalam upaya menjalin hubungan tersebut agar tidak menzhalimi orang lain dan alam.

Syekh Aidh Al-Qarni dalam kitab Sentuhan Spiritual menjelaskan, Allah telah memberikan amanah berupa anak-anak kepada orang tua. Untuk kebaikan anak-anak itu, Allah telah menyerukan beberapa hal dan salah satu penekanannya adalah dengan menuntut ilmu. 

Syekh Aidh mengatakan, sebelum seseorang memulai perjalanan dakwah, kehidupan, dan lika-liku perjalanan maka dia diwajibkan untuk menuntut ilmu. Dia mengajak umat Islam untuk memenuhi hati dengan iman, memenuhi anggota badan dengan keyakinan, dan memenuhi otak dan pikiran dengan ilmu dan buahnya adalah akhlak.

Allah SWT menyifati pari penuntut ilmu bahwa mreka takut kepada-Nya, berhenti dari batasan-batasan-Nya, dan merekalah yang mengawasi-Nya dalam kesunyian dan keramaian. Sehingga orang yang tidak mengawasi Allah, tidak takut kepada-Nya, dan tidak bertakwa kepada-Nya, bukanlah penuntut ilmu. 

Dalam Alquran Surah Faathir ayat 28, Allah berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama,”. 

Dijelaskan bahwa Allah juga menyifati para penuntut ilmu bahwa mereka memiliki pemahaman dalam berdakwah, pemahaman dalam agama dan berdalih dengan nash-nash seraya berfirman dalam Surah Al-Ankabut ayat 43, “Dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu,”. 

Bahkan Allah SWT tidak memerintahkan kepada para Rasul-Nya untuk berbekal kecuali dengan ilmu. Allah berfirman dalam Surah Thaahaa ayat 114, “Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan,”. 

Syekh Aidh menekankan bahwa umat Islam yang menuntut ilmu agar senantiasa menyandingkan ilmu tersebut dengan akhlak dan berharap kemanfaatan atas ridha Allah SWT. Sebab, kata beliau, seorang hamba yang berilmu tanpa dihiasi akhlak dan juga keridhaan Allah akan menyesal. 

Ilmu yang tidak membuatmu menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah bukanlah ilmu. Ilmu yang tidak membuatmu patuh terhadap kedua orang tua, menyambung silaturrahim, jujur dan bertanggung jawab, sesungguhnya hatinya tidak mengetahui Allah. Ilmu yang tidak diiringi dengan keadilan dan justru berlaku zhalim, sesungguhnya itu bukanlah ilmu Allah.

IHRAM

Beramal Tanpa Panduan

Bismillah.

Di antara bentuk kesalahpahaman yang tersebar di tengah masyarakat muslim adalah melandaskan amal kepada niat semata. Yang penting ikhlas, atau yang penting niatnya baik, dan sebagainya. Kerancuan berpikir seperti ini telah dijawab oleh Imam Bukhari rahimahullah. Di dalam Kitabul Ilmi dari Shahih Bukhari beliau membuat bab dengan judul ‘Bab Ilmu sebelum ucapan dan amalan.’

Para ulama menjelaskan bahwa amal saleh harus memenuhi 2 kriteria: 1) ikhlas karena Allah dan 2) mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kehilangan syarat pertama membuat pelakunya terjerumus ke dalam syirik. Kehilangan syarat kedua membuatnya jatuh ke dalam bid’ah.

Contoh orang yang beramal tanpa ikhlas adalah tiga orang yang pertama kali diadili dan menjadi bahan bakar neraka: 1) orang yang berjihad untuk mencari pujian, 2) orang yang membaca Al-Qur’an dan mencari ilmu untuk mencari sanjungan, dan 3) orang yang berinfak supaya dikenal sebagai dermawan. Allah berfirman,

وَقَدِمۡنَاۤ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنۡ عَمَلࣲ فَجَعَلۡنَـٰهُ هَبَاۤءࣰ مَّنثُورًا

Dan Kami hadapkan segala amal yang mereka lakukan, kemudian Kami jadikan ia bagi debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)

Hal ini menunjukkan bahwa ilmu tentang ikhlas sangat penting dalam menjaga amal dari kerusakan. Para ulama memiliki perhatian yang sangat besar untuk memahamkan kaum muslimin tentang makna ikhlas. Sebagaimana menjaga amal agar sesuai dengan tuntunan dibutuhkan ilmu, maka menjaga amal agar ikhlas juga perlu bekal ilmu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kebaikan seorang muslim sangat erat kaitannya dengan ilmu dan pemahamannya dalam agama. Tidak cukup bermodal semangat. Karena orang yang beramal tanpa ilmu akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.

Karena itulah setiap kali salat kita berdoa kepada Allah meminta petunjuk jalan yang lurus. Hakikat jalan lurus atau shirathal mustaqim adalah mengenali kebenaran dan beramal dengannya. Dengan demikian, untuk bisa mendapatkan ilmu seorang muslim membutuhkan pertolongan Allah dan petunjuk dari-Nya.

Malik bin Dinar berkata, “Barangsiapa menimba ilmu untuk beramal, maka Allah akan memberikan taufik kepadanya. Dan barangsiapa menimba ilmu bukan untuk beramal, maka semakin banyak ilmu akan justru membuatnya semakin bertambah congkak.” (lihat Ta’thir Al-Anfas, hal. 575-576)

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Orang yang diberikan kenikmatan adalah orang yang mengambil ilmu dan amal. Adapun orang yang dimurkai adalah orang-orang yang mengambil ilmu dan meninggalkan amal. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang mengambil amal, namun meninggalkan ilmu.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 25)

Oleh sebab itu, kita dapati para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang-orang yang bersemangat untuk menimba ilmu sekaligus mengamalkannya. Tidaklah mereka melewati sekitar sepuluh ayat, melainkan mereka berusaha memahami maknanya dan mengamalkannya. Mereka berkata, “Maka kami mempelajari ilmu dan amal secara bersama-sama.” (lihat Al-‘Ilmu, Wasa’iluhu wa Tsimaaruhu oleh Syekh Sulaiman Ar-Ruhaili, hal. 19)

Amal itu mencakup iman kepada Allah, menunaikan ketaatan kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Tercakup dalam amal ini berbagai bentuk ibadah khusus yang bersifat pribadi maupun ibadah-ibadah yang memberikan faedah luas kepada orang lain. Ibadah khusus misalnya salat, puasa, haji. Adapun ibadah yang meluas faedahnya antara lain amar makruf nahi mungkar, jihad di jalan Allah, dsb. Amal inilah yang menjadi buah dari ilmu. Barangsiapa beramal tanpa ilmu, menyerupai kaum nasrani. Dan barangsiapa berilmu tetapi tidak beramal dengannya, menyerupai kaum Yahudi. (lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, hal. 22)

Allah berfirman,

 أَلَمۡ یَأۡنِ لِلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَن تَخۡشَعَ قُلُوبُهُمۡ لِذِكۡرِ ٱللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ ٱلۡحَقِّ وَلَا یَكُونُوا۟ كَٱلَّذِینَ أُوتُوا۟ ٱلۡكِتَـٰبَ مِن قَبۡلُ فَطَالَ عَلَیۡهِمُ ٱلۡأَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوبُهُمۡۖ وَكَثِیرࣱ مِّنۡهُمۡ فَـٰسِقُونَ

ٱعۡلَمُوۤا۟ أَنَّ ٱللَّهَ یُحۡیِ ٱلۡأَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِهَاۚ قَدۡ بَیَّنَّا لَكُمُ ٱلۡـَٔایَـٰتِ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ

Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk/khusyuk hati mereka karena mengingat Allah dan kebenaran yang turun, dan janganlah mereka itu menjadi seperti orang-orang yang diberikan kitab sebelumnya. Masa yang panjang berlalu, maka hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. Ketahuilah bahwasanya Allah menghidupkan bumi setelah kematiannya. Sungguh Kami telah menerangkan kepada kalian ayat-ayat, mudah-mudahan kalian mau memikirkan.” (QS. Al-Hadid: 16-17)

Sebagaimana bumi yang mati menjadi hidup kembali dengan siraman air hujan dari langit, maka demikian pula hati yang mati dan keras akan menjadi hidup dan bercahaya dengan siraman petunjuk dan taufik dari Rabb penguasa langit dan bumi. Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah berkata, “Maka, demikian pula hati, tidak akan mungkin dia menjadi hidup dan merasakan kelezatan hidup serta menikmatan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, kecuali dengan Al-Qur’an ini. Tanpa Al-Qur’an dan tanpa beramal dengannya seorang insan hanya akan menjalani kehidupan ini seperti kehidupan binatang, bukan kehidupan yang hakiki.” (lihat Hablullah Al-Mamdud, hlm. 9)

Dalam kitabnya Miftah Daris Sa’adah, Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, “Iman itu memiliki dua pilar. Yang pertama adalah mengenali ajaran yang dibawa oleh Rasul dan mengilmuinya. Yang kedua adalah membenarkan ajaran itu dalam bentuk ucapan dan amalan. Pembenaran tanpa landasan ilmu dan pemahaman adalah mustahil. Karena pembenaran merupakan cabang dan konsekuensi dari keberadaan sesuatu yang diyakini kebenarannya. Kalau begitu maka kedudukan ilmu dalam keimanan seperti peranan ruh di dalam jasad.” (lihat nukilan ini dalam kitab ‘Ibadatul ‘Umri karya Syekh Abdurrahman as-Sanad hafizhahullah, hal. 10)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84470-beramal-tanpa-panduan.html

4 Amalan Sunah di Bulan Syawal

BULAN Syawal diperingati sebagai salah satu momen besar umat Islam yaitu pada tanggal 1-nya kita merayakan Hari Raya Idul Fitri. Nah, selain itu, ada juga beberapa amalan sunnah di bulan Syawal ini.

Hari kemenangan umat Muslim di seluruh dunia karena berhasil menjalankan ibadab puasa di bulan Ramadhan selama sebulan penuh. Syawal juga menjadi bulan pembuktian hasil ‘penggodokan’ di bulan Ramadhan, jadi ibadah sudah seharusnya terus berkelanjutan dan ditingkatkan pada bulan syawal.

Keistimewaan bulan Syawal dapat kita dapatkan dengan melakukan beberapa ibadah sunnah, bukan hanya puasa 6 hari saja yang telah dikenal mayoritas umat Muslim.

Berikut amalan-amalan sunah yang akan membuat Syawal menjadi bulan istimewa:

1 Amalan Sunah di Bulan Syawal: Puasa enam hari

Setelah menjalani puasa selama satu bulan penuh pada bulan Ramadhan, puasa enam hari di bulan syawal menjadi pelengkap atau penyempurna amalan pada bulan Ramadhan. Bahkan pahala puasa enam di bulan Syawal hari seusai puasa Ramadhan sama dengan puasa satu tahun penuh.

Larangan bagi Perempuan Haid atau Nifas, Manfaat Puasa Senin Kamis, Hukum Menunda-nunda Qadha Puasa Ramadhan, Puasa Senin Kamis, Manfaat Puasa Sunnah Senin dan Kamis, qadha puasa, Puasa Qadha, Waktu Membayar Utang Puasa Ramadhan, Ketentuan Qadha Puasa, Utang Puasa Ramadhan, Niat Puasa Senin-Kamis, keutamaan puasa daud, Puasa Qadha, Manfaat Puasa, Qadha Puasa Ramadhan, Hukum Berpuasa Sunnah Seminggu sebelum Ramadhan, puasa, Hadist tentang Bulan Syawal
Foto: Pinterest

Dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabi SAW bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).

Untuk pelaksanaan puasa sunah Syawal sebaiknya dilakukan di awal bulan Syawal. Namun tidak di awal Syawal pun tak mengapa.

Imam Nawawi ra berkata, “Menurut ulama Syafi’iyah, puasa enam hari di bulan Syawal disunnahkan berdasarkan hadits di atas. Disunnahkan melakukannya secara berturut-turut di awal Syawal. Jika tidak berturut-turut atau tidak dilakukan di awal Syawal, maka itu boleh. Seperti itu sudah dinamakan melakukan puasa Syawal sesuai yang dianjurkan dalam hadits. Sunnah ini tidak diperselisihkan di antara ulama Syafi’iyah, begitu pula hal ini menjadi pendapat Imam Ahmad dan Daud.” (Al Majmu’, 6: 276).

2 Melakukan i’tikaf

Melakukan i’tikaf atau berdiam diri di dalam masjid merupakan salah satu amalan yang sangat istimewa di bulan syawal.

Maksud berdiam diri ini tentunya bukan hanya berdiam diri saja di dalam masjid tanpa melakukan apa-apa. Berbagai amalan dan ibadah dapat dilakukan selama melaksanakan I’tikaf.

Agar Ibadah Diterima, Syarat Imam Shalat Berjamaah, Keutamaan bulan Muharram, Pahala Shalat di Masjid, Keutamaan Shalat Awal Waktu, Kriteria Masjid untuk Itikaf
Foto: Unsplash

I’tikaf merupakan cara seorang hamba lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan berzikir, melaksanakan shalat lima waktu dan shalat sunah, serta membaca Al-Quran. Biasanya I’tikaf bisa dilaksanakan pada 1 minggu terakhir di bulan Ramadhan.

Pelaksanaan I’tikaf banyak yang dilakukan saat malam hari saja, namun ada juga yang benar-benar melaksanakannya seharian penuh tanpa keluar dari masjid, kecuali untuk makan.

Selain itu, i’tikaf ternyata juga bisa dilakukan di bulan syawal apabila di bulan Ramadan Anda tidak sempat melaksanakannya.

Jadi keistimewaan bulan syawal ini juga dapat sebagai waktu untuk mengganti ibadah I’tikaf yang terlewat atau tidak sempat dilaksanakan saat bulan Ramadan.

Bulan syawal hadir sebagai penyempurna dan penambal amalan-amalan yang tidak dapat dilaksanakan saat bulan Ramadhan.

3 Amalan Sunah di Bulan Syawal: Bersilaturahmi

Amalan bulan syawal yang baik dilakukan selanjutnya adalah bersilaturahmi. Bersilaturahmi merupakan salah satu ibadah yang tidak asing lagi di bulan syawal.

Salah satu keistimewaan bulan syawal ini biasanya dilakukan dengan berbagai kegiatan seperti mudik ke kampung halaman dan saling bermaafan dengan keluarga, tetangga, dan teman-teman.

Jadi tidak heran apabila pada bulan syawal begitu istimewa dengan menjadi salah satu bulan di mana kebanyakan umat muslim bersilaturahmi.

4 Amalan Sunah di Bulan Syawal: Menikah

Suami Susah Beribadah, Hukum Menikahi Wanita yang Sudah tak Perawan, Hukum Menikah dalam Kondisi Hamil, Hukum Pernikahan Anak Hasil Zina, Keutamaan Puasa 6 Hari di Bulan Syawal, Amalan Sunah di Bulan Syawal
Foto: Unsplashkurma

Syawal merupakan bulan istimewa karena hari pertamanya (1 Syawal) merupakan hari raya umat Islam (Idul Fitri). Selain itu, Syawal juga istimewa karena terdapat perintah puasa enam hari di dalamnya yang mengandung keutamaan yang besar.

Disamping dua hal yang disebutkan di atas, Syawal juga istimewa karena identik dengan tradisi menikah. Menikah di bulan Syawal ternyata bukan hanya sekedar tradisi, tapi memang ada tuntunannya dalam Islam.

‘Aisyah ra istri Nabi SAW menceritakan, “Rasulullah SAW menikahiku di bulan Syawal, dan membangun rumah tangga denganku pada bulan syawal pula. Maka isteri-isteri Rasulullah SAW yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?” (Perawi) berkata, “Aisyah ra dahulu suka menikahkan para wanita di bulan Syawal” (HR. Muslim).

Selain, anjuran menikah, dalil di atas sekaligus menepis anggapan bahwa menikah di bulan Syawwal adalah kesialan dan tidak membawa berkah. Anggapan tersebut merupakan keyakinan bangsa Arab Jahiliyah pada saat itu. []

ISLAMPOS

Kriteria Imam Shalat Jamaah

SEPERTI layaknya suatu negara, dalam shalat pun kita membutuhkan sosok imam. Di mana ialah orang yang menjadi panutan bagi kita dalam shalat. Kita harus mengikuti apa yang dilakukan oleh imam tanpa membantahnya. Nah, ada beberapa kriteria imam shalat jamaah. Apa saja?

Dalam memilih seorang presiden untuk memimpin suatu negeri, tentu harus lebih selektif bukan? Sebab, ia memiliki tanggung jawab besar memimpin negeri ini dan mengarahkan masyarakatnya untuk tetap berada di jalan yang benar.

Begitu pula seorang imam dalam shalat. Kita tak bisa sembarang menunjuk seseorang menjadi imam. Sebab, imam pun memiliki tanggung jawab besar untuk mengarahkan kita pada kebenaran dalam shalat. Lalu, siapakah yang berhak menjadi imam?

Kriteria Imam Shalat Jamaah: Ahli tentang Al-Quran

Keutamaan Surat Al-Fatihah dalam Shalat, Imam Lupa Duduk Tasyahud Awal, Hal yang Harus Diperhatikan di dalam Shalat, agama islam, Manfaat Shalat, Jumlah Minimal Orang Shalat Berjamaah, Hukum Shalat Memakai Kaos, Level Shalat, Hukum Menahan Kentut ketika Shalat, Janji Allah SWT bagi Orang Beriman, Doa Qunut, Shalat yang Tidak Diterima Allah, Cara Shalat Khusyu, Cara Rasul Memakai Siwak, Shalat Berjamaah, sholat ghaib, Keutamaan Doa Iftitah, Cara Mencegah Orang yang Berjalan di Depan ketika Shalat, Keutamaan Shalat Subuh, Imam Shalat di Akhir Zaman,, Ukuran 1 Rakaat dalam Shalat, Waktu Makmum Baca Al Fatihah saat Shalat Jahr, Shalat Sempurna, Syarat Takbiratul Ihram, Hukum Mengulang Surat yang Sama ketika Shalat, Hukum Muslim Meninggalkan Shalat Fardhu, Kriteria Masjid untuk Itikaf, Hukum Menahan Kentut ketika Shalat,
Foto: International Mission Board

Orang yang paling berhak menjadi imam ialah orang yang ahli tentang Al-Quran, kemudian paling tahu tentang agama Allah, kemudian orang yang paling besar ketakwaannya, kemudian orang yang paling tua usianya.

https://youtube.com/watch?v=f2zaZTNlPxw%3Ffeature%3Doembed

Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang paling berhak mengimami manusia ialah orang yang paling tahu (qari’) tentang Kitabullah. Jika bacaan mereka sama, maka siapa yang paling tahu tentang sunnah. Jika pengetahuan mereka terhadap sunnah sama saja, maka siapa di antara mereka yang paling dulu hijrah. Jika hijrah mereka sama, maka siapa di antara mereka yang paling tua usianya,” (Diriwayatkan Muslim).

Kriteria Imam Shalat Jamaah: Jika Tak Ada Tuan Rumah

Hadist Shahih Bulan Ramadhan, Tata Cara Shalat Idul Adha,, Keutamaan Shalat Subuh, Posisi Anak dalam Al-Quran, Kriteria Imam Shalat Jamaah
Foto: Islam For Kids

Selama tidak ada penguasa di antara jama’ah, dan tidak ada tuan rumah, maka orang yang memiliki kriteria di atas berhak menjadi imam daripada orang lain. Sebab, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah sekali-kali seseorang mengimami orang lain di rumahnya dan mengimami penguasa kecuali dengan izinnya.”

Hadis tersebut dengan susunan hadis sebelumnya diriwayatkan Sa’id bin Manshur Rahimahullah. []

Referensi: Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim/Karya: Abu Bakr Jabir Al-Jazairi/Penerbit: Darul Falah

ISLAMPOS

Apakah Mengafani Jenazah Harus dengan Kain Putih?

Sudah maklum bersama bahwa pada umumnya jenazah dibungkus menggunakan kain kafan yang berwarna putih. Hampir tidak pernah dijumpai seseorang mengafani jenazah dengan kain selain warna putih. Apakah membungkus jenazah harus dengan kain kafan berwarna putih? Bagaimana jika jenazah dibungkus dengan kain kafan yang berwarna selain putih, apakah boleh?

Membungkus jenazah dengan kain kafan berwarna putih hukumnya adalah sunah, tidak wajib. Nabi Saw. menganjurkan kepada umatnya agar selalu membiasakan diri menggunakan pakaian berwarna putih. Juga menganjurkan agar jenazah dibungkus dengan kain kafan berwarna putih.

Anjuran ini sebagaimana terdapat dalam hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Ibnu Abbas, dia berkata bahwa Nabi Saw. bersabda;

البسوا من ثيابكم البياض، فإنهم من خير ثيابكم، وكفنوا فيها موتاكم

“Hendaklah kalian berpakaian putih, sebab kain putih itu sebaik-baik pakaian bagi kalian. Dan bungkuslah di dalam pakain putih itu orang-orang meninggal di antara kalian.”

Juga dalam hadis lain Nabi Saw. menganjurkan mengafani jenazah dengan kain putih, sebab kain putih lebih suci dan bagus dibanding warna lain. Hadis dimaksud diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Samurah bin Jundub, dia berkata bahwa Nabi Saw. bersabda;

البسوا البياض؛ فإنها أطهر وأطيب، وكفنوا فيها موتاكم

“Pakailah pakaian putih, karena ia lebih suci dan lebih bagus. Juga kafankanlah ia pada orang yang meninggal diantara kalian.”

Meski demikian, membungkus jenazah dengan kain kafan dengan warna lain dibolehkan, hanya saja tidak dianjurkan. Bahkan boleh juga membungkus jenazah dengan pakain biasa yang gunakan sehari-hari dengan syarat menutupi aurat jenazah. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Almajmu berikut;

قال أصحابنا رحمهم الله: ويجوز تكفين كل إنسان فيما يجوز له لبسه في الحياة فيجوز من القطن والصوف والكتاب والشعر والوبر وغيرها

“Ulama kami (ulama Syafiiyah-semoga Allah merahmati mereka) berkata; ‘Boleh membungkus setiap orang (jenazah) dengan pakaian yang boleh dipakai sewaktu masih hidup, mulai dari kain katun, wol, kain dari bulu onta dan lain sebagainya.

Dengan demikian, membungkus jenazah tidak harus dengan kain kafan berwarna putih, namun boleh dengan kain lain dan warna lainnya. Hanya saja yang dianjurkan oleh Nabi Saw. adalah membungkus jenazah dengan kain berwarna putih.

BINCANG SYARIAH

Bolehkah Puasa Sunnah Sebelum Qadha Puasa Ramadhan?

Akibat suatu kendala tertentu membuat sebagian orang tidak melaksanakan puasa Ramadhan secara penuh. Tetapi, kebanyakan orang tidak lantas mengqadha puasanya, bahkan ada yang memilih untuk melaksanakan puasa sunnah terlebih dahulu. Lantas, bolehkah melaksanakan puasa sunnah sebelum qadha puasa Ramadhan?

Dalam literatur kitab fikih, dijumpai beberapa keterangan yang menjelaskan mengenai kewajiban untuk menyegerakan qadha puasa Ramadhan yang tertinggal. Kewajiban ini harus didahulukan dari pelaksanaan puasa sunnah, karena merupakan perintah yang wajib dikerjakan.

Sebagaimana dalam kitab I’anah at-Thalibin, juz 4, halaman 294 berikut,

وعبارة الزواجر الحادي عشر أي من شروط التوبة التدارك فيما إذا كانت المعصية بترك عبادة ففي ترك نحو الصلاة والصوم تتوقف صحة توبته على قضائها لوجوبها عليه فورا وفسقه بتركه كما مر فإن لم يعرف مقدار ما عليه من الصلوات مثلا  قال الغزالي تحرى وقضى ما تحقق أنه تركه من حين بلوغه

Artinya : “Redaksi dalam kitab az-Zawaajir, mengenai urutan yang ke sebelas dari syarat-syaratnya taubat adalah mengqadha ibadah, yakni apabila maksiat yang dilakukan akibat meninggalkan ibadah di masa silam, maka dalam meninggalkan shalat dan puasa misalnya, untuk dapat mengabsahkan taubatnya, dia harus mengqadha terlebih dahulu karena mengqadhanya diwajibkan sesegera mungkin dan dihukumi fasik bila ditinggalkan seperti keterangan yang telah lewat.

Bila tidak diketahui jumlah yang wajib ia qadha seperti dalam kasus shalat misalnya, maka menurut al-Ghazali wajib baginya meneliti dan mengqadha yang telah nyata ia tinggalkan mulai masa balighnya.”

Akan tetapi, bagi seseorang yang ingin melaksanakan puasa sunnah diperbolehkan untuk menggabung niat qadha puasa dan puasa sunnah, sehingga dapat memperoleh kedua pahalanya secara bersamaan.

Sebagaimana dalam kitab al Asbahu wa al Nazhair berikut,

ولو صام في يوم عرفة مثلًا قضاء أو نذرًا أو كفارة ونوى معه الصوم عن عرفة، فأفتى البارزي بالصحة والحصول عنهما. قال: كذا إن أطلق. فألحقه بمسألة التحية

Artinya : “ Seandainya seorang puasa pada hari Arafah misalnya,  ia melaksanakan puasa qadha, nazar, atau kafarat, kemudian ia berniat beserta puasa Arafah, maka menurut Imam Al Barizi puasanya sah dan memperoleh pahala dari kedua puasa tersebut.

Beliau berkata ‘ Demikian pula jika secara mutlak’. Imam Al Barizi menyamakan kasus ini dengan kebolehan menggabung shalat tahiyat masjid.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa kewajiban qadha puasa yang tertinggal harus didahulukan dari pelaksanaan puasa sunnah, karena merupakan perintah yang wajib dikerjakan. Tetapi,  seseorang yang ingin melaksanakan puasa sunnah diperbolehkan untuk menggabung niat qadha puasa dan puasa sunnah, sehingga dapat memperoleh kedua pahalanya secara bersamaan.

Demikian penjelasan mengenai bolehkah melaksanakan puasa sunnah sebelum qadha puasa Ramadhan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH